• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI TEPUNG LARVA LALAT BLACK SOLDIER FLY (Hermetia illucens L.) SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF PEMELIHARAAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti (L.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "POTENSI TEPUNG LARVA LALAT BLACK SOLDIER FLY (Hermetia illucens L.) SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF PEMELIHARAAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti (L."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

DEWI RAHMAH FADILAH

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1440 H

(2)
(3)
(4)
(5)

i

(Hermetia illucens L.) sebagai Pakan Alternatif Pemeliharaan Larva Nyamuk Aedes aegpti (L.). Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dibimbing oleh Beni Ernawan, M.Si dan Narti Fitriana, M.Si. 2018

Penggunaan pakan komersil untuk pemeliharaan larva nyamuk Aedes aegypti (L.) pada program Teknik Serangga Mandul (TSM) relatif mahal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi tepung larva lalat black soldier fly (Hermetia illucens L.) sebagai pakan alternatif larva nyamuk A. aegypti (L.) Penilaian potensi didasarkan pada hasil kandungan nutrisi pakan dan parameter entomologis nyamuk A. aegypti meliputi waktu pertumbuhan, persentase kematian dan produktivitas.

Tepung larva lalat dibandingkan dengan pakan komersil (pakan ikan koi dan pakan anjing). Kandungan nutrisi tepung larva lalat lebih tinggi dibandingkan pakan ikan koi dan pakan anjing pada kandungan bahan kering (98,28%), kadar abu (9,25%), protein kasar (31,1%), serat kasar (5,48%), lemak kasar (36,31%) dan asam amino.

Penggunaan tepung larva lalat menghasilkan persentase kematian larva dan pupa nyamuk A.aegypti (L.) yang lebih rendah dibandingkan pakan ikan koi dan pakan anjing, yaitu 2,66% dan 0,00%. Penggunaan tepung larva lalat juga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan pakan ikan koi dan pakan anjing pada parameter persentase pupa jantan (74,30%), persentase pupa betina (25,2%), berat pupa jantan (0,47 mg), berat pupa betina (0,72 mg) dan persentase kemunculan dewasa (100%). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tepung larva lalat berpotensi digunakan sebagai pakan alternatif pemeliharaan larva nyamuk A.

aegypti (L.).

Kata kunci: Aedes aegypti, Teknik Serangga Mandul (TSM), tepung larva lalat black soldier fly (H.illucens)

(6)

ii

Undergraduate Thesis. Departement of Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic University of Syarif Hidayatullah Jakarta. Advised by Beni Ernawan, M.Si and Narti Fitriana, M.Si. 2018

Commercial diets are expensive to used Aedes aegypti larval rearing in Sterile Insect Technique (SIT) programme. The present study was to analyze the potential of black soldier fly (Hermetia illucens L.) larval flour as an alternative diet for A.

aegypti larval. The assessment will be conducted based on the nutritional analysis of the diet and entomological parameters of A. aegypti, which were the growth time, mortality and productivity. Black soldier fly larval flour was compared to commercial diets (koi fish and dog diet). The data showed that the nutritional compound of fly larval flour was higher than koi fish and dog diet on dry matter (98,28%), ash (9,25%), crude protein (31,1%), crude fiber (5,48%), extract ether (36,31%) and amino acids. The data showed that the mortality of A. aegypti from used fly larval flour was less than koi fish and dog diet, which were larval and pupal mortality parameters (2,66% and 0,00%). The data also showed that the productivity of A.aegypti from used fly larval flour was higher than koi fish and dog diet, which were percentage of male pupal (74,30%), percentage of female pupal (25,52%), mass of male pupal (0,47 mg), mass of female pupal (0,72 mg) and the percentage of emergence parameters (100%). Based on these results, it was concluded that fly larval flour has potential as an alternative diet to A. aegypti larval rearing.

Keywords: Aedes aegypti (L.), black soldier fly (H.illucens L.) larval flour, Sterile Insect Technique (SIT)

(7)

iii

dan Karunia-Nya. Shalawat serta salam Penulis haturkan kepada Sang Pemimpin Umat Muhammad SAW yang telah menjadi inspirator ilmu pengetahuan, sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi merupakan kewajiban yang diperuntukkan kepada Penulis sebagai mahasiswa dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis melakukan penelitian skripsi berjudul “ Potensi Tepung Lalat Black Sodier Fly (Hermetia illucens L.) Sebagai Pakan Alternatif Pemeliharaan

Larva Nyamuk Aedes aegypti L.”. Penyelesaian penulisan dan penyusunan skripsi oleh Penulis dibantu oleh berbagai pihak baik moriil maupun materiil, untuk itu dalam kesempatan ini penulis berterimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Orang tua tersayang yaitu Ade Supriatna dan Neneng Siti Jamsiah yang telah memberikan izin, dukungan serta motivasi selama melaksanakan perkuliahan jenjang SI.

2. Dr. Dasumiati, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan izin kepada penulis dari masa pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian skripsi.

(8)

iv

4. Beni Ernawan, M. Si dan Hadian Iman Sasmita, S.Si beserta staf selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. Narti Fitriana, M. Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan motivasi, arahan, kritik dan saran yang bermanfaat kepada penulis hingga penyelesaian skripsi.

6. Ishma Fatiha Karimah, Ade Lisdaniyah dan Qurrota A’yun Wahyuni selaku teman tersayang beserta keluarga yang telah memberikan dukungan akomodasi dan morill kepada penulis selama melakukan penelitian.

7. Teman-teman Program Studi Biologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2014 yang menjadi sumber inspirasi dan motivasi, sehingga penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih belum sempurna, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca guna meningkatkan ilmu pengetahuan untuk kemajuan umat manusia. Amiin

Jakarta, Oktober 2018

Penulis

(9)

v

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah... ..3

1.3 Hipotesis ...3

1.4 Tujuan ...4

1.5 Manfaat ...4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nyamuk Aedes aegypti 2.1.1 Morfologi ...5

2.1.2 Siklus Hidup ...6

2.2 Biologi Lalat Black Soldier Fly (Hermetia illucens) 2.2.1 Morfologi ...9

2.2.2 Siklus Hidup ... 10

2.3 Teknik Serangga Mandul (TSM) 2.3.1 Sejarah ... 12

2.3.2 Prinsip ... 13

2.3.3 Pakan pemeliharaan larva Aedes aegypti ... 14

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 18

3.2 Alat dan Bahan ... 18

3.3 Metode Penelitian ... 19

A. Pemeliharaan massal nyamuk Aedes aegypti ... 19

(10)

vi

E. Pengukuran faktor abiotik selama pemeliharaan ... 21

3.4 Analisis Data 3.4.1 Waktu pertumbuhan ... 22

3.4.2 Persentase kematian ... 22

3.4.3 Produktivitas A. Persentase pupa jantan dan betina (sex ratio) ... 23

B. Berat pupa jantan dan betina ... 23

C. Persentase kemunculan dewasa ... 24

3.5 Analisa Statistik ... 24

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kandungan nutrisi pakan ... 25

4.2 Faktor abiotik pemeliharaan larva Aedes aegypti ... 34

4.3 Pengaruh penggunaan pakan terhadap waktu pertumbuhan Aedes aegypti... 35

4.4 Pengaruh penggunaan pakan terhadap persentase kematian Aedes aegypti... 39

4.4 Pengaruh penggunaan pakan terhadap produktivitas Aedes aegypti... 40

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 46

5.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

LAMPIRAN ... 55

(11)

vii

Tabel 2. Hasil uji analisis asam amino tepung larva lalat black soldier fly (Hermetia illucens L.), pakan ikan koi dan pakan anjing ... 26 Tabel 3. Hasil pengukuran faktor abiotik pemeliharaan larva Aedes aegypti .. 34 Tabel 4. Pengaruh penggunaan pakan terhadap waktu pertumbuhan

Aedes aegypti ... 36 Tabel 5. Pengaruh penggunaan pakan terhadap persentase kematian

Aedes aegypti ... 39 Tabel 6. Pengaruh penggunaan pakan terhadap produktivitas Aedes aegypti . 41

(12)

viii

Gambar 3. Morfologi lalat black soldier fly (Hermetia illucens L.) ... 10 Gambar 4. Siklus hidup black soldier fly (Hermetia illucens L.) ... 11 Gambar 5. Representasi prinsip dasar teknik serangga mandul ... 13 Gambar 6. Larva black soldier fly (Hermetia illucens L.) umur ±18-21 hari . 18

(13)

ix

Aedes aegypti ... 55 Lampiran 3. Output analisis statistik One way ANOVA pos hoc Tukey untuk

parameter waktu pertumbuhan Aedes aegypti. ... 56 Lampiran 4. Output analisis statistik One way ANOVA pos hoc Tukey untuk

parameter persentase kematian Aedes aegypti ... 57 Lampiran 5.Output analisis statistik One way ANOVA pos hoc Tukey untuk

parameter produktivitas Aedes aegypti ... 59 Lampiran 6. Kerangka berpikir ... 62 Lampiran 7. Alur penelitian ... 63

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Aedes aegypti merupakan spesies nyamuk yang populer karena perannya sebagai vektor beberapa penyakit seperti dengue, chikungunya, demam kuning, dan zika (Ortenzio et al., 2017; Staples et al., 2017; Staples, Breiman, & Powers, 2017).

