• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

VARIASI SPASIAL NUTRIEN TERLARUT SELAMA MUSIM PERALIHAN I

(HUJAN KE KEMARAU) DI PERAIRAN TELUK BANTEN

Alianto

Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Papua Jl. Gunung Salju Amban Manokwari Papua Barat, Telp. (0986) 211675

E-mail: ali_unipa@yahoo.com

Abstrak

Penelitian mengenai variasi spasial nutrien terlarut (NH3-N+NO3

--N +NO2

--N), fosfat inorganik terlarut (PO4

3--P) dan silikat terlarut (SiO2-Si) telah dilakukan pada lima stasiun pengamatan dengan

kedalaman zona eufotik yang berbeda-beda dari bulan April 2008 sampai Juni 2008. Konsentrasi spasial nitrogen inorganik terlarut di zona eufotik berkisar dari 0,48 sampai 23,27 μM, fosfat inorganik terlarut berkisar dari 0,05 sampai 0,54 μM, dan silikat terlarut berkisar dari 6,85 sampai 440,55 μM. Hasil analisis menunjukkan bahwa nitrogen inorganik dan fosfat inorganik terlarut tidak bervariasi pada kedalaman di zona eufotik 50%, 25%, 10%, 5% dan 1% dari cahaya permukaan pada kelima stasiun pengamatan. Sedangkan silikat terlarut bervariasi pada zona eufotik 5% di stasiun muara sungai dengan stasiun tengah dua dan luar teluk. Hasil ini menunjukkan bahwa sumber utama dari silikat terlarut khususnya di zona eufotik 5% di perairan teluk Banten berasal dari sungai dan konsentrasinya semakin rendah ke arah laut.

Kata kunci: fosfat inorganik terlarut, nitrogen inorganik terlarut, silikat terlarut, zona eufotik Pengantar

Aspek yang paling mendasar dalam mempelajari dinamika unsur-unsur biophilik seperti nitrogen, fosfat dan silikat di perairan teluk berkaitan dengan variasinya yang singkat karena mendapat pengaruh dari siklus pasang surut (Magni et al. 2002), mixing dan transpor massa air (Schlitzer 2004). Pada skala waktu jam, adveksi air tawar yang masuk melalui gerakan air surut dan intrusi air laut akan mendapat respon bagi perubahan salinitas dan konsentrasi nutrien (Montani et al. 1998). Perubahan salinitas dan konsentrasi nutrien yang disebabkan oleh faktor-faktor tersebut bervariasi pada setiap lokasi baik harian maupun musiman (Sundback et al. 2000). Walaupun demikian, perubahan-perubahan ini sangat tergantung pada kedalaman perairan (Dalsgaard 2003; Wafar et al. 2004).

Pada perairan pantai dan teluk yang dangkal dimana dasar perairannya berada dalam zona eufotik, menyebabkan nutrien hasil degradasi bahan organik di dasar perairan di transpor kembali ke zona eufotik (Rowe et al. 1975). Perpindahan nutrien dari dasar perairan ke kolom air berlangsung terus menerus, fenomena ini sering disebut sebagai masukan dari dalam perairan (internal loading). Variasi nutrien dari internal loading cenderung relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan eksternal loading yang memiliki variasi yang sangat besar (Dalsgaard 2003). Bentuk nutrien yang berasal dari sumber internal dan eksternal loading yang penting terdapat sebagai DIN (Dissolved Inorganic Nitrogen) dalam bentuk ammonia, nitrat, nitrit dan DIP (Dissolved Inorganic Phosphat) dalam bentuk ortofosfat (Qualls dan Richardson 2003).

