• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA SIGAOL SEBELUM MASUKNYA TENUN ULOS SEBAGAI MATA PENCAHARIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA SIGAOL SEBELUM MASUKNYA TENUN ULOS SEBAGAI MATA PENCAHARIAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONDISI PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA SIGAOL

SEBELUM MASUKNYA TENUN ULOS SEBAGAI MATA PENCAHARIAN

2.1 Sebelum Masuknya Tenun Ulos

Pada tahun 1938, yaitu pada masa penjajahan Belanda kondisi perekonomian masyarakat dapat dikatakan tidak sejahtera khususnya di Desa Sigaol. Pada masa penjajahan Hindia-Belanda di Indonesia seluruh masyarakat tidak bebas terhadap apa yang dimilikinya baik berupa tanah, rumah, hasil pertanian, hasil tangkapan, hasil ternak, dan lain-lain. Masyarakat pada masa itu sangat takut terhadap kolonial Belanda karena pada saat itu semua peraturan yang berlaku adalah peraturan yang diberlakukan oleh Kolonial Belanda sehingga seluruh masyarakat Indonesia patuh terhadap aturan tersebut meskipun ada sebagian yang menentang peraturan tersebut.7

Masyarakat pada saat itu tidak pernah puas akan hasil yang mereka dapatkan karena Belanda terus mengawasi hasil pertanian mereka. Setelah masyarakat memperoleh hasil dari pertanian Kolonial Belanda langsung mengambil seluruh hasil pertanian masyarakat, jika masyarakat tidak memberikan apa yang di minta oleh Kolonial Belanda masyarakat disiksa, ditangkap, dan di hukum mati. Melihat kekejaman Kolonial Belanda masyarakat Indonesia takut dan pasrah serta

7 (Wawancara : Charles Butarbutar, dari kantor Kepala Desa Sigaol saat memberikan keterangan tentang sejarah dan kondisi Desa Sigaol, Sabtu (22/02)).

(2)

menyerahkan seluruh hasil pertaniannya. Hal ini dilakukan Kolonial Belanda bertujuan untuk memperkaya pemerintahan Belanda.

2.1.1 Nelayan

Kehidupan ekonomi nelayan tradisional diidentikkan dengan kemiskinan, karena nelayan sangat bergantung terhadap kondisi iklim. Sehingga membuat nelayan di desa ini sangat sulit dalam pemenuhan kebutuhan keluarga khususnya. Peralatan yang dipakai para nelayan untuk menangkap ikan hanya menggunakan Solu (Sampan) sebagai alat untuk melintasi air danau toba ke dataran yang lebih dalam lagi dan Doton (Jaring) digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan. Dampak dari perubahan iklim juga sangat banyak dirasakan oleh nelayan karena resiko nelayan lebih tinggi ketika mereka melakukan aktivitas di laut. Dampak perubahan iklim juga akan mengurangi produktivitas dan pendapatan bagi nelayan. “Perubahan cuaca dan iklim akan menganggu perikanan dan kelautan, sebagai contoh pengaruh cuaca dan iklim akan mempengaruhi pertumbuhan plankton yang mengandung klorofil (hijau daun), adanya tumbuhan klorofil menandakan bahwa banyak ikan di laut tersebut.8

Dampak yang ditimbulkan dari berbagai perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi kondisi ekonomi nelayan, namun juga aspek-aspek lain di kehidupan sosial nelayan. Dampak iklim tersebut sangat mempengaruhi kehidupan sosial

8 Wawancara, Bapak Firman Nadapdap, pekerja sebagai nelayan selama 38 tahun di Desa Sigaol, Sabtu 8 februari 2014 pukul 19.45 wib.

