i Universitas Kristen Maranatha
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Kontribusi Protective Factor terhadap Resiliensi Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus di Kota Bandung.” Penelitian ini adalah penelitian kontribusi, dengan menggunakan desain penelitian korelasional dan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kontribusi protective factors pada resiliensi ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di kota Bandung. Pemilihan sampel menggunakan metode convenience sampling. Sampel penelitian ini berukuran 50 orang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus dengan berbagai kondisi (tuna rungu-wicara, tuna grahita, tuna daksa, tuna ganda, dan autisme). Hipotesa penelitian ini adalah protective factors memberikan kontribusi terhadap resiliensi ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di kota Bandung.
Penelitian ini disusun berdasarkan teori resiliensi dari Bonnie Benard. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuesioner Protective Factor yang terdiri dari 18 item dan Kuesioner Resiliensi yang terdiri dari 43 item. Kedua alat ukur tersebut dikonstruksi oleh peneliti berdasarkan teori Resiliensi dari Bonnie Benard. Untuk uji validitas, digunakan teknik item total correlation dengan hasil: untuk kuesioner protective factor, hasilnya terentang dari 0,20 sampai 0,89, sedangkan kuesioner resiliensi, hasilnya terentang dari 0,21 sampai 0,79. Untuk uji reliabilitas diuji dengan menggunakan teknik internal consistency dengan rumus Alpha Cronbach dan didapatkan hasil: nilai reliabilitas untuk kuesioner protective factor sebesar α = 0,81. Sedangkan nilai reliabilitas untuk kuesioner resiliensi sebesar α = 0,85. Data yang diperoleh diolah menggunakan uji statistik Multiple Regression.
Berdasarkan pengolahan data secara statistik maka didapat bahwa protective factors yang diberikan keluarga berkontribusi secara signifikan (α = 5%) sebesar 44%. Sedangkan protective factors yang diberikan komunitas juga berkontribusi secara signifikan (α = 5%) sebesar 49%. Kesimpulan penelitian adalah ada kontribusi yang signifikan antara protective factors yang diberikan keluarga dan komunitas terhadap resiliensi ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di kota Bandung.
vi Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK...i
KATA PENGANTAR...ii
DAFTAR ISI...vi
DAFTAR TABEL...x
DAFTAR SKEMA...xii
DAFTAR LAMPIRAN...xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1
1.2 Identifikasi Masalah...11
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...11
1.3.1 Maksud Penelitian...11
1.3.2 Tujuan Penelitian...11
1.4 Kegunaan Penelitian...12
1.4.1 Kegunaan Teoritis...12
1.4.2 Kegunaan Praktis...12
1.5 Kerangka Pikir...12
1.6 Asumsi Penelitian...24
vii Universitas Kristen Maranatha
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Resiliensi...26
2.1.1 Definisi Resiliensi...26
2.1.2 Empat Aspek Resiliensi...26
2.1.3 Protective Factors...36
2.2 Anak Berkebutuhan Khusus...43
2.2.1 Definisi Anak Berkebutuhan Khusus...43
2.2.2 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus...47
2.2.3 Reaksi Orang Tua...49
2.2.4 Peran-Peran Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus...57
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian...60
3.2 Bagan Rancangan Penelitian...60
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...61
3.3.1 Variabel Penelitian...61
3.3.2 Definisi Operasional...61
3.4 Alat Ukur...67
3.4.1 Kuesioner Protective Factor...67
3.4.2 Kuesioner Resiliensi...69
3.4.3 Prosedur Pengisian...70
3.4.4 Sistem Penilaian...71
viii Universitas Kristen Maranatha
3.4.6 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...72
3.4.6.1 Validitas...72
3.4.6.2 Reliabilitas...72
3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel...73
3.5.1 Populasi Sasaran...73
3.5.2 Karakteristik Populasi...73
3.5.3 Teknik Penarikan Sampel...74
3.6 Teknik Analisis...74
3.7 Hipotesa Statistik...74
3.7.1 Hipotesa Utama...74
3.7.2 Sub-Hipotesa...75
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden...76
4.1.1 Jenis Kebutuhan Khusus Anak...76
4.1.2 Usia Anak...77
4.2 Hasil penelitian...77
4.2.1 Resiliensi...78
4.2.2 Social Competence...80
4.2.3 Problem Solving...82
4.2.4 Autonomy...84
4.2.5 Sense of Purpose and Bright Future...86
ix Universitas Kristen Maranatha
4.3.1 Resiliensi...88
4.3.2 Social Competence...86
4.3.3 Problem Solving...93
4.3.4 Autonomy...96
4.3.5 Sense of Purpose and Bright Future...101
4.4 Diskusi...104
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...108
5.2 Saran...110
5.2.1 Saran Bagi Peneliti Lain...110
5.2.2 Saran Guna Laksana...111
DAFTAR PUSTAKA...113
x Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Rincian kuesioner protective factor...68
Tabel 3.2 Rincian kuesioner resiliensi...69
Tabel 3.3 Skor penilaian item kuesioner...71
Tabel 4.1 Gambaran responden berdasarkan jenis kebutuhan khusus anak...76
Tabel 4.2 Gambaran responden berdasarkan usia anak...77
Tabel 4.3 Hasil Multiple Regression family protective factor dan resiliensi...78
Tabel 4.4 Hasil Multiple Regression community protective factor dan resiliensi..79
Tabel 4.5 Hasil Multiple Regression family protective factor dan social competence...80
Tabel 4.6 Hasil Multiple Regression community protective factor dan social competence...81
Tabel 4.7 Hasil Multiple Regression family protective factor dan problem solving...82
Tabel 4.8 Hasil Multiple Regression community protective factor dan problem solving...83
Tabel 4.9 Hasil Multiple Regression family protective factor dan autonomy...84
Tabel 4.10 Hasil Multiple Regression community protective factor dan autonomy...85
xi Universitas Kristen Maranatha
xii Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR SKEMA
xiii Universitas Kristen Maranatha
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Protective Factor dan Kuesioner Resiliensi
Lampiran 2. Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Protective Factor dan Kuesioner Resiliensi
Lampiran 3. Multiple Regression
Lampiran 4. Cross-Tabulation Data Penunjang Lampiran 5. Cross-Tabulations
Lampiran 1. Kuesioner Protective Factor dan Kuesioner Resiliensi
KATA PENGANTAR
Kuesioner ini berisi pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan penelitian yang saya lakukan. Dalam penelitian ini, saya ingin mendapatkan gambaran mengenai pengaruh protective factor terhadap resiliensi Ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di kota Bandung. Sehubungan dengan hal tersebut peneliti mengharapkan kesediaan Ibu meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner mengenai masalah di atas.
Dalam menjawab kuesioner yang telah disediakan Ibu diharapkan untuk mengisi dengan sungguh-sungguh dan sejujur-jujurnya sesuai dengan pribadi dan keadaan Ibu mengenai hal-hal tersebut. Identitas dan jawaban Ibu akan saya rahasiakan dalam pengisian kuesioner ini.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi informasi tambahan bagi mereka yang membutuhkan. Terima kasih atas perhatian dan waktu yang telah Ibu sediakan.
Bandung, Oktober 2008
IDENTITAS
Data Responden Nama (inisial) :
Usia :
Pekerjaan : Menikah/Single parent* Komunitas:
• Tetangga
• Komunitas Keagamaan • Komunitas Sekolah • Teman-teman
• Support Group, sebutkan... • Lainnya, sebutkan... Apa arti/peranan komunitas tersebut bagi Ibu
... ... ... ...
Data Anak Nama (inisial) :
Usia :
Jenis Kelamin :
Anak ke :...dari...bersaudara
DATA PENUNJANG
Pada bagian ini Ibu diminta untuk melingkari salah satu pernyataan di bawah ini pada nomor sesuai dengan keadaan diri Ibu. Perlu diingat, bahwa pernyataan di bawah ini dihayati sebelum Ibu menikah. Untuk setiap pernyataan yang terdapat komunitas di dalamnya, Ibu diminta untuk menghayati komunitas dimana Ibu bergabung di dalamnya, misalnya, komunitas keagamaan, sekolah, support group tertentu, dll.
