HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi PenelitianPropinsi Banten terdiri dari tujuh Kabupaten/Kota yang diantaranya Pandeglang, Lebak, Tangerang, Serang, Kota Tangerang, Cilegon, dan Kota Serang. Dari ketujuh wilayah Kabupaten/Kota tersebut, Lebak merupakan Kabupaten dengan wilayah terluas yaitu 3 044.72 Km2. Kabupaten Lebak beribukota di Rangkasbitung. Kabupaten Lebak terdiri dari 28 Kecamatan dan 320 Desa/Kelurahan. Berdasarkan data Susenas (2007) kepadatan penduduk di Lebak berkisar antara 395 – 397.46 jiwa per Km2.
Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian di Provinsi Banten menurut Susenas (2007) paling banyak terpusat di wilayah Pandeglang dan Lebak. Bila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di Provinsi Banten, jumlah industri yang ada di Kabupaten Lebak paling rendah yaitu hanya 13 unit, paling tinggi adalah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang yaitu mencapai 185 – 950 unit.
Kecamatan Cileles dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan wilayah basis perkebunan. Luas wilayahnya 17 211.90 Ha, jarak ke ibukota Kabupaten mencapai 46.08 Km. Kecamatan Cileles terdiri dari 12 Desa/Kelurahan, diantaranya Mekarjaya, Pasindangan, Kujangsari, Parungkujang, Cikareo, Cileles, Margamulya, Cipadang, Daroyon, Prabugantungan, Gumuruh, dan Banjarsari. Desa Pasindangan dipilih sebagai lokasi penelitian karena mewakili potensi desa tipe 3, dimana desa tipe 3 memiliki potensi aktivitas non pertanian rendah dan kualitas kesejahteraan rendah.
Kecamatan Warunggunung merupakan salah satu Kecamatan yang menjadi basis pertanian di Kabupaten Lebak. Luas wilayahnya 5 422.00 Ha, jarak ke Ibokota Kabupaten sebesar 11.67 Km. Kecamatan Warunggunung terdiri dari 12 Desa/Kelurahan, diantaranya Pasir Tangkil, Sukarendah, Selaraja, Warunggunung, Cibuah, Baros, Sindangsari, Banjarsari, Cempaka, Padasuka, Sukaraja, dan Jagabaya. Desa Banjarsari dipilih sebagai lokasi penelitian karena mewakili potensi desa tipe 2, dimana desa tipe 2 memiliki potensi aktivitas ekonomi non pertanian rendah dan kualitas kesejahteraan tinggi.
Desa Pasindangan
Desa Pasindangan merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Cileles Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan luas wilayah 3 297.2 Ha. Jarak
Desa Pasindangan dari ibu kota kecamatan adalah tujuh kilometer. Desa Pasindangan terbagi dalam tujuh kampung yang terdiri dari tujuh Rukun Warga (RW) dan 17 Rukun Tetangga (RT). Batas wilayah Desa Pasindangan diantaranya sebelah utara berbatasan dengan Desa Bendungan, Desa Kumpai, dan Desa Cipadang. Kemudian di sebelah timur desa berbatasan dengan Desa Kujangsari, dan Desa Cikareo, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cinginggang, dan sebelah barat dengan Desa Mekarjaya. Desa Pasindangan termasuk desa yang luas dibandingkan dengan desa-desa di wilayah Kecamatan Cileles lainnya, bahkan menjadi yang terluas diantara desa-desa disekitarnya yang berada dalam satu kecamatan, Desa Cipadang memiliki luas 1 388 Ha, Desa Kujangsari 1 891 Ha, dan Desa Cikareo 2 065 Ha. Luas lahan yang cukup luas di Desa Pasindangan masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sendiri, sebagian besar lahan dimanfaatkan sebagai wilayah perkebunan oleh pihak swasta dan pemerintah, sebagian lainnya untuk perkebunan rakyat, pertanian, pemukiman dan lain-lain. Pemanfaatan lahan di Desa Pasindangan ditunjukkan oleh tabel berikut :
Tabel 3 Pemanfaatan lahan Desa Pasindangan
No Pemanfaatan Lahan Luas (ha) % Luas terhadap
Luas Wilayah
1 Pemukiman dan pekarangan 28.8 0.87
2 Sawah irigasi setengah teknis 20.0 0.61
3 Sawah tadah hujan 194.0 5.88
4 Ladang/huma 350.0 10.62
5 Perkebunan rakyat 388.5 11.78
6 Perkebunan swasta 1 414.0 42.88
7 Lapangan olah raga 2.0 0.06
8 Kas desa 2.5 0.08
9 Kantor pemerintahan 0.2 0.01
10 Tanah fasilitas umum lainnya 18.0 0.55
11 Hutan lindung 190.0 5.76
12 Hutan produksi 595.0 18.05
13 Hutan konversi 94.2 2.86
Total 3 297.2 100.00
Pemanfaatan lahan Pasindangan sebagian besar digunakan untuk perkebunan, yaitu sebesar 42.88 persen (1 414 Ha) untuk perkebunan swasta dan 11.78 persen (388.5 Ha) sebagai perkebunan rakyat. Jika dilihat dari pemanfaatan lahannya, Desa Pasindangan merupakan kawasan perkebunan.
Jumlah penduduk Desa Pasindangan pada tahun 2006 tercatat sebanyak 3 589 jiwa yang terdiri dari 835 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk menurut
jenis kelamin yaitu, 1817 jiwa penduduk laki-laki dan 1772 jiwa penduduk perempuan.
Berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tinggi rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan penduduk Desa Pasindangan adalah sebagai berikut.
Tabel 4 Tingkat pendidikan penduduk Desa Pasindangan
No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) %
1 Tidak tamat SD/sederajat 245 17.7
2 Tamat SD/sederajat 655 47.4 3 Tamat SLTP/sederajat 305 22.0 4 Tamat SLTA/sederajat 147 10.6 5 Tamat D1 12 0.9 6 Tamat D2 9 0.6 7 Tamat D3 5 0.4
8 Tamat Perguruan Tinggi (S1) 5 0.4
Total 1 383 100.0
Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Desa Pasindangan masih tergolong rendah yang ditunjukkan oleh banyaknya penduduk yang hanya menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) sebesar 47.4 persen. Sedangkan penduduk yang mampu menyelesaikan pendidikan sampai perguruan tinggi hanya sebagian kecil, yaitu hanya sebesar 0.4 persen saja. Kondisi ini akan memberikan dampak pada kemampuan ekonomi penduduk dan besarnya peluang memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Tabel 5 menunjukkan jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan.
Tabel 5 Jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan
No Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) %
1 Petani 416 47.9 2 Buruh tani 56 6.4 3 Buruh/swasta 77 8.9 4 PNS 27 3.1 5 Pengrajin 25 2.9 6 Pedagang 255 29.4 7 Bengkel/montir 12 1.4 Total 868 100.0
Sebagian besar jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan sebagai Petani, yang terdiri dari petani (47.9%) dan buruh tani (6.4%). Pekerjaan yang terbanyak ditekuni oleh penduduk Desa Pasindangan setelah petani adalah pedagang, yaitu 29.4 persen.
Tersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan sangat menunjang dalam terciptanya kesejahteraan dalam masyarakat. Prasarana pendidikan yang ada pada Desa Pasindangan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 6 Prasarana pendidikan Desa Pasindangan
No Lembaga Pendidikan Jumlah
1 TK 1
2 SD 5
3 SMP 1
4 SMA 1
5 Lembaga Pendidikan Agama 3
Total 11
Jumlah tenaga pengajar untuk TK di desa ini hanya dua orang, di SD terdapat 27 orang, SMP memiliki sembilan tenaga pengajar, dan di SMA terdapat tiga orang pengajar serta enam orang pengajar pada lembaga pendidikan agama yang ada di Desa Pasindangan, sedangkan untuk prasarana kesehatan di Desa Pasindangan adalah sebagai berikut :
Tabel 7 Prasarana kesehatan Desa Pasindangan
No Lembaga Pendidikan Jumlah
1 Puskesmas Pembantu 1
2 Poliklinik/balai pengobatan 1
3 Posyandu 3
4 Tempat penyimpanan obat 1
Total 6
Prasarana kesehatan yang ada di Desa Pasindangan ini ditunjang oleh satu tenaga paramedis dan lima orang dukun terlatih.
Desa Banjarsari
Desa Banjarsari merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Warunggunung Kabupaten Lebak Provinsi Banten yang berbatasan dengan Desa Sukaraja di sebelah utara, Desa Cibuah di sebelah selatan, Desa Sindangsari di sebelah barat, dan Desa Padasuka di sebelah timur. Desa Banjarsari terletak di tengah wilayah Kecamatan Warunggunung dan mempunyai luas wilayah 519.69 Ha. Bila dibandingkan dengan desa lain di wilayah Kecamatan Warunggunung, Desa Banjarsari memiliki luas wilayah yang cukup luas, akan tetapi dengan desa sebelahnya seperti Cibuah, Sindangsari, Sukaraja ,dan Padasuka, Desa Banjarsari berada di urutan ketiga setelah Sukaraja (864 Ha) dan Padasuka (607 Ha). Dengan luas wilayah tersebut antara lain dimanfaatkan untuk pertanian, pemukiman, kas desa, sarana dan prasarana, dan
lain sebagainya. Adapun pemanfaatan lahan di Desa Banjarsari secara rinci ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 8 Pemanfaatan lahan Desa Banjarsari
No Pemanfaatan Lahan Luas (ha) Persentase
(%)
1 Pemukiman 71.0 13.7
2 Sawah :
Sawah irigasi setengah teknis 164.0 31.6
Sawah tadah hujan 97.0 18.7
3 Tanah rawa 0.5 0.1
4 Perkebunan rakyat 185.0 35.6
5 Perkebunan swasta 0 0
6 Lapangan olah raga 0 0
7 Kas desa 2.19 0.4
Total 519.69 100.0
Pemanfaatan lahan di Desa Banjarsari sebagian besar digunakan untuk pertanian. Jika dilihat dari pemanfaatan lahan, Desa Banjarsari merupakan kawasan pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh pemanfaatan lahan untuk pertanian maupun perkebunan yang cukup besar dibandingkan dengan pemanfaatan lahan lainnya, yaitu 164 Ha untuk sawah irigasi setengah teknis, 97 Ha untuk sawah tadah hujan, dan 185 Ha untuk perkebunan rakyat.
