• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa SMPN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa SMPN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

1777 7

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

Teams Games

Tournament

(TGT) dalam Upaya Meningkatkan

Hasil Belajar Matematika Siswa SMPN

Kadir Tiya

(Dosen Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP Universitas Haluoleo, email: Abstrak : Penelitian ini merupakan jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Penelitian ini dilaksanakan sebanyak 3 siklus, dengan mengikuti prosedur yang sudah ditentukan. Dari ketiga siklus yang dilaksanakan, maka dari tahapan setiap siklus, dimana siklus I mencapai 46,88%, siklus II 68,75% dan siklus III sebesar 87,5% dari ketiga siklus masing-masing mengalami peningkatan secara signifikan. Oleh karena itu, diharapkan bagi setiap guru dalam proses pembelajaran hendaknya dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif, dengan memahami karakteristik siswa serta bahan ajar yang disesuaikan.

Kata Kunci : Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dan Hasil Belajar Matematika

PENDAHULUAN

Dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan khususnya mencakup penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu disempurnakan dan ditingkatkan kualitas proses pembelajaran matematika, upaya peningkatan kualitas proses pembelajaran matematika berpengaruh langsung terhadap peningkatan kualitas hasil belajar matematika

bagi siswa. Sekolah sebagai wadah

penyelenggaraan pendidikan mempunyai peranan penting dalam menempa siswa, membimbing dan mengajar siswa untuk meningkatkan daya atau kemampuan yang

dimilikinya. Untuk itu, sekolah

menyelenggarakan proses pembelajaran. Guru sebagai penanggung jawab dalam proses pembelajaran di kelas, dituntut untuk memberikan yang terbaik bagi siswa agar tejadi proses pembelajaran yang efektif. Salah

satu aspek yang harus dimiliki oleh guru

adalah metode penyampaian ilmu

pengetahuan dan pendekatan keterampilan kepada siswa. Metode yang dimaksud adalah strategi atau teknik mengajar yang harus dikuasai oleh guru sesuai dengan bahan atau materi pengajaran kepada siswa, agar pelajaran tersebut dapat diterima, dipahami dan diterapkan dengan baik kepada siswa.

Di SMP Negeri 1 Mawasangka,

kurikulum berbasis kompetensi telah

(2)

1

1770 0

minimnya kemampuan guru mengenali masalah pembelajaran yang dialami siswanya serta ketidakmampuan guru melakukan langkah-langkah perbaikan ketika ditemukan suatu masalah pembelajaran. Selain itu model pembelajaran yang digunakan lebih bersifat monoton dimana dalam proses pembelajaran banyak didominasi oleh guru dan sedikit sekali melibatkan siswa baik secara fisik maupun mental sehingga menyebabkan siswa merasa jenuh dan tidak tertarik dalam mengikuti pelajaran. Selain itu guru terlalu jauh membimbing siswa dalam penyelesaian suatu masalah, sehingga motivasi siswa untuk belajar relatif kurang. Karena itu, guru diharapkan mampu dan dapat menerapkan model pembelajaran yang lebih bervariasi yang dapat membangkitkan daya kreatifitas dan motivasi siswa untuk belajar secara mandiri dan bekerjasama dengan siswa yang lain dalam kelompok-kelompok belajar.

Berdasarkan informasi tersebut,

penelitian ini dilaksanakan dengan memilih siswa kelas VIII sebagai subyek penelitian. Model pembelajaran yang dipilih adalah model pembelajaran kooperatif tipe Teams-Games-Tournament (TGT), karena pada model ini siswa menempati posisi sangat dominan dalam proses pembelajaran, dimana semua siswa dalam setiap kelompok diharuskan untuk berusaha memahami dan menguasai materi yang sedang diajarkan dan selalu aktif ketika kerja kelompok, sehingga saat ditunjuk untuk mempresentasikan jawabannya mereka

dapat menyumbangkan skor bagi

kelompoknya. Keunggulan lain dari model pembelajaran ini adalah dalam proses pembelajaran menekankan adanya kompetisi yang dilakukan dengan cara membandingkan kemampuan anggota dalam satu bentuk ”turnamen”. Turnamen ini menyiapkan siswa dari semua tingkat agar mempunyai keberanian dalam bersaing, dapat bekerjasama

serta memiliki kemampuan dalam

berkompetisi. Dengan demikian siswa akan

termotivasi untuk lebih aktif, kreatif dan

mandiri dalam proses

pembelajaran.Penetapan model pembelajaran ini diharapkan pembelajaran yang terjadi dapat lebih bermakna dan memberi kesan yang kuat kepada siswa, dalam hal ini siswa akan termotivasi untuk lebih aktif dalam mengembangkan potensi dan kreatifitasnya secara maksimal dalam mengikuti proses pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan hasil belajarnya siswa. Pada kenyataannya, model pembelajaran yang melibatkan siswa secar aktif dalam proses pembelajarn memberi dampak sangat kuat bagi peningkatan hasil belajar siswa. Hasil yang diperoleh ternyata jauh lebih baik bila dibandingkan dengan hasil dari proses pembelajaran yang berpusat pada guru (Anggo, dkk : 2003).