1. Sikap keluarga terhadap saya...
tidak peduli 1----2----3----4----5----6----7 peduli
menolak 1----2----3----4----5----6----7 menerima tidak menghargai 1----2----3----4----5----6----7 menghargai
2. Keluarga memiliki harapan-harapan positif terhadap saya
Rendah 1----2----3----4----5----6----7 tinggi
3. Keluarga memberi saya kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau ikut terlibat dalam kegiatan yang penting dalam keluarga
Tidak sesuai 1----2----3----4----5----6----7 sesuai
4. Sikap masyarakat terhadap saya...
tidak peduli 1----2----3----4----5----6----7 peduli
menolak 1----2----3----4----5----6----7 menerima tidak menghargai 1----2----3----4----5----6----7 menghargai
5. Komunitas memiliki harapan-harapan positif terhadap saya
Rendah 1----2----3----4----5----6----7 tinggi
6. Komunitas memberi saya kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau ikut terlibat dalam kegiatan yang penting dalam komunitas
INSTRUKSI PENGERJAAN
Pada halaman selanjutnya, Saudara akan diberikan beberapa pernyataan mengenai pendapat Ibu mengenai kehidupan Ibu dimana anak berkebutuhan khusus terlibat di dalamnya. Tugas Ibu adalah memilih salah satu dari 4 pilihan jawaban yang disediakan dengan cara memberi tanda silang (X) pada kolom yang merupakan pernyataan yang Ibu anggap paling sesuai dengan diri Ibu.
Perlu diingat, bahwa dalam menjawab semua pernyataan yang ada dalam halaman berikut, Ibu diminta untuk menjawabnya dalam konteks kehidupan berkeluarga dimana anak berkebutuhan khusus terlibat di dalamnya.
Apabila Ibu telah mengerjakan semua persoalan, periksalah kembali jawaban Ibu agar jangan sampai ada yang terlewati.
Selamat bekerja ! Terima kasih.
• Jawaban SM : bila pernyataan tersebut Sangat Menggambarkan diri Ibu. • Jawaban CM : bila pernyataan tersebut Cukup Menggambarkan diri Ibu. • Jawaban KM : bila pernyataan tersebut Kurang Menggambarkan diri
Ibu.
KUESIONER PROTECTIVE FACTOR
Pernyataan SM CM KM TM
1. Saya merasa anggota keluarga (suami, mertua, saudara ipar) saya mengucilkan saya di tengah kesulitan-kesulitan yang saya alami. 2. Saya merasa anggota keluarga
menawarkan bantuan ketika saya menghadapi kesulitan.
(bantuan yang diberikan………….) (siapa yang paling sering membantu………..) 3. Saya merasa keluarga menghargai
usaha saya mengasuh anak, walaupun hasilnya belum optimal. 4. Saya merasa keluarga mempercayai
saya dapat mendidik anak menjadi mandiri.
5. Saya merasa keluarga menganggap saya sebagai ibu yang serba bisa dengan berharap saya bisa mengerjakan semua tugas rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak dengan baik.
6. Saya merasa keluarga percaya bahwa saya tidak akan mudah menyerah dalam mendidik anak.
8. Saya merasa keluarga memberi saya kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penting dalam keluarga (masalah keuangan, pembagian kerja, dll) 9. Saya merasa keluarga saya memberi
kesempatan untuk membagikan pengalaman yang saya dapat dalam perjalanan hidup saya.
10. Saya merasa komunitas
memperhatikan dengan menanyakan kabar saya dan anak ketika kami tidak hadir dalam kegiatan rutin (masuk sekolah, atau terapi).
11. Saya merasa komunitas mengucilkan saya di tengah masalah yang saya alami.
12. Saya merasa nyaman berada di tengah komunitas karena mengetahui bahwa mereka akan membantu saya apabila saya membutuhkannya.
13. Saya merasa komunitas
mempercayai saya dapat mendidik anak menjadi mandiri.
14. Komunitas membuat saya percaya bahwa dalam mengasuh anak, saya memiliki keterbatasan tertentu.
15. Saya merasa komunitas percaya bahwa saya tidak akan mudah menyerah dalam mendidik anak.
campur dalam masalah saya dan saya merasa terganggu karenanya. 17. Saya merasa komunitas memberi
saya kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan bersama.
18. Saya merasa komunitas memberi saya kesempatan untuk membagikan tips-tips dalam mendidik anak berkebutuhan khusus (dalam curhat, seminar, dll.).
KUESIONER RESILIENSI
1. Ketika saya mengungkapkan masalah-masalah yang saya alami, orang lain cenderung menjauh dan malas mendengarkannya.
2. Saya mampu membuat orang lain mau memberikan saran-saran yang berguna ketika saya mengungkapkan masalah yang saya alami.
(apa yang anda lakukan sehingga orang lain memberikan saran-saran...)
3. Saya mampu mengatakan pendapat saya mengenai hasil terapi yang tidak sesuai dengan target tanpa menyinggung terapis.
4. Pembicaraan saya dengan suami dalam bidang finansial (sehubungan dengan kebutuhan ABK) biasanya berakhir dengan pertengkaran.
5. Saya mampu berkomunikasi dengan orang lain mengenai sikap masyarakat terhadap ibu anak ABK tanpa menyingung mereka.
6. Saya mampu memahami cara pandang orang lain ketika mereka menceritakan permasalahan seputar anaknya yang memiliki kebutuhan khusus.
memiliki anak berkebutuhan khusus karena merasa masalah saya sendiri cukup banyak.
8. Saya mampu memahami
permasalahan yang dialami anggota keluarga saya sehubungan dengan hadirnya anak ABK dalam keluarga. 9. Saya mampu memaafkan diri saya
sendiri atas kesalahan-kesalahan yang saya lakukan.
10. Saya mampu memaafkan anggota keluarga, ketika mereka berbuat salah kepada saya.
11. Saya memiliki keinginan untuk dapat membantu orang lain yang mengalami kesulitan yang sama dengan keadaan saya.
12. Saya merasa kesal apabila orang lain tidak mau dibantu sesuai dengan cara saya.
13. Saya mampu menyusun langkah-langkah yang diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus.
14. Saya merasa kesulitan untuk membuat perencanaan keuangan menyangkut masa depan saya dan keluarga.
susun untuk memecahkan masalah tidak dapat dilakukan.
16. Saya enggan mencoba alternatif terapi yang baru, apabila terapi yang biasanya dilakukan tidak membuahkan hasil.
17. Saya tahu ke mana harus mencari bantuan apabila saya menghadapi masalah-masalah seputar anak berkebutuhan khusus.
18. Ketika saya tidak dapat memecahkan masalah dalam keluarga, saya mampu memanfaatkan bantuan pihak luar untuk mengatasi kesulitan yang ada.
19. Saya memahami permasalahan apa saja yang sekarang sedang saya hadapi.
20. Saya dapat mencari jalan keluar yang tepat karena saya tahu masalah apa yang harus saya selesaikan terlebih dahulu.
21. Saya merasa diri saya cukup sabar dan tabah dalam mengasuh anak saya yang memiliki kebutuhan khusus. 22. Saya merasa berdosa karena tidak
dapat menjadi istri yang baik dengan melahirkan anak berkebutuhan khusus.
tidak mendukung dalam usaha-usaha pemecahan masalah.
24. Saya hanya bisa mengasuh anak saya dengan baik apabila dibantu oleh orang lain.
25. Saya merasa yakin dapat mengasuh anak saya yang memiliki kebutuhan khusus dan menjadi ibu yang baik. 26. Saya ragu apakah saya mampu untuk
mengasuh anak saya yang memiliki kebutuhan khusus dan tetap menjadi istri yang baik.
27. Saya dapat sejenak mengambil jarak dan tidak menjadi emosional dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan keluarga saya.
28. Meskipun ada anggapan bahwa anak saya tidak dapat disembuhkan, saya akan terus berjuang untuk perkembangan anak saya.
29. Saya sadar bahwa saya kesal apabila anak berulang kali gagal melakukan sesuatu walaupun sudah dilatih berulang kali, namun saya dapat mengatasi kekesalan saya.
30. Saya merasa kesulitan yang saya alami merupakan sesuatu yang membuat saya semakin memahami anak saya.
saya hadapi dalam kehidupan keluarga saya.
32. Saya dapat menemukan sisi humor dalam permasalahan saya dan menertawakannya.
33. Saya sering menemukan banyak hal-hal lucu ketika masyarakat berinteraksi dengan anak saya yang memiliki kebutuhan khusus dan menjadi terhibur karenanya.
34. Saya tidak mudah menyerah dalam mengasuh anak saya agar dapat mengurus dirinya sendiri.
35. Saya tidak memiliki target perilaku tertentu yang harus dicapai anak saya dalam proses pendidikannya.
36. Saya memiliki hobby khusus yang dapat mengalihkan perhatian saya sementara dari masalah-masalah yang sedang saya hadapi.
