• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. pendidikan, secara spesifik para guru, mendapat sorotan lebih. besar. Tidak sedikit penelitian yang telah menemukan bagaimana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. pendidikan, secara spesifik para guru, mendapat sorotan lebih. besar. Tidak sedikit penelitian yang telah menemukan bagaimana"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Supervisi Pendidikan

Pengelolaan, penjaminan dan pengembangan mutu pendidikan dapat dilaksanakan melalui cara-cara yang berbeda.

Kualitas dari komponen sumber daya manusia di lingkungan pendidikan, secara spesifik para guru, mendapat sorotan lebih besar. Tidak sedikit penelitian yang telah menemukan bagaimana guru berperan dalam menjamin mutu layanan pendidikan dan secara spesifik mempengaruhi keberhasilan belajar para siswa (Aaronson, Barrow, & Sander, 2007; Garrett & Steinberg, 2015;

Mette et al., 2015, Rockoff, 2004; Sarfo & Cudjoe, 2016).

Supervisi atau pengawasan terhadap komponen sumber daya manusia maupun materi menjadi penting perannya untuk menjamin mutu pendidikan (Imron, 2011:2-7; Sagala, 2010:87- 88). Supervisi menjadi bagian dari pengelolaan kepegawaian pendidikan yang lebih luas, yang juga menyertakan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, dan pengarahan kepegawaian dalam usaha mengupayakan pencapaian tujuan lembaga

(2)

pendidikan dengan efektif dan efisien (Mulyono, 2008:170-176).

Dalam melaksanakan pengawasan, Slameto (2009:32-34) menjelaskan bahwa rencana yang telah ditetapkan digunakan sebagai dasar dari pelaksanaan pengawasan. Imron mengingatkan bahwa profesionalitas guru perlu mendapat fokus utama, alih-alih hal-hal yang bersifat administratif, dalam pelaksanaan supervisi (hal. 7).

Istilah supervisi sendiri tidak perlu dipusingkan ketika istilah ini sering digantikan atau disamakan dengan

‘pengawasan’, ‘penilikan’, ‘pemeriksaan’, dan ‘inspeksi’

(Mulyasa, 2012:239; Arikunto & Yuliana, 2012:289). Namun demikian, Arikunto & Yuliana mengingatkan bahwa istilah- istilah selain supervisi tersebut lebih menekankan pada pemeriksaan yang berfokus pada kekurangan dan kesalahan.

1. Pengertian Supervisi Pendidikan

Secara umum, supervisi berupaya menolong para guru untuk mengembangkan diri dan kualitas mengajarnya.

Secara etimologis, supervisi berarti melihat dari atas (super berarti atas, dan visi berarti melihat) dan diartikan sebagai

(3)

praktik inspeksi dan mengawasi, namun dalam perkembangannya, pandangan dan pendekatan terhadap supervisi di lingkungan pendidikan telah bergeser. Konsep supervisi tradisional lebih kaku dan bersifat autokrasi:

kewenangan mutlak ada pada supervisor atau pimpinan, dan dianggap menakutkan bagi para guru (Imron, 2011:8-9;

Raguhram, 2008:123) dan lebih banyak dikenal dengan istilah inspeksi (Arikunto & Yuliana, 2012:289, 293-294), meskipun sekarang masih ditemui pandangan demikian (Sagala, 2010:88-89; Uğurlu, 2014; Lukum, 2013).

Supervisi sekarang ini bertransformasi menjadi usaha yang lebih humanistik dan berfokus membangun relasi, membimbing, menolong dan mengembangkan para guru yang pada akhirnya berdampak pada efektivitas sekolah (Ibara, 2013; Sandra, 1995).

Daryanto dan Farid (2013), Arikunto & Yuliana (2012:299), dan Mulyasa (2012:241) menegaskan bahwa tujuan utama supervisi adalah meningkatkan iklim dan mutu kegiatan belajar-mengajar. Supervisi dilaksanakan

(4)

bukan semata-mata sebagai pemenuhan tugas manajerial pimpinan sekolah, supervisor atau administrator, namun lebih bertujuan mengembangkan mutu para guru serta kualitas dan produktivitas sekolah (Mette et al., 2015;

Minarti, 2011:141-143; Stronge et al. 2013:66-67; Slameto, 2016). Purwanto (2012) menambahkan bahwa supervisi menolong sumber daya manusia yang ada di sekolah untuk menjamin keefektifan kinerja mereka, dan Sagala (2010:94- 95) menuliskan adanya kemauan belajar yang terus- menerus dari para guru sebagai salah satu dampak dari supervisi. Supervisi dapat menjadi sarana untuk mengenal potensi diri guru dengan lebih maksimal (Hillman, 2006:10).

Arikunto & Yuliana (2012:302) merincikan beberapa bidang pekerjaan praktis yang tercakup dalam supervisi, antara lain:

1. Memfasilitasi upaya pengembangan sumber daya manusia dengan efektif,

(5)

2. Mendesain dan mengembangkan kurikulum secara baik dan benar untuk mencapai produk pendidikan yang bermutu, marketable, kompatibel, inovatif, kompetitif dan produktif;

3. Mengupayakan peningkatan mutu pembelajaran kelas, yang merupakan tujuan pokok dan utama supervisi;

4. Meningkatkan kegairahan interaksi antar personil di sekolah dengan mengupayakan keharmonisan untuk mendukung produktivitas, efektivitas dan efisiensi capaian layanan pendidikan; dan

5. Melaksanakan fungsi-fungsi administratif untuk mencapai tujuan pendidikan.

Supervisi perlu dilaksanakan dengan mempertimbangkan beberapa prinsip (Mulyasa, 2012:254;

Arikunto & Yuliana, 2012:299 ; Daryanto dan Farid, 2013;

Imron, 2011:13-14), antara lain:

1. Demokratis serta konsultatif dan kolegial, alih-alih hierarkis. Pimpinan dan guru yang disupervisi merasa

(6)

keakraban dan kehangatan, bukan tekanan dan tuntutan atasan-bawahan dalam proses pengawasan tersebut (bandingkan dengan inspeksi yang bersifat lebih otoriter [Priansa & Setiana, 2018:137-138].

