• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN HUKUM ANAK TIRI SEBAGAI AHLI W (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEDUDUKAN HUKUM ANAK TIRI SEBAGAI AHLI W (1)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN HUKUM ANAK TIRI SEBAGAI AHLI WARIS

DALAM HUKUM WARIS ISLAM DAN KUHPERDATA

LEGAL POSITION STEP CHILDREN AS HEIR ISLAMIC IN HERITANCE LAW AND CIVIL

CODE

Mefita Fitri Lia Fandi , Hj. Liliek Istiqomah, S.H., M.H. , Firman Floranta Adonara , S.H., M.H.

Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Jember (UNEJ) Jln. Kalimantan 37, Jember 68121

E-mail: DPU@Unej.ac.id

Abstrak

Kasus tentang sengketa waris yang terjadi sebagai berikut: pada awalnya pewaris mempunyai 5 (lima) anak, yaitu 4 anak kandung dan 1 anak tiri, pada saat si pewaris meninggal maka 5 anak tersebut mendapatkan warisan, 4 anak kandung tersebut ternyata menggugat anak tiri yang mendapatkan warisan tersebut. Tujuan penulisan skripsi ini adalah pertama, untuk mengetahui tentang kedudukan anak tiri dalam hukum Islam dan bagaimana cara anak tiri mendapatkan harta warisan menurut hukum Islam; dan kedua untuk mengetahui tentang kedudukan anak tiri dalam KUHPerdata dan bagaimana cara anak tiri mendapatkan harta warisan menurut KUHPerdata. Adapun tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah Yuridis Normatif. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) dan dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian yang dapat diambil dari permasalahan yang ada adalah Kedudukan anak tiri dalam hukum waris perdata adalah bukan sebagai ahli waris, hal ini sesuai dengan Pasal 832 KUH Perdata sedangkan kedudukan anak tiri dalam hukum waris islam adalah bukan sebagai ahli waris. Hal ini didasarkan pada pasal 171 huruf c kompilasi hukum islam, Sedangkan mengenai cara mendapatkan warisan jika dikaitkan dengan kasus maka anak tiri bisa mendapatkan harta warisan menurut kompilasi hukum islam yaitu dengan cara wasiat dan hibah, hal ini tertuang dalam pasal 194 ayat (2), pasal 195 ayat (2), pasal 210 ayat (1) dan pasal 211 kompilasi hukum islam. Sedangkan menurut hukum waris barat, anak tiri bisa mendapatkan harta warisan dengan cara testament atau wasiat.

(2)

Abstract

The case is about disputes of inheritance that occurred as follows: at first, the heir has 5 children, consist of 4 biological children and 1 stepchild. While the heir died, then 5 children will get inheritance. But apparently, 4 biological children sued stepchild’s legacy. The purpose of writing this paper is first, to know about the position of stepchildren in Islamic law and how they get the inheritance according to Islamic law; Second to find out about the position of stepchildren in the Civil Code and how they get the inheritance according to the Civil Code. The type of research that used in this paper is The Normative Juridical. The approach that used in this paper is The Approach of Legislation (Statute Approach) and Conceptual Approach (Conceptual Approach). Legal materials that used are primary legal materials and secondary legal materials. The results that can be taken from the existing problems are position of the stepchildren in the legal heir of Civil Code is not as heirs. It is in accordance with Civil Code article 832. In the other hand, the position of stepchildren in Islamic law of inheritance is not as heir. It is based on article 171-c, compilation of Islamic law. And about how to obtain the legacy, it is related with the case, so the stepchildren can get inheritances according to Islamic law compilation which is by will and grant. It is stated in article 194 paragraph (2), article 195 paragraph (2), article 210 paragraph (1) and article 211 compilation of Islamic law. While according to the west law of inheritance, stepchildren can get inheritance by the testament.

Keywords: inheritance law, Islamic law of inheritance, children.

