• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA PRODUKSI DAN HARGA BERAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA PRODUKSI DAN HARGA BERAS INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PRODUKSI DAN HARGA BERAS INDONESIA

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1. Swasembada pangan berkelanjutan merupakan agenda kebijakan pemerintah yang secara tegas dan jelas dinyatakan dalam Renstra Pembangunan Nasional dari periode demi periode. Hal itu mengandung makna dua hal sekaligus. Pertama, bahwa swasembada pangan adalah agenda kebijakan strategis karena ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama ketahanan nasional. Kedua, bahwa untuk mewujudkannya diperlukan pendekatan yang sifatnya holistik, komprehensif, dan lintas sektor karena unsur-unsur ketahanan pangan maupun dimensinya menyangkut kepentingan hampir semua aspek dan sektor ekonomi.

2. Meskipun pada saat ini kondisi ketahanan pangan nasional cukup baik namun berbagai upaya serius untuk meningkatkan produksi pangan sangat diperlukan. Alasannya: (i) perubahan iklim nyata telah terjadi dan dampaknya sangat serius terhadap produksi pangan global, regional, nasional, bahkan lokal, (ii) lapisan masyarakat yang paling rentan adalah kelompok miskin dan untuk Indonesia proporsinya masih lebih dari 10 persen dari total populasi, (iii) pengurangan jumlah penduduk rawan pangan merupakan komitmen global yang disepakati oleh setiap negara (MDGs), (iv) ketahanan pangan merupakan landasan terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi periode berikutnya, bahkan menyentuh langsung sendi-sendi peradaban bangsa.

3. Bagi Indonesia, beras merupakan komoditas pangan paling penting karena merupakan pangan pokok dari sebagian besar (lebih dari 85 persen) penduduk negeri ini. Jika diasumsikan konsumsi per kapita adalah sekitar 135 Kg/kapita/tahun maka kebutuhan beras saat ini adalah sekitar 32.44 juta ton per tahun. Pada sisi produksi, jumlah rumah tangga petani padi saat ini diperkirakan sekitar 15 juta rumah tangga petani karena menurut PUT BPS 2009 jumlahnya adalah sekitar 14.99 juta rumah tangga.

4. Berbagai kebijakan dan program peningkatan produksi beras telah dilakukan dengan sangat serius oleh Kementetian Pertanian. Namun tantangan dan permasalahan yang dihadapi juga tambah berat. Untuk menghadapi situasi iklim terburuk, pertumbuhan produksi harus dipacu sehingga pada Tahun 2014 diharapkan mempunyai surplus sekitar 10 juta ton. Di sisi lain, sejak dekade terakhir kondisi iklim kurang kondusif dan faktor pendukungnya

(2)

kurang kondusif untuk mendorong laju pertumbuhan produksi. Selain kondisi infrastruktur fisik (terutama irigasi) banyak yang rusak, konversi lahan sawah ke penggunaan lain masih terus terjadi dan sulit sekali diminimalkan. Sementara itu, perubahan sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi (Otonomi Daerah) masih dalam proses transisi sehingga efektivitas program dan kegiatan untuk memacu pertumbuhan produksi pangan seringkali terkendala oleh lemahnya sinkronisasi dan harmonisasi program dan kegiatan antar wilayah Otonom.

5. Upaya-upaya terobosan terus dilakukan. Pendekatan yang ditempuh mendorong percepatan realisasi perluasan lahan sawah baku, minimalisasi konversi lahan sawah, meningkatkan intensitas tanam, dan meningkatkan produktivitas usahatani padi pada lahan sawah yang ada. Perluasan lahan sawah terutama diarahkan ke Luar Pulau Jawa, terutama Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Peningkatan produksi dilakukan di semua wilayah melalui perluasan dan percepatan adopsi teknologi yang lebih produktif, penyediaan benih unggul, dan subsidi pupuk. Dalam percepatan adopsi teknologi yang lebih produktif, Badan Litbang Pertanian meluncurkan program SLPTT dan sebagian besar menunjukkan kinerja positif.