(3)

ekonomi nelayan, dimana ketika terjadi pertukaran cuaca atau musim kemarau maka para nelayan tidak dapat menangkap ikan ke Danau karena beresiko tinggi. Apabila pertukaran iklim terjadi berkepanjangan maka masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhnnya sehari-hari, untuk mengatasi hal tersebut masyarakat Sigaol sebagai Masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, membuat strategi dengan cara menambahkan mata pencahariannya sebagai pekerja diladang tetangga, kuli bangunan, berjualan dan lain-lain. Masayarakat Sigaol menggunakan strategi diatas untuk mengatasi agar tidak terjadi kelaparan dan agar kebutuhan keluarganya tetap terpenuhi.

Hasil yang diperoleh nelayan dari danau itu berupa ikan mujahir (nila), ikan gabus, ikan lele, ikan mas, pora-pora, udang kecil, dll. Dari jenis ikan itu hasil ikan yang paling banyak ditangkap yaitu ikan mujahir (ikan nila) karena harga jual ikan

mujahir jauh lebih mahal daripada jenis ikan lainnya. Harga jual ikan mujahir (ikan

nila) pada 1974 itu sekitar 100 rupiah/kg.9

9 Wawancara, Ibu Rosin Br. Manurung, pekerja sebagai pengrajin ulos sekalian istri nelayan

(4)

2.1.2 Beternak

Beternak menjadi salah satu peluang yang sangat besar bagi masyarakat untuk dikembangkan sebagai usaha di masa depan, ketika masyarakat Sigaol mengalami perubahan iklim yang cukup lama mereka menggunakan strategi dalam memenuhi kebutuhannya dengan cara beternak yaitu memelihara ayam, itik, bebek, anjing, babi, kerbau, kambing, kuda, dll. Sebagian hasil ternak yang mereka pelihara itu dijual kepasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari, sebagian lagi dipotong untuk acara pesta dikampung itu.

Menurut hasil wawancara dari beberapa masyarakat mereka tidak pernah memakan daging sesuai dengan selera meskipun hewan peliharaannya banyak. Mereka boleh makan daging apabila keluarga atau saudara dekat dari orang tua mereka datang dari perantauan contohnya Paman, bibi, tante, kakek, nenek, dan lain-lain baru bisa makan enak (makan daging). Hal ini dikerjakan oleh masyarakat sebagai mata pencaharian tambahan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat sigaol pada tahun 1938 masih banyak yang belum mengenal tulisan (buta huruf), karena mereka tidak pernah duduk dibangku sekolah diakibatkan kurangnya biaya untuk mengecam pendidikan. Mereka hanya dapat melakukan aktivitas seperti menangkap ikan, beternak, bertani, berdagang, menjual kayu bakar dan sebagainya.

(5)

2.1.3 Berdagang

Dimasa silam ketika uang masih belum dikenal, perdagangan dilakukan dengan cara tukar-menukar (barter). Sarana pertukaran yang paling banyak dilakukan ialah padi karena lebih mudah dilakukan. Hampir semua barang dapat dipertukarkan dengan padi, karena mudah diukur. Menukarkan padi dengan suatu barang disebut

manuhor (membeli) bentuk barang apapun. Di waktu itu ketika tempat untuk

berjual-beli belum ada, jika hendak menukarkan barang harus pergi menawarkannya dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung.

Lama kelamaan cara berjualan seperti itu dirasakan sangat melelahkan, timbulah pemikiran untuk mencari cara yang lebih mudah dengan cara mengumpulkan para pengetua kampung berkumpul untuk mangadakan musyawarah yang dihadiri oleh pimpinan horja (raja) utusan dari beberapa kampung yang dekat atau bertetangga. Hasil dari musyawarah tersebut memutuskan untuk mendirikan sebuah pekan atau pasar yang disebut dengan onan dan sekaligus menyediakan tanah kosong untuk lokasi pasar. Kampung-kampung yang menjadi anggota onan, disebut

bona ni onan, merekalah yang menjadi tuan rumah dan yang bertanggung jawab atas

keberhasilan pekan tersebut. Setelah adanya pasar semua masyarakat membawa jualannya ketempat tersebut untuk melakukan jual beli. Pada saat itu masyarakat Sigaol banyak menjual yang namanya Itom, Salaon, Bakkudu (ketiga jenis tumbuh-tumbuhan ini berfungsi untuk menghasilkan cat (warna) yang akan digunakan untuk menenun ulos). Selain itom, Salaon, dan Bakkudu mereka juga menjual hewan

(6)

peliharaan, kayu bakar, dan hasil tangkapan dari danau, dan lain-lain. Semua ini dibawa kepasar lalu ditukarkan dengan barang-barang yang mereka butuhkan.

