• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Iklan sebagai Media Komunikasi Pemasaran

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan iklan sebagai berita pesanan guna mendorong dan mempersuasi pemirsa agar timbul perasaan tertarik tentang barang atau jasa yang dijual dan ditampilkan dalam media massa atau di tempat umum (kbbi.web.id). Seperti yang dikatakan oleh Frank Jefkins dalam Kasali (1995:9), “Advertising aims to people to buy” yang mana maksudnya, iklan bertujuan agar orang membeli.

Dalam bahasan tentang iklan, tentu saja harus berangkat dari komunikasi pemasaran yang berperan sebagai induknya. Memahami Komunikasi Pemasaran dapat dilakukan dengan menguraikan dan memahami kedua unsur pokoknya, yaitu komunikasi dan pemasaran.

Komunikasi merupakan proses ketika pemikiran dan pemahaman disampaikan antara individu dengan individu, atau antara organisasi dengan individu (Shimp, 2003:4). Sedangkan menurut Kotler (2004:4), Pemasaran termasuk ke dalam proses sosial yang dimana individu dengan kelompok meraih dan mendapatkan apa yang diinginkan serta dibutuhkan oleh mereka melalui menciptakan, menawarkan hingga bertukar produk maupun layanan dengan nilai yang bebas dengan orang lain.

Setelah menguraikan dua konsep di atas, maka disimpulkan bahwa Komunikasi Pemasaran merupakan proses interaksi yang dilakukan individu atau dilakukan kelompok kepada konsumen dan calon konsumennya menggunakan berbagai media yang ada demi terjadinya transaksi. Dalam bukunya, Asmajasari (1997:1) mendefinisikan Komunikasi Pemasaran sebagai kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh penjual dan pembeli, juga merupakan kegiatan yang membantu dalam mengambil keputusan dibidang pemasaran serta mengarahkan pertukaran agar memuaskan dan menyadarkan kedua pihak sehingga berbuat lebih baik.

Dalam Komunikasi Pemasaran, sebuah pesan haruslah sampai pada sasarannya. Duncan dan Moriarty dalam Morissan (2010:11) mengatakan semua pesan harus tersampaikan secara konsisten agar mampu menciptakan persepsi utuh diantara khalayak. Salah satu tujuan dari Komunikasi Pemasaran adalah terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Dalam hal ini, transaksi yang terjadi berkaitan erat dengan promosi yang telah dilakukan oleh penjual.

Diungkapkan oleh Asmajasari (1997:1-2) dalam bukunya, salah satu komponen dari proses komunikasi pemasaran adalah promosi. Menurut Michael Ray dalam Morissan (2010:16-17), promosi dapat diartikan sebagai sebuah usaha yang dilakukan pihak penjual demi

(2)

13

memperkenalkan suatu ide dan gagasan dalam rangka menjual produknya melalui bermacam- macam saluran informasi dengan cara mempengaruhi khalayak.

2.1.1. Tujuan dan Fungsi Periklanan

Sebagai salah satu media yang kreatif, iklan dirasa mampu mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung, mampu mengubah pandangan dan selera konsumen hingga mendorong konsumen agar menentukan pilihan kemudian pada akhirnya membeli sebuah produk. Pada umumnya, tujuan periklanan adalah demi meningkatkan penjualan yang sifatnya menguntungkan penjual melalui bermacam-macam media dengan cara mempersuasi.

Menurut Asmajasari (1997:19-20), terdapat delapat tujuan dari periklanan, yaitu:

1. Mendukung personal selling serta kegiatan promosi lainnya yang telah dilakukan.

2. Mencapai calon konsumen yang belum bisa dicapai oleh salesman.

3. Menciptakan jalinan hubungan dengan bagian-bagian penyalur, misalnya dengan mencantumkan nama dan alamatnya.

4. Memasuki daerah pemasaran baru dan menarik calon konsumen yang baru.

5. Memperkenalkan produk terbaru.

6. Menambah angka penjualan indusri.

7. Mencegah dan menghindari timbulnya barang palsu dan tiruan.

8. Memperbaiki citra perusahaan dengan cara memberikan pelayanan umum melalui periklanan.

Dari poin-poin tujuan diatas, Asmajasari dalam bukunya (1997:11) juga menyebutkan beberapa fungsi dari kegiatan periklanan, fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah:

1. Memberi informasi

2. Membujuk atau mempengaruhi 3. Menciptakan suatu kesan 4. Memuaskan keinginan

5. Sebagai alat untuk berkomunikasi

Selain dari kelima fungsi yang telah disebutkan diatas, iklan ternyata juga memiliki beberapa manfaat lain yang dapat dirasakan dalam berbagai segi kehidupan, salah satunya adalah manfaat bagi pembangunan masyarakat dan manfaat dari segi ekonomi. Dalam bukunya, Kasali (1995:16) menjelaskan manfaat iklan antara lain adalah:

1. Iklan memperluas alternatif bagi konsumen. Dengan iklan, konsumen dapat mengetahui adanya berbagai macam produk, yang pada akhirnya menimbulkan pilihan.

(3)

14

2. Iklan membantu produsen menimbulkan kepercayaan bagi konsumennya.

3. Iklan membuat orang menjadi kenal, ingat, dan kemudian percaya.

2.1.2. Syarat Iklan

Dalam melakukan kegiatan promosi berupa iklan, ada baiknya iklan yang diproduksi sesuai dengan syarat-syarat iklan. Meskipun syarat-syarat ini bukan patokan wajib bagi sebuah iklan, namun ada baiknya beberapa hal berikut ini dipertimbangkan. Berikut syarat- syarat iklan yang dijabarkan oleh Terence A. Shimp (2003:415) dalam bukunya:

1. Sebisa mungkin Iklan harus memperpanjang suara dari strategi pemasaran. Iklan pada akhirnya menjadi efektif jika sesuai dan pas dengan elemen-elemen lain dari strategi komunikasi pemasaran yang direncanakan dengan matang baik serta terintegrasi.

2. Periklanan dapat dikatakan efektif jika turut menyertakan sudut pandang dari konsumen dan calon konsumen. Konsumen membeli karena manfaat produk, bukan karena atribut yang menempel. Iklan juga harus dinyatakan dengan cara yang berkaitan dengan kebutuhan konsumen dan keinginan serta apa yang bernilai bagi konsumen.

3. Periklanan yang efektif sebaiknya bersifat persuasive. Persuasi dapat terjadi jika produk dalam iklan bisa memberi keuntungan lebih bagi konsumen.

4. Iklan harus memiliki cara yang berbeda dan unik agar dapat terlihat lebih mononjol dan dapat bersaing dengan iklan-iklan lainnya.

5. Iklan yang baik tidak menjanjikan lebih dari apa yang bisa diberikan. Iklan harus bersifat apa adanya dan tidak menipu dan membohongi konsumen.

6. Iklan yang baik tidak menggunakan strategi dan ide kreatif yang berlebihan.

Mempengaruhi dan mempersuasi khalayak memang tujuan dari iklan namun penggunaan humor berlebihan yang tidak efektif dapat mengakibatkan khalayak hanya ingat kepada muatan humornya namun melupakan pesan iklan yang sebenarnya.

2.1.3. Bentuk Pesan dalam Iklan

Seperti yang kita ketahui, pesan dalam iklan berbentuk audio visual menggunakan perpaduan antara kata-kata (verbal) dan gambar (visual) dalam mengkonstruksikan makna dan pencitraannya. Berbeda dengan iklan di media cetak atau radio, iklan audio visual saling dikuatkan oleh gabungan dua unsur tadi (verbal dan visual) sehingga audience dapat lebih mudah merekam kata-kata dalam iklan yang divisualisasikan.

- Pesan Verbal

(4)

15

Menurut Mulyana (2010:200) Pesan verbal merupakan segala jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Seperti halnya bahasa yang merupakan seperangkat simbol dengan aturan kombinasi yang digunakan dan dipahami oleh suatu komunitas pun juga dapat dianggap sebagai sistem kode verbal.

- Pesan Non-Verbal

Komunikasi non-verbal adalah komunikasi yang menggunakan diluar kata-kata yang terucap dan tertulis. Walaupun komunikasi verbal dan non-verbal memiliki definisimya sendiri-sendiri, namun keduanya saling melengkapi dan mendukung dalam kegiatan komunikasi sehari-hari. Dalam buku Psikologi Komunikasi karya Rakhmat (1994:57), dijelaskan bahwa pesan non-verbal terbagi atas tiga bagian, yaitu Pesan Kinesik, Pesan Proksemik, dan Pesan Artifaktual.