1.2. Tujuan

6. Laporan ini akan menyajikan sejumlah fakta mengenai kinerja perberasan nasional. Pembahasan difokuskan pada aspek-aspek sosial ekonomi tentang kinerja produksi, konsumsi, dan harga. Dalam analisis, pendekatan yang ditempuh diupayakan holistik agar kondisi obyektif di lapangan dapat dipahami secara komprehensif. Sasarannya adalah untuk membantu perumus kebijakan dalam menyarikan simpul-simpul strategis yang diperlukan untuk mengakselerasi pertumbuhan produksi beras dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan.

II. KINERJA KONSUMSI DAN PERKEMBANGAN PRODUKSI

2.1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi

7. Secara umum sebenarnya status ketahanan pangan nasional termasuk kategori sedang – baik. Jika swasembada didefinisikan sebagai volume produksi sama dengan volume konsumsi dan diberi nilai Indeks 1, maka selama kurun waktu 1983 – 2011 rata-rata Indeks tersebut adalah 0.984, Nilai terendah yakni 0.889 terjadi pada Tahun 1998.

(3)

8. Pada sisi konsumsi, meskipun diversifikasi pangan ke non beras mengalami kemajuan namun rata-rata (agregat) konsumsi beras per kapita belum menampakkan perubahan yang significant. Hal ini disebabkan meningkatnya pendapatan per kapita diiringi pula dengan meningkatnya konsumsi beras per kapita, terutama untuk sebagian besar rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah. Hasil analisis data SUSENAS 2008 menunjukkan bahwa elastisitas permintaan beras terhadap harga sendiri (own price elasticity) adalah inelastis (Tabel 1), sedangkan elsatisitasnya terhadap perubahan pendapatan positif (Tabel 2).

9. Meskipun terjadi peningkatan teknologi pasca panen dan kehilangan hasil ada kecenderungan menurun namun kualitas gabah tidak banyak mengalami peningkatan. Oleh karena itu rendemen beras dari gabah tidak mengalami perubahan berarti. Saat ini diperkirakan sekitar 63.2 persen; dalam arti dari setiap kuintal gabah kering giling dihasilkan rata-rata sekitar 63.2 Kg beras. 10. Menurut data dari BPS, produksi gabah tahun 2011 adalah sekitar 65.74 juta

ton GKG (gabah kering giling), sedangkan tahun 2010 adalah sekitar 66.47 juta ton GKG yang berarti turun sekitar 1.1 persen. Dari sejumlah penelitian dan informasi dari daerah, penyebab utama penurunan produksi gabah adalah cekaman air (iklim) dan gangguan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).

11. Antar tahun, produksi padi bervariasi. Hasil analisis atas data publikasi resmi (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan per tahun produksi padi pada periode 2005 - 2011 adalah sekitar 3.76 persen. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan periode 2000 – 2005 maupun 1995 – 2000. Bahkan lebih tinggi pula jika dibandingkan dengan pertumbuhan yang terjadi pada pariode 1990 – 1995 maupun 1985 – 1990 (Tabel 3).

12. Secara nasional setiap bulan ada panen padi karena adanya keragaman jadwal tanam antar daerah/wilayah. Dalam 15 tahun terakhir, meskipun ada pergeseran (akibat perubahan iklim) namun secara umum terdapat pola yang menunjukkan bahwa luas tanam terbesar terjadi pada Bulan Desembar, sedangkan yang terkeil pada Bulan Agustus (Gambar 1). Peramalan dengan pendekatan time-series menunjukkan bahwa luas tanam bulan Mei dapat dijadikan indikator pencapaian pencapaian target. Jika menyimpang ke atas mendekatai rataan + simpangan bakunya maka luas tanam tahun tersebut kemungkinan besar akan mencapai target, sebaliknya jika menyimpang ke bawah (mendekati average-simpangan bakunya) maka kemungkinan besar luas tanam tahun yang sedang berjalan itu lebih randah dari target.