2.2 Setelah Masuknya Tenun Ulos ke Tanah Batak

Ketika leluhur orang Batak tiba di kaki gunung Pusuk Buhit, mereka masih belum menggunakan bahan pakaian dari kapas melainkan masih menggunakan kulit kayu yang dipukul-pukul atau direndam supaya lemas, yang disebut dengan tangki. Beberapa pendapat mengatakan bahwa pengetahuan bertenun diperoleh dari India Belakang dan sejak itulah kapas menjadi bahan baku untuk menghasilkan ulos dan bahan pakaian. Ketika kampung-kampung di Toba masih dikelilingi oleh tembok dan benteng yang tinggi, menjadi kebiasaan bagi ibu-ibu duduk bertenun di halaman rumahnya. Sebagian besar hasil tenunannya digunakan untuk keperluan sendiri, tetapi kadang-kadang ada juga yang dibawa ke onan (pasar atau pekan) untuk ditukarkan dengan barang kebutuhan sehari-hari.10

10 N. Siahaan , Sejarah Kebudayaan Batak, Medan: CV. Napitupuluh Dan SONS Djalan Irian Barat 39, 1964, hlm., 130-131.

(7)

2.2.1 Sejarah Masuknya Tenun Ulos Di Desa Sigaol

Ulos adalah jenis pakaian orang Batak sejak zaman dahulu kala. Cara memakainnya ialah dengan meletakkan di badan - sampai batas pinggang bagi para pria dan sebatas dada bagi wanita dipakai sebagi penutup dada dan punggung. Cara berpakaian seperti ini umumnya masih berlangsung hingga sekitar tahun 1850.11

Menurut hasil wawancara yang penulis peroleh penemu ulos pertama di Tanah Batak tidak diketahui secara jelas karena banyak pendapat yang mengatakan bahwa sejak orang Batak ada ulos juga sudah ada. Etnis Batak sudah ada ribuan tahun yang lalu begitu juga dengan keberadaan usia. Tenun ulos masuk ke Desa Sigaol sekitar tahun 1939 dibawa oleh keluarga Op. Tuan Dirambe Butarbutar Beliau memiliki istri 2 orang yaitu boru Sitorus dan boru Gultom. Ketika keluarga Op. Tuan Dirambe datang ke Desa Sigaol mata pencaharian masyarakat pada saat itu adalah nelayan, berdagang, bertani, dan beternak. Selain itu masyarakatnya buta huruf (tidak dapat baca) hal ini juga mengakibatkan perolehan mata pencaharian karena mereka kurang agresif dalam mencari nafkah. Disamping itu juga masyarakat tidak bebas dalam menyalurkan setiap bakat yang mereka peroleh dalam memenuhi perekonomiannya karena masyarakat pada saat itu jadi budak kolonial Belanda.

Setelah kelurga Op. Tuan Dirambe menetap di Desa Sigaol, masyarakat Sigaol sangat tertarik dengan kerajinan tangan yang dibuat oleh istri-istri Op. Tuan Dirambe, dan masyarakat meminta pada istri-istri Tuan Dirambe untuk mau

11 M. T. Siregar, Ulos Dalam Tatacara Adat Batak, Jakarta: P. T. MUFTI HARUN (BIN HARUN) Jln. K. H. Mas Mansyur no. 96 Jakarta Pusat- 10230, hlm, 1.