Keadilan dan keterbukaan juga penting dalam pelaksanaan supervisi (Snell, Morris, & Bohlander, 2015:332).

2. Ilmiah dan realistis. Supervisi dilakukan dengan sistematis dan kontinu, juga harus obyektif, berdasarkan pada data dan informasi sesuai keadaan yang sebenarnya yang dievaluasi dengan instrumen atau sarana yang tepat.

3. Profesional. Pimpinan yang berperan sebagai supervisor melakukan supervisi tanpa dipengaruhi motif atau faktor lain yang mempengaruhi ketidakobyektifan proses supervisi.

4. Kooperatif dan konstruktif. Supervisi adalah upaya bersama antara pimpinan dan guru yang berfokus

(7)

pada pengembangan dan perbaikan. Supervisi juga terpusat dan didasarkan pada kebutuhan guru.

5. Progresif dan inovatif. Supervisi mengupayakan adanya perubahan, kemajuan dan perkembangan dalam kegiatan belajar mengajar sebagai dampak dari pelaksanaan supervisi.

Beberapa ahli (Suhardan, 2010:47-52; Arikunto &

Yuliana, 2012:295) mencoba mengelompokkan supervisi pendidikan berdasarkan obyek yang disupervisi menjadi:

1. supervisi akademik, berkaitan langsung dengan kegiatan belajar-mengajar. Supervisi akademik berfungsi perbaikan dan peningkatan kualitas pengajaran, dan dapat dilakukan dengan pendekatan fungsi penelitian, penilaian, perbaikan, maupun pembinaan (Priansa & Setiana, 2018:220-221)

2. supervisi administrasi; administrasi pembelajaran yang mendukung kegiatan belajar-mengajar menjadi titik berat supervisi ini, dan

(8)

3. supervisi kelembagaan atau institusi, lingkup sekolah secara lembaga yang lebih luas menjadi orientasi supervisi.  Tatang (2016:76) mendaftarkan beberapa hal—termasuk kurikulum, personel atau ketenagakerjaan, ketatausahaan atau administrasi sekolah, sarana prasarana, humas sekolah, dan kerja sama lainnya untuk pengembangan sekolah—sebagai ruang lingkup yang perlu disupervisi dalam sebuah lembaga pendidikan.

Beberapa penulis lain mendikotomikan supervisi pendidikan menjadi curriculum supervision, mencakup hal- hal yang berhubungan dan mendukung pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas, dan instructional supervision, berhubungan langsung dengan upaya perbaikan proses belajar-mengajar.

Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa supervisi pendidikan berupaya mengembangkan kualitas dan kinerja sumber daya manusia di lingkungan sekolah, secara khusus guru. Beberapa prinsip dasar supervisi pendidikan perlu

(9)

digarisbawahi untuk menjamin pelaksanaan supervisi yang efektif dan berdampak. Terdapat tiga jenis supervisi pendidikan berdasarkan obyek yang ditangani, yaitu (1) supervisi akademik, (2) supervisi administrasi, dan (3) supervisi kelembagaan.

2. Supervisi Akademik

Secara khusus, fokus supervisi akademik adalah guru dalam fungsi mendidik dan performa mengajar mereka.

Beberapa peneliti atau penulis menggunakan istilah yang berbeda terhadap supervisi akademik, namun dengan maksud yang sama, seperti supervisi pengajaran (Sagala, 2010) atau supervisi pembelajaran (Mukhtar & Iskandar, 2009). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan istilah supervisi akademik untuk merujuk jenis spesifik supervisi pendidikan yang berkaitan langsung dengan guru dan kegiatan pembelajaran.

Berbeda dari supervisi administrasi, supervisi akademik bersinggungan langsung dengan pengawasan

(10)

proses pembelajaran atau kegiatan belajar mengajar yang dilakukan guru dan siswa (Umiarso & Gojali, 2010).

Supervisi akademik mengupayakan penjaminan mutu dan kinerja guru dengan bantuan dan pembimbingan yang diberikan kepada mereka, melalui ‘siklus perencanaan yang sistematis, pengamatan yang cermat, dan umpan balik yang objektif dan segera’ (Mulyasa, 2012:249).

Pelaksanaan supervisi akademik yang efektif memberi dampak yang posif bagi layanan pendidikan.

Guru-guru sendiri merasakan bagaimana supervisi menolong mereka meningkatkan kualitas diri dan pembelajaran yang menjadi tanggung jawab mereka, secara khusus dalam (1) pengembangan wawasan tentang metode mengajar, (2) mengidentifikasi dan menangani kelemahan para guru, serta (3) mendorong mereka menyiapkan dan merencanakan pembelajaran dengan lebih efektif (Wanzare, 2012). Peningkatan dan pencapaian siswa secara akademik juga ditemukan sebagai dampak dari pelaksanaan supervisi (Wanzare, 2012).