(4)

2.2. Impor Beras dan Permasalahannya

13. Indonesia menganut politik pangan swasembada. Dengan demikian, impor ataupun ekspor adalah residual dari imbangan produksi dan konsumsi, bukan didasarkan atas atas pertimbangan daya saing. Mengacu pada peran komiditas beras yang sangat strategis (secara ekonomi maupun politik) dan berdasarkan kondisi obyektif jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar maupun tipisnya persediaan beras di pasar internasional, politik swasembada adalah tepat.

14. Untuk mendukung stabilisasi harga di tingkat produsen dan konsumen, Indonesia memupuk cadangan pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (BULOG). Dalam melaksanakan tugasnya, BULOG melakukan pengadaan dalam negeri dan impor (jika pengadaan dalam negeri tidak mencapai target). Selama periode 1983 – 2011, rata-rata pengadaan beras dalam negeri mencapai 1.83 juta ton. Pengadaan terendah adalah pada Tahun 1998 yaitu 250 ribu ton, sedangkan yang tertinggi adalah pada Tahun 2009 yaitu 3.6 juta ton.

15. Dalam hal impor beras, selama periode 1983 – 2011 rata-rata impor beras Indonesia per tahun adalah sekitar 744 ribu ton. Negara pemasok utama impor beras Indonesia adalah Thailand dan Vietnam. Selama periode tersebut, Indonesia tidak mengimpor beras sebanyak lima kali yaitu pada Tahun 1985, 1986, 1988, 1993, dan 2009. Impor terbesar terjadi pada Tahun 1998 yaitu 5.959 juta ton. Kondisi ini disebabkan produksi beras pada tahun tersebut turun drastis akibat El Nino dahsyat yang berlangsung mulai Bulan April 1997 – Agustus 1998 dan terkait pula dengan krisis ekonomi 1998. 2.3. Harga Internasional vs Harga Dalam Negeri

16. Secara umum, harga eceran beras di dalam negeri lebih tinggi daripada harga beras di pasar internasional. Selama tahun 1983 – 2011, rata-rata harga eceran beras di Indonesia pernah mengalami lima kali periode lebih rendah dari harga internasional yaitu: (i) Januari – Juli 1988, (ii) Mei 1989 – April 1990, (iii) Januari – Mei 1994, (iv) Januari – September 1998, dan (v) April – November 2008 (Gambar 2).

17. Pada saat ini rata-rata harga eceran beras kualitas medium di kota-kota besar berkisar antara Rp. 7000 – 8000/Kg, sedangkan di pedesaan berkisar antara Rp. 5900 – Rp. 7500/Kg. Hasil analisis menunjukkan bahwa sejak reformasi harga beras menjadi lebih volatil. Pola kenaikan harga beras antar waktu (antar bulan) cenderung bersifat khas dan faktor penyebabnya terkait

(5)

dengan masa panen dan musim paceklik serta siklus permintaan yang terkait dengan hari-hari besar keagamaan. Mengamati kenaikan harga dari bulan ke bulan, persentase tertinggi terjadi pada Bulan Desember – Januari, sedangkan yang terendah adalah Bulan Februari – Maret (Gambar 3 dan Gambar 4). 18. Bahwa harga di dalam negeri lebih tinggi daripada harga di pasar

internasional disebabkan banyak faktor. Beberapa faktor terpenting adalah sebagai berikut:

 Adanya kebijakan harga dasar/harga pembelian pemerintah. Setiap tahun pemerintah menaikkan harga pembelian pemerintah (dahulu harga dasar). Sasaran kebijakan adalah untuk menjaga agar harga gabah di tingkat petani tidak jatuh, terutama ketika panen raya. Selain untuk mengkondisikan agar petani tidak merugi, kebijakan ini juga ditujukan untuk meningkatkan motivasi petani agar bergairah menanam padi. Dalam konteks ini, kondisi yang dihadapi memang dilematis. Jika tidak dilakukan maka gairah petani untuk menanam padi menurun; namun jika dilakukan maka harga beras menjadi lebih mahal karena meningkatnya harga gabah menyebabkan harga beras juga meningkat. Berpijak pada kondisi obyektif di lapangan, peningkatan pendapatan melalui subsidi input saja tidak cukup; karena seiring dengan inflasi maka pada saat yang sama pengeluaran petani untuk mencukupi kebutuhan hidupnya juga meningkat.

 Struktur pasar gabah dan beras Indonesia yang masih belum efisien. Indikatornya adalah tingginya margin pemasaran. Saat ini margin pemasaran gabah adalah sekitar 19 – 28 persen. Tingginya margin pemasaran terkait dengan kondisi berikut: (i) tingginya biaya transportasi dari sentra-sentra produksi – sentra-sentra konsumsi, (ii) struktur pasar gabah oligopsonistik, sedangkan struktur pasar beras cenderung oligopolistik. Kondisi ini tidak terlepas dari kondisi berikut: (a) sebaran spatial unit-unit produksi beras sangat tersebar dan kecil-kecil, (b) wilayah Indonesia sangat luas dan berupa kepulauan sehingga biaya angkut per unit volume produk mahal, dan (c) persebaran penduduk antar pulau timpang: lebih dari 50 persen penduduk bermukim di Pulau Jawa sedangkan hamparan lahan yang memungkinkan untuk perluasan areal persawahan berada di Luar Pulau Jawa.

(6)

2.4. Aspek Usahatani dan Pemasaran

19. Lebih dari 90 persen produksi besar Indonesia dihasilkan dari usahatani padi di lahan sawah. Saat ini populasi petani padi di Indonesia diperkirakan sekitar 15 juta rumah. Sebaran spatialnya dapat disimak pada Tabel ...

20. Lahan sawah di Indonesia adalah sekitar 7.23 juta hektar (Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian, Kementerian Pertanian) terdiri atas sawah beririgasi teknis/semi teknis 3.1 juta hektar, lahan sawah beririgasi sederhana sekitar 1.5 juta hektar, lahan sawah tadah hujan sekitar 1.9 juta hektar, dan sisanya lahan sawah pasang surut dan sawah lebak. 21. Sawah adalah lahan usahatani pangan yang paling produktif. Persaingan

pemanfaatan antar komoditas sangat tinggi, terutama antara padi dan jagung pada MT II. Bahkan di sejumlah daerah irigasi di Jawa Timur seperti di Kediri, Nganjuk, Jombang, dan Ngawi persaingan dengan usahatani jagung tidak hanya terjadi pada MT II tetapi terjadi pula pada MT I. Hal ini terkait dengan tingginya profitabilitas usahatani jagung, terutama sejak jagung hibrida berkembang pesat di wilayah tersebut.

22. Produktivitas usahatani padi petani Indonesia termasuk cukup tinggi. Saat ini rata-rata mencapai sekitar 49.8 kuintal GKG/hektar/musim, dengan kisaran antara 28 – 90 kuintal/hektar per musim. Tingkat efisiensi teknis yang dicapai petani juga cukup tinggi yakni sekitar 0.78 (maksimum 1), dengan kisaran antara 0.23 – 0.99. Dengan harga gabah kering panen sekitar Rp. 3200/Kg, rata-rata pendapatan bersih usahatani padi adalah sekitar sekitar Rp. 10.5 juta/hektar. Di sejumlah daerah terdapat beberapa petani yang mampu memperoleh keuntungan usahatani padi sampai Rp. 12 juta/hektar, namun di sisi lain sejumlah petani ada pula yang gagal panen karena terkena banjir, kekeringan, ataupun akibat gangguan OPT.