Persebaran vektor tersebut meliputi daerah tropis dan subtropis Afrika, Amerika, Asia bahkan area Mediterania di Eropa. Persebaran vektor dilaporkan telah merata di 33 provinsi di Indonesia (Amer & Arabia, 1995; Karyanti & Hadinegoro, 2009;

Staples, Breiman, & Power, 2017).

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, berbagai strategi telah dilakukan sebagai upaya pencegahan dan pembatasan transmisi penyakit. Upaya yang dilakukan meliputi pembuatan obat dan vaksin serta pengontrolan populasi vektor. Pengontrolan populasi vektor A. aegypti yang potensial dilakukan adalah menggunakan Teknik Serangga Mandul (TSM) (Knipling, 1955). Kesuksesan program TSM dalam pengendalian populasi vektor ditentukan oleh keberhasilan seluruh prosedur kerja, khususnya pemeliharaan massal serangga di laboratorium (Knipling, 1955; Wilke & Marrelli, 2012).

Pemeliharaan massal dalam TSM merupakan faktor kunci untuk menghasilkan serangga dengan kualitas terbaik dalam jumlah banyak dan seragam untuk dilepas ke area target (Alphey et al., 2010). Pemeliharaan massal nyamuk dalam praktiknya memiliki beberapa kendala, salah satunya adalah penggunaan beberapa pakan dalam pemeliharaan larva nyamuk umumnya relatif mahal, sulit

(15)

diperoleh, sulit dibuat ulang, dianggap belum optimal dalam memproduksi pupa atau nyamuk jantan dalam jumlah banyak serta membutuhkan waktu pemeliharaan yang relatif lama (Araújo, Silva & Gil, 2012; Khan, Farid, & Zeb, 2013; Puggioli et al., 2013). Beberapa jenis pakan yang umum digunakan dalam pemeliharaan larva nyamuk diantaranya menggunakan produk-produk komersil seperti pakan hewan (pakan ikan dan anjing), tepung hati sapi, tepung tuna, dan tepung udang (Asahina, 1964; Damiens et al., 2012; Sasmita & Ernawan, 2014; Lang et al., 2017).

Upaya optimalisasi proses pemeliharaan larva nyamuk perlu dilakukan, salah satunya dengan mencari pakan alternatif. Lalat black soldier fly (Hermetia illucens L.) merupakan spesies lalat yang memiliki tingkat populasi tinggi dan umumnya dimanfaatkan untuk produksi biomassa (Makkar et al., 2014). Aplikasi pemeliharaan lalat tersebut juga mudah dikembangkan sehingga dinilai lebih murah jika dijadikan bahan pakan hewan (Makkar et al., 2014) . Larva dari lalat tersebut telah digunakan sebagai pakan utama maupun komponen tambahan pada pakan hewan ternak dan budidaya karena kandungan proteinnya yang tinggi (Hu et al., 2017). Kesuksesan penggunaan larva lalat black soldier fly telah dilaporkan dalam beberapa penelitian. Larva lalat tersebut berhasil digunakan sebagai pakan pada beberapa spesies ikan air tawar dan air asin seperti Palteobagrus fulfidraco, Oreochromis niloticus, Lates calcarifer, ayam broiler, dan Pasific white shrimp (Cummins et al., 2017; Hu et al., 2017; Katya et al., 2017; Mohammed et al., 2017;

Muin et al., 2017; Schiavone et al., 2017). Namun, penggunaan larva lalat tersebut untuk pemeliharaan larva nyamuk belum dilaporkan.

(16)

Keberhasilan penggunaan larva lalat black soldier fly sebagai pakan pemeliharaan hewan ternak dan budidaya diduga dapat diaplikasikan sebagai pakan alternatif pemeliharaan larva nyamuk. Hal tersebut mengingat adanya kesamaan penggunaan pakan dalam praktik pemeliharaan keduanya. Larva lalat tersebut juga mudah dikeringkan dan dibuat tepung sehingga penggunaannya dapat disesuaikan untuk pemeliharaan larva nyamuk. Potensi tepung larva lalat sebagai pakan dapat diketahui dengan melihat kandungan nutrisi dan pengaruh penggunaan pakan terhadap waktu pertumbuhan, persentase kematian dan produktivitas nyamuk (Puggioli et al., 2013; Muin et al., 2017). Penelitian ini penting dilakukan untuk mengoptimalkan pemeliharaan larva nyamuk guna mempersingkat waktu pemeliharaan, mengurangi penggunaan pakan komersil dan biaya pemeliharaan massal larva nyamuk dalam TSM.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah tepung larva lalat black soldier fly berpotensi digunakan sebagai pakan alternatif pemeliharaan larva nyamuk A. aegypti?

1.3 Hipotesis

1) Tepung larva lalat black soldier fly berpotensi digunakan sebagai pakan alternatif pemeliharaan larva A. aegypti berdasarkan komposisi nutrisi dan pengaruhnya terhadap waktu pertumbuhan, persentase kematian dan produktivitas nyamuk A. aegypti.

2) Penggunaan tepung larva lalat black soldier fly mampu mempercepat waktu pertumbuhan, menurunkan persentase kamatian dan meningkatkan produktivitas nyamuk A. aegypti.

(17)

1.4 Tujuan

Menganalisis potensi tepung larva lalat black soldier fly sebagai pakan alternatif pemeliharaan larva nyamuk A. aegypti.

1.5 Manfaat

Memberikan rekomendasi pakan alternatif untuk pemeliharaan larva nyamuk A.

aegypti. Penelitian diharapkan mampu berkontribusi pada pengembangan TSM untuk program pengendalian populasi nyamuk A. aegypti di Indonesia.

(18)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nyamuk Aedes aegypti (L.)

2.1.1 Morfologi

Nyamuk Aedes aegypti (Linnaeus) termasuk dalam kelas Insekta, ordo Diptera, famili Culicidae, genus Aedes, subgenus Stegomyia (Reinert, Harbach, &

Kitching, 2004). Nyamuk dewasa berukuran relatif kecil, berkisar antara 4-7 mm.

Nyamuk ini mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan terutama pada kaki dan dikenal khas sebagai nyamuk yang mempunyai gambaran lira (lire-form) pada punggungnya (mesonotum) (European Centre for Disease Prevention and Control, 2015).

Gambar 1. Morfologi nyamuk Aedes aegypti (Nelson, 1986)

Punggung nyamuk berwarna hitam dengan dua garis putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih (Supartha, 2008).

(19)

Nyamuk jantan umumnya lebih kecil dari betina dan terdapat rambut- rambut tebal pada antenanya. Terdapat strip atau garis putih pada segmen tarsal di kaki belakang (Gambar 1). Abdomen umumnya berwarna coklat gelap juga bergaris putih (Zettel & Kaufman, 2013).

2.1.2 Siklus Hidup

Nyamuk A. aegypti merupakan serangga holometabola, yaitu serangga dengan metamorfosis sempurna (Zettel & Kaufman, 2013). Metamorfosis diawali dengan stadium telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa (Gambar 2).

Gambar 2. Siklus hidup Aedes aegypti (L.) (National Center for Emerging and Zoonotic Infectious Disease, 2017)

Telur nyamuk berukuran ±1 mm, memiliki bentuk lonjong dan memiliki tekstur permukaan yang halus. Nyamuk betina akan meletakkan telur di dekat permukaan air. Saat diletakkan, telur berwarna putih kemudian dengan cepat berubah warna menjadi hitam mengkilap. Perkembangan embrio biasanya selesai dalam 48 jam jika lingkungannya hangat dan lembab, namun membutuhkan waktu

(20)

hingga 5 hari pada suhu yang lebih rendah. Ketika perkembangan embrionik selesai, telur dalam keadaan kering dapat dormansi selama ±1 tahun (Nelson, 1986).

Ketika tergenang air, telur akan menetas antara 3-4 jam menjadi larva (Supartha, 2008). Nyamuk betina dapat memproduksi telur antara 100-200 per satu kali produksi (Zettel & Kaufman, 2013).

Larva nyamuk menempel pada batang perindukan di badan air. Larva akan mengambil oksigen menggunakan sifon pada bagian posterior tubuh dengan cara menggantung pada badan air secara vertikal. Larva berukuran ±0,5-1 cm dan dapat dibedakan dari spesies lain dengan melihat ciri sifonnya yang pendek. Larva memiliki bentuk kepala avoid, torak dan 9 segmen abdomen. Larva di alam memakan partikulat organik seperti alga dan organisme mikroskopik lain di dasar air (Nelson, 1986). Larva umumnya mulai makan pada saat instar I (Telang &

Wells, 2004).

Larva nyamuk terdiri dari empat instar. Instar I muncul setelah penetasan telur. Setelah berumur 1-2 hari, larva mulai makan dan tumbuh kemudian menjadi instar II. Kapsul kepala dan sifon berwarna transparan, namun seiring dengan perkembangannya akan mengeras dan berwarna gelap. Setelah instar II, kapsul kepala dan sifon tidak akan berubah ukuran, tetapi toraks dan abdomen akan terus tumbuh pada tahap berikutnya (Nelson, 1986). Perkembangan larva sangat dipengaruhi oleh suhu, ketersediaan dan nutrisi makanan serta kepadatan.

Perkembangan larva instar I sangat cepat, sedangkan instar IV membutuhkan waktu lebih lama seiring dengan meningkatnya ukuran dan berat larva (Nelson, 1986).

