STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI METE
DI KABUPATEN WONOGIRI
Helda Andi Kuncoro 1, Suprapti Supardi 2, Mohamad Harisudin 3
Agribusiness Department, Postgraduate Program of Sebelas Maret University
heldakuncoro89@gmail.com
ABSTRACT
This research has the aim to understand how much revenue, cost, and income of the
Mete’s industrial enterpreneurs in Wonogiri Regency; understanding internal factor and
external factor which may interupting the development of small medium enterprise;
understanding the alternative strategy which may applied in development Mete’s small medium enterprise; and also to understand the priority strategy which is the most effective to
applied in developing the Mete’s small medium enterprise.
According to the results, the average revenue of Mete’s industrial enterpreneurs in 30
days of productions is Rp. 45.981.538. Average cost which lost is Rp. 42.610.613. And the income in one production process is Rp. 3.370.865, so the Mete’s industrial works in Wonogiri
Regency has the prospect to be developed by the government there. Alternative strategies can be applied in developing agro-industry Mete in Wonogiri is Increase the production and quality of the local mete, equipment, to maintain consumer confidence with increasing demand, Increased capital policy and supervision of raw materials for agro-industries mete, Improving the quality and quantity of human resources through the government's development activities in order to maximal potential. The priority strategy which may applied in developing the agro-industrial Mete’s factory in Wonogiri Regency according to the matrix
analysis of the QSP is to improve the productions and the quality of the local Mete’s; equipment; and also to keep the trust of the consumers as in a row as the demand’s
improvements.
Keywords : QSP Matrix analysis, Strategy, Wonogiri’s mete
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki banyak produk
pangan yang diangkat dari jenis pangan lokal
dan diolah secara tradisional. Dengan
berkembangnya produk lokal maka jumlah
dan jenis produk pangan menjadi semakin
banyak jumlahnya (Soleh, 2003 : 6).
Kabupaten Wonogiri sebagai salah
satu daerah yang memiliki berbagai industri
pengolahan pangan khususnyaa mete.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Wonogiri (2008 : 7 )
keberadaan industri pengolahan mete
memiliki potensi sebagai penopang
perekonomian daerah dan penyerapan
tenaga kerja. Hal tersebut dapat dilihat pada
Tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1. Komoditas Tanaman Tahunan di Kabupaten Wonogiri, 2013.
Sektor pertanian merupakan sektor
yang berperan penting dalam perekonomian
Indonesia. Perkebunan sebagai bagian
integral dari sektor pertanian merupakan
sub sektor yang mempunyai peranan penting
dan strategis dalam pembangunan nasional.
Peranannya terlihat nyata dalam
penerimaan devisa negara melalui ekspor,
penyediaan lapangan kerja, pemenuhan
kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan
baku berbagai industri dalam negeri,
perolehan nilai tambah dan daya saing serta
optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam
secara berkelanjutan (Herdhiansyah, 2012 :
201)
Tanaman jambu mete menghasilkan
komoditas ekspor yang memiliki nilai jual
yang cukup tinggi dan relatif stabil
dibanding komoditas ekspor Indonesia
lainnya. Selain gelondong dan kacang mete
tanaman tersebut menghasilkan pula minyak
laka dan produk lain yang diolah dari buah
semu (Karmawati, 2008 : 201).
Di suatu klaster industri kecil yang
terdiri dari unit usaha inti dan unit usaha
penunjang, unit usaha inti merupakan
gerbong penghela klaster. Oleh karena itu
mengembangkan usaha inti sehingga
mempunyai keunggulan kompetitif
diharapkan dapat mengembangkan klaster
secara keseluruhan (Widjajani, 2008 : 26)
Potensi IKM di Indonesia sebenarnya
sangat besar. Hanya saja, potensi yang besar
itu belum termaksimalkan. Salah satu
kelemahan dari sektor industri yang
mengelompok (clustered) adalah
bahwamereka cenderung hanya menikmati
keuntungan-keuntungan akibat lokasi
yangsama (external economies). Mereka
belum maksimal memanfaatkan jaringan
untuk bekerjasama (joint action) guna
memecahkan permasalahan-permasalahan
yang mereka hadapi (Maridjan, 2005:4)
Kualitas menjadi kata kunci dalam
industri kecil mete. Pengembangan industri
kecil mete di Kabupaten Wonogiri
memerlukan sinergi dari Pemerintah, APMI,
pengusaha mete. Strategi pengembangan
akan berpengaruh besar dalam menjaga
kelangsungan hidup dan mengatasi
kendala-kendala yang ada pada usaha industri mete.
