• Tidak ada hasil yang ditemukan

Para Jenderal Resmi Menjadi Terdakwa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Para Jenderal Resmi Menjadi Terdakwa"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAJALAH BULANAN HAK ASASI MANUSIA

Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Leste. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-Mail: direito@yayasanhak.minihub.org

Perkumpulan HAK

22

Edisi 22 - Februari 2003

Para Jenderal

Resmi Menjadi

Terdakwa

D A F T A R I S I

DIREITO UTAMA:

Para Jenderal Jadi Terdakwa Hal. 1 - 2

Dakwaan terhadap Orang-Orang Besar Hal. 3

Surat Dakwaan dari PBB atau Timor Leste? Hal. 4 - 5

DIALOG: Korban Membutuhkan Pengadilan Internasional Hal. 6

JUSTIÇA: Korban Berhak Atas Pengadilan Hal. 7

PEMBERDAYAAN RAKYAT: Tarabandu Hal. 8 - 9 TEROPONG KEBIJAKAN:

Menjadikan Tentara Amerika Serikat Di Atas Hukum Hal. 10 - 11

HAK ASASI: Pelangaran Tahanan Operasi di Atsabe Hal. 12

INSTRUMEN HAM:

Konvenan Hak Pendidikan Hal. 13 Kesehatan Adalah Hak Asasi Manusia Hal. 14

GUGAT: Dunia Peradilan Timor Lorosae Hal. 15 SERBA-SERBI: Pengunsi masih Punya Hak Hal. 16

AMI LIAN: Unit Kejahatan Berat Hal. 16

A

khirnya Serious Crimes Unit (SCU, Unit Kejahatan Berat)

Kejaksaan Agung Timor Leste mengeluarkan dakwaan

yang dinanti-nantikan oleh banyak orang di Timor Les-te. Pada 24 Februari ini SCU menyerahkan surat dakwaan

kepada Pengadilan Distrik Dili dan meminta agar dikeluar-kan surat penangkapan terhadap delapan orang pejabat sipil dan militer Indonesia. Mereka ini didakwa telah melakukan “kejahatan terhadap umat manusia” (crimes against human-ity) berupa pembunuhan, deportasi, dan persekusi “yang di-lakukan sebagai bagian dari serangan sistematis atau meluas yang diarahkan terhadap penduduk sipil Timor Leste dan diarahkan secara khusus kepada mereka yang dianggap sebagai pendukung kemerdekaan Timor Leste.”

Dakwaan ini disusun berdasarkan keterangan 1500 orang saksi. Menurut keterangan Jaksa Agung Longuinhos Monteiro kepada Direito, kesaksian-kesaksian ini dicocokkan dengan dokumen-dokumen TNI yang diperoleh SCU. Munculnya dak-waan ini disambut baik oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia, tidak hanya di Timor Leste tetapi juga di luar negeri, termasuk di Indonesia. Maklum saja selama ini SCU hanya mengeluarkan dakwaan kepada milisi-milisi tingkat rendahan. “Dakwaan seperti ini sudah lama diinginkan oleh keluarga para korban,” kata Judit da Conceição, penanggungjawab

pro-Para anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD sedang berlatih.

(2)

2 edisi 22 - Februari 2003

DIREITO UTAMA

P

ada 24 Februari, Serius Crime Unit mengeluarkan dakwaan kepada Pengadilan Distrik Dili dan meminta agar dikeluarkan surat penangkapan terhadap delapan orang pejabat mili-ter dan sipil Indonesia. Mereka ini di-dakwa telah melakukan “kejahatan ter-hadap umat manusia” (crimes against humanity) berupa pembunuhan, deportasi, dan persekusi “yang dila-kukan sebagai bagian dari serangan sistematis atau meluas terhadap pen-duduk sipil Timor Leste dan secara khusus kepada mereka yang dianggap sebagai pendukung kemerdekaan Ti-mor Leste.”

Munculnya dakwaan ini disambut baik oleh organisasi-organisasi hak a-sasi manusia, tidak hanya di Timor Les-te Les-tetapi juga di luar negeri, Les-termasuk di Indonesia. Maklum saja selama ini SCU hanya mengeluarkan dakwaan ke-pada milisi-milisi tingkat rendahan. Dari Indonesia, Ifdhal Kasim, direktur Lem-baga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meminta pemerintah Indone-sia untuk bekerjasama dengan penga-dilan Timor Leste dan juga dengan Interpol (organisasi kerjasama kepoli-sian internasional) agar para pelaku kejahatan tersebut bisa diadili. Semen-tara Rachland Nashidik dari Imparsial kepada Direito mengatakan, “Dakwa-an terhadap para jenderal itu merupa-kan kemajuan penting dalam usaha kita “bangsa Indonesia dan Timor Leste” untuk memutus dan mengakhiri lingkaran impunity.”

Brad Adams, Direktur Eksekutif Divisi Asia Human Rights Watch, or-ganisasi hak asasi manusia berpusat di Amerika Serikat, mengatakan, “Ini a-dalah upaya nyata pertama yang mem-buat pejabat-pejabat tinggi bertang-gungjawab atas kekerasan terorganisir pada 1999.” Menurutnya, ujian terbesar sekarang adalah apakah Indonesia siap menangkap para terdakwa dan mengirimkannya ke Dili untuk diadili. Semestinya Indonesia siap demi kea-dilan, hak asasi dan demokrasi yang saat ini giat dibangun oleh masyarakat indonesia sendiri.

Dakwaan

gram pendampingan korban kekerasan 1999 dari Forum Komunikasi Perempuan Timor Lorosae (Fokupers). “Mereka selama ini tidak puas dengan pengadilan yang hanya menga-dili orang-orang kecil, tetapi orang-orang besar yang mem-bentuk kelompok-kelompok milisi dan merencanakan keke-rasan tidak diadili,” katanya kepada Direito.

Dari Indonesia, Ifdhal Kasim, direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meminta pemerintah Indone-sia untuk bekerjasama dengan pengadilan Timor Leste dan juga dengan Interpol (organisasi kerjasama kepolisian inter-nasional) agar para pelaku kejahatan tersebut bisa diadili. Se-mentara Rachland Nashidik dari Imparsial kepada Direito me-ngatakan, “Dakwaan terhadap para jenderal itu merupakan kemajuan penting dalam usaha kita -- bangsa Indonesia dan Timor Leste -- untuk memutus dan mengakhiri lingkaran im-punity.” Menurutnya, jika pada kenyataannya pengadilan di Indonesia tidak mau dan tidak mampu untuk menuntut, meng-adili, dan menghukum para jenderal itu, “maka biarlah peng-adilan di mana saja yang melakukannya.”

Brad Adams, Direktur Eksekutif Divisi Asia Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia berpusat di Amerika Seri-kat, mengatakan, “Ini adalah upaya pertama nyata yang per-tama untuk membuat pejabat-pejabat tinggi bertanggungja-wab atas kekerasan terorganisir pada 1999.” Menurutnya, ujian terbesar sekarang adalah apakah Indonesia siap menangkap para terdakwa dan mengirimkannya ke Dili untuk diadili.

Sudah bisa dibayangkan bahwa para terdakwa akan bersikap menolak. “Sudah berulangkali saya meyakinkan kepada ma-syarakat. Sekarangpun saya berani bersumpah di hadapan seluruh rakyat Indonesia bahwa selaku Menhankam/Pangab, sewaktu proses Jajak Pendapat di Timor Timur tidak pernah terpikir, berkeinginan merencanakan, apalagi memerintahkan untuk melakukan berbagai kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, penculikan, pengusiran, dan sebagainya,” kata Wiranto dalam jumpa pers yang diadakan di Jakarta khusus untuk membantah dakwaan Unit Kejahatan Berat.

Sedang mantan Panglima Darurat Militer di Timor Timur Kiki Syahnakri mengatakan bahwa dirinya tidak akan menangapi. “Tuntutan itu tidak akan kami tanggapi, karena peradilan nasional yang mengadili kasus Timor Timur saja sampai sekarang belum selesai,” katanya sebagaimana dikutip kantor berita Antara.

Sikap ini seperti mendapat dukungan pemerintah Indone-sia. Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda mengatakan bah-wa Indonesia tidak akan memenuhi permintaan untuk me-nangkap para terdakwa. “Mereka tidak punya wewenang hu-kum untuk menangkap orang bukan warganegara Timor Les-te,” katanya. Sementara Kejaksaan Agung menyatakan bah-wa mereka tidak akan pro-aktif dalam masalah ini.

Patut disayangkan bahwa sikap para terdakwa dan peme-rintah Indonesia tersebut justru seperti mendapat angin segar dari sejumlah pemimpin pemerintah Timor Leste. Presiden Xanana Gusmão justru mengatakan menyesalkan munculnya dakwaan tersebut yang dikeluarkan tanpa berkonsultasi dengannya. Begitu tiba di Bandara Nicolau Lobato, Dili sete-lah pulang dari mengikuti Konferensi Non-Blok di Kuala Lumpur, Malaysia, Presiden mengatakan bahwa hubungan baik dengan Indonesia jauh lebih penting daripada pengadilan ter-hadap para jenderal. Tetapi Presiden tidak menyebutkan apa kaitan antara membina hubungan baik dengan Indonesia dan pengadilan terhadap para pejabat tinggi tersebut.

Namun, Jaksa Agung Longuinhos Monteiro menegaskan bahwa dakwaan tersebut murni hukum, bukan masalah poli-tik. “Tidak ada campur tangan politik dalam pembuatan dak-waan ini,” katanya kepada Direito. Ia berharap agar Indone-sia juga bersikap seperti itu dan mau bekerjasama. 

(3)

DIREITO UTAMA

Dari kantor ini dakwaan dikeluarkan. Foto: Rogério Soares/Direito.

Orang-Orang Besar Resmi Menjadi Terdakwa

Surat dakwaan dikeluarkan terhadap para komandan TNI ter masuk Panglimanya. Mer eka didakwa bertang gungjawab atas ter jadinya 280 pembunuhan, deportasi 200.000 orang ke Timor Barat, serangan fisik, penahanan tidak sah, intimidasi, penculikan, dan pengrusakan barang. Berikut ringkasan isi dakwaan tersebut.