Perkembangan di bawah kondisi optimal dari menetas hingga pupasi berlangsung

(21)

selama 5 hari, namun umumnya 7 sampai 14 hari (Nelson, 1986). Setelah larva instar IV, A. aegypti akan memasuki fase pupa.

Larva nyamuk membutuhkan asupan protein yang tinggi. Protein dalam perkembangan larva dibutuhkan untuk pembentukan organ khususnya bagian toraks. Akhir instar dari larva, nutrisi yang diperlukan adalah glikogen dan lipid sebagai cadangan untuk fase pupa. Akumulasi protein, glikogen dan lipid pada fase larva berpengaruh terhadap bobot tubuh pupa dan dewasa (Timmermann & Briegel, 1999).

Pupa nyamuk bersifat bergerak atau mampu berpindah (mobile) dan akan menghasilkan respon ketika ada rangsangan dari lingkungan. Pada fase ini, pupa tidak memerlukan makanan apapun ±2-3 hari untuk kemudian menjadi nyamuk dewasa (Nelson, 1986). Pupa memanfaatkan cadangan makanan yang diakumulasi pada fase larva, yaitu glikogen dan lipid hingga kemunculan dewasa (Timmermann

& Briegel, 1999). Berat pupa jantan berkisar antara 1-2,6 mg, sedangkan pupa betina berkisar antara 2-2,6 mg. Berat pupa berpengaruh terhadap ketahanan, kemampuan terbang, dan kesuburan nyamuk dewasa (Steinwascher, 1982).

Setelah tahap pupa, nyamuk dewasa akan keluar (emerged). Nyamuk dewasa akan singgah (resting) pada permukaan tempat perindukan dalam beberapa jam untuk memperkuat eksoskeleton dan sayap (Nelson, 1986). Cadangan glikogen dan lipid yang berasal dari akumulasi pada fase larva digunakan untuk memperpanjang umur pada awal kemunculan ini karena nyamuk belum mampu terbang untuk mencari nektar bunga atau sumber gula (Timmermann & Briegel, 1999). Setelah 24 jam sejak kemunculan dewasa, nyamuk dapat terbang dan

(22)

mencari sumber gula. Hari ketiga dari waktu kemunculan dewasa jantan dan betina akan kawin (mating). Betina akan membutuhkan suplai darah untuk pematangan telur. Proses kawin umumnya dilakukan dalam posisi terbang. Jantan akan menjepit bagian abdomen betina dengan bagian terminalia (ujung abdomen), kemudian memasukkan sperma pada saluran genitalia betina (Nelson, 1986). Kopulasi berlangsung ±1 menit, dilanjutkan inseminasi ±6 detik (Oliva et al., 2013).

Nyamuk betina umumnya tidak dapat terbang lebih dari 50 meter dalam hidupnya. Betina biasanya akan sering berada di rumah, area singgah (resting) dan tempat oviposisi. Namun, jika tempat oviposisi tidak tersedia, maka betina mampu terbang sampai 3 kilometer untuk mencari tempat bertelurnya (Nelson, 1986).

Ketika nyamuk tidak kawin, maka nyamuk akan cenderung mencari host atau singgah pada tempat-tempat gelap. Umumnya area yang ditinggali meliputi kamar tidur, kamar mandi, dan dapur. Area singgah seperti dinding, kursi, barang bergantung seperti baju, handuk, dan gorden. Posisi singgah adalah vertikal terhadap permukaan (Nelson, 1986). Nyamuk dewasa dapat hidup selama satu bulan dalam kondisi labaratorium, sedangkan beberapa minggu ketika di alam.

Banyak dewasa yang mati ketika waktu kemunculan dewasa dan setelahnya, tetapi ketahanan hariannya konstan. Kematian harian hanya berkisar 10% untuk kematian di minggu pertama dan 95% di akhir bulan (Nelson, 1986).

2.2 Biologi Lalat Black Soldier Fly (Hermetia illucens L.) 2.2.1 Morfologi

Black Soldier Fly merupakan lalat yang termasuk dalam kingdom Animalia, filum Arthopoda, kelas Insekta, ordo Diptera, famili Stratiomyidae, genus

(23)

Hermetia dan spesies H. illucens (Linnaeus) (Popa & Green, 2012). Secara umum, lalat dewasa berukuran antara 12-20 mm dengan panjang sayap antara 8-14 mm.

Bagian kaki atas berwarna hitam dengan tanda putih pada kaki belakang dan kaki bagian bawah. Secara lateral antena tersusun atas 3 segmen dengan panjang 2 kali lipat panjang kepala (Gambar 3). Bentuk tubuh jantan dan betina mirip namun ukuran tubuh betina lebih besar dan bagian perut pada segmen kedua lebih kecil daripada individu jantan (Popa & Green, 2012). Lalat ini umumnya dimanfaatkan sebagai dekomposer limbah organik di lingkungan (Li et al., 2011a).

Gambar 3. Morfologi lalat black soldier fly (Hermetia illucens L.) (Popa &

Green, 2012) 2.2.2 Siklus Hidup

Black Soldier Fly termasuk hewan dengan metamorfosis sempurna (holometabola). Metamorfosis dimulai dengan telur, larva, pupa dan dewasa. Siklus hidup berlangsung ±44 hari (Alvarez, 2012; Popa & Green, 2012) (Gambar 4).

Telur lalat akan menetas ±4 hari, masa larva ±22-24 hari, masa pupasi ±14 hari dan masa dewasa ±4 hari (Alvarez, 2012). Lalat betina meletakkan dan menyusun telurnya membentuk klaster sekitar 300-500 telur. Betina menaruh telur di tempat yang sempit dan gelap, seperti lubang-lubang kecil yang berada di dekat bahan yang

(24)

berbau menyengat seperti sampah, pupuk, kompos dan bahan terfermentasi (Alvarez, 2012; Popa & Green, 2012).

Gambar 4. Siklus hidup black soldier fly (Hermetia illucens L.) (Alvarez, 2012) Larva yang baru menetas dari telur berukuran sangat kecil, yaitu sekitar 0,07 inchi (1,88 mm). Larva bersifat photophobic, yaitu perilaku larva yang bersifat menjauhi cahaya. Perilaku tersebut dilakukan untuk mengontrol pergerakan larva dalam kondisi gelap untuk mendapatkan makanan. Larva memakan bahan-bahan organik yang tersedia di lingkungan (Popa & Green, 2012). Selama pertumbuhannya, larva memiliki 6 stadium instar. Perkembangan instar dapat diamati dengan melihat perubahan warna kulit dari putih menjadi coklat kehitaman (Popa & Green, 2012). Fase ini berlangsung selama ±18-21 hari (Fahmi, 2015) atau

±22-24 hari (Alvarez, 2012).

Larva instar akhir memiliki pelapis keras yang disebut puparium. Puparium tersebut menunjukkan bahwa larva telah memasuki masa prepupa. Prepupa

(25)

membutuhkan lingkungan yang kering, lembap dan gelap. (Alvarez, 2012; Popa &

Green, 2012). Fase dewasa berlangsung singkat, yaitu antara 4-8 hari. Fase ini, dewasa tidak memerlukan makan dan menggunakan energi dari lemak yang tersimpan dari tahap larva untuk beraktivitas. Lalat dewasa pada tahap ini hanya bertujuan untuk reproduksi. Perkawinan dimulai sekitar dua hari setelah lalat dewasa keluar dari kepompong (Popa & Green, 2012).

2.3 Teknik Serangga Mandul (TSM) 2.3.1 Sejarah

Pelepasan serangga jantan steril untuk pengendalian populasi di alam dilakukan pada periode tahun 1930-1940. Keberhasilan pertama TSM terjadi pada pengendalian Cochliomyia hominivorax (Coquerel), parasit mematikan pada hewan ternak di Amerika, Meksiko dan Amerika tengah juga Libya saat terjadi peningkatan populasi di tahun 1989 (Alphey et al., 2010). TSM juga telah berhasil dilakukan pada Mediterranean fruit fly (Medfly) Ceratitis capitata Wiedemann dan lalat buah di Amerika (tengah dan selatan), Afrika selatan, Eropa dan Asia (Alphey et al., 2010). TSM juga berhasil mengendalikan Pectinophora gossypiella Saunders di Amerika dan Cydia pomonella L. di Kanada (Alphey et al., 2010). Skala besar penggunaan TSM untuk pengendalian populasi serangga telah berhasil dilakukan di California dan Guatemala (Alphey et al., 2010). Aplikasi TSM untuk pengendalian populasi Aedes aegypti dimulai sejak 1960an di Florida, Amerika Serikat. Pada tahun 1974, aplikasi TSM di India dilaporkan memiliki hasil positif, yaitu A. aegypti yang dilepaskan mempunyai daya saing dengan jantan normal di area pelepasan (Benedict & Robinson, 2003).

(26)

2.3.2 Prinsip

Teknik serangga mandul merupakan salah satu metode potensial untuk pengendalian populasi A. aegypti. Prinsip TSM yaitu mengontrol hama dan vektor serangga dengan pelepasan serangga jantan mandul (sterile) dalam jumlah banyak ke area target. Serangga jantan mandul akan berkompetisi dengan serangga jantan normal untuk kawin dengan betina normal di alam. Hasil perkawinan diekspektasikan tidak dapat menghasilkan keturunan, sehingga fertilitas populasi dapat dikontrol (Knipling, 1955; Alphey et al., 2010). TSM memiliki beberapa keunggulan, diantaranya spesifik mengenai serangga target dan ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu sehingga aplikasinya dapat diulang (Helinski, Parker, & Knols, 2009).