Oleh karena itu, pada penelitian ini akan
menganalisis pendapatan dan strategi efektif
yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mengembangkan industri kecil mete.
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui besarnya penerimaan, biaya
dan pendapatan pengusaha mete di
Kabupaten Wonogiri.
2. Mengetahui faktor internal dan eksternal
yang dapat mempengaruhi
pengembangan industri kecil mete di
Kabupaten Wonogiri.
3. Mengetahui alternatif strategi yang dapat
diterapkan dalam mengembangkan
industri kecil mete di Kabupaten
Wonogiri.
4. Mengetahui prioritas strategi yang paling
efektif diterapkan dalam
mengembangkan industri kecil mete di
METODE PENELITIAN A.Metode Dasar Penelitian
Metode dasar yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif
analitis yaitu metode yang memusatkan
diri pada pemecahan masalah-masalah
yang ada pada masa sekarang dan pada
masalah-masalah yang aktual. Data yang
dikumpulkan mula-mula disusun,
dijelaskan dan kemudian dianalisis
(Surakhmad, 1994 : 139).
Dalam penelitian ini, karena jumlah
populasi responden agroindustri mete di
Kabupaten Wonogiri relatif kecil dan
mudah dijangkau, maka penulis
menggunakan metode sensus yaitu
dengan mengumpulkan data semua
responden dan diselidiki satu persatu.
B. Metode Penentuan Sampel
1. Metode Penentuan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Wonogiri. Penentuan lokasi
kecamatan dan kelurahan dilakukan
secara purposive sampling (sengaja), yaitu berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan
tujuan penelitian (Singarimbun dan
Effendi, 1995 : 155).
Tabel 2. Jumlah Industri Kecil Mete di Kabupaten Wonogiri
No. Kecamatan Unit Usaha
1. Jatisrono 55
2. Ngadirojo 30
3. Jatiroto 15
Sumber : Dinas Perindustrian Koperasi
dan UKM Kabupaten Wonogiri, 2013
2. Metode Penentuan Responden
a. Penentuan Responden Untuk
Analisis Usaha (Penerimaan, Biaya
dan Pendapatan)
Penelitian yang menggunakan
seluruh anggota responden atau
sensus. Penggunaan metode ini
berlaku jika jumlah responden
relatif kecil (mudah dijangkau).
b. Penentuan Informan Untuk
Perumusan Strategi
1) Penentuan Faktor-Faktor Kunci
Strategis
Faktor strategis adalah
faktor-faktor yang dijadikan
sebagai komponen dalam
melakukan perumusan strategi.
(Bungin, 2003 : 45).
Kriterianya yaitu orang
yang mengetahui tentang
agroindustri mete,
berpengalaman, mengetahui
kondisi sekitar, dan lain
sebagainya. Informan kunci yang
dipilih dalam penelitian ini
adalah pemerintah daerah
Kabupaten Wonogiri yaitu dari
Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Wonogiri
sebagai pemangku kepentingan
komoditas perkebunan di
Kabupaten Wonogiri.
2) Informan untuk mendapatkan
a) Penyedia bahan baku
b) Pedagang mete
c) Konsumen mete
3) Penentuan Bobot dan Nilai Daya
Tarik dalam Matriks QSP
Responden yang bertindak
dalam menentukan bobot dalam
faktor strategi eksternal dan
faktor strategi internal adalah
Pemerintah Daerah yaitu Dinas
Perindustrian, Koperasi dan
UMKM, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan, Asosiasi Petani
Mete Indonesia, dan pengusaha
industri mete di Kabupaten
Wonogiri.