23. Meskipun pendapatan bersih usahatani per hektar cukup besar namun rata-rata pendapatan petani dari usahatani padi relatif kecil karena luas garapannya sangat sempit. Rata-rata luas garapan per petani per musim di Pulau Jawa adalah sekitar 0.32 hektar, sedangkan di Luar Pulau Jawa sekitar 0.7 hektar. Intensitas tanam padi di pesawahan di Pulau Jawa adalah sekitar 1.76, sedangkan di Luar Pulau Jawa sekitar 1.14. Di sejumlah wilayah, upaya untuk meningkatkan intensitas tanam masih dimungkinkan, terutama di pesawahan irigasi teknis di Luar Pulau Jawa. Sebagai bandingan, rata-rata luas garapan usahatani padi petani Thailand adalah 2.7 hektar, petani Vietnam 1.1 hektar, bahkan petani padi China juga di atas 0.5 hektar.

(7)

24. Implikasi dari luas penguasaan garapan usahatani yang kecil sangat luas, antara lain:

 Sebagian besar petani padi tidak dapat mengandalkan usahatani padi sebagai andalan pendapatan rumah tangga. Mereka melakukan kegiatan di luar usahatani padi, baik di sektor pertanian maupun non pertanian. Latar belakang profesi yang sangat beragam itu menyebabkan heterogenitas kepentingan dan minat juga beragam dan tidak kondusif untuk pembentukan kelompok tani yang solid. Faktanya, sampai saat ini kinerja Kelompok Tani ataupun Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) tidak mencapai sasaran yang diharapkan.

 Tidak kondusif untuk mendukung investasi secara swadaya maupun untuk mencari sumber-sumber inovasi secara mandiri.

 Menyebabkan daya tawar petani di pasar masukan maupun hasil pertanian menjadi lemah.

 Merupakan salah satu penyebab makin lemahnya motivasi petani untuk mempertahankan lahan sawah dari ancaman konversi ke penggunaan lain, baik untuk pertanian non sawah maupun untuk penggunaan non pertanian.

25. Pemasaran dari petani (gabah) – konsumen (beras) bervariasi. Pola paling umum adalah petani – pedagang pengumpul/penebas – pedagang besar/ penggilingan padi – grosir beras – pasar/kios eceran. Kebiasaan petani menyimpan gabah sendiri untuk pemenuhan konsumsi rumah tangganya cenderung makin menurun, terutama di wilayah yang infrastruktur pemasarannya baik. Hal ini logis mengingat aktivitas menyimpan gabah membutuhkan tenaga dan biaya, petani membutuhkan uang dalam waktu cepat (untuk modal musim tanam berikutnya dan membayar hutang), sementara itu tidak ada jaminan bahwa harga jual gabahnya di waktu mendatang ketika ingin menjual bisa lebih tinggi secara significant.

26. Adalah fakta bahwa dalam era ekonomi modern, kelembagaan distribusi barang dan jasa paling efisien dan karena itu paling populer adalah pasar. Namun pasar tidak berkepentingan dengan dimensi pemerataan. Dalam sistem ekonomi pasar, prinsip keadilan adalah: yang lebih efisien akan memperoleh manfaat lebih banyak. Berpijak pada argumen inilah intervensi pasar oleh pemerintah perlu dilakukan, meskipun tentu saja tidak dapat berlebihan agar tidak kontra produktif.

27. Dalam sistem ekonomi dimana pasokan dan permintaan digerakkan oleh mekanisme pasar maka harga, pasokan, dan permintaan merupakan variabel

(8)

endogen; artinya ditentukan oleh sistem secara simultan. Harga ditentukan oleh keseimbangan penawaran dan permintaan. Jika terjadi kelebihan permintaan maka harga naik; sebaliknya jika terjadi kelebihan penawaran maka harga turun. Pada sisi penawaran, produsen akan menawarkan lebih banyak komoditas di pasar jika harganya meningkat; sedangkan pada sisi permintaan yang terjadi sebaliknya: konsumen akan mengurangi kuantitas yang diminta jika harganya meningkat.

