• Tidak ada hasil yang ditemukan

pihak investor dan pengendalian di pihak manajemen.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "pihak investor dan pengendalian di pihak manajemen."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teoritis

2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk memahami corporate governance. Teori keagenan menyangkut hubungan kontraktual antara anggota-anggota di perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa hubungan agensi terjadi ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan. Yang disebut principal adalah pemegang saham atau investor dan yang dimaksud agent adalah manajemen yang mengelola perusahaan. Inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahan fungsi antara kepemilikan di pihak investor dan pengendalian di pihak manajemen.

Menurut Eisenhardt dalam Bayu (2010) teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan

(2)

memaksimalkan fee kontraktual yang diterima sebagai sarana dalam pemenuhan kebutuhan ekonomis dan psikologisnya. Sebaliknya, pihak principal termotivasi untuk mengadakan kontrak atau memaksimalkan returns dari sumber daya untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Konflik kepentingan ini terus meningkat karena pihak principal tidak dapat memonitor aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent bekerja sesuai dengan keinginan para pemegang saham. Sebaliknya, agent sendiri memiliki lebih banyak informasi penting mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang memicu timbulnya ketidakseimbangan informasi antara principal dan agent. Kondisi ini dinamakan dengan asimetri informasi.

Hak pengendalian yang dimiliki oleh manajer memungkinkan untuk diselewengkan dan dapat menimbulkan masalah keagenan yang dapat diartikan dengan sulitnya investor memperoleh keyakinan bahwa dana yang mereka investasikan dikelola dengan semestinya oleh manajer. Manajer memiliki kewenangan untuk mengelola perusahaan dan dengan demikian manajer memiliki hak dalam mengelola dana investor, Ujiantho (2007). Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer

(3)

berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut penting bagi pengguna eksternal terutama karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya, Ali (2002).

Adanya pemisahan antara pemilik perusahaan (principal) dan pengelolaan oleh manajemen (agent) cenderung menimbulkan konflik keagenan di antara prinsipal dan agen. Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan keinginan prinsipal, sehingga menimbulkan biaya keagenan (agency cost), Ujiyantho dan Pramuka (2007). Agency cost merupakan biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk biaya pengawasan terhadap agen, pengeluaran yang mengikat oleh agen, dan adanya residual loss, Jensen dan Meckling (1976). Adanya penyimpangan antara keputusan yang diambil agen dan keputusan yang akan meningkatkan kesejahteraan prinsipal akan menimbulkan kerugian atau pengurangan kesejahteraan prinsipal, nilai uang yang timbul dari adanya penyimpangan tersebut disebut residual loss, Jensen dan Meckling (1976).

Adanya asimetri informasi dapat mendorong agen untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui prinsipal untuk memaksimalkan keuntungan bagi agen. Agen dapat termotivasi untuk melaporkan informasi yang tidak sebenarnya

(4)

kepada prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agen, Ujiantho (2007).

Ali dalam Bayu (2010) mengatakan bahwa manajer yang telah diberi wewenang untuk mengelola perusahaan bertanggung jawab untuk memaksimalkan keuntungan prinsipal dan melaporkan tanggung jawabnya melalui media laporan keuangan. Atas kinerja manajer tersebut, kompensasi manajemen diberikan sesuai dengan kontrak yang yang telah disepakati. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki.

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa laporan keuangan yang dibuat dengan angka-angka akuntansi diharapkan dapat meminimalkan konflik di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan laporan keuangan yang dibuat manajemen, prinsipal dapat menilai kinerja manajemen untuk melaporkan laba sesuai kepentingan pribadinya. Jika hal ini terjadi maka akan mengakibatkan rendahnya kualitas laba.

Standar Akuntansi Keuangan (SAK) memberikan kelonggaran (flexibility principles) dalam memilih metode akuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan. Dengan kelonggaran ini, perusahaan dapat menghasilkan nilai laba yang berbeda melalui pemilihan metode akuntansi yang berbeda. Praktik seperti ini dapat memberikan dampak terhadap kualitas laba yang

(5)

dilaporkan, Boediono (2005). Salah satu mekanisme yang diharapkan dapat mengontrol konflik keagenan adalah dengan menerapkan monitoring melalui tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan.