Gambar 5. Representasi prinsip dasar teknik serangga mandul (Wilke & Marrelli, 2012)

TSM mengandalkan beberapa prosedur penting, antara lain pemeliharaan massal (mass rearing) serangga target di laboratorium; pemisahan antara serangga jantan dan betina; sterilisasi atau proses pemandulan serangga jantan menggunakan iradiasi (sebagai contoh: sinar-X, berkas elektron dan sinar gamma) (Gambar 5);

(27)

pengemasan (packaging) dan transportasi untuk pelepasan serangga jantan mandul ke daerah target; pemantauan dan evaluasi (Knipling, 1955; (Benedict & Robinson, 2003; Wilke & Marrelli, 2012).

2.3.3 Pakan pemeliharaan larva Aedes aegypti

Prosedur pemeliharaan massal khususnya kualitas pakan larva dan kondisi pemeliharaan secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan serangga yang dihasilkan. Nutrisi pakan saat fase larva mampu mempengaruhi waktu pertumbuhan, ketahanan, kecepatan dan keseragaman perkembangan larva, cadangan makanan dan produksi kualitas serangga dewasa yang meliputi umur, sterilitas dan kemampuan terbang (Briegel, Knüsel, & Timmermann, 2001; Telang

& Wells, 2004; Puggioli et al., 2013). Nutrisi pakan saat fase larva juga mampu mempengaruhi rasio pupa jantan dan betina (sex ratio) dan berat pupa (Puggioli et al., 2013). Pakan larva harus menyediakan nutrisi yang sesuai untuk menghindari dampak negatif yang berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan, produktifitas dan kebugaran serangga yang diproduksi (Briegel & Timmermann, 2001; Lang et al., 2017).

Penelitian mengenai jenis pakan larva dalam program TSM masih relatif sedikit, namun beberapa pakan telah digunakan dalam beberapa topik penelitian.

Pakan ikan koi, tepung hati sapi dan tuna telah digunakan dalam pemeliharaan larva Anopheles arabiensis (Damiens et al., 2012). Berbagai pakan dari polong-polongan dan tepung hati sapi digunakan sebagai pakan larva dalam pemeliharaan massal Anopheles stephensi (Khan, Farid, & Zeb, 2013). Pemeliharaan massal larva A.

albopictus pernah dilakukan dengan tiga pakan yaitu satu pakan kemasan komersil

(28)

yang dikeluarkan oleh Centro Agricoltura Ambiente (CAA) di Italia dengan kandungan utama pakan ikan, pakan kucing dan yeast serta 2 jenis pakan yang dikeluarkan oleh laboratorium Food of Agriculture Organization/International Atomic Energy Agency (FAO/IAEA) di Austria dengan kandungan utama tepung hati dan tuna (Puggioli et al., 2013). Namun, untuk pemeliharaan larva A. aegypti yang digunakan adalah pakan ikan (Lang et al., 2017) dan pada penelitian mengenai kualitas serangga jantan mandul A. aegypti di Indonesia menggunakan pakan anjing dalam proses pemeliharaan larva (Sasmita & Ernawan, 2014).

Secara umum, pakan yang dapat digunakan sebagai pakan larva nyamuk diantaranya menggunakan bahan dengan kandungan utama protein hewani (tepung hati, tepung tuna, tepung udang, skim milk) dan pakan hewan (biskuit anjing, pakan kelinci, pakan ikan) (Asahina, 1964). Perbandingan penggunaan pakan dalam beberapa penelitian tersebut secara signifikan berpengaruh terhadap waktu pemeliharaan nyamuk. Penggunaan pakan hewan komersil membutuhkan waktu pemeliharaan yang relatif lebih lama dibandingkan dengan pakan tepung hewani (tepung hati dan tuna). Namun, untuk dapat menggunakan pakan tepung hewani memiliki beberapa kendala, diantaranya harga pakan tersebut relatif mahal, sulit diperoleh dan dibuat ulang (Khan, Farid & Zeb., 2013; Puggioli et al., 2013).

Pakan yang berasal dari serangga umumnya dimanfaatkan sebagai pakan pada budidaya perairan (aquaculture). Serangga merupakan pakan alami yang tinggi nutrisi. Serangga menyediakan sumber protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral (Rumpold & Schluter, 2013). Lalat black soldier fly mudah dikembangkan aplikasi pemeliharaannya dan tidak berpotensi membawa penyakit,

(29)

sehingga pemanfaatannya dinilai lebih murah dan aman (Makkar et al., 2014).

Pemanfaatan larva lalat tersebut sebagai pakan ternak dan budidaya pada beberapa spesies hewan telah dilaporkan. Larva lalat tersebut banyak dimanfaatkan sebagai pakan utama dan komponen tambahan pada ikan air tawar dan air asin, pakan ayam broiler dan udang. Sebanyak 20% dan 50% penggunaan pakan ikan konvensional mampu direduksi dan digantikan oleh larva lalat secara berturut-turut untuk spesies ikan air tawar Palteobagrus fulfidraco dan Oreochromis niloticus. Penambahan tidak mengurangi kemampuan tumbuh secara signifikan ketika ditambahkan pada pakan ikan (Hu et al., 2017; Muin et al., 2017).

Larva lalat black soldier fly juga telah berhasil meningkatkan pertumbuhan juvenil ikan air asin barramundi Lates calcarifer sebesar 28,4% tanpa mempengaruhi kandungan proksimat dan komposisi asam amino (Katya et al., 2017). Larva lalat mampu menggantikan 33,3% penggunaan pakan ikan yang menjadi komponen dalam pakan ayam broiler tanpa mempengaruhi kemampuan tumbuh ayam dan efektif digunakan sebagai sumber formulasi pakan unggas baru (Mohammed et al., 2017; Schiavone et al., 2017). Larva lalat juga berpotensi digunakan sebagai pakan alternatif masa depan sebagai komponen tambahan pada pakan udang (Cummins et al., 2017). Penggunaan larva lalat tersebut umumnya menggunakan larva instar akhir yaitu umur ±18-21 hari. Kandungan protein pada instar akhir sekitar 40-44% sedangkan untuk instar awal kandungan protein hanya berkisar 30-33%. Kandungan protein yang tinggi sangat diperlukan dalam pemeliharaan guna meningkatkan laju pertumbuhan (growth performances) pada

(30)

hewan ternak dan budidaya (Makkar et al., 2014; Hu et al., 2017; Mohammed et al., 2017; Muin et al., 2017).

Potensi penggunaan larva lalat black soldier fly pada spesies nyamuk belum dilaporkan. Pada hewan ternak dan budidaya, penilaian potensi pakan dapat diketahui dengan melihat kandungan nutrisi pakan dan pengaruh penggunaan pakan terhadap laju pertumbuhan (growth performance), daya serap pakan (feed utilization) dan komposisi tubuh (body composition) (Muin et al., 2017). Penilaian potensi pakan nyamuk dapat diketahui berdasarkan kandungan nutrisi pakan, waktu pertumbuhan, persentase kematian (mortalitas) dan produktivitas pada tiap tahap siklus nyamuk (Puggioli et al., 2013).

Kandungan nutrisi pakan yang penting diperlukan dalam pemeliharaan larva nyamuk adalah protein. Protein mampu mempengaruhi pertumbuhan dalam siklus nyamuk, khususnya fase larva (Timmermann & Briegel, 1999). Pakan yang sesuai mampu mempercepat waktu pertumbuhan, meningkatkan produktivitas dengan tingkat kematian yang rendah (Puggioli et al., 2013; Muin et al., 2017).

Waktu pertumbuhan larva pada nyamuk dapat diketahui dengan menghitung durasi waktu pupasi dan kemunculan dewasa. Kemampuan ketahanan larva yang dapat terlihat dengan menghitung persentase kematian pada setiap tahap perkembangan nyamuk. Produktivitas dapat dilihat berdasarkan persentase pupa jantan dan betina serta berat pupa (Puggioli et al., 2013). Persentase pupa jantan diharapkan jauh lebih tinggi dibanding betina, terutama pada 24 jam pertama dari waktu pupasi.

Sehingga diharapkan mampu mempercepat jalannya prosedur lanjutan dalam TSM (Puggioli et al., 2013).

(31)

18 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2018. Pemeliharaan nyamuk Aedes aegypti (L.) dilakukan di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR-BATAN), Pasar Jum’at, Jakarta Selatan.

Pengambilan sampel larva lalat black soldier fly (Hermetia illucens L.) dilakukan di Unit Pengelolaan Sampah Merdeka, Jl. Merdeka Raya, Depok. Analisis pakan dilakukan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pemisah pupa-larva model 5412 (John W. Hock Company, USA), nampan (tray) (36x28x7cm), Bugdorm-1® (MegaView Science Co., Ltd., Taiwan), oven Heraeus T042 E, timbangan analitik Denver Instrument, termometer air raksa, pH meter digital, DO meter Lutron AW-2015, nampan alumunium, saringan, pipet tetes plastik, blender, spatula, gelas ukur 500 ml, dan kertas label.

Gambar 6. Larva lalat black soldier fly (Hermetia illucens L.) umur ±18-21 hari

(32)

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sediaan telur nyamuk A.

aegypti, 300 gram pakan anjing Pedigree® (Mars Petcare Co., Ltd., Thailand), 300 gram pakan ikan koi Takari® (PT. Central Proteinaprima Tbk., Indonesia), 500 gram larva umur ±18-21 hari lalat black soldier fly (Gambar 6).