(11)

Dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan supervisi akademik, langkah awal yang perlu dilakukan supervisor adalah mengidentifikasi kebutuhan maupun permasalahan yang dihadapi para guru (Umiarso dan Gojali, 2010:307; Sagala, 2010:172-173). Selanjutnya, supervisor dapat memilih teknik supervisi yang tepat untuk mendukung pencapaian tujuan supervisi yang baik dan akhirnya membantu para guru mengatasi problem yang mereka hadapi.

Dilihat dari jumlah guru yang dilayani dalam supervisi, teknik supervisi akademik dibedakan menjadi teknik kelompok dan individual (Mulyasa, 2012:245-248;

Umiarso dan Gojali, 2010; Priansa & Setiana, 2018:234- 243; Imron, 2011:99-108; Pidarta, 2009:87-191). Dalam masing-masing jenis tersebut, terdapat beberapa kegiatan supervisi yang dapat dilakukan, seperti penjelasan berikut.

1. Teknik Kelompok. Teknik ini dilakukan jika kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh para guru bersifat homogen, atau kepala sekolah berniat

(12)

memberikan pembinaan untuk tujuan bersama.

Beberapa teknik yang termasuk jenis ini adalah:

a. Pertemuan Orientasi. Dilakukan di awal tahun ajaran yang baru, pertemuan ini bertujuan meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas mereka dengan menjelaskan sistem kerja, proses, prosedur, hak dan kewajiban, dan hal-hal lain yang mendukung efektifitas dan efisiensi kerja di lingkungan sekolah.

b. Rapat guru. Dalam melaksanakan rapat guru, Sagala (2010:176-177) mengingatkan perlunya (1) pemaparan tujuan rapat, (2) pembahasan permasalahan yang relevan, dengan (3) sorotan atas permasalahan yang berhubungan dengan kegiatan belajar-mengajar, (4) tukar-menukar pengalaman baru, (5) partisipasi aktif para guru sebagai peserta rapat, dan (6) pertimbangan

(13)

kondisi, waktu dan tempat untuk kenyamanan rapat guru.

c. Studi/diskusi kelompok antar guru. Beberapa ahli menyebutnya pertuamuan/kelompok kerja guru atau teacher conference. Teknik ini mewadahi pertukaran informasi dan ide antar guru, dalam situasi dan interaksi tatap muka lisan. Dalam kelompok yang sama, juga dimungkinkan adanya tukar-menukar pengalaman (sharing of experience), baik berbentuk percakapan lisan maupun dalam bentuk demonstrasi mengajar atau simulasi pembelajaran, di mana seorang guru memberi contoh pelaksanaan proses belajar-mengajar dan guru-guru lain berperan sebagai pengamat.

Demonstrasi mengajar memberi kesempatan guru untuk mempresentasikan metode mengajar yang efektif atau baru, alat bantu pembelajaran, atau alat evaluasi pembelajaran (Sagala,

(14)

2010:190). Kepala sekolah sebagai supervisor perlu terampil dalam mengamati bagaimana para guru (1) merasa nyaman berada dalam diskusi kelompok, (2) memahami permasalahan atau topik bahasan, (3) terlibat dan diikutsertakan dengan merata, dan (4) menyadari pentingnya kontribusi dan peran mereka (Sagala, 2010:181).

d. Lokakarya (workshop) dan seminar. Lokakarya atau seminar memberikan kesempatan bagi para guru untuk saling belajar dan berdiskusi dalam meningkatkan kemampuan dan kualitas mereka, biasanya dengan melibatkan tenaga ahli khusus yang kompeten dalam permasalahan yang akan dibahas (maupun guru lokal sendiri jika dianggap kompeten). Teknik seminar lebih bersifat pemaparan makalah atau hasil-hasil penelitian. Diskusi panel, dengan sejumlah ahli sebagai penyampai materi, ataupun simposiom

(15)

merupakan variasi dari kegiatan lokakarya atau seminar.

e. Kunjungan antarsekolah atau studi banding.

Para guru bersama kepala sekolah dapat berkunjung ke sekolah lain untuk mengenal bagaimana kondisi sekolah dan kegiatan pembelajaran dilakukan di sekolah tersebut.

Keberhasilan, maupun kegagalan, sekolah yang dikunjungi dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran dan pengembangan sekolah asal.

f. Buletin supervisi. Sagala (2010:191-192) menjelaskan buletin supervisi sebagai media komunikasi dan informasi tertulis untuk menolong guru mendapatkan informasi- informasi penting dan bermanfaat berkaitan dengan perbaikan proses belajar-mengajar.

Buletin tersebut dapat disusun lembaga- lembaga kepengawasan sekolah, kelompok kerja kepala sekolah, kelompok kerja guru,

(16)

maupun lembaga lainnya yang mendukung.

Buletin supervisi dapat berisi (1) instruksi umum—tentang program pendidikan, metode mengajar, laporan cara kerja dan pengalaman guru, sumber-sumber atau literatur yang mendukung sebagai bahan mengajar, (2) informasi khusus, seperti informasi dan persiapan yang perlu dicermati dan dilakukan para guru untuk menghadapi rapat, dan (3) informasi tindak lanjut, sebagai follow-up hasil dari sebuah rapat atau diskusi.

g. Learning resource centre (pusat sumber belajar). Arikunto & Yuliana (2012:302) menjelaskan bahwa learning resource centre menjadi pusat, atau lembaga, yang menyediakan, melayani, dan membimbing para guru dalam menyiapkan dan melaksanakan pembelajaran.