28. Sejak reformasi terdapat kecenderungan bahwa sistem pemasaran gabah dan beras justru kurang efisien. Penyebabnya terkait dengan tingginya biaya pengangkutan akibat kondisi prasarana transportasi yang menurun, meningkatnya kemacetan, dan semakin terfragmentasi usahatani padi karena konsolidasi usahatani berbasis hamparan mengalami degradasi.

III. SIMPUL-SIMPUL PERMASALAHAN

29. Permasalahan yang dihadapi sektor pertanian dalam memacu pertumbuhan produksi padi dan meningkatkan pendapatan petani dapat dipilah menjadi dua kategori yaitu: (i) permasalahan yang solusinya memerlukan pendekatan fundamental, jangka panjang, dan bersifat lintas sektor, (ii) permasalahan yang solusinya dapat ditempuh melalui pendekatan teknis dan kebijakan sektoral, meskipun tentu saja membutuhkan dukungan dari sektor lain. 30. Termasuk dalam kategori (i) tersebut di atas adalah: (a) struktur pertanian

penghasil padi yang kecil-kecil (terutama di Pulau Jawa), (b) konversi lahan sawah ke penggunaan lain yang sangat sulit dikendalikan/diminimalkan, (c) proses degradasi sumberdaya lahan dan air yang sulit dikendalikan karena menyangkut kepentingan yang sifatnya sangat luas dan lintas sektor, (d) perluasan lahan pertanian berlangsung sangat lambat karena anggaran sangat terbatas, lahan yang “favorable” untuk usahatani padi semakin terbatas, dan program transmigrasi dalam skala besar sulit diwujudkan, (e) belum terbentuknya kesepakatan dan komitmen yang kuat antar penguasa wilayah otonom bahwa keberlanjutan swasembada pangan merupakan bagian pokok dari kebijakan nasional, (f) degradasi infrastruktur pertanian (terutama irigasi) dan infrastruktur pedesaan terus terjadi, sedangkan rehabilitasi/pengembangannya kurang sepadan.

31. Termasuk kategori (ii) antara lain adalah: (a) senjang produktivitas usahatani padi di tingkat usahatani dengan di tingkat uji lapang yang masih cukup besar, (b) senjang produktivitas dalam komunitas petani antara petani yang termasuk kategori ‘maju’ dengan yang ‘masih tertinggal’, (c) makin

(9)

menurunnya produktivitas marginal masukan usahatani sebagai akibat dari degradasi kesuburan fisik dan kimia tanah, (d) masih tingginya kehilangan hasil di tingkat usahatani maupun dalam proses panen dan pasca panen, (e) masih lemahnya kelembagaan asosiasi petani yang memungkinkan petani dapat meningkatkan posisi tawarnya di pasar masukan maupun pasar keluaran hasil usahataninya.

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

32. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tingkat swasembada beras Indonesia termasuk kategori sedang – baik. Meskipun demikian, produksi beras harus dapat dipacu karena sebagai dampak dari perubahan iklim diperkirakan prospek pangan global cukup mengkhawatirkan.

33. Berpijak pada kondisi obyektif struktur penguasaan lahan petani padi yang didominasi unit-unit usahatani skala kecil, proses pemacuan produktivitas sangat membutuhkan pendekatan komprehensif dan bersifat lintas sektor. Termasuk dalam konteks ini adalah: (i) akselerasi rehabilitasi dan pengembangan infrastruktur pertanian dan pedesaan, (ii) akselarasi perluasan lahan sawah baru, (iii) pengendalian konversi lahan sawah ke penggunaan lain, (iv) revitalisasi pengembangan sentra-sentra produksi padi di Luar Pulau Jawa yang terintegrasi dengan program transmigrasi, dan (v) penguatan dan sinkronisasi komitmen antar wilayah otonom untuk mewujudkan swasembada beras dalam rangk mendukung ketahanan pangan nasional. Seraya bergegas melaksanakan program tersebut di atas, program jangka pendek yang harus dipacu adalah peningkatan produktivitas usahatani padi, minimalisasi kehilangan hasil di level usahatani – pasca panen, dan perbaikan sistem pemasaran gabah dan beras yang intinya adalah meningkatkan arus transportasinya.