37. Saya dapat melatih anak saya untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara yang menyenangkan dan berbeda dari biasanya.
38. Saya memiliki waktu-waktu khusus di mana saya dapat melakukan hal-hal yang saya sukai dan tidak memikirkan masalah-masalah yang saya hadapi.
sekarang berat, kehidupan saya dan keluarga saya di kemudian hari akan lebih baik.
40. Saya memiliki harapan bahwa pada suatu hari anak saya akan dapat mengurus dirinya sendiri.
41. Keimanan membantu saya memperoleh kekuatan dalam menghadapi masalah saya dan memperkuat harapan saya akan keadaan yang lebih baik.
42. Agama membuat saya merasa bersalah, karena setiap kesalahan yang terjadi dalam kehidupan keluarga saya bersumber dari dosa saya.
43. Saya merasa bahwa sekecil apapun peningkatan yang dialami anak saya, membuat saya merasa berarti dan membuat saya lebih tegar dalam mendidiknya.
Lampiran 2.1 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Protective Factor Reliability Statistics
Cronbach’s Alpha
Cronbach’s Alpha Based on
Standarized items
N of items
.813 .833 18
Item-Total Statistics Family Caring Relationship
Corrected
Item-Total Correlation Family High Expectations
Corrected
Item-Total Correlation
Family Opportunities to Participate and Contribute
Corrected
Item-Total Correlation
Community Caring Relationship
Corrected
Item-Total Correlation
Community High Expectations
Corrected
Community Opportunities to Participate and Contribute
Corrected
Item-Total Correlation
Lampiran 2.2 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Resiliensi Reliability Statistics
Cronbach’s Alpha
Cronbach’s Alpha Based on
Standarized
Corrected
Item-Total Correlation
Corrected
Autonomy
Corrected
Item-Total Correlation
Sense of Purpose and Bright Future
Corrected
Item-Total Correlation
3.1.1 Family Protective Factor terhadap Resiliensi a Predictors: (Constant), FO_TTL, FHE_TTL, FCR_TTL
Coefficients(a) FCR_TTL 1,581 1,282 ,168 1,233 ,224 FHE_TTL 5,109 1,492 ,444 3,425 ,001 FO_TTL 1,466 1,071 ,187 1,369 ,178 a Dependent Variable: RLC_TOT
3.1.2 Community Protective Factor terhadap Resiliensi
Model Summary a Predictors: (Constant), CO_TTL, CHE_TTL, CCR_TTL
Coefficients(a) CO_TTL 3,591 1,172 ,398 3,062 ,004 a Dependent Variable: RLC_TOT
3.2 Social Competence
3.2.1 Family Protective Factor terhadap Social Competence
Model Summary a Predictors: (Constant), FO_TTL, FHE_TTL, FCR_TTL
Model FHE_TTL 2,117 ,595 ,446 3,558 ,001 FO_TTL 1,047 ,427 ,323 2,450 ,018 a Dependent Variable: SOC_TTL
3.2.2 Community Protective Factor terhadap Social Competence
Model Summary a Predictors: (Constant), CO_TTL, CHE_TTL, CCR_TTL
Coefficients(a) a Dependent Variable: SOC_TTL
3.3 Problem Solving
3.3.1 Family Protective Factor terhadap Problem Solving
Model Summary a Predictors: (Constant), FO_TTL, FHE_TTL, FCR_TTL
a Dependent Variable: SLV_TTL
3.3.2 Community Protective Factor terhadap Problem Solving
Model Summary a Predictors: (Constant), CO_TTL, CHE_TTL, CCR_TTL
Coefficients(a) a Dependent Variable: SLV_TTL
3.4 Autonomy
3.4.1 Family Protective Factor terhadap Autonomy
Model Summary a Predictors: (Constant), FO_TTL, FHE_TTL, FCR_TTL
Coefficients(a) FHE_TTL 1,427 ,564 ,380 2,530 ,015 FO_TTL ,312 ,405 ,122 ,770 ,445 a Dependent Variable: AUT_TTL
3.4.2 Community Protective Factor terhadap Autonomy
Model R R Square a Predictors: (Constant), CO_TTL, CHE_TTL, CCR_TTL
Coefficients(a) a Dependent Variable: AUT_TTL
3.5 Sense of Purpose and Bright Future
3.5.1 Family Protective Factor terhadap Sense of Purpose and Bright Future
Model Summary a Predictors: (Constant), FO_TTL, FHE_TTL, FCR_TTL
Coefficients(a) FHE_TTL 1,266 ,536 ,366 2,364 ,022 FO_TTL -,533 ,385 -,226 -1,386 ,172 a Dependent Variable: SEN_TTL
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate 1 ,334(a) ,111 ,054 4,256 a Predictors: (Constant), CO_TTL, CHE_TTL, CCR_TTL
Coefficients(a)
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant
) 18,374 4,948 3,714 ,001 CCR_TT
L ,222 ,442 ,096 ,502 ,618 CHE_TT
L ,402 ,516 ,134 ,779 ,440 CO_TTL ,472 ,465 ,175 1,016 ,315 a Dependent Variable: SEN_TTL
Lampiran 4. Cross-Tabulation Data Penunjang
Family Caring Relationship
Family High Expectation
4.2 Community Protective Factor Sebelum Ibu Menikah Terhadap Resiliensi
Community High Expectations
Lampiran 5. Cross-Tabulations
D_FCR * D_RES Crosstabulation
cdr tgg tinggi
D_FO * D_RES Crosstabulation
D_CCR * D_RES Crosstabulation
D_RES
Total cdr tgg tinggi
% within
D_FCR * D_SOC Crosstabulation
D_SOC 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% % of Total 4,0% 42,0% 54,0% 100,0%
D_CCR * D_SOC Crosstabulation
D_SOC
Total cdr rdh cdr tgg tinggi
% within
D_SOC 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% % of Total 4,0% 42,0% 54,0% 100,0%
D_FCR * D_SLV Crosstabulation
D_SLV 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% % of Total 14,0% 64,0% 22,0% 100,0%
D_FHE * D_SLV Crosstabulation
D_SLV
Total cdr rdh cdr tgg tinggi
% within
D_SLV 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% % of Total 14,0% 64,0% 22,0% 100,0%
D_CCR * D_SLV Crosstabulation
D_SLV 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% % of Total 14,0% 64,0% 22,0% 100,0%
D_CHE * D_SLV Crosstabulation
D_SLV
Total cdr rdh cdr tgg tinggi
% within
D_SLV 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% % of Total 14,0% 64,0% 22,0% 100,0%
D_CO * D_SLV Crosstabulation
D_FCR * D_AUT Crosstabulation
D_AUT
Total cdr rdh cdr tgg tinggi
% within
D_AUT 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% % of Total 2,0% 52,0% 46,0% 100,0%
D_FO * D_AUT Crosstabulation
D_CHE * D_AUT Crosstabulation
% within
D_AUT 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% % of Total 2,0% 52,0% 46,0% 100,0%
D_FCR * D_SEN Crosstabulation
D_SEN 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% % of Total 2,0% 20,0% 78,0% 100,0%
D_FO * D_SEN Crosstabulation
% within
D_CCR * D_SEN Crosstabulation
D_SEN 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% % of Total 2,0% 20,0% 78,0% 100,0%
D_CHE * D_SEN Crosstabulation
% within
D_SEN 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% % of Total 2,0% 20,0% 78,0% 100,0%
D_CO * D_SEN Crosstabulation
Lampiran 6. Wawancara
namun suami Y juga berkata bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan raut muka anaknya dibandingkan bayi-bayi pada umumnya.
Pertama kali Y mengetahui bawa anaknya mengalami suatu gangguan, Y hanya diam, tidak melakukan apa-apa, bahkan Y tidak mau melihat bayi yang baru dilahirkannya lewat operasi caesar. Y juga sempat berpikir bahwa anaknya mungkin tertukar dengan bayi lain, namun hal tersebut hanya menjadi pikirannya dan tidak diungkapkan ke suami dan dokter pada waktu itu. Berbagai macam perasaan dialami oleh Y, Y merasa marah, tidak menerima anaknya berbeda dari yang lain, kesal, bingung harus berbuat apa, merasa tidak berdaya, sedih, kecewa, dan hal tersebut sempat membuat Y depresi selama beberapa waktu. Y sempat tidak mau merawat R hingga berusia 3 bulan dan R dirawat oleh suami, ibu dan mertua, serta adik iparnya. Pada saat itu, Y sering bertanya, baik dalam hati, ke keluarganya dan pada teman-temannya kenapa harus Y yang mengalami hal ini.