Proses Pembelajaran Matematika

Untuk memahami pengertian proses belajar mengajar matematika terlebih dahulu diuraikan mengenai proses pembelajaran secara umum. Usman (1993 : 35) mengatakan bahwa pengertian proses belajar mengajar merupakan suatu sistem yang terdiri atas beberapa komponen yang saling berinteraksi (interdependent) dalam mencapai tujuan. Hutabarat (1995:11) mendefinisikan belajar sebagai kegiatan yang dilakukan untuk

menguasai pengetahuan, kemampuan,

keterampilan dan sikap melalui hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungannnya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu

yang mengakibatkan bertambahnya

pengetahuan, keterampilan dan nilai sikap yang diperoleh melalui interaksi individu dengan lingkungannya. Slameto (1995:2) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan

1

(3)

1

1771 1

lingkungannya. Hudojo (1988:1) menjelaskan bahwa seorang yang dikatakan belajar bila diasumsikan bahwa dalam diri orang itu terjadi proses kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku tersebut berlaku dalam waktu relatif lama dan terjadi karena adanya usaha orang tersebut.

Mengajar menurut Sudjana dalam Zainal (2002:45) sebagai suatu proses yaitu proses pengatur, mengorganisasikan tingkah laku yang ada di sekitar anak didik, sehingga dapat menolong anak didik melakukan proses belajar. Usman (1993:37) mendefinisikan

mengajar sebagai suatu usaha

mengorganisasikan lingkungan dalam

hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran, sehingga menimbulkan proses belajar pada diri siswa. Hamalik (2001:48) mendefinisikan bahwa mengajar adalah usaha

mengorganisasikan lingkungan sehingga

menciptakan kondisi belajar bagi siswa, guru berkewajiban menyediakan lingkungan yang serasi agar aktifitas belajar menuju ke arah yang diinginkan. Dengan kata lain guru juga bertindak selaku organisator belajar siswa sehingga tujuan belajar dapat tercapai secara optimal. Roestiyah (1994:36) menekankan bahwa hasil dari pengajaran bukan untuk kepentingan si pengajar (guru), tetapi untuk kepentingan siswa yang belajar atau hasil belajar.

Dari beberapa definisi mengajar di atas tersirat bahwa, dalam mengajar bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada siswa akan tetapi mengajar adalah menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, agar siswa mencapai tujuan belajarnya secara optimal. Berdasarkan pengertian belajar mengajar di atas, dapat dikatakan bahwa, kegiatan belajar dan mengajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Belajar merupakan proses perubahan sedangkan mengajar merupakan proses pengetahuan agar perubahan itu terjadi secara optimal. Proses belajar mengajar untuk

mata pelajaran matematika harus

memperhatikan karakteristik matematika. Sumarmo (2002:2) mengemukakan beberapa karakteristik matematika, yaitu : materi matematika menekankan penalaran yang bersifat deduktif, matematika bersifat hirarkis dan terstruktur, dan dalam mempelajari matematika dibutuhkan ketekunan, keuletan serta rasa cinta terhadap matematika. Karena materi matematika bersifat hirarkis dan terstruktur, maka dalam belajar matematika tidak boleh putus-putus dan urutan materi

harus diperhatikan. Artinya, perlu

mendahulukan belajar tentang konsep matematika yang mempunyai daya bantu terhadap konsep matematika yang lain. Misalnya sebelum mempelajari konsep perkalian, siswa harus memahami konsep penjumlahan.

Bruner dalam Hudojo (1988:56) berpendapat bahwa belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur matematika itu. Russefendi

dalam Simanjuntak dkk (1995:72)

berpendapat bahwa agar anak didik memahami dan mengerti akan konsep (struktur) matematika, seyogyanya diajarkan berbagai urutan konsep murni, dilanjutkan dengan konsep rotasi dan diakhiri dengan konsep terapan. Di samping itu untuk dapat mempelajari dengan baik struktur matematika maka representasinya (model) dimulai dengan benda-benda konkret yang beraneka ragam. Misalnya, anak akan lebih cepat memahami arti benda-benda bila disajikan berbagai bentuk dan jenis benda-benda atau dengan kata lain bahwa benda-benda yang diamati harus beraneka ragam jenisnya. Gagne dalam Russefendi (1979:138) berpendapat bahwa dalam belajar matematika ada dua obyek yang dapat difahami siswa, yaitu obyek langsung dan obyek tak langsung. Obyek langsung

1

(4)

1

1772 2

antara lain ialah kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, mandiri (belajar, bekerja dll), bersikap positif terhadap matematika dan tahu bagaimana semestinya belajar. Sedangkan obyek tidak langsung ialah fakta, keterampilan, konsep dan struktur. Dengan memahami obyek matematika ini, maka proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil. Lambas (2004 : 12) mengemukakan bahwa belajar matematika bertujuan untuk: 1. Melatih cara berfikir bernalar dalam

menarik kesimpulan.

2. Mengembangkan aktifitas kreatif yang

melibatkan imajinasi, intuisi dan

penemuan dengan mengembangkan

pemikiran divergen original, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

3. Mengembangkan kemampuan meme-cahkan masalah.

4. Mengembangkan kemampuan menyam-paikan informasi atau mengkomunika-sikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram dalam menjelaskan gagasan. Hasil Belajar Matematika

Hasil belajar matematika tidak lain adalah hasil terakhir dari proses belajar matematika sebagai perwujudan segala upaya yang telah dilakukan selama proses itu berlangsung. Pencapaian hasil belajar tersebut lebih sering dikaitkan dengan nilai perolehan siswa setelah proses belajar mengajar dan evaluasi yang diberikan. Hasil belajar yang didapatkan setelah terjadinya proses belajar merupakan bukti utama dari proses belajar. Menurut Nasution (1990 : 12) bahwa hasil belajar matematika adalah hasil belajar dari satu individu tersebut berinteraksi secara aktif dan pasif dengan lingkungannya. Winkel (1999:102) mengemukakan bahwa hasil

belajar yang dihasilkan oleh siswa

menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan / pengalaman dalam

bidang keterampilan, nilai dan sikap. Siswa yang belajar matematika menunjukkan bahwa, siswa tersebut melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan, yaitu belajar matematika dan hasil dari pekerjaan itu disebut hasil belajar matematika. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dijelaskan bahwa, yang dimaksud hasil belajar matematika adalah hasil yang dicapai oleh siswa setelah diadakan evaluasi dengan menggunakan alat ukur tertentu.