Responden yang digunakan
dalam penentuan nilai daya tarik
dalam matrik QSP adalah dari
Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Wonogiri
yaitu kepala Bidang Perkebunan
selaku pejabat yang menangani
komoditas perkebunan di
Kabupaten Wonogiri
C. Metode Analisis Data 1. Analisis Usaha
a. Biaya Produksi
Nilai total biaya pada usaha
industri kecil mete adalah
penjumlahan dari nilai total biaya
tetap (TFC) dan nilai biaya variabel
(TVC) yang digunakan dalam
kegiatan produksi mete.
Secara matematis menurut
Gasperz (1999 : 86), dapat ditulis
sebagai berikut:
TC = TFC + TVC
Dimana :
TC = biaya total usaha
industri kecil mete (Rupiah)
TFC = total biaya tetap
usaha industri kecil mete (Rupiah)
TVC = total biaya variabel
usaha industri kecil mete (Rupiah)
b. Penerimaan Usaha
Menurut Soekartawi (1995 :
54), penerimaan adalah perkalian
antara produksi yang diperoleh
dengan harga jual dan biasanya
produksi berhubungan negatif
dengan harga, artinya harga akan
turun ketika produksi berlebihan.
Secara matematis dapat ditulis
sebagai berikut:
TR = Q x P
dimana :
TR = penerimaan total
Q = jumlah produk yang
dihasilkan
P = harga
c. Pendapatan Usaha
Pendapatan (Pd) adalah
selisih antara penerimaan yang
diperoleh dari usaha produksi
dengan semua biaya yang
benar-benar dikeluarkan dalam usaha
agroindustri mete. Secara
matematis dapat dirumuskan
Pd = TR – TC
2. Analisis Faktor Internal dan Faktor Eksternal
Untuk mengidentifikasi kekuatan
dan kelemahan dari faktor internal
serta peluang dan ancaman dari faktor
eksternal dalam mengembangkan
industri kecil mete di Kecamatan
Jatisrono, Jatiroto dan Ngadirojo
Kabupaten Wonogiri.
3. Alternatif Strategi
Untuk merumuskan alternatif
strategi pengembangan industri kecil
mete di Kecamatan Wonogiri
Kabupaten Wonogiri digunakan
analisis Matriks SWOT.
Tabel 3. Matriks SWOT
Strenght (S) yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang menghindari ancaman
Sumber : Rangkuti, 2006
Penentuan bobot ditentukan
dengan Metode Eckenrode yaitu dengan
melakukan perubahan urutan menjadi
nilai, dimana:
a. Urutan 1 dengan tingkat (nilai) yang
tertinggi
b. Urutan 2 dengan tingkat (nilai)
dibawahnya
Misalkan kita akan menentukan
altematif keputusan dengan beberapa
kriteriakeputusan (misal jumlahnya t
kriteria), maka:
a.
Urutan 1 mempunyai nilai: k- 1b.
Urutan 2 mempunyai nilai: k-2c.
dstDengan demikian, nilai : jumlah kriteria –
urutan
Formula penentuan bobot :
Untuk e = 1,2,...
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Agroindustri Mete
1. Identitas Responden
Adapun identitas responden
pada usaha agroindustri mete di
Kabupaten Wonogiri dapat dilihat
pada Tabel 11.
Tabel 11. Identitas Responden Pengusaha Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri
No Identitas Responden Rata-Rata
1.
Lama pendidikan formal (tahun) Lama mengusahakan industri mete (tahun) Jumlah anggota keluarga (orang) Jumlah tanggungan keluarga (orang)
48 12 23 5 4
Sumber : Analisis Data Primer (2014)
2. Kegiatan Agroindustri Mete
Tahapan proses produksi
pembuatan mete di Kabupaten
Wonogiri dapat digambarkan dalam
skema berikut ini:
Gambar 1. Alur Pengolahan Mete Pada Agroindustri Mete Kabupaten Wonogiri
3. Biaya, Penerimaan dan Keuntungan a. Biaya Total
Besarnya biaya yang
dikeluarkan dalam usaha
agroindustri mete di Kabupaten
Wonogiri dapat dilihat pada Tabel
4.