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental. Metode ini digunakan untuk membandingkan penggunaan tepung larva lalat dengan 2 pakan sebelumnya yang umum digunakan sebagai pakan larva A. aegypti terhadap parameter yang dipelajari. Pengambilan sampel larva nyamuk dilakukan secara acak (random sampling). Cara kerja dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

A. Pemeliharaan massal nyamuk Aedes aegypti

Pemeliharaan awal menggunakan sediaan telur nyamuk yang tersedia pada tahun 2018 di Laboratorium Entomologi PAIR-BATAN. Telur ditetaskan sebanyak 0,5 g dalam 1.500 ml air. Larva nyamuk diberi makan dengan pakan anjing Pedigree®. Nyamuk dewasa dipelihara di laboratorium dengan parameter terkontrol, antara lain temperatur 26±2 °C, kelembapan relatif 75±2% RH dan periode penyinaran gelap-terang (12:12 jam) (Oliva et al., 2012). Nyamuk dewasa jantan dipelihara dalam kandang nyamuk Bugdorm-1® berukuran 30x30x30cm dan disuplai dengan larutan gula 10% (w/v), sementara nyamuk betina diberi pakan darah marmut setiap minggu untuk pematangan telur. Cangkir plastik berwarna hitam berisi air dilapisi kertas saring dimasukkan ke dalam Bugdorm-1® untuk peletakan telur nyamuk (oviposisi). Telur pada kertas saring dikeringanginkan pada

(33)

suhu ruang, sedangkan telur yang tertinggal pada wadah disaring dan dikeringkan, kemudian dimasukkan ke dalam vial plastik dan disimpan dalam toples plastik.

B. Persiapan pakan pemeliharaan

Pakan kemasan seperti pakan anjing Pedigree® dan pakan ikan koi Takari®

dituang masing-masing sebanyak 500 gram ke dalam nampan alumunium. Larva lalat umur ±18-21 hari sebanyak 500 gram dikoleksi dan dimatikan dengan memasukkan larva ke dalam freezer. Setelah ±24 jam, larva dikeluarkan kemudian didiamkan ±30 menit pada suhu ruang. Larva kemudian dicuci bersih dengan air mengalir. Air dipanaskan sebanyak ±3 liter, kemudian disiram secara cepat ke dalam wadah berisi larva yang telah dicuci bersih. Penyiraman ulang dilakukan sebanyak tiga kali sampai tekstur larva menjadi kenyal. Larva dituang ke dalam nampan alumunium yang telah dilapisi kertas saring atau koran terlebih dahulu.

Larva lalat dikeringkan dalam oven pada suhu 70 °C selama 3 hari. Pakan anjing dan ikan dikeringkan dalam oven selama 24 jam dengan suhu 70 °C. Seluruh pakan kemudian dihaluskan menggunakan blender. Semua pakan disimpan pada suhu 4

°C (Muin et al., 2017; Katya et al., 2017).

C. Analisis proksimat dan asam amino pakan

Analisis proksimat dilakukan terhadap semua pakan secara kimia menggunakan metode standar berdasarkan Association of Analytical Communities (AOAC, 2005). Kadar air dilakukan dengan metode oven (100 °C selama 24 jam).

Kadar abu dilakukan dengan pemanasan dalam tanur pada 600 °C. Protein kasar dilakukan menggunakan teknik Kjeldahl. Lemak kasar dilakukan dengan metode soxhlet. Serat kasar menggunakan fiber cap procedure yaitu pencucian dengan

(34)

larutan alkali dan asam. Asam amino dianalisis menggunakan High Performance Liquid Chromatoghraphy (HPLC).

D. Perlakuan

Percobaan dilakukan terhadap 3 pakan (3 perlakuan) yaitu pakan anjing (Pedigree®), pakan ikan koi (Takari®), dan tepung larva lalat. Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali per perlakuan. Telur nyamuk ditetaskan sebanyak 0,25 gram dalam 1.500 ml air pada wadah berukuran 29x20,5x7,5cm. Setelah menetas, larva nyamuk instar satu (umur 2 hari dari waktu penetasan) diambil secara acak sebanyak 200 larva menggunakan pipet tetes plastik. Sebanyak 3 buah wadah berbeda berukuran 29x20,5x7,5 cm disiapkan, kemudian diisi masing- masing dengan 1.000 ml air dan 200 larva instar I. Larva pada masing- masing wadah diberi pakan sebanyak 0,53 mg/larva/hari atau setara dengan 106 mg/wadah/hari (Puggioli et al., 2016) selama 7 hari. Air dalam wadah diganti setiap hari (interval 24 jam). Pengamatan pada tahap larva hingga menjadi dewasa dicatat dalam lembar pengamatan. Pengamatan meliputi waktu pertumbuhan (waktu pupasi dan kemunculan dewasa), kematian larva dan pupa, penghitungan pupa jantan dan betina, penimbangan berat basah pupa jantan dan betina serta penghitungan nyamuk dewasa yang berkembang dari pupa.

E. Pengukuran faktor abiotik selama pemeliharaan

Faktor abiotik pemeliharaan diukur sebagai parameter kontrol. Pengukuran meliputi air dan udara selama penelitian, Pengukuran faktor abiotik air dilakukan sebelum dan sesudah penggantian air (interval 24 jam). Parameter pengukuran air meliputi suhu, pH, dan kandungan O2 terlarut. Parameter pengukuran udara

(35)

meliputi suhu dan kelembaban. Hasil pengukuran dicatat setiap hari dalam lembar pengamatan.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Waktu Pertumbuhan

Waktu pertumbuhan larva nyamuk diperoleh dengan mengetahui waktu pupasi dan kemunculan dewasa. Waktu pupasi didasarkan pada durasi perkembangan larva instar I hingga awal terbentuknya pupa. Waktu kemunculan dewasa didasarkan pada durasi perkembangan larva instar I hingga kemunculan dewasa (emergence) (Puggioli et al., 2013).

3.4.2 Persentase Kematian

Persentase kematian diketahui dengan menghitung tingkat kematian pada tahap larva dan pupa nyamuk A. aegypti. Perkembangan larva instar I hingga awal terbentuknya pupa masing-masing percobaan diamati setiap hari dengan interval pengamatan 24 jam. Larva yang mati dihitung dan dibuang dari wadah (Ernawan et al., 2017). Persentase kematian larva dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 (%) =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 𝑚𝑎𝑡𝑖

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙𝑥 100%

Perkembangan pupa dari awal hingga akhir pupasi masing-masing percobaan diamati setiap hari dengan interval pengamatan 24 jam. Pupa mati dihitung dan dibuang dari wadah (Ernawan et al., 2017). Persentase kematian pupa dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑝𝑢𝑝𝑎 (%) =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑢𝑝𝑎 𝑚𝑎𝑡𝑖

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑢𝑝𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙𝑥 100%

(36)

Keterangan: Jumlah pupa awal = jumlah larva awal – jumlah larva mati 3.4.3 Produktivitas

Produktivitas nyamuk meliputi persentase pupa jantan dan betina (sex ratio), berat pupa jantan dan betina serta persentase kemunculan dewasa (emergence) nyamuk A. aegypti.

A. Persentase pupa jantan dan betina (sex ratio)

Pupa yang dihasilkan dari masing-masing percobaan dari awal hingga akhir pupasi dikoleksi setiap hari dengan interval pengamatan 24 jam. Penentuan pupa jantan dan betina dilakukan menggunakan alat pemisah pupa-larva model 5412 (John W. Hock Company, USA) (Ernawan et al., 2017). Pupa jantan dan betina disortir ulang dan dihitung secara manual menggunakan pipet tetes plastik dan dihitung menggunakan hand tally counter kemudian masukkan kedalam wadah plastik dan diberi label.

(%) =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑢𝑝𝑎 𝑗𝑎𝑛𝑡𝑎𝑛/ 𝑏𝑒𝑡𝑖𝑛𝑎

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑢𝑝𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑥 100%

Keterangan: Jumlah pupa awal = jumlah larva awal – jumlah larva mati B. Berat pupa jantan dan betina

Pupa jantan dan betina yang telah dipisahkan sebelumnya diambil secara acak masing-masing sebanyak 20 pupa dari tiap perlakuan. Pupa kemudian ditimbang beratnya dengan menggunakan timbangan analitik kemudian dicatat dalam lembar pengamatan. Data masing- masing berat pupa dari tiap perlakuan dihitung rata-rata beratnya. Berat pupa jantan dan betina dikategorikan berdasarkan ukuran. Pupa jantan tergolong kecil (berat <1,9 mg), sedang (berat 1,9-2,1 mg) dan

(37)

besar (berat >2,6 mg). Pupa betina tergolong kecil (berat <2,4 mg), sedang (2,4-2,6 mg) dan besar (berat >2,6 mg) (Steinwascher, 1982).

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑝𝑢𝑝𝑎 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎: 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑝𝑢𝑝𝑎 𝑗𝑎𝑛𝑡𝑎𝑛/𝑏𝑒𝑡𝑖𝑛𝑎 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑛 = 20) C. Persentase kemunculan dewasa

Jumlah pupa jantan dan betina dari masing- masing percobaan yang dapat berkembang menjadi nyamuk dewasa diamati selama 3x24 jam. Nyamuk dewasa yang muncul atau berkembang dari pupa dinilai sebagai positif muncul (emerged).