(17)

2. Teknik Individual. Supervisor bertemu atau menangani langsung supervisee secara individual.

Beberapa teknik supervisi individual yang dapat dilakukan antara lain,

a. Perkunjungan kelas (visitation) dan observasi kelas (classroom observation). Kedua teknik ini saling tumpang tindih. Pidarta, namun demikian, membedakan visitasi dari observasi dari tujuan dan pelaksanaan observasi yang lebih mendalam dan lengkap sementara visitasi diadakan lebih singkat untuk mendapatkan sampel data (2009:109). Supervisor hadir dalam ruang kelas ketika guru sedang mengajar, kemudian mengamati apa yang terjadi di dalam kelas. Catatan disusun untuk mengumpulkan data atau temuan lapangan, dan diperlukan panduan atau instrumen pengamatan yang baik untuk menolong supervisor melakukan pengamatan. Perkunjungan kelas dapat

(18)

dilakukan dengan ataupun tanpa pemberitahuan sebelumnya (unannounced vs. announced visitation), ataupun dapat dilakukan oleh kepala sekolah atas permintaan guru (visit-upon- invitation). Variasi dari kegiatan visitasi adalah saling mengunjungi kelas atau kunjungan antar kelas (intervisitation).

b. Percakapan atau pertemuan Pribadi (individual conference). Dalam percakapan pribadi, kepala sekolah dan guru bertemu untuk mendiskusikan peningkatan kemampuan profesional guru yang bersangkutan, baik secara informal maupun formal (Imron, 2011:101). Pertemuan ini dapat dilaksanakan sebelum dan/atau sesudah kunjungan kelas maupun dalam kegiatan sehari- hari.

c. Penilaian diri (self evaluation). Para guru diminta untuk mampu mengenal dan menilai diri, termasuk hal-hal baik dan kekuatan yang

(19)

mereka miliki maupun hal-hal yang masih perlu diperbaiki atau ditingkatkan dari diri mereka.

1) Supervisi klinis. Teknik ini dapat menjadi alternatif dari supervisi akademik yang diadakan secara individual (Purwanto, 2012; Sagala, 2010:193-223). Supervisi klinis mengupayakan adanya perbaikan kegiatan pembelajaran dengan bimbingan, pengamatan dan analisa yang obyektif dan lebih mendalam dari kepala sekolah terhadap proses pembelajaran di kelas, dan pemberian feedback kepada guru untuk peningkatan kegiatan belajar- mengajar guru yang bersangkutan (Purwanto, 2012; Pidarta, 2009:124-130).

Sagala mendaftarkan empat tahap dalam siklus supervisi klinis, yaitu (1) prasiklus, dengan inisiasi guru yang meminta diagnosa atau bantuan dari supervisor, (2)

(20)

siklus pertama, dengan review dokumen penunjang dan rencana pelaksanaan pembelajaran beserta komponennya, (3) siklus kedua, berupa observasi oleh supervisor, dan (4) siklus ketiga, yaitu kegiatan pos-observasi dengan melibatkan refleksi guru yang difasilitasi supervisor.

Mukhtar & Iskandar mengklasifikasikan perpustakaan profesional dan buletin pendidikan sebagai alat bantu yang menunjang pengembangan dan penguasaan pengetahuan oleh guru-guru yang disupervisi, selain buku kurikulum atau rencana pelajaran dan pegangan guru serta resource person (penasehat ahli) (2009:56). Tabel 3 merangkumkan dua jenis teknik supervisi dengan contoh- contoh teknik yang dapat dilakukan.

(21)

Tabel 3. Teknik-Teknik Supervisi Akademik Teknik Supervisi Kelompok Teknik Supervisi Individual

1. Pertemuan Orientasi 2. Rapat guru

3. Studi/diskusi kelompok antar guru

4. Lokakarya (workshop) dan seminar, termasuk diskusi panel dan simposium 5. Kunjungan antarsekolah

atau studi banding 6. Buletin supervisi

7. Learning resource centre

1. Perkunjungan kelas (visitation) dan observasi kelas

(classroom observation) 2. Percakapan atau

pertemuan pribadi (individual conference) 3. Penilaian diri (self

evaluation) 4. Supervisi klinis

3. Peran Kepala Sekolah sebagai Supervisor

Dengan berlakunya manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai wujud kebijakan desentralisasi dan otonomi pendidikan, kemandirian dan kebebasan pengelolaan layanan pendidikan berada di lembaga pelaksana di tingkat operasional, baik oleh sekolah maupun masyarakat penyelenggara (Mulyono, 2008:233-238). Penjaminan dan pengembangan mutu pendidikan sekolah menjadi tanggung jawab tingkat sekolah. Kepala sekolah memiliki kekuasaan dan wewenang yang lebih besar untuk bertanggung jawab dan mengambil keputusan dalam pengelolaan sekolahnya (Mulyasa, 2005:38-39).

(22)

Salah satu peran dan tanggung jawab yang dimiliki kepala sekolah adalah menjadi supervisor, yang berfungsi memberdayakan sumber daya manusia. Keberhasilan dan efektivitas kegiatan supervisi pembelajaran dipengaruhi salah satunya oleh kompetensi kepala sekolah (Sarfo &

Cudjoe, 2016; Mette et al., 2015). Kepala sekolah perlu memiliki pemahaman mengenai supervisi dan keterampilan dalam melaksanakannya yang cukup dan baik, termasuk konsep, prinsip, tujuan dan teknik atau jenis kegiatan (Barlian, 2013:67-68). Pelatihan supervisi pembelajaran kepada kepala sekolah menjadi hal yang penting (Sarfo &

Cudjoe, 2016) untuk memastikan bahwa kepala sekolah melakukan fungsinya sebagai supervisor dengan efektif.