Y juga merasa bersalah karena berpikir bahwa mungkin Y pernah melakukan sesuatu dosa di masa mudanya, sehingga Y harus menerima akibatnya dengan melahirkan anak yang berbeda. Y juga menuturkan bahwa pada masa kehamilan dirinya sempat sakit, sehingga minum antibiotik selama beberapa waktu. Dokter berkata mungkin itu adalah salah satu penyebab R lahir dengan down syndrome. Perasaan bersalah itu kadang-kadang masih muncul sampai sekarang ketika Y dalam keadaan sedih.
Namun atas dukungan dari keluarga dan teman-temannya Y perlahan-lahan mulai menerima keadaan dir dan kondisi anaknya. Y mulai bertanya informasi mengenai down syndrome pada temannya yang juga memiliki diagnosa yang sama. Y pertama tidak terlalu mengerti, dan hanya tahu bahwa down syndrome hanya sebatas kelainan belaka. Dari temannya inilah, akhirnya Y
tahu berbagai informasi mengenai bermacam-macam tempat terapi, metode belajar, dan sekolah yang tepat untuk R.
namun Y melihat hal itu masih dalam batas wajar. Kadang-kadang Y juga bertengkar dengan suaminya, biasanya karena suaminya kurang memiliki waktu untuk bersama keluarga dikarenakan pekerjaannya yang sibuk, namun biasanya itu tidak berlangsung lama. Ketika Y melahirkan R, menurut Y suaminya juga merasa terguncang, dan ibu Y mengatakan bahwa suaminya menangis, namun suami Y bisa menghibur Y yang saat itu juga dalam keadaan depresi. Suami Y cukup terlibat dalam pengasuhan R, seperti bangun malam-malam ketika R menangis, membelikan susu kaleng dan perlengkapan bayi, dan suka menggendong puteranya tersebut. Pada saat Y mengalami depresi, suami Y suka menghibur dengan mendoakan, lalu membawa masuk R ke kamar Y, dan memberi tahu Y dengan mengatakan ini bukanlah kesalahan Y. Y merasa mungkin hal tersebut adalah salah satu penyebab Y bisa bangkit seperti sekarang dan tidak terpuruk pada masalah yang dihadapinya. Y juga merasa senang apabila Y memutuskan untuk melakukan sesuatu dalam perundingan dengan suami, dan suaminya memperbolehkannya, misalnya mencoba berbagai pengobatan alternatif dan terapi, demikian juga ketika Y memutuskan untuk menyekolahkan R, suami S mendukung hal tersebut. Suami juga mendukung Y untuk mengikuti pertemuan-pertemuan sesama orang tua anak berkebutuhan khusus, walaupun Y merasa malu pada awalnya, suami membuat Y percaya diri dengan berkata pasti Y juga dapat bergaul disana karena Y adalah orang yang menyenangkan dan enak diajak bicara. Y pun merasa bahwa dirnya mampu dan mungkin akan mendapatkan banyak hal dari pertemuan-pertemuan itu. Sekarang Y kadang-kadang diminta untuk berbagi (sharing) dalam pertemuan-pertemuan tersebut.
kehidupan sehari-harinya. Adik ipar sering menyemangati Y bahwa Y pasti akan dapat menjadi ibu dan istri yang baik ketika Y dalam keadaan down. Hal ini membuat Y merasa percaya diri dan membuat semangatnya bangkit kembali. Hal lainnya yang membuat Y merasa bahwa adik iparnya mendukung dirinya adalah dengan tidak ikut campur ketika dirinya sedang melatih R, walaupun kadang R menangis menjerit-jerit ketika keinginannya tidak dituruti (misalnya tidak mau meminta barang dengan mengatakannya, namun dengan menunjuk barangnya saja). Demikian juga ketika Y memutuskan untuk mengikuti suatu terapi adik ipar tidak pernah berkomentar bahwa itu percuma dan percaya bahwa Y juga pasti sudah bertanya pada orang-orang dulu sebelum memilihnya. Adik ipar Y juga sering berkomentar dengan nada bercanda apabila Y sedang mengungkapkan masalahnya seperti diminta berbicara di depan umum untuk sharing. Komentar-komentar adik ipar Y tersebut Y rasakan sebagai rasa percaya adik ipar terhadap dirinya. Y merasa bersemangat dan menilai kembali kemampuan dirinya seperti yang dikatakan adik iparnya.
dukungan, serta bermacam-macam informasi. Y juga merasakan perhatian mereka apabila mereka menanyakan kabar ketika Y dan R berhalangan hadir dan tidak mengikuti terapi. Di luar tempat terapi, Y juga memiliki teman-teman yang baik, mereka sering berkata bahwa Y pasti dapat mengendalikan situasi, dan tidak akan ada hal buruk yang terjadi ketika Y takut untuk membawa anaknya pergi keluar. Teman-teman Y juga berkata untuk tidak usah terlalu mempedulikan pandangan orang lain, yang penting adalah bagaimana Y mengurus keluarga dan anaknya.
Y merasa bersyukur pada Tuhan karena setelah memiliki R, dia bisa bertemu dengan banyak orang baik dalam hidupnya dan membuat dirinya berkembang dan semakin berarti bagi banyak orang. Walaupun kadang Y masih merasa bersalah, Y lebih sering mengucap syukur, kalau Tuhan memberikan R dalam kondisi demikian adalah rencanaNya dan merupakan berkat. Setelah Y melahirkan R, intensitas Y beribadah dan berdoa juga meningkat. Y merasa Tuhan memberinya kekuatan dan ketabahan dengan cara yang tidak dapat dimengerti.
Dalam waktu luangnya, Y sering menekuni hobinya yaitu membaca dan membuat aksesoris kecil-kecil dari bahan manik-manik, dan suaminya mendukung hal tersebut sambil kadang bercanda bahwa harusnya hasil dari kreativitasnya itu dijual. Y menikmati saat-saat membuat aksesoris dan membaca, pada saat-saat seperti itu Y dapat sejenak tidak memikirkan kesulian yang dihadapi dan mendapatkan kembali ketenangan atas dirinya.
Berdasarkan hasil wawancara dari 18 orang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khsusus didapatkan data sebagai berikut:
• Sebanyak 83% (15 orang ibu) menyatakan bahwa komunitas sekitar ikut memperhatikan dengan cara ikut mengasuh anaknya, menanyakan kabar apabila ada salah satu yang tidak datang ke sekolah atau tempat terapi. Namun ada 11% (2 orang ibu) yang merasa bahwa kelihatannya masyarakat tidak menaruh perhatian pada dirinya dan anaknya dan 6% (1 orang ibu) merasa bahwa lingkungan menerima karena merasa iba terhadap nasibnya (community caring relationship).
• Semua ibu anak berkebutuhan khusus menyatakan bahwa keluarga menaruh harapan pada ibu untuk dapat mengasuh anaknya untuk bisa memakai pakaian sendiri, anak dapat toilet training dengan baik, atau ibu diharapkan bisa mempelajari huruf baraile, atau bahasa bibir (family high expectations).
• Bagi 44% (8 orang ibu) merasa komunitas tempat mereka bernaung juga ikut menaruh harapan pada ibu dengan meyakinkan ibu ketika ibu merasa anaknya tidak mengalami kemajuan, namun 56% (10 orang ibu) merasa bahwa masyarakat tidak terlalu peduli (community high expectation). • Sebanyak 83% (15 orang ibu) menyatakan bahwa keluarga memberi
kesempatan kepada ibu untuk memutuskan apa yang terbaik bagi anaknya, kesempatan bertanggung jawab untuk memecahkan masalahnya, ikut memberi masukan untuk pengambilan keputusan penting dalam keluarga. Namun 17% (3 orang ibu) merasa keluarga menentangnya apabila ibu mengajukan suatu pendapat, dan kurang memperhatikan apa yang menjadi pendapat ibu, ibu juga merasa sulit mengambil keputusan, karena seringkali pendapatnya tidak didengar (family opportunities to participate or contribute).
• Sebanyak 89% (16 orang ibu) dapat menjalin relasi sosial dengan lingkungan sekitarnya, mereka bisa sharing mengenai informasi terbaru dan saling memberi tanggapan terhadap keadaan anak orang lain yang juga memiliki kebutuhan khusus. Bagi 11% (2 orang ibu) merasa tidak bisa bergaul lagi dengan luas karena kesibukan yang banyak menyita waktu, dan merasa bahwa kegiatan sosialisasi tidak terlalu penting (social competence).