Wilayah Desa Banjarsari terbagi menjadi 6 RW dan 26 RT. Tahun 2008, jumlah penduduk sebanyak 4 702 jiwa yang terdiri dari 1 095 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk menurut jenis kelamin yaitu 2 407 jiwa penduduk laki-laki dan 2 295 jiwa penduduk perempuan.
Kualitas Sumberdaya manusia di Desa Banjarsari dapat diketahui dengan melihat tingkat pendidikan penduduk di desa ini. Tingkat pendidikan penduduk Desa Banjarsari ditunjukkan pada Tabel 9.
Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Desa Banjarsari tergolong rendah yang ditunjukkan oleh banyaknya penduduk yang hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) sedangkan penduduk yang mampu menyelesaikan pendidikan sampai tingkat yang lebih tinggi hanya sebagian kecil bahkan yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi sangat sedikit. Keadaan ini memberikan dampak pada kemampuan ekonomi penduduk dan besarnya peluang penduduk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Hal ini dibuktikan oleh jenis pekerjaan penduduk di Desa Banjarsari. Tabel berikut ini menunjukkan jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari.
Tabel 9 Tingkat pendidikan penduduk Desa Banjarsari
No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase
(%)
1 Tidak tamat SD/sederajat 0 0
2 Tamat SD/sederajat 1 704 71.1 3 Tamat SLTP/sederajat 401 16.7 4 Tamat SLTA/sederajat 261 10.9 5 Tamat D1 3 0.1 6 Tamat D2 3 0.1 7 Tamat D3 17 0.7
8 Tamat Perguruan Tinggi (S1) 9 0.4
Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari tidak beragam. Pada Tabel 10 ditunjukkan beberapa jenis pekerjaan penduduk di Desa Banjarsari.
Tabel 10 Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari
No Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)
1 Petani 1 638 61.5 2 Buruh tani 472 17.7 3 Buruh/swasta 403 15.1 4 PNS 19 0.7 5 Pengrajin 5 0.2 6 Pedagang 125 4.7 7 Bengkel/montir 3 0.1 Total 2 665 100
Dari 4 702 jiwa penduduk, hanya 2 665 jiwa penduduk yang memiliki pekerjaan tetap, sisanya 2 037 jiwa penduduk tidak teridentifikasi jenis pekerjaannya. Keberagaman jenis pekerjaan di Desa Banjarsari tidak beragam. Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari sebagian besar sebagai petani (61.5%) dan buruh tani (17.7%), sisanya terbanyak memiliki jenis pekerjaan sebagai buruh/swasta (15.1%) dan pedagang (4.7%). Berdasarkan data tahun 2008, potensi ekonomi yang paling menonjol dan sudah dikembang di Desa Banjasari adalah bidang industri pengolahan, perikanan, dan pertanian.
Berdasarkan data potensi desa 2008, jumlah prasarana kesehatan yang tersedia di Desa Banjarsari adalah 9 unit posyandu, 1 unit Poskesdes yang dikelola oleh 1 bidan. Selain itu tersedia 10 tenaga kesehatan tradisional yang terdiri dari 6 orang paraji, 2 orang pengobatan tradisional, dan 2 orang paraji terlatih. Jika dibandingkan dengan desa sekitarnya, sembilan unit Posyandu yang tersedia di Desa Banjarsari belum mampu memberikan pelayanan secara efektif, terlihat dari masih ada sekitar 4 balita di desa ini yang mengalami gizi
kurang dan gizi buruk, bahkan masih ada sejumlah balita gizi kurang lainnya yang tidak teridentifikasi oleh posyandu. Desa Banjarsari memiliki keterbatasan dalam pelayanan kesehatan, karena di desa sekitar terdapat paling tidak satu Dokter dan lebih dari satu Bidan yang memberikan pelayanan di Desa tersebut. Keterbatasan jumlah petugas maupun sarana kesehatan di desa ini menyebabkan masyarakat desa harus keluar desa untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih menunjang baik ke Puskesmas maupun praktek Dokter. Akan tetapi bagi mereka yang tidak memiliki cukup uang untuk menjangkau pelayanan tersebut maka mereka memilih meminta pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan tradisional yang ada di desanya.
Untuk sarana dan prasarana pendidikan di wilayah Desa Banjarsari terdapat 3 unit SD negeri dan 3 unit TPA. Keterbatasan sarana pendidikan ini menyebabkan banyak penduduk yang tidak dapat melanjutkan sekolah anaknya ke tingkat yang lebih tinggi, karena untuk melanjutkan sekolah mereka harus keluar desa dan jarak tempuh yang cukup jauh sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar apabila dibandingkan jika di desa tersebut tersedia sekolah lanjutan.
Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga Umur
Klasifikasi umur kepala rumahtangga (KRT) dibagi menjadi tiga kelompok umur berdasarkan Hurlock (1980), yaitu dewasa awal (18 – 39 tahun), dewasa madya (40 – 59 tahun), dan lansia (≥ 60 tahun). Klasifikasi umur kepala rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Klasifikasi umur KRT
Pasindangan Banjarsari Total
Kelompok Umur n % n % n % 18 – 39 tahun 8 16.0 19 37.3 27 26.7 40 - 59 tahun 37 74.0 21 41.2 58 57.4 ≥ 60 5 10.0 11 21.6 16 15.8 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0 Min-max 26-80 25-885 26-85 Rataan 46 ± 13.503 46.88 ± 10.056 46.44 ± 11.87
Dari kedua desa terlihat bahwa sebaran umur kepala rumahtangga berkisar antara 26 sampai 85 tahun, dan rataan 46.44 ± 11.87. Sebaran umur KRT terbesar (57.4%) berada pada kelompok umur dewasa madya (40-59 tahun), selanjutnya sebanyak 26.7 persen merupakan KRT dengan kelompok umur dewasa awal, dan terakhir 15.8 persen KRT tergolong kelompok umur
lansia (≥ 60 tahun). Apabila dilihat berdasarkan sebaran umur perdesa maka dapat terlihat sebaran umur kepala rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 26 tahun hingga 80 tahun, dan rataan 46 ± 13.503, 74 persen KRT berada pada kelompok umur dewasa madya (40 – 59 tahun), 16 persen KRT lainnya berada pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun), dan sisanya 10 persen KRT termasuk kelompok umur lansia (≥ 60 tahun), sehingga di Desa Pasindangan sebaran umur kepala keluarga terbesar adalah pada sebaran umur dewasa madya. Berbeda dengan Desa Pasindangan, sebaran umur kepala rumahtangga di Desa Banjarsari berkisar antara 25-85 tahun, dan rataan 46.88 ± 10.056. Kondisi yang sama terjadi pada Desa Banjarsari dimana sebaran umur terbanyak berada pada kelompok umur dewasa madya (40 – 59 tahun) sebanyak 41.2 persen, selanjutnya KRT pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun) sebanyak 26.7 persen, terakhir sebanyak 15.8 persen KRT berada pada kelompok umur lansia (≥ 60 tahun).
Tabel 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan ketahanan pangan dan umur KRT
Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Pangan Berat Rawan Pangan Sedang Rawan Pangan Ringan Tahan Pangan Total Kelompok Umur n % n % n % n % n % 18 - 39 tahun 9 34.6 2 40.0 0 0 16 25.4 27 26.7 40 - 59 tahun 14 53.8 3 60.0 4 57.1 3 58.7 58 57.4 ≥ 60 tahun 3 11.5 0 0 3 42.9 10 15.9 16 15.8 Jumlah 26 100.0 5 100.0 7 100.0 63 100.0 101 100.0
Sebaran ketahanan pangan rumahtangga berdasarkan umur KRT dapat dilihat pada Tabel 12. Sebaran rumahtangga tahan pangan berdasarkan kelompok umur KRT menunjukkan bahwa umur KRT pada rumahtangga tahan pangan sebagian besar (58.7%) termasuk kelompok umur dewasa madya (40-59 tahun), sisanya masing-masing sebanyak 25.4 persen dan 15.9 persen termasuk kelompok umur dewasa awal dan lansia. Pada rumahtangga rawan pangan ringan, sebagian besar (57.1%) KRT termasuk kelompok umur dewasa madya, sisanya sebanyak 42.9 persen termasuk ke dalam kelompok umur lansia (≥ 60 tahun). Pada rumahtangga rawan pangan sedang, sebagian besar (60%) KRT termasuk ke dalam kelompok umur dewasa madya, sisanya (40%) termasuk kelompok umur dewasa muda. Pada rumahtangga rawan pangan berat, sebanyak 53.8 persen rumahtangga tersebut memiliki KRT yang termasuk
ke dalam kelompok umur dewasa madya, sisanya (34.6% dan 11.5%) termasuk kelompok umur dewasa muda dan lansia.