(8)

mengajari mereka. Kehadiran tenun ulos di Desa Sigaol cukup mendukung perekonomian masyarakat meskipun dalam pembuatannya memerlukan waktu yang cukup lama. Masyarakat Sigaol juga pada saat itu tetap mengerjakan mata pencahariannya sebagai nelayan, berdangang, beternak, dan berjualan seperti: Itom,

Salaon, Bakkudu, Kayu Bakar, Tuak (Nira atau dikenal dengan istilah susu orang

Batak) dan Hasil ternak lainnya.

2.2.2 Tenun Ulos (Home Industry)

Pada zaman dahulu, ulos dikenakan sebagai pakaian sehari-hari. Ulos yang di pakai laki-laki untuk menutup tubuh bagian atas disebut sebagai hande-hande atau

ikat kepala (detar). Bagian bawah disebut Singkot (lopes). Sedangkan yang

perempuan memakainya sebagai abit (kain sebatas dada). Bagian bawah, punggung dipakai hoba-hoba dan bila disandang disebut selendang dan pada bagian atas atau di kepala disebut saong-saong. Kemudian, apabila menggendong anak disebut ulos

parompa. Ulos dipakai sehari-hari di rumah, di ladang, dan di tempat-tempat lain.

Karena dahulu kala orang belum mengenal yang namanya tekstil, semua pakaian terbuat dari hasil rajutan atau tenunan.12

Dahulu menenun ulos tidak boleh dilakukan sembarangan tetapi harus cermat dan teliti. Harus diperhatikan agar perbandingan panjang dan lebar jangan menyimpang dari ketentuan. Tambahan kain yang dijahitkan di sisi kiri dan kanan

12 N. Siahaan, op. cit, hlm,. 131.

(9)

ulos, harus selalu lebih lebar dari kain yang di tengah, dan biasanya ulos zaman dahulu memiliki ukuran, yang panjangnya memiliki 2,8 meter dan lebar memiliki 1,7 meter.13

Selama bertenun, ada larangan dan pantangan yang tidak boleh dilanggar misalnya:

1. Kalau ujung benang putus ketika menggulung dan ujungnya tidak dapat ditemukan kembali, merupakan pertanda bahwa kain yang ditenun akan menjadi penutup mayat pemiliknya.

2. Jika sewaktu bertenun, balobas (kayu berbentuk penggaris) yang dipakai untuk merapatkan benang dengan tidak sengaja memukul seekor lalat hingga mati, merupakan pertanda bahwa tidak lama lagi anak pemilik kain akan meninggal.

3. Jika disebuah kampung ada kemalangan (meninggal), kendi atau mencampur tempat cat harus segera ditutup dengan duri, supaya begu (roh) orang meninggal tidak masuk ke dalam mengaduk-aduk larutan cat, mengakibatkan campuran yang telah diracik dengan susah payah menjadi rusak.

4. Seorang penenun tidak boleh meninggalkan kampug membawa ulos yang masih setengah selesai, dengan maksud menyelesaikannya di kampung lain. Jika aturan ini dilanggar, tondi (roh) kain tenun akan menghilang.

13 Wawancara, Dengan Ibu Sibonur Br. Manurung, bekerja sebagai pengrajin ulos, 21 April 2014, pukul 10.00 wib.

(10)

5. Kedua potongan kain yang dijahitkan pada kedua ujung ulos sebagai penghias, tidak boleh sama panjangnya. Jika ukurannya sama akan membawa kematian bagi pemiliknya.14

2.2.3 Nelayan

Tidak semua daerah mempunyai tempat untuk menangkap ikan, hanya diwilayah yang mempunyai sungai dan Danau Toba. Pada masa lalu masyarakat Toba tidak mengetahui ikan apa saja yang ada di sungai maupun di Danau Toba pada saat itu. Ikan mas dan halu (gurami) bukanlah ikan asli danau, melainkan ikan yang disemai dan dibiakkan oleh Dinas Perikanan pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.