Tabel 4. Rata-rata Biaya yang
Dikeluarkan Pengusaha dalam Melakukan Produksi Mete Selama 1 Bulan
No Uraian Biaya (Rp) Persentase (%) Bahan Bakar (Arang) Plastik
Transportasi Listrik Tenaga Kerja Luar
2.593
Sumber : Analisis Data Primer (2014)
b. Penerimaan
Penerimaan dari usaha
agroindustri mete dapat dilihat
pada Tabel 13.
Tabel 5. Rata-Rata Penerimaan Usaha Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri
No Jenis Penerimaan Fisik(kg) Harga (Rp) Rata-rata (Rp)
1.
Jumlah 45.981.538
Sumber : Analisis Data Primer (2014)
c. Pendapatan
Pendapatan usaha
agroindustri mete di Kabupaten
Wonogiri dapat dilihat dari Tabel
14.
Tabel 6. Rata-rata Pendapatan Usaha Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri
No Uraian Rata-rata (Rp) 1. Penerimaan 45.981.538 2. Biaya Total 41.341.673
Pendapatan 4.639.865
Sumber : Analisis Data Primer (2014)
B. Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri
Analisis strategi bertujuan untuk
menentukan arah tindakan alternatif
terbaik dalam rangka mencapai misi dan
tujuannya. Strategi, tujuan dan misi
ditambah informasi audit eksternal dan
internal untuk memunculkan dan
mengevaluasi berbagai strategi alternatif
(David, 2004 : 320).
1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal
a. Analisis Faktor Internal
Analisis faktor internal
untuk agroindustri mete di
Kabupaten Wonogiri.
1) Komitmen Kebijakan
2) Sumber Daya Manusia
3) Fasilitasi Pemerintah
4) Penyuluhan
Menghilangkan kulit ari dengan dipanggang
Pengupasan Kulit Ari
Kacang Mete Kacang mete (masih
terdapat kulit ari) Penjemuran Gelondong Mete
Pencukilan
5) Koordinasi antar sektoral
b. Analisis Faktor Eksternal
faktor-faktor kunci yang
menjadi peluang dan ancaman
dalam pengembangan agroindustri
mete.
1) Kondisi Perekonomian
2) Sosial dan Budaya
3) Pemasok
4) Konsumen
2. Identifikasi Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman
Tabel 7. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman dalam Pengembangan Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri
Faktor Internal Kekuatan Kelemahan
Komitmen Kebijakan - Adanya program Indikasi
Geografis mete Kabupaten Wonogiri
-Sumber Daya Manusia - - Kekurangan tenaga
pegawai, SDM
pemerintah
Fasilitasi Pemerintah - Bantuan peralatan - Akses permodalan dari
pemerintah terbatas
Penyuluhan - Penyuluhan tentang
limbah mete
- Terbentuknya Asosiasi
Petani mete
-Koordinasi Antar
Sektoral
- Infrastruktur sudah baik - Belum adanya
Pengawasan bahan baku
Faktor Eksternal Peluang Ancaman
Kondisi Perekonomian
- - Kenaikan harga BBM
Sosial dan Budaya - Kepercayaan terhadap
mete dari Wonogiri
- Kesenjangan sosial
Teknologi - Ketersediaan teknologi
Kacip mete, oven
- Perkembangan teknologi
pengolahan mete.
-Pemasok - Kualitas Bahan baku mete
lokal lebih baik
- Kualitas bahan baku
mete luar
Konsumen - Permintaan mete
meningkat
3. Alternatif Strategi
Strategi mencerminkan
pengetahuan perusahaan mengenai
bagaimana, kapan dan dimana
perusahaan akan bersaing, dengan
siapa sebaiknya bersaing dan untuk
tujuan apa perusahaan harus
bersaing. (Pearce and Robinson, 2008 :
26).