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams-Games-Tournament (TGT).

Model pembelajaran kooperatif

merupakan salah satu jenis model

pembelajaran yang mengutamakan adanya kerjasama, yakni kerjasama antara siswa dalam

kelompok untuk mencapai tujuan

pembelajaran. Ismail (2002 : 20) berpendapat bahwa ide mengenai pembelajaran kooperatif ini berkembang dari pendapat seorang filosof pada awal abad pertama bahwa, untuk dapat belajar seorang harus memiliki pasangan / teman.

Hartadji (2001:34) mengemukakan ciri-ciri model pembelajaran kooperatif sebagai berikut :

1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya.

2) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.

3) Bilamana mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda-beda.

4) Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu.

Slavin dalam Allyn dan Bacon (1999 :

1) berpendapat bahwa pembelajaran

kooperatif merajuk pada kaidah pengajaran yang memerlukan siswa dari kemampuan yang

heterogen untuk bekerjasama dalam

kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Lima unsur dalam pembelajaran kooperatif

1

(5)

1

1773 3

menurut Slavin dalam Allyn dan Bacon (1999:2) adalah :

1) Saling bergantung antara satu sama lain secara positif.

2) Saling berinteraksi secara langsung.

3) Akuntabilitas individu atas pembelajaran diri sendiri.

4) Kemahiran kooperatif. 5) Pemprosesan kelompok.

Sedangkan langkah-langkah dalam model pembelajaran kooperatif menurut Ismail (2002 : 23) adalah :

1) Penyampaian tugas dan motivasi siswa. 2) Penyampaian informasi.

3) Mengorganisasikan siswa dalam

kelompok-kelompok belajar.

4) Membimbing kelompok belajar dan bekerja.

5) Memberikan penghargaan.

Wartono dkk (2004:16) menjelaskan bahwa dalam TGT atau pertandingan-permainan-tim siswa memainkan permainan pengacakan kartu dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh poin pada skor tim mereka. Permainan ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud adalah pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan materi pelajaran yang dirancang untuk mengetahui kemampuan siswa dari penyampaian siswa di kelas. Setiap wakil kelompok akan mengambil sebuah kartu yang diberi angka dan berusaha untuk menjawab pertanyaan yang resmi dengan angka tersebut. Permainan ini dimainkan di meja-meja turnamen. Salah satu tipe model pembelajaran koperatif adalah Teams-Games– Tournament (TGT), dimana model ini

menyiapkan siswa agar mempunyai

keberanian dalam bersaing, bisa bekerjasama hingga kemudian siswa menjadi lebih aktif, kreatif dan mandiri. De Vries dan Slavin dalam Alkrismanto (2004 : 16) menjelaskan bahwa model pembelajaran tipe TGT menekankan adanya kompetisi yang dilakukan

dengan cara membandingkan kemampuan antara anggota dalam suatu bentuk ”turnamen”. Nur dkk (2001 : 8) mengatakan bahwa setelah melakukan pembelajaran kooperatif terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh siswa dengan hasil belajar rendah diantaranya : rasa harga diri lebih tinggi, memperbaiki kehadiran, pemahaman akan materi pelajaran akan lebih baik dan motivasi belajar lebih besar.

Slavin dalam Rachmat (2003 : 15)

menguraikan langkah-langkah dalam

pelaksanaan TGT sebagai berikut : 1. Guru mengajar seperti biasa

2. Siswa-siswa belajar dalam kelompok yang heterogen

3. Masing-masing siswa menuju kemeja turnamen untuk bertanding. Setiap meja turnamen terdiri dari wakil dari tiap kelompok, memiliki kemampuan yang sama.

4. Setelah pertandingan selesai, semua siswa kembali ke kelompok masing-masing. 5. Guru mengumumkan skor dari tiap

kelompok dan memberi penghargaan kepada kelompok yang menjadi juara.

Mencermati model pembelajaran kooperatif tipe TGT, menurut De Vries dan Slavin dalam Alkrismanto (2004 : 18) mengemukakan bahwa, kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran TGT, antara lain :

- Melatih siswa mengungkap atau

menyampaikan gagasan / idenya.

- Melatih siswa untuk menghargai pendapat atau gagasan orang lain.

- Menumbuhkan rasa tanggung jawab

sosial.

- Melatih siswa untuk mampu mengaktuali-sasikan dan mengoptimalkan potensi dirinya menghadapi perubahn yang terjadi.

- Melatih siswa untuk mampu

mengem-bangkan potensi individu yang berhasil

1

(6)

1

1774 4

guna dan berdaya guna, kreatif dan bertanggung jawab.

Kekurangannya antara lain :

- Kadang hanya beberapa siswa yang aktif dalam kelompoknya.

- Kendala teknis, misalnya masalah tempat duduk kadang sulit atau kurang mendukung untuk diatur keanggotaan kelompok.

- Membutuhkan banyak waktu.