• Sebanyak 94% (17 orang ibu) mencari informasi kepada para ahli, lembaga pendidikan, maupun tempat terapi yang dapat membuat anaknya semakin berkembang, beberapa dari mereka juga menabung untuk persiapan apabila mereka sakit dan tidak dapat mengurus anak. Sedangkan 6% (1 orang ibu) membuat rencana akan masa depan anak, namun merasa bahwa rencana yang sudah dibuat seringkali tidak dapat dilaksanakan dan malas mencoba saran-saran yang diberikan oleh keluarga maupun teman-temannya (problem solving).
• Sebanyak 89% (16 orang ibu) merasa bahwa perjalanan mengasuh anak berkebutuhan khusus memberi banyak hikmah, membuat mereka lebih sabar, merasa mampu untuk mendidik anak mereka menjadi pribadi yang mandiri. Namun 11% (2 orang ibu) merasa bahwa dirinya tidak percaya diri, tidak berharga, meyebabkan anaknya lahir cacat (autonomy).
1
Universitas Kristen Maranatha
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bagi banyak suami istri, menjadi orang tua membawa perubahan dalam kehidupan pernikahan. Hal ini dikarenakan sebelumnya mereka telah memiliki berbagai peran dalam kehidupannya, seperti menjadi suami atau istri bagi pasangannya atau menjadi seseorang yang bekerja bagi sebuah organisasi atau bekerja secara mandiri. Menjadi orang tua akan menambah peran mereka dan karena itu akan terjadi banyak perubahan dalam diri tiap individu yang akan menjadi orang tua. Perubahan ini sangat terasa bagi ibu, karena tugas-tugas yang harus dilakukan seakan-akan tumpang tindih. Di satu sisi mereka harus berperan menjadi istri, disisi lain mereka harus menjadi ibu dengan segala kesibukan barunya (Duvall, 1977). Wanita merasa kebingungan dengan peran mereka sebagai ibu dan seringkali ini membuat mereka merasa kelelahan dan tidak bebas karena hadirnya anak akan menambah tugas-tugasnya, dan mereka tidak dapat melakukan aktivitasnya dengan bebas, seperti menghabiskan waktu dengan pasangan dan teman mereka atau meneruskan karir di pekerjaan mereka (Santrock, 2004).
2
Universitas Kristen Maranatha
berkebutuhan khusus adalah anak yang berbeda dari anak pada umumnya karena mereka memiliki perbedaan dalam salah satu atau lebih karakteristik sebagai berikut, seperti: pertama, karakteristik mental, yaitu anak dengan kapasitas intelegensi lebih tinggi atau lebih rendah daripada anak-anak pada umumnya, termasuk didalamnya adalah anak-anak dengan kemampuan intelektual superior atau anak yang lambat dalam belajar. Namun dalam penelitian ini, anak dengan intelegensi lebih rendah lebih disoroti karena tingkat stress yang dialami relatif lebih besar dihayati oleh ibu daripada yang memiliki kapasitas intelektual lebih tinggi. Kedua, kemampuan sensori, yaitu anak-anak yang mempunyai perbedaan keadaan sensori, seperti tuna netra, atau tuna rungu. Ketiga, kemampuan komunikasi, yaitu anak yang memiliki perbedaan kemampuan komunikasi, seperti learning disabilities, atau keterbatasan berbahasa dan bicara. Keempat, perilaku
sosial, yaitu perbedaan perilaku yang ditampilkan, termasuk anak-anak yang secara emosional terganggu atau tidak bisa menyesuaikan diri secara sosial, seperti autisme atau ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Kelima, karakteristik fisik, yaitu perbedaan keadaan fisik, termasuk anak-anak dengan cacat non-sensori, yang merintangi kemampuan bergerak dan kemampuan fisik, misalnya tuna daksa, cerebral palsy (Kirk, Gallagher, 1986).
3
Universitas Kristen Maranatha
yang memiliki kebutuhan khusus. Walau orangtua sama-sama mengalami tekanan, namun tekanan yang dialami oleh ayah dan ibu berbeda. Seorang ayah mengalami tekanan lebih pada persoalan ekonomi untuk membiayai keluarganya dan membiayai terapi dan anaknya yang berkebutuhan khusus. Seorang ibu mengalami tekanan mengenai perawatan dan penanganan langsung pada anaknya yang berkebutuhan khusus karena pada umumnya ibulah yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama anaknya ketika ayahnya sedang pergi bekerja.
4
Universitas Kristen Maranatha
besar pria karena dianggap membawa sial dalam perkawinan, dan karenanya memiliki anak yang cacat. Kemudian, sebanyak 78% (14 orang ibu) mengaku bingung membagi waktu antara mengurus anak yang berkebutuhan khusus dan mengurus anggota keluarga lainnya. Sebanyak 33% (6 orang ibu) mengaku bingung membagi waktunya antara mengasuh anak dan bekerja. Sebanyak 67% (12 orang ibu) mengaku lelah baik jiwa maupun raga ketika anaknya yang memiliki kebutuhan khusus tidak dapat melakukan kegiatan sederhana walaupun sudah berkali-kali diajarkan (mengancing baju, atau toilet training). Sianiwati Sunarto (2007), seorang psikolog yang juga adalah pemerhati dunia anak berkebutuhan khusus dan aktif terlibat dalam sharing keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus, mengemukakan bahwa selain perasaan malu atas kehadiran anaknya yang menderita cacat, masalah lain yang benar-benar faktual adalah kondisi finansial keluarga yang terganggu akibat banyaknya biaya yang harus dikeluarkan oleh anak berkebutuhan khusus tersebut, seperti mencari terapis, sekolah khusus, dan lain-lain.
5
Universitas Kristen Maranatha
khusus beradaptasi terhadap situasi yang menekan ini disebut resiliensi (Benard, 1991).
Setiap orang memiliki resiliensi di dalam dirinya, termasuk ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di kota Bandung. Oleh karena hadirnya anak berkebutuhan khusus di dalam kehidupan keluarga bukan merupakan suatu pilihan, maka resiliensi diperlukan oleh para orangtua, khususnya ibu, agar dapat beradaptasi, bertahan dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus, dan menghadapi kesulitan mendidik anak berkebutuhan khusus agar dapat menjadi mandiri, yang relatif lebih sulit daripada anak-anak pada umumnya, serta menjalani peran sebagai istri dan orang tua.
6
Universitas Kristen Maranatha
Hal lain yang menunjukkan ibu anak berkebutuhan khusus memiliki resiliensi tinggi adalah mereka memiliki rasa percaya diri, merasa bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya dapat dikendalikan oleh dirinya dan bukan oleh lingkungan, dan dapat menemukan sisi humor dalam permasalahannya (autonomy). Terakhir, ibu anak berkebutuhan khusus memiliki tujuan yang jelas dan motivasi untuk meraihnya. Mereka juga mampu bersikap optimis dalam menghadapi permasalahan yang ada. Mereka juga memiliki keimanan bahwa Tuhan pasti mendampingi mereka menghadapi masalah (sense of purpose).
Resiliensi tidak muncul begitu saja, ada faktor-faktor yang diberikan lingkungan, seperti lingkungan keluarga dan masyarakat, yang turut memfasilitasi perkembangan resiliensi dalam diri tiap individu. Faktor-faktor ini disebut protective factors oleh Benard (2004). Di dalam situasi yang penuh dengan
7
Universitas Kristen Maranatha
memutuskan keputusan penting dalam keluarga (opportunities to participate or contribute).
Sama halnya seperti keluarga, masyarakat juga memiliki peranan dalam memfasilitasi perkembangan resiliensi. Masyarakat bisa bermacam-macam bentuknya, seperti komunitas dimana ibu bekerja, perkumpulan orang tua di sekolah atau di tempat terapi anaknya yang berkebutuhan khusus. Peranan masyarakat seperti mendengarkan sharing ibu tanpa menghakimi, turut memperhatikan perkembangan anaknya, dan ikut menjaga anak di lingkungan sekitar menggambarkan caring relationship. Masyarakat dapat juga memberi semangat pada ibu dengan kata-kata yang menyakinkan ibu bahwa mereka dapat beradaptasi dan mengasuh anaknya namun tetap dapat melakukan aktivitas kesehariannya di tengah keadaan yang menekan (high expectations). Kesempatan yang diberikan pada ibu anak berkebutuhan khusus untuk bisa sharing pengalamannya dalam arisan, seminar, atau menjadi tempat bertanya bagi orang lain yang mengalami masalah seputar anak berkebutuhan khusus juga bisa memfasilitasi perkembangan resiliensi (opportunities to participate or contribute).
