• Tidak ada hasil yang ditemukan

BONUM COMMUNE SEBAGAI MEDAN PERJUANGAN COMMUNIO:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BONUM COMMUNE SEBAGAI MEDAN PERJUANGAN COMMUNIO:"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA PROGRAM PASCA SARJANA

PROGRAM MAGISTER TEOLOGI

BONUM COMMUNE

SEBAGAI MEDAN PERJUANGAN COMMUNIO:

STUDI KOMPARATIF ATAS PEMIKIRAN

DAVID HOLLENBACH TENTANG BONUM COMMUNE DENGAN PEMIKIRAN JOSEPH RATZINGER TENTANG PRINSIP-PRINSIP MORALITAS KRISTIANI DAN COMMUNIO

Tesis diajukan oleh : Paulus Bambang Irawan NPM : 076312004/PPs/M.Th.

untuk memperoleh

GELAR MAGISTER TEOLOGI 2010

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Pada bulan Juni 1980, terjadi diskusi antara Hans Küng dengan J.B. Metz tentang masa depan Geraja. Baik Küng maupun Metz sepakat bahwa Gereja masa depan adalah Gereja dari bawah. Hanya saja, kedua teolog ini memafsirkan secara berbeda apa artinya the church from below. Menurut Küng, Gereja dari bawah adalah gereja yang melanjutkan proyek pencerahan, memperjuangkan hak dan kebebasan bagi para anggotanya, selalu memperbaharui diri dalam berteologi, mereformasi sturktur gerejani yang tidak cakap terhadap pergulatan hidup manusia modern. Sedangkan menurut Metz, Gereja masa depan adalah Gereja yang tanggap terhadap saudara-saudarinya yang miskin dan tersingkir, berpegang teguh pada komitmen untuk menjadi voice of the voiceless, merambatkan iman dan menegakkan keadilan.

Walaupun strategi yang ditempuh kedua teolog itu berbeda, mereka sepakat akan satu hal: agar menjadi sacramentum mundi, Gereja harus menggerus kecenderungannya untuk “menutup diri”. Yang “dari dalam” harus dialirkan

“keluar”, entah secara teologis, pastoral, politis maupun sosial. Dari tangan yang terkatup dalam doa dan liturgi menjadi tangan yang terulur bagi saudara- saudarinya yang sedang berziarah dalam lembah duka hidup ini.

Tesis ini adalah salah satu usaha merefleksikan kiprah Gereja untuk mengalirkan apa yang sudah diterima dari dalam ke luar. Maka, tema bonum commune dipilih penulis sebagai salah satu jalan keterlibatan Gereja membangun kebersamaan hidup. Untuk itu, penulis mendasarkan diri pada pemikiran David Hollenbach tentang bonum commune. Pemikiran Hollenbach tentang bonum commune layak untuk diperhitungkan secara serius karena Hollenbach mencoba menafsirkan bonum commune sebagai konsep filsafat moral klasik ke dalam konteks masyarakat pluralis.

Namun, agar bisa mengalir keluar, Gereja harus tetap berakar pada sumber-sumber yang menjadikan “ada-nya”, yaitu perjumpaan yang menggetarkan dan menggerakkan dengan Kristus, Sang Putra. Tercerabut dari sang akar itu hanya akan menjerumuskan Gereja tak ubahnya partai politik dengan

iii

(4)

program-program sosialnya. Pada point ini, penulis perlu mendialogkan pemikiran David Hollenbach tentang bonum commune dengan pemikiran Joseph Ratzinger/Benediktus XVI tentang prinsip moralitas Kristiani dan communio.

Moment perjumpaan dengan Sang Sabda Hidup akan mendinamisasi seseorang untuk membangun kebersamaannya dengan semua putra-putri Allah.

Dari studi ini, penulis sampai pada keyakinan bahwa dengan turut memperjuangkan bonum commune, orang Kristen menularkan yang sudah ia terima kepada semua orang. Selain itu, dengan memperjuangkan bonum commune, terbangun secara mantab communio di antara mereka sendiri dan communio dengan setiap orang yang berkehendak baik.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih sebesar- besarnya bagi pribadi-pribadi yang membantu penulis untuk sampai pada kesadaran bahwa “bonum commune adalah medan perjuangan communio”.

1. Kepada Bernhard Kieser, SJ, guru dan sahabat, yang selalu berkobar-kobar mengajak penulis untuk keluar dari kepengapan rumusan. “Agar iman mendapat andalannya, bukan pada suatu ajaran, paham, kanon, syahadat, atau aturan, melainkan dalam iman hidup dari orang yang hidup.”

2. Kepada Romo Mateus Mali CSsR sebagai pembimbing kedua yang memberikan masukan-masukan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini.

3. Kepada Romo St. Gitowiratmo, Pr sebagai penguji ketiga yang mengajak penulis melihat konsep communio Ratzinger secara kritis.

4. Kepada Komunitas Kolsani 2006-2010, “gua garba” keyesuitan dan teologi- ku. Lewat tarik ulur kehidupan komunitas inilah aku belajar ber-teologi, belajar ber-communio sebagai anggota Serikat Yesus, dan terutama selalu ditantang untuk terlibat dalam proyek-proyek Kolsani. Rahmat mesti dialirkan kepada setiap orang!

5. Kepada para sahabat di Institut Sosial Jakarta-Forum Warga Kota Jakarta (2000-2004), Kolese Loyola (2004-2006), Perkampungan Sosial Pingit dan

iv

(5)

6. Kepada kedua orangtuaku: Bpk. FX.S. Cokroatmodjo dan Ibu M.I.A. Netty;

ketiga kakakku: Laurentia Endang Ariyantini, Florentina Endang Ratriyantini, Yohanes Joko Riyanto; keempat keponakanku: Andreana Dyah Sitoresmi, Awan Gemilang, Oktavia Sandra Rini, Rendy Himawan Putra; cucuku: Rara.

Bersama kalian semua, kusyukuri anugerah hidup!

7. And, save the best for the last: untuk Serikat Yesus, yang selalu yakin bahwa

“Allah bertindak pada setiap insan secara pribadi”. Terimakasih atas cinta dan kepercayaan yang terus memampukan perjalananku sampai saat ini dan untuk karya-karya yang Kau percayakan kepadaku di masa depan!

Kolsani, 16 Juni 2010 Paulus Bambang Irawan

v

(6)

ABSTRAK

Pertanyaan pokok yang ingin dijawab dalam tesis ini adalah bagaimana bonum commune dapat mengarahkan masyarakat pluralis untuk mencapai cita-cita idealnya secara lebih penuh. Pertanyaan tersebut merujuk pada dua pertanyaan pendukung yang digali dalam 5 bab tesis ini. Pertanyaan pertama adalah apa artinya bonum commune bagi masyarakat modern pluralis. Pertanyaan kedua adalah apa sumbangan Kristianitas terhadap terbentuknya komunitas yang mengedepankankan cita-cita bonum commune tersebut. Dua tokoh dipilih penulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tokoh pertama adalah David Hollenbach yang membahas tentang bonum commune dalam masyarakat modern pluralis. Tokoh kedua adalah Joseph Ratzinger/Benediktus XVI yang menyampaikan prinsip-prinsip dalam moralitas Kristiani dan communio sebagai kunci cara hidup orang Kristen. Metode penelitian yang dipakai penulis untuk menyusun tesis ini adalah studi pustaka.

Bonum commune diartikan oleh Hollenbach dalam dua dimensi, eksternal dan internal. Secara eksternal, bonum commune adalah barang atau jasa publik (public good) yang tidak menimbulkan konflik ketika digunakan (non-rivalrous in consumption) dan dapat dinikmati oleh semua orang tanpa kecuali (non- excludible). Sedangkan secara internal, bonum commune berarti segala kondisi yang memungkinkan tiap anggota atau kelompok dalam masyarakat secara lebih penuh mencapai kesempurnaan mereka. Ada tiga alasan mengapa masyarakat modern yang plural ini perlu memperhatikan konsep bonum commune. Pertama, fakta pluralistas dalam seluruh aspek kehidupan mengundang manusia mencari public philosophy baru yang lebih memberi tekanan pada relasi dan kerjasama antar umat manusia. Kedua, ada kesadaran baru tentang konsep identitas yang ditemukan lewat interaksi dengan tradisi dan komunitas. Ketiga, globalisasi dan praktik ekonomi baru makin menegaskan pentingnya interdependensi antar umat manusia.

Agar masyarakat pluralis bisa mencapai visi bersama tentang bonum commune, diperlukan solidaritas intelektual, yaitu orientasi dalam pikiran yang menghargai perbedaan antar berbagai macam tradisi sebagai stimulus untuk keterlibatan intelektual yang melewati batas-batas agama dan kultural. Solidaritas intelektual sangat penting dalam proses deliberasi sebab dihargai prinsip ketimbalbalikan (reciprocity) dan didukung oleh sikap keadaban (civility).