S

urat dakwaan Unit Kejahat an Berat menyebut Jenderal Wiranto bersama tujuh o-rang lainnya bertanggungjawab atas “kejahatan terhadap umat manusia” di Timor Leste. Menu-rut Information Release yang di-keluarkan unit ini pada 26 A-gustus 2003, dakwaan disusun berdasarkan mandat yang dibe-rikan oleh Resolusi Dewan Ke-amanan PBB No. 1272 tanggal 25 Oktober 1999.

Menurut surat dakwaan, Jen-deral Wiranto, Mayjen Zacky Makarim, Mayjen Kiki Syahna-kri, Mayjen Adam R. Damiri, Ko-lonel F. X. Suhartono Suratman, Kolonel Mohammad Noer Muis, Letnan Kolonel Yayat Sudrajat, dan Gubernur Abílio Osório Soares didakwa bertanggungja-wab atas terjadinya pembunuh-an, deportasi dan persekusi yang semua tindak kejahatan itu di-lakukan sebagai bagian dari serangan yang luas atau sistem-atis yang diarahkan terhadap penduduk sipil dan khususnya dengan sasaran orang-orang yang dianggap mendukung ke-merdekaan Timor Leste.

Secara khusus Mayor Jender-al Zacky Anwar Makarim, Mayor Jenderal Kiki Syahnakri, Mayor Jenderal Adam Damiri, Kolonel Tono Suratman, Letnan Kolonel Yayat Sudrajat, dan Gubernur Abílio Osório Soares didakwa ambil bagian dalam pembentuk-an kelompok-kelompok milisi yang melakukan kekerasan. Keenam orang ini didakwa be-kerjasama dalam kebijakan mendanai, mempersenjatai, me-latih, dan mengarahkan milisi. Uang yang digunakan bagi me-reka berasal dari Pemerintah Pusat disalurkan melalui Gubernur Osório Soares. Kelom-pok-kelompok milisi bersama TNI melakukan kekerasan yang sistematis dan terencana yang mengakibatkan terjadinya

keja-hatan terhadap umat manusia di seluruh wilayah Timor Leste pada periode 1999.

Keenam komandan militer ter-sebut dan Jenderal Wiranto se-bagai Panglima TNI, dalam po-sisi komando bertanggungjawab atas terjadinya tindakan atau kelalaian para bawahan mere-ka dalam tubuh militer Indone-sia karena gagal melakukan tin-dakan untuk mencegah kejahat-an tersebut atau gagal

menghu-kum para pelakunya. Lebih jauh, sifat hubungan antara mi-liter dan milisi membuat ketujuh perwira militer tersebut memiliki kontrol efektif atas kelompok-kelompok milisi dan karena itu bertanggungjawab atas kejahat-an ykejahat-ang mereka lakukkejahat-an.

Semua terdakwa didakwa me-lakukan persekusi dan pembu-nuhan orang sipil pendukung kemerdekaan. Persekusi ini terdiri dari pembunuhan, serang-an fisik, penahserang-anserang-an tidak sah, intimidasi, penculikan, dan pengrusakan harta-benda.

Surat dakwaan menyebutkan 280 pembunuhan, yang

menca-kup 10 serangan besar dan 40 insiden pembunuhan lain yang terjadi sebelum dan sesudah Referendum 30 Agustus 1999.

Semua terdakwa juga didak-wa bertanggungjadidak-wab atas ter-jadinya pemindahan paksa pen-duduk sipil sejumlah sekitar 200.000 orang dari seluruh distrik Timor Leste ke Timor Barat se-telah pengumuman hasil Refer-endum.

Dakwaan ini disusun oleh

Unit Kejahatan Berat setelah me-ngumpulkan keterangan dari 1500 saksi dan memeriksa do-kumen-dokumen TNI.

Semua terdakwa diyakini berada di Indonesiah. Unit ini meminta Pengadilan Distrik Dili mengeluarkan perintah penang-kapan yang selanjutnya disam-paikan kepada Kejaksaan A-gung RI. Surat ini juga disam-paikan kepada Interpol (organ-isasi kepolisian internasional), karena Timor Leste sudah men-jadi anggota. Diharapkan Kejak-saan Agung RI atau Interpol me-nangkap dan mengirimkan para terdakwa ke Timor Leste. 

(4)

4 edisi 22 - Februari 2003

DIREITO UTAMA

SURAT DAKWAAN PBB ATAUKAH

TIMOR LESTE?

Bendera PBB dan bendera RDTL Foto: Rogério Soares/Direito

Siapa yang mengeluarkan dak-waan?

Jelas bahwa surat dakwaan ini dikeluarkan oleh Unit Kejahatan Berat. Yang menjadi pertanyaan adalah unit ini berada di bawah PBB atau Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Masalah ini muncul karena keti-ka dalam penjelasan pers harian di kantor pusat PBB New York pada 25 Februari 2002, Jurubicara PBB Fred Eckhard mengatakan bahwa dakwaan tersebut dikelu-arkan oleh Kejaksaan Agung Ti-mor Leste, bukan oleh PBB kare-na PBB hanya memberikan ban-tuan nasehat. Hal yang sama juga dinyatakan oleh UNMISET di Dili. “Dakwaan ini dipersiapkan oleh staf internasional, tetapi dikeluar-kan di bawah wewenang hukum Jaksa Agung Timor Leste,” demi-kian pernyataan UNMISET yang dikeluarkan pada hari yang sama. “PBB tidak punya wewenang hu-kum untuk mengeluarkan dawa-an itu,” ldawa-anjut pernyatadawa-an ini.

Pernyataan di atas tidak sesuai dengan fakta. Unit Kejahatan Be-rat dibentuk oleh UNTAET dalam rangka menjalankan mandat yang diberikan padanya oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1272 (25 Oktober 1999). Resolusi ini mengutuk kekerasan yang terjadi di Timor Leste dan menyerukan supaya mereka yang bertanggung-jawab mengenainya segera dia-dili. Menjelang berakhirnya masa tugas UNTAET, pada 17 Mei 2002 secara aklamasi Dewan Keaman-an PBB mengeluarkKeaman-an Resolusi No. 1410 tentang pembentukan UNMISET (Misi Pendukung PBB di Timor Leste). Resolusi ini anta-ra lain menetapkan bahwa Unit Kejahatan Berat adalah salah satu bagian dari komponen sipil UN-MISET. Sebelum keluar resolusi ini,

Surat dakwaan yang disampaikan oleh Unit Kejahatan Berat UNMISET pada 24 Februari 2003 yang mendakwa sejumlah pejabat militer dan sipil Indonesia yang bertanggungjawab atas kekerasan 1999 di Timor Leste menimbulkan tanda tanya di masyarakat. Berikut ini beberapa

keterangan penting yang perlu kita ketahui bersama.

dalam Laporan Sekretaris Jende-ral PBB kepada Majelis Umum, disebutkan bahwa Unit Kejahat-an Berat diberi tugas khusus mem-buat penyelidikan dan menyusun tuntutan untuk kejahatan berat 1999.

Setelah RDTL resmi merdeka, unit ini memang ditempatkan di bawah Kejaksaan Agung RDTL dan kepala dari unit ini menjadi Wakil Jaksa Agung untuk Keja-hatan Berat. Meskipun demikian, unit ini bekerja sebagai unit PBB. Para staf di unit ini adalah pega-wai PBB, bukan pegapega-wai Peme-rintah RDTL. Menurut keterangan Jaksa Agung RDTL Longuinhos Monteiro, dirinya sebagai Jaksa Agung hanya memiliki wewenang administratif terhadap unit ini, sedang secara yudisial unit ini memiliki independensi dan be-kerja sesuai dengan standar inter-nasional.

Pengadilan yang berwenang mengadili

Proses penyelidikan dan

penun-tutan yang dilakukan oleh Unit Kejahatan Berat UNMISET adalah bagian dari proses pengadilan untuk kejahatan berat 1999. Lem-baga yang mengadili kasus-kasus kejahatan berat 1999 adalah Panel Hakim Khusus Kejahatan Berat pada Pengadilan Distrik Dili. Panel ini dibentuk oleh UNTAET berdasar mandat Resolusi Dewan Keamanan No. 1272 juga. Panel ini terdiri dari dua orang hakim internasional PBB dan satu orang hakim nasional Timor Leste. Hu-kum yang digunakan untuk memproses adalah hukum nasi-onal dan hukum internasinasi-onal. Mengapa demikian? Karena ke-jahatan yang didakwakan terjadi pada 1999 adalah kejahatan me-nurut hukum internasioanal, yaitu kejahatan perang dan kejahatan terhadap umat manusia. Hukum internasional diadopsi dalam Re-gulasi UNTAET No. 15 yang men-gatur tentang kejahatan-kejahat-an ykejahatan-kejahat-ang menjadi yurisdiksi Pkejahatan-kejahat-anel Hakim Khusus Kejahatan Berat.

(5)

disim-DIREITO UTAMA

Komandan Satgas Intel (SGI)Yayat Sudrajat. Foto: REUTERS.

pulkan bahwa pengadilan untuk kejahatan berat di Timor Leste adalah “pengadilan campuran” atau juga disebut “pengadilan yang diinternasionalkan” (inter-nationalized court). Disebut de-mikian karena staf dari pengadi-lan tersebut adalah campuran an-tara staf internasional dan staf na-sional, sedang hukumnya juga gabungan dari hukum internasi-onal dan hukum nasiinternasi-onal.

Pengadilan seperti ini dibuat antara lain karena pertimbangan bahwa untuk membentuk penga-dilan internasional diperlukan pro-ses yang lama dan biaya yang besar. Oleh kalangan yang meng-usulkannya, pengadilan campur-an dicampur-anggap sebagai semacam pengganti untuk pengadilan inter-nasional.

Adalah aneh jika PBB yang mendirikan Panel Hakim Khusus Kejahatan Berat dan Unit Keja-hatan Berat, yang artinya menja-lankan “pengadilan campuran” untuk kejahatan berat 1999, ke-mudian mengatakan bahwa me-reka tidak punya wewenang hu-kum untuk mengeluarkan

dakwa-an. Lebih aneh lagi, pernyataan tersebut keluar baru setelah pejabat-pejabat tinggi militer dan sipil yang didakwa. Sebelumnya Unit Kejahatan Berat sudah me-ngeluarkan sejumlah dakwaan dan tidak ada keberatan dari kantor pusat PBB.

Bagaimana membawa

terdak-wa ke pengadilan?