Sementara pupa mati dan semi-muncul dinilai sebagai tidak muncul atau tidak berkembang (non-emerged). Persentase kemunculan dewasa dihitung dengan membandingkan jumlah pupa yang dapat berkembang menjadi nyamuk dewasa dengan jumlah pupa akhir (Ernawan et al., 2017). Persentase kemunculan dewasa dapat diketahui menggunakan rumus:

(%): =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑛𝑦𝑎𝑚𝑢𝑘 𝑑𝑒𝑤𝑎𝑠𝑎

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑢𝑝𝑎 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑥 100%

Keterangan: Jumlah pupa akhir = jumlah pupa awal – jumlah pupa mati 3.5 Analisis Statistik

Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis proksimat dan asam amino pakan akan dianalisis secara deskriptif. One way-analysis of variance (ANOVA) digunakan untuk mengetahui pengaruh penggunaan pakan terhadap parameter yang diujikan. Uji Post Hoc Tukey digunakan untuk analisis lanjut perbedaan rata-rata. Tabulasi data dan analisis statistik dilakukan menggunakan software Microsoft Excel 2013 dan Statistical Package for the Social Science (SPSS) (IBM SPSS® version 22 for Windows).

(38)

25 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kandungan Nutrisi Pakan

Nutrisi adalah tahap dasar yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan larva nyamuk. Nutrisi memegang peran penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan nyamuk, khususnya Aedes aegypti (Puggioli et al., 2013).

Kandungan nutrisi pakan penting diperhatikan guna menyesuaikan kebutuhan larva nyamuk untuk mengoptimalkan proses pemeliharaan. Kandungan nutrisi pakan berupa hasil analisis proksimat dan asam amino disajikan dalam Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Hasil analisis proksimat tepung larva lalat black soldier fly (Hermetia illucens L.), pakan ikan koi dan pakan anjing

Kandungan nutrisi

Tepung larva lalat black soldier fly

(%)

Pakan ikan koi

(%)

Pakan anjing (%)

Bahan kering (dry matter) 98,28 97,91 97,09

Kadar abu (ash) 9,25 9,15 5,86

Protein kasar (crude protein) 31,10 18,45 26,29

Serat kasar (crude fiber) 5,48 0,32 0,94

Lemak kasar (extract ether) 36,31 1,93 6,64

Bahan ekstrak tanpa nitrogen 16,14 68,06 57,36

Tepung larva lalat black soldier fly secara keseluruhan memiliki kandungan nutrisi dengan persentase yang lebih tinggi dibanding pakan ikan koi dan pakan anjing, namun lebih rendah untuk persentase bahan ekstrak tanpa nitrogen (Tabel 1). Tepung larva lalat memiliki kandungan bahan kering mencapai 98,28% dan kadar abu 9,25% (Tabel 1). Tepung larva lalat tinggi kandungan protein dan lemak yaitu 31,1% dan 36,31% (Tabel 1). Tingginya kandungan protein pada tepung larva

(39)

lalat tentunya didukung oleh tingginya persentase kandungan asam amino (Tabel 2). Kandungan serat tepung larva lalat juga lebih tinggi dengan bahan ekstrak tanpa nitrogen yang lebih rendah dibandingkan pakan ikan koi dan pakan anjing, yaitu 5,48% dan 16,14% (Tabel 1).

Tabel 2. Hasil analisis asam amino pakan tepung larva lalat black soldier fly (Hermetia illucens L.), pakan ikan koi dan pakan anjing

Jenis Asam Amino

Tepung larva lalat black soldier fly

(%)

Pakan ikan koi (%)

Pakan anjing (%)

Alanin 0,97 0,66 0,59

Arginin 1,73 1,23 1,06

Asam Aspartat 2,83 1,49 1,55

Asam Glutamat 4,93 3,41 2,86

Fenilalanin 1,15 0,83 0,64

Glisin 2,10 1,74 1,34

Histidin 0,59 0,43 0,32

Isoleusin 1,05 0,76 0,54

Leusin 1,84 1,29 1,13

Lisin 1,68 1,15 0,97

Metionin 0,63 0,43 0,57

Prolin 2,34 1,71 1,08

Serin 1,74 0,49 0,80

Sistein 0,59 0,33 0,61

Tirosin 1,57 0,88 1,13

Treonin 1,19 0,97 1,12

Valin 0,75 0,53 0,33

Ketersediaan suplai nutrisi khususnya protein dari serangga menjadikannya pakan dalam industri peternakan (dietary protein). Protein merupakan komponen dasar dalam pembuatan pakan hewan yang berperan penting dalam proses pertumbuhan (WHO, 2013). Larva lalat black soldier fly memiliki kemampuan dalam mengkonversi bahan organik termasuk protein dari limbah organik ke dalam

(40)

biomassa mereka untuk kemudian digunakan dalam proses pertumbuhan (Bondari

& Sheppard, 1981; Sealey et al., 2011; Green, 2012; Makkar et al., 2014;).

Kemampuan konversi bahan organik oleh larva lalat tersebut menjadikannya sebagai pakan tinggi nutrisi khususnya protein (Makkar at al., 2014). Tingginya kandungan protein dalam tepung larva lalat black soldier fly juga diduga dipengaruhi oleh umur larva. Larva lalat yang digunakan adalah larva umur ±18-21 hari. Larva lalat segar dengan umur tersebut diketahui memiliki kandungan protein yang tergolong tinggi yaitu sekitar 45,87% (Rachmawati et al., 2010). Adanya protein yang tinggi pada larva segar memungkinkan diperolehnya hasil yang sama atau tidak berbeda secara signifikan jika dijadikan tepung.

Secara praktik, faktor eksternal seperti proses pengeringan sebenarnya telah dilakukan untuk meningkatkan kandungan protein pada larva lalat dalam penelitian ini. Proses pengeringan menggunakan oven telah diketahui mampu meningkatkan kandungan protein hingga ±4% pada larva lalat rumah (Musca domestica L.) dibandingkan pengeringan di bawah sinar matahari (Aniebo & Owen, 2015).

Fasakin, Balogun, & Ajayi (2003) juga menyatakan hal serupa, yaitu diperolehnya kandungan protein kasar yang lebih tinggi pada hasil pengeringan menggunakan oven dibandingkan pengeringan di bawah sinar matahari, namun tidak secara signifikan yaitu 43,45% dan 43,30% pada larva lalat rumah (M. domestica L.).

Adanya kesamaan proses pengeringan dimungkinkan menjadi penyebab diperolehnya persentase protein yang tinggi pada tepung larva lalat black soldier fly pada penelitian ini (Tabel 1). Namun, pengeringan diduga tidak secara signifikan meningkatkan kandungan protein pada larva lalat. Hal tersebut mengingat bahwa

(41)

selain proses pengeringan, suhu dan lamanya waktu pengeringan mampu mempengaruhi kandungan protein pada bahan pangan (Riansyah, Supiadi &

Nopianti, 2013). Hasil yang baik terkait protein pada tepung larva lalat memungkinkannya tetap mampu bersaing dengan protein pada pakan ikan koi dan pakan anjing.

Kandungan protein yang tinggi pada tepung larva lalat black soldier fly tentu terlihat pula dalam komposisi asam amino. Secara umum, tepung larva lalat memiliki konsentrasi tinggi dari masing-masing asam amino dibanding pakan ikan koi dan pakan anjing (Tabel 2). Asam amino pada tepung larva lalat juga tergolong lengkap, baik asam amino esensial (treonin, metionin, lisin, leusin, isoleusin, fenilalanin dan valin) maupun non esensial (tirosin, sistein, serin, prolin, glisin, asam glutamat, asam aspartat, arginin, alanin dan histidin) (Tabel 2). Adanya asam amino esensial diduga mampu menjamin kualitas protein tepung larva lalat untuk dijadikan pakan hewan (Mohammed et al., 2017). Mohammed et al. (2017) menyatakan bahwa larva lalat black soldier fly memiliki kualitas protein yang baik untuk dijadikan bahan pakan. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya asam amino esensial berupa lisin dan metionin sebesar 1,01% dan 0,40%. Hasil serupa diperoleh dalam penelitian ini, yaitu ditemukannya konsentrasi yang lebih tinggi pada asam amino lisin (1,68%) dan metionin (0,63%) (Tabel 2). Adanya hasil yang baik terkait asam amino tersebut, diduga mampu memperkuat kualitas protein dari tepung larva lalat black soldier fly.

Larva lalat black soldier fly telah diketahui berpotensi digunakan sebagai sumber lemak pada pakan hewan (Li et al., 2017). Kandungan lemak diketahui

(42)

meningkat seiring bertambahnya umur larva lalat (Aniebo & Owen, 2015). Larva lalat segar memiliki kandungan lemak yang tergolong tinggi, yaitu mencapai lebih dari 30% (Newton et al., 1977; Rachmawati et al., 2010). Hal yang sama juga diperoleh pada larva lalat yang telah mengalami proses pengeringan (Tabel 1).