Protective factors yang diberikan keluarga atau komunitas sekarang pada
8
Universitas Kristen Maranatha
menekan akibat hadirnya anak berkebutuhan khusus setelah ibu menikah, sehingga dibutuhkan perhatian, ekspektasi dan kesempatan dari keluarga sekarang atau komunitas agar ibu dapat beradaptasi dalam keadaan tersebut.
Cukup banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui gambaran resiliensi ibu anak berkebutuhan khusus dan hubungannya dengan protective factors, namun masih sedikit yang menyoroti bagaimana peranan dari protective
factors terhadap resiliensi ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
9
Universitas Kristen Maranatha
Semua ibu yang diwawancara (18 orang) menyatakan bahwa keluarga menaruh harapan pada ibu untuk dapat mengasuh anaknya untuk bisa memakai pakaian sendiri, anak dapat toilet training dengan baik, atau ibu diharapkan bisa mempelajari huruf baraile, atau bahasa bibir (family high expectations). Bagi 44% (8 orang ibu) merasa komunitas tempat mereka bernaung juga ikut menaruh harapan pada ibu dengan meyakinkan ibu ketika ibu merasa anaknya tidak mengalami kemajuan, namun 56% (10 orang ibu) merasa bahwa masyarakat tidak terlalu peduli (community high expectation).
10
Universitas Kristen Maranatha
Sebanyak 89% (16 orang ibu) dapat menjalin relasi sosial dengan lingkungan sekitarnya, mereka bisa sharing mengenai informasi terbaru dan saling memberi tanggapan terhadap keadaan anak orang lain yang juga memiliki kebutuhan khusus. Bagi 11% (2 orang ibu) merasa tidak bisa bergaul lagi dengan luas karena kesibukan yang banyak menyita waktu, dan merasa bahwa kegiatan sosialisasi tidak terlalu penting (social competence). Sebanyak 94% (17 orang ibu) mencari informasi kepada para ahli, lembaga pendidikan, maupun tempat terapi yang dapat membuat anaknya semakin berkembang, beberapa dari mereka juga menabung untuk persiapan apabila mereka sakit dan tidak dapat mengurus anak. Sedangkan 6% (1 orang ibu) membuat rencana akan masa depan anak, namun merasa bahwa rencana yang sudah dibuat seringkali tidak dapat dilaksanakan dan malas mencoba saran-saran yang diberikan oleh keluarga maupun teman-temannya (problem solving). Sebanyak 89% (16 orang ibu) merasa bahwa perjalanan mengasuh anak berkebutuhan khusus memberi banyak hikmah, membuat mereka lebih sabar, merasa mampu untuk mendidik anak mereka menjadi pribadi yang mandiri. Namun 11% (2 orang ibu) merasa bahwa dirinya tidak percaya diri, tidak berharga, meyebabkan anaknya lahir cacat (autonomy). Semua ibu merasa memiliki harapan bahwa anaknya akan bisa mandiri dan berguna bagi dirinya sendiri, dan semua ibu merasa keimanan pada Tuhan membuat mereka tabah, dan merasa mampu mengasuh anak yang memiliki kebutuhan khusus (sense of purpose)
11
Universitas Kristen Maranatha
melakukan aktivitasnya seperti biasa. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti kontribusi protective factors terhadap resiliensi ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di kota Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana kontribusi protective factors pada resiliensi ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Kota Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran mengenai kontribusi protective factors pada resiliensi ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian
12
Universitas Kristen Maranatha
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis
• Memberi tambahan informasi resiliensi bagi ilmu Psikologi, khususnya
Psikologi Perkembangan, dalam rangka memperkaya materi tentang resiliensi.
• Memberikan sumbangan informasi kepada mahasiswa yang membutuhkan
bahan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai resiliensi. 1.4.2 Kegunaan Praktis
• Memberikan informasi mengenai kontribusi protective factors terhadap
resiliensi pada orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dalam rangka mengoptimalkan perkembangan resiliensi agar dapat beradaptasi dan tetap produktif dalam keadaan yang menekan.
• Memberikan informasi mengenai kontribusi protective factors terhadap
resiliensi pada SLB atau pusat terapi dimana masyarakat biasanya banyak bertanya mengenai pentingnya dukungan untuk orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
1.5 Kerangka Pikir
13
Universitas Kristen Maranatha
sensori, yaitu perbedaan keadaan sensori, termasuk anak-anak dengan keterbatasan auditori, atau visual; (3) kemampuan komunikasi, yaitu perbedaan kemampuan komunikasi, termasuk anak-anak dengan learning disabilities, atau keterbatasan berbahasa dan bicara; (4) perilaku sosial, yaitu perbedaan perilaku yang ditampilkan, termasuk anak-anak yang secara emosional terganggu atau tidak bisa menyesuaikan diri secara sosial; (5) karakteristik fisik, yaitu perbedaan keadaan fisik, termasuk anak-anak dengan cacat non-sensori, yang merintangi kemampuan bergerak dan kemampuan fisik, juga termasuk di dalamnya kondisi mengalami gangguan dalam berbagai kemampuan atau cacat ganda seperti cerebral palsy dan keterbelakangan mental, buta dan tuli. (Kirk, Gallagher, 1986)
14
Universitas Kristen Maranatha
berkebutuhan khusus membutuhkan perhatian dan penanganan lebih, seperti membantu anak mengatasi kesulitan melakukan tugas keseharian atau mengurus dirinya sendiri, dan karenanya melelahkan secara fisik maupun psikis. Hal lain yang menjadi kesulitan adalah masalah finansial, anak-anak berkebutuhan khusus dapat menjadi sumber pengeluaran yang besar, karena kebutuhan medis, sosial dan pelayanan pendidikan khusus (McAndrew, 1976 dalam Gargiulo 1985). Selain itu ibu juga memiliki tanggung jawab mengurus rumah tangganya, memenuhi kebutuhan suaminya, dan memperhatikan perawatan anak-anaknya yang lain.
15
Universitas Kristen Maranatha
adaptasi (adjustment) terhadap keadaan yang menekan tersebut dan mengatur agar perilaku yang tampil tetap positif.
Resilience dapat dilihat dari indikator-indikator yang dapat diukur dan
diobservasi, yaitu personal strength. Personal strength adalah karakteristik individual yang dihubungkan dengan perkembangan yang sehat dan keberhasilan hidup, yang meliputi: (1) social competence, (2) problem solving, (3) autonomy, dan (4) sense of purpose and bright future. (Benard, 2004)
Social competence meliputi ciri-ciri keterampilan, dan sikap yang penting
untuk membangun relasi dan keterikatan yang positif dengan orang lain, yang meliputi: kemampuan ibu untuk memancing respon positif dari keluarga atau lingkungannya (responsiveness); kemampuan ibu untuk menyatakan pendapat atau pandangannya tanpa menyinggung perasaan keluarga atau orang lain dan mampu menangani masalah yang ada (communication). Ciri-ciri lainnya adalah kemampuan ibu untuk mengetahui dan memahami perasaan dan memahami sudut pandang keluarganya serta bersedia untuk peduli terhadap sudut pandang keluarganya dan masyarakat (empathy and caring). Selain itu kesediaan ibu untuk membantu meringankan beban dan membantu teman dan keluarga sesuai kebutuhannya, serta mampu untuk memaafkan diri dan orang lain (compassion, altruism, dan forgiveness) juga adalah salah satu ciri dari social competence.
Problem solving meliputi beragam kemampuan, yaitu: kemampuan ibu
16
Universitas Kristen Maranatha
sumber-sumber dukungan di lingkungan seperti sekolah untuk anak berkebutuhan khusus atau dan mampu memanfaatkan bantuan dan kesempatan yang ada untuk menghadapi kesulitan (resourcefulness). Ciri terakhir adalah kemampuan ibu untuk menganalisis dan memahami masalah yang sedang dihadapi sehingga dapat mencari solusi yang tepat (critical thinking dan insight).
Autonomy merupakan kemampuan ibu untuk bertindak secara mandiri dan
memiliki rasa dapat mengontrol lingkungannya. Yang termasuk di dalamnya adalah: penghayatan ibu bahwa dirinya adalah pribadi yang terus berkembang secara positif di tengah masalah yang dihadapi (positive identity); ibu memiliki rasa tanggung jawab terhadap tugas kesehariannya dan merasa mampu mengendalikan tugasnya, serta mampu memotivasi diri untuk memfokuskan perhatian dan mengarahkan perilaku menuju goal (internal locus of control and initiative). Ciri lainnya adalah penghayatan ibu bahwa dirinya memiliki
17
Universitas Kristen Maranatha
pengalaman dalam cara yang positif (self-awareness and mindfulness); dan kemampuan ibu untuk mengubah kemarahan dan kesedihan menjadi tawa atau menemukan sisi humor dalam kehidupan (humor).