METODE

Penelitian jenis tindakan kelas, menurut Wardani dkk (2004:14), bahwa penelitian tindakan kelas yaitu penelitian yang dilakukan oleh guru didalam kelasnya sendiri dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya, sehingga hasil belajar siswa meningkat. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret hingga 22 Juni 2012 pada semester genap Tahun Ajaran 2012/2013 di kelas VIIIb SMP Negeri 1 Mawasangka Kab. Buton.

Untuk dapat menjawab permasalahan yang timbul, ada beberapa faktor yang ingin diselidiki, faktor-faktor tersebut antara lain :

(1) Faktor siswa: Melihat minat dan kemampuan siswa dalam mempelajari matematika, khususnya pada saat mempelajari pokok bahasan persamaan linear dengan dua variabel. (2) Faktor guru: Melihat bagaimana materi pelajaran dipersiapkan dan bagaimana

teknik yang digunakan dalam menetapkan model pembelajaran kooperatif tipe Teams-Games-Tournament (TGT),

(3) Hasil belajar matematika adalah hasil yang dicapai siswa setelah mempelajari matematika pokok bahasan persamaan linear dengan dua variabel dalam kurun waktu tertentu yang diukur dengan menggunakan tes hasil belajar.

(4) Pembelajaran kooperatif tipe Teams-Games-Turnament (TGT) adalah suatu model pembelajaran yang mengutamakan, adanya kerjasama dalam sebuah tim/kelompok. Perwakilan dari setiap tim dapat melakukan permainan melalui pengacakan kartu, untuk memilih nomor soal dan melakukan pertandingan/turnamen, melalui presentasi jawaban dari soal yang dipilih wakil dari setiap tim/kelompok tersebut.

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian tindakan kelas ini direncanakan terdiri dari tiga siklus dengan setiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai pada faktor-faktor yang diselidiki. Dari hasil observasi awal dan wawancara langsung dengan guru bidang studi matematika, ditetapkan bahwa

tindakan yang dipergunakan untuk

meningkatkan hasil belajar matematika, yaitu dengan penerapan Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe Teams-Games-Tournament

(TGT)”. Pelaksanaan tindakan tersebut mengikuti prosedur penelitian tindakan kelas sebagai berikut : 1) Perencanaan, 2) Pelaksanaan tindakan, 3) Observasi/evaluasi

dan 4) Refleksi. Secara rinci prosedur penelitian tindakan kelas ini dijabarkan sebagai berikut :

Perencanaan : Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi : (a). Membuat rencana pembelajaran. (b) Membuat lembar observasi untuk melihat bagaimana kondisi belajar mengajar di kelas ketika model pembelajaran kooperatif tipe Teams-Games-Turnament (TGT) diaplikasikan. (c) Membuat alat bantu mengajar yang diperlukan dalam rangka membantu siswa lebih memahami materi belajar yang diajarkan, (d) Membuat alat evaluasi untuk melihat apakah hasil

belajar matematika siswa dengan

1

17733

1

(7)

1

1776 6

mengguanakan model pembelajaran yang diterapkan dapat ditingkatkan, (e) Pembuatan jurnal untuk mengetahui refleksi diri.

Pelaksanaan Tindakan ; Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah melaksanakan rencana pembelajaran yang telah dibuat.

Observasi dan evaluasi ; pada tahap

ini dilaksanakan observasi tertutup,

pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi. Refleksi; pada tahap ini hasil yang diperoleh pada tahap observasi dan evaluasi sebelumnya dikumpulkan dan dianalisis, kemudian dari hasil tersebut akan dilihat, apakah telah memenuhi target yang ditetapkan pada indikator kinerja. Jika belum

memenuhi target, maka penelitian akan dilanjutkan pada siklus berikutnya dan kekurangan-kekurangan yang terjadi pada siklus sebelumnya akan diperbaiki dan diterapkan pada siklus berikutnya.

Data dan Tehnik Pengambilan Data (a) Sumber data yaitu : guru dan siswa, (b) Jenis data ; data yang akan diperoleh adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data tersebut diperoleh dari tes hasil belajar, lembar observasi dan jurnal, (c) Teknik pengambilan data. (i) Dengan menggunakan lembar observasi, (ii) Data mengenai refleksi diri diambil dengan menggunakan jurnal dan (iii) Data mengenai hasil belajar matematika diambil dengan menggunakan tes.

Rancangan dan Model Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

(Anonim, 1999:27)

Permasalahan Alternatif Pemecahan (Rencana Tindakan I) Pelaksanaan Tindakan I

(8)

2

2 PEMBAHASAN

Penelitian ini diawali dengan

pelaksanaan observasi dan wawancara dengan guru bidang studi matematika. Dari hasil observasi terlihat bahwa, siswa secara umum

kurangnya perhatian dalam proses

pembelajaran. Pada saat proses pembelajaran berlangsung masih saja situasi kelas kurang kondusif, sehingga menuntut guru untuk dapat membenahi suasana kelas, menerapkan model pembelajaran kooperatif yang dapat menumbuhkan minat dan motivasi siswa dalam belajar, khususnya pada mata pelajaran matematika. Dari hasil wawancara peneliti dengan guru bidang studi matematika menunjukkan bahwa, hasil belajar matematika siswa masih relatif rendah. Berdasarkan hasil observasi awal dan wawancara tersebut, maka diputuskan untuk menerapkan suatu model

pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat dan motivasi siswa untuk meningkatkan hasil belajarnya, melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams-Games-Tournament (TGT) dalam mengajarkan matematika pokok bahasan sistem persamaan linear dua variabel. Materi tes awal berupa persyaratan atau materi yang berhubungan dengan pokok bahasan yang sudah diajarkan bahwa, dari hasil tes awal tersebut diperoleh nilai pengetahuan siswa secara klasikal terhadap materi sebelum sistem persamaan linear dua variabel diajarkan mencapai 43,75 % dengan nilai rata-rata 58,7. hal ini memberikan gambaran bahwa, pengetahuan siswa terhadap konsep dasar matematika masih relatif rendah.