Fenomena seperti yang diuraikan di atas ditemukan pula pada perairan teluk Banten. Teluk Banten memiliki karakteristik dengan diameter sekitar 15 km2 (Douven 1999), topografi semi tertutup, memiliki kedalaman rata-rata yang relatif dangkal 12 meter dan kedalaman perairannya berada dalam zona eufotik (Alianto 2006). Pada bagian tengah perairan teluk (sekitar 3 km dari garis pantai) dan mengarah ke bagian luar teluk tersebar 10 buah pulau karang dengan satu buah pulau besar berpenghuni dan sembilan pulau lainnya tidak berpenghuni. Selain itu, tersebar pula ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun disekitar perairan teluk. Kondisi-kondisi seperti ini tentu akan menjadi sumber internal loading nutrien bagi perairan teluk Banten.

Sedangkan sumber eksternal loading nutrien teluk Banten berasal dari berbagai aktivitas penduduk yang berada disekitar kawasan teluk yang masuk melalui aliran sungai. Teluk Banten menerima beban berupa air buangan domestik diperkirakan sekitar 14.204.307 m3/tahun dan air buangan industri sekitar 7.047.169 m3/tahun (Heun 1996). Air buangan domestik dan industri ini tentu

(2)

jumlahnya akan semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan makin bertambahnya jumlah penduduk yang bermukim dan kegiatan industri disekitar kawasan teluk. Hal ini tentu akan diikuti pula dengan meningkatnya pasokan ketersediaan nutrien baik distribusi maupun konsentrasi yang masuk kedalam perairan teluk. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk menguraikan keterkaitan antara konsentrasi nutrien dengan suhu dan salinitas serta menguraikan variasi spasial konsentrasi nutrien pada berbagai lokasi di zona eufotik perairan teluk Banten.

Bahan dan Metode

Bahan

Untuk keperluan analisis nutrien terlarut diperlukan 75 ml air laut. Dari 75 ml air laut ini akan dianalisis ammonia-nitrogen, nitrat-nitrogen, nitrit-nitrogen, ortofosfat, dan silikat terlarut. Untuk itu diperlukan pereaksi berupa bahan kimia sebagai berikut (APHA 2005) :

 Bahan kimia yang diperlukan untuk analisis ammonia-nitrogen terdiri dari 1ml phenol, 1 ml sodium nitroprosside, 2.5 ml larutan oxiding (alkaline dan sodium hypchloride)

 Bahan kimia yang diperlukan untuk analisis nitrat-nitrogen terdiri dari 0.05 ml sodium arsenit, 0.5 ml brucine, dan 5 ml H2SO4.

 Bahan kimia yang diperlukan untuk analisis nitrit-nitrogen terdiri dari 0.4 ml larutan pewarna (0.2 ml napthylamine ethylenediamine dan 0.2 sulfanilamide)

 Bahan kimia untuk analisis ortofosfat terdiri dari 4 ml mixed reagen (ammonium molibded,

H2SO4, antimonil tartrad, dan asam arsit)

 Bahan kimia untuk analisis silikat terlarut terdiri dari 0.3 ml mixed reagen, 0.2 ml asam acid, dan 0.2 asam oxalat.

Desain Penelitian

Lokasi penelitian secara horisontal dipisahkan atas empat zona, yaitu zona muara sungai, zona pantai, tengah teluk, dan luar teluk. Pada setiap zona akan ditempatkan masing-masing satu stasiun (kecuali zona tengah terdiri atas dua stasiun yang satu mengarah dekat zona pantai dan satunya mengarah dekat zona luar teluk. Sedangkan secara vertikal masing-masing stasiun terdiri atas kedalaman yang berbeda-beda yang masih berada dalam zona eufotik.

Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di perairan teluk Banten, Propinsi Banten. Secara geografis lokasi penelitian berada pada posisi koordinat 1060 6'-1060 7’ Bujur Timur dan 5506’-5508’ Lintang Selatan (Gambar 1). Penelitian dilaksanakan pada musim peralihan I (hujan ke kemarau) dari bulan April - Juni 2008.