Sense of purpose and bright future mengacu pada kepercayaan yang
mendalam bahwa hidup seseorang mempunyai arti dan bahwa seseorang mempunyai tempat di dalam masyarakat. Yang termasuk di dalamnya yaitu: kemampuan ibu mengarahkan diri dan mempertahankan motivasi dalam mencapai tujuan yang berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus (goal direction, and achievement motivation); ibu memiliki hobi yang dapat menghibur ketika
menghadapi kesulitan yang berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus atau kesulitan rumah tangga yang lain dan mampu mengembangkan imajinasi yang positif mengenai diri (special interest, creativity and imagination). Ibu juga memiliki keyakinan dan harapan yang positif mengenai masa depan anaknya dan anggota keluarga lainnya (optimism and hope); ibu memiliki keyakinan relijius yang membuatnya optimistik dan memiliki harapan bahwa ada Sang Kuasa yang akan membantunya menghadapi masalah, dan memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki arti menjalani hidup (faith, spirituality, and sense of meaning).
18
Universitas Kristen Maranatha
berkebutuhan khusus sudah berkeluarga dan tidak bersekolah lagi, maka peneliti lebih memfokuskan pada keluarga dan lingkungan dimana ibu berada. Keluarga dan lingkungan dapat memberikan ibu anak berkebutuhan khusus caring relationship, high expectation messages, dan opportunities to participate or
contribution.
Ibu yang memperoleh protective factors, berupa caring relationship, high expectation messages, dan opportunities to participate or contribution dari
keluarga dan komunitasnya, maka kebutuhan psikologis dasar ibu, yaitu kebutuhan akan rasa aman (safety), rasa memiliki (belongingness), penghargaan (respect), kemandirian (autonomy), tantangan (challenge), dan arti (meaning) akan terpenuhi. Dengan dipenuhinya kebutuhan psikologis dasar tersebut, resiliensi akan berkembang. Ibu yang ingin memenuhi kebutuhan psikologis dasarnya akan rasa memiliki, mereka mencari orang yang dapat diajak bersosialisasi, seperti keluarga atau teman, dan selanjutnya hubungan tersebut akan berkembang menjadi social competence. Kebutuhan psikologis untuk merasa kompeten mendorong kita untuk mencoba memecahkan permasalahan yang ada dan akhirnya mengembangkan kemampuan problem solving (Pearce, 1977/1992 dalam Benard 2004). Kebutuhan akan kemandirian mendorong ibu untuk mencari orang dan kesempatan (opportunities to participate and contribute) yang dapat membuat ibu merasakan kelebihannya sendiri dan kepuasan penyelesaian tugas. Kebutuhan akan rasa aman mendorong ibu untuk mengembangkan problem solving, social competence, autonomy dan purpose. Kebutuhan untuk menemukan
19
Universitas Kristen Maranatha
seperti keluarga, tempat-tempat, misalnya tempat ibu berkumpul bersama komunitasnya yang membuat ibu merasa memiliki sense of purpose (Csikszentmihalyi, 1990; Hillman, 1996 dalam Benard, 2004)
Di dalam situasi yang menekan bagi ibu anak berkebutuhan khusus di kota Bandung, keluarga merupakan faktor yang penting dalam mendukung mereka untuk menjadi pribadi yang resilien. Faktor-faktor tersebut dapat berupa hubungan yang dekat antara anggota keluarga, perhatian dan kasih sayang tanpa syarat dan keluarga ada saat dibutuhkan (caring relationship). Hubungan yang hangat dengan keluarga, perasaan diperhatikan dan dicintai akan membuat ibu dari anak berkebutuhan khusus merasa didengarkan, diperhatikan, dan spesial (Resinck et al, 1997 dalam Benard, 2004).
High expectations adalah pesan verbal dan nonverbal dari keluarga yang
mengekspresikan kepada ibu dari anak berkebutuhan khusus bahwa mereka mampu untuk melakukan apa yang mereka cita-citakan dan sukses dalam mencapai tujuannya. Apabila keluarga memiliki keyakinan positif bahwa ibu dari anak berkebutuhan khusus mampu mendidik anaknya dan mengatasi kesulitan yang ada, serta memberikan semangat, ibu akan cenderung termotivasi memenuhi harapan tersebut (Brooks & Goldstein, 2001, dalam Benard 2004).
20
Universitas Kristen Maranatha
melakukan aktivitas yang diminati atau melakukan kegiatan yang menantang akan memfasilitasi terbentuknya resiliensi (Hattie et al, 1997; Larson, 2000; Werner & Smith, 1992 dalam Benard, 2004).
Ketika mendapatkan caring relationship, high expectations, dan opportunities to participate or contribution dari keluarga, akan timbul
penghayatan dalam diri ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus bahwa mereka dicintai, dihargai, tidak berjuang sendiri, merasa mampu melakukan sesuatu hingga berhasil, dan merasa dapat berguna untuk lingkungannya. Dengan memiliki penghayatan tersebut, ibu anak berkebutuhan khusus akan mampu merespon positif dan memancing respon positif anggota keluarganya, mampu menjalin hubungan dengan orang lain secara positif, mampu memahami sudut pandang orang lain dan peduli terhadap sudut pandang tersebut, serta berusaha menolong orang yang mengalami masalah (social competence). Ibu juga mampu untuk berpikir fleksibel ketika mengalami hambatan dengan memikirkan jalan lain, mampu memahami masalah yang sedang dihadapi dan mencari solusi yang tepat (problem solving). Penghayatan bahwa keluarga percaya pada kemampuan ibu dan memberikan kesempatan pada ibu untuk dapat menyelesaikan masalahnya akan membuat ibu memiliki rasa percaya diri bahwa mereka dapat beradaptasi dengan keadaan anaknya dan mampu mendidik anaknya menjadi pribadi yang mandiri (autonomy) serta memiliki harapan atau keyakinan dan membuat perencanaan untuk masa depannya (sense of purpose dan bright future).
21
Universitas Kristen Maranatha
mereka. Komunitas tersebut dapat bermacam-macam bentuknya, seperti komunitas dimana ibu bekerja, perkumpulan orang tua di sekolah atau di tempat terapi anaknya yang berkebutuhan khusus. Hubungan yang hangat, perasaan dimengerti dan didengarkan tanpa dihakimi, bantuan dalam mengambil keputusan-keputusan penting yang diberikan oleh komunitas memberikan perasaan aman, didengarkan, dan dihargai (caring relationship). High expectations dapat juga diberikan oleh komunitas dengan memberi keyakinan
bahwa ibu mampu untuk beradaptasi dan tetap produktif walaupun mereka berada dalam keadaan yang menekan. Harapan yang diberikan oleh orang lain bahwa ibu anak berkebutuhan khusus mampu untuk mendidik anaknya juga dapat memberi kekuatan ketika ibu anak berkebutuhan khusus putus ada dengan keadaan anaknya yang tidak mengalami kemajuan. Komunitas juga dapat memberikan kesempatan kepada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk mengikuti aktivitas bersama dalam suatu kelompok. Masyarakat bisa juga memberikan kesempatan kepada ibu anak berkebutuhan khusus untuk memberikan kontribusi pada suatu kegiatan, misalnya sharing tentang pengalaman mengasuh anak berkebutuhan khusus dan cara-cara belajar yang efektif bagi anak berkebutuhan khusus (opportunities to participate or contribution).
Caring relationship, high expectations, dan opportunities to participate or
contribution yang diberikan oleh komunitas bagi orang tua anak berkebutuhan
22
Universitas Kristen Maranatha
memiliki kebutuhan khusus. Selain itu orang tua juga merasa berguna bagi lingkungannya sehingga merasa bukan sebagai pihak yang menerima bantuan saja. Dengan memiliki penghayatan tersebut, ibu akan dapat berbagi pengalaman dan perasaan mereka, bertukar pendapat tanpa saling menyinggung, dan saling menguatkan (social competence). Ketika bertukar pendapat dan berbagi pengalaman, ibu mendapat insight dan jalan lain untuk masalahnya dengan cara mencoba mengikuti pengalaman orang tua lain yang sudah berhasil (problem solving). Ini akan mengakibatkan ibu merasa mampu untuk menghadapi masalah
yang ada, dan meningkatkan kepercayaan diri mereka (autonomy). Di atas semuanya itu, mereka tetap memiliki keyakinan dan harapan bahwa tindakan yang mereka lakukan demi anaknya yang berkebutuhan khusus akan memberi kemajuan (sense of purpose and bright future). Dengan kata lain, apabila mendapatkan dukungan dari keluarga dan komunitas maka akan memungkinkan ibu memiliki resiliensi yang tinggi.