Semua terdakwa yang disebut-kan dalam surat dakwaan berada di wilayah Indonesia. Agar mere-ka bisa diadili, Unit Kejahatan Berat meminta Pengadilan Distrik Dili segera mengeluarkan surat perintah penangkapan. Surat ini selanjutnya disampaikan kepada Kejaksaan Agung Indonesia. Se-suai dengan Memorandum of Un-derstanding pada Februari yang ditandatangani antara Jaksa A-gung RI dan Administrator Transi-si UNTAET, IndoneTransi-sia dan Timor Leste sepakat untuk bekerjasama mengirimkan bukti, saksi, dan ter-dakwa kejahatan 1999. Tetapi se-lama ini Timor Leste memenuhi janji dengan mengirimkan saksi yang diminta Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia, sedang Indo-nesia belum pernah memenuhi permintaan Timor Leste untuk mengirimkan terdakwa.

Selain dikirimkan kepada Ke-jaksaan Agung RI, surat perintah penangkapan dikirimkan ke Interpol (organisasi internasional kerjasama kepolisian). Sejak Ok-tober 2002 Timor Leste sudah

menjadi anggota Interpol. Nega-ra-negara anggota Interpol harus melakukan penangkapan dan pengiriman terdakwa jika ada negara anggota yang meminta. Karena Indonesia adalah anggo-ta Interpol, maka ia wajib meme-nuhi permintaan ini. Jumlah selu-ruh anggota Interpol adalah 181 negara.

Seperti dikatakan oleh Stuart Alford, jaksa yang menangani kasus ini, kecil kemungkinan In-donesia memenuhi permintaan ini. Karena itu, perlu ada desakan dari negara-negara lain, dan or-ganisasi-organisasi internasional agar dilakukan sesuatu untuk membawa para terdakwa ke pen-gadilan.

Apakah hubungan Timor Les-te dengan Indonesia akan terganggu?

Yang menjadi terdakwa dalam surat dakwaan ini bukanlah ne-gara Indonesia, rakyat Indonesia, pemerintah Indonesia, atau ang-katan bersenjata Indonesia. Ter-dakwanya adalah orang-orang yang bertanggungjawab atas ke-jahatan 1999. Mereka harus ber-tanggungjawab sebagai perorang-an (pribadi) karena dalam keja-hatan terhadap umat manusia ber-laku “pertanggungjawaban priba-di” (“individual responsibility”). Dalam hal ini orang-orang yang berada pada kedudukan koman-do, harus mempertanggungjawab-kan yang dilakumempertanggungjawab-kan oleh anak buah mereka. Pertanggungjawa-bannya bukanlah pertanggung-jawaban kelembagaan.

Jadi, dengan keluarnya dakwa-an tersebut, masalah hukum ydakwa-ang muncul bukanlah antara negara Timor Leste atau PBB dengan gara Indonesia, tetapi antara ne-gara Timor Leste dan PBB den-gan sejumlah individu warden-gane- wargane-gara Indonesia.

Presiden RDTL Xanana Gus-mão mengatakan bahwa menga-dili para pejabat Indonesia itu bukan kepentingan nasional Ti-mor Leste. Pernyataan ini jelas menganggap bahwa tuntutan korban akan keadilan untuk ke-kerasan 1999 tidak dianggap se-bagai kepentingan nasional. Pen-dapat ini sama sekali tidak berda-sarkan fakta. Kekerasan 1999 ter-jadi di seluruh negeri. Hingga se-karang di mana saja para korban dan keluarganya menyatakan menginginkan pengadilan bagi para pelaku dan penanggungja-wab kekerasan 1999. Lagi pula, bukankah perjuangan kemerde-kaan Timor Leste sendiri digerak-kan oleh keinginan untuk men-dapatkan keadilan? 

(6)

DIALOG

6 edisi 22 - Februari 2003

Jenderal Wiranto. Foto: REUTERS.

Jaksa Stuart Alford: Perlu

De-sakan Internasional

Apa bukti bahwa milisi berada di bawah kontrol efektif tenta-ra Indonesia?

Kesimpulan yang disampaikan dalam tuduhan ini sepenuhnya ber-dasarkan bukti dari pernyataan dan laporan saksi-saksi yang dikumpul-kan di Timor Leste, yang seluruh-nya berjumlah 1500 saksi. Kesaksi-an ini dari para Kesaksi-anggota milisi, Kesaksi- ang-gota TNI, dan juga dari otoritas si-pil di Timor Leste saat itu. Kesim-pulan bahwa ketujuh orang yang didakwa, selain Wiranto, itu terlibat langsung dalam pembentukan, ko-mando, dan pengarahan milisi itu sepenuhnya berdasarkan bukti-bukti ini. Tidak ada spekulasi.

Dari bukti-bukti itu jelas bahwa milisi yang melakukan kekerasan di lapangan berada dalam kontrol efektif TNI. Milisi adalah bagian dari struktur TNI. Milisi adalah bagian dari kemampuan TNI untuk

melaku-kan operasi di Timor Leste.

Apa tanggungjawab Wiranto untuk kejahatan terhadap umat manusia di TL?

Tujuh dari orang yang didakwa da-lam surat dakwaan, kecuali Wiran-to, adalah orang-orang yang ambil bagian langsung dalam pemben-tukan dan pengarahan milisi den-gan memberikan dukunden-gan, menge-luarkan instruksi khususnya kepada perwira TNI bawahan mereka un-tuk mengarahkan, menyediakan sen-jata, dan memberikan uang atau dukungan lisan kepada milisi.

Wiranto adalah satu-satunya o-rang yang kami tidak punya bukti tentang keterlibatan aktif langsung dia dalam pembentukan milisi. Kami tidak punya bukti yang me-nunjukkan bahwa ia berkata atau memerintahkan sesuatu yang lang-sung membuat dibentuknya milisi. Tetapi ia punya otoritas koman-do pada periode itu atas semu-a personil TNI ysemu-ang semu-adsemu-a di Ti-mor Leste. Dalam periode itu jelas bahwa tidak hanya ketujuh pejabat militer dan si-pil itu yang terlibat tetapi se-mua tingkatan TNI terlibat da-lam kejahatan. Sebagian dari mereka berada pada bagian terbawah dari rantai komando. Mereka ini yang menggunakan senjata api atau pisau untuk membunuh atau menyakiti o-rang sipil, tetapi oo-rang-oo-rang ini berada di bawah tanggung-jawab komando Wiranto seba-gai Panglima TNI.

Selain itu, karena sifat hu-bungan antara TNI dengan milisi, Wiranto pada akhirnya memiliki kontrol atas milisi dan karena milisi dikontrol oleh prajurit-prajurit TNI.

Wiranto berkali-kali diberita-hu oleh pers, anggota-anggo-ta komunianggota-anggo-tas internasional, dan pemimpin-pemimpin

masyara-kat di Timor Leste bahwa kelompok milisi itu berada di bawah koman-do TNI dan mereka sedang melaku-kan kejahatan-kejahatan di Timor Leste. Tetapi Wiranto membiarkan mereka melakukan kejahatan tanpa mendapatkan hukuman. Buktinya sangat jelas bahwa merekat tidak di-adili.

Kami menggunakan argumen bersejarah yang telah lama berkem-bang mengenai ’pertanggungjawa-ban komando,“ yaitu argumen yang berkembang dari Den Haag (Penga-dilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia), Afrika (Pengadi-lan Pidana Internasional untuk Rwanda), dan setelah Perang Duni-a KeduDuni-a di JepDuni-ang dDuni-an di Nuremberg (pengadilan terhadap para penjahat Perang Dunia II).

Kasus ini adalah salah satu dari garis panjang kasus-kasus, yang paling mutakhir adalah pengadilan terhadap Milosevic di Den Haag (un-tuk kasus kejahatan perang dan ke-jahatan terhadap umat manusia di Bosnia-Herzegovina).

Bagaimana kemungkinan para terdakwa untuk diserahkan ke pengadilan di Dili?

Kami yakin bahwa proses di Ti-mor Leste terhadap kedelapan orang ini menjadi berjalan maju sejauh yang bisa kami lakukan dalam pro-sesnya. Kami telah melakukan inves-tigasi, menganalisis bukti-bukti, dan mengajukan dakwaan ke Pengadi-lan Distrik Dili. Surat penangkapan sedang diproses dan akan segera dikeluarkan. Setelah keluar, surat ini akan diteruskan kepada Jaksa A-gung di Indonesia, dan juga disam-paikan kepada Interpol, yang ber-arti bahwa negara lain anggota Interpol punya kewajiban untuk menjalankan perintah penangkapan bila para terdakwa berada di wila-yah mereka.

Kami yakin bahwa diperlukan sesuatu di luar Timor Leste supaya orang-orang yang didakwa itu bisa dibawa ke Timor Leste untuk diadili. Diperlukan bantuan Interpol, desak-an internasional atau diplomatik, juga desakan dari negara-negara dan dari organisasi-organisasi inter-nasional supaya dilakukan sesuatu. Saya tidak beranggapan bahwa tan-pa bantuan dan kerjasama dari pi-hak-pihak ini orang-orang yang di-dakwa itu bisa diadili

Berikut adalah petikan wawancara Nug Katjasungkana dengan Jaksa Unit Kejahatan Berat UNMISET Stuart Alford satu hari setelah keluar nya dakwaan tersebut.

(7)

JUSTIÇA

KORBAN BERHAK ATAS PENGADILAN

B

erbagai peristiwa kekerasan dan pelangga ran HAM yang terjadi di masa pendudukan militer Indonesia terhadap Timor Leste me-rupakan sebuah tindakan kejahatan masa lalu yang seakan terlupakan, atau hendak dilupakan seiring dengan datangnya era kemerdekaan. Bila kejahatan tersebut dilupakan, sama artinya mar-tabat rakyat Timor Leste terutama para korban tidak ada nilainya. Ini tidak saja mengkhianati prinsip dan nilai yang dijunjung tinggi dalam masa perjuangan, tetapi juga melanggar prinsip hak asasi internasional.

Menurut prinsip hak asasi internasional, kor-ban adalah orang yang secara individual mau-pun kelompok menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, mengalami pende-ritaan emosional (seperti trauma), kerugian eko-nomi atau perampasan nyata terhadap hak-hak dasar mereka, baik karena perbuatan yang se-ngaja dilakukan (by act) maupun karena kelalaian atau kegagalan dalam mencegah suatu pelanggaran hak asasi manusia (by omission) baik yang dilakukan oleh negara maupun pela-ku bukan negara.

Istilah “korban” juga mencakup keluarga lang-sung atau orang yang secara langlang-sung menjadi tanggungan korban, dan orang-orang yang men-derita kerugian ketika membantu korban yang sedang menderita atau dalam usaha mencegah agar orang-orang tidak menjadi korban.

Menjadi korban tidak berarti hak asasinya hilang atau dikurangi, apalagi korban pelangga-ran berat hak asasi manusia Para korban punya hak untuk menikmati kehidupan ini seperti ma-nusia yang lain yang tidak menjadi korban. Se-bagai korban bahkan memiliki hak-hak khusus seperti berikut.

I. Hak untuk tahu (right to know)

Korban berhak untuk mengetahui segala se-suatu yang berkaitan dengan penyebab mereka menjadi korban, siapa pelakunya, dan keadaan anggota keluarganya yang dibunuh atau hilang. Yang punya kewajiban memenuhi hak ini a-dalah setiap pemerintah di negara pihak korban dan masyarakat internasional. Mekanisme untuk pemenuhan hak ini adalah melalui pengadilan dan/atau rekonsiliasi. Namun apabila mekanis-me tersebut tidak dijamin untuk mekanis- mengungkap-kan kebenaran, maka pemerintah negara yang bersangkutan dan masyarakat internasional gagal memenuhi hak korban.

II. Hak atas keadilan/pengadilan

Setiap korban punya hak atas keadilan. Seba-gai korban, ia telah terkena tindakan yang tidak

adil. Baginya keadilan harus dipulihkan dengan membuat para pelaku kejahatan mempertang-gungjawabkan tindakannya. Untuk itu harus di-jalankan pengadilan.

III. Hak atas pemulihan (right to reparation) Di bawah hukum internasional, pelanggaran hak asasi manusia menimbulkan hak bagi kor-ban atas pemulihan. Ini mencakup semua tipe pemulihan, baik material maupun non-material.

Untuk menghormati hak asasi manusia, setiap negara memiliki kewajiban memberikan pemu-lihan bila terjadi pelanggaran terhadap hukum internasional.

Pemulihan untuk pelanggaran hak asasi ma-nusia bertujuan untuk meringankan penderitaan dan memberikan keadilan bagi para korban den-gan menghilangkan atau memperbaiki akibat-akibat dari pelanggaran terhadap hak-haknya.

Pemulihan haruslah proporsional dengan beratnya pelanggaran dan sesuai dengan kebu-tuhan para korban dan harus mencakup bentuk-bentuk pemulihan yaitu restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan jaminan untuk tidak terulang lagi. Bentuk-bentuk pemulihan:

1. Restitusi. Restitusi harus diberikan untuk me-negakkan kembali situasi yang ada pada korban sebelum terjadinya pelanggaran hak asasi manu-sia. Restitusi mengharuskan untuk mengembali-kan hak milik korban yang diambil paksa oleh pelaku, memulihkan kebebasan, kewarganega-raan atau tempat tinggal, lapangan kerja dan atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita korban, serta penggantian biaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh pelakunya sendiri.

2. Kompensasi. Kompensasi diberikan untuk se-tiap kerusakan yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, seperti: a) kerusakan fisik dan mental; b) kesakitan, penderitaan, dan tekanan batin; c) kesempatan yang hilang, ter-masuk pendidikan; d) hilangnya mata pencaha-rian dan kemampuan untuk mencari nafkah; e) biaya medis dan biaya rehabilitasi lain; f) kerugian hak milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang; g) kerugian reputasi atau martabat; h) bi-aya dan bbi-ayaran yang masuk akal untuk bantu-an hukum atau keahlibantu-an untuk memperoleh su-atu pemulihan.

3. Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah kewajiban un-tuk menyediakan pelayanan hukum, psikologis, perawatan medis, dan pelayanan/perawatan lain yang mencukupi, maupun tindakan memulihkan martabat dan reputasi sang korban. 

José Luís de Oliveira

Orang Timor Leste yang menjadi korban pelanggaran hak asasi mempunyai hak atas keadilian. Hak ini harus dipenuhi melalui pengadilan, yang juga akan memungkinkan dipenuhinya hak

(8)

PEMBERDAYAANRAKYAT

8 edisi 22 - Februari 2003

Diskusi sebelum upacara tarabandu di Irabim, Uatokarbau. Foto: Rogério Soares.

ADAT BERWAWASAN LINGKUNGAN

Tarabandu adalah tradisi baik yang perlu dilestarikan untuk mengembangkan kehidupan rakyat. Lingkungan bisa dijaga dan pertanian rakyat bisa berkelanjutan untuk mendukung kehidupan penduduk desa.

TARABANDU

T

arabandu merupakan salah satu adat kebiasaan yang mengatur hubungan manu-sia dengan lingkungan alam sekitarnya. Dalam era kemerde-kaan ini di sana-sini masyarakat desa menghidupkan kembali u-pacara tarabandu, yaitu tapkan masa larangan mene-bang, memetik, dan memungut hasil tumbuh-tumbuhan di tem-pat tertentu yang dianggap suci. Tempat yang dianggap suci atau keraman itu adalah tempat yang memberikan penghidupan bagi orang banyak. Misalnya tempat sekitar sumber air atau hutan yang secara ekologis berguna untuk menahan resapan air dan mencegah erosi. Ini merupakan bukti bahwa nenek moyang kita

memiliki kesadaran yang tinggi tentang perlindungan lingkun-gan hidup.

Di Suco Irabim yang terletak di Subdistrik Uatukarbau, Distrik Viqueque pada 16 Januari 2003 para tokoh masyarakat, yaitu liurai dan empat dato di suco ini bersama masyarakat setem-pat menyelenggarakan upacara tarabandu. Ini adalah taraban-du yang pertama diselenggara-kan setelah zaman Portugis.

Suco ini memiliki sumber air yang sangat penting tidak saja bagi kehidupan seluruh

warga-nya, tetapi juga bagi banyak penduduk di tempat lain. Di suco inilah terletak mata air Su-ngai Irabim yang mengalir melewati wilayah Irabere, Nabo Tarukasa, Giacai, Combere Comata, Baidubu (Subdistrik Uatokarbau) dan kawasan Maumua Tobolobe yang terletak di Subdistrik Ilomar, Distrik Lautem. Sekitar 150 hektar sa-wah mendapatkan air dari sungai ini.

Di mata air sungai ini, air terjun ke suatu tempat memben-tuk danau kecil. Airnya luar bi-asa jernih dan sangat segar. Pe-mandangan sungai sangat indah. Menurut penduduk setempat, tempat ini dulu kaya akan flora dan mauna. Tetapi sekarang air mulai berkurang, be-gitu pula flora dan fauna. Kerusakan ling-kungan di dalah se-babnya.

Sehari sebelum u-pacara tarabandu, para pemuda setempat yang mengikuti pendi-dikan di Dili bekerja-sama dengan para to-koh menyelenggara-kan diskusi terbuka mengenai hak rakyat atas lingkungan dan kehidupan yang layak. Penye-lenggara menghadirkan pejabat pemerintah seperti Direktur Ta-nah dan Hartabenda (Land & Property) Pedro de Sousa dan pejabat dari Unit Perlindungan Lingkungan dan Kehutanan yang berbicara tentang kebijak-an pemerintah mengenai tkebijak-anah dan perlindungan lingkungan. Sementara aktivis dari organisa-si non-pemerintah Perkumpulan HAK, Institut Sahe, dan Fundasaun Haburas, dan jaringan pertanian berkelanjut-an HASATIL berbicara tentberkelanjut-ang perlunya menerapkan metode pertanian berkelanjutan yang melindungi lingkungan serta

bahayanya investasi modal ska-la besar di bidang pertanian atau sumberdaya alam lain seperti sumber air, yang justru membu-at rakymembu-at tidak punya hak membu-atas sumberdaya alam tersebut. Para tokoh adat berbicara tentang tata-cara perlindungan alam me-nurut tradisi.

Alexandre da Silva, Liurai Irabim, dalam diskusi mengata-kan bahwa dulu hutan di tem-pat kelahirannya sangat lebat. “Dulu di tempat saya, Uatubela, hutannya lebat memberikan air yang bisa memberikan kehidup-an kepada komunitas kami. Te-tapi setelah Indonesia masuk, kami dipaksa keluar dari tem-pat kelahiran kami dan sekarang semua hutan sudah ditebang dan dibakar. Air juga sudah kering,” katanya. Menurutnya setelah Timor Leste mendapat-kan kemerdekaan, sekarang sa-atnya memulihkan lingkungan. “Kita mengembalikan lingkun-gan seperti semula supaya bisa ada lagi air dan hujan untuk memberi kehidupan kepada kami,” katanya tegas.

Pengrusakan lingkungan ini terjadi karena pendudukan In-donesia. Pada 1979, rakyat yang mengungsi ke gunung-gungung terpaksa menyerah akibat pemboman besar-besaran oleh militer Indonesia dengan meng-gunakan kapal terbang canggih yang diperoleh dari Inggris dan Amerika. Penduduk yang turun gunung untuk menyerah kemu-dian dipaksa untuk tinggal se-cara berkumpul di satu tempat baru agar mudah dikontrol oleh tentara pendudukan. Mereka yang berasal dari Uatokarbau dijadikan satu dengan sejumlah penduduk asal Baguia ditempat-kan di wilayah Irabim yang se-belumnya adalah hutan. Mere-ka terpaksa membabat hutan untuk membangun tempat tinggal, serta membuat kebun dan sawah demi

(9)

mempertahan-PEMBERDAYAANRAKYAT

Memberikan persembahan kepada rain nain dan nenek-moyang. Foto: Rogério Soares/Direito.

kan hidup.

Selama pendudukan Indone-sia, sebagian penduduk terbiasa melakukan penebangan hutan untuk membuat ladang berpin-dah. Sebagian dari mereka terlena dengan hasil yang ber-limpah dari lahan berpindah. Mereka lupa akibat yang akhir-nya mereka rasakan sekarang. “Pengolahan ladang berpindah adalah kebiasaan jelek yang harus ditinggalkan. Jangan ka-rena mengejar hasil yang berlim-pah dalam satu musim kita me-nebang semua pohon dan tidak memperhitungkan kerugian di masa mendatang,” kata Oscar da Silva, seorang pemuda asal Irabim yang juga aktivis HASATIL.

Sementara Dato Makaki me-ngatakan bahwa nenek moyang mereka sejak dulu menghormati air dan hutan yang dianggap lulik (keramat). “Orang meng-hargai tempat lulik dengan memberi persembahan berupa ayam, kambing, babi, dan ker-bau. Air dan hutan kami hormati. Dilarang untuk merusaknya,” katanya. “Dari air kami bisa men-dapatkan ikan dan mengairi sa-wah. Hutan memberikan bahan untuk membangun rumah dan memberi air hujan sehingga kami bisa bertani tepat pada musim tanam,” paparnya.

Upacara tarabandu adalah

penghormatan yang dilakukan penduduk kepada air dan hu-tan atau lingkungan hidup se-cara keseluruhan. Penduduk memotong binatang ternak se-bagai simbol larangan, yaitu la-rangan untuk pemotongan atau penebangan tumbuhan. Kalau ada yang melanggar, orang ter-sebut dikenai hukuman berupa kewajiban memotong binatang seperti yang telah dipotong da-lam upacara tarabandu.

Tarabandu Suco Irabim di-selenggarakan di dekat mata air Sungai Irabere. Upacara dimulai dengan hamulak (berdoa) oleh Liurai Alexandre da Silva di uma fukun. Selanjutnya dilakukan perarakan menuju tempat upa-cara di dekat sumber air. Di tem-pat ini dilakukan penghitungan seluruh sanak-saudara, baik yang hadir maupun yang tidak hadir. Seluruh ang gota yang hadir diberi selembar daun sirih atau pinang yang berarti bahwa semua ikut serta dalam upacara ini. Yang tidak hadir diwakili oleh yang hadir.

Selanjutnya dilakukan pemo-tongan binatang persembahan, yaitu ayam, babi, dan kerbau. Hati dari binatang-binatang ini kemudian “dibaca” oleh para tokoh adat untuk mengetahui nasib mereka di masa menda-tang. Bagian-bagian penting dari binatangn persembanan tersebut

kemudian dipersembahkan ke-pada arwah nenek-moyang dan Rain Nain (penguasa tanah).

Marçal de Carvalho yang se-bagai Oan Mane Irabim bertin-dak sebagai semacam juru bica-ra dalam upacabica-ra ini. Pada puncak acara, ia menegaskan kembali kesepakatan komunitas bahwa barang dan tempat yang dulu disembah nenek moyang mereka sebagai sesuatu yang memberikan kehidupan, seka-rang diperkuat kembali. “Jangan merusak, kita menghargai dan mencintainya. Kita menghijau-kan kembali daerah-daerah yang dilindungi yang meliputi Satoma-Kailaku, Uatubela, Bua’a-Lakasoru, Uatubisoru, dan Hudilale,” katanya.

Ia juga berpesan agar pendu-duk tidak membiarkan ternak-nya masuk ke sungai karena airnya digunakan oleh banyak orang untuk minum. “Tempat penggembalaan adalah sebatas di bawah Taradiga. Ini untuk menjaga kebersihan sumber air,” kata Marçal de Carvalho. Upa-cara diakhiri dengan makan ber-sama daging binatang-binatang yang dijadikan korban dalam upacara ini. Daging yang dima-sak oleh kaum perempuan ini dimakan dengan nasi. Tempat-nya adalah piring terbuat dari anyaman bambu yang disebut bantaka.  Rogério Soares

(10)

TEROPONGKEBIJAKAN

10 edisi 22 - Februari 2003

Menteri Luar Negeri Timor Leste menandatangani perjanjian dengan Menteri Luar Negeri AS status tentara AS di Timor Leste. Berikut ini tulisan Charles

Scheiner tentang perjanjian tersebut.

Timor Lorosae Menjadikan Tentara

Amerika Serikat di Atas Hukum

P

ada bulan Oktober, Presi den, Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Repub-lik Demokratik Timor Leste me-ngunjungi Washington untuk bertemu dengan Presiden Ame-rika SeAme-rikat George Washington dan Menteri Luar Negeri Colin Powell. Para pejabat itu mem-bahas banyak persoalan penting bagi kedua negeri, tetapi hanya satu perjanjian resmi yang muncul dari pembicaraan terse-but. Pemerintah Timor Leste me-nyerahkan kekuasaannya untuk meminta tentara Amerika Serikat di Timor Lorosae mematuhi hu-kum Timor Leste.

Timor Leste dan Amerika Se-rikat menandatangani perjanjian yang bernama Status of Forces Agreement (Kesepakatan Status Tentara). Kesepakatan ini men-definisikan hak dan kewajiban tentara dari salah satu negara (“negara pengirim”) yang ber-pangkalan di negara lain (“ne-gara penerima”). Sebagian SOFA, seperti yang ditandata-ngani oleh negara-negara NATO, adalah perjanjian multilateral, sedang yang paling banyak (ter-masuk lebih dari 100 yang dita-ndatangani oleh Amerika Seri-kat dengan pemerintah-pemerin-tah lain) adalah antara dua ne-gara. Perjanjian-perjanjian ini menetapkan kewajiban pajak, hak imigrasi, penggunaan gelombang radio dan pelayan-an publik lainnya, serta aspek-aspek lain bagi status pasukan militer asing di negara penerima. Yang paling penting, perjan-jian SOFA menetapkan bagaima-na pemberlakuan undang-undang pidana negara penerima bagi tentara dari negara pengi-rim. Ini adalah untuk tindak pi-dana biasa, seperti perampokan, perkosaan, penyerangan, dan pembunuhan. Dalam kebanyak-an SOFA, tentara asing diharus-kan menghormati hukum nega-ra yang mereka kunjungi. Jika

mereka melakukan pelanggaran hukum, mereka bisa diadili oleh sistem peradilan negara mereka sendiri atau negara tempat me-reka berada yang disebut “yu-risdiksi konkuren.”

SOFA menetapkan negara mana yang punya “yurisdiksi primer” yaitu, yang punya tang-gungjawab utama untuk meng-adili dan menghukum tentara yang melakukan kejahatan. Da-lam SOFA yang biasanya, nega-ra penerima punya yurisdiksi primer untuk pelanggaran terha-dap hukumnya, kecuali jika kor-ban kejahatan berasal dari ne-gara pengirim. Dalam banyak SOFA, seperti yang ditandata-ngani antara Amerika Serikat dengan Filipina, negara peneri-ma (Filipina) menyerahkan haknya atas yurisdiksi primer kecuali dalam kasus-kasus yang amat sangat penting bagi Filipi-na, yang ditentukan oleh peme-rintah Filipina. Dalam semua hal, yurisdiksi konkuren tetap, dan Filipina atau Amerika Serikat bisa mengadili kasus-kasus yang tidak berhasil diadili oleh nega-ra yang punya yurisdiksi primer. Bulan Agustus, Timor Leste menandatangani “kesepakatan impunitas Pasal 98” dengan Amerika Serikat, dalam mana Ti-mor Leste setuju untuk tidak mengirimkan setiap personil Amerika Serikat ke Pengadilan Pidana Internasional (Internatio-nal Crimi(Internatio-nal Court, ICC). Ini ber-beda dengan SOFA yang dita-ndatangani Oktober, yang mem-fokuskan pada kejahatan biasa – bukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap umat manu-sia yang berada dalam wewe-nang ICC. Kesepakatan “impu-nitas” adalah masalah prinsip politik bagi Amerika Serikat yang kemungkinan tidak akan pernah diberlakukan; di pihak lain, SOFA adalah perjanjian praktis yang akan digunakan secara bi-asa. SOFA juga menyebutkan

kembali impunitas bagi personil Amerika Serikat dari ICC.

SOFA antara Amerika Serikat dan Timor Leste, yang ditanda-tangani oleh Colin Powell dan José Ramos-Horta pada 1 Okto-ber, memperlakukan personil militer AS di Timor Leste seolah-olah mereka adalah staf kedu-taan AS. Perjanjian ini menghi-dupkan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang memberi mereka “kekebal-an diplomatik” dari pengadil“kekebal-an dan pertanggungjawaban lain-nya. Personil kedutaan AS, sama halnya tentara dan orang sipil AS yang bekerja untuk pemerintah AS, tidak menjadi subyek pajak, peraturan kontrak atau hukum pidana Timor Leste. Penguasa Ti-mor Leste tidak pernah bisa me-nangkap atau menahan mereka, mendakwa mereka melakukan tindak pidana, mengekstradisi mereka ke negara lain, atau memaksa mereka bersaksi di pengadilan. Rumah dan barang milik pribadi mereka “tidak bisa disentuh.” Mereka kebal dari pertanggungjawaban sipil yang berhubungan dengan semua tin-dakan yang berkaitan dengan tugas resmi mereka.

Timor Leste belum menanda-tangani Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, meski-pun isinya berlaku dalam semua kasus dimana Timor Leste dan negara lain sepakat untuk men-dirikan kedutaan atau konsulat. Konvensi ini berdasarkan pada “kedaulatan sederajat” dan “timbal-balik Negara”: setiap ne-gara memberikan hak yang sama kepada setiap diplomat negara lain. Seperti dinyatakan Pembukaannya, “tujuan pembe-rian hak istimewa dan kekebal-an bukkekebal-anlah untuk memberikkekebal-an keuntungan kepada pribadi-pri-badi tetapi untuk menjamin pe-laksanaan yang efisien tugas-tugas misi diplomatik dalam mewakili Negara-Negara.”

Pemberlakuan kekebalan di-plomatik kepada personil mili-ter AS di Timor Leste merupa-kan penyelewengan terhadap prinsip ini. Tidak ada timbal-balik, personil militer Timor Leste di AS (kalau ada) tidak menda-pat keistimewaan yang sama. Perlindungan hanya diberikan kepada personil militer AS di Ti-mor Leste – tentara dan pegawai

(11)

TEROPONGKEBIJAKAN

Kedutaan Amerika Serikat di Timor Lorosae. Foto: R. Soares/Direito

Charles Scheiner adalah mantan koor-dinator nasional East Timor Action Network (ETAN/US), organisasi pendu-kung kemerdekaan Timor Leste di A-merika Serikat. Sekarang bekerja un-tuk lembaga pemantauan dan analisis La’o Hamutuk, Dili.

sipil luar negeri US Support Group East Timor (USGET) dan kontraktor DynCorp (lihat Bule-tin La’o Hamutuk, Vol. 3, No. 2-3), awak kapal perang yang ber-kunjung, pengamat militer AS, pelatih dan penasehat militer AS untuk pemerintah Timor Leste, semua personil Pentagon (De-partemen Pertahanan AS) lain-nya di Timor Leste untuk aktivi-tas yang disepakati kedua pe-merintah, dan keluarga mereka. Bagian pembukaan Perjanji-an Status Tentara “mengakui ke-merdekaan dan kedaulatan Re-publik Demokratik Timor Leste sebagai hal yang paling penting.” Kedua negara “menegaskan bahwa prinsip saling menghar-gai, persahabatan, niat baik, ke-mitraan, dan kerjasama akan membimbing pelaksanaan per-janjian ini.” Tetapi kesembilan pasal perjanjian ini tidak men-gandung kemitraan; tidak mem-perlihatkan pengormatan timbal-balik. Yang diakui adalah keku-atan suatu negara besar terha-dap negara kecil; perjanjian ini menegaskan bahwa kedaulatan Timor Leste yang diperoleh den-gan perjuanden-gan yang sangat berat itu tidak berdaya mengha-dapi kekuatan AS.

Di masa transisi, personil mi-liter AS dan negara lain dima-sukkan dalam SOFA antara pe-merintah mereka masing-masing dengan PBB, dan pasukan pen-jaga perdamaian PBB (PKF) di sini dilindungi oleh SOFA mo-del yang disepakati oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1990. Dalam perjanjian itu, PBB ber-janji untuk “menghormati semua hukum dan peraturan setempat” (walaupun dalam kasus ini hu-kum tersebut dibuat oleh UNTA-ET, sebuah lembaga PBB).

K e s e p a k a t a n - k e s e p a k a t a n tersebut belum diberlakukan se-telah kemerdekaan. UNMISET sedang merundingkan sebuah SOFA dengan pemerintah RDTL, yang kemungkinan sama de-ngan modelnya, tetapi tentara AS dan tentara asing lainnya yang berada di Timor Leste di luar UNMISET tidak dicakup. Seo-rang perwira militer AS yang menjadi penasehat untuk ang-katan bersenjata Timor Leste merasa bahwa dirinya “tidak punya perlindungan” setelah 20 Mei, dan “tidak jelas” sebelum

diberi kekebalan dari hukum Timor Leste oleh SOFA yang di-tandatangani di Washington.

SOFA AS-RDTL berlaku sege-ra setelah ditandatangani, dan ti-dak perlu disetujui oleh Dewan Menteri Timor Leste, Parlemen Nasional atau Presiden (meski-pun Presiden Xanana Gusmão menyaksikan upacara

penanda-tanganan di Washington). Per-janjian ini dirundingkan secara rahasia, tanpa pembahasan ma-syarakat umum dan pembahas-an parlemen. Perjpembahas-anjipembahas-an ini tidak bisa diubah sebelum April 2004, dan pengubahan hanya bisa di-lakukan jika enam bulan sebe-lumnya disampaikan pemberita-huan.

Seorang pakar hukum inter-nasional asal New Zealand Roger S. Clark menyebut perja-njian ini “sangat berat sebelah … Perjanjian ini tidak sama de-ngan semua SOFA yang pernah saya lihat.” Seorang diplomat di Timor Leste mengungkapkan keheranannya bahwa AS bisa mendapatkan perjanjian ini.

Selama dua abad terakhir, hubungan internasional berkem-bang dari kekuatan senjata ke prinsip bersama dan perundin-gan. Hukum, perjanjian, dan kesepakatan internasional (se-perti Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut) berlaku secara sama un-tuk semua negara penandata-ngan. Hukum-hukum itu di-maksudkan untuk memberikan

kedudukan yang sama, dalam mana setiap negara berdaulat mendapatkan manfaat dari hak-hak tertentu dan menerima tang-gungjawab tertentu yang dise-butkan di atas kertas dengan kesepakatan bersama.

Timor Lorosae baru saja me-mulai petualangannya dalam diplomasi internasional sebagai

negara berdaulat. Jika SOFA yang baru ditandatangani den-gan Amerika Serikat merupakan indikasi, maka kedaulatannya berada dalam bahaya. Negara ini kecil, miskin, dan tidak berpeng-alaman. Hukum Timor Leste baru mulai disusun, dan sistem pengadilan mengalami banyak masalah. Negara ini sangat kecil kemampuannya untuk menga-dili para penjahat yang telah melakukan penghancuran, yang sekarang terlindungi di Indone-sia. Tetapi jika Timor Leste meng-inginkan kemerdekaan sejati, para pemimpinnya harus tegak berdiri memperjuangkan hak, yang padanya rakyat telah me-nyerahkan nyawa selama seper-empat abad ini. Para penjahat yang melanggar hak rakyat Ti-mor Lorosae di masa mendatang, apapun kebangsaan atau baju seragam mereka, harus dituntut pertangungjawaban mereka di depan pengadilan. 

(12)

edisi 22 - Februari 2003 12

O

perasi militer yang dila kukan oleh Falintil-Força Defesa de Timor-Leste (F-FDTL) di wilayah Atsabe, Dis-trik Ermera menyusul serangan bersenjata dan pembunuhan ter-hadap sejumlah penduduk sipil awal Januari 2003 menyulut ber-bagai perdebatan. Sampai-sam-pai Presiden Xanana Gusmão dalam menanggapi tuduhan bahwa FDTL melakukan pelang-garan hak asasi manusia, me-ngatakan bahwa dirinya akan mengundurkan diri bila FDTL melanggar hak asasi manusia. Sementara para pejabat yang mendukung operasi mengata-kan bahwa ini adalah tindamengata-kan untuk membantu tugas polisi dalam melindungi penduduk. Ada pula yang berpendapat bahwa operasi militer tersebut semata berdasarkan pertimbang-an mengampertimbang-ankpertimbang-an masyarakat tetapi justru bertentangan den-gan Konstitusi RDTL pasal 146 mengenai mandat FDTL sebagai angkatan bersenjata.

Pendapat lain menganggap bahwa tindakan F-FDTL sebagai campur tangan militer dalam kehidupan sosial-politik, yang berarti militer telah melanggar batas peran pertahanan. Karena itu ada yang menyebut bahwa F-FDTL telah melakukan “dwi fungsi” seperti TNI.

Operasi militer tersebut tidak bisa dianggap sebagai bagian dari penyerahan mandat perta-hanan dan keamanan secara bertahap yang diatur dalam do-kumen Perencanaan Tambahan Antara UNMISET dan Pemerin-tah RDTL tanggal 20 Mei 2002, pasal 3 “Tanggungjawab Opera-sional.” Butir 3.1.b. dokumen ini menegaskan F-FDTL hanya me-miliki tanggungjawab pertahan-an sampai penyerahpertahan-an Area Operasi diefektifkan. Operasi F-FDTL tersebut tidak dapat dika-takan sebagai tugas statis seba-gaimana disebutkan dalam

pa-Pelanggaran terhadap Tahanan Operasi di Atsabe

sal 4.4.2 dan 4.4.3.

Untuk memastikan bahwa operasi tersebut tidak melanggar hak asasi manusia, kami mela-kukan pemantauan, termasuk di lapangan, dengan fokus pada aspek-aspek berikut.

Kewenangan untuk melaku-kan pemangilan atau penang-kapan biasa.

Dengan melakukan penang-kapan terhadap penduduk sipil dalam operasinya di Atsabe ter-sebut, F-DFTL telah mengambil alih wewenang polisi (TLPS) untuk melakukan pemanggilan, penyelidikan atau penangkapan atas dugaan terjadinya pelang-garan hukum dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Regu-lasi No. 25/2001. Penculikan dan pembunuhan di Atsabe adalah tindakan kriminal biasa. Yang berwenang melakukan penyeli-dikan, penangkapan, dan pena-hanan adalah polisi.

Tindakan penangkapan ter-hadap 62 penduduk sipil terse-but juga bertentangan dengan Konstitusi RDTL pasal 146 ayat 2 yang menyatakan bahwa F-FDTL berwenang menjamin ke-merdekaan nasional, kesatuan wilayah serta kebebasan dan ke-amanan penduduk terhadap se-tiap bentuk penyerangan atau ancaman dari luar.

Sementara jangka waktu pe-nahanan 31 orang yang menca-pai delapan hari melanggar hu-kum karena menurut Regulasi No. 25/2001 batas waktu pena-hanan adalah 72 jam. Apalagi dari saat ditangkap, mereka ti-dak diberi tahu hak hukumnya terutama alasan mereka ditang-kap dan ditahan.

Upaya yang dilakukan oleh organisasi hak asasi manusia di Timor Lorosae untuk mempero-leh informasi tentang masalah ini telah dihambat. Sementara peninjauan langsung di penjara oleh Penasehat Perdana

Mente-ri untuk Urusan Hak Asasi Ma-nusia Isabel Ferreira, tanggal 15 Januari tidak mendukung pro-ses pengadilan yang efektif, ce-pat dan penggunaan prosedur hukum yang tetap.

Hak atas pemenuhan kebu-tuhan.

Di tempat penahanan mere-ka di Penjara Becora, Dili, para tanahan operasi Atsabe menga-lami berbagai pelanggaran hak asasi manusia sebagai berikut: a. Tahanan anak-anak tidak

dipisahkan dari tahanan yang dewasa. Menurut ketentuan hak asasi seharusnya mereka dipisahkan.

b. Pada 11 Januari waktu pagi, seluruh tahanan ditempatkan dalam satu sel tempat tahan-an tahan-anak-tahan-anak. Sel ini biasa-nya ditempati lima sampai tujuh orang saja.

c. Para korban tidak bisa berge-rak secara leluasa karena tem-pat sempit.

d. Selama itu para korban tidak diijinkan untuk keluar sel. e. Tidak ada kerjasama yang

baik antara polisi dengan otoritas penjara. Penanggung-jawab penjara membiarkan penahanan seperti itu karena menganggap bahwa tang-gungjawab atas para tahan-an tersebut berada di ttahan-angtahan-an polisi.

f. Pada 11 Januari malam hari, para tahanan dibagi ke da-lam dua sel di blok anak-anak. Selama berada dalam dua sel itu tidak disediakan toilet tambahan untuk 39 ta-hanan. Padahal di satu sel ha-nya ada satu toilet.

g. Makanan dibagikan oleh po-lisi, bukan oleh penanggung-jawab penjara.

h. Air yang tersedia untuk minum hanya air dari pipa yang dialirkan ke dalam toi-let sel. 

HAK ASASI

(13)

Instalasi Gawat Darurat, Rumah Sakit Nasional. Foto: R. Soares

INSTRUMENHAM

Kesehatan sangat penting bagi kehidupan setiap orang . Kar ena itu hak asasi manusia ter masuk dalam hak asasi yang dijamin oleh Kovenan Inter nasional tentang Hak Sosial, Ekonomi dan

B u d a y a .

KESEHATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

P

engertian kesehatan seba gai bagian dari hak azasi manusia adalah hal yang baru. Hampir manusia di penju-ru dunia sependapat betapa pen-ting kesehatan bagi dirinya demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tetapi ini belum dile-takkan dalam kerangka hak azasi manusia sesuai dengan a-turan-aturan internasional PBB.

Di dalam Konvensi Internasi-onal mengenai hak sosial, eko-nomi dan budaya yang disebut ‘ICSECR’ khususnya di dalam artikel nomor 12 menetapkan aspek kesehatan dari kehidup-an mkehidup-anusia sebagai bahagikehidup-an dari hak azasi manusia teruta-ma hak sosial, ekonomi dan budaya. Telah dijelaskan bahwa kesehatan adalah salah satu hak dasar yang pemenuhannya tidak dapat dinomor-duakan dalam pelaksanaan hak dasar lainya.

Secara prinsip, hak atas kese-hatan adalah sama pentingnya dengan hak atas makanan, perumahan, pekerjaan, pendi-dikan, martabat manusia, non-diskriminasi, persamaan, laran-gan penlaran-ganiayaan, akses infor-masi dan yang lainnya. Seperti hak-hak lain yang disebutkan diatas, setiap orang memiliki hak untuk menikmati dan menerima pelayanan kesehatan sesuai de-ngan standar yang kondusif bagi kehidupannya. Hak atas kese-hatan tidak semata-mata pada pengertian yang sempit dimana terdapat orang sakit lalu diobati atau dilayani secara medis oleh medical servicer. Hak atas kese-hatan adalah lebih luas penger-tiannya. Yakni mencakup hak atas kesehatan bagi ibu hamil, anak dan reproduksi. Ini seba-gai suatu langkah untuk mem-perbaiki tarah hidup ibu hamil dan perkembangan anak (sesu-ai artikel 12.a); hak atas kese-hatan alamiah dan lingkungan hidup. Ini mencakup pemenu-han terhadap aspek lingkungan

dan higine industri, kebutuhan dasar akan sanitasi dan air ber-sih termasuk perlindungan umat manusia dari radiasi kimia atau bahaya lingkungan lainnya (se-suai artikel 12.b); hak atas pen-cegahan, pemeriksaan (trata-mentu) dan kontrol penyakit yang diderita (sesuai artikel 12.c); hak atas kecukupan fasi-litas kesehatan, makanan dan efektivitas pelayanan. Ini lebih pada menciptakan kondisi yang dapat menjamin pelayanan medical baik yang sifatnya perhatian terhadap medis atau-pun masa-masa terserangnya penyakit (sesuai artikel 12.d).

Menurut perkembangan hu-kum internasional hak azasi manusia, pemenuhan kebutuh-an-kebutuhan hak atas kesehat-an ykesehat-ang sifatnya inter-relasi de-ngan aspek-aspek tersebut diatas menjadi tanggungjawab peme-rintah dalam setiap negara. prinsip ini sesuai dengan artikel 3, ICSECR yang menegaskan ten-tang kewajiban azasi pemerin-tah/negara baik sendiri-sendiri, melalui kerja-sama internasion-al menurut langkah-langkah konstitusional untuk

mengimple-mentasikan hak-hak tersebut. Dalam konteks pelaksanaan-nya di Timor Lorosae, sesuai dengan semangat artikel 3, dan keputusan politik Pemerintah RDTL yang ditetapkan tanggal 10 Desember 2002 lalu, maka negara RDTL mempunyai kewa-jiban untuk melakukan lang-kah-langkah baik melalui pelak-sanaan progaram di lapangan maupun melalui kebijakan-ke-bijakan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut: (1) Mengambil langkah-langkah legislasi yang bertujuan untuk mengurangi angka kematian bayi dan ibu hamil serta mene-tapkan program perkembangan anak; (2) Menetapkan langkah-langkah mencegah dan memper-baiki aspek lingkungan hidup dan higine industri; (3) Mence-gah, memperbaiki, kontrol ter-hadap berbagai penyakit epide-mik, endeepide-mik, okupasional dan jenis penyakit lainnya seperti HIV/AIDS. (4) Mencitpakan kondisi yang mana dan memas-tikan pelayanan medis yang efektif. Aniceto Guró Berteni Neves (Kepala Divisi Pencari Fakta & Dokumentasi Perkumpulan HAK)

(14)

GUGAT

edisi 22 - Februari 2003 14

Anak-anak di sekolah. Foto: Rogério Soares/Direito.

HAK ATAS PENDIDIKAN ADALAH HAK

ASASI MANUSIA

Pendidikan adalah hak asasi manusia. Ia adalah bagian dari hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang pemenuhannya merupakan bagian dari kewajiban negara kepada rakyat.

H

ak atas pendidikan ada lah hak asasi manusia. Prinsipnya bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengikuti pendidi-kan dan menikmati hasil-hasil-nya pada semua tingkatan pen-didikan tanpa diskriminasi. Hak atas pendidikan adalah bagian dari golongan hak sosial, eko-nomi dan budaya yang secara khusus diatur dalam Konvensi Internasional Hak Sosial, Eko-nomi dan Budaya. Secara khusus hak ini tercantum dalam pasal 13 dan 14 konvensi ini. Menurut pasal 13 konvensi ini hak atas pendidikan mencakup hak atas pendidikan pada ting-katan sekolah dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Hakekat dari hak atas pendi-dikan pada tingkat pendipendi-dikan dasar ditegaskan dalam

konve-nan ini. Antara lain yang ditekankan adalah kondisi-kon-disi yang harus diciptakan (oleh negara) untuk itu. Kondisi-kon-disi tersebut antara lain aspek sistem pendidikan dan kuriku-lum, penggunaan bahasa seba-gai alat komunikasi dalam bi-dang pendidikan dan pengajar-an, kualitas tenaga pendidik dan fasilitas yang memadai.

Agar setiap orang bisa menik-mati pendidikan, konvensi ini menentukan bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk pendidikan dasar.

Pada tingkat pendidikan me-nengah, pendidikan diselengga-rakan untuk melengkapi pendi-dikan dasar dengan kondisi yang sama. Sistemnya harus dibangun merespon kebutuhan dasar mas-yarakat, harus dengan tetap mengakui perbedaan nilai sosi-al budaya di dsosi-alam masya-rakat. Pendidikan meneng-ah harus sudmeneng-ah mencakup di dalamnya pendidikan yang paralel dengan seko-lah keahlian (kejuruan) dan vokasional, pelatihan dan kursus. Pendidikan meneng-ah baik umum maupun kejuruan harus disediakan secara gratis bagi semua o-rang oleh pemerintah dan setiap orang harus diberi ke-sempatan yang sama untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

Pendidikan swasta yang diselenggarakan oleh lem-baga-lembaga non-pemerin-tah berdasarkan pada tuju-an umum pendidiktuju-an nasi-onal. Pendidikan swasat berada di bawah pengawa-san pemerintah dan harus murah.

Sedang pendidikan ting-gi, harus merupakan pendi-dikan yang multidimen-INSTRUMENHAM

sional. Artinya di samping bidang pengajaran, pendidikan tinggi juga dibangun dan diarahkan untuk pengembangan ilmu pen-getahuan dan penelitian ilmiah baik teoritis maupun lapangan (penelitian empirik). Jadi, pe-nyelenggaraan pendidikan pada setiap tingkat harus disediakan oleh pemerintah dengan kondi-si yang dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.

Untuk memastikan pemenu-han kebutupemenu-han masyarakat akan pendidikan yang layak, maka berdasarkan pasal 3 kon-vensi ini, negara mempunyai ke-wajiban untuk memastikan pe-nyediaan sistem pendidikan dan kurikulum yang memadai, pe-nyediaan beasiswa, pepe-nyediaan sarana dan prasarana yang me-madai, meningkatkan kualitas tenaga pendidik baik guru mau-pun dosen di perguruan tinggi. Karena menurut semangat kon-vensi ini, sistem pendidikan yang ditetapkan oleh pemerin-tah harus dapat menjangkau se-mua warganegara, dapat diakses secara bebas tanpa diskriminasi dan secara ekonomi dan psiko-logis dapat diterima, serta sifat-nya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Penyelenggaraan sistem pen-didikan nasional di Timor Loro-sae, harus diarahkan pada pe-nyediaan sarana dan pra-sarana, dan kurikum pendidikan sesuai dengan kebutuhan, budaya, dan latar belakang kehidupan mas-yarakat, serta peningkatan kualitas tenaga pendidik pada semua tingkatan.

Pendidikan yang sifatnya pe-maksaan dan eksploitatif tidak diperkenankan. Negara harus menindak tegas, baik melalui tindakan konkret maupun me-lalui proses legislasi setiap prak-tek pemaksaan atau eksploitasi. Hal ini sesuai dengan kebijak-an politik pemerintah Republik Demokratik Timor Leste dalam meratifikasi Konvensi Internasi-onal Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya pada tanggal 10 Desem-ber 2002 lalu. Harus disadari bahsa ratifikasi konvensi ini menimbulkan kewajiban hu-kum pada pihak pemerintah un-tuk menjamin hak seluruh rak-yat atas pendidikan. 

(15)

GUGAT

Pengadilan Distrik Dili. Foto: Rogério Soares/Direito.

DUNIA PERADILAN TIMOR LOROSAE

YANG BERMASALAH

Banyak masalah yang dihadapi peradilan kita. Dari jumlah hakim, jaksa, dan pengacara yang sedikit sehingga tidak cukup untuk menangani semua kasus yang masuk hingga masalah bahasa yang digunakan dan campur tangan politik

p e m e r i n t a h .

Rui Viana

P

eradilan kita sedang berma salah. Dalam sebuah loka karya yang dilakukan di Perkumpulan HAK pada awal Januari 2003 lalu, Aderito Tilma SH selaku ketua Pengadilan Dis-trik Dili mengakui bahwa sejak masa transisi pihaknya kerap di-hadapkan pada banyak masa-lah.

Salah satu masalah adalah jumlah para hakim yang sedikit dibanding dengan jumlah kasus yang masuk ke pengadilan. “Para hakim di empat pengadil-an di Timor Lorosae totalnya 20 orang, tidak mampu menangani kasus-kasus yang masuk ke pengadilan rata-rata 700 hingga 800 kasus per tahun,” ujar Ade-rito Tilman.

Masalah menimpa juga para jaksa dan pembela umum. Me-nurut Wakil Jaksa Agung untuk Kejahatan Biasa Amandio Benevides, jumlah jaksa di Ti-mor Lorosae yang hanya sembi-lan orang sulit untuk menangani secara cepat banyaknya kasus yang masuk ke kejaksaan. Be-gitupun para pembela umum jumlahnya hanya segelintir, se-hingga tidak banyak membantu para tahanan yang lama ditahan. Tidak hanya itu. Masih ada persoalan lain yang kadang sulit mau diakui oleh para aparat penegak hukum kita. Masalah itu terkait kemampuan para ha-kim, jaksa, dan pembela yang sebagian besar harus diakui ma-sih dalam taraf belajar. “Sebagi-an besar aparat peradil“Sebagi-an kita memang baru pertama kali be-kerja sebagai hakim, jaksa, dan pembela. Karena itu kemampu-an mereka juga masih minim,” ujar seorang pembela hukum dari sebuah kantor pengacara di Dili. Ini tentu saja berpengaruh pada pelaksanaan kerja mere-ka sehari-hari di pengadilan.

Selain kendala di atas, ada pula faktor luar yang berpenga-ruh kuat pada kelambanan dan ketidakefektifan peradilan kita. Hampir semua praktisi hukum yang ditanya tentang hal itu, se-lalu mengatakan faktor ekster-nal yang menjadi kendala ada-lah tidak adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi peradilan. Upaya memportugisasi dunia peradilan yang sedang giat dila-kukan pemerintah yang dikata-kan sebagai bagian dari upaya memperbaiki kinerja lembaga peradilan, dinilai sebagai hal yang justru sebaliknya. Kebijak-an itu selain tidak jelas, juga akan menambah masalah baru karena mayoritas orang dan a-parat peradilan lebih menguasai bahasa dan sistem hukum Indo-nesia daripada bahasa dan sis-tem hukum Portugis.

Faktor luar lainnya adalah kecenderungan intervensi peme-rintah pada lembaga peradilan. Contoh konkretnya adalah kasus Border Control tahun 2002 yang

membangkang perintah Penga-dilan Distrik Dili dan upaya menggagalkan dakwaan Unit Kejahatan Berat atas Jendral Wi-ranto dan tujuh pejabat lainnya baru-baru ini.

Menurut pemantauan Direito, usaha mengatasi masalah-masa-lah itu sedang dilakukan. Samasalah-masa-lah satunya adalah yang dilakukan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah seperti Perkumpul-an HAK. Lewat berbagai pro-gram yang diselenggarakan di masyarakat basis, dilakukan u-paya mencari cara alternatif pe-nyelesaian kasus perdata ringan dengan mendayagunakan hu-kum adat.

Meskipun ada upaya seperti itu, peran pemerintah masih menjadi faktor kunci. Penting untuk diperhatikan bahwa peran pemerintah yang dimaksud bu-kanlah intervensi pemerintah atas independensi badan pera-dilan. Peradilan harus berjalan efektif agar hukum dan hak a-sasi manusia bisa diteggakan di negeri ini.

(16)

serba-serbi

AMI LIAN

PENERBIT: Perkumpulan HAK PENGELOLA : José Luís de Oliveira, Rui Viana, Rogério Soares, Nug Katjasungkana, Oscar da Silva, Mariano Fereirra, F.X. Sumaryono, Aneceto Guro Berteni Neves | ALAMAT REDAKSI: Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Lorosae. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-mail: direito@yayasanhak.minihub.org

Pengungsi Masih Punya Hak

TERBITAN INI DIDUKUNG OLEH:

Keluarga Korban Mendukung Unit Kejahatan Berat

U

NHCR memutuskan bah wa sejak 31 Desember 2002 status pengungsi Ti-mor Lorosae di Indonesia telah berakhir. Setelah pencabutan status ini, UNHCR dan pemerin-tah Indonesia tidak lagi mem-berikan bantuan baik untuk mereka yang tinggal maupun yang mau pulang.

Namun demikian, menurut lokakarya perlindungan kema-nusiaan untuk pengungsi yang diselenggarakan oleh Oxfam Great Britain di Kupang pada 12-15 Februari 2003, tindakan UNHCR menghentikan bantuan tersebut bertentangan dengan Hukum Pengungsian Internasi-onal (1951). Dalam lokakarya yang diikuti oleh 20 orang dari organisasi-organisasi yang mem-berikan bantuan kepada peng-ungsi di Timor Barat, yaitu CIS (Kupang), JRS (Kupang dan A-tambua), Yayasan Peduli

Indo-nesia (Atambua), dan Lakmas (Kefamnanu), serta Perkumpul-an HAK dari Timor Lorosae ini dibahas tentang ketentuan inter-nasional mengenai perlindung-an pengungsi.

Menurut Hukum Pengungsian Internasional, pengungsi berhak mendapatkan perlindungan in-ternasional, mempunyai hak yang sama dengan warganega-ra di tempat mengungsi, dan ti-dak boleh didiskriminasikan karena statusnya sebagai peng-ungsi. Yang wajib memberikan perlindungan adalah negara tem-pat pengungsi berada dan UN-HCR (Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi).

Pengungsi juga memiliki hak hak untuk mendapatkan solusi yang layak. Ada tiga kemung-kinan solusi yang layak: 1) re-patriasi sukarela; 2) pemukim-an di negara tempat mereka mengungsi; 3) pemukiman di ne-gara lain. Meskipun status peng-ungsi sudah dicabut, pengpeng-ungsi tetap memiliki hak untuk

memilih salah satu dari ketiga pilihan tersebut. Justru ini yang menjadi masalah karena belum ada suasana yang bebas bagi pengungsi untuk memilih sedang UNHCR dan pemerintah RI sudah menghentikan program repatriasi. Padahal, menurut pe-nelitian yang dilakukan Oxfam dan CIS 50 persen dari pengung-si ingin kembali ke Timor Loro-sae. Jumlah seluruh pengugnsi saat ini, menurut pemerintah provinsi NTT, adalah 9.805 ke-luarga atau 28.097 orang.

Untuk mengatasi masalah ter-sebut, para peserta lokakarya sepakat untuk: a) mendesak In-donesia dan UNHCR untuk menjalankan kewajiban mereka; b) meminta pemerintah Timor Lorosae menyediakan informa-si yang diperlukan oleh peng-ungsi untuk menetapkan pilihan repatriasi atau integrasi lokal di Indonesia; c) memberikan ban-tuan informasi kepada para pengungsi Timor Lorosae di Ti-mor Barat. 

K

eluarga korban menyambut baik keluarnya dakwaan terhadap delapan pejabat tinggi sipil dan militer Indonesia. Eliza dos Santos (34 tahun), penduduk Desa Dato, Subdistrik Liquiça, Distrik Liquiça, menga-takan bahwa selama ini para korban dan keluarganya menun-tut keadilan dengan menahan rasa sakit hati. “Pengumuman Unit Kejahatan Berat bahwa para jenderal diajukan sebagai ter-dakwa merupakan langkah maju. Ini akan kami mendu-kung,” kata perempuan yang suaminya, Agostinho dos Santos dibunuh pada tanggal 6 April 1999 di kompleks Gereja Liqui-ça. Menurutnya, keluarnya dak-waan ini bukan berarti perjuang-an korbperjuang-an dperjuang-an keluargperjuang-anya

su-dah selesai. “Sebagai keluar-ga korban, kami tetap berteri-ak. Kami mendukung Unit Ke-jahatan Berat sampai menga-dili mereka yang sudah terdaf-tar sebagai terdakwa atas ke-jahatan kemanusiaan di Timor Lorosae,” katanya.

Hal yang sama diungkapkan Esperanca da Costa Sarmen-to (67 tahun). Fernando da Costa (27 tahun), anaknya di-bawa polisi Indonesia pada saat penyerangan di Gereja Liquiça dan hilang hingga se-karang. “Kami mendukung Unit Kejahatan Berat untuk te-tap melanjutkan proses ini sampai bisa mengadili para terdakwa itu,” katanya dengan mata berkaca-kaca kepada Direito.

“Kalau ada yang tidak men-dukung dakwaan Unit Kejahat-an Berat, orKejahat-ang ini pasti tidak tahu dan tidak pernah merasa-kan penderitaan rakyat,” kata Eliza dos Santos, kordinator Rate Laek perkumpulan keluar-ga korban di Liquiça.

Sementara Francisca Ribeiro Borges (47 tahun) mengatakan bahwa bila perlu para keluarga korban akan melakukan aksi mendukung dakwaan dari Unit Kejahatan Berat. Menurutnya, keadilan adalah yang diinginkan oleh keluarga korban. “Para pe-mimpin bangsa jangan menga-takan rakyat tidak mau penga-dilan,” kata perempuan yang suaminya, Antonio Saldanha, mati karena dibunuh oleh milisi Aitarak di Dili ini. 

Referensi

Dokumen terkait

Perception of Students, Assistant and Faculty on the Benefits of Training From Senior Students (TFSS) in Student s’ Clinical Skills.. Acquisition in Skills-lab Faculty of Medicine

(a) Kerja-kerja pembaikan lebuh raya tiga lorong sehala telah menyebabkan berlakunya pergentingan di atas lebuh raya berkenaan. Aliran maksimum lalu lintas di

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan: (1) Rata-rata hasil keterampilan proses sains siswa kelas X MIA 3 SMA Muhammadiyah 1

Hasil pembuktian hipotesis menunjukan bahwa variabel disiplin kerja secara parsial maupun simultan memiliki pengaruh terhadap kinerja pegawai pada Kantor Camat Wasile

Satu dari dua elemen JSP yang akan Kita pelajari dalam bab ini adalah JSP Expression Language(EL).Expression Language ini diperkenalkan dengan spesifikasi JSP 2.0 dan disediakan

sedangkan kemampuan guru menyesuaikan perencanaan pembelajaran dengan pelaksanaan pembelajaran belum optimal, karena guru kurang mengerti dalam menerapkan dan

bahwa dalam rangka pemantapan ketahanan pangan, kendala yang dihadapi antara lain adalah terjadinya anomali iklim (bencana alam) dan/atau serangan organisme pengganggu