Klasifikasi umur ibu rumahtangga (IRT) dibagi menjadi tiga kelompok umur, yaitu dewasa awal (18 – 39 tahun), dewasa madya (40 – 59 tahun), dan lansia (≥ 60 tahun). Klasifikasi umur IRT dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 13 Klasifikasi umur IRT
Pasindangan Banjarsari Total
Kelompok umur n % n % n % 18–39 tahun 23 46.0 24 47.1 47 46.5 40-59 tahun 23 46.0 25 49.0 48 47.5 ≥ 60 4 8.0 2 3.9 6 5.9 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0 Min-max 25-65 20-75 20-75 Rataan 41.62 ± 8.739 39.96 ± 12.260 40.78 ± 10.643
Dilihat berdasarkan tabel klasifikasi umur IRT di atas, terlihat bahwa kisaran umur ibu di kedua desa antara 20-75 tahun, dan rataan 40.78 ± 10.643, rata-rata umur ibu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata umur kepala rumahtangga. Distribusi umur ibu terbanyak (47.5%) berada pada kelompok umur dewasa madya (40 – 59 tahun), sebaran berikutnya (46.5%) berada pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun), dan terakhir (5.9%) berada pada kelompok umur lansia (≥ 60 tahun). Apabila dilihat berdasarkan sebaran umur ibu di tiap desa maka untuk Desa Pasindangan sebaran umur ibu berkisar antara 25 hingga 65 tahun dengan rataan 41.62 ± 8.739. Sebaran umur ibu di Desa Pasindangan berkisar pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun) dan dewasa madya (40 – 59 tahun) dengan proporsi persentase yang sama (46%) dan sisanya berada pada kelompok umur lansia (≥ 60 tahun). Sebaran umur ibu di Desa Banjarsari berkisar antara 20 sampai 75 tahun dan rataan 39.96 ± 12.260. Sebaran terbanyak (49%) berada pada kelompok umur dewasa madya (40 – 59 tahun), sedangkan sebanyak 47.1 persen ibu berada pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun) dan sebanyak 3.9 persen ibu berada pada kelompok umur lansia (≥ 60 tahun).
Pendidikan
Klasifikasi pendidikan didasarkan pada lama sekolah yang dilakukan oleh contoh tetapi tidak terhitung tinggal kelas, sehingga dibedakan menjadi 5 kelompok yaitu TS (tidak sekolah), SD (6 tahun), SMP (9 tahun), SMA (12 tahun), dan PT/perguruan tinggi (16 tahun). Klasifikasi pendidikan anggota rumahtangga (ART) disajikan pada Tabel 14.
Berdasarkan Tabel 14, lama sekolah anggota rumah tangga berkisar antara 0-16 tahun, dengan rataan 4.44 ± 3.461. Sebaran pendidikan terbesar (55.4%) di kedua desa adalah SD, TS (23.5%), SMP (15.7%), SMA (5.0%), dan sebagian kecil (0.4%) adalah PT.
Tabel 14 Klasifikasi pendidikan ART
Pasindangan Banjarsari Total
Pendidikan n % n % n % TS 58 23.0 65 24 123 23.5 SD 139 55.2 151 55.7 290 55.4 SMP 36 14.3 46 17.0 82 15.7 SMA 18 7.1 8 3.0 26 5.0 PT 1 0.4 1 0.4 2 0.4 Jumlah 252 100 271 100 523 100 Min-max 0-13 0-16 0-16 Rataan 4.53 ± 3.526 4.37± 3.404 4.44 ± 3.461
Apabila dilihat berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan anggota rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 13 tahun dan rataan 4.53 ± 3.526, terdiri dari contoh terbanyak (55.2%) tersebar pada SD, kemudian TS (23%), SMP (14.3%), SMA (7.1%), dan terakhir PT (0.14%), sedangkan di desa Banjarsari sebaran pendidikan anggota rumah tangga berkisar antara 0 (TS) hingga 16 tahun (PT) dan rataan 4.37± 3.404. sebaran terbanyak (55.7%) adalah SD, TS (24%), SMP (17%), SMA (3%), dan terakhir PT (0.4%). Tingkat pendidikan anggota rumahtangga di kedua desa sudah cukup baik, terdapat 2 contoh yang telah mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal ini dapat dikatakan baik melihat kondisi wilayah kedua desa yang cukup terbatas sarana pendidikannya, khususnya Desa Pasindangan yang letaknya jauh dari pusat kota kabupaten. Akan tetapi masih banyak pula anggota rumahtangga yang tidak sekolah, diduga contoh yang tidak sekolah adalah contoh dalam kelompok umur dewasa madya dan lansia.
Tabel 15 Klasifikasi pendidikan KRT
Pasindangan Banjarsari Total
Pendidikan n % n % n % TS 7 14.0 4 7.8 11 10.9 SD 37 74.0 37 72.5 74 73.3 SMP 2 4.0 7 13.7 9 8.9 SMA 4 8.0 3 5.9 7 6.9 PT 0 0 0 0 0 0 Jumlah 50 100 51 100 101 100.0 Min-max 0-12 0-12 0-12 Rataan 4.68 ± 3.113 5.41 ± 2.872 5.05 ± 3.001
Berdasarkan Tabel 15 lama sekolah kepala rumahtangga berkisar antara 0-12 tahun atau TS hingga ada yang SMA, dengan rataan 5.05 ± 3.001. Sebaran pendidikan terbesar (73.3%) di kedua desa adalah SD, TS (10.9%), SMP (8.9%), SMA (6.9%), dan tidak ada yang lulus PT (0%). Tingkat pendidikan kepala rumahtangga masih rendah karena hampir setengah dari jumlah contoh hanya bersekolah hingga bangku SD.
Bila dilihat lebih rinci berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan kepala rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 12 tahun dan rataan 4.68 ± 3.113, terdiri dari contoh terbanyak (74%) tersebar pada SD, kemudian TS (14%), SMP (4%), SMA (8%), dan terakhir PT (0%). Di Desa Banjarsari sebaran pendidikan kepala rumahtangga berkisar antara 0 (TS) hingga 12 tahun (SMA) dan rataan 5.41 ± 2.872. Sebaran terbanyak (72.5%) adalah SD, TS (7.8%), SMP (13.7%), SMA (5.9%), dan terakhir PT (0%). Berdasarkan analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= -0.040, p>0.05) antara pendidikan KRT dengan ketahanan pangan rumahtangga.
Tabel 16 Klasifikasi pendidikan IRT
Pasindangan Banjarsari Total
Pendidikan n % n % n % TS 14 28.0 6 11.8 20 19.8 SD 33 66.0 37 72.5 70 69.3 SMP 1 2.0 6 11.8 7 6.9 SMA 2 4.0 1 2.0 3 3 PT 0 0 1 2.0 1 1 Jumlah 50 100 51 100 101 100 Min-max 0-12 0-16 0-16 Rataan 3.62 ± 2.989 5.06 ± 3.107 4.35 ± 3.119
Berdasarkan Tabel 16 lama sekolah ibu rumahtangga berkisar antara 0-16 tahun atau TS hingga PT, dengan rataan 4.35 ± 3.119. Rata-rata lama sekolah ibu lebih tinggi dari lama sekolah ayah yaitu 16 tahun. Sebaran pendidikan terbesar (69.3%) di kedua desa adalah SD, TS (19.8%), SMP (6.9%), SMA (3%), dan PT (1%). Tingkat pendidikan ibu masih dikatakan rendah, karena sebagian besar contoh hanya sekolah sampai tingkat SD sama seperti kepala rumahtangga.
Bila dilihat lebih rinci berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan ibu rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 12 tahun dan rataan 3.62 ± 2.989, terdiri dari contoh terbanyak (66.0%) tersebar pada SD, kemudian
TS (28.0%), SMP (2.0%), SMA (4.0%), dan terakhir PT (0%). Sedangkan di Desa Banjarsari sebaran pendidikan kepala rumahtangga berkisar antara 0 (TS) hingga 16 tahun (SMA) dan rataan 5.06 ± 3.107. Sebaran terbanyak (72.5%) adalah SD, TS (11.8%), SMP (11.8%), SMA (2.0%), dan terakhir PT (2.0%). Berdasarkan analisis korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= 0.027, p>0.05) antara pendidikan IRT dengan ketahanan pangan rumahtangga.
Pekerjaan
Klasifikasi pekerjaan kepala rumahtangga di Desa Pasindangan dan Desa Banjarsari disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Klasifikasi pekerjaan KRT
Pasindangan Banjarsari Total
Jenis Pekerjaan n % n % n % Pekerjaan utama Petani 50 100 51 100 101 100 Pekerjaan tambahan Tidak ada 19 38 21 41.2 40 39.6 Pedagang 21 42 6 11.8 27 26.7 Buruh 7 14 20 39.2 27 26.7 Wiraswasta 0 0 1 2 1 1 Guru 0 0 1 2 1 1 Security 1 2 0 0 1 1 Tukang urut 1 2 0 0 1 1 Pensiunan 1 2 0 0 1 1 Penghulu 0 0 1 2 1 1 Supir 0 0 1 2 1 1 Jumlah 50 100 51 100 101 100
Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa pekerjaan utama kepala rumahtangga di kedua desa adalah petani. Untuk pekerjaan tambahan, di Desa Pasindangan pekerjaan tambahan kepala rumahtangga yang paling besar sebarannya adalah sebagai pedagang (42%) kemudian sebagai buruh (14 %), dan sisanya masing-masing (2%) sebagai security, tukang urut, dan pensiunan. Di Desa Banjarsari, pekerjaan tambahan yang paling banyak dilakukan oleh contoh adalah sebagai buruh (39.2%), kemudian pedagang (11.8%), sisanya masing-masing sebanyak 2% bekerja sebagai wiraswasta, guru, penghulu, dan supir. Namun masih cukup banyak contoh dari keseluruhan contoh yang tidak memiliki pekerjaan tambahan dan hanya tergantung pada pekerjaan utama sebagai petani.
Komposisi Anggota Rumahtangga
Komposisi anggota rumahtangga (ART) dikelompokkan dalam 7 kelompok berdasarkan Hurlock (1980) yaitu lansia (≥ 60 tahun), dewasa madya (40-59 tahun), dewasa awal (20-39 tahun), remaja (12-19 tahun), anak usia sekolah/AUS (6-11 tahun), balita (25-60 bulan), dan bayi (0-24 bulan). Klasifikasi komposisi rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 18.