2.1.2. Kebangkrutan

2.1.2.1. Pengertian Kebangkrutan

Kebangkrutan (Bankruptcy) biasanya diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba, Supardi dan Mastuti (2003:79). Sedangkan menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, kebangkrutan adalah keadaan dimana suatu institusi dinyatakan oleh keputusan pengadilan bila debitur memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Kebangkrutan sebagai kegagalan didefinisikan dalam beberapa arti, Martin et.al (1995 : 376):

1. Kegagalan ekonomi (economic failure)

(6)

perusahaan tidak menutup biayanya sendiri, ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jatuh di bawah arus kas yang diharapkan. Bahkan kegagalan dapat juga berarti bahwa pendapatan atas biaya historis dari investasinya lebih kecil daripada biaya modal perusahaan.

2. Kegagalan keuangan (financial failure)

Kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk : a. Insolvensi teknis (technical insolvency)

Perusahaan dapat dianggap gagal jika perusahaan, tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Walaupun total aktiva melebihi total utang atau terjadi bila suatu perusahaan gagal memenuhi salah satu atau lebih kondisi dalam ketentuan hutangnya seperti rasio aktiva lancar terhadap utang lancar yang telah ditetapkan atau rasio kekayaan bersih terhadap total aktiva yang disyaratkan. Insolvensi teknis juga terjadi bila arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran bunga pembayaran kembali pokok pada tangga tertentu. b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan

Dalam pengertian ini kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban.

2.1.2.2. Faktor-faktor penyebab kebangkrutan

Darsono dan Ashari (2005), menyatakan secara garis besar penyebab kebangkrutan bisa dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor-faktor internal yang dapat menyebabkan kebangkrutan perusahaan yaitu :

(7)

1. Manajemen yang tidak efisien akan mengakibatkan kerugian terus menerus yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar kewajibannya. Ketidakefisienan ini diakibatkan oleh pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan dan keahlian manajemen.

2. Ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah piutang-hutang yang dimiliki. Hutang yang terlalu besar akan mengakibatkan biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa menyebabkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga akan merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu banyak sehingga tidak menghasilkan pendapatan.

3. Moral hazard oleh manajemen. Kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan bisa mengakibatkan kebangkrutan. Kecurangan ini akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan yang pada akhirnya membangkrutkan perusahaan. Kecurangan dapat berupa manajemen yang korup atau memberikan informasi yang salah pada pemegang saham atau investor.

Sedangkan, faktor-faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan adalah sebagai berikut : 1. Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak

diantisipasi oleh perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari atau berpindah sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan.

2. Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk produksi.

3. Faktor debitor juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitor tidak melakukan kecurangan. Terlalu banyak piutang yang diberikan kepada debitor dengan jangka waktu pengembalian yang lama akan mengakibatkan banyak aktiva menganggur yang tidak memberikan penghasilan sehingga mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan.

(8)

4. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Semakin ketatnya persaingan menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki produk yang dihasilkan, memberikan nilai tambah yang lebih baik lagi kepada pelanggan. 5. Kondisi perekonomian secara global juga harus

selalu diantisipasi oleh perusahaan. Kasus perkembangan pesat ekonomi Cina yang mengakibatkan tersedotnya kebutuhan bahan baku ke Cina dan kemampuan Cina memproduksi barang dengan harga yang murah adalah contoh kasus perekonomian global yang harus diantisipasi oleh perusahaan.

2.1.2.3. Risiko Kebangkrutan

Menurut Rifqi (2009:3) ada beberapa model yang dapat digunakan untuk memprediksi financial distress. Model tersebut antara lain dikemukakan oleh Beaver (1966), Altman (1968), Springate (1978), Ohlson (1980), dan Zmijewski (1983).

Model Altman merupakan salah satu yang paling popular dan telah banyak digunakan dalam penelitian tentang risiko kebangkrutan pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Menurut Altman (1968) dalam Altman (1982:99-125), Altman Z-score adalah suatu alat yang digunakan untuk meramalkan tingkat kebangkrutan suatu perusahaan dengan menghitung nilai dari beberapa rasio lalu kemudian dimasukan dalam suatu persamaan