1. Pesan Kinesik, yaitu pesan yang penyampaiannya menggunakan gerak tubuh yang memiliki suatu arti atau makna. Pesan ini terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:

a. Pesan Fasial

Pesan ini menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu seperti kebahagiaan, mimik muka terkejut, ekspresi kemarahan, ekspresi ketakutan, mikik muka yang sedang sedih, ekspresi kekesalan, ketakjuban, mimik muka penuh tekad dan minat.

b. Pesan Gestural

Pesan ini menunjukkan gerakan-gerakan sebagian anggota badan misalnya gerakan mata dan tangan untuk menyampaikan berbagai makna tertentu. Seperti yang disebutkan Galloway dalam Rakhmat (1994:58), pesan gestural memungkinkan digunakan untuk mengungkapkan:

- Melancarkan atau tidak reseptif - Mendorong atau membatasi - Responsif atau tidak responsive - Menyesuaikan atau mempertentangkan - Memperhatikan atau tidak memperhatikan - Perasaan yang positif atau perasaan negatif - Sikap menyetujui atau sikap menolak

c. Pesan Postural

Pesan yang ini sangat berkaitan dengan seluruh anggota tubuh.

Seperti contoh postur seorang tentara saat melakukan posisi berdiri

(5)

16

tentu akan sangat berbeda dengan postur seorang pramugari di pesawat. Mehrabian dalam Rakhmat (1994:59), menyebutkan bahwa terdapat tiga makna yang dapat disampaikan oleh pesan postural, yaitu:

- Immediacy yang merupakan ekspresi yang menggambarkan perasaan suka atau tidak suka kepada sesuatu. Postur cenderung condong kearah lawan bicara menunjukkan ekspresi suka yang positif.

- Power yang menunjukkan posisi atau status yang tinggi.

Postur sosok yang tinggi hati dengan postur sosok yang merendah tentu saja berbeda.

- Responsiveness merupakan sebuah ekspresi emosional kepada lingkungan, pada sesuatu yang positif maupun negatif.

2. Pesan Proksemik, pesan ini tersampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Pada umumnya, dengan mengatur jarak kita dapat mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain. Pengelolaan ruang objek dan rancangan interior juga dapat diekspresikan melalui pesan proksemik. Pesan ini dapat mengekspresikan suatu keakraban, sosial ekonomi, dan keterbukaan.

3. Pesan Artifaktual, disampaikan dan diekspresikan melalui penampilan badan, pakaian, dan kosmetik. Berkaitan dengan tubuh, secara sadar kita berusaha untuk membentuk image diri melalui pakaian dan kosmetik yang kita gunakan. Pakaian dan kosmetik tadi menjadi sarana penyampaian identitas kita agar orang lain mengetahui siapa kita. Dengan begini, kita berarti secara tidak langsung mengatakan apa posisi kita dan bagaimana orang lain seharusnya memperlakukan kita. Melalui pakaian kita juga dapat mengekspresikan perasaan, status dan peranan. (Rakhmat: 60)

2.2. Penggunaan Iklan sebagai Kampanye Sosial

Dalam Kamus Istilah Periklanan Indonesia, kampanye merupakan rencana kegiatan pemasaran yang berkesinambungan dan dilakukan berdasarkan oleh suatu jadwal yang menunjukkan peran suatu atau berbagai media (Nuradi, 1996:28). Kampanye juga termasuk salah satu teknik komunikasi perusahaan atau organisasi guna mencapai tujuannya melalui cara-cara kreatif, cenderung menggunakan muatan dan mengangkat pesan-pesan sosial.

Kampanye sosial dilakukan demi meningkatkan kesadaran dan pengetahuan khalayak.

(6)

17

Melalui penyampaian pesan sosial yang positif dalam kampanye sosial, kepercayaan dan citra baik perusahaan atau organisasi akan tumbuh di mata khalayak.

Dalam artian luas, kampanye sosial bertujuan untuk memberi penerangan dan memotivasi khalayak terhadap suatu kegiatan atau program tertentu melalui proses dan teknik komunikasi yang berkesinambungan juga terencana dalam rangka mencapai publisitas dan citra yang positif (Ruslan, 2005). Menurut Pfau dan Parrot, kampanye pada dasarnya adalah kegiatan komunikasi persuasive. Pakar komunikasi Rice dan Paisley juga berpendapat bahwa kampanye merupakan keinginan untuk mempengaruhi opini individu dan publik, kepercayaan, tingkah laku, minat, serta keinginan audiens atau khalayak dengan daya tarik komunikator yang sekaligus komunikatif (Venus, 2012).

Dari kedua pengertian kampanye yang dijelaskan oleh 2 pakar diatas, maka dapat disimpulkan bahwa keduanya setuju menganggap kampanye merupakan bentuk kegiatan persuasive yang tujuannya adalah mempengaruhi atau bahkan dapat mengubah pendapat serta opini masyarakat sasaran dengan berbagai pesan yang berkaitan dengan masyarakat luas atau isu-isu sosial. Kampanye sosial sekaligus berusaha mengubah behavioral atau sikap individu sasaran dengan menyodorkan ide, pikiran dan fakta terbaru melalui pesan yang komunikatif dan kreatif (Reokomy dalam Triwardhani, 2006). Pengertian kampanye sosial yang sejalan dengan tujuan dan fungsi periklanan yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya membuat penggunaan iklan dimanfaatkan sebagai media untuk melakukan kampanye sosial.

Menurut Carles U. Larson (1992) dalam bukunya yang berjudul Persuation, Reception and Responsibility yang dikutip oleh Rosady Ruslan (2003), kegiatan kampanye dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:

a. Product - Oriented Campaign

Kegiatan kampanye jenis ini berorientasi kepada produk dan biasanya dilakukan pada saat peluncuran atau promosi produk terbaru.

b. Candidate - Oriented Campaign

Kegiatan kampanye jenis ini berorientasi kepada calon kandidat guna kepentingan kampanye politik seperti kampanye pemilu, kampanye caleg, kampanye pilpres hingga jabatan publik lainnya yang bertujuan untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya dari khalayak.

c. Ideological or Cause - Oriented Campaign

Kegiatan kampanye jenis ini bertujuan khusus dan berorientasi pada perubahan sosial. Iklan yang membahas tentang isu-isu sosial pun dapat dikategorikan sebagai kampanye jenis ini karena sifatnya sosial untuk masyarakat.

Dalam penerapannya, kampanye sosial yang diusung oleh suatu perusahaan atau brand dapat dilakukan secara on ground maupun online. Namun, ketika dilihat dari kemungkinan yang ada pada platform digital pada Januari 2021 berdasarkan

(7)

18

datareportal.com, sebanyak 4,66 miliar orang di seluruh dunia menggunakan internet. Angka ini naik sebanyak 7,3 persen atau 316 juta dibandingkan dengan tahun 2019. Pada tahun 2021 pun, terdapat 4,20 miliar pengguna media sosial di seluruh dunia dan jumlah pengguna media sosial saat ini setara dengan lebih dari 53 persen dari total populasi dunia (Kemp, 2021).

Dengan bukti data angka tersebut, digital media channels menjadi pilihan baik dalam melakukan kampanye sosial. Dalam kampanye sosial online, perusahaan atau brand dapat menggunakan iklan sebagai medianya untuk menjalin hubungan baik dengan khalayak dan audiens.

Dengan kekuatan dari iklan yang mampu membujuk dan mempengaruhi serta brand yang mampu melakukan perubahan sosial, berbagai brand besar tidak lagi hanya beriklan untuk menjual produknya. Lebih dari itu, brand mengemas iklannya dalam bentuk kampanye sosial. Sebagai contoh, brand Dove dengan kampanye “Real Beauty” yang menantang stereotipe mengenai kecantikan wanita. Selain itu, brand Always yang menjual produk feminine dengan iklan kampanye sosialnya yang berjudul “Like A Girl” menantang persepsi negatif pada frasa “berkelahi seperti perempuan”. Dengan menggunakan iklan sebagai media dari kampanye sosial, maka diharapkan akan mampu menggiring khalayak untuk peka terhadap brand tersebut. Dalam hal ini, kemampuan berkampanye di media soial dapat dengan mudah membuat orang mengetahui serta pada akhirnya mengikuti brand tertentu (Pack, 2011).

2.2.1. Tujuan Kampanye Sosial

Menurut Reddi (2009:402) dalam Effective Public Relations and Media Strategy, terdapat lima tujuan utama dari kampanye sosial, yaitu:

a. To inform and create awareness yang berarti menginformasikan dan menyadarkan.

b. To persuade, educate, and motivate yang berarti merayu, mengajarkan, dan memotivasi.

c. To mobilise public opinion towards ideas and actions yang berarti mengembangkan opini publik melalui ide dan tindakan.

d. To utilize appropriate media and methods in reaching the target audience yang berarti menarik target audiens menggunakan media dan metode.

e. To give results by implementing the programmes yang berarti memberikan hasil yang diinginkan melalui pelaksanaan program kampanye.