Solidaritas ini kemudian diinstitusionalisasikan ke dalam hak asasi manusia.

vi

(7)

Lalu, bagaimana mengartikan ciri kristiani dari bonum commune sebagai tujuan negara? Apa sumbangan Kristianitas bagi perjuangan bonum commune ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis memaparkan pemikiran Joseph Ratzinger tentang prinsip-prinsip dalam moralitas Kristiani dan communio sebagai cara hidup orang Kristiani. Menurut Ratzinger, moralitas Kristiani disebut otentik bukan karena prinsip-prinsip moral tersebut murni berasal dari tradisi Kristiani dan bukan diserap dari sumber etis lain. Suatu prinsip moral berciri khas kristiani karena menegaskan yang hakiki dari iman, yaitu undangan untuk berjumpa secara pribadi dengan Kristus dan lewat perjumpaan itu, seseorang digerakkan untuk menjumpai sesamanya. Tindakan Kristus menjadi ultimate ethical norm bagi orang Kristen. Perjumpaan dengan Kristus merenggut perhatian seseorang, sehingga lewat hidup yang terpusat pada pribadi Kristus, ia digerakkan untuk melakukan banyak hal, bahkan yang melebihi kapasitas manusiawinya.

Perjumpaan dengan Kristus akan memurnikan kebebasan dan rasionalitas manusia.

Perjumpaan yang menggetarkan dan menggerakkan dengan Kristus pada akhirnya akan menghantar pada perjumpaan dengan sesama, sehingga terbentuklah communio (persekutuan). Pengalaman ekaristi menjadi moment kunci dalam communio, sebab lewat ambil bagian dalam tubuh dan darah Kristus, di satu sisi Kristus sendiri menyatukan setiap orang menjadi bagian dari tubuh- Nya, dan di sisi lain Kristus akan mendinamisasi umat-Nya untuk ikut

“memecahkan tubuh dan mencurahkan darah” kepada sesama mereka. Dua gerak –vertikal dan horizontal- inilah yang menjadi dasar dari solidaritas Kristiani.

Lewat memperbandingkan pemikiran Hollenbach dengan Ratzinger, penulis mengambil dua kesimpulan. Pertama, bonum commune diusahakan di dalam gerak pembangunan communio. Tidak mungkin memperjuangkan bonum commune tanpa membangun komunitas terlebih dahulu. Komunitas menjadi conditio sine qua non bagi terwujudnya bonum commune. Dalam arti ini, teologi communio sebagaimana diusulkan oleh Ratzinger dapat menjadi sumber motivasi –terutama bagi orang Kristen- bagi perjuangan bonum commune di dalam komunitas. Kedua, bagi paguyuban umat Kristiani, bonum commune adalah sarana sekaligus medan perjuangan demi terwujudnya communio Christiani, yang berakar pada perjumpaan dengan Kristus dan solidaritas dengan sesama.

Mewujudkan bonum commune dapat menjadi misi sosial bagi komunitas Kristiani, sehingga komunitas Kristiani benar-benar berakar pada keprihatinan- keprihatinan pastoral yang konkret dan tumbuh lewat usaha-usaha untuk menanggapinya dalam kebersamaan dengan masyarakat-masyarakat lain.

vii

(8)

viii

(9)

ABSTRACT

This thesis focuses on the question how common good as a purpose of the state can lead a pluralistic society to attain fully its ideal life. This basic question leads to two other questions: what does common good mean for pluralistic society? What does Christianity contribute to promote the development of common good in the pluralistic society? To answer those questions, two opinions are presented, namely, that of David Hollenbach on common good in pluralistic society and that of Joseph Ratzinger/Benedict XVI on the principles of Christian morality and communio as a fundamental way of living of Christian community.

The method of this thesis is library research.

Hollenbach defines common good in two dimensions, external and internal. Externally, common good means public good which is non-excludible and non-rivalrous in consumption. Internally, common good means every condition that enables every member or group in a society to attain their ideal life more fully. There are three reasons for a modern pluralistic society to acknowledge this concept. First, the fact of plurality in every aspect leads modern people to find a new public philosophy which pays more attention to the relations and cooperation among people. Second, there is a new awareness that identity is formed by relation with tradition and community. Third, globalization and new economic activity create the condition of interdependence among human beings.

In order to reach the shared vision of common good, a pluralistic society needs to develop intellectual solidarity, that is an orientation of mind that respects differences among traditions as stimuli to intellectual engagement across religious and cultural boundaries. Intellectual solidarity is an important disposition in a process of deliberation. This disposition respects the principle of reciprocity and enhances civility. This kind of solidarity is institutionalized in human rights.

Then, how to define a Christian characteristic of common good as an idea of the state? What can Christianity contribute to this effort? In order to answer these questions, we refer to Joseph Ratzinger’s reflection on the principles of Christian morality and his theology of communio. According to Ratzinger, the authenticity of Christian morality is not defined by the fact that this principle was invented by a Christian community or was not received from outside. The authenticity of Christian morality lies on its role in stressing the most important experience of our faith, that is a personal and encouraging encounter with Jesus.

By that encounter, someone is urged to meet his neighbor. Christ’s deed becomes the ultimate ethical norm for every Christian. A personal encounter with Christ will take her/his whole attention, so by living that center on Christ, someone is

ix

(10)

moved to do many things beyond her/his human capability. A personal encounter with Christ will purify human freedom and reason.

A trilling and urging encounter with Christ finally lead to encounter with other people. Therefore a communio prevails. The eucharist becomes a key moment to communio. By taking the body and blood of Christ, Christ himself unites everyone to be part of his Body. Because we are part of Christ body, we are energized in such a way that we should imitate Christ in “breaking bread and pouring blood” for others. This inspiration points out two basic prepositions in Christian solidarity: vertical and horizontal.

Discussing Hollenbach’s thought on common good and Ratzinger’s reflection on the principles of Christian morality and communio, we come to two conclusions. First, common good follows the making of communio. Common good is impossible unless we build a community in the first place. Community becomes a conditio sine qua non in forming common good. Ratzinger’s theology of communio can become the motivational source –especially for Christian- to take part on promoting common good in the community. Secondly, for Christian community, common good becomes means and arena in the making of Christian communio, which is rooted in a personal encounter with Christ and solidarity with others. Any effort to promote the common good can become social mission of Christian community, and the Christian community gets truly rooted in concrete pastoral concerns and grows through the effort to face these problems together with other groups in the society.

x

(11)

“ O Mamere, O Compagnie Que dans tou

“ Bundaku, O, Serikatku Bahagiaku di naungmu Hari ini sampai mati

Bagi dikau kidung smangatku..”

xi

(12)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ..………. i

Halaman Pengesahan ………. ii

Kata Pengantar ..………. iii

Abstrak …..……… vi

Abstrack ………. viii

Halaman Persembahan……… x

Daftar Isi………. xi

BAB I : PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ……… 1

2. Rumusan Masalah ……….. 10

3. Tujuan dan Sumbangan Penelitian Tesis ……..………... 10

4. Metode Penelitian ………..……… 11

5. Organisasi Gagasan ……… 14

BAB II: PEMIKIRAN DAVID HOLLENBACH TENTANG BONUM COMMUNE 1. Pengantar ……….……….. 17

2. Definisi Bonum Commune menurut David Hollenbach ………. 19

3. Mengapa Masyarakat Pluralis Perlu Bicara tentang Bonum Commune? … 23 3.1. Diskusi Filsafat dan Moral tentang Relasi Agama dan Politik ………… 24

3.2. Kritik Budaya ……….. 37

3.3. Globalisasi dan Ekonomi ………. 41

4. Solidaritas Intelektual: Dinamika Internal Bonum Commune ……… 46

4.1. Konsep Solidaritas Intelektual ………. 46

4.2. Mengembangkan Solidaritas Intelektual dalam Negara Demokratis ….. 48

4.2.1. Solidaritas Intelektual Menjadi Disposisi bag Deliberasi Publik yang Beradab ……….. 48

4.2.2. Hak Asasi sebagai Institusionalisasi Solidaritas ………. 51

5. Sumber-Sumber Tradisi Kristiani bagi Solidaritas Intelektual …………. 54

5.1. Visi Augustinus tentang Politik dan Solidaritas ………. 56

5.2. Konsili Vatikan II: Dialog dengan Dunia Modern ………. 59 xii

(13)

5.3. Gereja yang Berziarah ……… 63

6. Arah dari Bonum Commune ……… 64

6.1. Keadilan Sosial bagi Seluruh Warga ………... 65

6.2. Global Common Good ………... 73

7. Kesimpulan ………. 79

BAB III: TANGGAPAN ATAS PEMIKIRAN DAVID HOLLENBACH TENTANG BONUM COMMUNE 1. Pengantar ……… 83

2. Tanggapan Para Kritikus atas Pemikiran David Hollenbach ………. 84

2.1. Kebaruan Penafsiran Hollenbach atas Konsep Bonum Commune ……… 84

2.2. Tanggapan atas Metode dan Dasar Argumentasi Hollenbach …………. 87

2.3. Operasionalitas Konsep Solidaritas Intelektual ………... 90

2.4. Pemikiran Hollenbach tentang Bonum Commune: Suatu Etika Kristiani atau Public Philosophy? ………. 92

3. Tanggapan Penulis atas Pemikiran David Hollenbach tentang Bonum Commune ………... 92

3.1. Pengaruh John Courtney Murray pada David Hollenbach ……….. 92

3.2. Perkembangan Pemikiran Hollenbach tentang Bonum Commune ………. 101

3.4. Kristianitas dalam Komunitas Pembebasan ………. 110

4. Kesimpulan ………. 113

BAB IV: PERJUMPAAN DENGAN KRISTUS MENUMBUHKAN COMMUNIO: PEMIKIRAN JOSEPH RATZINGER MENGENAI PRINSIP-PRINSIP MORALITAS KRISTIANI DAN COMMUNIO 1. Pengantar ……… 116