(9)

diskriminan, maka berdasarkan analisis ini apabila nilai Z dari perusahaan yang diteliti lebih kecil dari 1,81 maka dikatakan berisiko tinggi terhadap kebangkrutan, bila nilai Z berada diantara 1,81 sampai dengan 2,99 dikatakan berpeluang besar untuk bangkrut, bila di atas nilai 2,99 atau Z > 2,99 aman dari risiko kebangkrutan. Untuk menghitung nilai Z, terlebih dahulu harus dihitung lima jenis rasio keuangan, yaitu:

1. Modal Kerja / Total Aktiva

Rasio ini mengukur likuiditas dengan membandingkan aktiva lancar bersih dengan total aktiva. Aktiva lancar bersih atau modal kerja didefinisikan sebagai total aktiva lancar dikurangi total kewajiban lancar. Umumnya, bila perusahaan mengalami kesulitan keuangan, modal kerja akan turun lebih cepat daripada total aktiva menyebabkan rasio ini turun.

2. Laba Ditahan / Total Aktiva

Rasio ini mengukur kemampulabaan kumulatif dari perusahaan. Pada beberapa tingkat, rasio ini juga mencerminkan umur perusahaan, karena semakin muda perusahaan, semakin sedikit waktu yang dimilikinya untuk membangun laba kumulatif. Bila perusahaan mulai merugi, tentu saja nilai dari total laba ditahan mulai turun.

3. EBIT / Total Aktiva

Rasio ini mengukur kemampulabaan yaitu tingkat pengembalian dari aktiva, yang dihitung dengan membagi laba sebelum pajak (EBIT) tahunan perusahaan dengan total aktiva pada neraca akhir tahun. Rasio ini juga dapat digunakan sebagai ukuran seberapa besar produktivitas penggunaan dana yang dipinjam. Bila rasio ini lebih besar dari rata-rata tingkat bunga yang dibayar, maka berarti perusahaan menghasilkan uang yang lebih banyak daripada bunga pinjaman.

(10)

4. Modal Sendiri / Total Utang

Rasio ini merupakan kebalikan dari rasio hutang per modal sendiri. Nilai modal sendiri yang dimaksud adalah nilai pasar modal sendiri, yaitu jumlah saham perusahaan dikalikan dengan harga pasar per lembar sahamnya. Pada umumnya perusahaan - perusahaan yang gagal, mengakumulasikan lebih banyak hutang dibandingkan modal sendiri.

5. Penjualan / Total Aktiva

Rasio perputaran modal adalah standar rasio keuangan yang menggambarkan kemampuan peningkatan penjualan dari aktiva perusahaan yang merupakan suatu ukuran dari kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi yang kompetitif.

2.1.3. Manajemen Laba

2.1.3.1. Definisi Manajemen Laba

Scott (1997) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut “Given that managers can choose accounting policies from a set (for example, GAAP), it is natural to expect that they will choose policies so as to maximize their own utility and/or the market value of the firm”.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntansi yang ada yang secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan. Scott (1997) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk

(11)

memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (Opportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari prespektif efficient contracting (Efficient Earnings Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.

Fischer dan Rosenzweig (1995) mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan seorang manajer dengan menyajikan laporan yang menaikan (menurunkan) laba periode berjalan dari unit usaha yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa menimbulkan kenaikan (penurunan) profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam jangka panjang.

Sedangkan menurut Healy dan Wahlen (1999), manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan (judgment) dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan.

(12)

Dari definisi-definisi tersebut, dapat dipahami bahwa manajemen laba dianggap sebagai tindakan opportunistic dari manager. Hal ini mengisyaratkan bahwa manajemen laba erat kaitannya dengan motivasi-motivasi yang mendasari manajer dalam melakukan manajemen laba, sasaran-sasaran yang ingin dicapai manajer serta penggunaan judgment-judgment dalam laporan keuangan yang dapat merugikan dan menyesatkan stakeholders.

2.1.3.2. Faktor-faktor yang Memotivasi Terjadinya Manajemen Laba

Pada dasarnya manajer melakukan manajemen laba karena laba telah dijadikan sebagai target dalam proses penilaian prestasi kerja departemen (manajer) secara khusus dan perusahaan (organisasi) secara umum.

Scott (2000:302) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba:

1. Bonus Purposes

Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara opportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba (Healey, 1985).

2. Political Motivations

Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.

(13)

3. Taxation Motivation

Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.

4. Pergantian CEO

CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan berusaha memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.