Lemak merupakan salah satu komponen penting yang harus ada dalam pembuatan pakan hewan, khususnya hewan akuatik (Li et al., 2017). Lemak merupakan sumber komponen utama lainnya selain protein dalam pembuatan pakan (Hu et al., 2017). Lemak mampu mempengaruhi laju pertumbuhan, komposisi tubuh dan otot pada hewan akuatik, seperti yellow catfish (Pelteobagrus fulvidraco) (Hu et al., 2017). Komponen lemak yang dominan ditemukan pada larva black soldier fly adalah asam lemak (Li et al., 2017). Larva lalat tersusun atas 58-72%

saturated fatty acids dan 19-40% mono-and poly-unsaturated fatty acids dari total kandungan lemak (Li et al., 2011b; Kroeckel et al., 2012; Makkar et al., 2014;

Surendra et al., 2016). Larva lalat mengandung 21% asam laurat, 16% asam palmitat, 32% asam oleat dan 0,2% asam lemak omega-3 (Makkar et al., 2014).

Adanya kandungan lemak yang baik terutama asam lemak membuat larva lalat banyak dimanfaatkan dalam produksi minyak (black soldier oil) (Li et al., 2017).

Penggunaanya diduga mampu menggantikan penggunaan minyak kedelai (Peng et al., 2008; Deng et al., 2014; Emre et al., 2016; Li et al., 2017), minyak biji bunga matahari (Bransden, Carter & Nichols, 2003) atau minyak kelapa dalam pembuatan pakan ikan (Luo et al., 2014; Li et al., 2017).

Kandungan lemak menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan tepung larva lalat (Aniebo & Owen, 2015). Secara praktik, keberadaan

(43)

lemak yang tinggi diduga mampu mempengaruhi tekstur tepung. Kandungan lemak yang tinggi membuat butiran tepung menjadi sedikit lebih basah dibandingkan pakan ikan koi dan pakan anjing, sehingga butiran tepung cenderung mudah menggumpal (Lampiran 1). Pengurangan kandungan lemak dari larva lalat sebenarnya telah dilakukan melalui proses pengeringan. Selain menyusutkan kandungan air pada pakan melalui proses pemanasan, Aniebo & Owen (2015) menyatakan bahwa pengeringan menggunakan oven juga mampu menurunkan ±4%

kandungan lemak pada larva lalat. Keberhasilan pengeringan telah dibuktikan dengan tingginya persentase bahan kering yang mencapai 98,28% (Tabel.1).

Penyusutan kandungan air diduga telah sempurna dilakukan melalui pemanasan, namun belum terhadap kandungan lemak. Adanya kelemahan dari tekstur tepung larva lalat tersebut, maka diperlukan upaya lain untuk meningkatkan daya simpan.

Penyimpanan pakan dalam suhu 4ᵒC (Muin et al., 2017) diduga mampu meningkatkan kekeringan tepung larva lalat, sehingga daya simpan pakan menjadi lebih lama.

Larva lalat black soldier fly umur ±18-21 hari memiliki ukuran yang paling besar karena merupakan instar akhir (instar VI) (Fahmi, 2015). Ukuran yang besar memberikan keuntungan terkait biomassa yang dihasilkan. Larva tersebut diduga mampu menghasilkan biomassa yang jauh lebih banyak dibanding instar awal. Hal tersebut telah dibuktikan dengan diperolehnya persentase bahan kering (dry matter) yang tinggi yaitu sebesar 98,28% (Tabel 1). Instar awal larva lalat telah diketahui memiliki bahan kering sekitar 20-44% (Diener, Zurbrügg, & Tockner, 2009; Finke, 2012).

(44)

Kadar abu pada larva lalat black soldier fly tergolong tinggi yaitu 9,25%

(Tabel 1). Hasil yang sama juga ditemukan dalam penelitian Finke (2012) yang menyatakan bahwa kandungan mineral yang terlihat dalam kadar abu larva lalat black soldier fly tergolong tinggi (9% ) dibanding tebo worms, Turkestan cockroach nymphs, dan lalat rumah dewasa (Musca domestica L.). Makkar et al (2014) juga menyatakan hasil serupa, yaitu perolehnya kandungan mineral tergolong tinggi (28%) pada larva lalat black soldier fly dibanding lalat rumah (Musca domestica L.). Larva lalat tersebut telah diketahui mengandung mangan (Mn), besi (Fe), seng (Zn), tembaga (Cu), fosfor (P) dan kalsium (Ca) yang ditemukan dengan konsentrasi tinggi dan sodium (Na) dalam konsentrasi rendah (Dierenfeld & King, 2008).

Kandungan serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen mengindikasikan jenis karbohidrat dalam pakan. Karbohidrat dalam serat kasar meliputi selulosa, hemiselulosa dan lignin (Rina, 2015). Bahan ekstrak tanpa nitrogen meliputi karbohidrat yang umumnya mudah dicerna seperti pati dan gula (Rina, 2015).

Kedua kandungan tersebut tergolong rendah dibandingkan kandungan lain yang terdapat pada tepung larva lalat black soldier fly seperti protein dan lemak pada penelitian ini (Tabel 1). Hal tersebut sesuai dengan Manurung et al. (2016) yang menyatakan bahwa bahan organik pertama yang dikonversi oleh larva lalat dalam sistem pencernaannya adalah material yang mengandung karbohidrat dan umumnya dilakukan saat larva instar awal. Material mengandung selulosa akan terlebih dahulu terdegradasi dan kemudian dikonversi ke dalam bentuk gula-gula sederhana sebagai energi untuk pertumbuhan larva lalat (Manurung et al., 2016).

(45)

Proses konversi tersebut berlangsung selama ±21 hari dan akan dilanjutkan dengan konversi material yang mengandung protein dan lipid sebagai cadangan untuk memasuki masa pupasi (Lianiebo et al., 2011b). Menurunnya aktivitas konversi material berkarbohidrat di akhir instar dimungkinkan menjadi penyebab rendahnya kandungan serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen dalam penelitian ini (Tabel 1).

Kandungan bahan ekstrak tanpa nitrogen pada tepung larva lalat jauh lebih rendah dibandingkan pakan ikan koi dan pakan anjing (Tabel 1). Penambahan bahan yang tinggi karbohidrat umumnya memang dilakukan dalam pembuatan pakan hewan komersil, khususnya pakan ikan dan anjing (Bunch, 1997; Shields &

Bennett, 2000). Pakan ikan umumnya menambahkan beras, kedelai, kentang dan gula untuk meningkatkan karbohidrat pakan (Bunch, 1997). Pakan anjing umumnya menambahkan beras sebesar 20-40% dari total komposisi, jagung, gandum dan penambahan buah atau sayuran yang mengandung gula tinggi seperti tomat (Shields

& Bennett, 2000). Adanya komponen tersebut dalam komposisi pakan diketahui mampu meningkatkan kandungan karbohidrat pakan (Bunch, 1997; Shields &

Bennett, 2000). Hal tersebut ditemukan pula dalam komposisi bahan dari pakan ikan koi dan pakan anjing yang digunakan dalam penelitian ini. Pakan ikan koi Takari® memiliki komposisi bahan meliputi fish meal, shrimp meal, soybean meal, vitamins and mineral premix, pigmen enhancer, antioksidan dan lain-lain. Pakan anjing Pedigree® memiliki komposisi bahan meliputi jagung, kedelai, bone meal, tepung gandum, vitamin (E, D3,B2,B5, B12), biotin, L-triptofan, asam sitrat, kolin klorida dan lain-lain. Karbohidrat sederhana pada pakan berperan penting sebagai

(46)

energi awal yang digunakan dalam proses pertumbuhan hewan (Manurung et al., 2016). Kandungan bahan ekstrak tanpa nitrogen pada tepung larva lalat black soldier fly (16,14%) dimungkinkan tetap berpotensi digunakan sebagai pakan hewan. Hal tersebut mengingat bahwa tepung larva lalat hanya menggunakan satu bahan pokok dalam pembuatannya.

Secara umum, komponen penting yang harus ada dalam pakan buatan untuk pemeliharaan larva nyamuk diantaranya adalah protein atau asam amino, karbohidrat, polyunsaturated fatty acids (PUFAs), sterol, vitamin, dan nukleotida (Golberg & Meillon, 1948; Chen, 1961; Dadd & Kleinjan, 1977;1979). Secara spesifik, 14 jenis asam amino esensial telah diketahui berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan ketahanan larva nyamuk (Golberg & Meillon, 1948; Singh &

Brown, 1957). Asam amino yang mutlak diperlukan untuk pertumbuhan larva nyamuk adalah glisin, leusin, isoleusin, histidin, arginin, lisin, treonin, triptofan, fenilalanin, dan metionin. Sedangkan, asam amino spesifik seperti arginin, sistein, glisin, prolin, triptofan, tirosin dan fenilalanin dibutuhkan khusus untuk proses moulting, diferensiasi, pupasi dan kemunculan dewasa (Chen, 1961). Tepung larva lalat dinilai mampu menyediakan semua nutrisi tersebut, sehingga sangat potensial digunakan sebagai pakan alternatif dalam pemeliharaan larva nyamuk A. aegypti.

Selain itu, walaupun tepung larva lalat black soldier fly hanya memiliki satu komponen bahan (larva lalat) dalam pembuatannya, dinilai mampu menggantikan penggunaan pakan ikan koi dan pakan anjing komersil yang memiliki lebih banyak komponen pakan dengan kandungan nutrisi yang telah diatur oleh produsen,

(47)

sehingga penggunaan tepung larva lalat black soldier fly sangat direkomendasikan untuk kegiatan TSM di Indonesia.