14 N. Siahaan, op. cit, hlm, 132.

(11)

A.J. van Zanen bekas kontelir Belanda di Toba, sangat kagum setelah mengetahui sedemikian banyak jenis alat penangkap ikan yang dipakai nelayan di Toba. Tidak diketahui sejak kapan peralatan tersebut mulai digunakan. Dilaporkan ada 27 jenis alat penangkap ikan yang digunakan seperti yang disajikan dalam tabel 1 dibawah ini.

Tabel. 1

Alat Menangkap Ikan di Toba

Peraturan menangkap ikan di Danau Toba, hanya berlaku untuk penduduk yang berdomisili di sekeliling danau. Setiap horja yang lokasinya di pinggir Danau Toba, memiliki daerah penangkapan ikan mulai dari batas pantai menjorok tegak lurus masuk ke danau. Di daerah bukan horjanya, tidak diperkenankan menangkap ikan terkecuali mendapat isin dari Raja Parjolo (Raja Pertama), jumlahnya tidak ditentukan tergantung pada sipemberi. Sedangkan menangkap ikan di sungai bebas,

No. Nama Alat Pekerja

15. Hail Sibahut 1 orang 16. Hail Tabu-tabu 1 orang 17. Hail Parippik 1 orang 18. Hail Taotao 1 orang

19. Bubu 1 orang

20. Bubu Issor 1 orang 21. Launglaung 1 orang

22. Arsam 1 orang

23. Sulangat 1 orang 24. Sabaran Batu 1 orang 25. Suri Gamal 2 orang

26. Antuk 1 orang

27. Tahop 1 orang

No. Nama Alat Pekerja

1. Suri Bolon 8-9 orang 2. Suri Paduadua 2 orang 3. Sidua Tali 2 orang 4. Sigulang Batu 10 orang 5. Parhorian 1 orang

6. Undalap 1 orang

7. Ambe Bagas 1 orang 8. Batu Pangiring 1 orang

9. Tiktik 1 orang

10. Olat 1-5 orang

11. Ambatan 2-3 orang 12. Pandan Tari 1 orang

13. Tungkup 1 orang

14. Hail Ihan 1 orang

Sumber: buku Sejarah Kebudayaan Batak, (N. Siahaan 1964, hlm, 127)

(12)

dan tidak terikat pada suatu peraturan, tetapi di beberapa tempat terdapat kesepakatan hanya anggota marga secara bergantian boleh menangkap ikan di muara sungai.15

Sewaktu menangkap ikan harus memperhatikan pantangan (subang) supaya tidak terkena murka dewi air, diantaranya:

1. Jangan menggunakan perahu kayu yang berbongkol untuk menangkap ikan di Danau Toba, karena akan membawa sial (sia-sia).

2. Jika si nelayan menangkap ikan-pantai (ikan yang biasanya hidup di tepi pantai) di tengah danau, berarti bahaya kematian mengancam salah satu anggota keluarganya.

3. Jika si nelayan menemukan seekor ikan yang hampir mati di bubunya (ditempat ikan) atau menangkap seekor ikan pora-pora kecil tergantung-gantung di antara dua ikan besar di jalanya, memberitahukan akan ada mayat di antara dua usungan keranda.

4. Selama menangkap ikan, si nelayan harus menghindari menyebut kata “lumang” artinya kosong, karena dapat menyebabkan dia pulang dengan tangan kosong.

(13)

2.2.4 Beternak

Hampir semua keluarga yang tinggal di huta (kampung) memelihara ternak, terutama babi dan ayam. Pada umumnya jumlah ternak yang dipelihara tidak banyak dan kurang terpelihara dengan baik karena ternak tersebut berkeliaran di sekitar kampung dan pada malam hari ayam mencari tempat bertengger didahan kayu yang tumbuh dikampung. Begitu juga dengan babi yang tidak diberikan makan yang cukup sehingga hewan tersebut mencari makannya di luar kampung.