Motivasi lain manajemen laba dilihat dari sudut pandang akuntansi adalah karena ada dua keterbatasan para pengguna dalam menginterpretasi pelaporan keuangan. Pertama, kriteria penyajian elemen pelaporan keuangan rentan terhadap kebijakan manajemen, yaitu pihak manajemen memiliki peluang dan kebebasan untuk menerapkan kebijakan manajemen yang berhubungan dengan pencatatan dan metode akuntansi yang akan digunakan untuk pelaporan keuangannya. Kedua, tidak ada observasi sempurna mengingat tidak semua kebijakan manajemen dapat diobservasi oleh para pengguna laporan keuangan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya asimetri informasi antara investor dengan manajemen perusahaan yang berpeluang untuk melakukan manipulasi laba sehingga mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan ke publik.

(14)

Teknik dan Pola Manajemen Laba

Teknik manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000) dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:

1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi.

Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi dan lain-lain.

2. Mengubah metode akuntansi.

Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi. Contoh : mengubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.

3. Menggeser periode biaya atau pendapatan.

Contohnya adalah mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai lagi.

Menurut scott (2000) pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara :

1. Taking a bath

Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar untuk meningkatkan laba di masa yang akan datang.

2. Income Minimization

Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.

(15)

3. Income Maximization

Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk bonus yang lebih besar. 4. Income Smoothing

Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.

2.1.3.3. Metode Deteksi Manajemen Laba

Menurut McNichols (2000) ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk proksi manajemen laba yaitu: (1) pendekatan yang mendasarkan pada model agregat akrual, misalnya Healy (1985), model Jones dan modified Jones, (2) pendekatan yang mendasarkan pada model spesifik akrual, misal Beneish (1997) serta Beaver dan McNichols (1998), dan (3) pendekatan berdasarkan distribusi frekuensi, fokusnya adalah perilaku laba yang dikaitkan dengan spesifik benchmark dimana praktik manajemen laba dapat dilihat dari banyaknya frekuensi perusahan yang melaporkan laba di atas atau di bawah benchmark, misal Burgstahler dan Dichev (1997) serta Myers dan Skinner (1999).

Untuk mendeteksi ada tidaknya manajamen laba, maka pengukuran atas akrual adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Total akrual adalah selisih antara laba

(16)

dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi. Total akrual dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (1) bagian akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses penyusunan laporan keuangan, disebut normal accruals atau non discretionary accruals, dan (2) bagian akrual yang merupakan manipulasi data akuntansi yang disebut dengan abnormal accruals atau discretionary accruals, Utami (2005).

2.1.4. Kompensasi Eksekutif

Kerangka teori dalam kompensasi eksekutif pada umumnya membahas dua pertanyaan umum yaitu pertama, bagaimana teori ekonomi menjelaskan kompensasi eksekutif dan kedua, apakah teori non ekonomi dapat memberikan penjelasan kompensasi eksekutif. Berkaitan dengan pertanyaan pertama, penelitian kompensasi eksekutif didasarkan atas teori keagenan, teori human capital dan teori turnamen, Hallock dan Murphy (1999). Teori non ekonomi yang menjelaskan kompensasi eksekutif pada umumnya didasarkan atas teori perbandingan sosial, teori informasi dan teori kekuatan, Tosi dan Greckhamer (2004).

Otten (2008) melakukan ulasan terhadap 16 teori yang berkaitan dengan kompensasi eksekutif dan membagi teori-teori tersebut menjadi tiga pendekatan yaitu pendekatan nilai (value approach), pendekatan keagenan (agency approach) dan pendekatan

(17)

simbolik (symbolic approach). Menurut Otten (2008) pendekatan nilai untuk menjawab pertanyaan berapa banyak membayar (how much to pay) dan didasarkan atas mekanisme pasar dan kekuatan pasar. Teori yang mendukung pendekatan ini adalah marginal productivity theory, efficiency wage theory, human capital theory, opportunity cost theory dan superstar theory. Pendekatan keagenan untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara membayar (how to pay) dan berdasarkan atas pentingnya pengaturan tata kelola pada tingkat perusahaan. Pendukung pendekatan ini adalah complete contract theory, prospect theory, managerial theory, dan class hegemony theory. Pendekatan ini paling banyak digunakan dalam menjelaskan kompensasi eksekutif, Otten (2008). Pendekatan simbolik digunakan untuk menjawab pertanyaan kompensasi apa yang seharusnya diberikan (what pay ought to represent or reflect). Pendekatan ini memberikan tambahan pemahaman konsep kompensasi eksekutif sebagai suatu fenomena sosial. Teori yang termasuk dalam pendekatan ini adalah tournament theory, figurehead theory, stewardship theory, crowding-out theory, socially enacted proportionality theory, social comparison theory dan implicit/ psychological contract theory, Otten (2008).