B. Evaluasi Program

1. Definisi Evaluasi dan Evaluasi Program

Untuk mengetahui ketercapaian dan keberhasilan suatu program diperlukan adanya evaluasi. Arikunto dan Jabar (2010), Munthe (2015) dan McMillan (2008:131-132)

(23)

merumuskan kegiatan evaluasi sebagai proses pencarian dan pengumpulan informasi secara sistematis, mengenai kinerja sesuatu dengan membandingkan kriteria serta tujuan yang telah ditetapkan. Fitzpatrick, Sanders, dan Worthen (2012:13-16) menyimpulkan bahwa tujuan utama evaluasi adalah meninjau nilai atau kepantasan/kelayakan sesuatu, selain juga bertujuan untuk (a) membantu dan mengarahkan proses pengambilan keputusan, (b) memperbaiki program, organisasi, atau kelompok masyarakat secara umum; (c) memperkuat demokrasi terkhusus dengan memberdayakan mereka yang kurang memiliki kuasa dalam pengertian bahwa evaluasi juga berfungsi meningkatkan kondisi masyarakat; dan (d) memperkaya pengetahuan. McMillan (2008) mengingatkan bahwa evaluasi bersifat spesifik terhadap satu obyek evaluasi atau lokasi evaluasi. Kegiatan evaluasi dapat dilakukan terhadap obyek evaluasi yang berupa kebijakan, program dan produk.

Istilah evaluasi program dan evaluasi kebijakan sering tumpang tindih, meskipun ada perbedaan antara keduanya.

(24)

Lodico, Spaulding, & Voegtle (2010:363) mendefinisikan program sebagai serangkaian aktivitas yang spesifik yang dirancang dengan tujuan tertentu dan memiliki arah dan pencapaian yang terukur. Fitzpatrick et al. (2012:8-9) menerangkan bahwa program memiliki sasaran tujuan yang dikembangkan dari kebutuhan atau permasalahan tertentu dengan teori atau asumsi yang mendasari proses yang sudah direncanakan atau berjalan. Program juga dapat dipahami sebagai kegiatan atau aktivitas yang dirancang berdasarkan studi kebutuhan (need-assessment) dengan sistematis dengan tujuan atau hasil yang diharapkan untuk memenuhi kebutuhan atau menjawab permasalahan yang telah dikaji sebelumnya (Yusuf, 2017:144-145). Kebijakan merujuk pada arahan, aturan atau hal sejenisnya yang mengupayakan perubahan untuk pencapaian tujuan, hasil atau keluaran tertentu. Fitzpatrick et al. membedakan kebijakan dari program dengan menyebutkan bahwa kebijakan bukanlah sebuah jasa atau kegiatan. Produk bersifat lebih konkrit, seperti buku bacaan, perangkat lunak,

(25)

atau hasil akhir atau keluaran dari suatu proses atau kegiatan.

Evaluasi program berupaya mengamati dan meneliti program tertentu untuk kemudian menentukan nilai dan selanjutnya memberikan rekomendasi untuk tujuan perbaikan dan pencapaian kesuksesan program tersebut (Lodico, Spaulding, & Voegtle (2010:363).

Membandingkan dengan penelitian evaluatif, Lodico, Spaulding, & Voegtle (2010:363-365) mendaftarkan ciri- ciri evaluasi program dengan (1) tujuan pembuatan keputusan, (2) peran evaluator sebuah program yang lebih bersifat sebagai klien yang direkrut untuk mengevaluasi, (3) bentuk evaluasi formatif dan sumatif yang terlibat, (4) kecepatan perubahan yang dapat diterapkan terhadap praktik yang ada sebagai akibat evaluasi, dan (5) penyajian temuan evaluasi program yang berupa laporan alih-alih publikasi jurnal.

Perbedaan jenis pendekatan evaluasi program, yang berangkat dari kebutuhan evaluasi yang beragam pula,

(26)

mempengaruhi metode atau model yang berbeda.

Fitzpatrick et al. (2012) mengkategorikan empat macam pendekatan evaluasi, meskipun pembedaan dan penempatan pendekatan tertentu dalam keempat kategori tersebut bersifat arbitrer dan sering tumpang tindih. Keempat kategori tersebut yaitu

1. Pendekatan yang berorientasi pada penilaian yang komprehensif dari kualitas program atau produk, termasuk evaluasi yang berorientasi pada keahlian (expertise-oriented) dan konsumen (consumer- oriented); keduanya sama-sama berfokus pada menilai atau mengukur kualitas obyek yang dievaluasi.

2. Pendekatan yang berorientasi pada karakteristik program (program-oriented), termasuk yang berbasis tujuan (objectives-based), standar (standards-based), dan teori (theory-based). Pendekatan ini memanfaatkan karakteristik program, termasuk tujuan, standar yang ingin dicapai, atau teori yang

(27)

menjadi dasar pengembangan yang kemudian digunakan untuk merumuskan kriteria dan fokus evaluasi.