2. Perkembangan Teologi (Moral) Paska Vatikan II ……….. 119

3. Prinsip Moralitas Kristiani: Perjumpaan dengan Pribadi Kristus ………... 128

4. Perjumpaan dengan Kristus menumbuhkan Communio ………. 132

5. Kesimpulan ………. 140

BAB V: BONUM COMMUNE SEBAGAI MEDAN PERJUANGAN COMMUNIO: DIALOG ANTARA HOLLENBACH DENGAN RATZINGER 1. Pengantar ……… 143

xiii

(14)

xiv

2. Bonum Commune sebagai Medan Perjuangan Communio ……… 144 3. Memulihkan Kepercayaan, Menumbuhkan Harapan ……… 152 4. Menimbang Pilihan Gerakan bagi Terwujudnya Bonum Commune ……… 155 5. Kesimpulan ………. 159

BAB VI: PENUTUP ……….. 161

DAFTAR PUSTAKA ………. 175

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pada tanggal 30 Mei 2009, sebelum PEMILU 2009, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) membuat surat terbuka untuk para calon presiden-wakil presiden yang akan bertarung dalam PEMILU tersebut. Dalam surat terbuka itu, disampaikan enam masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Masalah-masalah tersebut adalah: pengabaian pilar-pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika), pendidikan yang tidak mencerdaskan, lemahnya penegakkan hukum, rusaknya lingkungan, kesenjangan tingkat kesejahteraan, penyalahgunaan simbol- simbol agama.

KWI dan PGI juga melampirkan 151 PERDA yang dinilai bertentangan dengan Pancasila. Ke-151 PERDA ini sering disebut sebagai “PERDA Syariat”

karena dasar penyusunan perda-perda itu adalah “syariat islam”. Beberapa contoh PERDA Syariat yang dimaksud oleh KWI: PERDA Kabupaten Solok No.

10/2001 tentang wajib baca Al-Qur’an untuk siswa dan pengantin, Keputusan Bupati no.451/2712/ASSDA.I/2001 tentang kewajiban memakai jilbab di Cianjur, PERDA kota Solok No 6 Tahun 2002 tentang wajib berbusana Muslimah, Himbauan Bupati Tasikmalaya No. 556.3/SP/03/Sos/2001 tentang pengelolaan pengunjung kolam renang, Surat Edaran Bupati Pamekasan (Madura) No.

(16)

450/2002 tentang pemberlakuan syariat Islam, PERDA No. 02/2003 tentang zakat profesi, infaq, dan shadaqoh dalam kabupaten Bulukumba, PERDA Kab. Dompu No. 11/2004 tentang tata cara pemilihan Kepala Desa (materi muatannya mengatur keharusan calon dan keluarganya bisa membaca Al-Qur’an yang dibuktikan dengan rekomendasi KUA).

KWI dan PGI menilai 151 perda/aturan ini sebagai “puncak karang yang secara kasat mata menghadang bahtera bangsa kita” karena membahayakan kebhinekaan, ibarat rayap yang menggerogoti tiang penyangga kebersamaan1. Suatu produk hukum selalu bersifat imparsial, artinya berlaku bagi semua. Kalau produk hukum hanya berlaku secara parsial atau menjamin privelese kelompok/agama tertentu, maka produk hukum itu sudah cacat pada dirinya sendiri.

Ismail Yusanto dari Hizbut Tahrir Indonesia menanggapi surat KWI-PGI itu sebagai kecemburuan kelompok Kristiani. Menurutnya, PERDA-PERDA Syariat itu tidak berlawanan dengan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, PERDA-PERDA itu sangat perlu. Ismail Yusanto menyatakan

“Ini demi kebaikan bersama. Banyak warga non-muslim dan Tionghoa yang setelah saya uraikan panjang lebar, akhirnya mereka mendukung adanya perda ini. Begitu juga dengan mereka yang non-muslim di Bulukumba. Mereka tidak mempermasalahkan itu, justru menerima”2. Yusanto mengklaim bahwa PERDA-

1 Konferensi Waligereja Indonesia, “Surat untuk Para Calon Presiden dan Wakil Presiden”, http://www.kawali.org, (diakses 4 Oktober 2009).

2 SABILI, “Perda Anti Maksiat Bukan Ancaman bagi NKRI”,

http://www.sabili.co.id/index.php?view=article&catid=82:inkit&id=448:perda-antimaksiat-bukan-ancaman- untuk-nkri&format=pdf&option=com_content&Itemid=199, (diakses 2 Oktober 2009).

(17)

PERDA Syariat itu terbukti efektif mengurangi tingkat tawuran dan kriminalitas di Bulukumba sampai 80%.

Menarik kalau mencermati argumen yang dipakai oleh pendukung 151 PERDA Syariat, “ini demi kebaikan bersama”. Dalam pandangan para penyokong PERDA Syariat ini, moral bangsa ini sudah begitu rusak. Perilaku seks bebas, narkotika, perselingkuhan, prostitusi menyebar sedemikian luas ibarat kanker bagi masyarakat. Menurut mereka, “kedosaan” inilah yang membuat negara terpuruk dalam krisis yang berkepanjangan. Untuk dapat keluar dari krisis, moralitas perlu ditegakkan, dan PERDA-PERDA ini diyakini sebagai jalan untuk membangun moral bangsa3. Maka, demi kebaikan bersama, “penyakit masyarakat” ini harus diberantas.

Penalaran tentang “kebaikan bersama” juga dapat ditemukan dalam usulan pemberlakuan hukum potong tangan dan rajam di Aceh. Dengan adanya hukum potong tangan atau dirajam sampai mati, orang akan takut untuk mencuri atau selingkuh sehingga masyarakat akan terhindar dari tindakan-tindakan amoral semacam itu. Masyarakat akan hidup tentram seturut cita-cita agama. Memang, cukup aneh bahwa dari 151 Perda itu tidak ada satupun yang menyebut korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) sebagai “penyakit masyarakat” yang harus diperangi.

Dalam rancangan hukum potong tangan di Aceh pun, pelaku korupsi tidak dikategorikan sebagai layak dipotong tangannya.

Tampak jelas tiga kekeliruan mendasar dari penalaran “kebaikan bersama”

yang diajukan oleh para perancang PERDA Syariat tersebut. Pertama, dapat

3 Teguh Santosa, “Perda Syariah Alternatif Membangun Moral Bangsa”,

http://teguhtimur.com/2006/06/23/perda-syariah-alternatif-membangun-moral-bangsa/ (diakses 6 Oktober 3009).

(18)

dipertanyakan apakah masyarakat luas diikutsertakan dalam proses legislasi PERDA tersebut. Suatu legislasi yang mengatur kehidupan bersama haruslah dibicarakan bersama dan bukan ditentukan sepihak. Tampak jelas bahwa PERDA- PERDA tersebut muncul karena dorongan sekelompok orang yang ingin mengkooptasi ruang publik dengan menggunakan simbol-simbol agama. Kedua, suatu legislasi tidak boleh menodai hak asasi manusia. Hukum potong tangan jelas tidak bisa dibenarkan. Meskipun seseorang melakukan kesalahan, martabat luhurnya haruslah dihormati. Masih banyak model hukuman yang lebih mendidik seseorang tanpa harus menodai martabatnya. Ketiga, PERDA-PERDA tersebut secara naïf menyejajarkan begitu saja antara moralitas personal dan moralitas publik. Seseorang bisa tampil santun, hafal ayat-ayat kitab suci tetapi tetap melakukan korupsi. Justru yang dibutuhkan bangsa Indonesia ini adalah dorongan bagi tumbuhnya moralitas publik sehingga kualitas hidup bersama juga semakin ditingkatkan.

Masalah “kebaikan bersama” tidak hanya muncul dalam ranah bagaimana Indonesia sebagai bangsa yang plural mesti dikelola, tetapi juga tampak nyata dalam hal ekonomi. Kasus yang paling mencolok adalah eksploitasi air di sumber air Sigedang, Juwiring, Klaten. Pada bulan April-Agustus 2002, PT Aqua Golden Mississipi – DANONE4, produsen air minum dalam kemasan AQUA, mulai mengurus perizinan untuk mendirikan pabrik di daerah Klaten dengan memakai

4 DANONE adalah korporasi makanan besar dari Prancis. Awalnya, AQUA adalah perusahaan keluarga milik Tirto Utomo yang kemudian diwariskan kepada anaknya, Willy Sidharta. Namun, pada tahun 1996, DANONE mengakuisisi mayoritas saham, sedangkan keluarga Tirto Utama masih memiliki saham minor sebesar 26%. Maka, saat ini, praktis AQUA menjadi anak perusahaan Multi National DANONE. Sinar Harapan,”Mengolah Air Menjadi Duit”, http://www.sinarharapan.co.id/ceo/2005/0124/ceo1.html (diakses 4 Des 2008).