Finkelstein dan Hambrick (1988) dan Gomez-Mejia dan Balkin (1992) membuat analisis penelitian tentang kompensasi eksekutif berdasarkan pendekatan teori keagenan dengan

(18)

mengajukan usulan kerangka pikir untuk mengkaji kompensasi eksekutif. Kerangka pikir tersebut berdasarkan determinan, dimensi dan dampak dari kompensasi eksekutif. Pendekatan Finkelstein dan Hambrick mengasumsikan bahwa kompensasi dipengaruhi oleh tiga determinan utama yaitu faktor pasar, sosial dan politik. Dimensi kompensasi terdiri dari bonus, benefit dan nilai kontingen kompensasi seperti opsi saham atau hak saham. Dampak kompensasi eksekutif dapat dijelaskan dalam bentuk perilaku CEO, pemegang saham dan akhirnya kinerja perusahaan. Kompensasi memberikan dampak terhadap motivasi, keputusan untuk bergabung/tetap bekerja CEO dan bahkan terhadap level dan arah usaha CEO dan akhirnya mempengaruhi kinerja perusahaan.

Lebih lanjut, Barkema dan Gomez-Mejia (1998) menyatakan secara teoritis bahwa determinan dari kompensasi eksekutif dapat dibagi menjadi tiga kategori umum yaitu kriteria (criteria), tata kelola (governance) dan kontingensi (contingencies). Kriteria (criteria) menyangkut penentuan kompensasi eksekutif dipengaruhi oleh kinerja, skala usaha, (Tosi et al., 2000), pasar tenaga kerja (Finkelstein dan Hambrick, 1989), human capital (Gomez-Mejia dan Wiseman, 1997). Barkema dan Mejia (1997) menyatakan kompensasi eksekutif juga dipengaruhi oleh kriteria lainnya seperti pasar, kompensasi peer, perilaku, karakteristik individu dan peranan atau posisi. Tata kelola (governance)

(19)

menyangkut keputusan sampai berapa banyak eksekutif seharusnya dibayar didasarkan tidak hanya pada kriteria di atas, tetapi juga tergantung pada individu yang membuat keputusan seperti Komite kompensasi (Ezzamel dan Watson, 1998), struktur dan komposisi kepemilikan (Tosi dan Gomez-Mejia, 1989), pasar bagi kontrol korporat (Jensen, 1983), dan skala tim eksekutif (Eriksson, 1999). Struktur dan komposisi kepemilikan meliputi keberadaan pemegang saham yang besar, pemegang saham institusi, pemegang saham keluarga atau pemilikan manajer. Struktur dan komposisi dewan direksi yang meliputi duality CEO (CEO sebagai anggota dewan komisaris dan presiden direktur), persentase direksi yang berasal dari luar dan asal daerah dari dewan komisaris. Kontingensi (contingencies) berkaitan efektivitas sistem kompensasi tergantung apakah praktik kompensasi konsisten dengan kondisi internal dan eksternal yang dihadapi suatu perusahaan. Oleh karena itu, faktor seperti strategi organisasi (Finkelstein dan Boyd, 1998), industri, tingkat R&D (Gomez-Mejia, 2001), dan strategi bisnis (Sander dan Carpenter, 1998) memainkan peranan penting dalam kompensasi eksekutif.