2.2.2. Komunikasi Persuasif dalam Iklan Kampanye Sosial

Menurut Michael Pfau dan Roxanne Parrot dalam Ruslan (2005:26), “Campaign are incherently persuasive communication activities” yang artinya aktivitas kampanye selalu

(8)

19

melekat dengan kegiatan komunikasi persuasif. Ruslan juga memberikan kesimpulan bahwa tindakan persuasive pada prinsipnya dalam proses komunikasi dilakukan demi mengubah atau memperteguhkan sikap, pandangan, perilaku, dan kepercayaan masyarakat secara sukarela sesuai dengan apa yang direncanakan oleh pembuat pesan (Ruslan, 2005:27).

Dampak komunikasi yang kemudian dihasilkan dari kegiatan kampanye adalah sebagai berikut:

a. Dampak Kognitif

Merupakan dampak yang membuat khalayak atau audiens dari suatu kampanye menjadi bertambah pengetahuannya sehingga pola pikirnya ikut berubah ke arah positif.

b. Dampak Afektif

Merupakan dampak yang tidak hanya membuat khalayak atau audiens bertambah pengetahuannya, tetapi juga tergerak hatinya untuk bereaksi secara positif dalam menanggapi suatu kampanye yang telah diterima.

c. Dampak Behavioral

Setelah bertambah pengetahuan dan tergerak hatinya, khalayak atau audiens secara sukarela mau melakukan suatu tindakan dan perilaku sebagai tanggapan dari proses komunikasi yang dilakukan dalam kampanye.

2.2.3. Perencanaan Iklan dalam Kampanye Sosial

Menurut Rhenald Kasali, (1995:206), sebelum Iklan Kampanye sosial dibuat, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi isu, masalah serta pemilihan kelompok sasaran.

b. Menganalisis kebutuhan kelompok sasaran seperti psikologisnya, sosiologis yang melingkupinya, bahasa yang digunakan, jalan pikiran, serta simbol-simbol yang ada disekelilingnya.

c. Menentukan tujuan khusus kampanye sosial, apa yang ingin dicapai dalam kampanye tersebut.

d. Menentukan tema kampanye yang berupa topik yang ingin disasar oleh komunikator. Tema yang dipilih harus berpusat pada topik yang penting bagi target audiens atau khalayak.

e. Menentukan anggaran kampanye yang diperlukan.

f. Membuat perencanaan media yang diliputi oleh; identifikasi media yang tersedia, memilih media yang cocok, menentukan waktu dan frekuensi penayangan.

g. Menciptakan pesan-pesan kampanye yang menarik perhatian khalayak atau target audiens.

(9)

20

h. Menilai keberhasilan kampanye melalui rangkaian evaluasi.

2.3. Maskulinitas

Kata maskulin merujuk pada sebuah bentuk konstruksi kejantanan terhadap seorang laki-laki. Pada kenyataannya, hubungan antara laki-laki dengan maskulinnya serta perempuan dengan feminine bukan merupakan korelasi mutlak. Gender mengarah kepada identitas budaya. Oleh karena itu, perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dengan perempuan yang telah dikonstruksikan secara sosial akibat pengaruh budaya. Dalam gender pun, istilah maskulin disebut sebagai ciri-ciri dari seorang laki-lakian. Butler (1990) menjelaskan gender merupakan performatif yang mengandung aturan-aturan tentang bagaimana seseorang harus berperilaku sesuai dengan atribut gender yang disematkan pada dirinya. Pendapat ini bermaksud untuk menunjukkan jika seseorang yang terlahir sebagai laki-laki haruslah maskulin dan perempuan harus feminine sebagaimana seharusnya (Fathinah, 2017:214).

Meskipun seorang laki-laki tidak dilahirkan sekaligus bersamaan dengan sifat maskulinnya, maskulinitas justru dibentuk oleh kebudayaan. Pada maskulinitas tradisional, masyarakat menganggap nilai-nilai kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan, dan kerja pada seorang laki-laki sebagai sesuatu yang harus dimiliki. Pandangan mengenai maskulinitas tradisional ini kemudian menganggap seorang laki-laki akan gagal menjadi jantan jika dirinya tidak maskulin dan tidak sesuai dengan nilai-nilai kelelakian (Barker, dalam Nasir, 2007:1).

Pencitraan yang telah terbentuk tadi bersifat turun-temurun dari generasi ke generasi.

Berawal dari pewarisan budaya hingga akhirnya menjadi sebuah keharusan yang harus dilaksanakan jika ingin dipandang sebagai laki-laki seutuhnya. peraturan umum yang sebenarnya tidak pernah tertulis itu menyebutkan bahwa laki-laki tidak boleh menangis, laki- laki harus kuat fisik dan mental, selalu berani, garang serta memiliki otot. Laki-laki juga dibebankan menjadi sosok pelindung, kemudian laki-laki akan dikatakan sangat maskulin jika identik dengan rokok, alcohol dan kekerasan (Donaldson, 1993:1) (dikutip dari Demartoto, 2010).

Berbagai macam perilaku tersebut sangat umum ditemukan pada sosok laki-laki.

Sehingga terdapat pendapat yang menjelaskan bahwa laki-laki ialah manusia bebas yang dibolehkan untuk melakukan apapun tanpa harus terbebani norma kepantasan dan norma- norma kesopanan (Barker, dalam Nasir, 2007:3). Pada dunia barat, konsep tentang maskulinitas juga dipengaruhi oleh kebudayaan. Pada masyarakat barat, maskulinitas erat dengan citra industrialisasi, militer, dan peran sosial gender yang konvensional. Seorang laki- laki harus kuat fisiknya, memiliki sifat agresif, logis, dan dapat memimpin. Dengan segala

(10)

21

pencitraan tersebut, maka kebudayaan akan terus menciptakan sifat-sifat maskulin baru yang seolah-olah telah dimiliki oleh seorang laki-laki sedari mereka lahir ke dunia.

Menurut Darwin dan Tukiran (2001), maskulinitas menaungi berbagai macam aspek karakteristik seseorang seperti aspek kepribadian, aspek peranan, penampilan fisik, perilaku serta orientasi seksual (Tawaqal YP, 2017:10). Pendapat ini sesuai dengan Harding (1968) dan Siva (1989) dalam buku yang berjudul Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa mskulinitas dan feminitas adalah dua ideologi yang saling kontadiktif. Maskulinitas merupakan sebuah pemahaman yang karakternya meliputi ciri persaingan, sikap dominasi, eksploitasi dan penindasan. Sedangkan Feminitas meliputi kedamaian, kebersamaan, keselamatan dan kasih. Tentunya, maskulinitas tidak dimiliki oleh laki-laki saja, pun sebaliknya. Terciptanya perbedaan kedua gender ini tidak akan bermasalah selama dalam prakteknya tidak memunculkan ketidak adilan gender yang membuat laki-laki serta perempuan menjadi korban dari sistem tersebut (Monsour, 1996:74).

Pembahasan mengenai maskulinitas tentu tak dapat lepas dari bahasan mengenai gender. Umumnya, jenis kelamin adalah konstruksi biologis yang dibawa tiap individu sedari mereka lahir ke dunia. Sedangkan gender merupakan konstruksi sosial budaya yang terbentuk dari proses panjang dari dulu hingga sekarang dan seterusnya. Sehingga, gender memiliki sifat dinamis. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan tersebut kemudian menjadi lebih besar saat masyarakat secara sadar maupun tidak sadar ikut mempertahankan perbedaan yang sifatnya bukan bawaan lahir. Perbedaan yang dipertahankan secara kultural ini tidak lain merupakan budaya patriarkhi. Berikut gambaran perbedaan antara laki-laki dan perempuan menurut Helen MacDonald dalam Kurnia (2004:19):

(11)

22

Table 2 1 : Perbedaan Antara Men (Laki - Laki) dengan Woman (Perempuan)

Mengutip dari dua ilmuwan sosial Deborah David dan Robert Brannon dan hasil penelitian dari Beynon (dikutip dari Nasir, 2007), dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat-sifat maskulinitas adalah sebagai berikut:

1. No Sissy Stuff: Seorang laki-laki sejati harus menghindari segala perilaku yang berbau feminin dan menghindari karakteristik yang mirip dengan perempuan.

2. Be a Big Wheel: Maskulinitas seorang laki-laki dapat diukur dari kesuksesan, kekuasaan, dan pengaguman dari orang lain. Laki-laki harus mempunyai status dan kekayaan. Seperti contoh dalam masyarakat Jawa, lelaki akan disebut atau dianggap berhasil jika memiliki garwo (istri), bondo (harta), turonggo (kendaraan), kukiro (burung peliharaan), dan pusoko (kesaktian atau senjata) (Osella & Osella, 2000:120).

