• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN

KERANGKA PEMIKIRAN

Tinjauan Pustaka

Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman semusim, termasuk golongan rumput-rumputan dengan Famili Graminae. Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air, atau di daerah yang beriklim panas yang lembab (Suparyono dan Agus, 1993).

Menurut Wikipedia, kata "beras" mengacu pada bagian bulir padi (gabah) yang telah dipisah dari sekam. Pada salah satu tahap pemrosesan hasil panen padi, gabah ditumbuk dengan lesung atau digiling sehingga bagian luarnya (kulit gabah) terlepas dari isinya. Bagian isi inilah, yang berwarna putih, kemerahan, ungu, atau bahkan hitam, yang disebut beras.

Beras sendiri secara biologi adalah bagian biji padi yang terdiri dari aleuron, lapis terluar yang sering kali ikut terbuang dalam proses pemisahan kulit, endospermia, tempat sebagian besar pati dan protein beras berada, dan embrio, yang merupakan calon tanaman baru (dalam beras tidak dapat tumbuh lagi, kecuali dengan bantuan teknik kultur jaringan). Dalam bahasa sehari-hari, embrio disebut sebagai mata beras.

Beras "biasa" yang berwarna putih agak transparan karena hanya memiliki sedikit aleuron, dan kandungan amilosa umumnya sekitar 20%. Beras ini mendominasi pasar beras. Beras merah, akibat aleuronnya mengandung gen yang memproduksi antosianin yang merupakan sumber warna merah atau ungu. Beras hitam, sangat langka, disebabkan aleuron dan endospermia memproduksi

(2)

antosianin dengan intensitas tinggi sehingga berwarna ungu pekat mendekati hitam.

Beras dimanfaatkan terutama untuk diolah menjadi nasi, makanan pokok terpenting warga dunia. Selain itu, beras merupakan komponen penting beras kencur dan param. Minuman yang populer dari olahan beras adalah arak dan Air tajin. Dalam bidang industri pangan, beras diolah menjadi tepung beras. Sosohan beras (lapisan aleuron), yang memiliki kandungan gizi tinggi, diolah menjadi tepung rice bran. Bagian embrio juga diolah menjadi suplemen dengan sebutan tepung mata beras. Untuk kepentingan diet, beras dijadikan sebagai salah satu sumber pangan bebas gluten dalam bentuk berondong.

Curah hujan yang dikehendaki pertahun sekitar 1500 mm sampai dengan 2000 mm. Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik pada suhu 230 C ke atas. Pengaruh suhu tidak terasa di Indonesia, sebab suhunya hampir konstan sepanjang tahun. Ketinggian tempat cocok untuk tanaman padi pada 0-65 m di atas permukaan laut (Aak, 1990).

Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Meskipun sebagai bahan makanan pokok, padi dapat digantikan/disubsitusi oleh bahan makanan lainnya, namun padi memiliki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak dapat mudah digantikan oleh bahan makanan lainnya (Suparyono dan Agus, 1993).

Beras menjadi pangan hampir seluruh penduduk Indonesia, tanpa terkecuali. Pangan beras menjadi pangan pokok favorit semua lapisan, kaya dan miskin. Dilihat dari sisi gizi dan nutrisi, beras memang relatif unggul dibandingkan dengan pangan lain. Seluruh bagian beras bisa dimakan. Kandungan

(3)

energinya mencapai 360 kalori per 100 gram. Dengan kandungan protein 6,8 gram per 100 gram, beras juga merupakan sumber protein yang baik. Itulah sebabnya, di Indonesia, dalam neraca makanan, sumbangan beras terhadap energi dan protein masih sangat tinggi: lebih dari 55 persen. Seseorang yang makan beras dalam jumlah cukup pasti tidak akan kekurangan protein (Suhartiningsih, 2004).

Beras sebagai pangan pokok dalam masyarakat juga disertai dengan penetapan harga yang wajar bagi masyarakat dan pentingnya peran pemerintah untuk mengendalikannnya. Sawit (2007) seperti dikutip dari Mubyarto (1970) mengatakan bahwa kebijakan harga beras di Indonesia selalu berorientasi kepada konsumen. Pemerintah ingin menyediakan beras dalam jumlah yang cukup dengan harga yang terjangkau konsumen. Beliau membagi kebijakan dalam tiga periode. Periode pertama, periode kebijakan pangan murah, sejak penjajahan Belanda sampai dengan 1959. Ini dimaksudkan oleh pemerintah Belanda untuk menekan biaya produksi hasil perkebunan besar, seperti kopi, teh, tembakau, dan sebagainya. Sebagian besar pengeluaran buruh perkebunan adalah untuk pangan terutama oleh impor, sehingga pemerintah Belanda dapat membayar upah pada tingkat yang lebih murah.