(20)

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahuhulu

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Wei Ting et al (2009). Beberapa perbedaan dengan penelitian tersebut yaitu: Pertama, model deteksi risiko kebangkrutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Altman Z-Score, karena model ini cukup populer dan banyak digunakan dalam penelitian tentang risiko kebangkrutan di Indonesia, sehingga diharapkan lebih mudah dalam interpretasi hasilnya. Kedua, populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di bursa efek Indonesia untuk periode 2008 sampai dengan 2010. Pemilihan perusahaan manufaktur sebagai populasi dimaksudkan untuk menghindari efek perbedaan industri yang signifikan, dan juga dikarenakan jumlah perusahaan dalam industri manufaktur cukup besar. Ketiga, pengukuran kompensasi eksekutif menggunakan total remunerasi dewan komisaris dan dewan direksi, dikarenakan data terkait rincian kompensasi eksekutif belum banyak diungkapkan dalam laporan keuangan perusahaan publik di Indonesia. Keempat, metode analisis yang dilakukan adalah analisis regresi berganda, dimana data terlebih dahulu diuji untuk memenuhi asumsi-asumsi dasar kriteria ekonometrika melalui uji Asumsi Klasik. Sementara persamaan dengan penelitian tersebut yaitu penggunaan model Jones yang dimodifikasi (Modified Jones Model) untuk mengukur manajemen laba.

(21)

Tabel 2.1

Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu

No. Kriteria Penelitian Ini Penelitian Wei Ting et al. 1 Pengukuran

risiko

kebangkrutan

Model Altman Z-Score Model KMV

2 Pengukuran manajemen laba

Model Jones yang dimodifikasi (Modified Jones Model)

Model Jones yang dimodifikasi (Modified Jones Model)

3 Pengukuran kompensasi eksekutif

Total kompensasi yang diterima dewan direksi dan komisaris

Kompensasi yang diterima oleh tiga orang eksekutif yang dibayar paling tinggi

4 Populasi Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2008 s/d 2010

Seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek China untuk periode 2001 s/d 2005

5 Metode analisis

Regresi linear berganda Regresi data panel

Studi tentang kompensasi eksekutif (CEO) banyak dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jepang. Studi ini pada umumnya membahas kompensasi eksekutif dari berbagai disiplin ilmu ekonomi, keuangan, akuntasi dan manajemen. Sebagian besar studi empiris yang dilakukan sebelumnya pada umumnya dilakukan di AS dan Inggris karena ketersediaan data kompensasi CEO yang lebih baik.

Kompensasi Eksekutif dan Risiko kebangkrutan

Penelitian kompensasi eksekutif dalam bidang ekonomi sebagian besar membahas hubungan antara kompensasi eksekutif dengan kinerja perusahaan. Berdasarkan bukti empiris, variabel kinerja memberikan pengaruh yang beragam terhadap kompensasi eksekutif pada berbagai industry, Barkema dan Gomez-Mejia (1998). Mengistae dan Xu

(22)

(2004) meneliti hubungan teori keagenan dan kompensasi eksekutif dengan mengambil kasus perusahaan milik negara di China. Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang berlawanan antara kompensasi eksekutif dengan kinerja. Sementara itu, Geiger dan Cashen (2007) menyimpulkan bahwa hasil penelitian telah gagal membuktikan hubungan yang kuat antara kompensasi eksekutif dengan kinerja perusahaan.

Mitchell (2002) dalam disertasinya melakukan kajian terhadap 88 perusahaan dan 88 CEO di Amerika Serikat. Variabel yang digunakan adalah variabel dependen berupa variabel kompensasi CEO yang diukur dari gaji, bonus, bentuk lain kompensasi seperti mobil, saham dan variabel kinerja perusahaan yang diukur dari Return on Asset (ROA). Variabel lain yang digunakan adalah variabel independen dengan indikator pengukuran adalah tenure, umur, persentase pemilikan saham, pendidikan dan dualiti. Dengan menggunakan Pearson Product Moment Correlation dan analisis regresi, hasil penelitian Mitchell menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kompensasi CEO dengan variabel independen.

Gamayuni (2007) meneliti praktik manajemen laba pada perusahaan yang mengalami kebangkrutan di Indonesia. Dengan menggunakan uji beds non parametric yaitu Mann Whitney Test penelitian ini membukt ikan bahwa terdapat manajemen laba dengan cara menaikkan laba (discretionary accrual positive) yang lebih tinggi secara signifikan pada

(23)

perusahaan bangkrut dibandingkan dengan perusahaan tidak bangkrut pada empat tahun sebeium terjadinya kebangkrutan. Pada tiga tahun sebelum kebangkrutan ditemukan manajemen laba dengan cara menurunkan laba (discretionary accruals negative) yang lebih kuat pada perusahaan bangkrut dibandingkan dengan perusahaan tidak bangkrut, namun tidak signifikan. Pada dua tahun sebelum kebangkrutan terdapat manajemen laba dengan cara menaikkan laba yang lebih tinggi pada perusahaan bangkrut dibandingkan pada perusahaan tidak bangkrut, tetapi tidak signifikan.