Sebaliknya resiliensi ibu anak berkebutuhan khusus akan cenderung rendah apabila tidak memiliki caring relationship dengan keluarga dan lingkungan. Keluarga dan lingkungan tidak mengasihi ibu anak berkebutuhan khusus apa adanya, tidak ada jika dibutuhkan, hubungan yang terbentuk cenderung kaku dan formal. Keluarga dan lingkungan tidak memberikan high expectation dan opportunities to participate or contribution, bersikap
23
Universitas Kristen Maranatha
24
Universitas Kristen Maranatha
Skema 1.1 Kerangka Pikir
1.6 Asumsi Penelitian
1. Kehadiran anak berkebutuhan khusus dalam sebuah keluarga dapat
menjadi sebuah keadaan yang menekan (adversity).
2. Ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus membutuhkan resiliensi
untuk dapat beradaptasi dan produktif di tengah keadaan yang menekan. Ibu yang memiliki
anak berkebutuhan
25
Universitas Kristen Maranatha
3. Resiliensi diukur melalui empat aspek, yaitu: social competence, problem solving, autonomy, dan sense of purpose and bright future
4. Ibu mendapatkan protective factors dari keluarga dan komunitas yang
memberikan variasi terhadap resiliensinya.
5. Protective factors diukur melalui caring relationship, high expectation
messages, dan opportunities to participate or contribution.
1.7 Hipotesa Penelitian
1. Protective factors memberikan kontribusi terhadap resiliensi ibu yang
memiliki anak berkebutuhan khusus di kota Bandung.
2. Protective factors memberikan kontribusi terhadap social competence ibu
yang memiliki anak berkebutuhan khusus di kota Bandung.
3. Protective factors memberikan kontribusi terhadap problem solving skill ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di kota Bandung.
4. Protective factors memberikan kontribusi terhadap autonomy ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di kota Bandung.
108
Universitas Kristen Maranatha
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bagian ini akan dipaparkan kesimpulan dan saran yang berkaitan
dengan penelitian yang telah dilakukan, serta keterbatasan penelitian. Pertama
akan dimulai dengan kesimpulan, lalu dilanjutkan dengan saran.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Protective factors yang memiliki kontribusi signifikan dalam
memfasilitasi perkembangan resiliensi adalah family protective factor
sebesar 44% (α = 5%), dan community protective factor sebesar 49% (α =
5%).
2. Family protective factor yang paling signifikan berkontribusi pada
resiliensi adalah family high expectation. Community protective factor
yang paling signifikan berkontribusi pada resiliensi adalah community
opportunities to participate and contribute dan community high
expectation.
3. Family protective factor yang kontribusinya tidak signifikan pada
resiliensi adalah family caring relationship dan family opportunities to
109
Universitas Kristen Maranatha
kontribusinya tidak signifikan pada resiliensi adalah community caring
relationship.
4. Protective factor memiliki kontribusi yang signifikan dalam memfasilitasi
perkembangan aspek-aspek resiliensi (personal strength). Kontribusi
family protective factor pada social competence sebesar 47% (α = 5%),
kontribusi community protective factor pada social competence sebesar
58% (α = 5%). Kontribusi family protective factor pada problem solving
skill sebesar 34% (α = 5%). Kontribusi family protective factor pada
autonomy sebesar 25% (α = 5%), kontribusi community protective factor
pada autonomy sebesar 43% (α = 5%). Kontribusi family protective factor
pada sense of purpose and bright future sebesar 20% (α = 5%).
5. Family protective factor yang paling signifikan berkontribusi pada social
competence adalah family high expectation dan family opportunities to
participate and contribute. Pada problem solving skill adalah family
opportunities to participate and contribute. Pada autonomy adalah family
high expectation. Pada sense of purpose and bright future adalah family
high expectation.
6. Community protective factor yang paling signifikan berkontribusi pada
social competence adalah community opportunities to participate and
contribute dan community high expectation. Pada autonomy adalah
community opportunities to participate and contribute.
7. Family protective factor yang kontribusinya tidak signifikan pada social
110
Universitas Kristen Maranatha
adalah family caring relationship dan family high expectation. Pada
autonomy adalah family caring relationship dan dan family opportunities
to participate and contribute. Pada sense of purpose and bright future
adalah family caring relationship dan dan family opportunities to
participate and contribute.
8. Community protective factor yang kontribusinya tidak signifikan pada
social competence adalah community caring relationship. Pada problem
solving skill adalah community caring relationship, community high
expectation, dan community opportunities to participate and contribute.
Pada autonomy adalah community caring relationship,dan community high
expectation. Pada sense of purpose and bright future adalah community
caring relationship, community high expectation, dan community
opportunities to participate and contribute.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti mengajukan beberapa saran
yang dapat dipertimbangkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan sehubungan
dengan penelitian ini, yaitu:
5.2.2 Saran Bagi Peneliti Lain
• Dalam diskusi ditemukan beberapa hasil yang masih berupa pemikiran
hipotesis, maka disarankan untuk melakukan penelitian mengenai
kontribusi protective factor dari keluarga dan komunitas pada setiap aspek
111
Universitas Kristen Maranatha
5.2.3 Saran Guna Laksana
• Keluarga dari ibu anak berkebutuhan khusus dapat membentuk suatu
wadah atau ikut serta dalam suatu perkumpulan keluarga anak
berkebutuhan khusus yang didalamnya bisa diadakan berbagai macam
pelatihan atau seminar, khususnya yang berkaitan dengan pentingnya
memberikan ekspektasi yang moderat (tidak berlebihan) pada ibu anak
berkebutuhan khusus guna memfasilitasi perkembangan resiliensi.
• Komunitas dapat mengadakan seminar bagi masyarakat umum mengenai
pentingnya memberi dukungan pada ibu anak berkebutuhan khusus
dengan mempercayai kemampuan ibu untuk dapat mengasuh dan menjadi
pribadi yang baik dalam keluarga maupun masyarakat, memberikan
kesempatan kepada ibu untuk bertanggung jawab menyelesaikan
masalahnya sendiri, dan memberikan kesempatan pada ibu untuk ikut
terlibat dalam kegiatan bersama, atau memberikan kontribusi bagi
masyarakat, karena hal tersebut diperlukan untuk memfasilitasi
perkembangan resiliensi.
• Diharapkan sekolah atau tempat terapi anak berkebutuhan khusus dapat
mengadakan lebih banyak seminar dan pertemuan sesama orang tua anak
berkebutuhan khusus (gathering). Hal ini sangat berguna untuk sharing
masalah yang mereka alami, dan menambah pengetahuan sesama orangtua
anak berkebutuhan khusus mengenai hal-hal yang baru dalam mengasuh
112
Universitas Kristen Maranatha
• Keluarga dapat membantu ibu untuk mengerjakan pekerjaan rumah
sehari-hari dan mengasuh anak berkebutuhan khusus dalam keluarga, hal ini
berguna selain ibu dapat beristirahat, ibu juga dapat memiliki waktu luang
Universitas Kristen Maranatha
113
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, Anne. 1990. Psychological Testing, 6th ed. New York: Macmillan Publishing Company.
Benard, Bonnie. 1991. Fostering Resiliency in Kids: Protective Factors in the Family, School, and Community. Portland: Northwest Regional Educational Laboratory.
Benard, Bonnie. 2004. Resiliency: What We Have Learned. San Francisco: WestEd.
Chaplin, James P. 1975. A Dictionary of Psychology. New York: A Laurel Edition.
Denscombe, Martyn. 2003. The Good Research Guide for Small-scale Social Research Projects. Philadelphia: Open University Press.
Duvall, Evelyn Ruth Millis. 1977. Marriage and Family Development. Philadelphia: J. B. Lippincott Company.
Graziano, Anthony M. dan Michael L. Raulin. 2000. Research Methods: A Process of Inquiry, 4th ed. United States of America: Allyn & Bacon.
Gargiulo, Richard M. 1985. Working with Parents of Exceptional Children: A Guide for Profesionals. Boston: Houghton Mifflin Company.
Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Grasindo.