Komposisi rumahtangga dilihat dari kedua desa, proporsi rumahtangga terbesar (26.2%) berada pada kelompok dewasa awal, 20.3 persen proporsi pada kelompok dewasa madya, 18 persen proporsi pada kelompok remaja, 16.3 persen proporsi pada kelompok AUS, 8.6 persen proporsi pada balita, 5.9 persen proporsi pada kelompok lansia, dan proporsi sisanya (4.8%) pada kelompok bayi. Tabel 18 Klasifikasi komposisi ART
Pasindangan Banjarsari Total
Komposisi Rumahtangga n % n % n % Lansia 13 5.2 18 18 31 5.9 Dewasa madya 58 23.0 48 48 106 20.3 Dewasa awal 62 24.6 75 17.7 137 26.2 Remaja 52 20.6 42 27.7 94 18.0 AUS 43 17.1 42 15.5 85 16.3 Balita 16 6.3 29 10.7 45 8.6 Bayi 8 3.2 17 6.3 25 4.8 Jumlah 252 100 271 100 523 100
Jika dilihat berdasarkan masing-masing desa, Desa Pasindangan proporsi anggota rumahtangga terbesar (24.6%) pada kelompok dewasa awal, kemudian proporsi anggota rumahtangga lainnya berturut-turut dewasa madya, remaja, AUS, balita, lansia, dan bayi (23%, 20.6%, 17.1%, 6.3%, 5.2%, dan 3.2%). Pada Desa Banjarsari proporsi anggota rumahtangga terbesar (48%) pada kelompok dewasa madya, kemudian selanjutnya berturut-turut proporsi anggota rumahtangga lainnya pada kelompok remaja, lansia, dewasa awal, AUS, balita, dan bayi (27.7%, 18%, 17.7%, 15.5%, 10.7%, 6.3%).
Kontrol Keuangan
Menurut Sajogyo (1983) tingkat keputusan dihubungkan dengan pengeluaran dalam kebutuhan pokok yang terdiri dari: (1) makanan (biaya hidup, jenis atau menu makanan, distribusi), (2) perumahan (pembelian dan perbaikan), pakaian, pendidikan, kesehatan, dan perabot rumahtangga. Sedangkan untuk jenis keputusan rumahtangga, dikelompokkan dalam lima tingkatan yaitu: (1) keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan
dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari istri, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri (dengan tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar), (4) keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari suami, (5) keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan istri.
Tabel 19 Sebaran rumahtangga menurut kontrol keuangan di Desa Pasindangan
Jenis Keputusan Suami Sendiri (%) Suami Dominan (%) Istri Sendiri (%) Istri Dominan (%) Bersama Setara (%) Total Makanan 2 4 60 28 6 100 Pendidikan 8 10 36 22 24 100 Kesehatan 12 8 38 20 22 100 Perumahan 16 10 34 28 12 100 Pakaian 10 6 38 34 12 100 Peralatan RT 12 4 54 22 8 100 Rekreasi 16 8 36 22 18 100 Tabungan 18 6 40 18 18 100 Keseluruhan 16 6 36 20 22 100
Sebaran kontrol keuangan di desa Pasindangan dapat dilihat pada Tabel 19. Secara keseluruhan pengeluaran kontrol keuangan di putuskan istri sendiri (36%). Untuk makanan, keputusan terhadap makanan dan peralatan RT lebih besar di pegang oleh istri sendiri yaitu masing-masing sebesar 60 persen dan 54 persen, untuk keputusan pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, rekreasi dan tabungan juga lebih banyak dipegang oleh istri sendiri.
Tabel 20 Sebaran rumahtangga menurut kontrol keuangan di desa banjarsari
Jenis keputusan Suami sendiri (%) Suami Dominan (%) Istri Sendiri (%) Istri Dominan (%) Bersama Setara (%) Total Makanan 0 2 52.9 43.1 2 100 Pendidikan 0 7.8 17.6 39.2 35.3 100 Kesehatan 0 9.8 19.6 58.8 11.8 100 Perumahan 2 13.7 17.6 49 17.6 100 Pakaian 0 5.9 27.5 58.8 7.8 100 Peralatan RT 0 2 25.5 66.7 5.9 100 Rekreasi 0 9.8 17.6 60.8 11.8 100 Tabungan 0 7.8 17.6 60.8 13.7 100 Keseluruhan 0 9.8 17.6 60.8 11.8 100
Di desa banjarsari, keputusan terhadap kontrol keuangan rumahtangga secara keseluruhan lebih dominan istri (60.8%). Keputusan terhadap makanan lebih dari setengah (52.9%) contoh dipegang oleh istri sendiri. Untuk jenis
keputusan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, peralatan RT, rekreasi, dan tabungan dominan ditentukan oleh istri.
Ukuran rumahtangga
Ukuran rumahtangga dikelompokkan ke dalam tiga kelompok (BKKBN 1998), yaitu rumahtangga kecil bila jumlah anggota rumahtangga ≤ 4 orang, rumahtangga sedang bila jumlah anggota rumahtangga antara 5-6 orang, dan rumahtangga besar bila anggotanya ≥ 7 orang. Klasifikasi ukuran rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Klasifikasi ukuran rumahtangga
Pasindangan Banjarsari Total
Ukuran Rumahtangga n % n % n % Kecil : ≤ 4 orang 26 52.0 24 47.1 50 49.5 Sedang : 5 – 6 orang 16 32.0 14 27.5 30 29.7 Besar : ≥ 7 orang 8 16.0 13 25.5 21 20.8 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0
Berdasarkan pengelompokkan tersebut dari kedua desa hampir setengah (49.5%) contoh merupakan rumahtangga kecil, 29.7 persen contoh merupakan rumahtangga sedang, dan sisanya (20.8%) merupakan rumahtangga besar. Bila dibedakan berdasarkan masing-masing desa, maka sebaran jumlah anggota rumahtangga di Desa Pasindangan sebagian (52%) contoh merupakan rumahtangga kecil, 32 persen contoh merupakan rumahtangga sedang, dan sisanya 16 persen contoh merupakan rumahtangga besar. Sedangkan sebaran ukuran rumahtangga di Desa Banjarsari 47.1 persen merupakan rumahtangga kecil, 27.5 persen contoh merupakan rumahtangga sedang, dan 25.5 persen contoh merupakan rumahtangga besar.
Tabel 22 Sebaran rumahtangga berdasarkan ketahanan pangan dan ukuran rumahtangga
Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Pangan Berat Rawan Pangan Sedang Rawan Pangan Ringan Tahan Pangan Total Ukuran Rumahtangga n % n % n % n % n % Kecil : ≤ 4 7 26.9 1 20.0 4 57.1 38 60.3 50 49.5 Sedang : 5 – 6 10 38.5 4 80.0 3 42.9 13 20.6 30 29.7 Besar : ≥ 7 9 34.6 0 0 0 0 12 19.0 21 20.8 Jumlah 26 100.0 5 100.0 7 100.0 63 100.0 101 100.0
Karakteristik lain untuk mengidentifikasi rumahtangga yang tahan pangan dapat dilihat berdasarkan ukuran rumahtangga. Berdasarkan Tabel 22 maka dapat dilihat bahwa, rumahtangga tahan pangan adalah rumahtangga kecil
(60.3%) yang terdiri dari 4 orang anggota rumahtangga, sedangkan rumahtangga rawan pangan ringan sebanyak 57.1 persen merupakan rumahtangga kecil dan sisanya 42.9 persen adalah rumahtangga sedang. Pada rumahtangga rawan pangan sedang adalah rumahtangga kecil dan sedang yaitu masing-masing sebesar 20 persen dan 80 persen. Pada rumahtangga rawan pangan berat, sebanyak 38.5 persen adalah rumahtangga sedang yang terdiri dari antara 5-6 orang anggota rumahtangga.
Berdasarkan analisis korelasi Spearman terdapat hubungan negatif (r= -0.261, p<0.01) antara ukuran rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin besar ukuran rumahtangga maka semakin kecil peluang tercapainya ketahanan pangan rumahtangga. Hal ini seiring dengan pernyataan Hartog, Staveren, dan Brouwer (1995) yang menyatakan bahwa besar keluarga akan mempengaruhi kebiasaan makan dan gizi, khususnya pada rumah tangga miskin yang bergantung pada pendapatan tunai untuk membeli bahan pangan. Martianto dan Ariani (2004) juga menyatakan bahwa pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagian dari anggota keluarga itu.
Kepemilikan Luas Lahan
Rumahtangga contoh diklasifikasikan menjadi empat golongan berdasarkan kepemilikan lahan, yaitu yang tidak memiliki lahan, memiliki lahan dibawah 5 000 m2, memiliki lahan 5 000-10 000 m2, dan memiliki lahan lebih dari 10 000 m2.
Tabel 23 Klasifikasi Kepemilikan Luas Lahan
Pasindangan Banjarsari Total
Luas Lahan yg Dimiliki n % n % n % 0 12 24.0 25 49.0 37 36.6 < 5 000 14 28.0 19 37.3 33 32.7 5 000-10 000 17 34.0 4 7.8 21 20.8 >10 000 7 14.0 3 5.9 10 9.9 Jumlah 50 100 51 100.0 101 100.0 Min-max 0-20 000 0-20 000 0-20 000 Rataan 4592 ± 4755.956 2372.94 ± 4724.47 3471.49 ± 4846.331
Berdasarkan pengolongan tersebut dapat dilihat sebaran rumahtangga dari kedua desa memiliki lahan seluas 0 – 20 000 m2 dengan rataan 3 471.49 ± 4846.331. Sebanyak 36.6 persen contoh tidak memiliki lahan, 32.7 persen contoh memiliki luas lahan kurang dari 5000 m2, 20.8 persen contoh memiliki
luas lahan 5 000-10 000 m2, dan sisanya hanya 9.9 persen contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10 000 m2. Apabila dilihat dari sebaran masing-masing desa, di Desa Pasindangan rataan kepemilikan lahan sebesar 4 592 ± 4 755.956, dari 50 contoh hanya 14 persen contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10000 m2, umumnya contoh memiliki luas lahan 5 000-10 000 m2 (34%), kurang dari 5 000 m2 (28%), dan sisanya (24%) contoh tidak memiliki lahan. Di Desa Banjarsari rataan luas lahan yang dimiliki sebesar 2 372.94 ± 4 724.47, hampir setengah contoh (49%) tidak memiliki lahan, 37.3 persen contoh memiliki luas lahan kurang dari 5 000 m2, 7.8 persen contoh memiliki luas lahan sebesar 5 000-10 000 m2, dan hanya 5.9 persen contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10 000 m2.