L

LEEMMBBAARR PPEENNGGAAMMAATTAANN DDIISSKKUUSSII KKEELLOOMMPPOOKKII U

UNNTTUUKKTTIINNDDAAKKAANNSSIIKKLLUUSSII,,SSIIKKLLUUSSIIII DDAANNSSIIKKLLUUSSIIIIII

N

o Tindakan Siklus Aspek yang Diamati

Banyaknya Siswa untuk Pertemuan Jumlah (%) Rata-rata (%) I II I II 1. I Perhatian terhadap

informasi yang diberikan 4 4 80 80 68,8

Kerjasama siswa dalam

Kelompok 4 5 80 100 75

Menyampaikan pendapat/

menjawab pertanyaan 3 3 60 60 56,3

2. II

Perhatian terhadap

informasi yang diberikan 5 5 100 100 87,5

Kerjasma siswa dalam

Kelompok 5 6 80 100 90,6

Menyampaikan pendapat/

Menjawab pertanyaan 4 5 80 100 75

3. III

Perhatian terhadap

informasi yang diberikan 6 6 100 100 93,8

Kerjasama siswa dalam

Kelompok 5 6 83,3 100 90,6

Menyampaikan pendapat/

menjawab pertanyaan 4 5 80 100 93,8

Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari 3 siklus dan setiap siklus terdiri dari 2 kali

pertemuan yang dilaksanakan sesuai prosedur penelitian. Jumlah pertemuan dalam tiap

1

17766

1

(9)

2

2 siklus tergantung dari kepadatan materi yang dibahas. Pada penelitian tindakan kelas ini, peneliti mengobservasi kegiatan kelompok hanya kepada satu kelompok saja yaitu kelompok I. Hal ini dilakukan agar kegiatan siswa mulai dari awal hingga akhir pembelajaran dapat terpantau dengan baik. Namun dalam pelaksanaan pembelajaran, semua kelompok tetap memperoleh perlakuan yang sama. Tidak ada perlakuan yang khusus dari guru bidang studi maupun peneliti

terhadap kelompok yang diobservasi.

Pembentukan kelompok dalam penelitian ini sudah dilakukan sesuai prosedur, siswa dibagi ke dalam enam kelompok, di mana masing-masing kelompok dibentuk secara heterogen. Karena jumlah siswa kelas VIIIb sebanyak 32 orang maka, banyaknya kelompok dibagi menjadi 6 kelompok, dimana setiap kelompok terdiri dari 5 orang siswa dan ada dua kelompok yang terdiri dari 6 orang siswa. Dalam pembentukan kelompok ini, sesuai dengan salah satu ciri model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh Hartadji (2001:34) bahwa kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, serta bila memungkinkan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku dan jenis kelamin yang berbeda.

Berdasarkan hasil pengamatan pada siklus I, guru dan siswa telah melakukan sebagian kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan baik. Namun masih terdapat kekurangan-kekurangan sebagaimana tertulis dalam hasil penelitian yang perlu diperbaiki antara lain, kekurangan dari hasil observasi terhadap siswa dan hasil observasi terhadap guru. Pada pertemuan pertama sebagian siswa masih merasa tidak nyaman dengan anggota kelompok barunya yang semula selalu bekerja sama dengan teman sebangkunya, mereka menyesuaikan diri dengan kelompok barunya. Hal ini terlihat dari suasana kelas yang kurang kondusif saat pembentukan kelompok dan

menyelesaikan soal, kekurangan lain juga terdapat pada guru yang belum bisa mengorganisasikan waktu dengan baik. Mengajar menurut Slameto (1995:30) yakni suatu bimbingan kepada siswa dalam proses belajar. Dalam hal ini, kesempatan untuk berbuat aktif berpikir lebih banyak diberikan kepada siswa. Sementara dari hasil observasi pada siklus I juga, guru terlalu melibatkan diri dalam memberikan bimbingan kepada siswa atau kelompok yang mengalami kesulitan,

sehingga menyebabkan siswa tidak

memperoleh motivasi untuk menyelesaikan soal secara mandiri karena mendapatkan bimbingan dari guru. Hasil observasi pada siklus I juga menunjukkan, bahwa siswa masih asing dengan model pembelajaran yang relative baru, dalam hal ini model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Hal ini terlihat pada pertemuan pertama, siswa masih kurang memahami prosedur dari kegiatan pembelajaran ini, sehingga guru memberikan informasi secara detail kepada siswa serta memberikan tahapan terhadap model pembelajaran yang akan dipergunakan dalam proses pembelajaran.

