• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. terpidana mati Dukun AS oleh pihak kejaksaan, di mana terjadi konflik antara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. terpidana mati Dukun AS oleh pihak kejaksaan, di mana terjadi konflik antara"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beranjak dari permasalahan yang tersisa dari proses pengeksekusian terpidana mati Dukun AS oleh pihak kejaksaan, di mana terjadi konflik antara pihak kuasa hukum terpidana dengan pihak Kejatisu sebagai eksekutor. Kuasa hukum terpidana berpendapat kalau pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) tidak mengindahkan hak hukum kliennya karena terpidana belum sempat menggunakan haknya untuk mengajukan grasi yang kedua oleh karena belum penuh dua tahun sejak pengajuan grasi yang pertama sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (3) UU RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

Namun, pihak kejatisu berpendapat kalau proses pengeksekusian Dukun AS telah memerhatikan semua ketentuan hukum yang harus dipenuhi. Kejatisu berpendapat bahwa pengajuan grasi yang kedua, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UU RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dapat dilakukan jika dalam kurun waktu dua tahun sejak pengajuan grasi pertama pihak kejaksaan belum melakukan eksekusi. Berdasarkan pernyataan ini saya menyimpulkan bahwa setelah pengajuan grasi pertama ditolak oleh Presiden, kejaksaan dapat segera melakukan eksekusi. Sementara jika dikaji Pasal yang menjadi dasar pengeksekusian tersebut, yakni Pasal 2 ayat (3), tidak ada diatur atau memuat mengenai pengeksekusian oleh pihak kejaksaan dalam kurun waktu dua tahun

(2)

setelah penolakan grasi pertama. Demikian pula dalam penjelasan pasal tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai hal ini.

Disamping itu, bila dilihat Pasal 3 UU RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pasal ini seharusnya dapat menganulir pendapat pihak kejatisu tersebut. Di mana pada masa pengajuan grasi pengeksekusian terhadap putusan pengadilan dalam hal pidana mati dapat ditunda. Namun hal ini apakah sesuai dengan syarat kurun waktu pengajuan grasi yang kedua masih akan dikaji keabsahan pengajuan grasi Dukun AS yang kedua. Sehingga berdasarkan permasalahan tersebut saya ingin mengkaji/menelaah bagaimana sesungguhnya koherensi antara prosedur pengajuan grasi oleh pihak terpidana dengan pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana oleh pihak kejaksaan, dalam hal pidana mati. Apakah setelah grasi pertama ditolak oleh Presiden pihak kejaksaan dapat langsung segera mengeksekusi mati terpidana atau memberikan peluang untuk pengajuan grasi yang kedua? Apakah setelah peluang waktu yang diberikan itu telah lewat namun terpidana tidak mengajukan grasi yang kedua, eksekusi dapat dilakukan?

Permasalahan yang kedua dalam hal ini yaitu prosedur pengajuan grasi oleh terpidana sampai akhirnya grasi itu dijawab oleh Presiden. Seperti apakah prosedur yang baku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (Mis : UURI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi). Berdasarkan ketentuan yang berlaku seharusnya grasi yang dijawab oleh Presiden ditolak ataupun dikabulkan itu dijawab langsung oleh Presiden melalui surat jawaban yang ditandatangani langsung oleh Presiden dengan kop surat instansi kepresiden. Namun yang terjadi

(3)

dalam kasus Dukun AS pengajuan grasi yang kedua ditolak melalui pejabat setingkat Kepala Biro di Sekretariat Negara.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada bagian latar belakang diatas, maka yang menjadi isu permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah prosedur pengajuan grasi kepada Presiden baik grasi I maupun II?

2. Apakah eksekusi dapat dilaksanakan setelah permohonan Grasi I ditolak, sebelum permohonan Grasi II dikabulkan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini antara lain, yaitu: a) untuk memaparkan bagaimana sesungguhnya prosedur pengajuan grasi kepada

Presiden sampai akhirnya dibalas kembali oleh Presiden kepada terdakwa pada praktiknya dan membandingkannya dengan ketentuan tertulis yang mengatur prosedur pengajuan grasi tersebut;

b) untuk mengetahui hubungan pelaksanaan putusan hakim (eksekusi) dengan upaya hukum yang dilakukan terpidana terhadap putusan hakim, dalam hal ini grasi;