3. Be a Sturdy Oak: Laki-laki harus memiliki sifat rasional, punya kekuatan serta kemandirian. Sebagai lelaki, penting untuk tetap tenang di berbagai macam situasi, tidak mudah menunjukkan perasaan apalagi sisi lemahannya.

4. Give em Hell: Laki-laki harus memiliki keberanian serta agresif. Harus berani mengambil resiko meskipun memiliki perasaan takut.

(12)

23

5. New man as nurturer: Sebagai lelaki juga memiliki kelembutan sebagai sosok ayah agar dapat mengurus dan memberikan contoh bagi anak-anaknya.

6. New man as narcissist: Menunjukkan maskulinitasnya melalui gaya hidup parlente dan menyukai produk-produk yang mendukung sifat maskulinnya seperti properti dan mobil yang membantunya agar terlihat lebih sukses.

7. Sifat laki-laki yang macho, hooliganism, menikmati hidup bebas bersama teman-temannya, menyumpah, hingga membuat lelucon yang dianggap merendahkan perempuan.

8. Laki-laki metroseksual yang peduli fashion dan gaya hidup yang teratur, detail dan cenderung perfeksionis.

2.3.1. Karakteristik Maskulinitas dan Stereotipenya

Blair (2007) berpendapat bahwa Masculinity refers to the set of expectatitons about how men should behave, think, and appear in a given culture. Yang berarti maskulinitas merupakan seperangkat idealisasi dan harapan mengenai bagaimana seharusnya seorang laki- laki tampil, bertindak, dan berpikir dalam suatu kebudayaan. John Beynon (2002) dalam bukunya Masculinities and Culture juga menjelaskan bahwa maskulinitas terbentuk karena adanya fantasi tentang bagaimana laki-laki harus berperilaku (Tawaqal YP, 2017:19). Beynon juga menerangkan bahwa lelaki yang maskulin dapat dilihat dari aspek pendidikan, dari lingkungan, melalui kebudayaan, kepercayaan, status, gaya hidup dan riwayat dari seorang laki-laki (Pramudika, 2015:30).

Ronal F. Levant (2002) melalui bukunya yang berjudul Masculinity Reconstructed menyebutkan bahwa ada sifat-sifat khas yang melekat pada laki-laki yang dianggap maskulin.

Sifat khas yang melekat tersebut diantaranya adalah menghindari sifat kewanitaan, kuat, mandiri, agresif, ambisius dan membatasi emosi. Sifat dan karakteristik yang menempel pada gender merupakan Stereotipe Gender (pelabelan atas gender) yang berarti makna luas dari gender, keyakinan serta pantulan dari kesan masyarakat terhadap sosok laki-laki dan perempuan. Cejka dan Eagly dalam buku Sex and Gender an Introduction juga menjelaskan bahwa terdapat dua dimensi stereotipe yang seharusnya dimiliki oleh pria yang ingin dianggap maskulin. Kedua dimensi tersebut adalah berupa Physical dan Personality (Lips, 2008).

Berdasarkan dimensi Physical atau bentuk fisik, pria yang dianggap maskulin haruslah memiliki:

(13)

24

a. Athletic, pria yang maskulin harus memiliki tubuh ideal yang memiliki otot serta memiliki dada bidang.

b. Burly, pria yang dianggap maskulin harus memiliki tubuh yang kekar.

c. Tall, maskulin harus memiliki tubuh yang tinggi.

d. Physically Vigorous, pria maskulin harus penuh semangat dan tercermin dari penampilan luar mereka.

e. Physically Strong, pria maskulin harus mempunyai fisik yang sangat kuat dan tahan banting.

Sedangkan berdasarkan dimensi Personality, pria yang dianggap maskulin haruslah memiliki:

a. Competitive, pria yang maskulin harus senang bersaing dan berlomba.

b. Unexcitable, pria yang maskulin harus memiliki sifat tenang.

c. Dominant, pria yang maskulin harus dominan dan mampu mengontrol dirinya.

d. Adventurous, pria yang maskulin harus mempunyai jiwa petualang dan berani.

e. Aggressive, pria yang maskulin harus memiliki sifat yang agresif.

f. Courageous, pria yang maskulin harus memiliki sifat yang pemberani.

2.3.2. Maskulinitas di Media

Media termasuk dalam sarana yang memiliki peranan penting dalam pencitraan maskulinitas. Melalui bermacam-macam saluran media, berbagai pihak pun berusaha memperlihatkan gambaran tentang konsep maskulinitas kepada masyarakat yang pada akhirnya, memunculkan berbagai karakter maskulinitas. Maskulinitas yang ada hingga kini merupakan imaji kejantanan, ketangkasan, keberanian dan keperkasaan seorang laki-laki untuk menantang bahaya menggunakan otot dan tubuh kekar laki-laki (Jewitt C dalam Kurnia, 2004:22).

Secara seksual, maskulinias dapat dikategorikan kedalam lima tipe. Pertama, adalah tipe Gladiator-Retro Man yang merupakan pria pemegang control dan aktif secara seksual.

Kedua, tipe Protector yang merupakan laki-laki pelindung sekaligus penjaga. Ketiga, tipe Clown of Boffoon yang mana mengutamakan persamaan dalam menjalin hubungan dan menghormati wanita serta bersikap gentleman. Keempat, tipe Gay Man yaitu pria yang memiliki orientasi seksual homoseksual. Kelima, adalah tipe Wimp yang merupakan jenis pria yang lebih lemah dan cenderung bersikap pasif. Kategori inilah yang paling sering digunakan oleh media kebanyakan untuk mengkonstruksi maskulinitas terutama tipe gladiator yang melambangkan kekuasaan dan dominasi (Jewitt C dalam Kurnia, 2004:22).

(14)

25

Menurut Hanke dalam Theorizing Masculinity With in The Media (dikutip dari Kurnia 2004:23), hubungan antara maskulinitas dengan media muncul pertama kali pada tahun 1970-an namun baru mendapatkan perhatian pada akhir tahun 1980-an. Dalam kajian media, maskulinitas kemudian dipahami sebagai produk dan proses dari sebuah representasi.

Stereotipe Gender yang kerap digunakan oleh media seperti pelabelan maskulin terhadap seorang laki-laki akan mudah melekat pada pikiran dan ingatan manusia. Namun, stereotipe seringkali berkonotasi negatif hingga muncul prasangka dan diskriminasi terhadap seseorang yang tidak sesuai dengan stereotipe pada umumnya (Santrock, 2007:227-228). Kemunculan media baru juga sedikit banyak mempengaruhi pola pikir dan sudut pandang seseorang dalam memandang maskulinitas. Media turut membentuk karakter-karakter dan peranan sesuai dengan stereotipe gendernya.

Trujilo dalam Kurnia (2004:24) menemukan lima fitur yang dapat diidentifikasi pada budaya media Amerika. Yang pertama, ketika kekuasaan dikaitkan dengan kekuatan dan kontrol fisik. Kedua, saat kekuasaan diartikan melalui pencapaian di bidang professional.

Ketiga, kekuasaan direpresentasikan ke dalam patriarki familial. Keempat, saat kekuasaan dilambangkan melalui laki-laki pelindung yang sangat romantis. Kelima, saat heteroseksual diartikan pada representasi phallus.

2.3.3. Maskulinitas dalam Iklan

Saat ini, iklan tidak hanya berisi mengenai informasi produk tertentu, melainkan lebih dari pada itu iklan menawarkan ideologi, imaji, bahkan gaya hidup. Menurut Wernick (1991:32), iklan merupakan media promosi budaya, sarana ekspresi ideologi dan simbolik budaya. Segala simbol dan tanda yang digunakan dalam iklan dan merujuk kepada konsep maskulinitas inilah yang membuat ideologi sebagai alat bantu keperluan budaya para produsennya.

Lewat ideologi dan pemahaman kapitalisme, iklan pun berkembang serta bermunculan stereotip dan pencitraan maskulinitas dalam iklan. Menurut Susan Bordo (dikutip dari Kurnia, 2004:25), laki-laki lebih cenderung direpresentasikan sebagai sosok yang berotot, jantan dan berkuasa. Pernyataan tersebut juga selaras dengan pendapat Wood (Fowles, 1996:208), yang mengatakan bahwa laki-laki merupakan makhluk yang aktif, suka berpetualang, kuat, dan agresif secara seksual. Laki-laki banyak melakukan aktivitas yang berkaitan dengan tenaga dan kegiatan fisik seperti olahraga. Karena keaktifan laki-laki ini, kemudian lokasi dan pemilihan latar setting dalam iklan menjadi ciri yang selalu sama.