Sedangkan dari lembar pengamatan diskusi kelompok I pada siklus I, siswa yang memberikan perhatian penuh terhadap informasi yang diberikan hanya sebesar 68,8%. Ini disebabkan karena faktor-faktor yang berasal dari dalam dan faktor dari luar siswa. faktor dari dalam diri siswa itu seperti motivasi, bakat dan potensi (IQ) anak yang dibawa sejak lahir mempengaruhi seberapa besarnya perhatian siswa terhadap informasi yang diberikan serta faktor dari luar seperti keadaan ekonomi dan lingkungan sekitarnya. Sementara siswa yang mampu kerja sama dalam kelompok sekitar 75%. Kurangnya kerja sama siswa dikarenakan pada saat kerja kelompok didominasi oleh siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan beberapa siswa merasa tidak bertanggung jawab kepada kelompoknya, hal ini dimungkinkan karena,

1

(10)

3

3 usia siswa yang merupakan usia bermain, sehingga kekompakan dalam kerja kelompok tidak terlalu tampak. Siswa yang mampu menjawab/menyampaikan pendapatnya hanya 56,3%. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian terhadap informasi yang diberikan, sehingga kurang memahami materi yang disampaikan, kurangnya kerja sama antar siswa sehingga tidak terjadi pertukaran pikiran/pendapat, serta sebagian siswa masih merasa malu dan takut untuk menyampaikan pendapat maupun menjawab pertanyaan yang diajukan.

Dari hasil evaluasi yang dilakukan pada siklus I, terlihat adanya peningkatan hasil belajar matematika siswa setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Siswa yang memperoleh nilai  60 dalam kelompok I sebanyak 3 orang siswa atau sebesar 60% dengan nilai rata-rata kelompok 61,13. Meskipun 2 siswa lainnya belum mencapai nilai 60, tetapi hasil belajar mereka mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada tes awal. Sanksi secara kelompok yang dilakukan oleh orang perorang, adanya kesadaran siswa

terhadap penilaian berkelanjutan

menyebabkan siswa terpacu untuk belajar, sehingga mengalami peningkatan dalam hasil belajarnya. Secara klasikal, siswa yang memperoleh nilai  60 sebanyak 15 orang siswa atau sebesar 46,88% dengan nilai rata-rata 60,47 berarti mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan hasil tes awal.

Ciri lain dari model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh Hartadji (2001:34) adalah adanya penghargaan yang lebih berorientasi kelompok ketimbang

individu. Penghargaan/penguatan yang

dimaksud berupa ucapan selamat dan tepuk tangan dari siswa yang bersifat spontan terhadap siswa atau kelompok yang

memberikan jawaban dengan baik.

Penghargaan lainnya adalah penghargaan

tertulis berupa pengumuman mingguan yang berisi tentang ucapan selamat kepada kelompok yang berhasil menempati rangking I sampai dengan rangking III. Pemberian penghargaan/penguatan ini adalah untuk memacu semangat siswa dalam belajar. Penempatan rangking kepada masing-masing kelompok didasarkan pada nilai rata-rata kelompok. Adapun kekurangan masih saja dijumpai dan hasil belajar matematika siswa pada tindakan siklus I yang belum memenuhi indikator keberhasilan dalam penelitian ini yaitu minimal 80% siswa telah memperoleh nilai minimal 60, maka penelitian ini dilanjutkan pada tindakan siklus II. Pada siklus II, model pembelajaran kooperatif tipe TGT kembali dilaksanakan. Siswa tetap berada dalam kelompoknya masing-masing, sebagaimana pembagian kelompok pada tindakan siklus I.

Dari hasil observasi terhadap guru dan siswa pada siklus II, menunjukkan bahwa, kegiatan pembelajaran telah sesuai dengan yang diharapkan. Kekurangan-kekurangan pada siklus I sudah dapat teratasi, seperti sebagian siswa yang belum menjawab pertanyaan, dengan adanya bimbingan dari guru dan bantuan teman sekelompoknya, mereka akhirnya dapat memahami dan

menjawab pertanyaan sehingga dapat

mempresentasikan hasil jawabannya didepan kelas. Selain itu guru sudah mampu mengorganisasikan waktu dengan baik, sehingga tidak ada lagi kegiatan yang tidak

terlaksana. Guru sudah mampu

mengefektifkan pemantauan dan bimbingan terhadap siswa dalam kelompok, sehingga tidak ada lagi kelompok yang merasa terabaikan dan persentase pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT sudah mencapai 85%.

Berdasarkan lembar pengamatan diskusi kelompok I diperoleh gambaran bahwa, siswa yang memberikan perhatian penuh terhadap informasi yang diberikan sudah mencapai

178

1

(11)

4

4 68,8%, yang berarti bahwa sebagian besar siswa sudah aktif dalam kegiatan pembelajaran dan siswa semakin menyadari pentingnya memberikan perhatian penuh pada informasi yang diberikan guru agar hasil belajarnya dapat mencapai/melebihi nilai standar. Sementara kerja sama siswa dalam kelompok juga mengalami peningkatan yang semula pada siklus I sebesar 75% meningkat menjadi 90,67% pada siklus II yang berarti siswa telah menyadari pentingnya bekerja sama dalam kelompok untuk memberikan nilai terbaik

untuk kelompoknya, ketika proses

pembelajaran tipe TGT ini berlangsung. Karena siswa telah memberikan perhatian penuh terhadap informasi yang diberikan serta telah bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya menyebabkan siswa mampu dan berani menyampaikan pendapatnya serta menjawab pertanyaan. Dan pada kelompok I kemampuan siswa menyampaikan pendapat dan menjawab pertanyaan yang sebelumnya pada siklus I sebesar 56,3% meningkat menjadi 75%.