(4)

c) untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang harus dipenuhi untuk terlaksananya eksekusi terhadap putusan hakim terhadap terpidana mati, dikaitkan dengan realita yang terjadi terhadap terpidana mati saat ini

2. Manfaat Penulisan

Disamping tujuan sebagaimana telah diuraikan di atas, penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal. Apakah itu sebagai sumbangan pemikiran teoretis maupun manfaat secara praktis berkenaan dengan masalah penegakan hukum dan keadilan dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak hukum terpidana mati dalam proses pengajuan grasi kepada Presiden.

a) Manfaat teoretis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat baik bagi penulis, mahasiswa, maupun masyarakat luas dalam hal memahami bagaimana proses pengajuan grasi terhadap putusan pidana mati berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Dalam hal ini secara spesifik berkaitan dengan kasus pidana mati Dukun A.S.

b) Manfaat Praktis

Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi masukan dan menjadi suatu dorongan bagi aparat penegak hukum agar dapat menerapkan hukum dalam hal ini pemberian grasi kepada terpidana mati agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangn yang berlaku dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

(5)

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran terhadap data judul skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas, tidak ditemukan satu judul pun yang sama dengan judul skripsi ini, “Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Studi Kasus Eksekusi Mati Dukun AS)”

.

Kalaupun ada yang sama, hanya hal yang umum saja tidak sampai kepada hal yang spesifik mengenai studi kasus. Dengan demikian skripsi ini dapt dikatakan “ASLI” dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Grasi

Pengertian Grasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1

Istilah grasi oleh banyak penulis buku hukum pidana dirumuskan sebagai hak Kepala Negara untuk memberikan pengampunan kepada orang yang

Grasi yaitu ampunan yg diberikan oleh Kepala Negara kepada orang yg telah dijatuhi hukuman; sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm 284.

(6)

dipidana.2

Dalam arti umum, grasi sebenarnya merupakan suatu pernyataan dari Kepala Negara yang meniadakan sebagian atau seluruh akibat hukum pidana.

Ataupun sebagai hak prerogatif dari Raja untuk memberikan pengampunan kepada orang yang dipidana, tanpa menyadari bahwa mereka itu sebenarnya sedang membicarakan masalah hukum tatausaha negara.

Apa yang disebut pengampunan oleh Kepala Negara itu tidaklah selalu berkenaan dengan ditiadakannya pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim, yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) saja, melainkan juga dapat berkenaan dengan:

a. Perubahan dari jenis pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim bagi seorang terpidana. Misalnya: perubahan dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup atau menjadi pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun; b. Pengurangan dari lamanya pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan

atau pidana kurungan sebagai pengganti denda atau karena telah dapat menyerahkan sesuatu ‘benda’ yang telah dinyatakan sebagai disita untuk kepentingan negara, seperti yang telah diputuskan oleh hakim, dan

c. Pengurangan dari besarnya uang denda seperti telah diputuskan oleh hakim bagi seorang terpidana.

Satochid Kartanegara3

2

Ditjen Hukum dan Perundang-undangan, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan tentang Grasi (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1983), hlm 11.

mengutip pendapat Simons, Vos dan Jonkers sebagai berikut:

3

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Dua (Tanpa tempat: Balai Letur Mahasiswa, tanpa tahun), hlm 245-247

(7)

SIMONS:

“Hak grasi dimasukkan dalam art. 68 Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda, yang meliputi hukuman atas dasar keputusan pengadilan.

Penggunaan terhadap hak ini adalah hak untuk terhadap hukuman yang dijatuhkan, secara keseluruhan atau sebagian ditiadakan.

Sekarang ini pelaksanaan hak grasi bukan lagi merupakan suatu yang bersifat kemurahan dari kerajaan, akan tetapi merupakan suatu alat untuk menghindarkan terhadap hukum yang sedang berlaku, akan tetapi yang kurang adil bagi suatu peristiwa-peristiwa khusus. Ketidakadilan itu harus dihindarkan, bila terdapat alasan-alasan dan demi kepentingan negara sendiri untuk menghindarkan pelaksanaan hukuman.

Sifat dari grasi bukan merupakan suatu kemurahan yang ditujukan kepada terhukum, akan tetapi merupakan suatu tindakan hukum, dan selanjutnya grasi dapat diberikan tanpa dinyatakan terlebih dahulu dan tidak dapat ditolak.

