• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA TEORI"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Sesungguhnya, kajian tentang kekerasan verbal bukanlah masalah yang sama sekali baru dalam dunia telaah linguistik. Para linguis dan peneliti terdahulu telah melakukan beberapa telaah atau penelitian dalam hal penggunaan kekerasan verbal. Dalam konteks itu, penelitian tetang kekerasan verbal telah banyak dilakukan oleh ahli atau peneliti dari pelbagai aspek. Misalnya, Odin Rosidin (2010) melakukan penelitian tentang “ Kajian Bentuk, Kategori, dan Sumber Makian serta Alasan Penggunaan Makian oleh Mahasiswa”. Penelitian tersebut mengkaji klasifikasi dan deskripsi bentuk, kategori, dan sumber makian, serta alasan penggunaan makian oleh responden laki-laki dan perempuan. Analisis yang digunakan yaitu berdasarkan sudut pandang bentuk, kategori dan sumber makian, serta alasan penggunaan Makian. Temuan penelitian penulisan tesis yang dipublikasikan di Universitas Indonesia ini menunjukkan (1) tidak terdapat perbedaan klasifikasi bentuk Makian antara kekerasan verbal yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, (2) tidak terdapat perbedaan klasifikasi kategori makian antara kekerasan verbal yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, (3) tidak terdapat perbedaan klasifikasi sumber makian oleh perempuan, (4) tidak terdapat perbedaan klasifikasi alasan penggunaan makian antara alasan responden laki-laki dan alasan responden perempuan.

(2)

Penelitian yang ditulis oleh Odin Rosidin tidaklah sama dengan penelitian yang akan dilakukan karena pertama, objek dari penelitian tersebut yaitu mengarah kepada mahasiswa sedangkan objek penelitian yang akan dilakukan dalam tulisan ini yaitu mengarah kepada anak-anak. Kedua, penelitian ini meneliti perbedaan bentuk, kategori, sumber kekerasan verbal, dan alasan penggunaan kekerasan verbal oleh mahasiswa ataupun mahasiswi sedangkan penelitian yang akan diteliti lebih khusus ingin meneliti bentuk kekerasan verbal yang dilakukan orang tua dan faktor-faktor yang menyebabkannya. Akan tetapi tulisan ini sama-sama menyinggung tentang kekerasan verbal yang dilakukan oleh seseorang baik pria maupun wanita terhadap orang di sebuah lingkungan masyarakat. Penelitian ini memberikan konstribusi terhadap penelitian yang akan dilakukan berupa jenis-jenis kekerasan verbal yang dipaparkan sebelumnya yang sebenarnya juga termasuk dalam kekerasan verbal. Hal itu membantu peneliti untuk tidak sulit lagi mengklasifikasikan jenis-jenis kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak.

Penelitian yang hampir serupa dengan penelitian di atas adalah penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati (2013). Penelitian yang berjudul, “ Kekerasan Verbal Bahasa Indonesia dalam Wacana Pasar Tradisional di Kota Denpasar” ini meneliti bentuk-bentuk kekerasan verbal yang terjadi di pasar Tradisional beserta dengan faktor-faktor pemicu penggunaan kekerasan verbal.

Temuan penelitian jurnal yang dipublikasikan di jurnal nasional Universitas Udayana ini yaitu terdapat kekerasan verbal di pasar tradisional yang diklasifikasikan berdasarkan bentuk-bentuknya sesuai dengan teori pragmatik

(3)

komisif, dan deklarasi, sedangkan kekerasan verbal tindak tutur ekspresif tidak ditemukan. Selain itu penelitian yang menjadikan pedagang dan calon pembeli di pasar tradisional menjadi objek penelitian ini juga menemukan tiga belas jenis kekerasan verbal yang terjadi di pasar tradisonal Kota Denpasar, meliput kekerasan verbal, hinaan, ancaman, tuduhan, paksaan, sindiran, protes, kecurigaan, penolakan, kepurukan, sapaan, dan kebohongan. Ada lima faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan verbal di pasar tradisional Kota Denpasar. Faktor-faktor tersebut adalah faktor keingingan untuk menyampaikan sesuatu, suasana hati, situasi lingkungan, keadaan, dan tingkat sosial.

Penelitian yang ditulis oleh Ambarwati tidaklah sama dengan penelitian yang akan dilakukan karena pertama, objek dari penelitian tersebut yaitu mengarah kepada pedagang dan calon pembeli di pasar tradisional sedangkan objek penelitian yang akan dilakukan dalam tulisan ini yaitu mengarah kepada anak-anak dalam keluarga. Kedua, penelitian ini meneliti bentuk kekerasan verbal berdasarkan teori pragmatik, sedangkan penelitian yang akan diteliti lebih khusus ingin meneliti bentuk kekerasan verbal yang dilakukan orang tua dan faktor-faktor yang menyebabkannya berdasarkan teori sosiolinguistik. Akan tetapi tulisan ini sama-sama menyinggung tentang kekerasan verbal yang dilakukan oleh seseorang baik pria maupun wanita terhadap orang di sebuah lingkungan masyarakat dan penelitian yang diteliti sama-sama ingin mengupas faktor-faktor kekerasan verbal yang dilakukan oleh penuturnya. Penelitian ini memberikan konstribusi terhadap penelitian yang akan dilakukan berupa jenis-jenis kekerasan verbal yang dipaparkan sebelumnya yang sebenarnya juga termasuk dalam kekerasan verbal. Hal itu membantu peneliti untuk tidak sulit lagi mengklasifikasikan jenis-jenis

(4)

kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak dan membantu untuk mengklasifikasikan faktor-faktor pemicu kekerasan verbal yang dilakukan oleh penuturnya.

Selanjutnya, tesis yang dipublikasikan di Universitas Negeri Malang yang berjudul Karakteristik Bahasa Kekerasan verbal Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Kurniawan (2009) meneliti karakteristik bahasa kekerasan verbal mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Penelitian itu menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Pendekatan teori yang digunakan adalah karakteristik bahasa dalam studi pragmatik dengan objek kajian peristiwa tutur. Temuan penelitian tersebut adalah (1) bentuk ungkapan kekerasan verbal merupakan wujud ujaran dengan pilihan kata-kata atau frasa yang tepat digunakan sebagai alat pengungkap perasaan penutur, (2) strategi penggunaan bahasa kekerasan verbal merupakan wujud dari penerapan teori SPEAKING, dan (3) ragam fungsi ungkapan kekerasan verbal selain menjadi sarana pengungkap rasa marah juga dapat digunakan sebagai sarana pengungkapan rasa kesal, rasa kecewa, penyesalan, keheranan ataupun penghinaan. Namun, sebaliknya, bahasa kekerasan verbal juga dapat digunakan sebagai sarangan pengungkapan rasa keintiman atau dalam nuansa keakraban. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang akan dilaksanakan akan tetapi penelitian Kurniawan menggunakan teori pendekatan pragmatik sedangkan penelitian yang akan dilaksanakan menggunakan teori sosiolinguistik.

Penelitian berikutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Farida Yuni Arsih (2010), yang menganalisis tentang “Studi Fenomenologis: Kekerasan

(5)

Kata-tesis di Universitas Diponegoro. Penelitian tersebut didasarkan pada database yang berhasil dikumpulkan melalui kuesioner. Temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu remaja ketika mendapatkan perlakuan kekerasan kata-kata (kekerasan verbal) adalah seperti memanggil nama dengan nama hewan, mengatai “bodoh”, mencaci-maki, marah-marah, perasaan ketika mendapatkan perlakuan kekerasan kata-kata (kekerasan verbal) bagi remaja adalah perasaan sedih, dendam, dan ingin membalas. Respon ketika mendapatkan kekerasan kata-kata adalah menghiraukan orang yang melakukan kekerasan kata-kata dan pengen bantah, dampak dari kekerasan kata-kata pada remaja adalah dampak psikis dan dampak positif seolah-olah akan menjadi penurut kepada orang tua.

Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai kekerasan verbal sesungguhnya telah banyak dilakukan peneliti lain dari aspek yang sangat beragam, yakni bentuk, referensi, fungsi, faktor, sikap sosial, aspek pragmatik, aspek sosiolinguistik, dan makna kekerasan verbal. Sementara itu, berkenaan dengan penelitian yang melibatkan anak dalam keluarga menjadi subjek masih minim dilakukan menjadi subjek penelitian. Penelitian ini menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan verbal, peristiwa tutur kekerasan verbal dan faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan verbal berdasarkan data kekerasan verbal yang dilakukan orang tua terhadap anaknya yang dilakukan di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Lingkungan 22 Medan.

(6)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Sosiolinguistik

Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang memperlajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Kajian utama sosiolinguistik adalah keragaman bahasa yang terjadi di masyarakat. Sosiolinguistik lebih menitikberatkan teori-teorinya pada kegiatan berbahasa sekelompok masyarakat dalam sebuah lingkungan.

Pengetahuan sosiolinguistik dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi. Sosiolinguistik memberikan pedoman untuk berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan jika berbicara dengan orang-orang tertentu. Dalam bukunya Alen dan Corder (1975:156) yang mengungkapkan, “Sociolinguistics is the study of language in operation, it’s purpose is to investigate how the convention of the language use relate to other aspects of social behavior” itu berarti sosiolinguistik merupakan kajian bahasa dalam penggunaan bahasanya, dengan tujuan untuk meneliti bagaimana konvensi pemakaian bahasa itu sendiri yang berhubungan dengan aspek-aspek lainnya dari tingkah laku sosialnya.

Senada dengan Alen dan Corder, Holmes (2001:1) menyatakan, “Sociolinguists study the relationship between language and society. They are interested ini explaining why we speak differently in different social contexts, and they are concerned with identifying the social functions of language and the wayas it is used to convey social meaning.” Definisi itu mengungkapkan bahwa

(7)

Dalam hal ini, sosiolinguistik lebih tertarik dalam menjelaskan mengapa manusia berkomunikasi secara berbeda-beda dalam situasi sosial yang berbeda pula dan juga mengkaji mengenai fungsi sosial dari suatu bahasa dan cara bahasa tersebut digunakan untuk menyampaikan sebuah pesan melalui penggunaan sebuah bahasa tentunya. Sedangkan sosiolinguistik yang merupakan kajian kontekstual terhadap variasi penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang alami.

Menurut O‟Grady (1996:4) menyatakan, “The subdiscipline of linguistics that treats the social aspects of language is called sociolinguistics” yang berarti bahwa disiplin ilmu bahasa yang mempelajari aspek sosial dari bahasa disebut sosiolinguistik. Ada pula pendapat menurut Radford, Andrew et.al (1999:20) mengungkapkan, “Sociolinguistics is the study of the relationship between language use and the structure of society.” Pengertian tersebut menunjukkan bahwa sosiolinguistik mempelajari hubungan antara bahasa yang digunakan dan struktur dalam masyarakat. Hubungan tersebut adalah hal yang mengawali adanya perbedaan dalam berbahasa karena tidak semua bahasa diungkapkan dengan cara yang sama oleh orang-orang yang berbeda, tentunya ada aturan-aturan tertentu dalam kegiatan berbahasa dalam kehidupan bermasyarakat yang disesuaikan dengan peran dan keadaannya masing-masing. Perbedaan dalam penggunaan bahasa ini akan berbeda, apakah bahasa formal, tidak formal, halus, sopan atau bergantung pada struktur sosial pelaku komunikasi tersebut dan faktor keadaan yang sedang dihadapi oleh penuturnya saat sedang melakukan aktivitas komunikasi.

Sebaliknya Chaer dan Agustina (2004:3) menyatakan, “Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa,

(8)

sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia.” Definisi ini menjelaskan bahwa sosiolinguistik dalam mencari objeknya tidak harus selalu mendekati bahasa itu melainkan mencoba mengambil dari segi bahasa yang menjadi sarana interaksi dan berkomunikasi oleh masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari yang tidak akan lepas dari penggunaan sebuah bahasa.

Ada pun batasan yang dikemukakan oleh Trudgill (Sumarsono, 2009:3) mengungkapkan, “Sosiolinguistics... is that part of linguistics which is concerned with language as a social and cultural phenomenon”. Dengan kata lain sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan gejala kebudayaan. Bahasa bukan hanya dianggap sebagai gejala sosial melainkan juga gejala kebudayaan. Implikasinya ialah bahasa yang dikaitkan dengan kebudayaan masih menjadi cakupan sosiolinguistik; dan ini dapat dimengerti karena setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan tertentu.

Dari batasan-batasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dengan masyarakat. Sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan dimana sosiolinguistik merupakan ilmu yang mendasari pemikiran tentang keanekaragaman berbahasa dalam ruang lingkup bermasyarakat dan sosiolinguistik pun memiliki peran penting dalam identifikasi sebuah kegiatan komunikasi manusia dalam hal penggunaan bahasa dalam berkomunikasi.

(9)

2.2.2 Peristiwa Tutur (Speech Event)

Peristiwa tutur adalah peristiwa sosial dalam interaksi antara penutur dengan mitra tutur dalam peristiwa atau situasi tertentu. Seperti definisi peristiwa tutur Chaer dan Agustina (2004:47) menyatakan,

“Yang dimaksud dengan peristiwa tutur (Speech Event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.”

Dengan kata lain peristiwa tutur merupakan proses berlangsungnya sebuah interaksi komunikasi antara dua pihak di dalam waktu, tempat, dan situasi yang tengah dihadapi. Dapat pula didefinisikan bahwa peristiwa tutur adalah serangkaian tindak tutur yang diorganisasi secara sistematis untuk menyampaikan gagasan untuk mencapai tujuan.

Terjadinya sebuah peristiwa tutur dapat diidentifikasi berdasarkan teori SPEAKING Hymes yang diangkat dari Wadhaugh, 1990 (dalam buku Chaer dan Agustina, 2004:48-49) sebagai berikut :

S (Setting and Scene) P (Participants)

E (Ends : purpose and goal) A ( Act sequences)

K (Key: tone or spirit of act) I (Instrumentalities)

N (Norms of Interaction and Interpretation) G (Genres)

(10)

Setting and Scence. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan sciene mengacu pada situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan variasi bahasa yang berbeda.

Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara, dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan.

Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.

Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaanya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.

Keys mengacu pada nada, cara, dan semangat, di mana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek, atau register.

Norm or interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

(11)

Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya.

Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan setting dan scene merupakan aspek yang meliputi waktu serta tempat berlangsungnya suatu pembicaraan, participants mengacu pada penutur dan petutur dalam sebuah pembicaraan, latar belakang penutur serta relasi dengan penutur merupakan konteks yang mempengaruhi pembicaraannya, Ends merupakan maksud serta tujuan dari sebuah pembicaraan, Act sequence mengacu kepada bagaimana suatu informasi disampaikan, Key mengacu pada ekspresi penutur dan petutur pada saat pembicaraan berlangsung dengan nada bicara tertentu. Instrumentalities mengacu kepada gaya bahasa pada situasi tertentu, Norms of interaction and interpretation mengacu kepada norma-norma yang ada di sekitar pelaku tutur dalam suatu pembicaraan yang terdapat aturan-aturan sosial yang membatasi apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dibicarakan oleh penutur dan petutur, dan Genre merupakan jenis dari kejadian atau jenis suatu cerita dalam suatu perbedaan pembicaraan yang dapat mempengaruhi ungkapan penuturnya. Dengan kata lain berdasarkan teori SPEAKING Hymes di atas peneliti dapat melihat betapa kompleksnya peristiwa tutur terbentuk. Komponen-komponen tersebut membuktikan bahwa peristiwa tutur merupakan kegiatan tutur yang terkonsep. Sama halnya seperti Aslinda dan Syafyahya (2010:33) yang mengungkapkan, “Peristiwa tutur merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang terorganisasi untuk mencapai suatu ujaran”.

(12)

2.2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Orang Tua Melakukan Kekerasan Verbal

Ada beberapa faktor yang memengaruhi orang tua melakukan kekerasan verbal, di antaranya (Soetjiningsih, 1995) :

1. Faktor Internal

a. Faktor Pengetahuan Orang Tua

Kebanyakan orang tua tidak begitu mengetahui atau mengenal informasi mengenai kebutuhan perkembangan anak, misalnya anak belum memungkinkan untuk melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengetahuan orang tua anak dipaksa melakukan dan ketika memang belum bisa dilakukan orang tua menjadi marah, membentak dan mencaci anak. Orang tua yang mempunyai harapan yang tidak realistik terhadap perilaku anak berperan memperbesar tindakan kekerasan pada anak. Serta kurangnya pengetahuan orang tua tentang pendidikan anak dan minimnya pengetahuan agama orang tua melatarbelakangi kekerasan pada anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sutandio (2003) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara pengetahuan orang tua dengan pola asuh orang tua anak jalanan dalam memberikan pengasuhan anak. Orang tua yang tidak mengetahui atau mengenal sedikit informasi mengenai perkembangan anak, dan mempunyai harapan-harapan yang tidak realistik terhadap perilaku anak berperan memperbesar tindakan kekerasan pada anak, misalnya usia anak belum memungkinkan untuk melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengetahuan orang tua, sia

(13)

anak dipaksa melakukan dan ketika memang belum mampu orang tua menjadi marah. Menurut Sirontak (2001) bahwa peningkatan angka kejadian kekerasan pada anak merupakan hasil dari tidak adanya kemampuan dan keterampilan orang tua dalam mendidik anak.Pandangan yang keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua (Fitri, 2008).

b. Faktor Pengalaman Orang Tua

Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat perlakukan salah merupakan situasi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Semua tindakan kepada anak akan direkam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa. Anak yang mendapat perilaku kejam dari orang tuanya akan menjadi agresif dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam pada anaknya. Orang tua yang agresif akan melahirkan anak-anak yang agresif pula. Gangguan mental (mental disorder) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil (Rahmat, 2006).

Rahmawati (2006) mengatakan adanya pengalaman melihat orang tua mereka bertengkar, ditakut-takuti, dan dimarahi dengan kata-kata kotor oleh orang tua mereka yang dialami oleh responden sewaktu kecil akan terekam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya. Hal ini menyebabkan kecenderungan orang tua untuk melakukan hal yang

(14)

sama pada anak-anak mereka. Kebiasaan orang tua mereka dulu yang membentak, memaki, dan mengancam saat berbicara turut berperan pula dalam kecenderungan orang tua melakukan kekerasan yang sama. 2. Faktor Eksternal

a. Faktor Ekonomi

Sebagian besar kekerasan rumah tangga dipicu faktor kemiskinan dan tekanan hidup atau ekonomi. Pangangguran, PHK, dan beban hidup lain kian memperparah kondisi itu. Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang selalu meningkat, disertai dengan kemarahan atau kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah sekali melimpahkan emosi kepada orang sekitarnya. Anak sebagai makhluk lemah, rentan, dan dianggap sepenuhnya milik orang tua, sehingga menjadikan anak paling mudah menjadi sasaran dalam meluapkan kemarahannya. Kemiskinan sangat berhubungan dengan penyebab kekerasan pada anak karena bertambahnya jumlah krisis dalam hidupnya dan disebabkan mereka mempunyai jalan terbatas dalam mencari sumber ekonomi. Karena tekanan ekonomi oran gtua mengalami stres yang berkepanjangan, menjadi sensitif, mudah marah, kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak, terjadilah kekerasan verbal (Dita,2007).

Faktor ekonomi ini juga meliputi ketimpangan sosial. Kita menemukan bahwa para pelaku juga korban kekerasan kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Karena tekanan

(15)

ekonomi, orang tua mengalami stress berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Maka terjadilah kekerasan emosional. Pada saat tertentu orang uta bisa meradang dan membentak anak dihadapan banyak orang. Sehingga terjadilah kekerasan verbal.

b. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan juga memengaruhi tindakan kekerasan pada anak. Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban perawatan pada anak. lingkungan yang keras turut berperan untuk timbulnya kekerasan verbal. Televisi sebagai suatu media yang paling efektif dalam menyampaikan berbagai pesan-pesan pada masyarakat luas yang merupakan berpotensial paling tinggi untuk memengaruhi perilaku kekerasan orang tua pada anak.

Orang tua menjadi memiliki masalah berat dalam hubungannya dengan anak-anak mereka. Orang tua menjadi memiliki konsep-konsep ang kuat dan kaku mengenai apa yang benar dan apa yang salah bagi anak-anak mereka. Semakin yakin orang tua atas kebenaran dan nilai-nilai keyakinannya, semakin cenderung orang tua memaksakan kepada anaknya (Stuart dan Sundeen, 1991).

2.2.4 Kekerasan Verbal

Era globalisasi, memunculkan masalah baru dan kekerasan terhadap anak di dalam rumah tangga sering dilakukan oleh orang tua. Salah satu kekerasan

(16)

yang sering tidak disadari oleh orang tua adalah kekerasan verbal. Kekerasan verbal atau biasa disebut kekerasan verbal adalah tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan konsekuensi emosional yang merugikan.

Kekerasan verbal menurut Evans mengatakan, “Kekerasan verbal is words that attack or injure, that cause one to believe the false, or that speak falsely of one. Kekerasan verbal constitutes psychological violence” (2010:81). Contoh dari tindak kekerasan verbal terjadi ketika orang tua menyuruh anak untuk diam atau jangan menangis. Jika anak mulai bicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti kamu bodoh, kamu cerewet, kamu kurang ajar. Fokus dari kekerasan verbal adalah ucapan-ucapan yang membuat seseorang merasa kurang dari dirinya yang sesungguhnya dan seharusnya atau kurang percaya diri.

Situasi-situasi kekerasan verbal seringkali lebih dikenali dan dianggap sebagai permasalahan biasa dalam hubungan keluarga. Pelaku kekerasan biasanya tidak menyadari kecenderungan sikap mereka dan justru menyalahkan keluarga, lingkungan, dan anaknya sebagai penyebab mengapa dia bersikap seperti itu. Korban kekerasan verbal sering berpikir bahwa perlakuan yang ia terima disebabkan oleh sesuatu pada dirinya atau yang ia lakukan yang mengakibatkan orang tuanya menjadi marah, kasar, menjauh, kehilangan kepercayaan.

2.2.5 Bentuk Kekerasan Verbal

Bentuk dari kekerasan verbal adalah sebagai berikut (Martha, 2008) : a. Tidak sayang dan dingin

(17)

Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa misalnya : menunjukkan sedikit atau tidak sama sekali rasa sayang kepada anak (seperti pelukan), dan kata-kata sayang.

b. Intimidasi

Tindakan intimidasi bisa berupa: berteriak, menjerit, mengancam anak, dan mengertak anak.

c. Mengecilkan atau mempermalukan anak

Tindakan mengecilkan atau mempermalukan anak dapat berupa seperti: merendahkan anak, mencela nama, membuat perbedaan negatif antar anak, menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak berharga, jelek atau sesuatu yang didapat dari kesalahan.

d. Kebiasaan mencela anak

Tindakan mencela anak bisa dicontohkan seperti: mengatakan bahwa semua yang terjadi adalah kesalahan anak.

e. Tidak mengindahkan atau menolak anak

Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa: tidak memerhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli dengan anak.

f. Hukuman ekstrim

Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa: mengurung anak dalam kamar mandi, mengurung dalam kamar gelap, mengikat anak di kursi untuk waktu lama dan meneror.

(18)

2.2.5.1 Klasifikasi Kekerasan Verbal Berdasarkan Bentuk 1) Kekerasan Verbal Berbentuk Kata

Kekerasan Verbal yang berbentuk kata dapat dibedakan menjadi dua, yakni bentuk dasar dan bentuk kata jadian. Kekerasan verbal bentuk dasar adalah kekerasan verbal yang berwujud kata-kata monomorfemis, seperti babi, bangsat, setan, dan sebagainya.

Sementara itu, kekerasan verbal bentuk jadian adalah kekerasan verbal yang berupa kata-kata polimorfemis. Kekerasan verbal polimorfemis dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni (1) kekerasan verbal berafiks, (2) kekerasan verbal bentuk ulang, dan (3) kekerasan verbal bentuk majemuk. Kekerasan verbal berbentuk kata berafiks, misalnya sialan, bajingan, kampungan.

2) Kekerasan Verbal Berbentuk Frasa

Ada dua cara yang dapat digunakan untuk membentuk frasa dalam bahasa Indonesia, yakni dasar plus kekerasan verbal, seperti dasar bodoh, dasar gila, dan kekerasan verbal plus mu, seperti mamakmu. Kata dasar dalam hal ini dimungkinkan melekat dengan berbagai kekerasan verbal yanf referensinya bermacam-macam, seperti binatang (dasar babi, dasar buaya, dan sebagainya), profesi (dasar pelacur, dasar sundal, dan sebagainya), benda (dasar tai, dasar cabe, dan sebagainya), keadaan (dasar gila, dasar keparat, dan sebagainya), dan makhlus halus (dasar setan, dasar iblis, dan sebagainya). Sedangkan pada kata –mu hanya dapat berdampingan dengan kata-kata kekerabatan (kakekmu, atokmu) dan bagian tubuh (matamu).

(19)

Secara kategorial, kekerasan verbal dapat digolongkan menjadi beberapa jenis yakni kekerasan verbal yang berkategori nomina atau frasa nomina, seperti bandot, tai matamu, iblis, sundal, dan sebagainya; kekerasan verbal berkategori verba (khusunya verba statif) seperti diam kau, mati sana; kekerasan verbal berkategori ajektiva, seperti goblok, gila, dan lain-lain.

3) Kekerasan Verbal berbentuk Klausa

Kekerasan verbal berbentuk klausa dalam bahasa Indonesia dibentuk dengan menambahkan pronomina (pada umumnya) di belakang kekerasan verbal dari berbagai referensi itu, seperti gila kamu, setan alas kamu, gila benar kamu, dan sebagainya. Penempatan pronomina di belakang kata kekerasan verbal dimaksudkan untuk memberikan penekanan kepada bentuk-bentuk kekerasan verbal itu.

2.2.6 Sintaksis

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji bentuk-bentuk kekerasan verbal secara sintaksis. Dalam kajian sintaksis, kekerasan verbal berbentuk kata, frasa, dan klausa dikaji untuk diketahui bentuk-bentuk kekerasan verbal apa yang sering dilakukan orang tua terhadap anak.

Crane, et al (1981:102) berpendapat bahwa syntax is the way words are put together to form phrases and sentences. Dari teori tersebut dapat dikatakan bahwa sintaksis adalah studi yang mempelajari penggabungan kata-kata membentuk frasa dan kalimat.

Kelas sintaksis merupakan salah satu yang ada dalam kajian sintaksis. Kelas sintaksis terbagi menjadi empat yaitu kata, frasa, klausa, dan kalimat.

(20)

“syntactic class is one having a distinctive functional potential; the words derived by a particular lexical process, however, will not be referred to by any rule of syntax.” (Huddleston, 1984:26). Pemaparan tersebut menerangkan bahwa kelas sintaksis adalah kelas yang memiliki sebuah fungsi khusus yang potensial; di mana kata diperoleh dari suatu prses leksikal tertentu, akan tetapi, kata tersebut tidak merujuk dari aturan sintaksis. Dengan penggunaan kelas sintaksis, bentuk kekerasan verbal dapat diketahui termasuk ke dalam kata, frasa, dan klausa.

1) Kata

Kridalaksana (2008:110) menyatakan bahwa kata adalah (1) morfem atau kombinasi yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas, (2) satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal (misalnya batu, rumah, datang, dan sebagainya) atau gabungan morfem (misalnya pejuang, mengikuti, pancasila, mahakuasa, dan sebagainya, dan (3) satuan terkecil dalam sintaksis yang berasal dari leksem yang telah mengalami proses morfologis. Sama halnya dengan Richard, et al (1985:1213) yang menyatakan bahwa One or more sounds which can be spoken to represent an idea, object, action, etc. The smallest unit spoken language which has meaning and stand alone. Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa kata merupakan satu bunyi atau lebih yang diutarakan untuk menggambarkan sebuah ide, objek, peristiwa, dan lain-lain. Kata juga merupakan unit terkecil dalam bahasa yang memiliki makna dan berdiri sendiri.

Serupa dengan yang diutarakan oleh Spencer (1991:43) A word is the smallest that can exist its own. Uraian tersebut memerikan bahwa kata

(21)

merupakan bahasa terkecil yang dapat berdiri sendiri. Dapat disimpulkan bahwa kata merupakan salah satu level yang ada dalam kelas sintaksis yang merupakan unit bahasa yang memiliki arti yang dapat menggambarkan segala sesuatu yang ada, baik bersifat entitas maupun tidak bersifat entitas.

Contoh : tutup, cantik

Contoh di atas menunjukkan bahwa tutup dan cantik merupakan sebuah kata. Kata tutup merupakan kata kerja yang bersifat proses. Kata cantik adalah sebuah kata sifat.

2) Frasa

Frasa merupakan kumpulan kata yang di dalamnya tidak terdapat subjek dan predikat. Seperti yang dikemukakan oleh Richard, et al. (1985:39) “ A Phrase is a group of word which forms a grammatical unit, a phrase does not contains a finite verb and does not have a subject-predicate structure. Ungkapan tersebut menunjukkan frasa adalah suatu kumpulan kata yang membentuk suatu unit gramatikal, frasa tidak memuat kata kerja terbatas dan tidak mempunyai struktur subjek dan predikat.

Frasa terdiri dari lima jenis, seperti yang diungkapkan oleh Qucrk, et al. (1985:60) “The five formal catagories of phrase are verb phrase, noun phrase, adjective phrase, adverb phrase, and prepositional phrase. Penjelasan tersebut menyatakan bahwa frasa memiliki lima kategori formal yaitu frasa verba, frasa nomina, frasa ajektiva, frasa adverbia, dan frasa preposisi.

a. Frasa Verba

Carnie (2007:72) mengemukakan bahwa “Verb phrase minimally consists of a single verb followed by a noun phrase, adverb phrase, and

(22)

prepositional phrase. Paparan tersebut menjelaskan frasa verba terdiri dari verba tunggal diikuti oleh frasa nomina, frasa adverbia, dan frasa presposisi. Contoh : kipas angin

Frasa verba tersebut terdiri dari verba dan nomina. Verba kipas merupakan induk atau inti yang diterangkan oleh nomina angin.

b. Frasa Nomina

Carnie (2007:66) menyatakan bahwa “ Noun phrase contains of a noun (ussually a poper noun [+proper], pronoun [+pron], mass noun [-count], or plurall]), can be optionally modified by determiners and adjectives. Pernyataan tersebut memaparkan bahwa frasa nomina terdiri dari nomina (biasanya berupa kata ganti benda, kata ganti orang, kata benda yang tak dapat dihitung, dan kata benda jamak), dapat secara opsional dimodifikasi oleh determiners dan ajektiva.

Contoh : the big box Det adj N

Frasa The big box yang terdiri dari determiner The, adjektiva big dan nomina box merupakan frasa nomina karena nomina box adalah head atau induk yang jika dihilangkan akan mengakibatkan frasa tersebut menjadi rancu.

c. Frasa Adjektiva (adjective pharase)

Carnie (2007:68) berpendapat bahwa Adjective phrase consists of an adjective as head, optionally proseeded and followed by modifying elements. Ulasan tersebut mendefinisikan frasa adjektiva terdiri dari ajektiva sebagai induk dan secara opsional didahului dan diikuti oleh unsur-unsur yang menerangkan induk tersebut.

(23)

Contoh : sangat cantik Adv adj

Frasa ajektiva sangat cantik terdiri dari adverbia sangat dan ajektiva cantik yang mana adverbia sangat menerangkan ajektiva cantik sehingga ajektiva cantik berfungsi sebagai induk.

d. Frasa Adverbia (Adverb Phrase)

Carnie (2007:68) menyatakan bahwa Adverb phrase of an adverb as head, optionally proceeded and followed by modifying elements. Penjelasan tersebut mengungkapkan frasa adverbia terdiri dari adverbia sebagai induk dan secara opsional didahului dan diikuti oleh unsur-unsur yang menerangkan induk tersebut.

Contoh: amat sangat Adv adv

Frasa adverbia amat sangat terdiri dari frasa adverbia amat dan juga adverbia sangat. Walaupun frasa tersebut terdiri dari dua adverbia, adverbia yang kedualah yang menjadi induk karena adverbia pertama menerangkan adverbia kedua yaitu adverbia amat menerangkan adverbia sangat sehingga adverbia sangat yang menjadi induk.

3) Klausa (Clauses)

Klausa merupakan kelas sintaksis yang terdiri dari nomina dan verba tetapi berbeda dengan kalimat yang memiliki arti penuh. Crystal (2001) mengungkapkan clause a term used in some models of grammar to refer to a unit of grammatical smaller than the sentence but larger than phrase, word or morphemes. Pengertian itu menunjukkan bahwa klausa

(24)

digunakan dalam kajian grammar yang mengacu kepada sebuah unti gramatikal yang lebih kecil dari kalimat tetapi lebih besar dari frasa, kata ataupun morfem. Richards, et al. (1985:23) Clause is a group of words which contain subject and finite verb. Batasan ringkas tersebut menunjukkan bahwa klausa merupakan kumpulan kata yang memiliki subjek dan kata kerja terbatas.

Klausa terbagi menjadi dua jenis, yaitu klausa bebas dan klausa subordinator atau terikat seperti yang diungkapkan oleh Gucker (1966:76) There are two types: mainn (or independent) clauses and subordinator (or dependent) clause. Downing dan Locke (2006:13) mengungkapkan perbedaan klausa bebas dan terikat bahwa All grammatically independent clauses are finite. Dependent clauses may be finite or non-finite. Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa secara gramatikal klausa bebas terdiri dari kata kerja terbatas. Klausa terikat dapat terdiri dari kata kerja terbatas atau kata kerja tidak terbatas.

Contoh: mereka akan tidur ketika saya pergi ke kantor. Klausa bebas klausa terikat

Klausa mereka akan tidur merupakan klausa bebas yang dapat berdiri sendiri tanpa adanya tambahan klausa lain. Klausa ketika saya pergi ke kantor adalah klausa terikat yang tidak dapat berdiri sendiri yang membutuhkan klausa lain agar klausa tersebut dapat dipahami maknanya.

(25)

2.3 Defenisi Orang Tua dan Anak 2.3.1 Orang Tua

Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri atas ayah dan ibu dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga (Habibi, 2008). Ayah dan ibu ditambah dengan anak akan membentuk sebuah unit terkecil dalam masyarakat yang disebut dengan keluarga (Soetjiningsih, 1995).

Peran orang tua dalam keluarga yang ideal maka ada 2 individu yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah dan ibu, secara umum peran kedua individu tersebut adalah :

a. Peran ibu adalah

1) Memenuhi kebutuhan biologis dan fisik,

2) Merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, penuh kasih sayang dan konsisten,

3) Mendidik, mengatuh, dan mengendalikan anak, 4) Menjadi contoh yang teladan bagi anak.

b. Peran ayah adalah:

1) Ayah sebagai pencari nafkah,

2) Ayah sebagai suami yang penuh pengertian dan pemberi rasa aman,

3) Ayah berpartisipasi dalam pendidikan anak,

4) Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana dan mengasihi.

(26)

2.3.2 Anak

Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 pasal 1 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda-beda berdasarkan tahap perkembangannya. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil salah satu tahap perkembangan anak yaitu anak dengan fase prasekolah.

Anak prasekolah yaitu anak dengan usia antara 3 dan 6 tahun, tantangan-tantangan perkembangan dari periode sebelumnya diakhiri dalam keadaan lingkungan sosial yang luas dan dibentuk kembali oleh pertambahan bahasa yang rumit (Soetjiningsih:2002). Berikut pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada anak prasekolah:

a. Pertumbuhan fisik

1) Rata-rata penambahan berat badan anak kira-kira 2 kg dan tinggi badan 7 cm setiap tahunnya.

2) Bagian utama perut anak menjadi rata dan tubuh menjadi lebih langsing.

3) Puncak energi fisik dan kebutuhan tidur menurun sampai 11-13 jam/ 24 jam, biasanya termasuk sekali tidur siang.

4) Ketajaman penglihatan mencapai 20/ 30 pada usia 3 tahun dan 20/ 20 pada usia 4 tahun.

5) Semua gigi primer telah muncul pada usia 3 tahun.

(27)

7) Telah mencapai kontrol malam hari terhadap usus dan kandung kemih mulai pada usia 3 tahun

b. Perkembangan bahasa

1) Perkembangan bahasa terjadi paling cepat antara usia 2 dan 5 tahun. 2) Perbendaharaan kata bertambah dari 50-100 kata sampai 2000 lebih. 3) Bicara tanpa henti tanpa peduli apakah seseorang memperhatikannya. 4) Mengajukan banyak pertanyaan.

5) Menceritakan cerita dilebih-lebihkan.

6) Sedikit tidak sopan bila berhubungan dengan orang yang lebih besar. 7) Anak tidak hanya meniru ucapan orang dewasa, lebih tepatnya

meringkas aturan tata bahasa yang rumit dari bahasa sekitarnya dengan membuat hipotesa lengkap dan memodifikasikannya secara terus menerus.

8) Anak yang diperlakukan dengan kejam dan diacuhkan, dikorelasikan dengan bahasa yang tertunda, terutama kemampuan untuk menyampaikan keadaan emosi.

c. Perkembangan kognitif

1) Periode prasekolah dapat disamakan dengan stadium praoperasional 2) Egosentris dalam berpikir dan perilaku.

3) Pemikiran yang didominasi oleh kesadaran. 4) Mulai memahami waktu.

5) Mengalami perbaikan konsep tentang ruang.

6) Mulai mampu memandang konsep dari perspektif yang berbeda. 7) Ada fase berpikir intuitif.

(28)

8) Hubungan sebab akibat masih dihubungkan dengan kemungkinan kejadian.

9) Patuh karena orang tua mempunyai batasan, bukan karena memahami hal salah dan benar.

d. Perkembangan emosi

1) Rasa ingin tahu tentang alat kelamin. 2) Watak pemarah

3) Keagresifan secara fisik maupun verbal.

4) Anak prasekolah biasanya mengalami perasaan sulit terhadap orang tuanya, cinta yag kuat dan kecemburuan serta kebencian dan ketakutan bahwa perasaan marah dapat menyebabkan pengabaian. 5) Cenderung untuk keras kepala dan tidak sabar.

e. Perkembangan sosialisasi

1) Mentoleransi perpisahan dari orang tua.

2) Kurang mungkin untuk takut pada orang asing. 3) Mulai meniru orang tua.

4) Ekspresif emosi, memiliki tempertantrum. 5) Peniru yang baik (mimikri domestik). 6) Permainan paralel dan asosiatif. 7) Sangat mandiri.

(29)

2.4 Kerangka Kerja

Gambar 2.1 Kerangka Kerja

Kekerasan Verbal

Sosiolinguistik

Analisis Data

Bentuk

Faktor

Temuan

Peristiwa tutur

(30)

Kekerasan verbal yang dilakukan orang tua terhadap anak dalam keluarga mempunyai karakteristik yang unik untuk diteliti. Berdasarkan bentuknya, kekerasan verbal yang dilakukan orang tua beragam cara dari mulai membentak, mengancam, memarahi, memakin, dan lain sebagainya. Karakteristik pemakaian bentuk-bentuk kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga tergantung konteksnya, karena hal itu disebabkan oleh faktor-faktor yang memengaruhi orang tua untuk melakukan kekerasan verbal tersebut terhadap anak. Sebagai kerangkan pikir awal, model acuan dalam penelitian kekerasan verbal berdasarkan teori yang digunakan adalah berupa bentuk-bentuk kekerasan verbal, peristiwa tutur kekerasan verbal, dan faktor yang memengaruhi orang tua melakukan kekerasan verbal dan selanjutnya dianalisis dengan teori yang digunakan.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Kerja

Referensi

Dokumen terkait

Saat AC sedang dalam keadaan mati, bukalah jendela agar udara segar dan cahaya matahari dapat menembus ruangan; (2) kurangi menyemprot pewangi ruangan yang mengandung

Tata Usaha pada UPTD Tindak Darurat Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda Eselon

Berdasarkan temuan alat-alat batu yang ada menunJukkan bahwa penghuni Gua Macan memiliki keahlian teknologi yang baik, hal tersebut dibuktikan dengan kondisi

Pelajar yang pasif dan kurang respon menyebabkan proses pengajaran dan pembelajaran menjadi hambar.Tengku Zawawi et al (2009) menyatakan bahawa pelajar didedahkan

Secara yuridis penodaan agama merupakan bagian dari delik agama yang memang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. Pengaturan

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Dalam penelitian ini akan dilakukan kegiatan evaluasi Usaha Kecil dan Menengah dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya berupa evaluasi kelengkapan

Verotusmoduuleja sekä rajapintoja voitaisiin hyödyntää mm. entistä laadukkaamman ja laajemman datan keräämiseksi, sekä työntantajien ennakonpidätyksen työtaakan