Berdasarkan luas lahan yang dimiliki dari seluruh contoh, maka dapat dilihat bahwa rumahtangga rawan pangan berat adalah rumah tangga yang tidak memiliki lahan (61.5%) sedangkan rumahtangga yang rawan pangan sedang adalah rumahtangga yang memiliki luas lahan kurang dari 5 000 m2 dan tidak memiliki lahan (40% dan 40%). Pada rumahtangga rawan pangan ringan hampir setengahnya (42.9%) adalah rumahtangga yang memiliki lahan kurang dari 5 000 m2. Untuk rumahtangga tahan pangan persentase terbesar contoh adalah yang memiliki luas lahan kurang dari 5000 m2 (36.5%), berikutnya 23.8 persen adalah rumahtangga yang memiliki luas lahan 5 000-10 000 m2, dan 12.7 persen contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10 000 m2. Akan tetapi cukup banyak pula rumahtangga tahan pangan yang tidak memiliki lahan (27.0%).
Tabel 24 Sebaran rumahtangga berdasarkan kepemilikan luas lahan dan ketahanan pangan
Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Pangan Berat Rawan Pangan Sedang Rawan Pangan Ringan Tahan Pangan Total Luas Lahan yang Dimiliki n % n % n % n % n % 0 16 61.5 2 40.0 2 28.6 17 27.0 37 36.6 < 5000 5 19.2 2 40.0 3 42.9 23 36.5 33 32.7 5000-10000 4 15.4 1 20.0 1 14.3 15 23.8 21 20.8 >10000 1 3.8 0 0 1 14.3 8 12.7 10 9.9 Jumlah 26 100.0 5 100.0 7 100.0 63 100.0 101 100.0
Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa rumahtangga yang tahan pangan sebagian besar adalah rumahtangga yang memiliki lahan garapan, sedangkan rumahtangga rawan pangan berat sebagian besar adalah
rumahtangga yang tidak memiliki lahan. Berdasarkan analisis korelasi Spearman diperoleh r= 0.273 dan p<0.01 antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan pangan rumahtangga. Semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin besar peluang tercapainya ketahanan pangan rumahtangga.
Akses Pangan Akses Fisik
Akses fisik menentukan apakah sumber pangan yang dikonsumsi dapat ditemui dan mudah diperoleh. Menurut Penny (1990), kemudahan dalam memperoleh pangan ditunjang oleh tersedianya sarana fisik yang cukup dalam memperoleh pangan. Jika dilihat berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, Desa Pasindangan memiliki akses pangan yang lebih rendah dibandingkan dengan Desa Banjarsari.
Desa Pasindangan terletak jauh dari kota kabupaten, kondisi jalan kurang memadai, kendaraan umum yang beroperasi hanya satu jenis, dengan jumlah dan waktu operasi terbatas. Jarak antara wilayah Desa Pasindangan dengan pasar terdekat kurang lebih 7 kilometer dengan hari pasar pada hari tertentu. Ketersediaan warung di wilayah ini terbatas, jumlah warung yang lengkap menjual kebutuhan pokok baik kebutuhan pangan maupun non pangan hanya dua buah, sisanya merupakan warung kecil yang menjual kebutuhan terbatas. Untuk kebutuhan pangan segar, selain membeli ke pasar juga tersedia tiga penjual sayur keliling untuk luas seluruh wilayah Desa.
Pada Desa Banjarsari, wilayah desa ini dekat dengan ibukota kabupaten sehingga akses terhadap pangan cukup baik. Jarak pasar hanya 5 kilometer, di desa tersebut banyak (lebih dari 10) warung yang menjual kebutuhan pangan dan non pangan. Kebutuhan pangan segar dapat diperoleh dengan mudah di warung-warung penjual bahan pangan segar. Kondisi jalan sudah baik, banyak tersedia kendaraan umum yang dapat digunakan untuk mengakses pangan. Akses Ekonomi
Akses ekonomi dapat diukur dengan menggunakan pengeluaran rumahtangga. Pengeluaran rumahtangga adalah total pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan pangan dan kebutuhan non pangan. Pengeluaran perkapita rumahtangga merupakan penjumlahan total pengeluaran pangan per tahun dan total pengeluaran pangan non-pangan per tahun rumahtangga, dibagi dengan
jumlah hari dalam satu tahun yaitu 365 hari, kemudian dibagi dengan jumlah anggota rumahtangga.
Pengeluaran perkapita rumahtangga contoh rata-rata sebesar Rp 254 241. pengeluaran terkecil sebesar Rp 40 394 dan terbesar adalah sebesar Rp 1 140 028. Pengeluaran perkapita terkecil dimiliki oleh rumahtangga contoh di Desa Banjarsari, sedangkan pengeluaran perkapita terbesar terdapat pada rumahtangga contoh di Desa Pasindangan. Teori Engels menyebutkan bahwa persentase pengeluaran rumahtangga yang dibelanjakan untuk kebutuhan pangan meningkat pada saat terjadinya penurunan pendapatan dan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan (Khomsan 2002b). Proporsi rata-rata pengeluaran pangan rumahtangga adalah sebesar 39.55 persen, proporsi pengeluaran terkecil adalah 8.10 persen pada contoh di Desa Pasindangan dan terbesar adalah 84.26 persen pada contoh di Desa Banjarsari. Tanziha (1992) dalam Kartika (2005) bahwa secara naluri individu, seseorang akan terlebih dahulu memanfaatkan setiap penghasilan bagi kebutuhan dasarnya berupa pangan. Jika kebutuhan dasarnya tersebut telah terpenuhi, maka tiap kelebihan penghasilannya dialokasikan untuk nonpangan. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa rata-rata pendapatan rumahtangga contoh di Desa Pasindangan lebih tinggi dibandingkan di Desa Banjarsari.
Untuk mengetahui lebih jelas kondisi ekonomi rumahtangga contoh, maka dapat dilihat pada Tabel 25. Klasifikasi rumahtangga miskin dan tidak miskin didasarkan pada perbandingan pengeluaran perkapita dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan tingkat provinsi Banten tahun 2008 yaitu Rp 156 494. Dikatakan miskin bila pengeluaran perkapita rumahtangga dibawah garis kemiskinan, dan dikatakan tidak miskin bila pengeluaran perkapita rumahtangga diatas garis kemiskinan.
Tabel 25 Klasifikasi kemiskinan berdasarkan pengeluaran perkapita
Pasindangan Banjarsari Total Kemiskinan Berdasarkan Pengeluaran n % n % N % Miskin 14 28.0 18 35.3 32 31.7 Tdk miskin 36 72.0 33 64.7 69 68.3 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0
Berdasarkan klasifikasi diatas maka sebagian besar (68.3%) contoh di kedua desa merupakan rumahtangga tidak miskin dan sisanya (31.7%) contoh
merupakan rumahtangga miskin. Untuk Desa Pasindangan, sebagian besar (72%) contoh merupakan rumahtangga tidak miskin dan sisanya (28%) contoh merupakan rumahtangga miskin, sedangkan di Desa Banjarsari jumlah rumahtangga yang miskin sedikit lebih banyak (35.3%) dibandingkan dengan Pasindangan, sebagian besar (64.7%) contoh lainnya tergolong rumahtangga tidak miskin.
Walaupun Desa Banjarsari dekat dengan ibukota kabupaten, namun rumahtangga miskin di desa tersebut lebih banyak dibandingkan di Desa Pasindangan. Kondisi ini diduga karena perekonomian masyarakat di Desa Pasindangan adalah pertanian berbasis tanaman kehutanan, sehingga banyak dari mereka yang memiliki tambahan pendapatan dari penjualan kayu atau menjual getah karet. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka pengeluaran juga akan bertambah.
Hasil analisis korelasi Pearson antara pengeluaran rumahtangga dan ketahanan pangan rumahtangga r= 0.251 dan p<0.05, ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengeluaran rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga. Semakin rendah pengeluaran rumahtangga maka semakin kecil peluang rumahtangga tersebut tahan pangan.
Akses Sosial
Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan segala bentuk interaksi berupa bantuan, perhatian, ataupun penghargaan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Dukungan sosial dikategorikan ke dalam tiga kelompok yaitu buruk, sedang, dan baik. Berdasarkan pengelompokkan tersebut maka dari total keseluruhan contoh di kedua desa dapat diketahui bahwa lebih dari setengah contoh (56.4%) memiliki dukungan sosial yang baik, sebanyak 22.8 persen contoh memiliki dukungan sosial yang buruk, dan sisanya 20.8 persen contoh memiliki dukungan sosial sedang. Bila dibandingkan antar dua desa maka jumlah rumahtangga yang memiliki dukungan sosial baik di Desa Pasindangan lebih banyak (72%) dibandingkan rumahtangga di Desa Banjarsari (57%). Sisanya berturut-turut di Desa Pasindangan 18 persen dan 10 persen sedangkan di Desa Banjarsari 27.5 persen dan 31.4 persen memiliki dukungan sosial buruk dan sedang.