Tabel 8. Alternatif Strategi Matriks SWOT Pengembangan Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri
Kekuatan-S
1.Adanya program Indikasi Geografis mete Kab. Wonogiri
2.Bantuan peralatan 3.Adanya program
penyuluhan limbah mete 4.Terbentuknya asosiasi
petani mete
5.Infrastruktur sudah baik
Kelemahan-W
1. Kekurangan tenaga pegawai, SDM pemerintah. 2. Akses permodalan
pemerintah terbatas 3. Belum adanya
Pengawasan Bahan Baku
Peluang-O
1.Kepercayaan terhadap mete dari Wonogiri 4.Kualitas bahan baku
mete lokal lebih baik 5.Permintaan mete
meningkat
Strategi S-O
1.Meningkatkan produksi
dan kualitas bahan baku mete lokal, peralatan, untuk menjaga
kepercayaan konsumen seiring meningkatnya permintaan. (S1,S2,S5 ,O2,O4,O5).
2.Mengoptimalkan teknologi dan organisasi yang telah ada agar produksi mete berjalan optimal.
(S1,S2,S3,S4,S5,O1,O3,O4,O 5,).
Strategi W-O
1. Peningkatan kebijakan
modal dan pengawasan bahan baku untuk agroindustri mete
(W1,W2, W3,O1,O4,O5) 2. Peningkatan
pengembangan sumber daya manusia pemerintah secara maksimal dalam mendukung
pengembangan agroindustri mete (W1,W3,O2,O3,O4,05)
Ancaman-T
1.Kesenjangan sosial 2.Kenaikan harga BBM 3.Kualitas bahan baku
mete luar jelek
Strategi S-T
1. Mengoptimalkan fungsi organisasi untuk menjaga kualitas dan meningkatkan informasi yang menunjang agroindustri mete
(S3,S4,S5 ,T2,T3).
2. Meningkatkan pengawasan akan bahan baku, biaya produksi dan menjaga kepercayaan konsumen
(S4,S5,T1,T2,T3).
Strategi W-T
1. Meningkatkan kualitas
dan jumlah sumber daya manusia pemerintah melalui kegiatan pembinaan untuk memaksimalkan potensi agroindustri mete
(W3,W4,W5,T3).
2. Memperbaiki jalinan kerja sama antara Dishutbun dan Disperindakop dalam rangka menjaga
4. Prioritas Strategi
QSPM adalah alat yang
direkomendasikan bagi para ahli strategi
untuk melakukan evaluasi pilihan strategi
alternatif secara objektif, berdasarkan key success factors internal-eksternal yang telah diidentifikasikan sebelumnya(Umar,
2002 : 76).
Penetapan prioritas strategi dari
hasil analisis SWOT dengan matriks QSPM
adalah sebagai berikut :
Tabel 9. Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) Pengembangan Agroindustri Mete di Kabupaten Wonogiri.
Alternatif Strategi
FAKTOR-FAKTOR KUNCI Bobot I II III
AS TAS AS TAS AS TAS
Faktor Kunci Internal
Adanya program IG mete Kab.
Wonogiri 0,1651 4 0,6604 3 0,4953 2 0,3302
Bantuan peralatan 0,1538 4 0,6154 3 0,4615 2 0,3077
Adanya program penyuluhan
limbah mete 0,1013 1 0,1013 4 0,4053 2 0,2026
Terbentuknya Asosiasi Petani Mete 0,1144 3 0,3433 2 0,2289 4 0,4578
Infrastruktur sudah baik 0,1051 3 0,3152 1 0,1051 2 0,2101
Kekurangan tenaga pegawai, SDM
pemerintah 0,0957 2 0,1914 3 0,2871 1 0,0957
Akses permodalan pemerintah
terbatas 0,1407 1 0,1407 2 0,2814 3 0,4221
Belum adanya Pengawasan bahan
baku 0,1238 4 0,4953 3 0,3715 2 0,2477
Total Bobot 1,0000
Faktor Kunci Eksternal
Kepercayaan terhadap mete dari
Wonogiri 0.090 4 0,6447 1 0,1612 3 0,4835
Ketersediaan teknologi Kacip
mete, oven 0.076 4 0,5201 3 0,3901 2 0,2601
Perkembangan teknologi
pengolahan mete 0.083 1 0,1044 4 0,4176 2 0,2088
Kualitas bahan baku mete lokal
lebih baik 0.124 4 0,6447 3 0,4835 2 0,3223
Permintaan mete meningkat 0.117 3 0,3846 2 0,2564 1 0,1282
Kenaikan harga BBM 0.110 3 0,4835 4 0,6447 2 0,3223
Kesenjangan sosial 0.131 1 0,0733 3 0,2198 2 0,1465
Kualitas bahan baku mete luar
jelek 0.048 2 0,1612 3 0,2418 1 0,0806
Total Bobot 1,000
Jumlah Total Nilai Daya Tarik
5,8795 5,4510 4,2263
a. Meningkatkan produksi dan kualitas
bahan baku mete lokal, peralatan,
untuk menjaga kepercayaan
konsumen seiring meningkatnya
permintaan. (5, 8795).