PENDAHULUAN

Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hukum kewarisan sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia karena terkait dengan harta kekayaan dan manusia yang satu dengan yang lainnya. Kematian atau meninggal dunia adalah peristiwa yang pasti akan dialami oleh seseorang, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup seorang manusia. Jika orang yang meninggal dunia yang dikenal dengan pewaris meninggalkan keluarga dan harta kekayaan yang disebut warisan, dengan cara apa kita akan menyelesaikan atau membagi warisan yang ditinggalkan oleh pewaris serta hukum apa yang akan diterapkan untuk membagi warisan tersebut. Hukum yang membahas tentang peralihan harta peninggalan, pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia, diatur dalam hukum kewarisan. Di Indonesia, sampai saat ini masih menggunakan 3 (tiga) sistem hukum kewarisan, yaitu sebagai berikut1:

a) Hukum Kewarisan Adat

Sistem Hukum kewarisan adat beraneka ragam, hal ini dipengaruhi oleh bentuk masyarakat di berbagai daerah lingkungan hukum adat dan sifat kekerabatan berdasarkan keturunan. Setiap sistem keturunan memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu dengan yang lainnya saling berbeda. Dalam hukum adat mengenal tiga sistem hukum kewarisan yang sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan, yaitu Sistem Kewarisan Individual, Sistem Kewarisan Kolektif, Sistem Kewarisan Mayorat. Dasar hukum berlakunya hukum adat ini terdapat

1 Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat dan Bw, Bandung, Refika Aditama, hal. 53

dalam pasal 131 I.S. (Indische Staatssregeling) ayat (2) b (Stb 1925 No. 415 Jo. 577), termasuk juga berlakunya hukum waris adat yaitu: “Bagi golongan Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur Asing dan bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas agama, dan kebiasaan mereka”. Hukum adat mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri, yang berbeda dengan hukum Islam maupun hukum perdata, hal ini disebabkan karena latar belakang pikiran bangsa Indonesia dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika.

b) Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan yang lazim disebut dengan hukum Faraid merupakan bagian dari keseluruhan hukum Islam yang khusus mengatur dan membahas tentang proses peralihan harta peninggalan dan hak-hak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup. Buku II Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan bahwa yang dimaksud hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dasar hukum kewarisan Islam diatur dengan tegas dalam Al-Qur’an, diantaranya dalam firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 7, yang artinya sebagai berikut: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.

(3)

suami isteri itu, baik secara garis lurus kebawah, garis lurus ke atas, atau garis ke samping, baik laki-laki atau perempuan. Dengan alasan demikian maka hukum kewarisan Islam bersifat individual. Oleh karenanya hukum kewarisan Islam memiliki corak yang berbeda dangan hukum kewarisan adat maupun hukum kewarisan perdata barat. Corak atau karakteristik hukum kewarisan Islam tersebut tidak ditemui dalam hukum kewarisan KUH Perdata dan Hukum Waris Adat.

c) Hukum Kewarisan Perdata Barat

Sistem kewarisan yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek (BW) atau (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang menganut sistem individual, dimana setelah pewaris meninggal dunia maka harta peninggalan pewaris haruslah segera dilakukan pembagian kepada ahli waris. Berlakunya Burgerlijk Wetboek (BW) berdasarkan pada ketentuan:

a. Pasal 131 jo 163 I.S. (Indische Staatsregeling) yaitu hukum waris yang diatur dalam KUHPerdata berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Eropa tersebut;

b. Staatsblad 1917 No. 129 yaitu hukum waris yang diatur dalam KUHPerdata berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa;

c. Staatsblad 1924 No. 557 jo. Staatsblad 1917 No. 12 yaitu hukum waris yang diatur dalam KUHPerdata berlaku bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada hukum Eropa. Sekarang ini Staatsblad tersebut tidak berlaku lagi setelah adanya UUD RI 1945 yang tidak mengenal penggolongan penduduk Indonesia. Penggolongan yang sekarang dikenal yaitu “Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing”.

Hukum waris KUHPerdata diartikan sebagai berikut: “Kesemuanya kaidah hukum yang mengatur nasib kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia dan menentukan siapa orangnya yang dapat menerimanya. Pewarisan akan dilaksanakan setelah ada seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta kekayaan dan ada ahli waris yang berhak atas harta peninggalan tersebut, sebagaimana Pasal 830 KUHPerdata menyatakan bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian.

Dari pemaparan diatas maka penulis ingin mengangkat suatu kasus tentang sengketa waris yang terjadi sebagai berikut: pada awalnya pewaris mempunyai 5 (lima) anak, yaitu 4 anak kandung dan 1 anak tiri, pada saat si pewaris meninggal maka 5 anak tersebut mendapatkan warisan, 4 anak kandung tersebut ternyata menggugat anak tiri yang mendapatkan warisan tersebut. Adapun permasalahan yang didapat latar belakang diatas,

maka akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Kedudukan Hukum Anak Tiri Sebagai Ahli Waris Dalam Hukum Waris Islam dan KUHPerdata? pertanggungjawabkan maka metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif (legal research) dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach) dengan bahan hukum primer Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (Burgerlijk Wetboek), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku literatur, kamus hukum, dan tulisan-tulisan tentang hukum. Langkah selanjutnya yang digunakan dalam melakukan suatu penelitian hukum yaitu mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan dan menetapkan permasalahan yang dibahas. Kemudian melakukan pengumpulan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum yang sekiranya dipandang mempunyai relevansi dengan permasalahan. Setelah itu melakukan telaah permasalahan yang akan dibahas. Lalu memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun didalam kesimpulan.

PEMBAHASAN

Harta adalah salah satu benda berharga yang dimiliki manusia.Karena harta itu, manusia dapat memperoleh apapun yang dikehendakinya. Salah satu cara memperoleh harta itu adalah melalui jalur warisan yaitu memperoleh sejumlah harta yang diakibatkan meninggalnya seseorang. Tentunya cara ini pun harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, khususnya hukum Islam. Melalui berbagai syarat dan ketentuan yang di atur dalam hukum Islam tersebut diharapkan seorang generasi penerus keluarga atau anak dari salah satu orang tua yang meninggal dapat memperoleh harta peninggalan orang tuanya dengan tidak menzhalimi atau merugikan orang lain.

(4)

siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masingnya. Hukum Islam tidak hanya memberi warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi juga memberi warisan kepada keturunan kedua suami isteri itu, baik secara garis lurus kebawah, garis lurus ke atas, atau garis ke samping, baik laki-laki atau perempuan. Dengan alasan demikian maka hukum kewarisan Islam bersifat individual.

Pengertian–pengertian tentang hukum waris diatas jika dikaitkan dengan kasus maka sudah sesuai. Hal ini mengacu pada kasus posisi pemberian warisan oleh pak subhan kepada anak– anaknya setelah meninggal dunia yaitu berupa sebidang tanah yang tidak diketahui berapa luasnya. Adapun anak–anaknya yaitu ari, budi, cahyono, dodik, fandi. Dari 5 orang anaknya tersebut 4 diantaranya merupakan anak kandung dari pak subhan buah hasil perkawinan pertamanya dengan julaikha yaitu ari, budi, dodik, dan fandi, sedangkan cahyono merupakan anak bawaan hasil pernikahannya dengan istri yang kedua yaitu jumroh.

Menurut penulis, jika dikaitkan dengan pengertian hukum waris menurut Hasbi, maka permasalahan tersebut merupakan permasalahan waris, karena sudah tentu siapa–siapa yang berhak mendapatkan warisan, dan siapa–siapa yang tidak waris, karena disini terjadi peralihan harta kekayaan dari pak subhan kepada ahli warisnya yaitu ari, budi, cahyono, dodik, fandi. Selain itu bagian–bagian harta kekayaan tersebut juga wajib diperhatikan mengingat antara ahli waris yang satu dengan yang lain kemungkinan besar mempunyai perbedaan. Selain itu tata cara mendapatkan warisan juga perlu ditekankan, karena hal ini terkait dengan siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dan siapa yang tidak berhak.

Akibat masih terdapatnya pluralisme hukum di Indonesia, maka dikenallah hukum waris Islam, hukum waris adat dan hukum waris Perdata Barat yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata /Burgerlijk Wetboek/BW). Permasalahan yang pertama-tama timbul bila seseorang meninggal dunia adalah hukum waris yang berhubungan erat dengan hukum apa yang berlaku bagi orang yang meninggal dunia tersebut.

Sistem kewarisan menurut KUH Perdata rmengikut pada sistem keluarga inti dengan pembagian harta secara individual. Pokok–pokok kewarisan yang diatur dalam hukum perdata dapat dilihat dalam Pasal 1066 KUH Perdata, hal- hal

c. Namun dapatlah diadakan persetujuan untuk selama suatu waktu tertentu tidak melakukan pemisahan.

d. Perjanjian ini dapat mengikat selama lima tahun, tetapi setelah tenggang waktu lewat, perjanjian itu dapat diperbaharui.

Pengertian–pengertian tentang hukum waris diatas jika dikaitkan dengan kasus maka sudah sesuai. Hal ini mengacu pada kasus posisi pemberian warisan oleh pak subhan kepada anak– anaknya setelah meninggal dunia yaitu berupa sebidang tanah yang tidak diketahui berapa luasnya. Adapun anak–anaknya yaitu ari, budi, cahyono, dodik, fandi. Dari 5 orang anaknya tersebut 4 diantaranya merupakan anak kandung dari pak subhan buah hasil perkawinan pertamanya dengan julaikha yaitu ari, budi, dodik, dan fandi, sedangkan cahyono merupakan anak bawaan hasil pernikahannya dengan istri yang kedua yaitu jumroh.

Menurut penulis, jika dikaitkan dengan pengertian hukum waris menurut wirjono, maka permasalahan tersebut merupakan permasalahan waris, karena sudah tentu siapa–siapa yang berhak mendapatkan warisan, dan siapa–siapa yang tidak permasalahan waris, karena disini terjadi peralihan harta kekayaan dari pak subhan kepada ahli warisnya yaitu ari, budi, cahyono, dodik, fandi. Selain itu bagian–bagian harta kekayaan tersebut juga wajib diperhatikan mengingat antara ahli waris yang satu dengan yang lain kemungkinan besar mempunyai perbedaan. Selain itu tata cara mendapatkan warisan juga perlu ditekankan, karena hal ini terkait dengan siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dan siapa yang tidak berhak.

(5)

yang dinamakan Hukum Kekayaan dan Hukum Keluarga.

Dalam hal pewarisan, yang dapat diwarisi yaitu hanya hak dan kewajiban yang meliputi bidang harta kekayaan. Namun ada hak-hak yang sebenarnya masuk bidang harta kekayaan tetapi tidak dapat diwarisi. Selanjutnya ada juga hak-hak yang bersumber kepada Hukum Keluarga namun dapat diwarisi antara lain, hak untuk mengajukan tuntutan agar ia diakui sebagai anaknya dan hak untuk menyangkal keabsahan seorang anak. Dengan demikian prinsipnya hanya hak dan kewajiban yang meliputi harta kekayaan saja yang dapat diwarisi, kewarisan. Pengertian wasiat ialah pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya setelah meninggal dunia. Dalam pelaksanannya terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar terlaksana dengan baik. Hal di atas merupakan pengertian wasiat yang berhubungan dengan harta peninggalan dalam hukum kewarisan. Wasiat dapat juga diartikan nasihat-nasihat atau kata-kata yang disampaikan atau dikehendaki seseorang untuk dilaksanakan setelah ia meninggal dunia. Wasiat yang demikian berkaitan dengan hak kekuasaan (tanggung jawab) yang akan dijalankan setelah ia meninggal dunia, misal seseorang berwasiat kepada orang lain agar menolong mendidik anaknya kelak, membayar hutangnya atau mengembalikan barang yang pernah dipinjamnya.

Menurut pasal 171 huruf (f) KHI, yang dimaksud dengan wasiat ialah pemberian sesuatu kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah meninggal dunia. Definisi menurut KHI tersebut berarti agar terjadi wasiat maka harus ada rukun wasiat, yaitu pewasiat, penerima wasiat, dan benda yang diwasiatkan. Sedangkan klausula wasiat adalah suatu pemberian yang baru akan berlaku (mempunyai kekuatan hukum tetap) apabila yang memberikan telah meninggal dunia. Sehingga, pada dasarnya wasiat dalam KHI merupakan pemberian yang digantungkan pada kejadian tertentu baik pemberian tersebut dengan atau tanpa persetujuan dari yang diberi. Apabila seseorang ingin membuat wasiat berdasarkan hukum Islam, maka orang tersebut menuliskan kehendaknya tersebut dalam

suatu surat (yang disebut surat wasiat) tanpa dihadiri oleh seorang notaris, hanya disaksikan oleh saksi ketika membuat wasiat tersebut, dan menyimpannya sampai batas waktu meninggal dunia. Atau cukup dengan mengucapkan secara lisan sewaktu orang tersebut masih hidup dan disaksikan oleh para saksi saja, maka hal tersebut sudah bisa dikatakan sah wasiatnya.

Menurut KHI seseorang yang akan membuat surat wasiat bisa dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi atau bisa juga dicatatkan dihadapan seorang notaris. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 195 ayat 1. Wasiat dari segi etimologi berasal dari Bahasa Arab, yaitu washiyyah yang artinya pelepasan, yakni pelepasan terhadap harta peninggalan yang dilakukan seseorang sewaktu masih hidup, untuk dilaksanakan setelah meninggal dunia. Sehingga dengan adanya wasiat akan memungkinkan seseorang yang mempunyai harta lebih untuk menyisihkan sebagian harta tersebut dan tidak dimasukkan ke dalam jumlah harta peninggalan yang akan dibagi kepada ahli warisnya. Maka setelah mempertimbangkan kebutuhan ahli waris, sebagian harta tersebut akan diberikan pada pihak lain yang masih membutuhkan, seperti kaum kerabat yang miskin sedangkan ia bukan tergolong ahli masyarakat Indonesia, diantaranya ahli waris non muslim tidak menjadi ahli waris dari pewaris muslim sehingga tidak akan

(6)

diberikan berbeda dengan warisan, sedangkan pihak lain (ahli warisyang tidak menerima hibah) menyatakan hibah yang sudah diterima merupakan harta warisan yang sudah dibagi. Oleh karenanya ahli waris yang sudah menerima hibah tidak akan mendapat harta warisan lagi.

Berkaitan dengan masalah di atas pasal 211 KHI telah memberikan solusi, yaitu dengan cara hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian “dapat” dalam pasal tersebut bukan berartai imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan. Sepanjang para ahli waris tidak ada yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima oleh sebagian ahli waris, maka harta warisan yang belum dihibahkan dapat dibagikan kepada semua ahli waris sesuai dengan porsinya masing-masing.

Tetapi apabila ada sebagian ahli waris yang memperseoalkan hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris lainnya, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan cara mengkalkulasikan hibah yang sudah diterima dengan porsi warisan yang seharusnya diterima, apabila hibah yang sudah diterima masih kurang dari porsi warisan maka tinggal menambah kekurangannya, dan kalau melebihi dari porsi warisan maka kelebihan hibah tersebut dapat ditarik kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang kekurangan dari porsinya.

Menurut KUHPerdata pasal 832 dan pasal 899 maka cara mendapatkan warisan adalah dengan: 1. Secara ab intestato (ahli waris menurut

undang-undang), keturunannya, serta isteri atau suami yang masih hidup. mereka, yang tampil jika golongan kedua tidak ada. Jika pewaris tidak meninggalkan suami/isteri, keturunan dan saudara, tanpa mengurangi ketentuan pasal 859 kuh perdata, warisan dibagi dua bagian sama, satu bagian untuk keluarga sedarah dalam garis bapak ke atas dan satu bagian untuk garis ibu ke atas (pasal 853 kuh perdata). (d) Golongan keempat yaitu golongan ini ialah

sanak saudara dari garis ke samping seperti paman, bibi, dengan hak pergantian

kedu-dukan tampil jika golongan ketiga tidak ada.

Jika pewaris dan ahli waris sama-sama meninggal tanpa dapat diketahui siapa yang lebih dahulu meninggal, mereka dianggap meninggal pada saat yang sama dan di antara mereka tidak ter-jadi saling mewaris (pasal 831 dan 894 KUH Perdata). Jika semua golongan tidak ada, maka harta warisan ini jatuh pada negara yang wajib melunasi utang-utang pewaris sekadar harta warisan itu men-cukupi.

2. Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam suatu wasiat)

Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat dimana para ahli warisnya ditunjuk dalam suatu wasiat/testamen. Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki oleh si pewaris. Surat wasiat berlaku setelah pembuat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Wasiat ini sebagaimana tercantum dalam BW pasal 874, 875,879, 880, 890, 893, 894, 895, 897, 930, 944, 946, 947, 950, 951, 954, 988, yang mana didalamnya mengatur tentang pembahasan wasiat.

Dari penjelasan diatas mengenai cara mendapatkan warisan jika dikaitkan dengan kasus maka anak tiri bisa mendapatkan harta warisan menurut kompilasi hukum Islam yaitu dengan cara wasiat dan hibah, hal ini tertuang dalam pasal 194 ayat (2), pasal 195 ayat (2), pasal 210 ayat (1) dan pasal 211 kompilasi hukum Islam. Sedangkan menurut hukum waris barat, anak tiri bisa mendapatkan harta warisan dengan cara terstamentair.

KESIMPULAN DAN SARAN

(7)

Berdasarkan pada uaraian kesimpulan diatas maka terdapat beberapa saran. yaitu sebagai berikut: 1. Agar undang – undang lebih tegas lagi dalam

menetapkan kedudukan anak tiri sebagai ahli waris atau bukan ahli waris karena anak tiri merupakan anak yang hak-haknya wajib diberikan agar keadilan bagi anak tiri benar-benar sesuai dengan hak asasinya. Selain itu pasal-pasal yang menjelaskan tentang anak tiri harus diperjelas mengingat sekarang ini banyak permasalahan tentang anak tiri yang ingin mendapatkan harta warisan.

2. Agar undang-undang mencantumkan pasal-pasal dengan jelas terkait dengan cara-cara yang bisa dilakukan oleh anak tiri dalam memperoleh harta warisan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis Mefita Fitri Lia Fandi mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pembimbing utama Ibu Hj. Liliek Istiqomah, S.H., M.H. dan Dosen Pembimbing Pembantu Bpk. Firman Floranta Adonara, S.H., M.H. yang telah membimbing, dan mengarahkan penulis hingga penulisan jurnal ini dapat diselesaikan dengan baik

DAFTAR BACAAN

Ahmad Rafiq, 1993, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Ahmad Zahari, 2008, Hukum Kewarisan Islam, FH Untan Press, Pontianak.

Amir Syarifuddin, 2008, Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta.

Departemen Agama Republik Indonesia, 1989, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, CV. Jaya Sakti, Surabaya.

Effendi Perangin, 2006, Hukum Waris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan Bw, Refika Aditama, Bandung.

Hasbi Ash-Shiddieqy, 1973, Fiqhul Mawaris, Bulan Bintang, Jakarta.

Hasniah Hasan, 1987, Hukum Waris Dalam Islam, Bina Ilmu, Surabaya.

H.R. Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2006, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung.

M. Idris Ramulyo, 2006, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, Sinar Grafika, Jakarta. Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum,

Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

R.H.H. Soeharjo, 1971, Alqur’an Dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggaraan Penterjemahan / Penfsiran Alqur’an, Jakarta. Sudarsono, 1991, Hukum Waris dan Sistem

Bilateral, PT. Rineka Cipta, Jakarta

Suparman Usman, 2006, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, Sina Grafika, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang–Undang Hukum Perdata Indonesia (Burgerlijk Wetboek).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil wawancara penulis dengan dewan guru khususnya konselor bahwa dalam catatan kasus anak/ siswa di MA YPI Ciwangi kebanyakan adalah mereka siswa yang tidak

Berdasarkan hasil penelitian jenis kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal pada materi himpunan adalah data tidak tepat, prosedur tidak tepat, data

Penelitian ini menghasilkan bahwa Kosovo memiliki strategis politik yang mencakup Kosovo sebagai sebuah area abu-abu yang memberikan kesempatan besar bagi Amerika

Universitas Widyatama berkewajiban menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat disamping melaksanakan pendidikan dan pengajaran sebagaimana diamanahkan

yang diakibatkan oleh terhambatnya sintesis prostaglandin dapat mengganggu homeostasis sistem kardiovaskular sehingga pasien yang memiliki penyakit kardiovaskular akan

Objek variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu Hasil Belajar sebagai variabel dependen (terikat) dan Pendekatan saintifik sebagai variabel independen

Berikut ini adalah sebagian soal – soal Integral yang saya ambil dari soal Berikut ini adalah sebagian soal – soal Integral yang saya ambil dari soal Ujian Nasional tahun 2000

Sistem MySQL digunakan untuk keperluan memproduksi data dan tabel, sistem pada Hive digunakan untuk keperluan mengolah data yang telah diproduksi oleh MySQL, dan sistem