Hak grasi juga dapat merupakan perubahan-perubahan dalam bentuk hukuman. Umpamanya hukuman denda sebagai pengganti hukuman

vriheiddestraf, hukuman kurungan sebagai pengganti hukuman penjara,

dan sebagainya.

Untuk menetapkan hukuman yang lebih berat tidak dimungkinkan.” Vos:

“Mengenai grasi dan bangunan-bangunan semacamnya. Dahulu grasi merupakan suatu kemurahan hati Raja, sekarang lebih ditujukan kepada sifat-sifat korektif terhadap keputusan hakim. Dipandang dari kebebasan hakim dalam menentukan besarnya hukuman, serta adanya lembaga untuk mengadakan pemeriksaan ulang, maka bangunan ini adalah kurang diperlukan. Walaupun demikian terdapat pula dasar-dasar untuk tetap perlunya bangunan ini, umpamanya bagi terhukum yang menunjukkan kelakuan yang baik di dalam penjara.

Grasi di dalam peristiwa-peristiwa perayaan yang bersifat nasional juga tidak dianggap sebagai suatu kemurahan; itu adalah merupakan ungkapan perasaan umum manusia terhadap yang berbuat kejahatan, di mana seakan-akan pembebasan terhadap segala perbuatannya diperlunak.

Grasi sebagai kemurahan hati yang bersifat pribadi dari Raja tidak lagi berlaku. Karena kini grasi itu sebagian besar adalah di bawah pertanggungjawaban pemerintah. Dan karenanya grasi bukan lagi bersifat sebagai suatu kemurahan, karenanya terhukum juga tidak dapat menolaknya.”

(8)

Jonkers:

“Hak Grasi. Arti kekuasaan kehakiman terletak pada kebebasannya, dan dengan sendirinya kebebasan itu adalah dalam arti relatif bukan absolut. Demikian juga hakim, dalam undang-undang untuk alasan-alasan tersebut dapat digeserkan.

Perbedaan hak antara pejabat biasa dan hakim, yang juga tergolong pejabat, bahwa hakim atas pertimbangan sendiri melakukan undang-undang; pemerintah atau administrasi tidak dapat memberikan instruksi-instruksi kepadanya, terhadap tanggapan hakim untuk sesuatu peraturan hukum. Bila itu terjadi, sifat kebendaan yudikatif disamping kekuasaan administratif tidak mungkin ada, yang ada dengan demikian hanya satu kekuasaan saja yaitu kekuasaan administratif.

Salah satu karakteristik dari susunan pemerintah negeri Belanda ialah, bahwa segala ikut campur pemerintah kedalam masalah kehakiman dilarang (art. 157 I.S.). Hanya untuk beberapa hal, pemerintah mempunyai hak di dalam masalah kehakiman. Salah satu contoh diantaranya ialah, hak grasi, yang menurut art. 70 Undang-undang Dasar, dilimpahkan kepada Raja.

Grasi meniadakan akibat-akibat suatu hukuman, dan bukan terhadap hukumannya sendiri. Bila terhukum pada sewaktu-waktu melakukan kejahatan semacam dan harus dituntut, maka hal itu mempunyai dasar sebagai recidive.

Hak grasi dapat dilaksanakan dengan berbagai cara. Suatu hukum dapat sebagian atau seluruhnya ditiadakan suatu bentuk hukuman kepada bentuk hukuman lain, umpamanya, hukuman penjara menjadi hukuman kurungan, menjadi hukuman denda, dan sebagainya.”

2. Pengertian Pemidanaan dan Pidana Mati

Rudy Satriyo Mukantardjo, dalam tulisannya, menyebutkan bahwa

Pemidanaan merupakan suatu upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang melalui proses peradilan pidana yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Pemidanaan, atau yang dimaksud sebagai pengenaan/pemberian/penjatuhan pidana lebih berkonotasi pada proses penjatuhan pidana dan proses menjalankan pidana.

(9)

Pemidanaan berasal dari kata pidana yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman. Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan.

Sementara untuk pidana mati, tidak ada sarjana yang secara spesifik memberikan definisi. Hanya saja dalam lalu lintas terminologi, para akademisi maupun para praktisi hukum tidak jarang secara bergantian menggunakan istilah hukuman mati untuk pidana mati. Dalam kajian istilah asing pidana mati sering disebut pula dengan istilah death penalty yang memiliki arti sama dengan hukuman mati. Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kajiannya untuk mencari tahu hubungan antara hukuman mati dengan angka pembunuhan antara 1988-2002 memberi istilah capital punishment untuk hukuman mati. (Catatan KontraS untuk pelaksanaan hukuman mati di dunia).

Dalam konteks akademis para sarjana lebih sering memberikan pandangan-pandangan terhadap pidana mati. Dalam hal ini pandangan itu terbagi atas pandangan yuridis dan pandangan kriminologis. Pandangan yuridis terhadap pidana mati disini adalah suatu pandangan yang melihat pidana khususnya pidana mati berdasarkan teori absolut dari aspek pembalasannya dan teori relatif dari aspek menakutkannya yang bertujuan untuk melindungi masyarakat. Dengan istilah lain, dapat dikatakan suatu pandangan yang melihat pidana khususnya pidana mati hanya dari conseptual abstraction belaka.4

4

(10)

Berbeda dengan pandangan yuridis yang conseptual abstraction, maka pandangan kriminologis lebih melihat pidana sebagai suatu kenyataan. Hal ini dikarenakan para sarjana kriminologi tidak berbicara dengan bahasa transendental, mereka berbicara secara konkrit.5

Di lain hal salah satu ensiklopedia elektronik mencatat bahwa hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.

6

3. Sejarah Pidana Mati di Indonesia

Berkaitan dengan kata sejarah, tak pelak harus menelusuri keberadaan pidana mati baik dari aspek pengaturannya dalam suatu ketentuan hukum maupun dari aspek pelaksanaanya jauh ke belakang sejauh mata memandang. Dalam hal ini Sejarah Pidana Mati yang akan dipaparkan oleh penulis terkait dengan penerapannya pada masa lampau sebelum pendudukan kolonial Belanda dan Jepang, pada masa pendudukan kolonial Belanda dan Jepang, pasca proklamasi kemerdekaan hingga saat ini.

Sejarah Pidana Mati dalam penerapannya sebelum pendudukan kolonial Belanda dan Jepang dapat ditelusuri dari sejarah hukum adat Indonesia. Menurut Plakat tertanggal 22 April 1808 pengadilan diperkenankan menjatuhkan pidana:7

5

J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni Bandung, 1979, hal. 173

6

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati diakses pada hari rabu, tanggal 20 Oktober 2010, Pkl 08.49 WIB

7

Andi Hamzah, A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 17.

(11)

1. Dibakar hidup-hidup pada suatu tiang, 2. Dimatikan dengan menggunakan keris, 3. Dicap bakar,

4. Dipukul,

5. Kerja paksa pada pekerjaan umum.

Ternyata hukum adat dahulu mengenal pidana mati. Dengan eksekusi yang kejam seperti di Aceh, seorang istri yang berzinah dibunuh. Ketika Sultan berkuasa disana, dapat dijatuhkan lima (5) macam pidana yang utama:8

1. tangan dipotong (pencuri), 2. dibunuh dengan lembing, 3. dipalang di pohon,

4. dipotong daging dari badan terpidana (sajab), 5. ditumbuk kepala terpidana di lesung

Di Sulawesi Selatan, ketika Aru Palaka berkuasa, terpidana yang menurut pandangan Aru Palaka membahayakan kekuasaannya seperti La Sunni dipancung kepalanya. Kemudian kepala itu diletakkan di atas baki dan diperhadapkan kepada Aru Palaka sebagai bukti eksekusi telah dilaksanakan.9

Sistem pemidanaan tersebut dalam plakat masih berlangsung hingga tahun 1848 dengan keluarnya peraturan hukum pidana yang terkenal dengan nama

Intermaire Straf Bepalingen LNHB 1848 No. 6 Pasal 1. Peraturan ini meneruskan

keadaan hukum pidana yang sudah ada sebelum 1848, terkecuali beberapa perubahan dalam hukum penitensier; yang penting diantaranya ialah pidana mati

8

Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta: Universitas Nijheft, 1981), hal. 243

9

(12)

tidak lagi dilaksanakan dengan cara yang ganas seperti menurut plakat 22 April 1808 itu, tetapi dengan pidana gantung.10

Setelah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 1915 diberlakukan, maka hakim pidana pada pengadilan negara tidak dapat memakai hukum pidana adat dan istiadat sebagai strafbaar (dapat dipidana), tetapi sebagai

strafmaat (ukuran pidana) boleh karena ia terikat pasal 1 ayat (1) KUHP.11

Sementara pada masa pendudukan Kolonial Belanda maupun Jepang ada beberapa ketentuan pidana mati sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum adat setempat masih dipertahankan, walaupun ada beberapa daerah tertentu dimana cara pengeksekusiannya disesuaikan dengan ketentuan para penjajah. Namun secara umum terkait cara pengeksekusiannya, kebanyakan eksekusi pidana mati dilaksanakan dengan menggantung si penjahat pada tempat penting di tengah-tengah (alun-alun) dengan dipertontonkan di muka umum. Hal ini dimaksudkan supaya sebanyak mungkin orang yang melihatnya dan menjadi takut untuk melakukan kejahatan.12

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 1915, Pasal 11 berbunyi, “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan dengan menggunakan jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang gantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.”13

10

Schepper, Het Nederlands Indisch Strafstelsel, 1952, hal. 51

11

Andi Hamzah, A. Sumangelipu, op. cit. hal. 48

12

Ibid., hal. 79

13

(13)

Menurut Prof. Sutan Muhammad, sejarah di Indonesia sebelum perang ada seorang algojo yang bernama Bapak Tere, tinggal di Kebun Sirih, Jakarta. Bapak Tere ini satu-satunya algojo di Indonesia pada saat itu.

Sedangkan pada masa pendudukan Jepang ada dua peraturan yang dijalankan, yaitu Pasal 11 KUHP14 dan satu peraturan baru yang diundangkan oleh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati dilaksanakan dengan tembakan mati (artikel 6 dari Ozamu Gunrei No. 1 pada tanggal 2 Maret dengan artikel 5 dari Gunrei Keizirei, yaitu kode kriminal dari pemerintah pendudukan Jepang).15

Pada tanggal 29 September 1958 Badan Legislatif menetapkan Undang-undang 1958 No. 73 untuk mencapai kesatuan dalam menetapkan hukum pidana dengan mengumumkan Undang-undang 1946 No. 1 untuk mengikat seluruh Indonesia. Akan tetapi Undang-undang 1946 No. 1 itu adalah hukum pidana dan pada umumnya kedua-duanya hukum pidana yang telah diundangkan dan hukum pidana di luar kode kriminal. Akibatnya ialah, bahwa undang-undang itu mempunyai juga efek pada peraturan dari Lembaran Negara 1945 No. 123. Pasal 1 Undang-undang 1946 No. 1 menetapkan bahwa peraturan-peraturan pidana yang mengikat sekarang ialah peraturan hukum pidana dari 8 Maret 1942. Dari sejak sekarang semua peraturan di Jakarta Raya, Sumatera Timur, Kalimantan, Namun setelah kesatuan Republik Indonesia tercapai, pidana mati kembali dilakukan dengan pidana gantung.

14

KUHP berlaku pada masa pendudukan Jepang, berdasarkan Aturan Peralihan dari Pemerintah Militer Jepang

15

Han Bing Siong, Tjara Melaksanakan Pidana Mati pada Waktu Sekarang dan pada Waktu Lampau, ceramah radio dari 24 Februari s.d. 15 Juli 1960

(14)

dan Indonesia Timur yang diterbitkan sesudah tanggal itu mesti dianggap batal, termasuk peraturan-peraturan dari Staatblad 1945 No. 123.16

Suatu penetapan baru tentang pelaksanaan pidana mati ialah penetapan Presiden Republik Indonesia Tahun 1964 No. 2 yang menetapkan bahwa pelaksanaan pidana mati, baik yang dijatuhkan di lingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.17

4. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati18

Persiapan Pidana Mati

Pidana mati dilaksanakan di suatu tempat di daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pengadilan Negeri), dilaksanakan tidak di muka umum (oleh karena itu tidak boleh diliput media) dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. Pidana mati yang dijatuhkan atas beberapa orang di dalam satu putusan perkara, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali ditentukan lain.

Dengan masukan dari Jaksa, Kapolda dimana Pengadilan Negeri tersebut berada menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. Untuk pelaksanaan pidana mati Kapolda membentuk sebuah regu Penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang

16

Andi Hamzah, A. Sumangelipu, op. cit. hal. 91

17

Ibid., hal. 94 18

(15)

Perwira, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob). Selama pelaksanaan pidana mati mereka dibawah perintah Jaksa.

Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana di tahan dalam penjara atau tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa. Tiga kali 24 jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut.

Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu (keinginan/pesan terakhir), maka dapat disampaikan kepada Jaksa tersebut. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.

Pelaksanaan Pidana Mati

Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib, biasanya dengan pakaian yang sudah disediakan. Dimana ada sasaran target di baju tersebut (di jantung).

Setibanya di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut. Jika dipandang perlu, terpidana dapat diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. Misalnya diikat pada tiang atau kursi.

(16)

Setelah terpidana sudah berada dalam posisinya, maka Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan. Jarak antara terpidana dengan Regu Penembak antara 5 sampai 10 meter. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.

Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.

Apabila masih terlihat tanda-tanda kehidupan, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk menembak terpidana menggunakan pistol tepat di atas telinga terpidana. Kemudian dokter memeriksa terpidana untuk memastikan kematiannya.

F. Metode Penelitian

1. Jenis/spesifikasi Penelitian

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan skripsi.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Yaitu penelitian terhadap

(17)

literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (Library Research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, putusan pengadilan, maupun bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

3. Analisis Data

Yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk sistematika bab-bab yang permasalahannya diuraikan secara tersendiri, tetapi antara satu dengan yang lain mempunyai keterkaitan (Komprehensif).

Berdasarkan sistematika penulisan yang baku, skripsi ini dibagi dalam Lima Bab yaitu:

BAB I Pendahuluan

Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan pemanfaatan tulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan gambaran isi.

BAB II Prosedur Pengajuan Grasi kepada Presiden baik Tahap I maupun Tahap II

Pada Bab ini dijelaskan bagaimana prosedur pengajuan grasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 22 Tahun 2002

(18)

Tentang Grasi). Didahului dengan pemaparan mengenai sejarah penerapan grasi, bagaimana eksistensi grasi saat ini dan bagaimana atau apa ketentuan yang dipenuhi sebagai standar baku permohonan grasi dikabulkan.

BAB III Kajian Terhadap Prosedur Pengeksekusian Terpidana Mati

Bab ini membahas mengenai tahap lanjutan bilamana semua upaya hukum telah dilakukan, yaitu pengeksekusian terpidana mati. Bagaimana seorang terpidana mati dapat segera dieksekusi dan bagaimana bila upaya hukumnya masih berlangsung, dapatkah segera dilakukan pengeksekusian oleh eksekutor. Dan akhirnya bagaimana dengan pidana mati itu sendiri dengan tujuan pidana mati itu diterapkan, daya tekannya untuk menimnbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana.

BAB IV Analisis Kasus Grasi dalam Eksekusi Terpidana Mati Dukun AS

Bab ini memuat analisis penulis terhadap kasus grasi dalam eksekusi terpidana mati Dukun A.S. Dengan membandingkan pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis pada putusan pidana mati dukun A.S dan upaya hukum yang dilakukan pihak Dukun A.S.

BAB V Penutup : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merumuskan suatu kesimpulan dari penulis dari pembahasan permasalahan yang ada. Kemudian terhadap permasalahan tersebut dan kalau terjadi di masa yang akan datang penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi para pembaca baik secara teori maupun dalam praktiknya.

Referensi

Dokumen terkait

Jenis dan rancangan penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif dengan membandingkan direct medical cost (biaya

Tubuh mengalami retensi cairan sehingga naiknya osmolalitas, kemudian pengaktifan sel hipotalamus anterior dan mengakibatkan rasa haus. Rasa haus untuk  meningkatkan

Laporan tugas akhir ini merupakan salah satu prasyarat untuk memenuhi persyaratan akademis dalam rangka meraih gelar kesarjanaan di Jurusan Sistem Informasi,

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Dewi Fatmawati, menyatakan bahwa skripsi dengan judul: PENGARUH DIVERSIFIKASI GEOGRAFIS, DIVERSIFIKASI INDUSTRI, KONSENTRASI

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, hasil perhitungan uji normalitas data dengan model Jarque Bera berdistribusi normal, hasil uji linieritas dengan model Ramsey

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa , Tuhan Yang Maha Kuasa, karena karunia-Nyalah, tesis yang berjudul: “Ekstrak

Simulasi Penjalaran Gelombang Tsunami Skenario tsunami B merupakan peristiwa tsunami yang diakibatkan oleh gempabumi yang mengakibatkan tsunami dengan magnitudo 7,1 SR

Peramalan Pada Masa Yang Akan Datang Dengan menggunakan distribusi weibull dan distribusi eksponensial serta data waktu tunggu yang digunakan sampai pada tanggal 11 April 2012 maka