Dari hasil evaluasi yang dilakukan pada siklus II, diketahui bahwa siswa dalam kelompok I yang memperoleh nilai  60 mengalami peningkatan yaitu mencapai 80% atau sebanyak 4 orang dengan nilai rata-rata 65. Ini berarti mengalami peningkatan dari hasil evaluasi yang diperoleh sebelumnya. Hal ini disebabkan karena setiap siswa dalam kelompok I ini selalu bekerjasama dengan baik dalam kelompoknya. Demikian halnya hasil belajar matematika siswa secara klasikal, siswa yang memperoleh nilai  60 sebanyak 22 orang atau sebesar 68,75% dengan nilai rata-rata 62,33. Ini berarti bahwa hasil belajar matematika siswa dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan dari hasil evaluasi sebelumnya. Dari hasil evaluasi siswa dan persentase pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipa TGT terhadap guru yang diperoleh pada siklus II, dapat dikatakan

bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT sudah memberikan dampak yang positif terhadap hasil belajar

siswa. Namun masih ada beberapa

kekurangan yang berasal dari siswa yang masih perlu diperbaiki, bahkan ditingkatkan antara lain sebagian siswa belum mampu

menyelesaikan soal secara sistematis.

Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang masih ada, dan hasil belajar matematika siswa pada tindakan siklus II yang belum memenuhi indikator keberhasilan dalam penelitian ini, maka penelitian ini dilanjutkan pada siklus III. Model pembelajaran pada siklus III masih menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan pokok bahasan dan pembagian kelompok yang masih sama pada siklus sebelumnya.

Dari hasil observasi terhadap guru dan siswa pada siklus III, menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran telah sesuai dengan yang diharapkan. Kekurangan-kekurangan pada siklus II sudah mampu diatasi, seperti sebagian siswa yang belum mampu menjawab pertanyaan, namun dengan bimbingan dari guru dan bantuan teman sekelompoknya, mereka akhirnya dapat memahami dan menjawab pertanyaan, sehingga dapat mempresentasikan hasil jawabannya di depan kelas. Keberhasilan guru dalam menerapkan model ini dapat dilihat pada persentase model pembelajaran kooperatif tipe TGT telah

mencapai 95%. Berdasarkan lembar

pengamatan diskusi kelompok I diperoleh gambaran bahwa, siswa yang memberikan perhatian penuh terhadap informasi yang diberikan sudah mencapai 93,8% yang berarti bahwa semua siswa sudah aktif dalam kegiatan pembelajaran dan siswa semakin menyadari pentingnya memberikan perhatian penuh pada informasi yang diberikan guru, sehingga hasil belajarnya dapat mencapai atau melebihi nilai standar. Sementara kerjasama siswa dalam kelompok juga mengalami peningkatan yang semula pada siklus I sebesar

1

(12)

5

5 75% meningkat menjadi 90,6% pada siklus II.

Siswa telah menyadari pentingnya

bekerjasama dalam kelompok untuk

memberikan nilai terbaik untuk kelompoknya, ketika proses pembelajaran tipe TGT berlangsung. Karena siswa telah memberikan perhatian penuh terhadap informasi yang diberikan serta telah bekerjasama dengan baik dalam kelompoknya menyebabkan siswa

mampu dan berani menyampaikan

pendapatnya serta menjawab pertanyaan dengan baik.

Dari hasil evaluasi yang dilakukan pada siklus III, diketahui bahwa siswa dalam kelompok I yang memperoleh nilai ≥ 60 mengalami peningkatan yaitu mencapai 83,3% atau sebanyak 5 orang siswa dengan nilai rata-rata 82,92, demikian halnya hasil belajar secara klasikal, siswa yang memperoleh nilai ≥ 60 sebanyak 28 orang siswa atau sebesar 87,5% dengan nilai rata-rata 80,46. Ini berarti bahwa hasil belajar matematika siswa setiap siklus mengalami peningkatan dilihat dari hasil belajarnya. Peningkatan hasil belajar siswa tidak terlepas dari keberhasilan guru dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT yang dapat dilihat pada persentase pelaksanaan model pembelajaran yang mengalmi peningkatan pada setiap siklus, maka penelitian dihentikan pada siklus III. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa, penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT telah memberikan dampak yang sangat positif terhadap hasil belajar siswa. Para siswa sudah mampu

bersosialisasi dengan baik, bahkan sebagian besar siswa sudah berani mengemukakan pendapatnya dan menjawab pertanyaan yang diberikan. Pada siklus III masih ditemukan beberapa siswa yang memperoleh nilai < 60.

Meskipun demikian, mereka sudah

memberikan penghargaan dan sikap positif pada saat model pembelajaran kooperatif tipe TGT diterapkan.

Secara psikologis model pembelajaran kooperatif tipe TGT ini memberikan manfaat yang sangat besar terhadap siswa, antara lain : (1) memotivasi siswa untuk belajar giat karena adanya tekanan dari teman kelompoknya serta menyadari akan penilaian yang berkelanjutan, (2) menghilangkan rasa takut pada anak untuk mengungkapkan pendapatnya dan menjawab

pertanyaan, dan (3) menumbuhkan

kemampuan kerja sama siswa, berpikir kritis dan kemampuan membantu teman. Hal ini sesuai dengan pendapat Nur dkk (2000 :8) yang mengemukakan beberapa manfaat yang dapat diperoleh siswa setelah melaksanakan pembelajaran kooperatif yaitu rasa harga diri

lebih tinggi, memperbaiki kehadiran,

pemahaman akan meteri pelajaran lebih baik dan motivasi belajar yang lebih besar. Serta pendapat Wartono dkk (2004:16) yang

mengatakan bahwa turnamen ini

memungkinkan bagi siswa dari semua tingkat untuk menyumbangkan dengan maksimal skor-skor bagi kelompoknya bila mereka berusaha dengan maksimal, dan turnamen ini juga dapat berperan sebagai review materi pelajaran.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi pada setiap tindakan siklus dari penelitian ini, terlihat bahwa hasil tes tindakan siklus I setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT sebesar 46,88% mengalami peningkatan dibandingkan dengan tes awal. Namun indikator keberhasilan

penelitian ini belum tercapai, sehingga dilanjutkan pada tindakan siklus II dimana hasil tindakan siklus II juga mengalami peningkatan sebesar 68,75 % dari hasil tes

tindakan siklus I. Karena indikator

keberhasilan penelitian ini belum juga

tercapai, maka penelitian dilanjutkan

1

(13)