Ketersediaan bahan baku
menjadi salah satu kendala dalam
proses produksi karena keterbatasan
bahan baku yaitu gelondong mete.
Ketersediaan bahan baku gelondong
mete terbatas sehingga harga bahan
baku gelondong mete cukup mahal.
Pengusaha harus tetap berproduksi
untuk melangsungkan usahanya. Oleh
karena itu, pengusaha membeli
gelondong mete dari pedagang
pengumpul gelondong mete yang
berasal dari dalam kota Wonogiri
maupun dari NTT. Kualitas gelondong
mete berbeda pada saat sedang
musim dan pada saat tidak
musimnya. Kualitas gelondong mete
di Kabupaten Wonogiri (lokal) dengan
luar Kabupaten Wonogiri yaitu
gelondong mete dari Sumbawa juga
berbeda, baik dari segi bentuk dan
rasanya. Gelondong mete dari
Sumbawa lebih besar tetapi rasanya
tidak begitu enak, sedangkan mete
dari Kabupaten Wonogiri bentuknya
tidak terlalu besar tetapi rasanya enak
dan banyak yang menyukainya.
Dinas Kehutanan dan
Perkebunan terus berupaya
meningkatkan produksi mete lokal
wonogiri dengan kegiatan optimasi
lahan dengan pemberian bibit mete
lokal, pupuk organik bagi petani mete
mengingat pohon mete lokal di
Wonogiri berumur tua sehingga
produktivitasnya menurun. Upaya lain
adalah dengan pengadaan peralatan
untuk agroindustri mete berupa alat
kacip mete, oven, lantai jemur.
Perkembangan teknologi pengolahan
mete membuat Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Wonogiri
bekerjasama dengan Balai Alat Mesin
Perkebunan Provinsi Jawa Tengah
berupaya terus berinovasi. Inovasi
peralatan pengolahan mete salah
satunya dengan perubahan teknologi
kacip mete. Kacip mete yang dibuat
tersebut mampu mengacip 3
gelondong mete sekaligus dengan
cepat tanpa memecah kacang mete
didalamnya. Kacip mete pada
agroindustri Wonogiri kebanyakan
masih tradisional sehingga dengan
perbaruan peralatan pengolahan
diharapkan dapat meningkatkan
efisien waktu dan biaya produksi.
Dalam upaya melindungi kualitas
bahan baku mete lokal, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Wonogiri dalam rencana
tahun 2015 melakukan indikasi
geografis mete yang berkerjasama
dengan UII dan Dirjen HAKI Jawa
Tengah. Indikasi geografis adalah
suatu tanda yang menunjukkan
asal suatu barang, yang karena faktor
lingkungan geografis termasuk faktor
alam, faktor manusia, atau kombinasi
dari kedua faktor tersebut, yang
memberikan ciri, karakteristik,
reputasi atau kualitas tertentu pada
barang yang dihasilkan. Tanda yang
digunakan sebagai indikasi geografs
dapat berupa etiket atau label yang
dilekatkan pada barang yang
dihasilkan. Tanda tersebut dapat
berupa nama tempat, daerah, atau
wilayah, kata, gambar, huruf, atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut.
Indikasi geografis dapat memberikan
manfaat memperjelas identifikasi
produk dan menetapkan standar
produksi dan proses, menjamin
kualitas produk indikasi geografis
sebagai produk asli sehingga
memberikan kepercayaan pada
konsumen.
b. Peningkatan kebijakan modal dan
pengawasan bahan baku untuk
agroindustri mete (5, 4510).