3. Pendekatan yang berorientasi pada keputusan (decision-oriented) yang ingin dibuat terhadap program. Informasi yang dihasilkan dari evaluasi menjadi masukan terhadap keputusan yang telah atau akan ditindaklanjuti oleh stakeholder atau organisasi, selain berupaya untuk pengembangan program.

4. Pendekatan yang berorientasi pada partisipasi stakeholder (participant-oriented). Stakeholders terlibat dalam evaluasi ini untuk memahami dan menggambarkan kompleksitas kegiatan yang diprogramkan dan memberdayakan stakeholder.

Para ahli teori evaluasi mengembangkan beragam model evaluasi (Arikunto dan Jabar, 2010; Wirawan, 2012;

Munthe, 2015; Widoyoko, 2009; Retnawati, 2013;

Serepinah, 2013). Berdasarkan pembedaan pendekatan evaluasi yang disarankan Fitzpatrick et al. (2012), jenis-

(28)

jenis model, teknik atau sistem evaluasi dapat dirangkum dalam Tabel 4.

Tabel 4. Jenis Model Evaluasi berdasar Pendekatan Evaluasi

Kategori Pendekatan Evaluasi Teknik/Model/Sistem Evaluasi Expertise and

Consumer- Oriented Approaches

Expertise- Oriented

Formal review system Informal eview system Ad-hoc panel reviews Ad hoc individual revies Akreditasi

Educational Connoisseurship and Criticism Consumer-

Oriented Program-

Oriented Evaluation Approaches

Objective- Oriented

Goal-based evaluation model;

(dengan Goal-free evaluation model sebagai pembeda goal-based model)

Tylerian Evaluation Approach

Provus’s Discrepancy Evaluation Model Theory-

Based/

Theory- Driven Decision-

Oriented Evaluation Approaches

Stufflebeam’s CIPP Evaluation Model CSE-UCLA evaluation model yang dikembangkan oleh Alkin tahun 1969 Utilization-Focused Evaluation (UFE) Wholey’s Evaluability assessment dan Performance monitoring

Participant- Oriented Evaluation Approaches

Robert Stake’s Responsive evaluation model dan Countenance Evaluation Model

Egon Guba dan Yvonna Lincoln’s Naturalistic and Fourth-Generation Evaluation

Stakeholder-based evaluation

Practical-Participatory Evaluation (P-PE) Developmental Evaluation

Deliberative democratic evaluation Empowerment evaluation

(29)

Dapat disimpulkan dari penjelasan-penjelasan di atas bahwa evaluasi bertujuan mengumpulkan informasi yang bermanfaat untuk meninjau nilai atau kefektifan obyek yang dievaluasi, berupa kebijakan, program maupun produk. Evaluasi program menilai program dan berdasarkan penilaian tersebut, rekomendasi keputusan diberikan:

program diberhentikan atau dilanjutkan dengan perubahan atau perbaikan. Perbedaan pendekatan evaluasi program berdasarkan kebutuhan evaluasi mengakibatkan munculnya metode dan model evaluasi yang berbeda.

2. Model Evaluasi CIPP

Penelitian ini menerapkan model evaluasi CIPP yang dikembangkan oleh Stufflebeam dan Shinkfield.

Stufflebeam dan Shinkfield, seperti dikutip Zhang et al.

(2011), menjelaskan bahwa model evaluasi CIPP adalah kerangka kerja yang komprehensif untuk mengevaluasi proyek, personil, produk, organisasi, dan sistem evaluasi, baik secara formatif maupun sumatif. Stufflebeam

(30)

mengembangkan model evaluasi ini untuk menjawab kebutuhan stakeholder akan adanya evaluasi yang lebih informatif yang menolong mereka dalam mengambil keputusan (Fitzpatrick, Sanders, & Worten, 2012:47).

Sifatnya yang komprehensif dan sistematis membuat model evaluasi ini banyak digunakan untuk meneliti tingkat keefektifan dan ketercapaian obyek yang dievaluasi, terutama dalam bidang pendidikan (Hakan & Seval, 2011;

Patil & Kalekar, 2014; Mohebbi, Akhlaghi, Yarmohammadian, & Khoshgam, 2011; Aziz, Mahmood,

& Rehman, 2018). Frye & Hemmer (2012) maupun Hakal

& Seval (2011) mengingatkan bahwa dalam perencanaan dan pelaksanaan evaluasi model CIPP, evaluator perlu mempertimbangkan sumber daya dan waktu yang tersedia dan dapat diakses, mengingat keluasan dan kedalaman proses evaluasi yang bisa dilakukan dengan model ini.

Fitzpatrick et. al. (2012:178) menambahkan bahwa fokus yang jelas dibutuhkan dalam proses evaluasi ini, baik atas informasi yang dikumpulkan dan diolah maupun keputusan

(31)

yang akan diusulkan dan bermanfaat kepada para pengambil keputusan.

Berbasis pendekatan pada pengambilan keputusan (decision-oriented), model evaluasi CIPP pada akhirnya memberikan informasi yang bermanfaat bagi para penentu keputusan (Fitzpatrick et al., 2012). Kemudian sesuai namanya, CIPP memiliki empat proses evaluasi (Fitzpatrick et al., 2012:174; Chen, 2009; Wirawan, 2012; Mahmudi, 2011; Ho et al., 2011; Kuo et al. 2012;  Frye & Hemmer, 2012). Tabel Tahap-Tahap Evaluasi Model CIPP, terlampir, merincikan masing-masing tahap evaluasi, dengan tujuan evaluasi dan pertanyaan yang dapat memandu masing- masing tahap evaluasi, serta teknik pengumpulan data yang tepat.