Lokasi yang menantang, outdoor, tempat publik seperti kantor, gunung, arena balap, bengkel, dan setting lokasi lainnya yang dirasa sangat maskulin.

(15)

26

Media Awareness Network (dikutip dari Kurnia, 2004:27), mengidentifikasi lima karakteristik dari maskulinitas, Pertama, adalah sikap sportif yang biasanya dimasukkan ke dalam pesan iklan yang berkaitan dengan sikap laki-laki yang menggunakan wewenangnya dalam melakukan dominasi. Jika muncul aksi kekerasan dalam penggunaan wewenang, akan dianggap sebagai strategi laki-laki untuk mengatasi masalah hidupnya.

Kedua, mentalitas cave man yang merupakan pahlawan. Pejuang, pendekar, bajak laut, dan koboi merupakan salah satu contohnya. Kekerasan dan keagresifan yang muncul pun akan diwajarkan karena dianggap sebagai sifat alamiah laki-laki. Citra maskulin yang digambarkan selalu lekat dengan kejantanan dan berkaitan dengan aktivitas menantang dan berbahaya.

Ketiga, pejuang baru. Karaktersitik ini disimbolkan dengan munculnya pejuang yang berkaitan pada militer ataupun olah raga yang dinilai maskulin karena menampilkan citra kekuatan laki-laki. Beberapa iklan dengan target primer laki-laki pun menggunakan ikon-ikon yang sesuai sebagai simbol maskulinitas.

Keempat, tubuh berotot mencitrakan tubuh ideal seorang laki-laki. Imaji ini termasuk salah satu citra yang paling sering digunakan dalam iklan, dimana laki-laki yang jantan adalah yang memiliki six pack, berotot dan dada bidang. Seperti iklan susu L-Men yang menampilkan model dengan tubuh berotot yang dikesankan basah karena keringat agar terlihat semakin maskulin.

Kelima, maskulinitas pahlawan. Tipe ini dipengaruhi oleh film-film aksi dari Hollywood. Maskulinitas disini dikaitkan kepada bantuan alat dan teknologi seperti pistol dan senjata-senjata mematikan lainnya demi memunculkan imaji yang lebih maskulin. Wibowo (2004:161-162) memberikan pandangannya bahwa kesan maskulin pada iklan yang banyak muncul di media Indonesia ini didominasi oleh gaya laki-laki parlente yang menunjukkan kesan tangguh, perkasa dan cerdik sebagai unsur-unsur maskulin.

Masih berkaitan dengan kejantanan tubuh lelaki yang mendominasi citra maskulini dalam iklan, Wibowo (2004:171) menjelaskan dalam konteks iklan yang disajikan, kejantanan dan keperkasaan tersebut berakar dari tradisi Yunani dan Romawi yang kemudian diserap ke dalam budaya kapitalistik barat modern. Di Indonesia sendiri, sangat akrab dengan Gatot Kaca yang digambarkan dengan otot kawat tulang besi. Karena itu, iklan kemudian menjadi harus tampil menarik dengan imaji yang dibangun.

Wibowo (2004:173) juga mempertegas bahwa iklan merupakan alat sihir yang salah satunya, melalui imaji maskulinitas dalam budaya pop. Gambaran fisik laki-laki dalam iklan tidak lagi menjadi simbol dominasi pria, melainkan simbol maskulinitas kapitalistik dalam pengertian yang luas. Seperti halnya iklan rokok, iklan minuman energi untuk laki-laki, juga menggambarkan kekuatan dan keberanian yang besar. Segala bentuk tanda mulai dari

(16)

27

pemilihan model, pemilihan kata, wardrobe, gerak tubuh, hingga artistik yang digunakan semuanya terlibat demi membentuk imaji maskulin yang diinginkan.

Menurut Venny (2000) dalam Semiotika Untuk Analisis Gender Pada Iklan Televisi (2004:111), penggambaran stereotipe gender dalam iklan yang membedakan peran gender laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada tabel berikut:

Table 2 2 Daftar Streotype Gender dalam Iklan

2.3.4. Maskulinitas dalam Budaya Barat Modern

Dalam budaya barat modern, Connel (1995) menjelaskan bahwa terdapat tiga tipe maskulinitas: maskulinitas hegemonik, maskulinitas konservatif, dan maskulinitas subordinat.

a. Maskulinitas Hegemonik

Berdasarkan pemikiran politik kekuasaan (Gramsci, 1985), Maskulinitas Hegemonik merupakan bentuk maskulinitas yang memperjuangkan budaya dominan pada sebuah lingkup khalayak atau masyarakat yang berdasarkan nilai- nilai yang berlaku di kelas penguasa. Kemudian ciri yang tampak pada Maskulinitas Hegemonik adalah budaya dominan berperan sebagai salah satu cara dan sarana guna menguatkan kekuasaan kelas penguasa baik laki-laki yang mendominasi perempuan atau bahkan yang mendominasi laki-laki lain. Laki- kaki yang dihormati adalah laki-laki yang paling mampu untuk mendominasi

(17)

28

yang lainnya. Tipe maskulinitas ini ingin menunjukkan diri berdasarkan ketangguhan dan kekuatan hipermaskulin ideal (Giles, 2003:169).

b. Maskulinitas Konservatif

“Laki-laki baru (new man)” adalah stereotipe yang digunakan oleh Connel atas contoh dari maskulinitas konservatif. The New Man merupakan icon budaya tahun 1980-an yang bertujuan untuk mewakili berubahnya maskulinitas yang berpindah dari nilai kekuatan serta ketangguhan menjadi laki-laki yang memperlihatkan emosi, sisi lembut dan terlibat dalam pengasuhan anak (Giles, 2003:169). Pada tahun 1980-an, laki-laki yang merasa tertekan akan didorong meluapkan emosinya dengan menjerit, memeluk pohon dengan tujuan menghilangkan rasa emosional. The New Man dianggap dan digambarkan sebagai intelektual yang unggul. (Giles, 2003:169).

c. Maskulinitas Subordinat

Selain tipe maskulinitas hegemonik dan konservatif, maskulinitas subordinat merupakan maskulinitas alternatif yang dipandang negatif. Contoh dari maskulinitas tipe ini adalah homoseksual yang dianggap sebagai sesuatu yang salah dan harus diatasi oleh laki-laki sesungguhnya. Secara tradisional pun, homoseksual menjadi subjek ejekan di media (Giles, 2003:170).

(18)

29 2.3.5. Klasifikasi Maskulinitas

Dalam buku Cultural Studies: Teori dan Praktik, Chris Barker menjelaskan mengenai Maskulinitas Tradisional yang salah satu klasifikasinya erat dengan nilai-nilai kekuatan, ketangkasan, kekuasaan, ketabahan, kontrol, dominasi, aksi, kemandirian, kerja keras, keswadayaan serta persahabatan antara laki-laki. Maskulinitas tradisional juga memandang rendah kehidupan domestik, kemampuan verbal, hubungan, komunikasi, kelembutan, perempuan dan anak-anak (Barker, 2000:241).

Maskulinitas Tradisional dinilai dengan ciri-cirinya yang sama dengan tipe maskulin sebelum tahun 1980-an. Ciri tersebut sama-sama menunjukkan bahwa laki-laki merupakan dominator atas perempuan dengan menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan kontrol yang dimilikinya. Kemudian muncul Maskulinitas Modern yang sangat berbeda dan bertolak belakang dengan konsep maskulinitas tradisional. Menurut Beynon (2000), konsep maskulinitas modern ini digambarkan melalui laki-laki yang lebih sensitif, ekspresif, perhatian, lembut dan rela dalam melakukan pekerjaan perempuan yang sifatnya domestik.

Begitu juga Cornwall dan Lindisfarne (1994) yang berpendapat sama dengan Beynon.

Mereka setuju bahwa maskulinitas modern selaras dengan sosok laki-laki baru (the new man) (Fathinah, 2017:216).

Maskulinitas Modern ini mempunyai kesamaan dengan maskulinitas konservatif pada budaya Barat Modern, maskulin tahun 1980-an, dan tahun 200-an yang menampilkan dan menunjukkan sosok laki-laki baru (the new man). Maskulinitas modern dapat dilihat melalui segi budaya, pendidikan, pola piki, profesi dan gaya hidup yang meliputi penampilan, minat dan hobi seorang laki-laki (Fathinah, 2017:216). Maskulinitas modern mengandung unsur- unsur feminitas, sehingga bukanlah sesuatu yang hegemonik. Namun jika maskulinitas tradisional tidak lagi menjadi sebuah standar bagi laki-laki, maskulinitas modern kemudian akan menjadi maskulinitas hegemonik yang diidealkan. Pergeseran bentuk maskulinitas hegemonik ini dapat timbul karena laki-laki pada akhirnya memiliki keberanian dalam mengkritisi wacana kelelakiannya terutama bagi laki-laki yang merasa terbebani dengan tradisi maskulinitas tradisional (Fathinah, 2017:216).