(3)

Pengukuran Zona Eufotik

Zona eufotik ditentukan terlebih dahulu dengan mengukur intensitas cahaya matahari permukaan yang tercatat setiap 10 menit dengan alat AWS (Automatic Weather Station) tipe JY 106 dari BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) Serang. Selanjutnya dari intensitas cahaya matahari permukaan diukur zona eufotik berdasarkan distribusi cahaya pada setiap kedalaman kolom air menurut hukum Beer-Lambert (Kirk 1994).

Pengambilan Contoh Air Laut

Contoh air laut diambil dalam tiga periode pengamatan yang berlangsung dari tanggal 4 April 2008 untuk periode pertama, 6 Mei 2008 untuk periode kedua, dan 8 Juni 2008 untuk periode ketiga. Contoh air laut tersebut diambil dengan menggunakan Van Dorn pada lima stasiun penelitian (Gambar 1). Pada stasiun muara sungai (SM) contoh air laut diambil pada tiga kedalaman yang intensitas cahaya mencapai 10%, 5%, dan 1% dari cahaya permukaan. Pada stasiun pantai (SP), stasiun tengah satu (ST1) dan stasiun tengah dua (ST2) contoh air laut diambil pada empat kedalaman yang intensitas cahaya mencapai 50%, 25%, 10%, dan 5% dari cahaya permukaan. Sedangkan pada stasiun luar (SL) teluk contoh air laut diambil pada lima kedalaman yang intensitas cahaya mencapai 50%, 25%, 10%, 5%, dan 1% dari cahaya permukaan.

Analisis Nutrien

Contoh air laut untuk analisis DIN (ammonia-nitrogen + nitrat-nitrogen + nitrit-nitrogen), DIP (ortofosfat) dan silikat terlarut diambil sebanyak 75 ml dan dimasukkan dalam botol sampel polietilen dan selanjutnya disimpan dalam box ice yang bersuhu dingin. Sebelum analisis lanjutan, contoh air laut tersebut disaring dengan menggunakan filter nukleopore (Whatman GF/C diameter 47 mm dan porositas 0,45 µm) dengan menggunakan pompa vakum melewati suatu glass microfibre filter (dry vane pump type 200S-1) (Tanaka dan Choo 2000). Untuk analisis nutrien (DIN, DIP dan silikat) dari air yang telah disaring tersebut diambil sebanyak 25 ml untuk analisis ammonia-nitrogen (NH3

-N) dan ortofosfat (PO4

3-P), 10 ml untuk analisis nitrit-nitrogen (NO2

--N) dan silikat terlarut (SiO2

-Si), dan 5 ml untuk analisis nitrat-nitrogen (NO3

-N) (APHA 2005). Untuk mengetahui konsentrasi DIN, DIP, dan silikat terlarut dilakukan analisis dengan menggunakan spektrofotometer (SHIMAZU UV-160 A).

Analisis Statistik

Untuk mengetahui pola hubungan antara DIN, DIP, dan silikat terlarut dengan suhu dan salinitas digunakan analisis regresi linear. Variasi spasial DIN, DIP, dan silikat terlarut pada setiap stasiun pengamatan dan kedalaman zona eufotik dilakukan dengan analisis ANOVA (Sokat dan Rohlf 1995). Bila terdapat variasi DIN, DIP, dan silikat terlarut antara stasiun maupun kedalaman zona eufotik, maka dilanjutkan dengan analisis Duncan post hoc.

Hasil dan Pembahasan

Distribusi Nutrien Terlarut

Distribusi Spasial Menurut Stasiun Pengamatan

Selama pengamatan diperoleh konsentrasi DIN pada setiap stasiun berkisar dari 0,48 - 23,27 μM, DIP berkisar dari 0,05 - 0,54 μM, dan silikat terlarut berkisar dari 6,85 - 440,55 μM. Bila dilihat dari profil distribusi spasial dari DIN dan silikat terlarut konsentrasinya lebih tinggi pada stasiun muara sungai (SM) (Gambar 2). Sedangkan DIP rendah pada semua stasiun (SM, SP, ST1, ST2, dan SL) dan hanya sekali ditemukan tinggi di SL pada periode II.