(10)

 

Tabel 1.  Elastisitas permintaan (own price elasticity) beras di Indonesia *)  

Golongan pendapatan rumah tangga Perkotaan Perdesaan Kota + Desa Kelompok pendapatan 40 persen terendah -0.413 -0.781 -0.685 Kelompok pendapatan 40 persen tengah -0.318 -0.549 -0.394 Kelompok pendapatan 20 persen teratas -0.206 -0.416 -0.287 Agregat seluruh rumah tangga -0.345 -0.599 -0.484 *) diolah dari data SUSENAS 2008. 

Tabel 2.  Elastisitas permintaan beras terhadap perubahan pendapatan *) 

Golongan pendapatan rumah tangga Perkotaan Perdesaan Kota + Desa Kelompok pendapatan 40 persen terendah 0.795 0.884 0.927 Kelompok pendapatan 40 persen tengah 0.718 0.880 0.888 Kelompok pendapatan 20 persen teratas 0.572 0.811 0.793 Agregat seluruh rumah tangga 0.699 0.786 0.695 *) Diolah dari SUSENAS 2008. 

Tabel 3. Rata-rata pertumbuhan luas panen, produksi dan produktivitas padi, jagung, dan kedele Indonesia antar periode (persen/tahun).

Periode Luas Panen Produksi Produktivitas

Padi Jagung Kedele Padi jagung Kedele Padi jagung Kedele 1985 – 1990 1.19 8.48 10.85 3.02 12.03 13.45 1.77 3.79 2.86 1990 – 1995 1.76 4.22 2.65 2.01 5.58 3.02 0.22 1.16 0.43 1995 – 2000 0.75 -0.42 -10.27 0.64 3.41 -4.53 0.28 4.19 1.67 2000 – 2005 0.02 0.88 -4.69 0.89 5.43 -3.62 0.78 4.57 1.07 2005 – 2011 1.90 1.32 1.75 3.76 8.63 4.96 1.38 5.17 1.36     *) didasarkan atas kondisi dari tahun 1994 – 2010 

(11)

Gambar 1. Pola Bulanan Luas Tanam Padi Indonesia.

Gambar 2. Perkembangan rata-rata harga eceran beras di kota-kota besar di Indonesia dan perbandingannya dengan harga beras di pasar internasional

Keterangan: Harga di pasar internasional adalah beras Thai (broken 25 %) dalam FOB yang telah dikalikan dengan kurs pada bulan dan tahun yang bersangkutan.

                              Gambar 3. Pola Sebaran Temporal Rata-Rata Kenaikan Harga Eceran Beras

(12)