Periode kedua, periode kebijakan upah natura selama periode inflasi 1959 sampai dengan 1966. Periode ini, inflasi cukup tinggi, sehingga konsumen terutama pegawai negeri yang berpendapatan relatif tetap, sering mengalami kesulitan dalam menjangkau harga beras di pasar. Oleh karena itu, pemerintah menggaji pegawainya sebagian dalam bentuk beras (Sawit, 2007).

Periode ketiga, periode kebijakan era stabilitas Orde Baru. Hal ini masih tetap berjalan sampai sekarang. Intervensi pasar oleh pemerintah, banyak terkait

(4)

dengan pengendalian komoditas pangan terutama beras yang berperan cukup besar dalam penentuan terhadap perekonomian. Terlepas dari itu semua, sejak 1966, semua kebijakan harga seharusnya mengacu ke UU No. 7/1966 tentang Pangan, dan PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan. Kebijakan pemerintah tersebut dimaksudkan untuk menstabilkan harga. Namun, belum tentu kebijakan tersebut memang mampu menstabilkan harga (Sawit, 2007).

Menurut Suraya (2003), pada era Orde Baru stabilitas harga beras merupakan salah satu kebijakan yang penting. Ketidakstabilan harga beras dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda yaitu:

(i) ketidakstabilan dalam musim, yaitu musim panen dan musim paceklik;

(ii) ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya sulit diramalkan.

Ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan pola panen, yaitu panen raya yang berlangsung pada bulan Februari sampai dengan Mei; panen musim gadu pertama yang berlangsung antara Juni sampai dengan September; dan sisanya panen antara bulan Oktober sampai dengan Januari. Bila harga padi/beras dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga padi/beras akan jatuh pada musim panen raya dan meningkat pesat pada musim paceklik (Oktober sampai dengan Januari). Ketidakstabilan harga tersebut dapat memukul produsen pada musim panen dan memberatkan konsumen pada musim paceklik. Pada saat itu, berbagai kebijakan digunakan untuk mengamankan harga beras (Suryana, 2003).

(5)

Menurut Amang dan Chrisman (1995), kebijaksanaan harga sering diartikan sebagai campur tangan langsung atau tidak langsung dari pemerintah yang dimaksudkan untuk merubah harga-harga yang diterima dan dibayar oleh pelaku pasar. Perubahan ini diarahkan untuk mendorong transfer sumber daya khususnya ke sector pertanian yang sering didapati adanya ketidaksempurnaan pasar dan masalah structural yang tidak memungkinkan transfer sumber daya dengan mudah.

Amang dan Chrisman (1995), juga menyebutkan bahwa harga merupakan salah satu variabel yang merupakan cerminan dari interaksi penawaran dan permintaan yang bersumber dari sektor rumah tangga maupun industri. Sebagai suatu cerminan, pemerintah tidak selalu dapat mengandalkan mekanisme pembentukan harga kepada kekuatan pasar atas suatu komoditas dan jasa. Pada umumnya, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, campur tangan pemerinatah masih dilakukan atas berbagai komoditi yang dianggap merupakan komoditas strategis.

Komoditas pangan merupakan salah satu komoditas strategis berhubungan dengan bobotnya yang cukup besar dalam komposisi pengeluaran rumah tangga. Lebih khusus lagi, beras merupakan salah satu komoditas yang sejak sebelum perang sudah dilakukan campur tangan sistematis dari pemerintah. Sejak tahun 1969 pendekatan untuk mengendalikan sistem pemasaran yang terkendali mulai ditangani oleh pemerintah antara lain dengan menetapkan harga dasar. Penetapan harga dasar tidak berdiri sendiri karena menimbulkan beberapa konsekuensi lanjutan bagi pemerintah, yaitu pembelian gabah/beras dikala harga pasar di bawah atau sama dengan harga dasar. Bersamaan dengan itu kebijaksanaan untuk

(6)

melindungi kepentingan konsumen harus dilakukan. Campur tangan pemerintah dalam rantai tata niaga demikian itu dilakukan karena adanya ketidaksempurnaan pasar yang merugikan produsen atau konsumen. Namun demikian, campur tangan pemerintah harus dilakukan secara hati-hati agar tidak sampai berakibat ketidakstabilan atau kerugian bagi para pelaku pasar (Amang dan Chrisman, 1995)

Campur tangan pemerintah diwujudkan dalam bentuk kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan HPP. Menurut Sadli (2005), kebijakan HPP atau Harga Dasar merupakan harga terendah yang harus dijamin oleh pemerintah dalam rangka stabilitasi harga di tingkat produsen dan konsumen.

Perkembangan Kebijakan Harga Dasar

Sejak awal Repelita I pembangunan pertanian, pemerintah menempuh kebijakan harga dasar pada komoditi padi. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani melalui jaminan harga yang wajar. Dengan adanya jaminan harga, petani diharapkan terdorong untuk mengusahakan dan meningkatkan produksi padi. Hal ini sangat penting karena pada awal pembangunan nasional yang dimulai dari Repelita I, kebutuhan beras Indonesia masih sangat tergantung pada impor. Pendekatan demikian juga ditempuh oleh negara-negara lain, termasuk yang sudah maju (Hadi, 2000).

Kebijakan harga dasar gabah telah dimulai sejak musim tanam awal Repelita I yaitu tahun 1969/1970 dan terus berlangsung hingga saat analisis ini dilaksanakan (2008). Setiap tahunnya, harga dasar gabah ditetapkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia tentang Penetapan Harga Dasar

(7)

Gabah. Ada beberapa macam harga dasar yang ditetapkan pada setiap Inpres, yaitu harga dasar gabah, harga pembelian gabah terendah oleh BULOG dan harga pembelian beras oleh BULOG (Hadi, 2000).

Gabah dalam ketentuan tersebut adalah Gabah Kering Giling (GKG), yaitu gabah yang memenuhi persyaratan kualitas sebagai berikut: kadar air maksimum 14%, butir hampa/kotoran maksimum 3%, butir kuning/rusak maksimum 3%, butir mengapur/hijau maksimum 5% dan butir merah maksimum 3%. Bilamana petani atau kelompok tani belum mampu memenuhi persyaratan kualitas tersebut, mereka dapat menjual hasilnya dalam berbagai kondisi kualitas gabah kepada BULOG sesuai dengan tabel harga yang berlaku. Contoh tabel harga beli BULOG dari petani untuk tiga kualitas gabah, yaitu Gabah Kering Giling (GKG), Gabah Kering Simpan (GKS) dan Gabah Kering Panen (GKP) untuk tahun 2000 adalah seperti pada Tabel 3. Harga dasar GKP merupakan 85,55% dari harga dasar GKS atau 73,33% dari harga dasar GKG, sedangkan harga dasar GKS merupakan 85,71% dari harga dasar GKG. Pembedaan harga antar kualitas gabah tersebut tidak hanya didasarkan atas perbedaan kadar air saja, tetapi juga perbedaan komponen kualitas lainnya. (Hadi, 2000).

Ketentuan-ketentuan tentang harga pembelian gabah oleh BULOG dari petani di tingkat BULOG adalah: (1) Apabila harga gabah sama atau di bawah harga dasar, maka untuk pengamanan harga dasar itu BULOG harus membeli gabah dari petani atau kelompok tani pada berbagai tingkat kualitas sesuai dengan pedoman harga pembelian; (2) Apabila pembelian gabah oleh BULOG dilakukan di tempat petani, maka harga pembelian adalah harga dasar dikurangi ongkos angkut ke gudang BULOG; dan (3) Apabila di suatu kecamatan tidak ada

(8)

BULOG atau apabila BULOG yang ada tidak mampu mengamankan harga dasar, maka BULOG dapat menurunkan Satuan Tugas (Satgas) Operasional Pengadaan Dalam Negeri untuk melakukan pembelian langsung dari petani (Hadi, 2000). Ketentuan pembelian harga dasar gabah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Harga Dasar Gabah Menurut Klas Mutu sesuai Inpres No.8 tahun 2000 (Rp/kg) INPRES RI NO. 8 TH 2000 HPP (Rp/Kg) KADAR AIR (Max. %) HAMPA KOTORAN (Max. %) BUTIR PATAH (Max. %) BUTIR KAPUR (Max. %) BUTIR MERAH (Max. %) GKG di Petani 1.500,- 14 10 - - - GKG di Gd. BULOG 1.519,- 14 3 - - - Beras di Gd. BULOG 2.470,- 14 - 3 5 3

Sumber: Perum Bulog Divre Sumut, 2008

BULOG sebelum melakukan pembelian gabah perlu menganalisis kualitas gabah terlebih dahulu, yang meliputi: (1) Kadar air; (2) Kadar hampa/kotoran dengan ayakan berdiameter 1,7 mm untuk butir gabah berdiameter kecil dan ayakan berdiameter 1,8 mm untuk butir gabah berdiameter besar; dan (3) Kadar komponen-komponen mutu lainnya secara visual (Hadi, 2000).

Perkembangan harga dasar GKG beserta nomor dan tanggal Inpres serta tanggal berlakunya harga dasar ditunjukkan pada Tabel 3. Terlihat bahwa harga dasar gabah tidak selalu diumumkan pada bulan yang sama, tetapi sebagian besar diberlakukan pada bulan yang sama setiap tahunnya. Selama 1969 sampai dengan 1974, harga dasar diumumkan pada bulan Februari atau Maret dan mulai diberlakukan antara 1 Februari dan 24 Mei pada tahun yang sama. Selama 1975 sampai dengan 1995, pengumuman harga dasar dilakukan lebih awal, yaitu antara Oktober dan Desember dan diberlakukan sejak 1 Februari tahun berikutnya. Dalam periode ini hanya diselingi pengumuman pada bulan Januari dan diberlakukan sejak 1 Februari atau 3 Mei tahun yang sama. Selama 1996 sampai

(9)

dengan 1997, pengumuman harga dasar kembali dilakukan pada bulan Januari atau Februari dan diberlakukan sejak Januari atau Februari pada tahun yang sama. Pada tahun 1999, pengumuman harga dasar dilakukan pada bulan Desember dan diberlakukan sejak bulan dan tahun yang sama. (Hadi, 2000).

Tabel 3. Perkembangan Harga Dasar Gabah dan Harga Pembelian Gabah dan Beras oleh BULOG serta masa berlakunya.

HARGA H A R G A P E M B E L I A N TAHUN DASAR G A B A H B E R A S NOMOR TANGGAL TANGGAL

GKG HPP KUD NON KUD KUD NON KUD INPRES INPRES BERLAKU

1983/84 145,00 156,00 152,00 238,00 233,00 14/1982 01/12/82 01/02/83 1984/85 165,00 177,70 172,70 270,00 264,00 16/1983 21/12/83 01/02/84 1985/86 175,00 187,70 182,70 285,00 279,00 12/1984 15/12/84 01/02/85 1986/87 175,00 187,70 182,70 285,00 279,00 11/1985 13/12/85 01/02/86 1987/88 190,00 202,70 197,70 313,00 307,00 4/1986 01/12/86 01/02/87 1988/89 210,00 222,70 217,70 344,00 338,00 6/1987 15/10/87 01/02/88 1989/90 250,00 262,70 257,70 405,00 399,00 4/1988 15/10/88 01/01/89 1990 270,00 282,70 277,70 436,00 430,00 7/1989 25/10/89 01/01/90 1991 295,00 310,00 305,00 480,00 474,00 6/1990 20/10/90 01/01/91 1992 330,00 346,00 341,00 536,00 530,00 5/1991 26/10/91 01/01/92 1993 340,00 356,00 351,00 551,00 545,00 5/1992 22/10/92 01/01/93 1994 360,00 376,00 371,00 592,00 586,00 4/1993 13/10/93 01/01/94 1995 400,00 416,00 411,00 657,00 652,00 6/1994 06/10/94 01/01/95 1996 450,00 466,00 460,00 738,00 730,00 1/1996 07/02/96 01/01/96 1997 525,00 541,00 535,00 856,00 848,00 2/1997 24/01/97 24/01/97 1998 600,00 616,00 610,00 971,00 961,00 7/1998 29/01/98 29/01/98 1998 700,00 716,00 710,00 1125,00 1115,00 7/1998 13/04/98 01/04/98 1998 1000,00 1016,00 1010,00 1660,00 1650,00 19/1998 10/07/98 01/06/98 1998*) 2400,00 2390,00 28/1998 15/09/98 15/09/98 1998 Wil I 1400,00 1419,00 1410,00 2310,00 2295,00 32/1998 31/12/98 01/12/98 1998 Wil II 1450,00 1469,00 1460,00 2390,00 2375,00 32/1998 31/12/98 01/12/98 1998 Wil III 1500,00 1519,00 1510,00 2470,00 2455,00 32/1998 31/12/98 01/12/98 1999 sama dengan 1998 2000 sama dengan 1998 2001 1500,00 1519,00 2470,00 8/2000 10/11/00 01/01/01 2002 **) 1519,00 2470,00 9/2001 31/12/01 02/01/02 2003 **) 1725,00 1725,00 2790,00 9/2002 31/12/02 02/01/03 2004 sama dengan 2003 2005 1740,00 1765,00 2790,00 2/2005 02/03/05 02/03/05 2006 2250,00 2280,00 3550,00 13/2005 10/10/05 01/01/06 2007 2575,00 2600,00 4000,00 3/2007 31/03/07 01/04/07

(10)

Keterangan :

*) Berdasarkan kawat Kabulog no.2898/091498 yang hanya berlaku di Aceh, Sumsel, Sumbar, Jatim, Kalsel, NTB, Sulsel, Sulteng dan Sultra.

Wil I = Jawa, Bali, NTB, Sulsel, Sultra, Sulteng; Wil II = Sumatera; Wil III = Kalimantan, NTT, Sulut, Maluku, Irian Jaya, TimTim

Inpres No. 2/2005 : Rp. 1.330/kg untuk GKP; Rp. 1.765 per kg GKG di gudang penyimpanan dan Rp. 1.740 per kg di penggilingan

Inpres No. 13/2005 : Rp. 1.730/kg untuk GKP; Rp. 2.280 per kg GKG di gudang penyimpanan dan Rp. 2.250 per kg di penggilingan

Inpres No. 3/2007 : Rp. 2.000/kg GKP di petani; Rp. 2.035/kg GKP di

penggilingan; Rp. 2.575/kg GKG di penggilingan; Rp. 2.600/kg GKG di gudang Bulog dan Rp. 4,000/kg beras di gudang Bulog.

Inpres No. 1/2008 : Rp 2.200/kg GKP di petani; Rp. 2.240/kg GKP di

penggilingan; Rp. 2.800/kg GKG di penggilingan; Rp 2.840/kg GKG di gudang BULOG dan Rp. 4.300/kg beras di gudang BULOG.

Sumber: Perum Bulog Divre Sumut, 2008

Untuk lebih jelas dalam melihat pergerakan dari kurva yang harga dasar GKG, gabah dan beras.dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:

(11)
(12)

Perkembangan harga dasar GKG selama 1969 sampai dengan 1999 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4 dapat dikemukakan sebagai berikut. Selama periode 1969 sampai dengan 1973 harga dasar GKG tidak berubah pada tingkat Rp 20,90 per kg, tetapi sejak 1975 terus meningkat sehingga pada tahun 1997 mencapai Rp 525 per kg. Selama 1969 sampai dengan 1997, rata-rata peningkatan harga dasar adalah 11,68% per tahun. Tetapi selama dua tahun terakhir (1998 sampai dengan 1999) yaitu selama krisis ekonomi berlangsung, terjadi peningkatan harga dasar sangat cepat. Pada tahun 1998 bahkan terjadi tiga kali perubahan harga dasar, yaitu menjadi Rp 600, Rp 700 dan Rp 1.000 per kg (Hadi, 2000).

Harga Dasar yang ditetapkan oleh pemerintah mengalami perubahan istilah penamaan, seperti: Harga Dasar Gabah (HDG), Harga Dasar Pembelian Gabah (HDPG), Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) merupakan hal yang sama dalam menyebutkan harga dasar dengan konsep yang sama. Dan yang sering dipakai sampai sekarang ini adalah penggunaan dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) (Simatupang, 2003).

Kebijakan harga beras diajukan secara komprehensip dan operasional oleh Mears dan Affif (1969). Falsafah dasar kebijaksanaan tersebut berisikan beberapa komponen sebagai berikut: (a) Menjaga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi; (b) perlindungan harga maksimum untuk menjamin harga yang layak bagi konsumen; (c) perbedaan yang layak antara harga dasar dengan harga meksimum untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk penyimpanan beras; dan (d) hubungan harga yang wajar antar daerah maupun

(13)

terhadap harga internasional. Di dalam pengontrolan stabilitas harga beras, diperlukan penganganan dan pemeliharaan persediaan beras yang memadai (Amang dan Chrisman, 1995). Berdasarkan teori diatas, terdapat hubungan antara HPP atau harga dasar dengan produksi beras dimana dengan diterapkannya kebijakan HPP akan terjadi peningkatan produksi beras. Begitu pula dengan harga beras di tingkat konsumen dengan adanya HPP atau harga dasar, maka harga beras akan terjangkau oleh konsumen.

Implementasi kebijakan harga dasar dan harga batas tertinggi adalah sebagai berikut. Bulog melakukan pengadaan gabah dan beras dalam negeri selama musim panen untuk menjaga harga dasar dan untuk mengisi persediaan. Jika pengadaan tidak mencukupi untuk kebutuhan penyaluran, Bulog melakukan impor beras dari luar negeri. Pada waktu musim paceklik, dilakukan operasi pasar untuk mengurangi fluktuasi harga beras musiman. Kerangka kebijaksanaan harga beras diilustrasikan oleh gambar 2.

Pengadaan gabah dan beras dalam negeri serta penyaluran beras ke pasaran, umum tidak dilakukan secara langsung oleh Bulog, akan tetapi melalui pihak ketiga. Dengan demikian tidak mematikan usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak swasta. Pengadaan gabah dan beras dalam negeri dilakukan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) serta pedagang dan penggilingan swasta (Non KUD). Jadi Bulog sebagai jaminan pasarnya. Sedangkan penyaluran beras ke masyarakat dilakukan melalui para penyalur swasta dan koperasi-koperasi. Bulog akan ikut melakukan pengadaan dan penyaluran melalui satuan tugas khusus, jika para pihak swasta tidak mampu mengamankan harga.

(14)

Mekanisme harga dan pengendalian persediaan dalam rangka pengoperasian stabilitas harga, khususnya beras dipaparkan sebagai berikut. Pada waktu panen padi, penawaran beras dipasaran umum berlimpah, sehingga harga beras sangat rendah. Gambar 2 menunjukkan bahwa tingkat harga keseimbangan pada waktu itu adalah 0P, yang lebih rendah dibanding dengan harga dasar 0HPP. Agar harga beras berada pada harga dasar 0HPP, maka dilakukan pembelian beras untuk menampung kelebihan penawaran beras sebesar (0X2-0X1). Dengan pembelian ini berarti menggeser kurva permintaan dari D1 ke D2 dan harga keseimbangan yang baru pada tingkat harga 0HPP.

Harga S D1 D2 HPP P \ 0 X1 X2 Kuantitas

Dimana: HPP : Harga Pembelian Pemerintah P : Harga beras di tingkat konsumen

X1 : Kuantitas sebelum perubahan permintaan X2 : Kuantitas sesudah perubahan permintaan S : Penawaran

D1 : Permintaan sebelum ada perubahan D2 : Permintaan sesudah ada perubahan Gambar 2. Kondisi harga pasar diatas HPP

(15)

Sedangkan pada waktu paceklik, harga keseimbangan beras berada pada tingkat 0HPP pada Gambar 3. Tingkat keseimbangan ini, 0HPP, melebihi harga batas tertinggi yang telah ditentukan, 0P. Oleh karena jumlah yang ditawarkan kurang dari jumlah yang diminta, sehingga harga keseimbangan menjadi lebih tinggi. Untuk itu perlu dilakukan penyaluran beras ke pasaran umum, guna menambah penawaran, agar harga beras menurun.

Harga D S1 S2 HPP P 0 X1 X2 Kuantitas Dimana: HPP : Harga Pembelian Pemerintah P : Harga beras di tingkat konsumen

X1 : Kuantitas sebelum perubahan permintaan X2 : Kuantitas sesudah perubahan permintaan S1 : Penawaran sebelum ada perubahan S2 : Penawaran sesudah ada perubahan

D : Permintaan

Gambar 3. Kondisi harga pasar dibawah HPP

2.1. Landasan Teori

Suharto (1997), menyebutkan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada tindakan dan berorientasi kepada masalah.

(16)

Dunn (1991), menyebutkan bahwa analisis kebijakan mengkaji kebijakan yang telah berjalan, ruang lingkup serta metode analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat dari suatu kebijaka. Dari kajian kebijakan tersebut diharapkan dapat memperoleh kesimpulan apakah kebijakan yang telah dijalankan efektif atau tidak.

Ilham dan Hermanto (2007), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tujuan dari dibuatnya kebijakan pertanian adalah untuk mengurangi ketidakpastian usaha tani, menjamin harga pangan yang stabil bagi konsumen dan stabilitas harga di tingkat makro. Instrumen yang bisa digunakan diantaranya dengan kebijakan perdagangan, kebijakan nilai tukar, pajak dan subsidi, serta intervensi langsung. Sedangkan secara tidak langsung stabilitas harga dapat dilakukan melalui kebijakan pemasaran output dan kebijakan input. Kebijakan input yang dimaksud adalah dengan subsidi harga sarana produksi yang diberlakukan pemerintah terhadap pupuk, pestisida dan benih.

Amang (1995), menyebutkan bahwa kebijaksanaan harga merupakan instrument pokok kebijaksanaan pengadaan pangan dengan sasarannya adalah: (1). Melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi

pada musim panen,

(2). Melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli khususnya pada musim paceklik,

(3). Mengendalikan inflasi melalui stabilitas harga.

Falsafah dasar kebijakan harga yang pertama kali diajukan oleh Mears dan Affif (1969) seperti yang dikutip oleh Amang (1995) adalah: a) menjaga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi, b) perlindungan harga batas

(17)

tertinggi yang menjamin harga yang wajar bagi konsumen, c) perbedaan yang layak antara harga dasar dengan harga batas tertinggi untuk memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk untuk penyimpanan, dan d) menjaga hubungan harga yang wajar antar daerah maupun terhadap harga internasional.

Harga merupakan salah satu faktor yang sulit dikendalikan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, tetapi sampai saat ini tetap saja harga masih merupakan masalah, malah lebih berkembang lagi menjadi masalah nomor wahid bagi petani. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada hal yang berhubungan dengan upaya dan kebijaksanaan yang ditempuh dalam pembangunan pertanian (Daniel, 2002).

Pasal 48 UU No.7/1966 tentang Pangan disebutkan bahwa: “...untuk mencegah atau menanggulangi gejolak harga pangan tertentu yang dapat merugikan ketahanan pangan, pemerintah mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka pengendalian harga pangan tersebut.” Diperjelas lagi dalam pasal 12 PP No. 68/2002 tentang Ketahanan Pangan. Di sana disebutkan seperti berikut: Pengendalian harga pangan tertentu yang bersifat pokok di tingkat masyarakat diselenggarakan untuk menghindari gejolak harga pangan yang mengakibatkan keresahan masyarakat…”. Diperjelas pula bahwa yang dimaksud dengan gejolak harga pangan tertentu yang bersifat pokok di tingkat pasar mencapai lebih dari 25% dari harga normal” ( Sawit, 2007).

Kebijaksanaan harga dalam bentuk peraturan yang diatur oleh pemerintah adalah kebijaksanaan harga dasar atau harga lantai (floor price) dan harga tertinggi atau harga atap (ceiling price). Harga dasar diperlukan untuk menjaga harga pasar pada saat panen tidak turun, supaya produsen bisa menerima hasilnya

(18)

sesuai dengan harga yang ditetapkan tersebut. Karena harga dasar ditetapkan berdasarkan perhitungan besarnya input yang ditanamkan untuk masing-masing komoditas yang diusahakan. Begitu juga harga tertinggi atau harga atap, merupakan kisaran berdasarkan besarnya masukan yang diberikan petani dalam proses produksi komoditas tersebut (Daniel, 2002).

Kebijaksanaan penetapan harga dasar dan harga atap ini secara teoritis harus diiringi oleh penampungan produk oleh pemerintah. Hal ini diperlukan untuk menjaga jika terjadi lonjakan produksi, misalnya pada waktu panen raya. Banyaknya barang yang ditawarkan, sementara pembeli atau permintaan tetap maka harga akan tertekan. Sudah jelas mekanisme pasar ini tidak bias dielakkan, dan sebenarnya di sinilah letak peran pemerintah, menyediakan dana untuk menampung produk petani supaya harga dasar tetap berlaku (Daniel, 2002).

Sebaliknya harga atap (harga maksimum) tetap diperlukan khususnya pada musim-musim paceklik, saat persediaan produksi terbatas. Sehingga dengan demikian kebijaksanaan harga dikatakan sangat efektif apabila harga pasar di antara harga dasar dan harga atap. Dengan kata lain, kebijaksanaan harga dimaksudkan untuk melindungi produsen dari tekanan pasar yang tidak berfungsi sempurna. Dalam keadaan harga pasar berada di antara harga dasar dan harga atap, maka baik produsen dan konsumen masing-masing tidak dirugikan (Daniel, 2002).

Kebijaksanaan mengenai harga merupakan wewenang pemerintah yang diturunkan dalam bentuk peraturan dan keputusan pejabat berwenang, seperti surat keputusan meteri atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Kebijaksanaan diambil dengan tujuan untuk melindungi petani dan menstabilkan

(19)

perekonomian. Dasar penetapan harga adalah hubungan antara input dengan

output dalam proses produksi suatu komoditas. Harga-harga komoditas yang

ditetapkan biasanya menyangkut barang-barang pokok atau kebutuhan utama masyarakat, komoditas pangan, komoditas industri, serta komoditas yang mempunyai fungsi strategis lainnya. Bagi komoditas-komoditas strategis seperti BBM (Bahan Bakar Minyak), komoditas pangan, pupuk, dan lainnya, pemerintah masih memberi kebijaksanaan berbentuk subsidi. Kebijakan ini ditempuh untuk membantu masyarakat yang tidak mampu (Daniel, 2002).

Di dalam teori ekonomi makro disebut bahwa peran pemerintah adalah sebagai stabilitator harga di dalam suatu ekonomi. Apabila terjadi kelebihan permintaan di pasar sehingga harga dari barang bersangkutan meningkat, maka pemerintah melakukan intervensi dengan cara menambah suplai di pasar tersebut; sebaliknya, jika terjadi kelebihan stok sehingga harganya jatuh, pemerintah ikut bermain di pasar sebagai pembeli (Tambunan, 2003).

Kerangka Pemikiran

Kebijakan stabilisasi yang pernah dilaksanakan Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya dengan tujuan menjaga stabilitas harga pangan pokok, mengurangi tingkat fluktuasi harga agar tidak terlalu besar, dan mengurangi disparitas harga yang terlalu lebar.

Namun di Indonesia sendiri harga beras sebenarnya masih berada di atas harga referensi atau harga pembelian pemerintah (HPP) menurut Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2005 tentang kebijakan perberasan, yang menetapkan

(20)

Rp 1.730 per kg untuk gabah kering panen (GKP) dan Rp 3.550 per kg untuk beras.

Kebijakan harga dasar gabah (HDG) pada waktu itu memang ditujukan untuk melindungi petani dari anjloknya harga gabah. Maksudnya, tersedia waktu yang cukup lama bagi para spekulan untuk menahan stok di gudang dan melepaskannya ke pasar menjelang atau setelah 1 Januari 2006.

Kebijakan pangan saat ini perlu diarahkan untuk mengurangi disparitas harga gabah dan harga beras atau meningkatkan harga gabah dan menurunkan harga beras. Kajian yang lebih teliti akan mampu menghasilkan suatu spread harga gabah dan beras yang cukup logis. Mampu menjadi insentif peningkatan produktivitas bagi petani padi, serta tidak memberatkan konsumen beras.

Peningkatan stok pangan dengan dukungan produksi dan produktivitas masih mutlak diperlukan untuk memenuhi permintaan bagan pangan yang masih tinggi. Dalam penelitian ini kebijakan pemerintah sebagai suatu instrumen penstabil harga akan diteliti penyebab dampak yang terjadi pada kebijakan pemerintah dan peranannya terhadap produksi dan harga beras.

Adapun skema kerangka pemikiran sebagai berikut :

Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah

Produksi Beras Harga Beras di

(21)

Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan kebijakan HPP dengan produksi beras.

Gambar

Tabel 2. Harga Dasar Gabah Menurut Klas Mutu sesuai Inpres No.8 tahun 2000  (Rp/kg)  INPRES RI  NO
Tabel  3. Perkembangan Harga Dasar Gabah dan Harga Pembelian Gabah dan  Beras oleh BULOG serta masa berlakunya
Gambar 3. Kondisi harga pasar dibawah HPP
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran  Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah

Referensi

Dokumen terkait

Dalam mencapai Akuntanbilitas Laporan Keuangan yang dihasilkan perusahaanlaporan yang dihasilkan oleh perusahaan haruslah memiliki nilai informasi yang baik dengan bentuk

Untuk uji hambat adhesi ini sebanyak 0,5 ml sel bakteri (10 8 sel/ml) yang telah terabel FITC diinkubasikan terlebih dahulu dengan 100 µl antiserum spesifik terhadap

Masalahnya, selama ini petani apel hanya mengukur keuntungan dari usahatani apel berdasarkan penerimaan hasil panen yang dikurangi dengan total biaya yang

Sinyal disebarkan melalui repeater; pada tiap repeater, data digital diperoleh kembali dari sinyal asal dan dipakai untuk menghasilkan suatu sinyal analog baru yang

Leluhur dari kuda peliharaan yang masih liar memiliki ukuran hanya sebesar ini, tetapi setelah kuda dijinakkan, berkembang kuda yang lebih besar dan kuat untuk

FAKTOR INTERNAL Citra Bank baik Lokasi Bank Strategis Saham milik Pemerintah Daerah Pencapaian prestasi service excellence sebagai modal peningkatan bisnis Daya dukung Teknologi

Sarana Prasarana Non Fisik Dewan Asatidz Implementasi sistem pembelajaran ilmu agama yang dilakukan oleh dewan asatidz, lebih menekankan terhadap ilmu alat yang berupa nahwu dan

Seluruh dosen Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, yang telah mendidik, membimbing, mengajarkan dan mencurahkan