Tingginya konsentrasi DIN dan silikat terlarut di SM menunjukkan bahwa sumber utama kedua nutrien tersebut berasal dari antropogenik (Jordan et al. 2008). Walaupun diketahui bahwa sumber utama DIP di perairan berasal pula dari antropogenik yang mengalir melalui sungai (Lewis et al. 1985; Cloern 2001), namun pada pengamatan ini konsentrasinya ditemukan rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pemanfaatan fitoplankton (Hays dan Ullman 2007). Fenomena ini bisa saja terjadi karena konsentrasi DIP akan rendah bila mencapai perairan yang bersalinitas perairan laut (Jordan 2008).

(4)

Gambar 2. Profil distribusi spasial nutrien terlarut menurut stasiun pengamatan. Distribusi Spasial Menurut Zona Eufotik

Konsentrasi DIN di zona eufotik berkisar dari 0.48 - 23.27 μM, DIP berkisar dari 0.05 - 0.54 μM, dan silikat terlarut 6.86 - 440.55 μM. Pada zona eufotik konsentrasi DIN terendah berada pada zona intensitas cahaya 5% dan tertinggi pada zona 1% dari cahaya permukaan (Gambar 3). Sedangkan DIP konsentrasi rendah pada semua zona (50%, 25%, 10%, 5%, dan 1%) dan tinggi pada zona 50% dari cahaya permukaan. Sedangkan silikat terlarut rendah pada zona 50% dan tinggi pada zona 1% dari cahaya permukaan.

Gambar 3. Profil distribusi spasial nutrien terlarut di zona eufotik perairan teluk Banten.

Bila dilihat dari profil distribusi vertikal DIN, DIP, dan silikat terlarut di zona eufotik terlihat cenderung lebih tinggi pada zona 1% dari cahaya permukaan (Gambar 3). Hal ini kemungkinan disebabkan

(5)

karena zona 1% berada pada SM yang dangkal dan SL pada titik kedalaman terdekat dengan dasar perairan. Sehingga pada zona 1% di SM menerima suplai nutrien dari dua sumber, yaitu dari daratan dan dasar perairan. Sedangkan pada zona 1% di SL menerima suplai nutrien dari dasar perairan, dan konsentrasi nutrien akan semakin tinggi pada perairan laut yang dalam. Pada zona 50%, 25%, 10% dan 5% dari cahaya permukaan konsentrasi nutrien relatif homogen. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan distribusi vertikal suhu dan salinitas yang relatif homogen. Tentu kondisi ini akan menyebabkan konsentrasi nutrien merata di zona eufotik. Hal disebabkan karena konsentrasi nutrien di perairan merupakan fungsi dari suhu dan salinitas (Millero 2006).

Analisis Nutrien Terlarut.

Hasil analisis ANOVA (P < 0.01) menunjukkan bahwa konsentrasi DIN, DIP dan silikat terlarut pada setiap stasiun pengamatan bervariasi tidak nyata (Tabel 1). Begitu pula dengan kedalaman di zona eufotik (Tabel 2), kecuali silikat terlarut pada kedalaman di zona eufotik 5% dari cahaya permukaan. Analisis lanjut dengan Duncan post hoc (α = 0.05) memperlihatkan bahwa silikat terlarut pada kedalaman 5% di SM bervariasi nyata dengan SP dan ST1 dan tidak nyata dengan ST2 dan SL. Hal ini menunjukkan bahwa aliran sungai berperan penting sebagai sumber utama silikat terlarut dan konsentrasinya semakin rendah ke arah laut.