(19)

30 2.3.6. Toxic Masculinity atau Maskulinitas Beracun

Menurut Terry A. Kupper dalam Toxic Masculinity as a Barrier to Mental Health Treatment in Prison yang dikutip oleh Bryant W. Sculos (2017), Toxic Masculinity adalah kumpulan dari norma-norma, kepercayaan serta perilaku yang berkaitan pada konsep maskulinitas. Hal-hal tersebut dipercaya akan berbahaya bagi berbagai kelompok mulai dari anak-anak, perempuan, bahkan laki-laki dan masyarakat secara keseluruhan. Toxic masculinity adalah gambaran dari dominasi laki-laki yang menimbulkan pandangan miring saat terdapat bebagai hal yang bertentangan dengan konsep maskulinitas. Laki-laki akan berusaha keluar dari kepercayaan serta norma yang berlaku dan ada di masyarakat terhadap konsep maskulinitas yang telah dilekatkan pada diri mereka. Hal ini yang kemudian akan berpotensi bahaya terhadap diri laki-laki itu sendiri.

Dikutip dari Kupper dalam Jufanny dan Girsang (2020:17), Toxic masculinity atau maskulinitas beracun ini dapat membuat laki-laki cenderung berkompetisi ekstrim, tidak peka akan perasaan orang lain, merasa kuat dan mendominasi serta mengontrol orang lain, tidak sanggup untuk mengasuh, tidak mau jika bergantung pada orang lain, melakukan bentuk kekerasan, dan mempunyai stigma tersendiri pada laki-laki lain yang terlihat memiliki sifat feminine.

Aspek-aspek maskulinitas yang mendominasi saat ini tidak lain adalah bentuk persaingan kejam, penafikan emosi, penuh kemarahan, tidak mau memperlihatkan perasaan takut, menolak atas bantuan yang ditawarkan, membenci hal-hal yang berkaitan dengan simbol-simbol feminine dan homophobia (Brittan, 2009). Maka, toxic masculinity atau maskulinitas beracun adalah pandangan yang menyimpang atas maskulinitas yang dapat menghancurkan. Bentuk maskulinitas negatif ini seringkali menanamkan pengertian bahwa jika ingin dipandang maskulin, maka emosi yang menunjukkan kesedihan dan kelemahan tidak perlu ditunjukkan.

Perjalanan panjang pembentukan maskulinitas sebenarnya dimulai dari keluarga dan lingkungan sekolah. Interaksi sehar-hari yang dilakukan oleh para pengassuh dan anak-anak pun sedikit banyak membentuk pemahaman pertama tentang maskulinitas (Hussey, 2003:56).

Dalam studi yang dilakukan oleh Fivush pada tahun 1993 dalam Hussey (2003:58), para ibu diminta untuk melakukan diskusi mengenai empat macam emosi spesifik yaitu kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, dan ketakutan dengan anaknya. Hasilnya, para ibu lebih banyak berbicara mengenai emosi kesedihan dengan anak perempuannya sedangkan dengan anak

(20)

31

laki-laki, justru pembicaraan yang dilakukan adalah tentang emosi kemarahan dan konflik.

Salah satu yang perlu dicatat adalah orangtua lebih sering berbicara mengenai emosi kepada anak perempuan, dan anak perempuan juga lebih sering terbuka mengenai emosi yang dirasakannya dibanding anak laki-laki.

Orangtua menganggap sangat penting bagi anak laki-laki untuk tidak menunjukkan segala bentuk kelemahan, kerentanan serta sifat kekanak-kanakan seperti tangisan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Buck’s (1975), pada usia enam tahun, ibu dapat lebih mudah membaca emosi anak perempuan daripada anak laki-laki. Berdasarkan fakta inilah, sedari kecil orangtua telah memberikan tekanan ekstra pada anak laki-laki sehingga dapat disimpulkan bahwa maskulinitas beracun juga telah dimulai dari lingkungan rumah dan sekolah (Hussey, 2003:59).

Peran seorang ayah juga sedikit banyak memberikan pengaruh pada pembentukan maskulinitas pada diri anak laki-lakinya. Para ayah berusaha untuk menguatkan anak laki- lakinya dan berpikir anak laki-laki pada dasarnya lebih tangguh, lebih mampu menahan rasa sakit dan kekerasan (Hussey, 2003:62). Sedari kecil, laki-laki telah dituntut untuk berperilaku seperti laki-laki dan salah satu aturan yang paling sering dilontarkan adalah “Being a man is not to show your feelings and not cry”. Jika diperhatikan, dengan mudah dapat dilihat bahwa sekelompok laki-laki akan menantang satu sama lain, saling menjatuhkan, saling memukul untuk mengetes siapa yang paling jantan. Semua hal tersebut akhirnya bermuara pada kalimat

“boys will be boys” (Hussey, 2003:69-70). Maccoby dan Jacklin (1974) juga mengatakan bahwa laki-laki terlibat dalam permainan yang lebih kasar dan kacau serta pertarungan fisik (Hussey, 2003:79).

2.4. Studi Resepsi dalam Komunikasi

“Recipere” yang artinya menerima adalah bahasa latin asal kata resepsi. Perhatian Studi Resepsi dalam penelitian komunikasi massa terpusat pada Encoding dan Decoding oleh Stuart Hall. Analisis resepsi mengacu kepada studi tentang makna, arti, produksi dan juga salah satu yang paling penting adalah pengalaman khalayak dalam hubungannya berinteraksi dengan teks media. Studi ini berfokus dan mengacu kepada proses decoding, interpretasi serta pemaknaan sebagai konsep penting dan inti dari studi resepsi (Machmud, 2018:220).

Dijelaskan oleh Stuart Hall bahwa makna yang diterima, diartikan dan dimaksudkan dalam pesan konten media dapat berbeda. Encode dan decode sebagai kode yang disandi dan disandi balik tidak melulu bersifat simetris dan lurus. Bentuk simetris ini ditujukan atas level pemahaman atau kesalahpahaman saat terjadi pertukaran pesan dalam proses komunikasi

(21)

32

yang bergantung pada derjat pemahaman dan kesamaan yang terbentuk antara produsen pesan dengan penerima pesan. Kemudian, Stuart Hall membuat sebuah pendekatan yang mewakili pandangannya yang dikenal sebagai studi resepsi yang menganalisis penerimaan khalayak.

Menurut Fiske (1987) dalam Machmud (2018:217), pemanfaatan teori resepsi ini merupakan dukungan kajian atas khalayak yang sesungguhnya akan memposisikan masyarakat sebagai khalayak yang aktif dan dinilai berperan sebagai agen kultural yang ikut andil dalam memberikan suatu makna atas agenda, wacana dan ideologi yang ditawarkan oleh pembuat pesan. Pesan yang dutampilkan oleh produsen pesan dapat diterima bahkan ditolak oleh masyarakat sebagai khalayak.

Kemudian, Stuart Hall juga menjelaskan bahwa meskipun sebagian besar teks bersifat terbuka dan menginginkan suatu pemahaman dominan yang disukai khalayak, namun sebagian khalayak sangat mungkin untuk tidak setuju atau bahkan menyalah artikan beberapa aspek dari pesan tersebut dan memberikan penafsiran alternatif atau makna negosiasi yang berbeda dari pesan dominan. Pada beberapa kasus pun, khalayak juga mungkin membuat penafsiran dengan cara yang berlawanan dari penafsiran dominan (Baran, 2009:303-304).

Kegiatan penerimaan pesan ini berawal dari proses decoding yang memberikan makna dan interpretasi pribadi terhadap pesan-pesan yang diterima menjadi sebuah arti utuh yang memiliki makna bagi si penerima pesan (Morissan, 2013:21). Ini semua berarti dalam menginterpretasi dan menilai serta mengevaluasi sebuah teks benar-benar berasal dari pemikiran khalayak.

Pemirsa atau khalayak dari suatu teks media seperti film maupun iklan tidak lagi menjadi khalayak yang pasif, melainkan menjadi khalayak aktif. Seperti saat khalayak menerima dan menonton sebuah iklan, mereka kemudian akan menegosiasikan arti dan makna dari iklan tersebut. Segala makna yang nantinya terbentuk sangan bergantung kepada background secara sosial dan budaya tiap-tiap individu. Dengan melihat latar belakang masing-masing khalayak, maka akan mampu menjelaskan bahwa terdapat sebagian penonton yang setuju dan menerima serta tidak setuju dan menolak tayangan yang mereka tonton.