Rataan CV Min  Maks  Jakarta     Des ‐ Jan 4.69 0.95 ‐1.47  16.16  Jan ‐ Feb 3.23 1.09 ‐2.36  11.20  Feb ‐ Mar ‐2.70 ‐1.75 ‐16.96  5.40  Mar ‐ Apr ‐2.42 ‐0.89 ‐7.32  0.45  Apr ‐ Mei ‐1.11 ‐3.86 ‐12.32  10.36  Mei ‐ Jun 0.41 13.79 ‐7.20  26.39  Jun ‐ Jul 1.73 2.88 ‐7.52  19.16  Jul ‐ Ags 2.36 2.33 ‐5.57  21.04  Ags ‐ Sep 1.53 2.70 ‐3.34  18.36  Sep ‐ Okt 1.30 3.56 ‐11.81  15.64  Okt ‐ Nov 1.84 1.82 ‐5.81  10.83  Nov ‐ Des 2.64 1.21 ‐2.34  11.21  Bandung     Des ‐ Jan 3.89 1.78 ‐3.75  29.37  Jan ‐ Feb 1.75 3.35 ‐6.82  26.60  Feb ‐ Mar ‐2.68 ‐1.21 ‐10.89  3.06  Mar ‐ Apr ‐3.20 ‐1.33 ‐13.69  4.54  Apr ‐ Mei ‐1.77 ‐2.05 ‐13.21  3.43  Mei ‐ Jun 2.26 3.71 ‐1.16  46.11  Jun ‐ Jul 2.77 1.46 ‐5.56  12.63  Jul ‐ Ags 3.58 1.87 ‐3.33  24.83  Ags ‐ Sep 3.27 1.78 ‐5.22  19.55  Sep ‐ Okt 0.74 5.61 ‐10.10  12.32  Okt ‐ Nov 1.45 1.78 ‐3.22  10.39  Nov ‐ Des 1.58 2.70 ‐12.06  14.25  Makassar     Des ‐ Jan 2.24 2.85 ‐5.85  30.72  Jan ‐ Feb 1.86 2.50 ‐2.55  20.71  Feb ‐ Mar 0.08 40.30 ‐7.78  12.29  Mar ‐ Apr 0.58 10.21 ‐5.46  22.22  Apr ‐ Mei ‐1.53 ‐2.49 ‐18.18  2.06  Mei ‐ Jun 0.70 5.29 ‐2.75  19.58  Jun ‐ Jul 0.22 16.96 ‐13.53  14.09  Jul ‐ Ags 1.24 2.83 ‐4.61  17.04  Ags ‐ Sep 0.75 6.43 ‐14.13  17.66  Sep ‐ Okt 1.03 1.97 ‐1.73  7.30  Okt ‐ Nov 3.74 1.74 ‐3.46  24.71  Nov ‐ Des 2.49 2.66 ‐19.82  13.80     

Gambar 7. Rata-Rata Kenaikan Bulanan Harga Beras Eceran di Jakarta, Bandung, dan Makassar Pada Kurun Waktu 1985 – 2011 (persen per bulan).

Gambar

Tabel 1.  Elastisitas permintaan (own price elasticity) beras di Indonesia *)  
Gambar 2. Perkembangan rata-rata harga eceran beras di kota-kota besar di         Indonesia dan perbandingannya dengan harga beras di pasar         internasional
Gambar 7.  Rata-Rata Kenaikan Bulanan Harga Beras Eceran di Jakarta, Bandung,          dan Makassar Pada Kurun Waktu 1985 – 2011 (persen per bulan)

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu peneliti terdorong untuk melakukan suatu penelitian dengan judul “Eksperimentasi pengajaran matematika dengan metode demonstrasi pada pokok bahasan kubus dan

Melalui kegiatan ini para pengunjung (yang umumnya adalah pelajar) bukan saja diberikan suatu pendidikan konservasi yang bersifat rekreatif dan menyenangkan tetapi

Bagi saya sekiranya pelajar mempunyai kecerdasan emosi yang stabil dan mantap maka segala kerja-kerja yang dilakukan dapat dilaksanakan dengan lebih berkesan lebih efektif

[r]

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada siswa MI BPI Kampung Baru, peneliti memperoleh dan mengumpulkan data melalui instrumen tes tentang skor pemahaman

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa Reliabilitas tes bentuk pilihan ganda dengan tiga pilihan jawaban lebih tinggi

Inventarisasi Permasalahan Guru Pemula dan Upaya Guru Pakar serta Kepala Sekolah dalam Mengatasi Permasalahan Guru Pemula (Terkait Empat Kompetensi Guru dalam Pembelajaran

Seluruh Dosen Jurusan Teknik Industri Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah memberikan ilmu kepada saya selama 4 tahun mencari ilmu.. General Manager