Ada juga masyarakat yang memelihara kerbau dan kuda dan umumnya mereka dari keluarga yang berpunya. Didesa Sigaol tidak terdapat rumput, hewan tersebut dibawa kepadang luas di luar kampung, dan yang mengembalakan kerbau tersebut adalah anak-anak pemilik kerbau tersebut, setelah kerbau tersebut kenyang lalu dimandikan. Kemudian dibawa pulang dan di masukkan ke dalam kandang. Sedangkan penduduk yang tidak mampu membeli kerbau secara utuh, sering bergabung dengan beberapa temannya dan patungan membeli seekor kerbau, atau dalam bahasa Batak Toba disebut marriperipe marpinahan.

Vergouwen menjelaskan bahwa orang Batak sudah mempunyai Peraturan dan Hukum (patik dohot uhum) yang baik untuk mengatur perkongsian, yang disebut

parripe-ripeon. Dalam aturan patugan, secara jelas diatur kapan dan berapa lama

(14)

disawah. Demikianlah penentuan jadwal untuk masing-masing anggota kapan boleh memerah susu kerbau16.

2.2.5 Berdagang

Setelah masuknya ulos ke Desa Sigaol masyarakat Sigaol tetap melanjutkan aktivitasnya untuk berjualan kepasar dengan membawa hasil tenunan (ulos), hasil tangkapan ikan, hasil ternak, serta salaon, itom, bakkudu, tuak (nira) dan kayu bakar. Semua ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Makanan pokok masyarakat pada waktu itu adalah beras dan ubi. Sedangkan bagi daerah yang kurang subur seperti Desa Sigaol mereka menanam singkong dan ubi jalar. Keladi (suhat) juga dimakan sebagai makanan tambahan, dan daunnya dijadikan sayur. Hewan peliharaan tidak pernah disembelih untuk dimakan bersama keluarganya, mereka hanya boleh makan daging apabila ada pesta dan itupun jarang terjadi, bagi mereka makan daging itu adalah makanan mewah.

2.3 Kondisi Alam

Desa Sigaol merupakan bagian dari Kecamatan Lumban Julu yang terletak di dataran tinggi Bukit Barisan, dengan kontur tanah yang beragam; datar, landai, bergelombang, miring, dan terjal, dengan ketinggian antara ± 870 - 950 Meter di atas permukaan laut. Memiliki tekstur tanah pada umumnya Andosol (tanah yang

(15)

berwarna hitam) rata-rata Curah hujan 85 mm per tahun. Posisi geografis Toba Samosir terletak antara 2°23’ - 2°30’ LU dan 99°04’-99o.09’ BT, dengan luas

wilayah 400 Ha. Menurut sensus jumlah penduduk Desa Sigaol sebanyak 665 jiwa dengan komposisi penduduk jumlah laki-laki sebanyak 325 orang dan perempuan sebanyak 340 orang.

Desa Sigaol tergolong daerah yang sulit ditumbuhi tanaman. Karena tanahnya terjal (tanah merah campur batu-batuan) dan kering tidak ada penyimpanan air. Dengan kondisi seperti ini, sehingga masyarakat tidak memungkinkan untuk bertani. Sedangkan kecepatan angin di Desa Sigaol rata-rata 3,3 km/jam, kecepatan angin tertinggi adalah 4,61 km/jam, dan kecepatan terendah adalah 2,43 km/jam5 .17

2.4 Pola Perkampungan Penduduk

Sistem Penduduk asli Desa Sigaol adalah suku Batak Toba, yang dihuni oleh marga Sinaga, Sitorus dan Nainggolan. Budaya masyarakat Batak Toba menganut sistem patrilineal (garis keturunan dari laki-laki). ini merupakan tulang punggung masyarakat Batak yang dibangun berdasarkan silsilah atau keturunan marga yang menghubungkan antara satu sama lain dalam garis laki-laki (patrilineal). Laki-laki membentuk kelompok kekerabatan, sementara kaum perempuan membentuk afiliasi kekeluargaan (afinal relationship) karena mereka menikah dengan kelompok

patrilineal yang lain.