Dalam masing-masing tahap evaluasi tersebut, pengambilan keputusan dimungkinkan untuk merumuskan perencanaan dan tindak lanjut dari evaluasi program (Mahmudi, 2011). Frye & Hemmer (2012) menambahkan bahwa tiga tahap evaluasi CIPP yang pertama bersifat

(32)

formatif dan terfokus pada perbaikan, sementara evaluasi produk bersifat sumatif. Namun demikian Fitzpatrick et al.

(2012:174-75) menjelaskan bahwa pada masing-masing tahap, evaluasi CIPP dapat dilakukan secara formatif—

untuk menganalisa potensi penerapan informasi hasil evaluasi dalam membuat keputusan dan menjamin mutu—

maupun sumatif, dengan memanfaatkan informasi hasil evaluasi secara retrospektif untuk merangkum nilai, kelayakan, keunggulan, dan signifikansi program.

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Beberapa penelitian terdahulu, baik yang berhubungan dengan evaluasi program maupun supervisi pendidikan dan akademik, memberikan informasi yang relevan untuk perencanaan penelitian ini.

Berbicara mengenai tujuan supervisi, penelitian yang dilakukan Riyanto (2016) menemukan bahwa supervisi akademik yang dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kinerja para guru. Namun demikian, Lukum (2013) masih menemukan bahwa

(33)

supervisi diadakan lebih untuk memenuhi tuntutan hukum atau aturan yang ada, alih-alih mengembangkan kualitas supervisor, kepala sekolah maupun guru. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman yang benar terhadap konsep supervisi akademik. Hal serupa juga dilaporkan oleh Widodo (2014a).

Teknik-teknik yang berbeda dilaporkan dalam beberapa penelitian. Ngatini & Ismanto (2015) mendapati penggunaan teknik kunjungan kelas, pertemuan pribadi dan kelompok serta rapat guru. Lukum (2013) menuliskan adanya visitasi kelas, intervisitasi, rapat guru, dan kegiatan kelompok kerja guru atau MGMP. Dalam penelitiannya, Argiani & Slameto (2015) menemukan bahwa teknik supervisi kunjungan kelas berdampak pada peningkatan kompetensi pedagogik para guru. Meskipun menyebutkan supervisi akademik, namun demikian, penelitian Widodo (2014a) lebih terfokus kepada teknik supervisi kunjungan kelas, atau observasi kelas.

Di lapangan, Widodo (2014b) menemukan bahwa supervisi akademik sudah dilaksanakan namun tidak sesuai dengan perencanaan. Padahal Riyanto (2016) dan Widodo (2014a)

(34)

mencatatat bahwa persiapan dan perencanaan program menjadi hal yang penting, agar komponen proses dan produk program supervisi akademik dapat dilakukan dengan hasil yang maksimal.

Dalam perencanaan, Mawarni, Chiar, & Sukmawati (2017) mengusulkkan agar kepala sekolah perlu melibatkan dewan guru untuk melaksanakan kegiatan supervisi yang lebih efektif.

Frekuensi pelaksanaan kegiatan atau teknik supervisi akademik tertentu, seperti observasi atau kunjungan kelas, juga perlu dipertimbangkan. Lukum (2013) mencatat minimal pelaksanaan dua kali kunjungan kelas dalam sebulan, dengan masing-masing tiga jam pembelajaran.

Kepala sekolah sebagai pelaksana supervisi akademik berperan dalam perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut yang baik dari program supervisi akademik. Terhadap peran tersebut, Widodo (2014b), Lukum (2013), dan Merukh & Sulasmono (2016) mengusulkan bahwa para pimpinan sekolah atau supervisor perlu terlebih dahulu diperlengkapi dengan kompetensi supervisi akademik yang memadahi. Beberapa supervisor memahami konsep dan teori supervisi namun

(35)

pemahaman mereka dalam hal teknis dan pelaksanaan supervisi masih perlu ditingkatkan, atau sebaliknya. Pemahaman keahlian supervisor terhadap bidang pelajaran tertentu yang disupervisi juga menjadi sorotan Saputra (2011), Mawarni, Chiar, &

Sukmawati (2017), dan Moswela & Mphale (2015), karena hal tersebut mempengaruhi efektifitas supervisi yang diadakan.

Supervisi kemudian lebih terfokus pada administrasi, alih-alih pengawasan yang lebih menyeluruh. Oleh karena itu, model pengawasan yang ideal perlu dikembangkan untuk menolong supervisor yang berlatar belakang mata pelajaran pendidikan yang berbeda dari guru yang akan disupervisi (Saputra, 2011).

Merukh & Sulasmono (2016) menambahkan bahwa beban kerja kepala sekolah juga berpengaruh pada perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut dari kegiatan supervisi akademik. Tim supervisi akademik, seperti dilaporkan Marawni et al. (2017), yang terdiri dari wakil kepala sekolah atau koordinator guru MGMP per bidang studi yang ada di sekolah, dapat membantu meringankan beban yang dimiliki kepala sekolah. Tim tersebut efektif

(36)

dilaksanakan untuk sekolah-sekolah dengan jumlah guru yang banyak.