Tabel 26 Klasifikasi tingkat dukungan sosial
Pasindangan Banjarsari Total
Dukungan Sosial n % n % n % Buruk 9 18.0 14 27.5 23 22.8 Sedang 5 10.0 16 31.4 21 20.8 Baik 36 72.0 21 41.2 57 56.4 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0
Sarafino (1996) mengemukakan dukungan sosial terdiri dari dukungan emosi, instrumental, penghargaan, dan dukungan informasi. Dukungan emosi melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga menimbulkan rasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan ini biasanya diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu. Dukungan instrumental melibatkan bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas. Dukungan penghargaan dapat berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan atau penampilan orang lain. Dukungan informasi terkait dengan perolehan pengetahuan dari orang lain. Semua dukungan tercakup dalam pertanyaan yang tersedia pada Tabel 27.
Tabel 27 Sebaran dukungan sosial
Pasindangan Banjarsari Total
Dukungan Sosial Ya (%) Tidak (%) Ya (%) Tidak (%) Ya (%) Tidak (%) Bantuan makanan 56 44 31.4 62.7 43.6 53.5
Petugas kesehatan selalu
mengunjungi 2 92 5.9 90.2 4 91.1
Ketua RT selalu memberi semangat 12 74 11.8 64.7 11.9 69.3
Anak-anak bisa sekolah tanpa
membayar SPP dan biaya lainnya 58 34 23.5 37.3 40.6 35.6
Sanak famili mau mendengar
masalah-masalah 86 2 70.6 15.7 78.2 8.9
Sanak famili berupaya
memperlihatkan perasaan cinta dan kepeduliannya
80 2 60.8 9.8 70.3 5.9 Diluar rumahtanggamempunyai
beberapa teman karib yang sangat peduli dan mencintai
34 48 15.7 49 24.8 48.5
Pasindangan Banjarsari Total Dukungan Sosial Ya (%) Tidak (%) Ya (%) Tidak (%) Ya (%) Tidak (%)
memberi perasaan aman Mencoba untuk berhubungan dengan sanak famili seakrab mungkin
84 2 80.4 5.9 82.2 4 Jika menghadapi masalah tetangga
selalu memberi pertolongan 68 18 27.5 45.1 47.5 31.7
Selalu mendapat bantuan keuangan dari orang tua atau sanak famili ketika mendapat kesulitan
48 36 64.7 13.7 56.4 24.8 Tetangga mau membantu
meminjamkan uang atau barang ketika menghadapi kesulitan
34 50 23.5 49 28.7 49.5 Merasa tenang dalam lingkungan
tempat tinggal yang sesuai sebagai tempat menumbuhkembangkan anak-anak
66 10 60.8 7.8 63.4 8.9
Jika dalam kesulitan selalu mendapatkan pertolongan dari masyarakat dimana saya tinggal
70 10 47.1 19.6 58.4 14.9 Saran yang diberikan tetangga
sangat membantu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi
44 36 2 54.9 22.8 45.5
Dukungan sosial berupa bantuan makanan, dijawab “ya” oleh 56 persen contoh di Desa Pasindangan dan 31.4 persen contoh menjawab “ya” di Desa Banjarsari. Sebagian besar contoh di Desa Pasindangan (92% dan 74%) dan Desa Banjarsari (90.2% dan 64.7%) menjawab tidak pernah mendapat kunjungan dari petugas kesehatan dan tidak pernah diberikan semangat oleh ketua RT. Untuk pernyataan berikutnya, Desa Pasindangan (58%) dan Desa Banjarsari (23.5%) yang menjawab bisa menyekolahkan anak-anak tanpa membayar SPP dan biaya lainnya. Untuk dua pernyataan berikutnya, contoh di Desa Pasindangan (86%dan 80%) dan Desa Banjarsari (70.6% dan 60.8%) menyatakan bahwa sanak famili mereka mau mendengarkan masalah-masalah dan berupaya memperlihatkan perasaan cinta dan kepeduliannya. Contoh dari
kedua desa sebagian besar (48% dan 49%) menyatakan bahwa tidak memiliki teman karib yang sangat peduli dan mencintai.
Contoh di kedua desa menjawab merasa aman dalam kehidupan bermasyarakat dan mencoba untuk berhubungan seakrab mungkin dengan sanak famili yaitu sebesar 86 persen dan 84 persen untuk Pasindangan sedangkan Banjarsari sebesar 84% dan 80.4%. Akan tetapi contoh di kedua desa ini, memberikan jawaban yang berbeda untuk pernyataan berikutnya, contoh di Desa Pasindangan menyatakan selalu diberi pertolongan oleh tetangga jika menghadapi masalah (68%), sedangkan contoh di Desa Banjarsari (45.1%) menyatakan tidak mendapatkan pertolongan dari tetangga jika menghadapi masalah.
Kedua contoh menjawab selalu mendapatkan bantuan keuangan dari keluarga atau sanak famili dan tidak mendapatkan bantuan keuangan dari tetangga ketika mengahadapi kesulitan, ini ditunjukkan dengan persentase sebesar 48 perse dan 50 persen untuk Desa Pasindangan, sedangkan Desa Banjarsari 64.7 persen dan 49 persen. Contoh menjawab merasa tenang dalam lingkungan tempat tingal yang sesuai sebagai tempat menumbuhkembangkan anak-anak dan mendapat pertolongan dari masyarakat dimana tinggal, ini ditunjukkan dengan persentase sebesar 66 persen dan 70 persen untuk Desa Pasindangan dan 60.8 persen dan 47.1 persen untuk Desa Banjarsari. Untuk pernyataan berikutnya, contoh di Desa Pasindangan (44%) menyatakan bahwa saran yang diberikan tetangga sangat membantu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, sedangkan contoh di Desa Banjarsari tidak demikian (54.9%).
Berdasarkan analisis korelasi Spearman antara dukungan sosial dengan ketahanan pangan maka diperoleh hasil r = - 0.035 dan p>0.05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan ketahanan pangan rumahtangga. Kondisi ini diduga karena dukungan sosial yang diterima oleh contoh dominan berupa dukungan emosi, sehingga secara langsung tidak berhubungan dengan konsumsi rumahtangga sehingga tidak berhubungan signifikan dengan ketahanan pangan.
Pengetahuan Gizi
Tingkat pengetahuan gizi ibu diklasifikasikan ke dalam tiga klasifikasi, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Klasifikasi pengetahuan gizi ibu disajikan pada Tabel 28.
Tabel 28 Klasifikasi pengetahuan gizi
Pasindangan Banjarsari Total
Pengetahuan Gizi n % n % n % Rendah 43 86.0 45 88.2 88 87.1 Sedang 6 12.0 3 5.9 9 8.9 Tinggi 1 2.0 3 5.9 4 4.0 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0
Berdasarkan klasifikasi tersebut dari total contoh sebagian besar (87.1%) memiliki tingkat pengetahuan gizi rendah, 8.9 persen ibu contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi sedang dan sisanya (4%) ibu contoh memiliki pengetahuan gizi tinggi. Di Desa Pasindangan, jumlah ibu contoh yang memiliki pengetahuan gizi baik lebih sedikit daripada jumlah ibu contoh di Desa Banjarsari yaitu 2 persen dan 5.9 persen. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi sedang dan rendah di desa Pasindangan berturut-turut sebesar 12 persen dan 86 persen, sedangkan di Desa Banjarsari ibu contoh yang memiliki pengetahuan gizi sedang dan rendah berturut-turut sebesar 5.9 persen dan 88.2 persen.
Sebanyak 24 rumahtangga rawan pangan berat (92.3%) adalah rumahtangga yang tingkat pengetahuan gizi ibunya rendah. Sebanyak 4 rumahtangga rawan pangan sedang (80%) adalah rumahtangga yang tingkat pengetahuan gizi ibunya rendah. Pada rumahtangga rawan pangan ringan sebanyak 85.7 persen contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi yang rendah, sedangkan pada rumahtangga tahan pangan, sebagian besar contoh (84.2%) merupakan rumahtangga yang memiliki tingkat pengetahuan gizi yang rendah. Tabel 29 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan
ketahanan pangan
Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Pangan Berat Rawan Pangan Sedang Rawan Pangan Ringan Tahan Pangan Total Pengetahuan Gizi n % n % n % n % n % Rendah 24 92.3 4 80 6 85.7 54 85.7 88 87.1 Sedang 2 7.7 1 20 1 14.3 5 7.9 9 8.9 Tinggi 0 0 0 0 0 0 4 6.3 4 4 Total 26 100 5 100 7 100 63 100 101 100
Berdasarkan analisis korelasi Spearman diperoleh r= 0.077 dan p>0.05 antara pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Keadaan ini diduga terjadi karena sebagian besar contoh memilih jenis pangan yang
dikonsumsi hanya berdasarkan ketersediaan pangan yang terdapat di wilayahnya dan berdasarkan kebiasaan makan.
Konsumsi
Konsumsi rumahtangga dapat dinilai berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi rumahtangga. Nilai total konsumsi zat gizi rumahtangga per hari kemudian di bagi dengan jumlah anggota rumahtangga dan dibandingkan dengan angka kecukupan zat gizi rumahtangga. Angka kecukupan zat gizi rumahtangga diperoleh dengan cara menghitung angka kecukupan zat gizi bagi masing-masing anggota rumahtangga berdasarkan WNPG 2004, kemudian dihitung rata-rata angka kecukupan zat gizi setiap rumahtangga. Pada Tabel 30 berikut ini adalah sebaran tingkat kecukupan zat gizi yaitu energi (E) dan protein (P), sedangkan untuk kalsium (Ca), besi (Fe), vitamin A, dan vitamin C disajikan pada Tabel 31.