2

2 ketindakan siklus III. Hasil tes tindakan siklus ke III menunjukkan peningkatan sebesar 18,75 % dari hasil tes tindakan siklus II dengan persentase ketuntasan belajar secara klasikal mencapai 87,5 %. Dengan demikian,

dapat disimpulkan bahwa, hasil belajar matematika dapat ditingkatkan melalui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams-Games-Tournament (TGT).

Saran

Dalam proses pembelajaran hendaknya, guru dapat memahami tentang karakteristik siswa dalam proses penyampaian bahan ajar.

Dengan menerapkan beberapa model

pembelajaran, diharapkan kesulitan siswa dalam pembelajaran matematika dapat

teratasi. Salah satunya adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Teams-Games-Tournament (TGT) dalam upaya meningkatkan hasil pembelajaran siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Alkrismanto. 2004. Jenis-Jenis Model

Pembelajaran Kooperatif, (On Line, www. Geoogle. Com. Model-model pembelajaran, di akses 20 Februari 2006).

Allyn dan Bacon. 1999. Cooperatif Learning Theory Rosearch Practice, (On Line, www. Geoogle. Com. Kooperatif. Diakses 3 Februari 2006).

Anggo, dkk. 2003. Efektifitas Model Pembelajaran Pencapaian Konsep dalam Mengajarkan Materi Fungsi Komposisi dan Fungsi Invers pada siswa Kelas III SMU Negeri 2 Kendari. Hasil penelitian, Kendari.

Anonim, 1999. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Proyek PGSM Dikti. Hamalik, Oemar. 2001. Kurikulum

Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Hartadji, Nursyafi’i. 2001. Pengembangan dan

Uji Coba Perangkat Contextual Teaching and Learning. Jakarta: Depdiknas.

Hudojo, Herman. 1988. Mengajar Belajar

Matematika. Jakarta: P2LPTK.

Hutabarat, 1995. Cara Balajar. Jakarta: Gunung Media.

Ismail, 2002. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar

dan Menengah Departemen

Pendidikan Nasional..

Lambas, dkk. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika (buku 3). Jakarta: Proyek PSPP Depdiknas. Nasution, A. H. 1990. Landasan Matematika. Jakarta : Bharata Karya Aksara.

Nur, Muhammad, dkk. 2001. Pembelajaran

Kooperatif Dalam Kelas IPA.

Surabaya: Universitas Negeri. Rachmat, 2003. Model-Model Pembelajaran

Kooperatif, (On Line, www.

Geoogle. Com. Model

Pembelajaran Matematika, di akses 21 Februari 2006).

Roestiyah, N.K. 1994. Masalah Pembelajaran Sebagai Suatu Sistem. Jakarta: Rineka Cipta.

Simanjuntak, Lisnawaty. 1995. Metode Mengajar Matematika 1. Malang : Rineka Cipta

Slameto, 1995. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sumarmo, Utari. 2002. Alternatif Pembelajaran Matematika Dalam Implementasi

1

(14)

2

2

Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Bandung: FMIPA-UPI.

Sumarmo, 2001. Alternatif Pembelajaran

Matematika Dalam Implementasi

Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Bandung: FMIPA-UPI.

Usman, Moh. Uzer. 1993. Menjadi Guru

Profesional. Bandung: Remaja

Posdakarya.

Wartono, dkk. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Sains (Buku 4). Jakarta: Proyek PSPP Depdiknas

Winkel, W.S. 1999. Pelajaran Matematika Modern Untuk Orang Tua, Murid Guru dan PGSD. Bandung: Tarsito.

Zainal, Aswan. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Asdi Mahasatya.

1

18811

1

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena angka kesakitan jiwa semakin tahun semakin meningkat seperti kelainan pada anak yang makan makanan yang tidak lazim seperti makan pasir, makan paku dll, serta

Berdasarkan kajian literatur mengenai sistem pendanaan KPS (Tabel 1), beberapa faktor kunci keberhasilan skema KPS pada pembangunan infrastruktur mencakupi kerjasama dan

Satpam Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) masih menggunakan absensi dengan sistem tanda tangan yang dibuat manual dan data yang berkaitan juga menggunakan

bahwa dalam rangka mendukung operasional Pelabuhan Perikanan Birea serta melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (6) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

Human error atau kesalahan manusia kerap sering terjadi pada penyusunan data-data, pencatatan transaksi, pembuatan laporan dan pekerjaan yang masih mengandalkan teknologi manual.

Pemerintah dalam hal ini adalah pihak yang menjadi penengah atau mediator dalam wacana rekonsiliasi antara etnis Minangkabau dan Batak terkait sejarah masa lalu, dan

Sekutu terbatas tidak memiliki hak untuk mengelola usaha tetapi dapat memberikan saran-saran manajemen pada sekutu umum, memeriksa bisnis dan membuat salinan terhadap catatan

Yang Maha Esa atas limpahan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul Pembuatan Film Animasi 2 Dimensi “ Legenda Jaka Linglung ”