Tabel 1. Variasi spasial konsentrasi nutrien terlarut menurut stasiun pengamatan zona eufotik perairan teluk Banten

Tabel 2. Variasi spasial konsentrasi nutrien terlarut menurut kedalaman di zona eufotik perairan teluk Banten

Keterangan : * bervariasi nyata

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Secara spasial menurut lokasi konsentrasi nutrien terlarut yang meliputi nitrogen inorganik terlarut, fosfat inorganik terlarut tidak bervariasi (homogen) dan silikat terlarut bervariasi pada kedalaman di zona eufotik 5% dari cahaya permukaan sebagai indikator bahwa aliran sungai memberikan sumbangan yang cukup besar pada konsentrasi silikat terlarut di perairan teluk.

Saran

Untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang nutrien terlarut dalam kurung waktu satu tahun maka disarankan perlu adanya penelitian lanjutan pada musim-musim lainnya, seperti musim kemarau, peralihan II (kemarau ke hujan), dan hujan.

Stasiun N Nutrien Terlarut

DIN (μM/l) DIP (μM/l) Si (μM/l) SM 9 11.83 ± 6.84 0.06 ± 0.04 243.65 ± 154.05 SP 12 5.85 ± 3.70 0.13 ± 0.15 79.43 ± 30.55 ST1 12 6.17 ± 2.54 0.07 ± 0.06 81.74 ± 70.54 ST2 12 6.53 ± 4.45 0.08 ± 0.07 52.79 ± 30.18 SL 15 6.50 ± 4.33 0.11 ± 0.14 50.92 ± 34.28 Zona Eufotik (%) N Nutrien Terlarut DIN (μM) DIP (μM) Si (μM) 50 12 6.18 ± 3.15 0.13 ± 0.17 56.54 ± 33.38 25 12 6.25 ± 4.88 0.07 ± 0.06 56.14 ± 32.51 10 15 7.98 ± 4.82 0.09 ± 0.08 108.80 ± 108.96 5 15 6.00 ± 3.34 0.09 ± 0.10 98.84 ± 76.79* 1 6 11.28 ± 7.87 0.12 ± 0.11 176.22 ± 192.14

(6)

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, atas bantuan dana penelitian melalui hibah bersaing.

Daftar Pustaka

Alianto. 2006. Produktivitas primer fitoplankton dan keterkaitannya dengan unsur hara dan cahaya di perairan Teluk Banten. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

APHA (American Public Health Association). 2005. Standard Methods for the Examination of Water

and Wastewater. 21st Edition, American Public Health Association. Washington.

Cloern, J.E. 2001. Our evolving conceptual model of the coastal eutrophication problem. Mar.

Ecol.Prog. Ser., 210. 223-253.

Dalsgaard, T. 2003. Benthic primary production and nutrient cycling in sediments with benthic microalgae and transient accumulation of macroalgae. Limnol. Oceanogr., 48(6), 2138-2150 Douven, W.J.A.M. 1999. Human pressure on marine ecosystems in the teluk Banten coastal zone:

present situation and future prospects. Teluk Banten Research Program Report Series No. 3, Delft. Netherland.

Hays, R.L., and Ullman,. W.J. 2007. Direct determination of total and fresh groundwater discharge and nutrient loads from a sandy beachface at low tide (Cape Henlopen, Delaware). Limnol.

Oceanogr., 52(1). 240-247.

Heun, J.C. 1996. Main Conclusions and Recommendations (ICZM-Research Group, Phase 1). Paper Presented at the Workshop on Marine and Coastal Research Jakarta. Delft. Netherland. Jordan, E.J., Cornwell, J.C., Boynton, W.R., and Anderson, J.T. 2008. Changes in phosphorus

biogeochemistry along an estuarine salinity gradient: the iron conveyer belt. Limnol. Oceanogr., 53(1), 172-184.

Kirk, J.T.O. 1995. Light and Photosynthesis in Aquatic Ecosytems. Cambridge University Press. Cambridge.