(19)

nama perusahaan PT Tirta Investama. Pabrik ini akan mengeksploitasi sumber air Sigedang di daerah Polanharjo, Klaten. Pada awalnya, rancangan ini ditolak oleh anggota dewan, apalagi rancangan pendirian pabrik ini tidak disertai dengan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memadai5. Penolakan ini membuat PT Tirta Investama merubah taktik dengan me-lobby para pemimpin fraksi di DPRD Klaten. Hasilnya, proposal pendirian PT Tirta Investama ini disetujui oleh DPRD Klaten. DPRD dan Bupati Klaten optimis bahwa dengan beroperasinya PT Tirta Investama di Klaten akan memberi dampak positif bagi perkembangan ekonomi Kabupaten Klaten, seperti: tersedianya lapangan kerja akan menyerap banyak angkatan kerja di Klaten, dan terutama pemasukan dari sektor pajak.

Maka, pada akhir tahun 2002, dimulailah proyek PT. Tirta Investama.

Setiap bulannya AQUA mampu menyedot air lebih dari 18 juta liter. Bila dikalkulasikan dengan harga jual per liter sekitar Rp 2.000, pendapatan pabrik AQUA di Klaten mencapai Rp 36 miliar per bulan. Dari jumlah itu - setelah dikurangi ongkos produksi - Aqua diperkirakan mampu mengantongi keuntungan minimal sebesar 30% atau sekitar Rp 12 miliar. Namun, menurut Balai Pengelolaan Pertambangan dan Energi Wilayah Surakarta, setiap bulan perusahaan ini hanya membayar pajak air bawah tanah sebesar Rp 3 juta-4 juta.

5 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia.

AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Ruang lingkup kajian AMDAL adalah aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat. Dasar hukum AMDAL adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang "Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup". Wikipedia, “AMDAL”,

http://id.wikipedia.org/wiki/Analisis_Mengenai_Dampak_Lingkungan (diakses 4 Desember 2008).

(20)

Dalam setahun, pajak air bawah tanah yang dibayar AQUA tak lebih dari Rp 50,5 juta. Sementara retribusi kepada Pemerintah Kabupaten Klaten sebesar Rp 1,17 miliar per tahun dan retribusi untuk dua desa sekitar sumber air dan lokasi pabrik adalah Rp 25 juta dan Rp 334 juta. Total selama tahun 2004, AQUA hanya membayar Rp 1,58 miliar kepada negara/masyarakat.

Karena potensi pasar air minum dalam kemasan di Indonesia semakin menjanjikan dan ditopang keunggulan teknologi pengelolaan air yang dimiliki oleh PT. AQUA Golden Mississipi – DANONE, maka PT. Tirta Investama menaikkan jumlah debit air yang dieksplorasi dari sumber Sigedang, dari 23 liter per detik menjadi 42 liter per detik. Sedangkan PT. Tirta Investama sendiri mampu mengeksplorasi sampai 65 liter per detik. Walaupun tanpa disertai dengan AMDAL, Pemerintah Kabupaten Klaten menyetujui usul ini.

Masalah makin pelik ketika para petani di daerah Polanharjo, Delanggu, Trucuk, Pedan, Ceper, Wonosari, Juwiring, dan Karanganom memprotes keberadaan PT Tirta Investama karena eksplorasi yang berlebihan terhadap mata air Sigedang menyebabkan kekurangan air di musim kemarau. Mata air Sigedang adalah sumber utama irigasi bagi pertanian di daerah tersebut. Eksploitasi yang berlebihan menyebabkan turunnya debit air untuk pertanian sehingga dalam satu tahun para petani hanya bisa menanam padi sebanyak 2 kali. Padahal sebelumnya mereka bisa menanam sampai 3 kali.

Kelangkaan air juga memicu konflik horizontal para petani di daerah Juwiring, Polanharjo dan sekitarnya.

(21)

"Untuk mendapatkan aliran air dan untuk melakukan aktifitas bertani kami terpaksa harus taruhan nyawa, meskipun yang menjadi musuh adalah teman kami sendiri," ujar Sumartono Seorang petani dari Juwiring. Untuk itu menurutnya setiap kali leb (mengairi sawah) para petani mesti membawa senjata seperti kapak, gergaji dan palu.

Bahkan untuk menguatkan nyali mereka tidak jarang sebelum mencari giliran harus mabok dulu. "Ini saya lakukan untuk meningkatkan keberanian kami menghadapi petani lain," ujar Suyono petani dari Kwarasan, Juwiring“6.

Untuk menanggulangi kekurangan air, pihak desa Juwiring meminjamkan mesin pompa air untuk dapat menyedot air ke sawah. Namun, ternyata sistem pompanisasi ini membawa efek baru. Sumur-sumur warga menjadi kering, sehingga pompanisasi ditinggalkan oleh para petani karena tidak menyelesaikan permasalahan yang pokok.

"Saya ternyata baru sadar kalau sampai saat ini musuh kami bukan tetangga kami melainkan pemerintah dan PT Tirta Investama yang telah kong kalikong hanya mau menangnya sendiri. Untuk itu kami bertekad akan mengusir mereka," ujar Sumartono7”.

Oleh karena itu, semenjak tahun 2004 muncullah KRAKED (Koalisi Rakyat Klaten untuk Keadilan) yang getol menyuarakan peninjauan kembali izin eksplorasi sumber air Sigedang oleh PT. Tirta Investama yang jelas-jelas merugikan petani. Pada bulan April 2005, Bupati Klaten, Haryanto Wibowo, merespons protes KRAKED ini dengan mengancam untuk menutup PT Tirta Investama kalau praktek pengeksplorasian sumber air Sigedang terbukti merugikan rakyat Klaten8. Namun, sampai saat ini, ancaman tersebut hanyalah

6 WALHI, “Masyarakat Klaten Jawa Tengah Tolak Aqua”,

www.walhi.or.id/kampanye/air/privatisasi/aqua_klaten_cu, (diakses 5 Desember 2008).

7 WALHI, “Masyarakat Klaten Jawa Tengah Tolak

Aqua”,www.walhi.or.id/kampanye/air/privatisasi/aqua_klaten_cu, (diakses 5 Desember 2008).

8 KORAN TEMPO, “Bupati Klaten Ancam Tutup Pabrik Aqua”,

http://www.korantempo.com/news/2005/4/7/Nusa/32.html , (diakses 4 Des 2008).

(22)

hiasan di halaman depan media masa saja. PT Tirta Investama tetap melenggang bebas menjalankan praktek bisnisnya.

Privatisasi sumber air Sigendang jelas mengundang tanda tanya besar.

Memang menjadi tugas Pemerintah Klaten untuk mendorong tumbuhnya ekonomi, membuka lapangan kerja baru, meningkatnya pendapatan daerah lewat pajak. Namun, ketika suatu praktik ekonomi justru merugikan komunitas yang lebih luas, menunjukkan ada yang salah dalam praktek ekonomi tersebut. Debit air menurun drastis, sehingga petani hanya bisa panen 2 kali setahun padahal sebelum eksploitasi bisa 3 kali setahun. Yang lebih memprihatinkan, untuk mengairi sawah mereka harus membawa clurit dan linggis, siap-siap mempertaruhkan nyawa agar air yang sedikit itu tidak direbut petani lain9. Sementara itu, PT. Tirta Investama memperoleh laba 300 milyar per tahun dari eksploitasi sumber air Sigendang ini sedangkan kontribusi yang mereka berikan untuk komunitas sangatlah kecil.

Maka, secara kritis masyarakat mempertanyakan: siapakah yang paling diuntungkan oleh eksploitasi sumber air Sigedang ini? Komunitas lokal atau korporasi? Perusahaan memang harus mencari untung agar roda ekonomi tetap berjalan, namun usaha mencari keuntungan itu tidak boleh mengorbankan kepentingan komunitas yang lebih besar. Ekonomi adalah bagian dari hidup komunitas dan semestinya diatur demi kepentingan seluruh anggota komunitas.

Ekonomi tidak boleh memarginalkan hidup bersama.

Dua kasus di atas menunjukkan bahwa negara ini rupanya terlalu mudah mengucapkan kata-kata “demi kebaikan bersama, kepentingan umum,

9 WALHI, “Masyarakat Klaten Jawa Tengah Tolak Aqua”,

www.walhi.or.id/kampanye/air/privatisasi/aqua_klaten_cu , (diakses 5 Desember 2008).

(23)

kesejahteraan umum”. Padahal, yang sering terjadi kata-kata tersebut digunakan sebagai pemanis bibir dari hasrat sekelompok orang untuk mendominasi kelompok lain. Demi “kepentingan umum”, ribuan warga Kedung Ombo terusir dari tanah tempat tinggalnya hanya dengan ganti rugi Rp 300 untuk setiap meter persegi tanahnya. Yang menolak akan “disingkirkan”10. Demi “kepentingan umum”, sebuah perusahaan bisa mengajukan pailit kepada pengadilan sehingga perusahaan tersebut terbebas dari kewajiban membayar upah dan pesangon bagi ribuan buruhnya yang belum terbayar11.

Kontradiksi dari mimpi “kesejahteraan bersama” ini juga terjadi dalam tingkat global. Globalisasi digembor-gemborkan sebagai satu-satunya alterntif bagi tiap-tiap negara agar dapat makin pesat pertumbuhan kesejahteraannya.

Globalisasi yang berkiblat pada pasar bebas dan liberalisasi ekonomi diyakini memberi peluang bagi negara-negara dunia ketiga yang kaya akan sumber-sumber alam untuk mengelola sumber-sumber itu sebagai keunggulan komparatif mereka dari negara-negara dunia pertama. Namun, proses globalisasi yang sama justru membuat jurang antara negara kaya dan miskin semakin besar. Jumlah orang yang berpenghasilan dibawah $ 1 per hari meningkat dari 1,183 milyard orang pada tahun 1987, menjadi 1,198 milyard orang pada tahun 1998. Pendapatan per kapita 20 negara terkaya meningkat pesat pada periode tahun 1970-2000. Sementara itu,

10Indonesia Media Online, “Ganti Rugi Kedung Ombo Tidak Manusiawi”,

http://www.indonesiamedia.com/rubrik/berta/berta00may-kedungombo.htm , (diakses 6 Oktober 2009).

11 PP no 17 Tahun 2000, “Permohonan Pernyataan Pailit demi Kepentingan Umum”, http://www.theceli.com/dokumen/produk/pp/2000/17-2000.htm, (diakses 6 Oktober 2009).

(24)

pendapatan 20 negara termiskin justru stagnan, bahkan cenderung menurun12. Fenomena ini jelas mempertanyakan janji kesejahteraan bagi seluruh penduduk dunia yang digaung-gaungkan oleh globalisasi.

“Kebaikan bersama, kepentingan umum, kesejahteraan umum” bisa menjadi kedok bagi kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Kebaikan bersama di balik argumen PERDA syariat Islam tak lebih sebagai penjajahan hidup bersama oleh agama mayoritas, pemaksaan interpretasi akan “yang baik”

dari satu kelompok besar kepada kelompok-kelompok yang kecil. Dalam panggung “kebaikan bersama”, yang kecil akan tersingkir, sedangkan yang besar semakin menancapkan kuku-kuku kekuasaannya. Pada akhirnya korban dari upaya penegakan “kebaikan bersama” itu adalah orang-orang kecil. Hukum cambuk bagi pezina di Aceh ternyata lebih banyak diterapkan pada orang-orang kecil. Kalau ada pejabat pemerintah yang tertangkap basah selingkuh, selalu saja ada alasan untuk membebaskan mereka dari hukum cambuk, proses yang cenderung berbelit-belit, dan berakhir dengan “pengampunan” atas nama publik.

Ini jelas berbeda kalau yang melakukan perzinahan adalah rakyat biasa. Proses hukum menjadi lebih cepat.

Di negara dan jaman yang terlalu latah berbicara tentang “kebaikan bersama dan kesejahteraan umum”, penulis merasa perlu untuk membahas kedalaman, kompleksitas sekaligus pergerakan makna dari kata “kebaikan bersama” atau bonum commune, sebagaimana diyakini dan digulati dalam tradisi moral Kristiani.

12 Global Policy Forum, “Average GDP per Capita in 20 High Income Countries and 20 Low Income Countries”, http://www.globalpolicy.org/images/pdfs/Z/gdpcompare.pdf, (diakses 12 November 2009).

(25)

2. Rumusan Permasalahan

Pertanyaan utama yang ingin dijawab oleh tesis ini adalah bagaimana bonum commune sebagai tujuan negara dapat mengarahkan masyarakat modern pluralis untuk mencapai cita-cita idealnya secara lebih penuh? Pertanyaan tersebut merujuk pada dua pertanyaan pendukung yang digali dalam 5 bab tesis ini.

Pertanyaan pertama adalah apa artinya bonum commune bagi masyarakat modern pluralis? Pertanyaan kedua adalah apa sumbangan Kristianitas terhadap usaha menjadikan bonum commune sebagai medan perjuangan communio?

3. Tujuan dan Sumbangan Penelitian Tesis

Lewat tesis ini, penulis ingin menyumbang pemikiran tentang bagaimana membangun kebersamaan hidup dalam masyarakat pluralis. Pemikiran semacam ini tentu sangat berguna bagi bangsa Indonesia yang de facto adalah masyarakat multikultur sebab terdiri dari puluhan suku bangsa dengan ratusan bahasa lokal.

Secara khusus, penulis ingin menunjukkan kemungkinan sumbangan tradisi Kristiani bagi kehidupan bersama di masyarakat pluralis ini.

Harapan penulis ini sejalan dengan makin menguatnya minat terhadap tema bonum commune di dalam Gereja Katolik Indonesia akhir-akhir ini. Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia tahun 2006 secara eksplisit menyampaikan pentingnya visi bonum commune dalam kehidupan ekonomi, karena praktek ekonomi dirasakan semakin mengedepankan nilai persaingan pasar dan melupakan tanggung jawab sosial terhadap komunitas13. Habitus baru dan

13 Habitus Baru bagi Kesejahteraan Bersama: Nota Pastoral 2006 (Konferensi Waligereja Indonesia), Jakarta: Dokpen KWI, 2006.

(26)

keadaban publik yang dicanangkan jelas mengarah pada makin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya aktivitas ekonomi yang mengedepankan prinsip- prinsip komunitarian. Selain itu, beberapa waktu belakangan ini mulai muncul buku yang menyinggung tentang masalah bonum commune, seperti buku Etos &

Moralitas Politik: Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum14, Politik Katolik: Politik Kebaikan Bersama15.

Seiring dengan makin kuatnya minat terhadap tema bonum commue tersebut, penulis ingin mendalami, mengeksplorasi kedalaman makna dan problematika dari bonum commune sebagai medan perjuangan communio Kristiani. Penulis yakin bahwa penelitian ini dapat menyumbang bagi masyarakat pluralis – seperti Indonesia – suatu refleksi teologis yang komprehensif atas konsep bonum commune sebagaimana ditafsirkan dalam tradisi Kristiani. Selain itu, tesis ini dapat memberikan arahan bagi komunitas Kristiani agar dapat menjadi communio lewat kiprahnya dalam perjuangan bonum commune bersama dengan komunitas-komunitas multikultur tersebut.

4. Metode Penelitian

Metode yang dipakai penulis dalam menyusun tesis ini adalah studi pustaka. Bahan-bahan tentang bonum commune dan perkembangan konseptualnya diambil dari tulisan-tulisan David Hollenbach, yaitu The Common Good and Christian Ethic dan The Global Face of Public Faith, dan artikel- artikelnya dalam Theological Studies. Sedangkan pemikiran Joseph

14 Piet Go dkk, Etos dan Moralitas Politik: Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum, Yogyakarta:

Kanisius, 2004.

15 Mikhael Dua dkk, Politik Katolik-Politik Kebaikan Bersama, Jakarta: Obor, 2008.

(27)

Ratzinger/Benedictus XVI tentang prinsip-prinsip moralitas Kristiani dirangkum dari bukunya Principle of Christian Morality dan beberapa komentarnya terhadap ensiklik Veritatis Splendor. Pemikiran Ratzinger tentang communio Kristiani didasarkan pada bukunya Church, Ecumenism, and Politics, On The Way to Jesus Christ dan karangan-karangannya di jurnal Communio.

Menurut penulis, pemikiran Hollenbach tentang bonum commune menarik untuk dicermati dan ditanggapi secara serius. Penulis-penulis lain yang merefleksikan bonum commune biasanya merujuk pada tradisi-tradisi klasik teologi moral Katolik – entah pada Aquinas atau Augustinus, atau pada dokumen- dokumen ajaran sosial Gereja- kemudian mencari relevansinya bagi masyarakat jaman sekarang. Metode yang digunakan Hollenbach justru terbalik. Ia pertama- tama berdiskusi dengan para pemikir kontemporer tentang tanggapan orang jaman ini terhadap kosep bonum commune. Dalam diskusi tersebut, Hollenbach menunjukkan peluang-peluang yang dapat dimasuki oleh tradisi Kristiani untuk tampil dengan konsepnya tentang bonum commune. Bahkan, bagi Hollenbach, konsep bonum commune-lah yang dapat membawa orang jaman modern ini untuk keluar dari krisis yang menghimpitnya.

Hanya saja, penulis menilai Hollenbach belum menunjukkan apa kekhasan refleksi seorang Kristen tentang bonum commune sebagai tujuan negara. Penulis menilai pemikiran Hollenbach lebih bercorak public philocophy (filsafat pubilk) daripada suatu teologi moral sosial. Hollenbach berharap agar pemikirannya tentang bonum commune dimengerti dan diterima oleh orang-orang non-Kristen - bahkan yang atheis sekalipun - sehingga ia tidak terlalu banyak menggunakan

(28)

terminologi-terminologi dari tradisi moral Kristiani tentang bonum commune.

Oleh karena itu, agar dapat dibentuk suatu refleksi teologi moral sosial yang komprehensif, penulis perlu mendialogkan pemikiran David Hollenbach dengan pemikiran Joseph Ratzinger/Benedictus XVI tentang prinsip-prinsip moral Kristiani dan teologi communio-nya.

Menurut penulis, pemaparan Joseph Ratzinger tentang prinsip-prinsip moralitas Kristiani dan communio menyumbang dua hal bagi teori David Hollenbach tentang bonum commune. Pertama, pemaparan Joseph Ratzinger tentang prinsip-prinsip moralitas dapat menunjukkan ciri Kristiani dalam pemikiran mengenai bonum commune sehingga konsep ini dapat dipandang sebagai sungguh-sungguh berakar dalam tradisi Kristiani, walaupun pada awalnya diungkapkan oleh para filsuf Yunani (Aristoteles) dan Romawi (Cicero). Kedua, teologi communio dapat memberi motivasi yang kuat bagi orang Kristen untuk memperjuangkan bonum commune dalam kerjasama dengan komunitas-komunitas dunia lintas sekat.

Pada saat yang sama, pemikiran David Hollenbach mengenai bonum commune juga menyumbang sesuatu bagi pemikiran Ratzinger tentang communio. Teologi communio yang berkembang pasca Vatikan II sering dikritik terlalu menekankan kesatuan, universalitas dan melupakan ciri historis dan dinamika pastoral dari Gereja. Pemikiran Hollenbach mengenai bonum commune dapat membantu komunitas Kristiani untuk menemukan misi sosial yang harus mereka perjuangkan dalam konteks masyarakat pluralis ini. Dengan turut memperjuangkan bonum commune, pada saat yang sama jemaat Kristiani ambil

(29)

bagian dalam pembentukan persekutuan (communio) yang didasarkan pada gerak berbagi hidup yang dimulai dari Allah Tri Tunggal kepada semua ciptaan sepanjang jaman dan dinyatakan dalam sejarah manusia terutama dalam Yesus Kristus.

5. Organisasi Gagasan

Tesis ini dibagi ke dalam 6 bab. Bab pertama adalah pendahuluan. Pada bab pertama ini dibahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan metode penelitian.

Pada bab kedua, penulis melaporkan pemikiran David Hollenbach tentang bonum commune. Bab ini terbagi dalam 7 bagian. Bagian pertama adalah pengantar. Bagian kedua membahas definisi bonum commune menurut Hollenbach. Bagian ketiga mengkaji alasan-alasan mengapa masyarakat pluralis perlu bicara mengenai bonum commune. Bagian keempat mengupas konsep solidaritas intelektual sebagai dinamika internal dari bonum commune. Bagian kelima berbicara sumber-sumber tradisi Kristiani yang mendukung solidaritas intelektual. Bagian keenam membahas arah bonum commune bagi komunitas lokal dan global. Bab kedua ini ditutup dengan bagian ketujuh yaitu kesimpulan.

Pemaparan David Hollenbach tentang bonum commune tersebut kemudian ditanggapi secara kritis oleh penulis pada bab ke tiga. Bab ini akan dibagi dalam dua bagian besar. Bagian pertama adalah berbagai tanggapan atas konsep bonum commune Hollenbach dari para teolog sebagaimana tertulis di jurnal-jurnal

(30)

teologi. Bagian kedua adalah tanggapan pribadi penulis terhadap pemikiran Hollenbach.

Pada bab keempat, penulis melaporkan pemikiran Joseph Ratzinger tentang prinsip-prinsip moralitas Kristiani dan communio. Bab ini dibagi dalam 5 bagian. Bagian pertama adalah pengantar. Pada bagian kedua dilaporkan pandangan Ratzinger tentang perkembangan teologi moral Kristiani paska Vatikan II. Bagian ketiga melaporkan ajakan Ratzinger agar moralitas Kristiani kembali ke dasar (re-foundation), yaitu perjumpaan dengan Kristus yang mencerahkan sekaligus menggerakkan. Pada bagian keempat dipaparkan pendapat Ratzinger tentang perjumpaan dengan Kristus yang menumbuhkan persekutuan (communio). Bagian kelima adalah kesimpulan.

Pada bab kelima, penulis mendialogkan pemikiran David Hollenbach tentang bonum commune dengan teologi communio dari Joseph Ratzinger. Bab lima ini akan dibagi dalam lima bagian. Bagian pertama adalah pengantar. Bagian kedua membahas tentang pentingnya teologi communio bagi usaha mewujudkan bonum commune, terutama bagi komunitas Kristiani. Bagian ketiga akan membahas tentang harapan masyarakat modern tentang terciptanya kondisi- kondisi yang memungkinkan tiap-tiap anggota masyarakat modern mencapai kepenuhannya. Bagian keempat akan membahas perbedaan pilihan antara gerakan amal kasih dan politis dalam bonum commune. Bagian kelima adalah kesimpulan.

Bab keenam adalah penutup. Terdapat tiga bagian dalam penutup, yaitu resume seluruh isi tesis, relevansi penelitian tesis ini bagi Indonesia dan sumbangan penelitian tesis ini bagi refleksi teologi moral lebih lanjut.

(31)

BAB II

PEMIKIRAN DAVID HOLLENBACH TENTANG BONUM COMMUNE

1. Pengantar

Pada bab kedua ini, penulis akan menyampaikan pemikiran David

Hollenbach tentang bonum commune. David Hollenbach adalah dosen teologi moral

sekaligus ketua dari Center for Human Rights and International Justice dari Boston College, Boston, Amerika Serikat1. Selain mengajar di Boston College, Hollenbach juga menjadi Visiting Professor pada Hekima College, The Catholic Univerity of Eastern Africa, di Nairobi Kenya. Hollenbach lahir di Philadelphia pada 6 Oktober 1942. Ia menjadi anggota Serikat Yesus pada 7 September 1964 dan ditahbiskan menjadi imam pada 5 Juni 1971. Hollenbach memperoleh gelar Master of Art dari St. Louis University tahun 1968 dan Master of Divinity dari Woodstock College, Fordham University. Gelar Philosophy Doctor (Ph.D) dalam bidang religious ethics diperoleh dari Yale University pada tahun 1975.

Ia menulis 8 buah buku dan banyak artikel di berbagai jurnal teologi.

Minat teologinya adalah relasi antara agama dan politik, hak asasi manusia, pemikiran John Cortney Murray dan Reinhold Niebuhr, etika kristiani, filsafat dan teologi publik, ajaran sosial Gereja, diskusi Katolisisme dan liberalisme, serta bonum commune.

       

1 David Hollenbach, “Curriculum Vitae”, http://www2.bc.edu/~hollenb/cv/curriculum.htm, (diakses 11 November 2009).

(32)

Selain menjadi pengajar di Boston College, Hollenbach ditunjuk sebagai konsultan berbagai komisi dalam Konferensi Waligereja Amerika. Misalnya, sebagai konsultan pada National Conference of Catholic Bishops (U.S.) dan Mexican Bishops Conference, tentang tanggapan Gereja atas proposal perdagangan bebas Amerika-Meksiko pada Mei, 1991; konsultan pada Komite Ajaran Sosial Gereja dan Ekonomi Amerika tahun 1983-86, konsultan pada Panitia Ad Hoc untuk masalah deterrence policy pada tahun 1987. Hollenbach juga menjadi konsultan bagi Uskup Agung Boston, Kardinal Humberto Medeiros untuk surat-surat pastoral: "Choose Life: A Pastoral Letter on the Threat of Nuclear War," Paskah 1982 dan "Stewards of This Heritage: Religious and Moral Reflections on the Dignity and Responsibility of Public Office and Citizenship"

tanggal 4 July 1983. Pada tahun 2003, Hollenbach menjadi fasilitator pada Workshop on Peacemaking among Returning Refugees, disponsori oleh Komisi Keadilan Sosial, Keuskupan Rumbek, Sudan Bagian Selatan, Workshop on Peacebuilding in a Post-conflict Situation, yang disponsori oleh Jesuit Refugee Service, di Kakuma Refugee Camp, Kakuma, Kenya.

Artikel pertama yang Hollenbach tulis tentang bonum commune muncul dalam Theological Studies no 50 tahun 1989. Sebelumnya, tema kajian teologis Hollenbach adalah diskusi Katolisitas dengan liberalisme di Amerika, melanjutkan proyek John Courtney Murray. Semenjak tahun 1990 sampai saat ini, Hollenbach terus mendalami tema bonum commune sehingga dapat dikatakan refleksi tentang bonum commune-lah yang menjadi karakteristik teologi Hollenbach. Namun, ketika berbicara tentang bonum commune, Hollenbach tidak

(33)

meninggalkan minatnya atas dialog dengan liberalisme. Ini menjadi ciri khas pemikiran bonum commune dari Hollenbach dibandingkan dengan pemikir- pemikir lain 2. Sintesa pemikiran Hollenbach tentang bonum commune dituangkan dalam dua buku The Common Good and Christian Ethic (2001) serta The Global Face of Public Faith (2002).

Pada bab ini, penulis akan menampilkan pokok-pokok pemikiran David Hollenbach tentang bonum commune. Bab ini terbagi dalam 7 bagian. Bagian pertama adalah pengantar. Bagian kedua membahas tentang definisi bonum commune menurut Hollenbach. Bagian ketiga akan mengkaji alasan-alasan mengapa masyarakat plural perlu bicara tentang bonum commune. Bagian keempat akan mengupas konsep solidaritas intelektual sebagai dinamika internal dari bonum commune. Bagian kelima akan berbicara sumber-sumber tradisi Kristiani yang mendukung solidaritas intelektual. Bagian keenam membahas arah bonum commune bagi komunitas lokal dan global. Bab ini ditutup dengan bagian ketujuh yaitu kesimpulan.

2. Definisi Bonum Commune menurut David Hollenbach

Menurut Hollenbach, sejarah pemikiran Barat sangat akrab dengan konsep bonum commune terutama ketika berbicara mengenai visi normatif tentang hidup yang baik dalam komunitas. Namun, anehnya, tidak ditemukan sebuah definisi yang komprehensif tentang konsep ini meskipun konsep ini sangat sentral, baik

       

2 Bandingkan ,misalnya, Jacques Maritain dan Jean Porter yang lebih mengkaji dan mengkontekstualisasi pemikiran Thomas Aquinas tentang bonum commune dalam konteks masyarakat modern.

(34)

dalam tradisi filsafat moral Yunani Klasik, teologi Kristen Eropa, spiritualitas Kristiani modern awal3.

Hollenbach menyebutkan beberapa usaha yang telah dilakukan untuk membuat definisi tentang bonum commune ini. Pertama, bonum commune diartikan sebagai kesejahteraan umum (general welfare). Menurut Hollenbach, penafsiran semacam ini sangat utilitarian dan terlalu condong ke segi ekonomi semata, sehingga indikator dari bonum commune adalah Gross National Product (GNP) atau total pendapatan dari suatu negara. Masalahnya, konsep kesejahteraan umum versi utilitiarian ini hanya melihat total sum (jumlah total) dari pendapat namun kurang jeli untuk melihat bagaimana total sum itu terdistribusi secara adil dan merata bagi seluruh anggota komunitas. Kritik Hollenbach “the aggresive good can increase while the well-being of some or many of a society’s members decline”4.

Kedua, bonum commune diartikan sebagai kepentingan publik (public interest). Konsep ini berakar pada semakin kuatnya komitmen masyarakat modern terhadap keluhuran martabat manusia. Untuk itu, institusi dan kebijakan publik haruslah menjaga hak-hak dasariah tiap individu dan berusaha membantu individu untuk memenuhi kepentingannya. Berbeda dengan kesejahteraan umum versi utilitarianisme yang berpeluang menisbikan kesejahteraan individu, kepentingan publik justru cenderung menghilangkan ciri komunal dari bonum commune. Kritik

       

3 David Hollenbach, The Common Good and Christian Ethics, Cambridge: Cambridge University Press, 2002, 6-7.

4 David Hollenbach, The Common Good and Christian Ethics, 7.

(35)

Hollenbach “it breaks down the public good into the effects it has upon the well- being or rights of the individual who make up society”5.

Ketiga, bonum commune diartikan sebagai barang/jasa publik (public good)6. Menurut Hollenbach, arti ketiga inilah yang paling dekat dengan apa yang dipikirkan oleh sumber-sumber klasik tentang bonum commune. Hollenbach mengikuti pandangan Inge Kaul tentang public good. Menurut Inge Kaul, public good memiliki dua ciri7.

a. Barang publik memiliki ciri “non-rivalrous in consumption“. Ketika suatu barang menjadi barang publik, seluruh anggota masyarakat yang merasa berkepentingan terhadap barang itu tidak perlu berlawan-lawanan (rivalrous) untuk dapat menikmati/menggunakannya. Contohnya, kalau seseorang menikmati pantai yang indah, bukan berarti orang lain juga tidak boleh/bisa menikmatinya.

b. Barang publik berciri “non-excludible”. Terkait dengan ciri yang pertama, keuntungan dari barang publik tidak boleh dibatasi pada individu/kelompok tertentu, namun dapat dinikmati oleh setiap orang dalam anggota komunitas itu. Contoh: udara yang bersih adalah barang publik karena dapat dinikmati oleh semua orang. Tetapi, udara bersih dalam tabung gas berciri excludible, karena hanya dapat dinikmati oleh orang yang membelinya.

       

5 David Hollenbach, The Common Good and Christian Ethics, 7-8.

6 Penulis mengalami kesulitan untuk menterjemahkan public good ke dalam khasanah bahasa Indonesia. Good dapat berarti “baik”, sehingga public good dapat berarti “kebaikan publik”.

Namun good juga dapat mengacu pada “benda”, sehingga dapat diartikan sebagai “barang-barang publik”. Inge Kaul menunjuk pada arti kedua, yaitu barang-barang publik, sedangkan David Hollenbach sendiri lebih melihat dua arti itu sekaligus.

7 Inge Kaul, Isabelle Grunberg and Marc A. Stern “Defining Global Public Goods” dlm: Inge Kaul, Isabelle Grunberg, Marc A. Stern, Global Public Goods: International Cooperation in the 21st Century, Oxford, 1999, 2-19.

(36)

Inge Kaul masih membedakan lagi antara global dan non-global public goods. Distingsi ini juga digunakan oleh David Hollenbach ketika berbicara tentang globalisasi dan visi global dari bonum commune. Distingsi global dan nonglobal menurut Inge Kaul bukan hanya masalah geografis semata, tetapi menyangkut masalah yang multi dimensional (sosiologis, politis, anthropologis).

Misalnya: program pengentasan kemiskinan di daerah Sub-Sahara Afrika bisa menjadi global public good ketika program itu juga menyangkut masalah resolusi konflik, kedamaian internasional, meningkatkan kondisi kesehatan global.

Sedangkan, walaupun banyak orang dari seluruh penjuru bumi memberi sumbangan kepada korban gempa di Padang, program ini masih bisa tergolong private and nonglobal public good, kalau tindakan filantropi ini hanyalah sekedar berbagi private good dari yang kaya ke yang miskin, tanpa adanya visi global.

Walaupun menyetujui pendapat Inge Kaul, Hollenbach memberi catatan

“these public goods are largely seen as extrinsic or external to the relationships that exist among those who form the community of society in question”8. Anggota komunitas bisa “non-rivalrous” dan “non-excludible” dalam menanggapi shared public goods karena ada ikatan yang ditandai dengan sikap saling menghargai (mutual respect). Relasi yang berkualitas semacam ini juga bagian dari public good atau sekurang-kurangnya dicapai di dalamnya. Salah satu elemen kunci dari bonum commune adalah berkomunitas (commune) itu sendiri suatu bentuk dari kebaikan (bonum). Mengikuti pendapat Thomas Aquinas, bonum commune juga

       

8 David Hollenbach, The Common Good and Christian Ethics, 8.

(37)

menunjuk pada ikatan afeksi –bahkan cinta- yang menyatukan setiap orang di dalam sebuah komunitas9.

Kesimpulannya, menurut Hollenbach, bonum commune selalu mengacu pada dua hal. Secara eksternal, bonum commune menunjuk pada barang-barang publik–entah global maupun lokal- yang bersifat “non-rivalrous” dan “non- excludible”. Secara internal, bonum commune menunjuk pada kondisi-kondisi yang memungkinkan setiap anggota komunitas berpartipasi dan menyumbang pada shared public goods itu. Tanpa mengabaikan sisi eksternalnya, Hollenbach lebih menitik beratkan pembahasannya atas bonum commune pada dimensi internalnya, sebab shared public goods hanya mungkin tersedia kalau ada kondisi- kondisi tertentu dalam masyarakat yang membuatnya menjadi mungkin. Tentu Hollenbach secara tersirat merujuk pada definisi bonum commune dalam tradisi Kristiani, yaitu

“keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri ”10.

3. Mengapa Masyarakat Pluralis Perlu Bicara tentang Bonum Commune?

Menurut Hollenbach, akhir-akhir ini konsep bonum commune mulai mendapat perhatian kembali sebagai suatu argumen moral yang serius11. Hollenbach melihat setidaknya ada tiga bidang yang secara serius membahas pentingnya bonum commune, yaitu bisnis dan ekonomi, kritik budaya, dan terutama filsafat politik dan moral. Dalam bidang filsafat politik dan moral inilah        

9 David Hollenbach, The Common Good and Christian Ethics, 9.

10 Gaudium et Spes no. 26, Mater et Magistra no. 53.

11 David Hollenbach, “The Common Good Revisited”, Theological Studies 50, 1989, 70.

(38)

Hollenbach mencurahkan seluruh energi intelektualnya untuk berdiskusi secara konstruktif dengan liberalisme.

3.1. Diskusi Filsafat dan Moral tentang Relasi Agama dan Politik

Pada fase-fase awal tulisannya, Hollenbach berdiskusi dengan tradisi liberalisme, terutama pemikiran John Rawls. Hollenbach meneruskan debat antara Katolisisme dengan liberalisme yang sudah dimulai oleh John Courtney Murray pada masa pra-Konsili Vatikan II. Bahkan, dalam bukunya The Global Face of Public Faith, Hollenbach menyatakan bahwa refleksinya tentang common good sebenarnya adalah kelanjutan sekaligus pengembangan dari pemikiran Murray.

Kalau Murray berdialog dengan tradisi liberalisme Amerika dalam hal kebebasan beragama sekaligus kebebasan orang beragama untuk terlibat dalam wilayah publik, Hollenbach menunjukkan bonum commune sebagai sumbangan tradisi Kristiani dalam mencari public philosphy bagi masyarakat plural.

Mengapa liberalisme perlu mendapat perhatian yang penting entah bagi Hollenbach ataupun Murray? Bila dibandingkan dengan para pemikir di daerah Eropa, liberalisme memang suatu pemikiran filosofis yang serius tetapi bukan segala-galanya. Diskusi tentang relasi agama dan politik –yang banyak digeluti oleh Murray dan Hollenbach- sudah dianggap sebagai sesuatu yang final. Menurut penulis, konteks Amerika memang menjadi suatu penanda khusus bagi diskusi Katolisisme – liberalisme ini. Pemikiran liberal telah menjadi public philosophy di Amerika, atau dalam bahasa Hollenbach menjadi modus vivendi dari rakyat

(39)

Amerika12. Ini ditunjukkan dari 27 amendment negara Amerika, terutama amendment 1 tentang kebebasan beragama, berpendapat, berkumpul dan melakukan petisi13. Dari amendment pertama itu, tampak jelas posisi liberal dari negara Amerika.

Menurut penulis, konteks perdebatan yang “khas Amerika” ini perlu menjadi catatan khusus untuk memahami bagaimana Hollenbach mengkonstruksi teori bonum commune-nya. Namun inilah keunikan teori bonum commune dari Hollenbach. Konteks Amerika yang multikultur memberi kekhasan pada pemikiran Hollenbach tetang bonum commune, sekaligus mengundang negara- negara multikultur lain seperti Indonesia untuk belajar darinya.

Dalam arti apa liberalisme menantang ide bonum commune? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu disampaikan dahulu pemikiran John Rawls, yang dipilih Hollenbach sebagai figur penting pemikiran liberalisme Amerika14.

Menurut John Rawls, ciri masyarakat modern adalah keberagaman.

Keberagaman ini adalah fakta yang perlu dipandang secara serius dan negara perlu menjamin agar keberagaman ini terlindungi.

“This diversity of doctrine –the fact of pluralism- is not a mere historical condition that will soon pass away, I believe, a permanent feature of the public culture of modern democracies”15.

       

12 David Hollenbach, “Religion and Political Life”, Theological Studies 52, 1991, 88.

13 Teks lengkap dari amendment pertama adalah “Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for a redress of grievances”. U.S. Constitution Online, The United States Constitution, http://www.usconstitution.net/const.html, (diakses 19 November 2009).

14 David Hollenbach, The Global Face of Public Faith, Washington: Georgetown University, 2003, 5.

15 John Rawls, The Idea of an Overlapping Consensus, hlm. 4, seperti dikutip oleh David Hollenbach, “The Common Good Revisited”, 78.

(40)

Kalau liberalisme Eropa pada abad ke 17-18 lebih menempatkan kebebasan –terutama dalam hal ekonomi– sebagai isu sentralnya, John Rawls lebih menekankan pentingnya konsep keadilan bagi masyarakat pluralis.

Kebebasan pribadi dan kelompok dijamin lewat memperkuat keadilan. Keadilan oleh Rawls dipahami sebagai suatu fairness, artinya negara memperlakukan setiap unit kebudayaan dalam posisi tengah, tidak memihak (fair) salah satu unit budaya dan lebih mengedepankan toleransi. Amendment pertama dari Konstitusi Amerika adalah bentuk nyata dari justice as fairness itu. Negara tidak boleh menjadikan salah satu agama sebagai agama negara (establishment). Negara juga tidak boleh menghalangi kebebasan para warganya untuk memilih dan menjalankan agamanya.

Atas nama toleransi itu pula, ruang publik sudah semestinya menjadi ruang aman bagi seluruh warga. Maka, pemaknaan spesifik tentang “yang baik” harus dijauhkan dari ruang publik. Artinya, agama seharusnya berada di luar ruang publik. Mengapa dijauhkan? Sebab pemaknaan “yang baik” seturut agama atau budaya tertentu jelas berbeda dengan pemaknaan agama lain atasnya, sehingga ketika pemaknaan itu masuk dalam wilayah publik sangat mungkin terjadi adalah konflik. Konflik agama di Eropa abad XV-XVI adalah contoh konkret bagaimana visi tentang kebaikan yang berciri privat (antara Kristen dan Katolik) mengkooptasi ruang publik dan menimbulkan konflik panjang. Karena ruang publik seharusnya tidak mengakomodasi pemaknaan parsial tentang “yang baik”, maka berbicara tentang “kebaikan bersama” sebagai pengikat ruang publik adalah

(41)

sesuatu yang mustahil. Pun, kalau ada “kebaikan bersama”, itu hanyalah ungkapan lain dari toleransi.

Selain itu, para pemikir liberalis mengkritik teori bonum commune sangat mudah jatuh pada paham negara integralistik yang teokratis. Rawls menulis

“A public and workable agreement on a single and general comprehensive conception [of the good] could be maintained only by the oppressive use of state power”16

Permasalahan teori negara integralistik teokratis bukan hanya bahwa konsep ini dalam perjalanan sejarah terbukti otoritarian dan mengesampingkan keberagaman, tetapi kedaulatan negara dalam pandangan negara integralistik teokratis sebenarnya sangat lemah. Kedaulatan negara dalam teori negara integralistik teokratik mendasarkan pada asumsi-asumsi maya. Misalnya: raja atau pemimpin negara adalah pilihan dan wakil Allah. Ini berbeda dengan negara demokratis.

Kedaulatan negara menjadi sangat kuat karena didasarkan pada kesepakatan warga negara yang bebas. Inilah dasar legitimasi negara demokratis.

Karena bonum commune tidak mungkin menjadi pengikat kebersamaan, masyarakat pluralis harus kembali ke kontrak sosial sebagai jalan terbaik untuk mengatur dirinya, dan kontrak sosial itu bernama toleransi. Lewat toleransi, negara menjamin kebebasan dan pelaksanaan hak individu/kelompok sehingga kedamaian dalam masyarakat pluralis menjadi mungkin. Mengikuti prinsip universalisasi Kantian, toleransi dapat menjadi matra pokok dalam mengatur masyarakat pluralis karena prinsip “toleran” dapat berlaku secara universal.

Dalam pembacaan Hollenbach, toleransi itulah modus vivendi dari masyarakat        

16 John Rawls, The Idea of an Overlapping Consensus, hlm. 4, seperti dikutip oleh David Hollenbach, The Common Good and Christian Ethic, 15.

(42)

liberal demokratis. Lewat toleransi, kebebasan tiap individu dapat berjalan secara penuh17.

Kemudian, Rawls menafsirkan kembali konsep Immanuel Kant tentang public reason, sebuah bentuk diskursus di ruang publik di mana keyakinan keagamaan tidak berperan secara konstitutif. Rawls mengartikan public reason sebagai:

“the shared methods of, and public knowledge available to, common sense, and the conclusions of science when these are not controversial”18.

Ketika seorang warga negara terlibat dalam kegiatan politik tertentu, ia harus bisa menjustifikasi keputusan-keputusan politiknya dengan mereferensi pada nilai-nilai serta standart-standart publik. Yang dimaksud dengan nilai-nilai publik adalah nilai-nilai yang compatible dengan paham keadilan sebagai fairness, seperti:

kebebasan beragama, kebebasan berpartisipasi antara wanita dan pria. Sedangkan, yang tidak termasuk nilai publik adalah nilai-nilai yang terkait dengan agama tertentu (misalnya dalam Kristianitas dan Islam, wanita tidak bisa menjadi pemimpin) atau kelompok privat tertentu. Sedangkan yang dikategorikan sebagai standart publik adalah prinsip-prinsip penalaran dan aturan-aturan pembuktian yang mana seluruh warga negara dapat ambil bagian secara rasional. Artinya, keputusan politis warga negara tidak bisa didasarkan atas ilham wahyu, teori-teori ekonomi dan psikologi yang terlalu kompleks serta masih diperdebatkan.

       

17 David Hollenbach, “Religion and Political Life”, 89.

18 John Rawls, “The Idea of an Overlapping Consensus” hlm 8 seperti dikutip oleh David Hollenbach “A Community of Freedom” dlm: R.Bruce Douglass & David Hollenbach, Catholicism and Liberalism: Contribution to American Public Philosophy, Cambridge, 1997, 332- 333.

Referensi

Dokumen terkait

secara sengaja mendorong seseorang ke jalur bus yang tengah lewat. Beberapa contoh lain adalah tindakan membakar stasiun pompa bensin atau meledakkan gudang

Arus yang mengalir pada kawat netral yang merupakan arus balik untuk sistem distribusi tiga fasa empat kawat adalah penjumlahan vektor dari ketiga arus fasa dalam

i) Batas dimensi dapat dinyatakan dengan angka maksimum dan angka minimum. b) Berikut ini adalah contoh penggunaan simbol-simbol untuk menyatakan bentuk dari dimensi khusus dan

BPRS Gunung Slamet Cilacap dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi penyelesaian pembiayaan “iB Kepemilikan” di BPRS Gunung Slamet Cilacap dilakukan melalui beberapa

Sesuai dengan tujuan utama PAMSIMAS yaitu peningkatan derajat kesehatan manusia, ketiga Desa di Kecamatan Kutowinangun perilaku masyarakat sampai dengan sampai sini sudah

Hasil yang didapat dipergunakan untuk menentukan panjang gelombang eksitasi yang sesuai dalam perancangan divais LED hibrid menggunakan bahan konversi warna berupa

Kecenderungan perilaku para wartawan melakukan jurnalistik investigasi sama halnya dengan melakukan liputan rutin berita, yaitu karena adanya kondisi atau realitas yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh fee audit dan profesionalisme auditor pada kualitas audit dengan kepuasan kerja sebagai pemediasi