Dalam agroindustri mete tidak
mungkin dapat dilaksanakan tanpa
dukungan modal dengan kata lain
suatu usaha agar dapat diwujudkan
perlu dukungan modal yang cukup
tetapi bila permodalan yang
mendukungnya tidak mencukupi,
maka dalam pelaksanaannya akan
mengalami kesulitan bahkan mungkin
mengalami kegagalan. Salah satu
kendala yang dihadapi para
pengusaha dalam menjalankan usaha
agroindustri mete di Kabupaten
Wonogiri yaitu permodalan. Pelaku
agroindustri mete menggunakan
modal sendiri untuk memulai
usahanya. Dalam agroindustri mete
dibutuhkan modal yang relatif besar,
alternatif memeperoleh modal adalah
dengan meminjam kepada bank untuk
modal maupun menambah modal
usaha sendiri. Bunga yang diberikan
oleh bank cukup tinggi sehingga
pengusaha mete menanggung biaya
pengembalian modal beserta bunga
yang cukup besar pula. Hal ini sangat
menyulitkan apabila akan
berkecimpung dalam usaha
agroindustri mete. Untuk
meningkatkan akses permodalan
Dinas Disperindagkop Kabupaten
Wonogiri berupaya mempermudah
akses agroindustri mete memperoleh
pinjaman. Upaya tersebut dapat
dilihat dengan mempermudah ijin
pendirian koperasi mete di Kabupaten
Wonogiri. Koperasi mete tersebut
bergerak dalam simpan pinjam
sehingga memberikan akses bagi
pelaku industri mete dalam
memperoleh pinjaman untuk
usahanya ataupun untuk mendirikan
usaha agroindustri mete. Namun
demikian hingga sekarang ini jumlah
koperasi mete di Kabupaten Wonogiri
agroindustri mete mendapatkan
modal dari koperasi mete tersebut.
Dalam agroindustri mete, bahan
baku merupakan faktor yang penting
karena sebagian besar biaya produksi
adalah bahan baku. Bahan baku mete
sebagian besar diperoleh dari NTT
dan sebagian kecil dari mete lokal
Wonogiri. Bahan baku mete dari NTT
tidak terawasi dengan baik. Kriteria
gelondong mete yang baik memiliki
kadar air kurang dari 5%, sedangkan
bahan baku mete dari NTT melebihi 5
% sehingga harus dijemur 2-3 hari
terlebih dahulu. Hingga sekarang ini
belum pengawasan dari
Disperindagkop terkait bahan baku
karena kekurangan pegawai. Asosiasi
Petani Mete juga memiliki peran
dalam pengawasan bahan baku mete.
Perbaikan kebijakan sangat
diperlukan untuk pengembangan
agroindustri mete mengingat masih
adanya keluhan dari pihak pengusaha
dan konsumen. Selama ini, kebijakan
untuk pengembangan agroindustri di
Kabupaten Wonogiri Kabupaten
Wonogiri belum optimal. Diharapkan
ada peran dan kerjasama dari
Disperindagkop dan APMI dalam
mengawasi bahan baku mete.
c. Meningkatkan kualitas dan jumlah
sumber daya manusia pemerintah
melalui kegiatan pembinaan untuk
memaksimalkan potensi agroindustri
mete (4, 2263).
Kualitas dan jumlah sumber
daya manusia pemerintah kurang
memadai untuk mendukung
pengembangan agroindustri mete di
Kabupaten Wonogiri. Dalam
meningkatkan agroindustri mete
diperlukan banyak hal dari segi bahan
baku hingga sarana prasarana. Dinas
Kehutanan dan Perkebunan dan
Disperindagkop terus berupaya
melindungi dan meningkatkan
agroindustri mete agar semakin kuat.