Seperti yang dijelaskan di atas, teks dapat dimaknai dengan berbeda atau bahkan salah karena terdapat sebuah jarak antar penulis sebagai produsen pesan dan penonton sebagai penerima pesan. Hal tersebut kemudian disebut Stuart Hall dengan “jarak pemahaman”. Menurut Stuart Hall dalam Machmud (2018:218-219), setelah khalayak melakukan decoding, maka mereka akan menempati tiga kemungkinan posisi, yaitu:

1. Posisi Hegemoni Dominan (The Dominant-hegemonic)

(22)

33

Posisi ini merupakan situasi saat media menyampaikan pesan kemudian khalayak menerimanya. Pesan yang disampaikan oleh media menggunakan kode budaya yang dominan dalam masyarakat. Ini berarti, baik media dan khalayak sama-sama menggunakan kode budaya dominan yang berlaku. Agar khalayak berada di posisi hegemoni dominan, media harus memastikan bahwa pesan yang diproduksi sesuai dengan budaya dominan yang ada di masyarakat. Jika khalayak menginterpretasikan pesan dan makna sebuah iklan melalui cara yang dikehendaki oleh media sebagai pembuat pesan, maka media, pesan, dan khalayak menggunakan ideology dominan yang sama. Pada posisi ini, penonton atau khalayak sejalan dengan nilai, sikap, dan keyakinan yang terkandung dalam pesan suatu media dan secara penuh menerima makna yang dikehendai oleh pembuat pesan.

2. Posisi Negosiasi (The Negotiated Reading)

Pada posisi ini, penonton sebagai khalayak secara umum dapat menerima kode- kode dominan namun juga menolak pengaplikasiannya di beberapa hal dan situasi tertentu. Seperti yang dikemukakan oleh Stuart Hall, “the audience assimilates the leading ideology in general but opposes its applications in specific case”. Berarti, khalayak bersedia tanpa paksaan menerima ideology dominan yang sifatnya umum, akan tetapi juga melakukan beberapa pengecualian dalam menerapkannya yang disesuaikan dengan background kebudaya masing- masing atau kultur setempat. Intinya, penonton sebagai khalayak menerima pesan media akan tetapi akan memodifikasinya lebih dulu hingga sesuai dan menggambarkan posisi dan minat pribadi dirinya.

3. Posisi Oposisi (The Oppositional Reading)

Kemungkinan posisi akhir penonton sebagai khalayak dalam melakukan penerimaan dan decoding adalah posisi oposisi. Mengganti dan mengubah pesan yang tersampaikan adalah karakteristik dari khalayak yang menempati posisi oposisi karena penafsirannya yang cukup kritis sehingga pesan yang diterima akan diganti dengan makna alternative lainnya yang menurutnya benar. Audiens menolak untuk setuju atas pesan yang dimaksudkan oleh pembuat pesan kemudian mengubahnya dengan cara berpikir mereka sendiri yang berbeda dalam menanggapi topik yang media samapikan. Audiens memberikan makna pesan secara kritis dan merasa menemukan adanya bias dalam pesan yang dikemas oleh media dan berusaha untuk tidak menerima pesan secara mentah-mentah.

(23)

34

Stuart Hall menjelaskan bahwa penempatan ketiga posisi khalayak ini terjadi kepada khalayak dan audiens yang aktif serta mampu menangkap pesan yang diterima dan mampu memberikannya makna. Walaupun pembuat pesan telah mengemas pesannya dengan tersirat demi membujuk penonton, khalayak aktif juga memiliki kemampuan dalam melakukan negosiasi makna atau pun menolak pesan dari perspektif dominan. Analisis resepsi adalah bagian khusus dari studi tentang khalayak yang mengulik secara mendalam proses aktual dimana maksud media diasimilasikan melalui praktek wacana dan budaya khalayaknya.

Dalam studi resepsi, audiens diasumsikan sebagai individu yang berada di dalam dan menjadi bagian dari budaya masa. Dengan perolehan data yang digali oleh peneliti, studi resepsi bertujuan untuk menganalisisnya dengan cara menyibak apa yang ada atau apa yang bersembunyi di balik pernyataan dari khalayak yang diteliti dan mencari tahu mengapa audiens memperlakukan teks media seperti itu. Analisis resepsi yang digunakan akan memberikan makna terhadap pesan media dan memberikan penjelasan tentang terjadinya interpretasi yang berbeda dalam tiap-tiap khalayak hingga mengungkapkan alasan-alasan khalayak atas pemaknaannya yang berbeda-beda terhadap satu teks media (Machmud, 2018:228).

Analisis resepsi dalam komunikasi ini beragumen jika saja penonton sebagai khalayak berada pada suatu kerangka budaya yang sama dengan produsen teksnya, maka pemahaman antara khalayak dan produser teks kemungkinan akan sama pula. Serta kebalikannya, jika khalayak berada pada posisi sosial yang berbeda dari produsen teks, maka khalayak cenderung akan memaknai dan menginterpretasi teks tersebut secara berbeda dan membuat alternative lain. Untuk melakukan penelitian resepsi ini, perlu dilakukan wawancara mendalam serta FGD sekaligus. FGD akan diibaratkan sebagai sebuah laboratorium mini untuk menggambarkan masyarakat yang beragam saat memaknai sebuah teks media.

(Machmud, 2018:230).

2.5. Tinjauan tentang Khalayak

Kumpulan individu yang menjadi audiens, penonton, pembaca, pendengar atau pemirsa di beberapa media seperti pendengar radio dan penonton karya audio visual seperti film maupun iklan disebut sebagai khalayak. Khalayak juga dapat didefinisi sebagai seseorang yang menyaksikan atau menikmati sebuah media komunikasi dalam rangka untuk mendapatkan berbagai informasi yang diinginkan. Maka, unsur khalayak tak dapat diabaikan begitu saja karena kesuksesan dan kegagalannya ditentukan oleh khalayak media (Cangara, 2010:157).

(24)

35

Pada kajian media, khalayak digunakan untuk melambangkan masyarakat. Pada era globalisasi seperti saat ini, penggunaan media baru seperti YouTube yang konten videonya dapat diakses oleh semua orang di seluruh belahan dunia membuat khalayaknya semakin luas dan tidak mengenai ruang dan waktu. Adanya internet telah memberikan ruang virtual bagi individu sebagai khalayak dapat berjumpa dengan khalayak lain dalam saat yang bersamaan tetapi berbeda ruang (Nasrullah, 2017:85-86).

Didalam penelitian ini, khalayak yang akan menjadi subjek penelitian dari studi resepsi iklan Gillette “We Believe: The Best Men Can Be” adalah komunitas olah raga yaitu Freeletics Malang yang telah menonton iklan tersebut. Walaupun mereka tinggal pada belahan bumi yang berbeda dari pembuat pesan iklan, tetapi mereka juga dapat disebut khalayak karena mereka juga memiliki akses untuk menonton tayangan iklan Gillette tersebut dan mendapat informasi dari video iklan tersebut. Untuk itu, komunitas Freeletics Malang merupakan bagian dari khalayak yang jangkauannya luas dan heterogen.

2.5.1. Karakteristik Khalayak

Hiebert dalam Nurudin (2007:105-106) menjelaskan bahwa khalayak memiliki lima karakteristik sebagai berikut:

1. Khalayak berisikan individu-individu yang biasanya saling berbagi pengalaman dan terpengaruh oleh hubungan sosial diantara mereka. Konten media yang dilihat pun merujuk pada kesadaran mereka sendiri.

2. Khalayak cenderung berjumlah besar. Maksudnya, khalayak tersebar ke berbagai macam wilayah yang sifatnya relatif. Semuanya dapat disebabkan karena beberapa media memiliki khalayak yang begitu banyak bahkan menembus puluhan juta. Baik mencapai angka seratus maupun jutaan, semua yang menyaksikan akan disebut khalayak.

3. Khalayak cenderung bersifat heterogen karena background sosial budaya yang berbeda-beda. Setiap media yang mengeluarkan suatu pesan selalu mempunyai goals pada siapa mereka ingin menyasar. Meskipun telah spesifik, namun beragamnya khalayak yang akhirnya akan menentukan. Karena walaupun suatu kelompok terlihat diisi oleh orang-orang yang sejenis, namun background sosial masing-masing orang tetaplah berbeda-beda.

4. Khalayak cenderung anonim. Maksudnya, sebuah konten media yang memiliki jutaan khalayak aktif, mereka sebagai khalayak tidak mungkin mengenal satu

(25)

36

sama lain. Seperti halnya dalam kolom komentar YouTube maupun kolom reply Twitter, khalayak biasanya tidak mengenal satu sama lain dan hanya saling membahas mengenai konten tersebut.