Berbicara mengenai partisipasi dan respon para guru, Ngatini & Ismanto (2015) melaporkan respon positif dari para guru yang telah disupervisi. Kesiapan para guru untuk disupervisi tampak dalam pengamatan Mawarni, Chiar, & Sukmawati (2017), karena mereka menyadari pentingnya supervisi untuk perbaikan dan pengembangan pembelajaran, meskipun Lukum (2013) masih melaporkan adanya ketakutan yang dialami guru yang akan disupervisi. Riyanto (2016) mencatat para guru yang berpendapat bahwa hasil supervisi menolong mereka memahami hal-hal yang perlu diperbaiki (Riyanto, 2016). Widodo (2014a) menemukan bahwa supervisi kunjungan kelas memberi dampak yang positif dalam proses perencanaan pembelajaran dan mendorong adanya kolaborasi dengan rekan kerja dalam proses tersebut. Proses pelaksanaan pembelajaran pun meningkat ketika kepala sekolah melaksanakan supervisi kunjungan kelas.

Pelaksanaan supervisi akademik juga didukung oleh ketersediaan sarana-prasarana atau infrastruktur. Lukum (2013)

(37)

mencatat bahwa sumber daya yang tersedia dan mendukung dapat mendorong tercapainya tujuan supervisi. Sumber daya yang dimaskud dapat berupa sarana prasarana, termasuk bangunan dan ruang-ruang yang mendukung, maupun guru dan siswa yang sesuai rasio ideal.

Tindak lanjut dari proses supervisi berperan dalam proses perbaikan kinerja para guru. Ngatini & Ismanto (2015) menuliskan pelaporan catatan balikan kepada para guru secara langsung maupun tidak langsung, serta adanya pembinaan melalui rapat maupun refleksi para guru, sebagai bentuk tindak lanjut supervisi akademik. Namun demikian, dalam penelitiannya, Widodo (2014b) mendapati bahwa program tindak lanjut supervisi belum dilaksanakan sesuai ketentuan. Merukh &

Sulasmono (2016) melaporkan hal serupa di mana pembinaan lanjutan sebagai bentuk tindak lanjut supervisi akademik tidak diupayakan oleh kepala sekolah.

(38)

D. Kerangka Berpikir

Program supervisi akademik berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan secara luas maupun memperbaiki kinerja guru dan kualitas pembelajaran dalam kelas secara spesifik.

PAUD Tunas Kasih, Kota Magelang juga merencanakan dan melaksanakan program supervisi akademik untuk tujuan serupa.

Dibutuhkan evaluasi terhadap program tersebut untuk menilai apakah tujuan yang semula dirancang telah tercapai, keefektifan dan efisiensi program, serta bagaimana dampak dan keluaran dari program supervisi akademik, baik yang terencana maupun tidak, yang positif maupun negatif. Model evaluasi CIPP, yang dikembangkan Stufflebeam dan Shinkfield, digunakan dalam penelitian ini. Empat tahap evaluasi—context, input, process, dan product—dilakukan terhadap program supervisi akademik di PAUD Tunas Kasih.

(39)

Hasil evaluasi program dengan model CIPP diharapkan dapat digunakan untuk memberikan masukan terhadap penetapan kebijakan atau pengambilan keputusan bagi pengelola maupun pimpinan PAUD Tunas Kasih, berkenaan dengan perbaikan atau penyempurnaan program supervisi akademik di sekolah tersebut.

Bagan berikut merangkum kerangka berpikir penelitian ini.

(40)

PROGRAM SUPERVISI AKADEMIK

PAUD TUNAS KASIH, KOTA MAGELANG

EVALUASI

PROGRAM SUPERVISI AKADEMIK EVALUASI

CONTEXT Dasar-dasar perencanaan

dan pelaksanan

program supervisi akademik

EVALUASI INPUT Strategi dan perencanaan

yang ada, budget dan sumber daya

yang mendukung

HASIL EVALUASI PROGRAM EVALUASI PROCESS Pelaksanaan/

Implementasi program supervisi akademik yang telah direncanakan

EVALUASI PRODUCT Dampak dan keluaran dari pelaksanaan

program, termasuk tindak lanjut

program

REKOMENDASI KEPUTUSAN

Gambar

Tabel 3. Teknik-Teknik Supervisi Akademik  Teknik Supervisi Kelompok Teknik Supervisi Individual
Tabel 4. Jenis Model Evaluasi berdasar Pendekatan Evaluasi

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan ekonomi Mengkaji materi melalui ceramah dan tanya jawab serta pemberian contoh Menyelesaikan latihan soal Ceramah Tanya jawab Latihan Penugasan Media : LCD

mendapatkan gaya impak, tegangan impak, serta energi impak akibat beban impak jatuh bebas pada helmet sepeda

Dalam bab 3 Analisis Data, berisikan analisis penulis mengenai persamaan ikon – ikon musim gugur dengan kata – kata yang digunakan dalam haiku, serta mencari interpretan dan

Pengaruh Bauran Pemasaran Jasa yang terdiri dari variabel produk , Harga , Tempat , Orang , Proses dan Bukti fisik terhadap Struktur Keputusan Pembelian secara

Hasil dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji penerapan alternatif penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk mewujudkan

checklist, terdiri dari langkah-langkah berikut: Format SSC ditempatkan di ruang operasi sehingga anggota staf bisa menjadi lebih familiar dengan penggunaan SSC; pelatihan

 Terimakasih kepada semua dosen Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Jember..  Kepada Dosen Pembimbing saya :

Seorang laki-laki pernah berkata, 'Wahai Rasulullah, siapakah orang yang dapat membaca (mengkhatamkan) al-Qur`an dalam waktu 7 hari?' Rasulullah saw menjawab, 'Itu merupakan