Sriwedari (2007) dalam tesisnya tentang mekanisme good corporate governance, manajemen laba dan kinerja keuangan perusahaan manufaktur di Indonesia membuktikan bahwa manajemen laba memberikan pengaruh negatif tidak signifikan terhadap kinerja keuangan.

(24)

Tabel 2.2

Review Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian 1 Wei Ting et.al. (2009) Top Management Compensation, Earnings Management And Default Risk Independen : Top Management Compensation, Earnings Management Dependen : Default Risk

Manajemen laba dan kompensasi manajemen puncak berpengaruh signifikan terhadap risiko kebangkrutan 2 Ozkan (2007) CEO Compensation And Firm Performance Independen : CEO Compensation Dependen : Firm Performance Terdapat hubungan positif dan pengaruh signifikan kompensasi kas terhadap kinerja perusahaan.

Sementara total kompensasi mempunyai

hubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap kinerja perusahaan. 3 Sriwedari (2009) Mekanisme Good Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan Independen : kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen dan komite audit. Manajemen Laba Dependen : Manajemen laba. Kinerja Keuangan Secara simultan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris independen dan komite audit memberikan pengaruh positif tidak signifikan terhadap

manajemen laba, dan

manajemen laba memberi pengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap kinerja keuangan. 4 Gamayuni (2007) Manajemen Laba pada Perusahaan yang Mengalami Kebangkrutan di Indonesia (Studi kasus pada perusahaan delisting di BEI) Manajemen Laba, Kebangkrutan Terdapat tindakan manajemen laba (baik discretionary accrual positif maupun discretionary accrual negatif) pada perusahaan beberapa tahun sebelum mengalami kebangkrutan.

(25)

2.3. Kerangka Konseptual

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan dengan didukung tinjauan teoritis dan tinjauan penelitian terdahulu, maka secara skematis kerangka konseptual dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1 Kerangka Konseptual H1 H2 H3 Manajemen laba (X2) Kompensasi Eksekutif (X1) Risiko Kebangkrutan (Y) Ukuran Perusahaan Return on Assets Debt Ratio

(26)

2.4. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan teoritis, tinjauan penelitian terdahulu dan kerangka konseptual yang telah diuraikan diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Kompensasi Eksekutif dan Risiko kebangkrutan

H1: Kompensasi eksekutif berpengaruh negatif signifikan terhadap risiko

kebangkrutan.

Manajemen Laba dan Risiko Kebangkrutan

H2: Manajemen laba berpengaruh positif signifikan terhadap risiko

kebangkrutan.

Kompensasi Eksekutif, Manajemen Laba dan Risiko Kebangkrutan

H3: Kompensasi eksekutif dan manajemen laba, secara simultan

Referensi

Dokumen terkait

Comparison between the neutron diffraction and x-ray diffraction methods and the chemical composition measurement, has shown that by using the lattice parameter values and by the

Hope (2002) Disclosure Practices, Enforcement of Accounting Standards and Analysts’ Forecast Accuracy: An International Study Dependent variable: analysts’ earnings

Penelitian membuktikan bahwa Aloe vera dapat digunakan sebagai koagulan alami, namun perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan dosis yang tepat.. *Corresponding

atas permohonan wajib Retribusi berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Retribusi atau kondisi tertentu Kepala Perangkat Daerah dapat memberikan pengurangan dan

Pelaksanaan pertemuan keempat dilaksanakan pada Jumat tanggal 24 Agustus 2018 dengan tema “Air, Udara dan Api”. Kegiatan pembelajaran dimulai dengan berbaris di halaman

Perbedaan penelitian Cesaria Yomi dengan penelitian ini terletak pada objek penelitian yaitu pada Bank Umum Syariah (BUS) periode 2009-2012 dan pada variabel independen

permulaan yang terjadi pada kelompok eksperimen tersebut. Wawancara yang dilakukan terhadap Guru kelompok B1 menyatakan bahwa terlihat hasil dari penerapan

Analisis digunakan untuk menjelaskan perbandingan perhitungan harga pokok produksi oleh perusahaan dengan perhitungan harga pokok produksi menggunakan metode full costing