4.2 Faktor abiotik pemeliharaan larva Aedes egypti

Faktor abiotik selama pemeliharaan penting diketahui sebagai parameter kontrol. Pengukuran parameter udara dan air perlu diperhatikan guna mencapai kondisi stabil (optimum) dalam pemeliharaan. Parameter udara meliputi pengukuran suhu dan kelembaban relatif. Parameter air meliputi pengukuran suhu, pH dan oksigen terlarut/dissolved oxygen (DO). Kondisi optimum diharapkan juga mampu meningkatkan kesuksesan pemeliharaan larva nyamuk A.aegypti.

Hasil pengukuran merupakan hasil rata-rata dari masing-masing parameter faktor abiotik selama pemeliharaan larva nyamuk A. aegypti. Suhu udara harian selama pemeliharaan larva adalah 27±2 °C dan kelembaban udara relatif 75,2±5%.

Hasil pengukuran parameter air disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengukuran suhu, pH dan oksigen terlarut (DO) air selama pemeliharaan larva nyamuk Aedes aegypti

Pakan

Parameter Air

Suhu (°C) pH DO (mg/l) Tepung larva lalat black soldier fly 26,2±2 7,2±2 5,5±2

Pakan ikan koi 26,1±2 7,0±2 5,3±2

Pakan anjing 26,1±2 7,2±2 4,7±2

Suhu dalam proses pemeliharaan nyamuk berpengaruh terhadap waktu pertumbuhan, kematian dan umur dewasa (Tunlin, Burkot & Kay 2000; Su &

Mulla, 2001; Delatte, Gimonneau, & Triboire, 2009). Suhu udara, kelembaban relatif dan suhu air dalam pemeliharaan larva A.aegypti pada penelitian ini telah

(48)

sesuai dengan Couret et al., (2014) yang menyatakan bahwa larva nyamuk A.

aegypti mampu hidup dengan ketahanan yang baik pada kisaran suhu udara 26–28

°C dan kelembaban udara relatif 60-75,5%. Suhu air 25,5-29 °C telah terbukti mampu meningkatkan produksi pupa dan mempercepat waktu pertumbuhan (Balestrino et al., 2014).

Parameter pH memegang peranan penting dalam proses homeostasis, oleh karena itu pH merupakan faktor fisik utama yang berpengaruh terhadap distribusi organisme dalam habitat akuatik (Clark, Flis, & Remold, 2004b). Rata-rata pH harian pada pemeliharaan larva dari ketiga pakan berkisar antara 7-7,2 dan oksigen terlarut 4,7-5,3 mg/L (Tabel 3). Hal tersebut masih tergolong sesuai untuk pemeliharaan nyamuk. Larva nyamuk A. aegypti memiliki range pH yang luas yaitu 4-11. Larva yang dipelihara pada pH air pada rentang 4-11 memiliki nilai pH hemolimph yang konstan yaitu di atas 7,5 di seluruh rentang pH. Namun, pH air yang disarankan dalam pemeliharaan nyamuk A. aegypti adalah 4-7. Parameter pH mampu mempengaruhi waktu pertumbuhan dan kematian larva dan pupa baik jantan maupun betina (Clark, Flis, & Remold, 2004a; Clark, Flis, & Remold, 2004b).

4.3 Pengaruh penggunaan pakan terhadap waktu pertumbuhan Aedes aegypti Waktu pupasi dan kemunculan dewasa nyamuk Aedes aegypti tidak berbeda dari ketiga pakan (Sig. 0,630 dan 0,296; P>0,05) (Lampiran 3). Durasi pertumbuhan dari larva instar I sampai terbentuknya pupa (waktu pupasi) berlangsung selama 7- 10 hari. Durasi pertumbuhan dari larva instar I sampai kemunculan dewasa berlangsung selama 9-12 hari (Tabel 4). Secara lebih rinci, instar I larva nyamuk A.

(49)

aegypti berlangsung selama ±1-2 hari, instar II selama ±1 hari, instar III selama ±1- 2 hari dan instar IV berlangsung ±1-2 hari. Pupasi (kemunculan pupa) berlangsung selama ±1-3 hari dan kemunculan dewasa berlangsung selama ±1-2 hari.

Singkatnya waktu pupasi dan kemunculan dewasa merupakan hal yang diharapkan dalam program TSM guna mempercepat produksi serangga (Bond et al., 2017). Tepung larva lalat black soldier fly dapat dikonsumsi oleh larva nyamuk A. aegypti. Hal tersebut dapat terlihat dari keberhasilan proses pertumbuhan larva menjadi pupa dan dewasa. Tepung larva lalat tidak berpengaruh negatif terhadap waktu pertumbuhan larva nyamuk. Namun, penggunaannya masih belum mampu mempercepat waktu pupasi dan kemunculan dewasa. Durasi pertumbuhan dari penggunaan tepung larva lalat black soldier fly terhadap larva nyamuk A. aegypti setara dengan penggunaan pakan ikan koi dan pakan anjing (Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh penggunaan pakan terhadap waktu pertumbuhan Aedes aegypti

Pakan

Waktu pertumbuhan (hari)

Waktu pupasi Waktu kemunculan dewasa (rata-rata±SD) (rata-rata±SD) Tepung larva lalat black soldier fly 2,00±0,00a 2,00±0,00a

Pakan ikan koi 1,67±0,57a 1,67±0,57a

Pakan anjing 1,67±0,57a 1,33±0,57a

Keterangan: Waktu pupasi 1,00 (6-10 hari) dan 2,00 (7-10 hari). Waktu kemunculan dewasa 1,00 (8-12 hari) dan 2,00 (9-12 hari). Superscript yang sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan pada uji ANOVA post hoc Tukey

Waktu metamorfosis A. aegypti dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan suhu (Tunlin, Burkot & Kay, 2000). Selama fase larva, sumber makanan yang masuk ke dalam tubuh akan disintesis dan kemudian diakumulasi. Hasil sintesis yang berupa nutrisi-nutrisi penting akan digunakan dalam proses metamorfosis dan sebagai cadangan makanan pada fase berikutnya (Briegel, Knüsel, & Timmermann,

(50)

2001; Lang et al., 2017). Larva nyamuk memerlukan nutrisi berupa protein, lipid dan glikogen untuk kesuksesan pertumbuhan (Briegel & Timmermann, 2001;

Araujo, Gil & Silva, 2012). Asam amino spesifik seperti arginin, sistein, glisin, prolin, triptofan, tirosin dan fenilalanin merupakan komponen protein penting dalam proses ini, yaitu menjamin berhasilnya proses moulting, eklosi dan diferensiasi (Chen, 1961).

Pertumbuhan larva nyamuk dikatakan berhasil ketika larva secara stabil tumbuh sampai instar akhir. Nutrisi larva pada serangga merupakan faktor penentu keberhasilan metamorfosis karena berperan penting dalam regulasi hormonal (Telang, Frame & Brown, 2007). Nutrisi memegang peran penting untuk memfasilitasi pertumbuhan, diantaranya untuk proses moulting dan eclosion (Telang, Frame, & Brown, 2007). Moulting dan Eclosion merupakan proses perubahan fase/tahap dalam metamorfosis serangga. Istilah moulting pada nyamuk digunakan saat terjadinya perubahan fase instar larva dan perubahannya menjadi pupa (Araújo, Gil & Silva, 2012). Eclosion/eklosi digunakan saat keluarnya dewasa dari pupa dan larva dari telur (Briegel, Hefti, & Dimarco, 2002; Farnesi et al., 2009).

Secara fisiologis, proses metamorfosis diatur oleh interaksi hormon otak yaitu prothoracicotropic hormone (PTTH), juvenile hormone (JH), dan hormon ekdison yang sensitif terhadap nutrisi (Telang, rame & Brown, 2007). Hormon otak disekresikan oleh bagian otak yang pelepasannya dipengaruhi oleh faktor makanan.

Adanya hormon tersebut menyebabkan sekresi hormon ekdison dan JH (Telang, Frame, & Brown, 2007). Kedua hormon berperan pengaturan proses moulting dan

Referensi

Dokumen terkait

Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawati Pers, Jakarta,2009.. Effendi, Masjur, Moh Ridwan, Muslich

Perpaduan Pengendalian Secara Hayati dan Kimiawi Hama Ulat Daun Kubis (Plutella xylostella L.; Lepidoptera: Yponomeut- idae) pada Tanaman Kubis.. Disertasi,

Tabell 9-10 Netto driftseiendeler og netto driftskapital over budsjettperioden, fra 2016 til 2025, samt siste år i analyseperioden og første år i konstant vekst. Fri kontantstrøm

Registry dalam platform sistem operasi Microsoft Windows 32-bit, merupakan sebuah basis data yang disusun secara hierarkis yang mengandung informasi mengenai konfigurasi

Dalam penelitian ini menggunakan jenis data kuantitatif dimana dalam penelitian ini yang merupakan data kuantitatif adalah jumlah investasi di Provinsi Bali, data perkembangan PDRB

Pola pembinaan yang dilakukan oleh TK/TPA Al-Muliya Kelurahan Pannampu Kecamatan Tallo pada umumnya mengacu kepada pola pembinaan TK/TPA secara Nasional, yaitu

Berdasarkan uji statistik dengan spearman rho dengan signifikan α &lt; 0,05 didapatkan hasil α = 0,000 yang nilainya lebih kecil dari α = 0,05 maka dapat

Wa h a i p a r a o r a n g t u a , bukankah kita akan menghargai dan bangga terhadap prestasi anak ketika itu sesuai dengan minat dan harapan kita? Bagaimana kalau