5. Secara fisik, khalayak dipisahkan oleh komunikator. Antara khalayak dengan produsen pesan terbentang jarak yang memisahkan mereka. Seperti contohnya orang yang menetap di Indonesia, menonton video iklan Amerika yang disajikan di YouTube. Jarak yang memisahkan tersebut bukanlah halangan baginya untuk dianggap sebagai khalayak konten tersebut meskipun dipisahkan oleh jarak dan ruang.

2.5.2. Khalayak dalam Menafsirkan Konten Media Iklan

Ketika konten media iklan memiliki khalayak aktif, maka pesan yang disampaikan akan ditafsirkan dan dimaknai secara berbeda karena sifatnya yang terbuka. Berbagai macam pemaknaan akan mampu dipahami oleh khalayak yang disesuaikan denga latar belakang pengalam kehidupan mereka pribadi. Dalam suatu konten media yang dibuat, dapat berpotensi menciptakan interpretasi yang sangat beragam. Pesan yang sama kemungkinan besar akan dimaknai secara berbeda pula oleh khalayak yang beragam (Sudibyo, 2001:14).

Khalayak aktif dari suatu media tentu saja mampu mengartikan sebuah konten media dengan cara yang beraneka ragam mulai dari menerima seutuhnya sesuai keinginan produsen teks, bahkan menolak dengan cara yang berlawanan dari pembuat teks media. Pada penelitian ini, konten media yang disajikan dalam video iklan Gillette “We Believe: The Best Men Can Be” nantinya memberikan penafsiran dan arti yang sangat beragam kepada khalayak yang juga berbeda sesuai dengan latar belakang sosial budayanya masing-masing. Setiap khalayak nantinya akan menganalisa tayangan yang ditonton dan mengaitkannya kepada pengalaman serta referensi pengetahuan yang mereka miliki dan kemudian dikolaborasikan pada realitas yang diperlihatkan oleh media (Sudibyo, 2001:14).

2.5.3. Komunitas sebagai Khalayak

Tiap-tiap individu yang tergabung dalam komunitas, dan menyaksikan suatu konten media, mereka tergolong sebagai audiens atau khalayak. Beberapa konsep alternatif mengenai khalayak dijelaskan oleh McQuail dalam Teori Komunikasi Massa (2011:145) adalah:

1. Khalayak merupakan sekumpulan dari audiens, penonton, pembaca, pendengar dan pemirsa. Berfokus kepada kuantitas individu yang dapat dijangkau oleh suatu konten media dan karakteristik demografi yang sekiranya penting bagi produsen teks.

(26)

37

2. Khalayak sebagai masa. Berfokus pada ukurannya yang luas, heterogen, anonimitas, tersebar, serta organisasi sosial.

3. Khalayak sebagai publik dan kelompok. Unusr paling penting adalah praeksistensi dari kelompok sosial yang aktif, interaktif dan sebagian besar otonom yang dilayani oleh sebuah media tertentu, namun keberadaannya tidak bergantung kepada media.

4. Khalayak sebagai pasar. Karena dirasa memiliki peran layaknya pasar yang membentuk komoditas atau jasa yang ditawarkan untuk dijual pada calon konsumen dan bersaing dengan produk media laiannya. Bisa juga diartikan sebagai kumpulan konsumen potensial dengan profil demografi yang sesuai dengan sasaran media.

Oleh karena itu, komunitas yang mengakses suatu konten YouTube juga disebut sebagai audiens atau khalayak. Penonton diibaratkan sebagai pembaca pesan sekaligus produsen makna yang diharapkan agar berujung menjadi pasar. Penjelasan yang telah diuraikan di atas menandakan bahwa komunitas yang menonton konten YouTube mampu membenarkan pesan dari suatu konten media yang berpotensi disukai dan dibenarkan pula oleh penonton lainnya.

2.6. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu termasuk ke dalam bahan pertimbangan bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini. Berdasar dari hasil memahami dan mengkaji berbagai literature, peneliti menemukan penelitian yang serupa namun memiliki perbedaan dalam meneliti objek dan subjek.

Yang pertama adalah Skripsi Penelitian oleh Alfiyatul Hidayah pada tahun 2020 dengan judul Resepsi Khalayak pada Tayangan Video Klip Coldiac “TARA” (Studi Resepsi pada Pengurus Komunitas 1000 Guru Malang). Pembahasan yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yaitu berfokus untuk mengetahui bagaimana pengurus Komunitas 1000 Guru Malang dalam melakukan decoding terhadap pesan siklus hidup manusia dan bagaimana masing-masing subjek penelitian memaknai pesan tersebut. Dengan menggunakan teknik wawancara untuk mengumpulkan data dan menggunakan teori dari Stuart Hall yang menempatkan khalayak ke tiga posisi Dominan, Negosiasi, dan Oposisi, penelitian terdahulu mendapatkan hasil bahwa subjek yang berada di posisi oposisi adalah subjek yang berjenis kelamin laki-laki dan berasal dari keluarga tidak utuh. Ini sangat menjelaskan bahwa latar belakang, jenis kelamin, dan pengalaman hidup seseorang turut membentuk suatu pemaknaan.

Pesan penyesalan dan keresahan dalam hidup cenderung dimaknai secara dominan oleh

(27)

38

subjek penelitian. Namun, juga terdapat pesan-pesan lain yang dimaknai secara negosiasi dan oposisi.

Perbedaan dalam penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah objek yang digunakan berbeda. Jika objek penelitian terdahulu adalah Video Klip dari sebuah lagu, maka penelitian ini menggunakan objek Video Iklan dari sebuah brand. Relevansi antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu sebagai bahan rujukan penelitian, serta memberi peneliti gambaran mengenai bagaimana studi resepsi dapat dilakukan dengan subjek anggota komunitas dalam memaknai sebuah konten audio visual.

Selanjutnya, adalah Skripsi Penelitian oleh M. Faiz Fandira pada tahun 2019 dengan judul Pemaknaan K-Popers tentang Maskulinitas pada Gaya Fashion Personil Boyband BTS di Instagram (Studi Resepsi pada Akun @bts.bighitofficial oleh Anggota Laki-Laki di Komunitas BLAST Entertainment). Peneliti terdahulu menggunakan metode deskriptif kualitatif dan interpretative dengan pendekatan analisis resepsi dari Stuart Hall. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, peneliti terdahulu menggunakan Focus Group Discussion pada 6 anggota pria yang tergabung dalam komunitas BLAST Entertainment. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar anggota komunitas tidak setuju bahwa gaya busana BTS di Instagram merupakan bagian dari konsep maskulin. Hal ini ditandai dengan 3 anggota komunitas yang termasuk dalam posisi Oposisi.

Perbedaan dalam penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu terletak pada objek penelitiannya. Jika penelitian terdahulu melihat gaya fashion personil boyand BTS di Instagram @bts.bighitofficial sebagai objeknya, maka penelitian ini menggunakan video iklan Gillette “We Believe: The Best Men Can Be” di YouTube sebagai objek yang diteliti.

Relevansi penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu sebagai rujukan penelitian, serta memberikan gambaran mengenai bagaimana tiap-tiap individu yang berbeda sabagai khalayak media dapat menerima sebuah pesan media khususnya mengenai maskulinitas.

Gambar

Table 2 1 : Perbedaan Antara Men (Laki - Laki) dengan Woman (Perempuan)
Table 2 2 Daftar Streotype Gender dalam Iklan

Referensi

Dokumen terkait

pahlawan yang waras, dan hanya The Joker yang digambarkan sebagai orang gila dalam cerita di novel grafis tersebut. Akan tetapi jika pembaca ingin mengamati lebih dalam

Pengukuran tingkat capaian kinerja Pengadilan Agama Mukomuko Tahun 2020, dilakukan dengan cara membandingkan antara Realisasi pencapaian

(5) Jumlah pajak terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka (3) dalam pasal ini dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan

Peran dan Fungsi Tenaga Kesehatan Pada Home Care.. Kondisi

Kecuali apa yang dinyatakan oleh saya di perenggan 3 hingga 4, pada pendapat saya, Penyata Kewangan ini memberi gambaran yang benar dan saksama terhadap kedudukan

• Pengali Lagrange λ tidak mempunyai efek pada nilai stasioner Z* karena kendala sama dengan nol, tetapi mengakibatkan Syarat Orde Kedua yang baru diperlukan untuk menguji

Dari hasil pengujian original design, terjadi kontraksi aliran pada kaki pelimpah serta adanya aliran silang (crossflow) pada saluran peluncur yang menjalar sampai

Ahmad Mustamil Khoiron, S.pd., M.pd.. Muhammad