(16)

Sistem marga mengimplikasikan bahwa setiap kelompok orang yang memiliki asal genealogis yang sama juga memiliki tempat tinggal atau permukiman yang sama setidaknya diwaktu silam. Jadi, yang dikatakan sebagai marga pada suku bangsa Batak Toba ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba.

Fungsi utama sistem marga adalah membangun keteraturan di antara orang-orang Batak termasuk dengan orang-orang-orang-orang diluar suku Batak. Bagaimana sistem sosial ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari tercermin ketika seorang warga Batak bertemu dengan orang Batak lainnya dan mereka menelusuri pohon silsilah mereka (partuturan). Dengan melakukan partuturan mereka bisa menentukan apakah seseorang adalah kerabatnya, apakah mereka memiliki tali kekerabatan lewat perkawinan dan bagaimana mereka harus menyapa satu sama lain. Dapat dilihat dari prinsip Dalihan na tolu, jika marga dari pihak laki-laki disebut “dongan sabutuha” (Saudara) memperoleh istri dari pihak marga pemberi istri disebut “hula-hula” (Paman) dan memberi berkah kepada marga pengambil istri disebut “boru” (anak perempuan) . Sistem sosial ini berfungsi mengatur keserasian masyarakat Batak. Ketiga kelompok fungsional ini dipandang sebagai keterwakilan tiga Dewa/Tuhan Orang Batak. Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan. Batara Guru adalah simbol hula-hula yang melalui anak gadis mereka, menciptakan turunan manusia baru.

Hula-hula memperoleh penghargaan dan kekuasaan sebagaimana Batara Guru dalam

“Tiga Dewa/Tuhan” orang Batak, yakni Soripada adalah dongan sabutuha (saudara) yang bertanggungjawab merawat anak-anak mereka.

(17)

Untuk menciptakan harmoni dalam hubungan Dalihan Na Tolu ini, dalam adat Batak Toba telah menetapkan aturan perilaku sebagai berikut. Logika moral yang terkandung dalam somba marhula-hula (hormat kepada paman) terkait dengan proses penciptaan manusia. Sementara manat mardongan tubu/marga (hormat kepada saudara ) mengandung dua kewajiban moral yakni :

1. Seseorang harus bersikap serius kepada kelompok marganya. Sikap dan sifat serius terhadap dongan tubu (saudara) meliputi :

a. Utang harus dibayar

b. Pemberian tidak bisa ditagih kembali dan disebarluaskan kepada yang lain c. Perselisihan diantara kelompok marga harus didasarkan pada nilai-nilai demokrasi, bukan otoriter.

2. Hubungan diantara marga harus didasarkan pada nilai-nilai demokratis, bukan otoriter. Terakhir elek marboru (membujuk pihak perempuan) berarti seni mencintai terhadap pihak perempuan harus dilakukan dengan tulus hati yang terdalam. Menjauhkan sifat pura-pura dan tersembunyi seperti :

a. Mengambil harta boru tanpa seijinnya (holung). b. Merampas milik boru (heum).

c. Cemburu (hosom).

Referensi

Dokumen terkait

39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak

Gary Roberts dan Michael Pregitzen (2007), meneliti tentang mengapa karyawan tidak menyukai sistem penilaian kinerja yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan

Diberikan harga pembelian sejumlah barang dalam satuan kuantitas (biji/buah), dan persentase kerugian, siswa dapat menentukan harga penjualan dengan benar. Menentukan diskon,

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: pertama , tahapan-tahapan yang dilakukan Guru BK dalam mengatasi perilaku bullying, yaitu mengidentifikasikan masalah,

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi kecelakaan kerja, dintaranya adalah Fault Tree Analysis (FTA), Hazard and Operability Study

[r]

Berdasarkan Penetapan Pemenang Evaluasi Penawaran yang ditetapkan Pokja Pengadaan Barang/Jasa (Kontruksi) Unit Layanan Pengadaan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Dari hasil pendekatan perhitungan manual tersebut terlihat bahwa nilai defleksi jembatan terhadap beban kendaraan secara keseluruhan mengalami defleksi yang lebih besar sete-