Tabel 30 Tingkat kecukupan energi dan protein
Zat Gizi Energi Protein Tingkat Kecukupan n % n % Defisit berat : < 70% 26 25.7 36 35.6 Defisit sedang : 70-79% 5 5 8 7.9 Defisit ringan : 80-89% 6 5.9 4 4 Normal : 90-119% 16 15.8 19 18.8 Lebih : ≥ 120% 48 47.5 34 33.7 Min – Max 10 - 600 8 – 335 Rataan 141.08 ± 99.163 104.42 ± 65.859
Tingkat kecukupan energi dan proteiin dikategorikan menjadi lima kelompok berdasarkan Depkes (1996) yaitu <70% (defisit berat), 70-79% (defisit sedang), 80-89% (defisit ringan), 90-119% (normal), dan ≥ 120% (lebih). Tingkat kecukupan energi rumahtangga berkisar antara 10 sampai 600 persen dengan rataan 141.08 ± 99.163. Dari 101 contoh, 25.7 persen rumahtangga berada dalam defisit berat (<70%), 5 persen rumahtangga berada pada kategori defisit sedang (70-79%), 5.9 persen berada pada kategori defisit ringan (80-89%), 15.8 persen berada pada kategori normal dan 47.5 persen rumahtangga berada pada kategori lebih (≥ 120%).
Kondisi ini terjadi karena seluruh rumahtangga contoh merupakan rumahtangga petani baik petani dengan lahan milik sendiri, buruh tani, ataupun sistem maro. Mereka mampu mengakses makanan pokok dari hasil produksi maupun dari hasil alam sehingga kondisi tingat kecukupan energi ada yang
termasuk kategori lebih. Walaupun demikian, masih ada rumahtangga yang belum tercukupi kebutuhannya dari hasil produksinya sehingga harus membeli kebutuhannya dari warung.
Tingkat kecukupan protein rumahtangga berkisar antara 8 sampai 335 dengan rataan 104.42 ± 65.859. Dari sejumlah contoh, dapat dilihat tingkat kecukupan protein rumahtangga yaitu sebanyak 35.6 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit berat (<70%), 7.9 persen berada pada kategori defisit sedang (70-79%), 4 persen berada pada kategori defisit ringan (80-89%), 18.8 persen rumahtangga berada pada kaegori normal (90-119%) dan sisanya sebanyak 33.7 persen rumahtangga berada pada kategori lebih (≥ 120%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein rumahtangga contoh sudah cukup baik. Tingkat kecukupan protein yang cukup ini diduga karena seluruh rumahtangga contoh hampir setiap hari mengkonsumsi ikan asin. Khomsan (2002c) mengutarakan bahwa secara sosial ikan asin dianggap oleh masyarakat sebagai komoditas inferior. Padahal dari segi gizi, ikan asin sebenarnya superior karena kandungan proteinnya sekitar 35-40%.
Tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan manjadi dua kelompok berdasarkan Depkes (2003) yaitu defisit (≤50%) dan cukup (>50%). Tingkat kecukupan kalsium rumahtangga berkisar antara 2 sampai 169 dengan rataan 21.21 ± 18.702. Dapat dilihat tingkat kecukupan kalsium rumahtangga yaitu sebanyak 97 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit (≤50%), sisanya sebanyak 3 persen rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%). Kondisi ini diduga karena rumahtangga contoh tidak mampu mengakses pangan sumber kalsium untuk dikonsumsi, mereka hanya mengkonsumsi apa yang tersedia di ladang dan alam sekitar, ditambah lagi letak geograsfis daerah yang menyebabkan sulitnya distribusi pangan ke daerah tersebut.
Tabel 31 Tingkat kecukupan mineral dan vitamin
Tingkat Kecukupan Gizi Defisit : ≤ 50% Cukup : > 50% Zat Gizi n % n % Min-max Rataan Mineral Kalsium (Ca) 98 97 3 3 2 – 169 21.21 ± 18.702 Besi (Fe) 61 60.4 40 39.6 4 - 179 50.94 ± 34.296 Vitamin Vitamin A 3 3 98 97 15 - 7418 611.49 ± 1159.32 Vitamin C 72 71.3 29 28.7 0 - 432 60.35 ± 85.006
Tingkat kecukupan zat besi rumahtangga berkisar antara 4 sampai 179 dengan rataan 50.94 ± 34.296. Dapat dilihat tingkat kecukupan zat besi rumahtangga yaitu sebanyak 60.4 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit (≤50%) dan sisanya sebanyak 39.6% rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%). Rendahnya tingkat kecukupan zat besi rumahtangga contoh diduga disebabkan oleh kurangnya konsumsi bahan pangan sumber zat besi, seperti daging, hati dan sayuran hijau. Sebagai contoh bayam, di daerah ini hampir tidak ada petani yang menanam bayam, sehingga bayam hanya diperoleh dari luar. Dengan demikian rumahtangga contoh harus membeli, padahal daya beli sangat rendah walaupun ada beberapa petani yang memiliki daya beli cukup tinggi.
Tingkat kecukupan vitamin A rumahtangga berkisar antara 15 sampai 7418 dengan rataan 611.49 ± 1159.32. Dapat dilihat tingkat kecukupan vitamin A rumahtangga yaitu sebanyak 3 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit (≤50%) dan sisanya sebanyak 97 persen rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%).
Tingkat kecukupan vitamin C rumahtangga berkisar antara 0 sampai 432 dengan rataan 60.35 ± 85.006. Dapat dilihat tingkat kecukupan vitamin C rumahtangga yaitu sebanyak 71.3 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit (≤50%) dan sebanyak 28.7 persen rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%). Angka kecukupan vitamin C di wilayah ini tergolong cukup baik karena rumahtangga contoh hampir setiap hari mengkonsumsi buah-buahan baik dari hasil ladangnya maupun dari membeli. Buah yang banyak dikonsumsi antara lain pepaya, pisang, dan jeruk.
Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan suatu instrumen untuk menilai ketersediaan dan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi pangan menurut jenis pangan dan skor PPH dapat digunakan sebagai indikator mutu gizi pangan dan keragaman konsumsi pangan yang baik pada tingkat ketersediaan maupun tingkat konsumsi. Selain itu PPH juga dimanfaatkan untuk perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan suatu wilayah. Pada tabel 32 disajikan PPH Kabupaten Lebak berdasarkan hasil pengolahan data konsumsi rumahtangga contoh.
Tabel 32 Pola Pangan Harapan Kabupaten Lebak berdasarkan data konsumsi
Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH)
No Kelompok
Pangan
Gram/
Kap/Hari Kalori aktual % AKE*)% Bobot Skor Aktual Skor AKE Skor Maks Skor PPH 1 Padi-padian 394 1419 61.3 64.5 0.5 30.6 32.3 25.0 25.0 2 Umbi-umbian 14 19 0.8 0.8 0.5 0.4 0.4 2.5 0.4 3 Pangan Hewani 11 16 0.7 0.7 2.0 1.4 1.4 24.0 1.4 4 Minyak dan Lemak 37 334 14.4 15.2 0.5 7.2 7.6 5.0 5.0 5 Buah/Biji Berminyak 201 382 16.5 17.4 0.5 8.3 8.7 1.0 1.0 6 Kacang-kacangan 22 38 1.6 1.7 2.0 3.3 3.4 10.0 3.4 7 Gula 19 70 3.0 3.2 0.5 1.5 1.6 2.5 1.6
8 Sayur dan Buah 36 14 0.6 0.6 5.0 2.9 3.1 30.0 3.1
9 Lain-lain 10 24 1.0 1.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Total 2315 100.0 105.2 55.6 58.5 100.0 41.0
Keterangan : *) Angka Kecukupan Energi = 2200 Kkal/Kap/Hr
Berdasarkan data hasil perhitungan PPH, maka dapat diketahui keragaman pola konsumsi pangan wilayah. Pola konsumsi dikatakan beragam bila persentase energi terhadap total energi sebesar < 55% dan dikatakan tidak beragam bila persentase energi terhadap total energi >55%. Berdasarkan perhitungan PPH, maka diketahui pola konsumsi untuk kelompok pangan padi-padian tidak beragam, yaitu ditunjukkan dengan angka persentase energi sebesar 61.3%, ini artinya pola konsumsi padi-padian didominasi oleh jenis pangan tertentu saja. Untuk kelompok pangan lainnya seperti umbi-umbian (0.8%), pangan hewani (0.7%), minyak dan lemak (14.4%), buah/biji berminyak (16.5%), kacang-kacangan (1.6%), gula (3.0%), sayur dan buah (0.6%), dan lain-lain (1.0%) memiliki persentase energi < 55%, yang artinya pola konsumsi kelompok pangan tersebut beragam.
Ketahanan pangan
Ketahanan pangan dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Smith (2003) mengemukakan metode dan ukuran untuk menilai kekurangan pangan pada tingkat rumahtangga maupun individu, melalui 4 jenis keadaan, yang dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan tersebut adalah: 1) ketidakcukupan energi rumahtangga, 2) tingkat ketidakcukupan energi, 3) keanekaragaman makanan (dietary diversity), dan 4) persen pengeluaran untuk makanan (% food expenditure).
Tabel 33 Status ketahanan rumahtangga berdasarkan pengukuran kualitatif
Pasindangan Banjarsari Total Status n % n % n % Tahan pangan 43 86.0 42 82.4 85 84.2 Rawan pangan 6 12.0 5 9.8 11 10.91 Kelaparan 1 2.0 4 7.8 5 5.0 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0
Ketahanan pangan kualitatif dihitung berdasarkan persepsi kelaparan, dikatakan kelaparan atau tidak tahan pangan apabila terjadi penurunan frekuensi dan porsi makan yang diikuti dengan penurunan berat badan, rawan pangan apabila terjadi penurunan frekuensi dan porsi makan tetapi tidak diikuti dengan penurunan berat badan, dan tahan pangan apabila tidak terjadi penurunan frekuensi dan porsi makan. Berdasarkan klasifikasi ketahanan pangan kualitatif, dari kedua desa sebanyak 5.0 persen rumahtangga contoh mengalami kelaparan, 10.91 persen rumahtangga rawan pangan, dan sebanyak 84.2 persen rumahtangga tahan pangan.
Pengukuran ketahanan pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003) dapat diukur melalui tingkat ketidakcukupan energi yang menunjukkan keparahan defisit energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori pada seseorang individu dibawah energi yang dianjurkan (<70%).