Disisi lain, jumlah dan kualitas tenaga
kerja tidak mencukupi untuk
menyentuh semua agroindustri mete
sehingga perkembangan agroindustri
mete belum teroptimalkan. Dengan
kondisi tersebut, pemerintah daerah
Provinsi Jawa Tengah diharapkan
dapat memberikan pelatihan dan
pembinaan untuk meningkatkan
kualitas SDM pegawai pemerintahan.
Perlunya perekrutan staff baru yang
berkualitas dan difokuskan terhadap
industri mete di mengingat
pengembangan yang belum maksimal
selama ini. Pembinaan rutin terhadap
sumberdaya manusia pemerintah
sangat juga diperlukan sehingga dapat
meningkatkan kualitas.
Strategi terbaik yang dapat
diterapkan dalam mengembangkan
agroindustri mete di Kabupaten
Wonogiri adalah Meningkatkan produksi
dan kualitas bahan baku mete lokal,
konsumen seiring meningkatnya
permintaan dengan nilai TAS (Total Atractive Score) sebesar 5,8795.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Penerimaan rata-rata yang diperoleh
pengusaha Mete selama 30 hari proses
produksi sebesar Rp 45.981.538. Biaya
total rata-rata yang dikeluarkan
pengusaha sebesar Rp 41.341.673.
Pendapatan rata-rata yang diterima oleh
pengusaha Mete dalam satu kali proses
produksi yaitu Rp 4.639.865 sehingga
usaha Mete di Kabupaten Wonogiri
memiliki prospek untuk dikembangkan
oleh pemerintah Kabupaten Wonogiri.
2. Alternatif strategi yang dapat diterapkan
dalam mengembangkan agroindustri Mete
di Kabupaten Wonogiri adalah :
a. Meningkatkan produksi dan kualitas
bahan baku mete lokal, peralatan,
untuk menjaga kepercayaan
konsumen seiring meningkatnya
permintaan.
b. Peningkatan kebijakan modal dan
pengawasan bahan baku untuk
agroindustri mete.
c. Meningkatkan kualitas dan jumlah
sumber daya manusia pemerintah
melalui kegiatan pembinaan untuk
memaksimalkan potensi.
3. Prioritas strategi yang dapat diterapkan
dalam mengembangkan agroindustri Mete
di Kabupaten Wonogiri berdasarkan
analisis matriks QSP adalah Meningkatkan
produksi dan kualitas bahan baku mete
lokal, peralatan, untuk menjaga
kepercayaan konsumen seiring
meningkatnya permintaan (5,8795).
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, B. 2003.Analisis Data Penelitian Kualitatif.Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
David, F R. 2004. Manajemen Strategis Konsep-Konsep.PT. Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta
Dinas Perindustrian Koperasi dan UKM. 2011.
Kelompok Industri Kecil, Jumlah Unit Usaha dan Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten Wonogiri. Disperinkop dan UKM.Wonogiri
Gasperz, V. 2000. Ekonomi Manajerial Pembuatan Keputusan Bisnis. PT. Gramedia. Jakarta.
Herdhiansyah. 2012. Strategi Pengembangan Potensi Wilayah Agroindustri Perkebunan Unggulan. Jurnal Teknik Industri, Vol. 13, No. 2, Agustus 2012: 201–209
Karmawati, 2008. Perkembangan Jambu Mete dan Strategi Pengendalian Hama Utamanya. Jurnal Perspektif Vol. 7 No. 2 / Desember 2008.
Maridjan .2005. Mengembangkan Industri Kecil Menengah melalui Pendekatan Kluster. Jurnal INSAN Vol 7 No 3, Desember 2005
Pearce, A.J dan Robinson, B.R.
2008.Manajemen Strategis Edisi 10. Salemba Empat. Jakarta
Singarimbun, M dan Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta Soekartawi. 1993. Analisis Usahatani.
UI-Press. Jakarta
Dalam Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian Vol 6 Januari 2003. Departemen Pertanian Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (BPTP). Jawa Timur
Surakhmad, W. 1994.Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik. CV Tarsito. Bandung
Syamsul, M. 2003. Teknik – teknik Kuantitatif untuk Manajemen.PT. Gamedia Widiasarana Indonesia. Jakarta
Umar, H. 2002. Strategic Management in Action.PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta