• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

II- 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembebanan

Analisis desain suatu struktur, perlu ada gambaran yang jelas mengenai perilaku dan besar beban yang bekerja pada struktur. Beban-beban yang bekerja pada struktur bangunan adalah sebagai berikut:

2.1.1 Beban Mati

Menurut Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung (PPIUG) 1983, beban mati adalah berat dari semua bagian dari suatu gedung yang bersifat tetap, termasuk segala unsur tambahan, mesin-mesin serta peralatan tetap yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung itu, sehingga berat sendiri dari struktur bangunan merupakan beban mati. Tabel berat sendiri bahan bangunan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Berat Sendiri Bahan Bangunan dan Komponen Gedung

Bahan Bangunan Berat

(kg/m3)

Beton bertulang 2400

Komponen Gedung Berat

(kg/m2)

Adukan, per cm tebal dari semen 21

Dinding pasangan bata merah setengah batu 250 Langit-langit dan dinding (termasuk rusuk-

rusuknya, tanpa penggantung langit-langit atau pengaku), terdiri dari semen asbes (eternit dan bahan lain sejenis), dengan tebal maksimum 4 mm

11 Penggantung langit-langit (dari kayu) dengan

bentang maksimum 5 m dan jarak s.k.s minimun

0,8 m 7

Penutup lantai dari ubin semen portland, teraso

dan beton, adukan, per cm tebal 24

 

   

 

   

   

(2)

2.1.2 Beban Hidup

Menurut Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung (PPIUG) 1983, beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu gedung, dan ke dalamnya termasuk beban-beban pada lantai yang berasal dari barang-barang yang dapat berpindah, mesin-mesin serta peralatan yang tidak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari gedung itu dan dapat diganti selama masa hidup dari gedung itu, sehingga mengakibatkan perubahan dalam pembebanan lantai dan atap tersebut.

Pembebanan untuk beban hidup pada lantai gedung menurut PPIUG 1983 termasuk perlengkapan ruangan sesuai dengan kegunaannya, yaitu untuk lantai kantor, atau ruang kuliah disyaratkan sebesar 250 kg/m2. Sedangkan untuk beban hidup pada atap, berbeda halnya dengan beban hidup pada lantai gedung. Beban hidup pada atap menurut PPIUG 1983, adalah sebagai berikut:

1) Beban hidup pada atap dan atau bagian atap serta pada struktur tudung(canopy) yang dapat dicapai dan dibebani oleh orang, harus diambil minimum sebesar 100 kg/m2 bidang datar.

2) Beban hidup pada atap dan atau bagian atap yang tidak dapat dicapai dan dibebani oleh orang, harus diambil yang paling menentukan diantara dua macam beban, yaitu beban air hujan atau beban sebesar 100 kg.

2.2 Analisis Beban Gempa

Beban gempa adalah semua beban statik ekivalen yang bekerja pada bangunan atau bagian bangunan yang menirukan pengaruh dari gerakan tanah akibat gempa. Beban gempa didesain menggunakan metoda statik ekuivalen, metoda analisis ini adalah suatu cara analisis statik 3 dimensi linier dengan meninjau beban-beban gempa statik ekuivalen, sehubungan dengan sifat struktur gedung beraturan yang praktis berperilaku sebagai struktur 2 dimensi, sehingga respons dinamiknya praktis hanya ditentukan oleh respons ragamnya yang pertama dan dapat ditampilkan sebagai akibat dari beban gempa statik ekuivalen.

(SNI 03-1726-2002 hal 2).

 

   

 

   

   

(3)

II- 3

Setiap struktur bangunan, menurut Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2002), harus direncanakan untuk menahan suatu beban geser dasar akibat gempa (V) dalam arah-arah yang ditentukan menurut rumus:

2.2.1 Beban Geser Dasar Nominal Statik Ekuivalen (V)

Beban geser dasar statik ekuivalen (V) ditentukan berdasarkan ketentuan pasal 6.1.2 Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung SNI -1726-2002, yaitu:

(2-1)

dimana:

V = beban (gaya) dasar nominal statik ekuivalen akibat pengaruh gempa rencana yang bekerja di tingkat dasar struktur gedung beraturan,

Ct = nilai factor respon gempa yang diperoleh dari spectrum respons gempa rencana untuk waktu getar alami fundamental dari struktur gedung, I = factor keutamaan gedung,

Wt = berat total gedung, termasuk beban hidup R = faktor reduksi gempa.

2.2.2 Beban Gempa Nominal Statik Ekuivalen Pada lantai (Fi)

Beban gempa nominal statik ekuivalen (Fi) ditentukan berdasarkan ketentuan Pasal 6.1.3 SNI -1726-2002, yaitu:

( ) (2-2)

dimana:

Fi = beban gempa nominal statik ekuivalen yang menangkap pada pusat massa pada taraf lantai tingkat ke-I struktur atas gedung,

Wi = berat lantai tingkat ke-I struktur atas suatu gedung, termasuk beban hidup yang sesuai,

Zi = ketinggian lantai tingkat ke-I gedung terhadap taraf penjepitan lateral.

n = nomor lantai tingkat paling atas,  

   

 

   

   

(4)

2.2.3 Waktu Getar Alami Fundamental (T1)

Mencegah penggunaan struktur bangunan gedung yang terlalu fleksibel, nilai waktu getar alami fundamental T1 dari struktur bangunan gedung harus dibatasi dengan rumus berikut:

T1< ξ.n (2-3) dimana:

T1 = waktu getar alami fundamental struktur gedung, n = Jumlah tingkat struktur gedung,

ξ (zeta) = koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung yang membatasi T1, bergantung pada wilayah gempa. Adapun untuk wilayah gempa 4 koefisien pengalinya yakni 0,17.

2.2.4 Kontrol Waktu Getar Alamai

Jika dimensi portal telah ditentukan dengan pasti (misalnya: dimensi balok dan kolom telah dihitung mencukupi), maka waktu getar alami fundamental struktur gedung beraturan dikontrol dengan rumus Rayleigh sebagai berikut:

n

1 i i i n

1 i

i 2 ,

R g Fd

d W 3

6

T (2-4)

dimana:

TR = waktu getar alami fundamental gedung beraturan berdasarkan rumus rayleigh,

Wi dan Fi = mempunyai arti sama seperti disebutkan persamaan (2-2), di = simpangan horizontal lantai tingkat ke-i,

g = percepatan gravitasi.

 

   

 

   

   

(5)

II- 5

2.2.5 Faktor Penentu Beban Gempa Nominal

Dari persamaan (2.1) dapat diketahui, bahwa beban geser dasar nominal akibat gempa V dipengaruhi oleh faktor-faktor C1, I, R dan Wt.

2.2.5.1 Faktor respon gempa (C1)

Nilai faktor respon gempa C1 dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu:

1. Kondisi tanah pada gedung yang dibangun

Menurut pasal 4.6.3 SNI -1726-2002, kondisi tanah sebagai tempat gedung yang dibangun dibedakan atas 3 jenis, yaitu tanah keras, tanah sedang, dan tanah lunak, apabila untuk lapisan setebal 30 m paling atas dipenuhi syarat- syarat yang tercantum pada dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.2 Kondisi Tanah Jenis

tanah Kecepatan rambat gelombang

geser rerata, vs

(m/det)

Nilai hasil Test Penetrasi

Standar rerata N

(kPa) Tanah

Keras vs ≥ 350 N ≥ 50 Su ≥ 100

Tanah

Sedang 175 ≤ vs <

350 N N<

50 50 ≤ Su <

Tanah 100

Lunak vs < 350 N < 15 Su < 50 atau, semua jenis tanah lempung lunak dengan tebal total lebih dari 3 meter dengan PI > 20, wn

≥ 40% dan Su < 25 kPa Tanah

Khusus Diperlukan evaluasi khusus di setiap setiap lokasi

[ Sumber: SNI -1726-2002, hal. 18 ]

2. Waktu getar alami fundamental T1

Waktu getar alami fundamental T1 dari struktur gedung harus dibatasi, bergantung pada koefisien ξ dan jumlah tingkatnya n, yang dihitung berdasarkan persamaan (2.3) atau persamaan (2.4).

 

   

 

   

   

(6)

3. Wilayah gempa

Menurut pasal 4.7.1 SNI -1726-2002, peta di Indonesia diagi menjadi 6 wilayah gempa seperti ditunjukan pada Gambar 2.1. Pembagian wilayah ini didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh gempa rencana. Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah dan Wilayah Gempa 6 dengan kegempaan paling tinggi.

Gempa rencana yaitu gempa yang ditetapkan dengan periode ulang 500 tahun, agar probabilitas terjadinya terbatas pada 10% selama umur gedung 50 tahun.

Gambar 2.1 Peta zona wilayah gempa Indonesia

Jika kondisi tanah, waktu getar alami fundamental struktur gedung dan wilayah gempa sudah ditentukan, maka nilai faktor respon gempa C1 dapat ditentukan dari respon gempa rencana menurut Gambar 2.2.

 

   

 

   

   

(7)

II- 7

Gambar 2.2 Respon spektrum gempa rencana [ Sumber : SNI -1726-2002 ] 2.2.5.2 Faktor keutamaan (I)

Faktor keutamaan gedung (I) merupakan faktor pengali dari pengaruh gempa rencana pada berbagai kategori gedung, untuk menyesuaikan periode ulang gempa yang berkaitan dengan probabilitas dilampauinya pengaruh tersebut selama umur gedung tersebut dan penyesuaian umur gedung itu. Menurut pasal 4.1.2 SNI -1726-2002, faktor keutamaan I ditentukan dengan persamaan:

 

   

 

   

   

(8)

I = I1.I2 (2-5) dimana:

I1 = faktor keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur gedung,

I2 = faktor keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan dengan penyesuaian umur gedung tersebut.

Adapun faktor keutamaan untuk gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan dan perkantoran berdasarkan SNI 1706-2002 pasal 4.12 yakni:

I1 = 1,0 I2 = 1,0 I = 1,0

2.2.5.3 Faktor reduksi gempa (R)

Faktor reduksi gempa (R) merupakan rasio antara beban gempa maksimal akibat pengaruh gempa rencana pada struktur gedung elastik penuh dan beban gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana pada struktur gedung daktail, bergantung pada faktor daktilitas struktur gedung tersebut. Pasal 4.3.3 SNI -1726- 2002 menetapkan faktor reduksi gempa (R) dengan persamaan berikut:

R = μ . fi (2-6)

dimana:

R = faktor reduksi gempa yang bergantung pada faktor daktilitas struktur gedung tersebut, dan dapat dilihat pada Tabel 2.3,

μ = faktor daktilitas struktur gedung yang boleh dipilih menurut kebutuhan, dan dapat dilihat pada Tabel 2.3,

fi = faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam struktur gedung, dan nilainya ditetapkan sebesar 1,6.

 

   

 

   

   

(9)

II- 9

Tabel 2.3 Parameter Daktilitas Struktur Gedung Taraf Kinerja

Struktur Gedung μ R

Elastik Penuh 1,0 1,6

Daktail Parsial

1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0

2,4 3,2 4,0 4,8 5,6 6,4 7,2 8,0

Daktail Penuh 5,3 8,5

Pemilihan nilai faktor daktilitas struktur gedung μ tidak boleh diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas maksimum μm dan faktor reduksi maksimum Rm seperti pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Faktor Daktilitas Maksimum μm Faktor Reduksi Gempa Maksimum Rm

dan Faktor Kuat Lebih Total f dari Berbagai Jenis Struktur dan Subsistem Struktur Gedung (SNI -1726-2002)

Sistem dan subsistem struktur gedung

Uraian sistem pemikul beban

gempa μm Rm F

Sistem rangka pemikul momen

Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah Beton

(SRPMM)

3,3 5,5 2,8  

   

 

   

   

(10)

2.2.5.4 Berat total gedung (Wt)

Menurut Pasal 6.12 SNI -1726-2002, berat total gedung (Wt) merupakan kombinasi dari beban mati dan beban hidup yang sesui, sedangkan menurut Pasal 2.1.4 Pedoman Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung, SNI 03- 1727-1989 (PPPURG-1989) menyatakan bahwa beban hidup pada penentuan Wt

tersebut boleh dikalikan dengan suatu koefisien reduksi (kr) yang nilainya tercantum pada Tabel 2.8. Jadi berat total gedung (Wt) dapat dihitung dari kombinasi beban mati seluruhnya ditambah beban hidup yang direduksi, dengan rumus:

Wt = WD + kr. WL (2-7)

WD dan WL merupakan berat beban mati dan beban hidup struktur gedung, sedangkan kr merupakan koefisien reduksi beban hidup. Adapun untuk ruang kelas koefisien reduksi beban hidup untuk perencanaan balok dan portal 0,9 sedangkan untuk peninjauan gempa 0,5.

2.3 Arah Pembebanan Gempa

Arah pembebanan pada analisis struktur atas gedung dilakukan dengan metode pusat masa yang setiap lantai tingkatnya dibuat diagfragma.

2.3.1 Pusat Massa

Pusat massa lantai tingkat suatu struktur gedung adalah titik tangkap resultante beban mati, berikut beban hidup sesuai yang bekerja pada lantai tingkat itu. Perancangan struktur gedung, pusat massa adalah titik tangkap beban gempa statik.

Nilai pusat massa didapatkan dari perhitungan gaya-gaya dalam dengan melihat gaya normal pada setiap struktur, kemudian dihitung dengan menggunakan rumus:

n

1

i i

pm i

N X N Xi

(2-8)  

   

 

   

   

(11)

II- 11

n

1

i i

pm i

N Y N Xi

(2-9) dimana:

Xpm = jarak dari koordinat (0,0) untuk menentukan pusat massa arah X, Ypm = jarak dari koordinat (0,0) untuk menentukan pusat massa arah Y.

Pusat massa suatu lantai terletidak pada koordinat (Xpm,Ypm).

2.3.2 Pusat Rotasi

Pusat rotasi lantai tingkat suatu struktur gedung adalah suatu titik pada lantai tingkat itu yang bila suatu beban horizontal bekerja padanya, lantai tingkat tersebut tidak berotasi, tetapi hanya bertranslasi, sedangkan lantai-lantai tingkat lainnya yang tidak mengalami beban horizontal semuanya berotasi dan bertranslasi.

2.3.3 Eksentrisitas Desain

Menurut SNI 03-1726-2002 Pasal 5.4, pusat massa lantai tingkat suatu struktur gedung adalah titik tangkap resultante beban mati dan beban hidup yang sesuai, yang bekerja pada lantai tingkat tersebut. Pada perancangan struktur gedung, pusat massa adalah titik tangkap beban gempa statik ekivalen. Sedangkan pusat rotasi lantai tingkat suatu struktur gedung adalah suatu titik pada lantai tingkat yang ditinjau yang bila diberi beban horizontal maka lantai tingkat tersebut tidak berotasi akan tetapi mengalami translasi, sedangkan lantai-lantai tingkat lain yang tidak mengalami beban horizontal akan mengalami rotasi dan translasi.

Jarak antara pusat massa dan pusat rotasi dinyatakan sebagai eksentrisitas teoritis. Sedangkan antara pusat massa dan pusat rotasi tersebut harus ditinjau suatu eksentrisitas rencana (ed). Eksentrisitas rencana ini merupakan jarak dari pusat rotasi ke pusat massa yang telah dipindahkan, di mana pusat massa yang telah dipindahkan ini merupakan pusat massa yang dihitung dengan mempertimbangkan kemungkinan perpindahan pergerakan beban hidup.

 

   

 

   

   

(12)

Gaya gempa mempunyai rotasi sehingga harus memperhitungkan rotasi, karena beban-beban yang bekerja tidak tetap, maka rotasipun akan berpindah pula. Selain itu, pada setiap lantai terdapat pusat rotasi dan pusat massa yang biasanya tidak berimpit (sesuai dengan bentuk bangunan), sehingga perlu dicari eksentrisitas desainnya.

Menurut SNI 03-1726-2002 pasal 5.4.3 eksentrisitas dapat dinyatakan sebagai berikut:

Untuk 0 < e ≤ 0,3 b, maka:

Ed = 1,5e + 0,05b (2-10) atau

Ed = e – 0,5b (2-11)

Dari kedua nilai di atas, dipilih di antara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur atau subsistem struktur gedung yang ditinjau.

Untuk e > 0,3b, maka:

Ed = 1,33e + 0,1b (2-12)

atau

Ed = 1,17e - 0,3b (2-13)

Dari kedua nilai di atas, di pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur atau subsistem struktur gedung yang ditinjau.

dimana:

e = eksentrisitas antara pusat rotasi dan pusat massa, Ed = eksentrisitas desain,

b = ukuran horisontal terbesar denah struktur gedung yang diukur tegak lurus pada arah pembebanan gempa.

2.4 Preliminary Design (Perencanaan Awal)

Preliminary Design (Perencanaan Awal) dilakukan untuk mendapatkan dimensi awal yang digunakan untuk perancangan struktur sesuai dengan SNI 03- 2874-2002 tentang “Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung”. Perencanaan awal yang dilakukan meliputi elemen struktur kolom, balok dan lantai.

 

   

 

   

   

(13)

II- 13

2.4.1 Preliminary Design Kolom

Sesuai pasal 23.4(1) SNI 03-2874-2002 untuk komponen struktur yang menerima kombinasi lentur dan beban aksial adalah:

bmin = 300 mm dan (2-14) keterangan:

b = dimensi penampang terkecil (mm),

h = dimensi penampang yang tegak lurus penampang terkecil (mm).

2.4.2 Preliminary Design Balok

Sesuai Tabel 8 pasal 11.5 SNI 03-2874-2002 untuk komponen struktur balok tebal minimum, h adalah:

untuk balok dengan satu ujung menerus:

(2-15)

untuk balok dengan kedua ujung menerus:

(2-16) Sesuai pasal 23.3(1) SNI 03-2874-2002 untuk komponen struktur lentur adalah:

bmin = 250 mm dan (2-17)

dimana:

b = lebar penampang balok (mm), h = tinggi penampang balok (mm),

L = panjang bentang balok, diukur dari pusat ke pusat (mm), (*) Untuk fy ≥ 400 MPa, nilainya harus dikalikan dengan

5(*) ,

min 18 hL

21(*)

min L

h

3 , 0 hb

4 700 ,

0 fy

 

   

 

   

   

(14)

2.4.3 Preliminary Design Pelat

Sesuai pasal 11.5(3(3)) SNI 03-2874-2002 langkah perhitungan Preliminary Design untuk konstruksi dua arah (non-prategang) tebal pelat minimum, h adalah:

Menentukan β dan hmin

(2-18)

(2-19) dimana:

 Menentukan tebal pelat awal dengan h > hmin

 Menentukan jarak titik berat, inersia balok dan inersia pelat

(2-20)

(2-21)

(2-22) dimana:

1

n = bentang bersih terpanjang, diukur dari muka kolom dan atau balok

2

n = bentang bersih terpendek, diukur dari muka kolom dan atau balok

β = rasio panjang bentang bersih terpanjang dengan panjang bentang bersih terpendek

fy = tegangan leleh baja (MPa) h = tebal pelat (mm)

y = jarak titik berat penampang total (mm) A = luas penampang (mm2)

y = jarak titik berat penampang total ke serat terluar (mm)

2 1 n n

9 36

8 1500 , 0

1

min

y n

f

h

 

3 3 2 1

12 1

12 1

p p

b bp

n

i i i

h L I

d A h b I

A y A y

 

   

 

   

   

(15)

II- 15

 Menentukan αm

(2-23)

(2-24)

dengan:

 Mengecek ketebalan pelat yang digunakan

 untuk αm ≥ 0,2:

a. Pelat tanpa penebalan h = 120 mm b. Pelat dengan penebalan h = 100 mm

 untuk 0,2 < αm ≤ 2,0 : a.

b. h ≥ 120 mm

Ibp = momen inersia balok (mm4) Ip = momen inersia pelat (mm4) b = lebar penampang balok (mm) hb = tinggi penampang balok (mm) hp = tinggi penampang pelat (mm)

L = setengah lebar pelat pada sisi kiri dan kanan atau atas dan bawah balok yang ditinjau (mm)

d = jarak titik berat penampang total ke titik berat penampang yang ditinjau (mm)

αi = rasio kekakuan lentur balok terhadap kekakuan lentur pelat αm = harga rata-rata dari perbandingan kekakuan lentur balok

terhadap kekakuan lentur pelat pada ke empat sisinya Ebi,Epi = modulus elastisitas beton 4700 √

) 2 , 0 ( 5 36

8 1500 , 0





m y n

f

h

 

   

 

   

   

(16)

Digunakan nilai h yang lebih besar

 untuk αm > 2,0:

a.

b. h ≥ 90 mm

Digunakan nilai yang h yang lebih besar.

2.5 Perancangan Komponen Struktur Rangka Pemikul Momen Menegah (SRPMM)

Penulangan komponen SRPMM harus memenuhi ketentuan-ketentuan detailing balok SRPMM bila beban aksial tekan terfaktor pada komponen struktur tidak melebihi Agfc’/10. Bila beban aksial tekan terfaktor pada komponen struktur melebihi Agfc’/10, maka ketentuan kolom SRPMM harus dipenuhi kecuali bila komponen struktur kolom diberi tulangan spiral minimum.

Bila konstruksi pelat dua arah tanpa balok digunakan sebagai bagian dari sistem rangka pemikul beban lateral, maka detail penulangannya harus memenuhi ketentuan detailing pelat SRPMM.

2.5.1 Kuat Geser Rencana

Kuat geser rencana balok, kolom, dan konstruksi pelat dua arah pada struktur SRPMM terlihat pada Gambar 2.3 diambil sebagai nilai terbesar dari dua kondisi berikut ini.

1) Jumlah gaya lintang akibat termobilisasinya kuat lentur nominal komponen struktur pada setiap ujung bentang bersihnya dan gaya lintang akibat beban gravitasi terfaktor.

2) Gaya lintang maksimum yang diperoleh dari kombinasi beban rencana termasuk pengaruh beban gempa, E, dengan nilai E diambil sebesar dua kali nilai yang ditentukan dalam SNI Gempa.

9 36

8 1500 , 0





y n

f h

 

   

 

   

   

(17)

II- 17

Gambar 2.3 Gaya geser rencana pada SRPMM

2.5.2 Persyaratan Detailing Komponen Lentur SRPMM

Sama seperti halnya pada komponen struktur SRPMK, pada komponen struktur SRPMM juga berlaku beberapa persyaratan untuk penulangan lentur, diantaranya:

1) Kuat lentur positif balok pada muka kolom harus lebih besar dari sepertiga (1/3) kuat lentnr negatifnya.

2) Kuat lentur negatif dan positif pada setiap irisan penampang disepanjang bentang harus lebih besar dari seperlima (1/5) kuat lentur terbesar yang disediakan pada kedua ujung balok tersebut.

Tulangan transversal, beberapa ketentuan di bawah ini harus dipenuhi, yaitu:

1) Pada kedua ujung balok harus dipasang sengkang sepanjang jarak dua kali tinggi komponen struktur dari muka perletakan. Sengkang pertama harus dipasang pada jarak tidak lebih dari 50 mm dari muka perletakan. Spasi maksimum sengkang di daerah ini tidak boleh melebihi:

a. d/4

b. delapan (8) kdi diameter tulangan longitudinal terkecil, c. 24 kali diameter sengkang, dan

d. 300 mm.

2) Sengkang di luar daerah ujung balok harus dipasang dengan spasi maksimum d/2.

 

   

 

   

   

(18)

2.6 Analisis Struktur Balok

2.6.1 Analisis Lentur Balok Persegi Bertulangan Rangkap

Penampang bertulang rangkap mempunyai tulangan tarik dan tulangan tekan. Dalam analisis dan desain elemen struktur balok yang mempunyai tulangan tekan As’, penampangnya secara teoritis dibagi menjadi dua bagian sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Distribusi tegangan dan regangan penampang balok bertulang ganda (a) potongan penampang balok (b) regangan (c) tegangan

dimana:

h = tinggi balok [ mm ], b = lebar balok [ mm ], c = garis netral [mm], εc = regangan beton [0,003], εs = regangan baja tulangan tarik, εs’ = regangan baja tulangan tekan, Cc = gaya tekan beton [N],

Cs’ = gaya tekan baja tulangan tekan [N], Ts = gaya tarik baja tulangan [N],

Ts = As. fy

 

   

 

   

   

(19)

II- 19

d = tinggi effektif balok,ditentukan dari serat tekan terluar sampai dengan titik berat tulangan tarik [mm],

d’ = jarak serat tekan terluar sampai dengan titik berat tulangan tekan [ mm], As = luas tulangan tarik [mm2],

As’ = luas tulangan tekan [mm2],

a = tinggi blok tegangan persegi ekivalen [mm], = β1.c ,

Mn = momen nominal penampang [Nmm],

Dengan mengasumsikan tulangan tarik dan tekan sudah leleh, maka:

fs = fy fs’ = fy

Dari keseimbangan gaya horizontal pada diagram (C) tegangan H = 0

Cc + C ’ = T (2-25)

0,85.fc’.a.b + As’.fy = As.fy (2-26)

a = ( ) (2-27)

c = (2-28)

kontrol terhadap asumsi di atas bahwa fs = fy maka

fs’ = fy maka Dari diagram regangan

=

= ( ) (2-29)

= ( )  maka tulangan tekan sudah leleh

( ) (2-30)

Bila kedua asumsi di atas benar, maka besarnya momen nominal (Mn)  

   

 

   

   

(20)

Mn = Cc . ( ) + Cs’ (d-d’) (2-31) Bila tulangan tekan belum leleh, maka tegangan tulangan tekan tidak sama denggan tegangan leleh, maka besarnya nilai:

fs < fy atau <

Dari keseimbangan gaya horizontal pada Gambar 2.5 (c) tegangan H = 0

Cc + C ’ = T (2-32)

0,85.fc’.a.b + As’.fs ’ = As . fy (2-33)

fs ’ = . , dengan nilai Es = 200000 MPa (2-34) =

= ( ) , dengan nilai c = (2-35)

= ( )

(2-36)

= ( ) (2-37)

= ( )

= ( ) (2-38)

fs = (2-39)

= ( ) .0,003.200000

= 600 ( ) (2-40)

Dengan mensubtitusikan persamaan di atas (fs’) ke dalam persamaan 2.29 maka 0,85.fc’.a.b + As’. fs ’ = As . fy (2-41) 0,85.fc’.a.b + As . 600 ( ) = As . fy , mengalikan persamaan dengan nilai a 0,85. fc’.b. + As’.600.a – As’.600. .d = As.fy.a (2-42) 0,85. fc’.b. + (As’.600 – As.fy) a – As’.600. .d = 0 (2-43) nilai a akan diperoleh

 

   

 

   

   

(21)

II- 21

Besarnya momen nominal yang terjadi (Mn) adalah:

( ) ( ) (2-44)

( ) ( ) (2-45)

Kekuatan momen rencana harus lebih besar atau sama dengan momen luar rencana , jadi

(2-46)

Kontrol daktilitas (rasio penulangan)

 Rasio penulangan minimum (𝜌min) 𝜌min

atau 𝜌min , (2-47)

diambil nilai terbesar dari kedua nilai tersebut

 Rasio penulangan maximum (𝜌max)

komponen struktur beton dengan tulangan tekan,bagian ρb untuk tulangan tekan tidak perlu direduksi dengan faktor 0,75

𝜌 (

( ) ) 𝜌 (2-48)

Menentukan rasio penulangan seimbang (𝜌 ) 𝜌

𝜌 (2-49)

dengan catatan, bila :

fs’< fy, maka digunakan nilai fs’ fs’ ≥ fy, maka digunakan nilai fy

2.6.2 Analisis Kapasitas Geser Balok

Perhitungan tulangan geser balok pada kondisi SRPMM dihitung sebagai berikut:

a) Nilai Mn1 dan Mnr didapatkan dari tulangan lentur balok akibat gaya gravitasi.

b) Perhitungan gaya geser pada kondisi SRPMM diperlihatkan oleh Gambar 2.5  

   

 

   

   

(22)

2 ln ln

Mn Wu Vu Mnl R

Gambar 2.5 Perancangan geser untuk balok SRPMM Sumber: SNI 03-2847-2002

Dimana nilai gaya geser Vu adalah:

L

L Vug

Ln Mnr

Vu Mn1 (2-50)

R

R Vug

L Mnr

Vu Mn1

(2-51)

Nilai VuL dan VuR didapat dari nilai gaya geser maksimum dengan beban sebesar 1,2D+1,0L yang kemudian dibandingkan dengan nilai analisis gaya geser berdasarkan pembesaran dua kali beban gempa yang ditentukan dalam SNI Gempa tahun 2002.

Gaya geser yang terjadi akan dipikul secara bersama-sama antar beton dan tulangan geser. Analisis penampang akibat geser lentur harus memenuhi:

(2-52)

dimana:

= faktor reduksi kekuatan, Vn = uat geser nominal penampang,

Vu = kuat geser terfaktor penampang yang ditinjau.

Besarnya kuat gesr nominal penampang dapat dihitung dari persamaan sebagai berikut:

 

   

 

   

   

(23)

II- 23

(2-53)

dimana:

Vn = kuat geser nominal penampang,

Vc = kuat geser nominal yang didapat dari beton,

Vs = kuat geser nominal yang didapat dari tulangan sengkang.

Kuat geser yang ditahan oleh beton

Sesuai dengan peraturan bahwa kuat geser yang ditahan oleh beton sebesar:

komponen struktur yang dibebani oleh geser dan lentur.

(2-54)

Besarnya kuat geser yang ditahan oleh tulangan sengkang sebagai berikut:

Tulangan sengkang tegak lurus terhadap sumbu aksial komponen struktur:

(2-55)

dimana:

Vs = kuat geser akibat tulangan sengkang (N), Av = luas tulangan geser,

fy = tegangan leleh baja tulangan (Mpa), d = tinggi efektif balok (mm),

S = jarak antar tulangan sengkang (mm).

Namun nilai Vs harus tidak boleh lebih besar dari √ .

2.6.3 Tulangan Puntir Balok

Berdasarkan SNI 03-2847-2002 ketentuan-ketentuan perhitungan tulangan puntir balok adalah sebagai berikut:

a) Berdasarkan SNI 03-2847-2002 pasal 13.6.1 pengaruh puntir dapat diabaikan bila nilai momen puntir terfaktor Tu ,

(

) (2-56)

dimana:

Tu = momen puntir terfaktor pada penampang [kNm], = faktor reduksi berdasarkan SNI 03-2847-2002  

   

 

   

   

(24)

f’c = kuat tekan beton [MPa],

Acp = luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton [mm2], Pcp = keliling luar penampang beton [mm].

b) Tulangan transversal yang dibutuhkan untuk puntir menahan geser dan torsi berdasarkan persamaan berikut:

(2-57)

dimana:

T = momen puntir terfaktor pada penampang (kNm), = faktor reduksi berdasarkan SNI 03-2847-2002 S = farak tulangan (mm),

Vs = kuat geser nominal yang disumbangkan oleh tulangan geser (kN),

At = luas satu kaki sengkang tertutup yang menahan puntir dalam daerah sejarak s (mm2),

Ao = luas bruto yang dibatasi oleh lintasan aliran geser (mm2), fyv = kuat leleh tulangan sengkang torsi (MPa),

Av = luas tulangan geser dalam daerah jarak s (mm2),

Bilamana diperlukan tulangan puntir, maka tulangan tranversal minimum dihitung dengan ketentuan:

( ) (2-58)

Namun (Av + 2.At) tidak boleh kurang dari

dimana:

Av = luas tulangan geser dalam daerah jarak s (mm2),

At = luas satu kaki sengkang tertutup yang menahan puntir dalam daerah sejarak s (mm2),

fyv = kuat leleh tulangan sengkang torsi (Mpa), s = jarak tulangan (mm),

 

   

 

   

   

(25)

II- 25

f’c = kuat tekan beton (MPa),

bw = lebar badan, atau diameter penampang lingkaran (mm).

Tulangan longitudianl tambahan yang diperlukan untuk menahan puntir tidak boleh kurang dari:

(

) (2-59)

diaman:

At = luas satu kaki sengkang tertutup yang menahan puntir dalam daerah sejarak s (mm2),

fyv = kuat leleh tulangan sengkang torsi (MPa), s = jarak tulangan (mm),

fyl = kuat leleh tulangan torsi longitudinal (MPa),

Ph = keliling dari garis pusat tulangan sengkang torsi terluar (mm), Al = luas total tulangan longitudinal yang memikul puntir (mm2).

Bilamana diperlukan tulangan puntir, maka minimum tulangan puntir longitudinal dihitung dengan ketentuan:

( )

(2-60)

dengan tidak kurang dari

dimana:

At = luas satu kaki sengkang tertutup yang menahan puntir dalam daerah sejarak s (mm2),

fyv = kuat leleh tulangan sengkang torsi (MPa),

Acp = uas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton (mm2), fyl = kuat leleh tulangan torsi longitudinal (MPa),

Ph = keliling dari garis pusat tulangan sengkang torsi terluar (mm) f’c = kuat tekan beton (MPa),

bw = lebar badan, atau diameter penampang lingkaran (mm)  

   

 

   

   

(26)

2.7 Analisis Kapasitas Kolom 2.7.1 Kolom bergoyang

Kolom struktur boleh dianggap bergoyang apabila perbesaran momen momen ujung akibat pengaruh orde dua melebihi 5 % dari momen-momen ujung orde satu. Suatu tingkat pada struktur boleh dianggap tidak bergoyang bilai nilai:

05 , Vu.lc 0

o

Q Pu.

(2-61)

Ʃpu dan Vu masing-masing adalah beban vertikal total dan gaya geser lantai total pada tingkat yang ditinjau, dan Δ0 adalah simpangan relative antar tingkat orde pertama pada tingkat yang ditinjau akibat Vu berdasarkan SNI-03- 2847-2002.

2.7.2 Kelangsingan Kolom

Menurut SNI-0-2847-2002 pengaruh kelangsingan pada kolom yang tidak bergoyang bergoyang bisa diabaikan apabila syarat dibawah ini dipenuhi:





2 1

M 12 M . 34

r lu

k (2-62)

Suku [34-12(M1/M2)] tidak boleh diambil lebih besar dari 40. Suku M1/M2 bernilai positif bila kolom melentur dengan kelengkungan tunggal dan bernilai negatif bila kolom melentur dengan ganda. Apabila persyaratan di atas tidak memenuhi, maka harus dilakukan perbesaran momen.

2.7.3 Kolom Pendek

Kolom dikategorikan menjadi kolom pendek dan kolom tinggi, kolom bisa

dikategorikan sebagai kolom pendek apabila memenuhi persyaratan di bawah ini:

a. kolom tidak bergoyang:





2 1

M 12 M . 34

r lu

k (2-63)

 

   

 

   

   

(27)

II- 27

b. kolom bergoyang:

. 12 r

lu

k (2-64)

dimana :

k = faktor panjang efektif kolom lu = panjang bersih kolom (m)

r = radius atau jari – jari inersia penampang kolom (m) 0,3h (kolom persegi) dan 0,25 (kolom bundar) M1 = momen terkecil pada ujung kolom

M2 = momen terbesar pada ujung kolom

Diagram interaksi merupakan suatu diagram yang menunjukkan hubungan antara gaya aksial nominal dengan momen nominal atau eksentrisitas e kolom, sehingga dapat diketahui batas wilayah aman kolom terhadap kombinasi beban aksial dan momen.

2.7.4 Analisis Aksial dan Lentur

Perhitungan kapasitas penampang elemen struktur kolom menggunakan bantuan perangkat lunak PCA Column. Data yang diperlukan untuk dapat melakukan proses running meliputi jumlah serta diameter tulangan yang digunakan, mutu beton, dan mutu baja. Proses penggunaannya tergolong sederhana, cukup dengan memasukkan data tersebut dalam waktu yang singkat dapat dihasilkan sebuah diagram interaksi yang menunjukan aman tidaknya kolom yang direncanakan. Berikut merupakan urutan pengerjaan yang harus dilakukan:

 

   

 

   

   

(28)

1. Mendefinisikan proyek, kemudian Input semua data umum yang diperlukan, antara lain:

 Label

 Unit atau satuan yamg akan dipakai.

Design code yang akan digunakan (digunakan ACI karcna SNI mengacu pada ACI)

Run axis (tergantung kolom yang akan dianalisa atau investigasi apakah satu axis atau biaxial, dalam perhitungan kapasitas pada laporan ini digunakan biaxial)

Run Design (disini ada dua pilihan Investigation dan Design, digunakan Investigation)

2. Definisikan material yang akan digunakan. Input Material Properties  

   

 

   

   

(29)

II- 29

3. Gambarkan penampang yang digunakan. Input Section Rectangular/Circle

Pemilihan section tergantung dari keadaan bentuk penampang kolom yang akan dianalisis, apakah persegi atau lingkaran.

4. Tentukan jumlah dan diameter tulangan yang akan digunakan pada kolom tersebut. Input Reinforcement All Side Equal, Equal Sides Different, Irregular Pattern.

Disini ada 4 pilihan untuk menempatkan tulangan sesuai yang diinginkan.

All Side Equal, mendefinisikan jumlah dan dimensi tulangan yang diinput akan disebar keseluruh sisi kolom secara merata.

Equal Spacing, hampir sama dengan All Side Equal.

Side Different, pada pilihan ini dapat menempatkan jumlah dan diameter tulangan pada sisi yang akan digunakan.

Irregular Pattern, yang diinput adalah luasan tulangan yang akan digunakan.

Setelah data terisi pada kotak dialog di atas klik OK untuk mengetahui apakah posisi tulangan pada penampang sudah sesuai dengan yang diinginkan.

 

   

 

   

   

(30)

5. Masukkan beban yang bekerja pada kolom tersebut yang sebelumnya didapat dari suatu hasil perhitungan atau dari aplikasi struktur. Input Load Factored, Service, Control Points, Axial Loads

Ada 4 pilihan cara untuk memasukkan data beban, tergantung dari beban yang didapat dari perhitungan sebelumnya. Selain itu dapat ditambahkan kombinasi beban dengan meng-klik Load Combination (Dalam perhitungan kapasitas pada laporan ini digunakan Factored sebagai cara untuk menginput beban)

6. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengecek kekuatan kolom. Solve Execute, maka akan muncul

 

   

 

   

   

(31)

II- 31

2.7.5 Analisis Kapasitas Geser Kolom

Perhitungan gaya geser pada kolom dihitung sebagai berikut:

hn Mnb

Vu Mnt

(2-66)

Nilai Vu didapat dari nilai momen moninal kolom yang kemudian dibandingkan dengan nilai analisis gaya geser berdasarkan pembesaran dua kali beban gempa yang ditentukan dalam SNI Gempa tahun 2002.

Gaya geser yang terjadi akan dipikul secara bersama-sama antar beton dan tulangan geser. Analisis penampang akibat geser lentur harus memenuhi:

(2-67)

dimana:

= faktor reduksi kekuatan,

Vn = kuat geser nominal penampang,

Vu = kuat geser terfaktor penampang yang ditinjau.

Besarnya kuat gesr nominal penampang dapat dihitung dari persamaan sebagai berikut:

(2-68)

dimana:

Vn = kuat geser nominal penampang,

Vc = kuat geser nominal yang didapat dari beton,

Vs = kuat geser nominal yang didapat dari tulangan sengkang.

Kuat geser yang ditahan oleh beton

Sesuai dengan peraturan bahwa kuat geser yang ditahan oleh beton sebesar:

komponen struktur yang mnerima beban aksial d

6 b fc' 14A 1 P

V w

g

c u

(2-69)

Besarnya kuat geser yang ditahan oleh tulangan sengkang sebagai berikut:

Tulangan sengkang tegak lurus terhadap sumbu aksial komponen struktur:

(2-70)

 

   

 

   

   

(32)

dimana:

Vs = kuat geser akibat tulangan sengkang (N), Av = luas tulangan geser,

fy = tegangan leleh baja tulangan (Mpa), d = tinggi efektif balok (mm),

S = jarak antar tulangan sengkang (mm).

Namun nilai Vs harus tidak boleh lebih besar dari √ .

2.8 Perkuatan Geser Elemen Struktural Balok Menggunakan Fiber Reinforced Polymer (FRP)

Balok dan kolom dapat dibungkus dengan FRP baik sebagian (satu sisi sedikit dari elemen) atau sepenuhnya (seluruh elemen) untuk meningkatkan kekuatan geser. FRP membungkus penuh bahan atau lembar dari elemen beton bertulang yang paling cocok untuk kolom dan dermaga, sedangkan balok cor terpadu dengan lembaran memungkinkan pembungkus parsial hanya sekitar tiga sisi. Pembungkusan pada tiga sisi sering disebut sebagai konfigurasi U-wrap (kontinu) atau U-strip (terpisah). Konfigurasi pembungkus yang berbeda umumnya digunakan untuk meningkatkan kekuatan geser ditunjukkan pada Gambar 2.6. Sistem FRP dapat dipasang terus menerus sepanjang elemen atau dalam bentuk baris terpisah (Gambar 2.6.). Ketahanan geser maksimum melalui wraps dapat dicapai dengan membungkus sebanyak mungkin sisi baloknya.

Membungkus di semua sisi memberikan ketahanan seperti kekuatan lentur dan geser yang ditingkatkan untuk bagian beton bertulang.

 

   

 

   

   

(33)

II- 33

Gambar 2.6 Konfigurasi Wrapping untuk Meningkatkan Kekuatan Geser

Gambar 2.7 Memasang FRP wraps lurus atau berorientasi baris.

FRP wraps seperti terlihat pada Gambar 2.6 digunakan untuk meningkatkan kekuatan geser balok beton dan kolom. Kekuatan geser tambahan yang diperoleh dengan orientasi fiber dalam arah yang melintang terhadap sumbu netral dari elemen beton atau tegak lurus terhadap retak geser.

 

   

 

   

   

(34)

Kekuatan geser yang diberikan FRP wraps dapat dievaluasi dari kekuatan akibat tegangan tarik dalam FRP wraps, yang tergantung pada fiber dan orientasi retak sudut (α) dengan mengacu pada sumbu memanjang balok beton. Untuk menyederhanakan analisis, kecenderungan dari retak yang diasumsikan 45° (α).

Serat yang berorientasi pada 45° (strip vertikal) untuk retak atau pada 90°

(cenderung strip) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7.

Kuat geser nominal Vn merupakan gabungan konstribusi beton Vc dan tulangan geser Vs dan FRP Vf. Ketahanan geser masih dikalikan dengan faktor reduksi kekuatan, sehingga dapat dituliskan sebagai berikut:

( ) (2-71) dimana:

Vn = kuat geser nominal

Vc = kuat geser nominal dari beton

Vs = kuat geser nominal dari tulangan sengkang Vf = kuat geser dari FRP

Ø = faktor reduksi kekuatan sebesar 0,75

ψf = 0.85 U-Wraps tiga sisi (penggunaan ikatan kritis)

Kontribusi kekuatan geser dari FRP wraps dapat dihitung dengan menggunakan ( )

dimana:

( )

Ψ = 0,95 untuk komponen yang ditutup lembaran keliling penampang atau keempat sisinya.

Ψ = 0,85 untuk U-wrap tiga sisi atau bentuk pelat

FRP wraps pada dua ikatan sisi dan tiga ikatan sisi, ACI 440.2R-02 menunjukkan perhitungan regangan efektif dengan menerapkan koefisien reduksi ikatan (κv) untuk geser. Koefisien reduksi ikatan (κv) tersebut tergantung pada  

   

 

   

   

(35)

II- 35

kekuatan beton, regangan wraps dan sifat kekakuan, ketebalan serta jumlah wraps.

(2-72)

(untuk membungkus seluruh elemen penampang)

(untuk U-wraps atau ikatan dua sisi) (2-73) dimana:

( ) (2-74)

koefisien reduksi ikatan tergantung pada dua faktor perubahan: k1 yang tergantung pada kekuatan beton, dan k2 yang tergantung pada jenis dari rencana wrap yang dipakai di lapangan. Selain itu κv tergantung pada regangan ultimit FRP dan panjang ikatan aktif (Le). Panjang Ikatan aktif (Le) adalah panjang dari mayoritas tegangan lekatan yang terbentuk.

( ) (2-75)

( ) ( ) (2-76)

( ) ( ) (2-77)

Jarak FRP (sf) didefinisikan sebagai jarak antara garis pusat dua strip berturut-turut. Ketinggian baris (df) harus diambil sebagai jarak antara pusat massa dan titik akhir dari baris yang lain. Jarak baris sf berkurang dengan peningkatan (Vn - Vc). Untuk memastikan bahwa baris vertikal FRP berpotensi menahan diagonal retak, keterbatasan jarak maksimum yang sama berlawanan dengan yang ada di Bagian 11.5.4 dari yang direkomendasikan ACI 318-02.

( ) √ (2-78) ( ) √ (2-79) ( ) √

( ) √ (2-80)

 

   

 

   

   

Gambar

Tabel 2.1 Berat Sendiri Bahan Bangunan dan Komponen Gedung
Tabel 2.2 Kondisi Tanah  Jenis  tanah  Kecepatan rambat  gelombang  geser  rerata, v s  (m/det)  Nilai hasil  Test Penetrasi Standar rerata  N                                              (kPa)  Tanah  Keras   v s  ≥ 350   N ≥ 50   Su  ≥ 100  Tanah  Sedang
Gambar 2.1 Peta zona wilayah gempa Indonesia
Gambar 2.2 Respon spektrum gempa rencana   [ Sumber : SNI -1726-2002 ]  2.2.5.2 Faktor keutamaan (I)
+7

Referensi

Dokumen terkait

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA KERIPIK JAGUNG SEBAGAI MAKANAN RINGAN.

Untuk bangunan yang berlokasi di luar Kampoeng Batik Laweyan diambil 3 (tiga) sampel bangunan yang dianggap mewakili gaya arsitektur khas kota Solo antara lain : bangunan

Kabupaten/kota yang tidak/belum mengikuti program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) akan berkurang peluangnya dalam mendapatkan Dana Alokasi

Kemampuan mengidentifikasi masalah Kemampuan merumuskan masalah Kemampuan menganalisis masalah Kemampuan memecahkan masalah Kemampuan mengemukakan pendapat dan

Juni – Juli 2015 10 Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan Desember 2015.. Pelaksanaan manajemen kepegawaian daerah oleh Bidang Umum Kepegawaian pada BKD Prov. Tugas pokok Bidang

Yang dimaksud dengan memberikan bantuan dana dalam ketentuan ini adalah pemberian sejumlah dana yang didasarkan pada Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

1) Strategi 1: Mengatur keseimbangan aktivitas penangkapan yang semakin tinggi dengan pembudidayan ikan sidat di DAS Poso.Tujuan dari strategi ini adalah untukmengatur

mendesain kerangka pembelajaran, pada saat pembelajaran berlangsung, dan terakhir yaitu evaluasi hasil belajar yang di uraiakan dalam bentuk nilai (angka) sesuai