Tabel 34 Status ketahanan pangan RT berdasarkan pengukuran kuantitatif
Pasindangan Banjarsari Total
Status
n % n % n %
Rawan pangan berat 11 22 15 29.4 26 25.7
Rawan pangan sedang 1 2 4 7.8 5 5
Rawan pangan ringan 4 8 3 5.9 7 6.9
Tahan pangan 34 68 29 56.9 63 62.4
Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0
Ketahanan pangan kuantitatif diklasifikasikan berdasarkan tingkat konsumsi energi. Dikatakan rawan pangan berat bila tingkat konsumsi energi rumahtangga < 70%, rawan pangan sedang bila tingkat konsumsi rumahtangga antara 70-80%, rawan pangan ringan bila tingkat konsumsi rumahtangga antara 80-90% dan tahan pangan bila tingkat kecukupan energi rumahtangga > 90%. Berdasarkan pengklasifikasian tersebut dari total keseluruhan contoh diketahui bahwa lebih dari setengah (62.4%) contoh merupakan rumahtangga tahan pangan. Sejumlah 25.7 persen contoh merupakan rumahtangga rawan pangan berat, 5 persen merupakan rumahtangga rawan pangan sedang, dan sisanya 6.9 persen contoh merupakan rawan pangan ringan. Jumlah rumahtangga tahan
pangan di Desa Pasindangan lebih banyak dibandingkan di Desa Banjarsari yaitu berturut-turut (68% dan 56.9%).
Tabel 35 Sebaran rumah tangga menurut validitas kelaparan
Pasindangan Banjarsari Total
Validitas Kelaparan Ya (%) Tidak (%) Ya (%) Tidak (%) Ya (%) Tidak (%)
Khawatir makanan habis sebelum punya uang untuk membeli kembali
84 14 90.2 9.8 87.1 11.9
Makanan yang dibeli tidak cukup dan tidak punya uang untuk membeli lagi
80 20 68.8 31.4 74.3 5.7 Tidak mampu untuk makan
makanan seimbang 44 54 54.9 45.1 49.5 49.5
Bergantung pada beberapa jenis makanan murah untuk anak-anak karena tidak punya uang
60 40 70.6 29.4 65.3 34.7 Tidak dapat memberi makanan
seimbanga untuk anak-anak karena tidak mampu membeli
56 44 54.9 45.1 55.4 44.6 Anak-anak tidak memperolah
makanan yang cukup karena tidak mampu membeli
36 64 25.5 74.5 30.7 69.3 12 bulan terakhir pernah
mengurangi makan 22 78 31 68 26.7 73.3
12 bulan terakhir pernah makan
lebih sedikit dari biasanya 28 72 39.2 60.8 33.7 66.3
12 bulan terakhir merasa lapar tetapi tidak makan karena tidak punya uang
14 86 35.3 64.7 24.8 75.2 12 bulan terakhir turun berat badan 0 100 23.5 76.5 11.9 88.1 12 bulan terakhir pernah tidak
makan sepanjang hari 0 100 5.9 94.1 3 97
12 bulan terakhir pernah
mengurangi makanan anak-anak 2 90 23.5 68.6 12.9 79.2
12 bulan terakhir anak tidak makan karena tidak punya uang untuk membeli makanan
2 90 9.8 82.4 5.9 86.1 Anak pernah merasa lapar tetapi
tidak mampu membeli cukup makanan
14 78 41.2 51 27.7 64.4 12 bulan terakhir anak tidak makan
sepanjang hari 0 92 9.8 82.4 5 87.1
Responden pada Desa pasindangan lebih banyak menjawab “ya” pada pertanyaan pertama dan kedua mengenai kekhawatiran dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan, yaitu 84 persen dan 80 persen. Selain itu menyatakan “ya”
sebanyak 60 persen pada pernyataan bergantung pada makanan murah dan 56 persen pada pernyataan tidak mampu memberikan makanan yang seimbang pada anak-anak. Pada Desa Banjarsari pada lima pernyataan awal lebih banyak menyatakan “ya” yaitu pada pernyataan khawatir makanan habis sebelum mampu membeli sebanyak 90.2 persen, pernyataan khawatir makanan yang dibeli tidak cukup dan tidak memiliki uang untuk membelinya sebesar 68.8 persen, pada pernyataan tidak mampu memberikan makanan seimbang bagi anak-anak sebesar 54.9 persen, bergantung pada pangan murah sebesar 70.6 persen dan tidak mampu makan makanan seimbang sebesar 54.9 persen. Pada pernyataan lain yang menjawab “ya” tidak ada yang mencapai 50 persen.
Analisis Jalur
Analisis jalur adalah sebuah metode untuk mempelajari pengaruh langsung dan tidak langsung dari variabel-variabel. Dikembangkan pertama kali oleh Wright (1921). Analisis jalur dapat digunakan untuk menganalisis hubungan sebab akibat antara satu variabel dengan variabel lainnya. Diagram jalur yang digunakan dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga dapat dilihat pada Gambar 5.
-0.135 -0.200 0.011 0.265 -0.169 -0.034 -0.316 0.191 -0.059 0.160 -0.022 -0.078 -0.152 Y3 Y1 X1 X2 Y4 X3 Y2
Gambar 5 Diagram jalur analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga
Keterangan :
X1 : Tingkat pendidikan KRT X2 : Tingkat pendidikan IRT X3 : Besar rumahtangga Y1 : Dukungan sosial Y2 : Pegetahuan gizi
Y3 : Pengeluaran rumahtangga
Y4 : Tingkat ketahanan pangan rumahtangga kuantitatif
Yamin dan Kurniawan (2005) menyatakan bahwa analisis jalur dapat dikatakan sebagai analisis regresi linier dengan variabel-variabel yang dibakukan. Oleh karena itu, koefisien jalur pada dasarnya merupakan koefisien beta atau koefisien regresi baku. Dalam analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga, koefisien regresi (beta-β) yang diperoleh adalah seperti yang ditulis pada gambar 5.
Untuk melihat hubungan langsung antara variabel dapat dilihat berdasarkan persamaan struktural yang dibentuk oleh pengaruh atau efek yang diberikan oleh masing-masing variabel eksogen terhadap variabel endogen. Adapun pengaruh langsung antara tingkat pendidikan KRT dan tingkat pendidikan IRT terhadap dukungan sosial dapat digambarkan melalui persamaan berikut ini : Y = -0.078X1 – 0.152X2 . Pengaruh langsung tingkat pendidikan ibu terhadap tingkat pengetahuan gizi ibu digambarkan melalui persamaan berikut : Y = 1.175 – 0.022X2. Pengaruh langsung tingkat pendidikan KRT, tingkat pendidikan ibu, besar keluarga, tingkat dukungan sosial dan tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap pengeluaran rumahtangga digambarkan melalui persamaan berikut : Y = 0.160X1 – 0.059X2 – 0.316X3 + 0.191Y1 - 0.034Y2. Pengaruh langsung pendidikan KRT, ukuran rumahtangga, dukungan sosial, pengetahuan gizi ibu, dan pengeluaran terhadap ketahanan pangan rumahtangga digambarkan melalui persamaan berikut : Y = -200X1 – 0.135X3 - 0.169Y1 + 0.011Y2 + 0.256Y3.
Berdasarkan diagram jalur pada Gambar 5, faktor yang berhubungan langsung dengan ketahanan pangan rumahtangga adalah pendidikan KRT, ukuran rumahtangga, dukungan sosial, pengetahuan gizi ibu, dan pengeluaran. Analisis jalur menunjukkan bahwa pendidikan KRT tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga (R-square = 0.030, p>0.05). Ukuran rumahtangga berpengaruh lansung terhadap ketahanan pangan
rumahtangga (R-square = 0.060, p<0.05), terdapat 6 persen variabel ketahanan pangan dipengaruhi oleh variabel ukuran rumahtangga. Dukungan sosial tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pangan (R-square = 0.014, p>0.05), pengetahuan gizi juga tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pangan (R-square = 0.001, p>0.05). Pengeluaran berpengaruh langsung terhadap ketahanan pangan rumahtangga (R-square = 0.065, p<0.05), terdapat 6.5 persen variabel ketahanan pangan dipengaruhi oleh variabel pengeluaran.
Dalam analisis jalur terdapat pengaruh tidak langsung. Besarnya pengaruh tidak langsung suatu variabel terhadap variabel tertentu dapat dihitung dengan cara mengalikan koefisien-koefisien regresi (beta-β) dari variabel pemberi efek. Dibawah ini akan ditunjukkan pengaruh tidak langsung yang diperoleh dari analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga :
1. besarnya pengaruh tidak langsung oleh X1, Y1, dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.078 x 0.191 x 0.265 = 0.004.
2. besarnya pengaruh tidak langsung X1 dan Y1 terhadap Y4 adalah 0.078 x 0.169 = 0.013.
3. besarnya pengaruh tidak langsung X1 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.078 x 0.169 = 0.013.
4. besarnya pengaruh tidak langsung X2, Y1, dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.152 x 0.191 x 0.265 = 0.008.
5. besarnya pengaruh tidak langsung X2 dan Y1 terhadap Y4 adalah 0.152 x 0.169 = 0.026.
6. besarnya pengaruh tidak langsung X2 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.059 x 0.265 = 0.016.
7. besarnya pengaruh tidak langsung X2, Y2 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.022 x 0.034 x 0.265 = 0.198 x 10-3.
8. besarnya pengaruh tidak langsung X2 dan Y2 terhadap Y4 adalah 0.022 x 0.011 = 0.242 x 10-3.
9. besarnya pengaruh tidak langsung X3 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.316 x 0.265 = 0.084.
dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa jalur yang paling berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga adalah jalur 9 yaitu dimulai dari ukuran rumahtangga-pengeluaran rumahtangga-ketahanan pangan rumahtangga.