Lewis, E.F., Sager, S.L., and Wofsy, S.C. 1985. Factor controlling of soluble phosphorus in the Mississippi estuary. Limnol. Oceanogr., 30(4), 826-832.

Magni, P., Montani, S., and Tada, K. 2002. Semidiurnal dinamics of salinity, nutrients and suspended particulate matter in a estuary in the Seto Inland Sea, Japan during spring tide cycle. J.

Oceanogr., 58, 389-402.

Millero, F.J. 2006. Chemical Oceanography. Third Edition. CRC Press Taylor and Francis Group. Boca Raton.

Montani, S., Magni, P., Shimamoto, M., Abe, N., and Okutani, K. 1998. The effect of a tidal cycle an the dynamics of nutrients in a tidal estuary in the Seto Inland Sea, Japan. J. Oceanogr., 54, 65-76.

Qualls, R.G., and Richardson, C.J. 2003. Factors controlling concentration, export, and decomposition of dissolved organic nutrients in the Everglades of Florida. Biogeochem. 62, 197–229.

Rowe, G. T., Clifford, C.H., Smith, K.L., and Hamilton, P.L. 1975. Benthic nutrient regeneration and its coupling to primary productivity in coastal waters. Nature. 255, 215–217.

Schlitzer, R.. 2004. Export production in the equatorial and north pacific derived from dissolved oxygen, nutrient and carbon data. J. Oceanogr. 60, 53-62

(7)

Sokaf, R.R., and Rohlf, F.J. 1995. Biometry. Freeman and Company. New York.

Sundback, K., Miles, A., and Goransson, E. 2000. Nitrogen fluxes, denitrification and the role of microphytobenthos in microtidal shallow-water sediments: An annual study. Mar. Ecol. Prog.

Ser., 200, 59–76.

Tanaka, K. and Choo, P.S. 2000. Influences of nutrient outwelling from the mangrove swamp on the distribution of phytoplankton in the Matang mangrove estuary Malaysia. J. Oceanogr., 56, 69-78. Wafar, M., L’helguen, S., Raikar, V., Maguer, J.F., and Corre, P.L. 2004. Nitrogen uptake by

size-fractionated plankton in permanently well-mixed temperate coastal waters. J. Plankton., 26(10), 1207-1218.

Tanya Jawab

-

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Banten .
Gambar 3. Profil distribusi spasial nutrien terlarut di zona eufotik perairan teluk Banten

Referensi

Dokumen terkait

Pada pengolahan secara biologis, pertumbuhan mikroorganisme dapat dilakukan secara melekat pada permukaan media penyangga (attached growth), yakni suatu proses pengolahan

Media massa adalah alat yang digunakan untuk penyampaikan pesan dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar,

Keluarga besar HMP PPKn periode 2015 dan BEM FKIP UMS periode 2016 terima kasih atas dukungan semangat, doa serta ilmu dan pengalaman yang luar biasa ini semoga

Penelitian yang dilakukan oleh purba (2011) dengan menggunakan enam variabel independen yaitu kondisi keuangan perusahaan, opini audit tahun sebelumnya, pertumbuhan perusahaan,

Untuk tiga Personality Disorders yang mungkin berkaitan dengan Psychotic Disorder (yaitu Paranoid, Schizoid, Schizotypal), terdapat pengecualian kriteria yang menyatakan

Dan karena seperti itu realitanya secara metafisika (yang paling asli/tinggi/ mendalam) , maka akhirnya bisa terjadi &#34;breakthrough&#34;. Bisa kesadaran yang sebenarnya

Target yang diharapkan dari program pengabdian masyarakat IbM Peningkatan Pelayanan, Pemasaran dan Keselamatan Penyedia Jeep Wisata di Kawasan Wisata Kaliurang ini

Selama PI atau BCR tersebut sama dengan atau lebih besar dari satu, maka kita akan menerima usulan investasi tersebut. Secara umum kalau metode NPV dan PI dipakai