• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Toksitas Subkronik Ekstrak Etanol Herba Sawi Pahit (Brassica juncea (L) Czern. Pada Organ Ginjal Mencit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Toksitas Subkronik Ekstrak Etanol Herba Sawi Pahit (Brassica juncea (L) Czern. Pada Organ Ginjal Mencit"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian tumbuhan sawi pahit

Uraian tumbuhan meliputi morfologi tumbuhan, habitat, sistematika, nama asing, nama daaerah,sinonim, manfaat, dan kandungan kimia.

2.1.1 Morfologi

Sawi pahit berdaun lonjong, halus, tidak berbulu dan tidak berkrop. Tanaman sawi pahit mempunyai batang yang sangat pendek, tangkai daunnya pipih serta sedikit berliku tapi kuat. Tanaman ini tidak mempunyai akar tunggang dan dangkal. Struktur bunga sawi tersusun dalam tangkai bunga yang tumbuh memanjang (tinggi) dan bercabang banyak. Tiap kuntum bunga terdiri atas empat helai daun kelopak, empat helai daun mahkota bunga, empat helai benang sari, dan satu buah putik yang berongga dua (Sunarjono, 2009).

2.1.2 Habitat

Tanaman sawi pahit (Brassica juncea (L) Czern), suku Brassicaceae diperkirakan berasal dari daratan Asia Tengah dan menyebar ke benua Eropa melalui Yunani. Sawi pahit mudah ditanam di dataran rendah maupun dataran tinggi, namun sawi pahit lebih banyak ditanam di dataran rendah, terutama pekarangan karena perawatannya lebih mudah. Sawi pahit baik sekali jika ditanam di tempat yang agak kering (Sunarjono, 2009).

2.1.3 Sistematika

(2)

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Brassicales Famili : Brassicaceae Genus : Brassica

Spesies : Brassica junceae (L.) Czern) 2.1.4 Nama sinonim

Sinonim : Brassica argy H.Lev; Brassica cernua (Thunb.) Matsum; Brassica japonica (Thunb.); Raphanus junceus (L.) Crants (Czernajew, 1859)

2.1.5 Nama asing

Nama asing dari sawi pahit adalah Chinese mustard (Inggris), gai choy (Tiongkok), Ruten-Kohl (German), phakkat-khieo (Thailand), cai xanh (Vietnam), senape (Italia), Takana (Jepang), mostaza de la China (Spanyol) (Tiffani, 2015).

2.1.6 Nama daerah

Nama daerah dari sawi pahit adalah sawi (Jawa dan Madura), sasawi (Sunda) (Tiffani, 2015).

2.1.7 Manfaat tumbuhan

(3)

2.1.8 Kandungan kimia

Sawi pahit diketahui mengandung glikosida flavonol, folat dan isoprenoid. Menurut (Rukmana, 1994), sawi pahit Brassica juncea (L) Czern. Mengandung protein, lemak, karbohidrat, serat, fosfor, zat besi, natrium, kalium, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2 dan vitamin C. Menurut (Bassan, 2013) tumbuhan suku Brassicacea juga mengandung caratenoid dan glucosinolat.

2.2 Uraian kandungan kimia 2.2.1 Glikosida

Glikosida merupakan suatu senyawa yang bila dihirolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Glikosida golongan glukosinolat yang terdapat pada tumbuhan genus Brassica mempunyai sifat anti kanker, tetapi tidak bekerja secara langsung. Komposisi glukosinolat dapat mempengaruhi rasa pahit pada tumbuhan genus Brassica (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Glikosida dibagi atas 4 tipe berdasarkan atom penghubung glikon dan aglikon, yaitu :

a. Tipe O-heterosida atau O-glikosida, jika glikon dan aglikonnya dibubungkan oleh atom O, contohnya : salisin,glikosida flavonol.

b. Tipe S-heterosida atau S-glikosida, jika glikon dan aglikonnya dihubungkan oleh atom S, contohnya : sinigrin, glukosinolat.

c. Tipe N-heterosida atau N-glikosida, jika glikon dan aglikonnya dihubungkan oleh atom N, contohnya nikleosidin dan kronotosidin.

(4)

2.2.2 Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang tersebar mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi C6–C3–C6 , yaitu dua cincin aromatis yang dihubungkan oleh satuan yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga (Markham, 1998).

Flavonoid sering terdapat sebagai glikosida. Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau yang terdapat pada bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, nectar, bunga, buah buni dan biji. Flavonoid bersifat polar karena mengandung sejumlah hidroksil yang tersulih atau suatu gula (Markham, 1998).

2.2.3 Steroid/triterpenoid

(5)

2.3 Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Dengan diketahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 1995). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara dan pelarut yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes RI, 1979).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu:

a. Cara dingin

i. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada suhu kamar. Penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi. Maserasi dilakukan dengan cara masukkan 10 bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam bejana, dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, tutup, biarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, serkai, peras, cuci ampas dengan cairan penyari secukupnya sehingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari. Enap tuangkan dan saring (Depkes RI, 1979).

(6)

temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/ penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1 – 5 kali bahan.

b. Cara panas

i. Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

ii. Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 – 50oC.

iii.Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

iv.Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90oC selama 15 menit.

v. Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90oC selama 30 menit.

2.4 Toksisitas

(7)

mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia (OECD, 2008).

Obat sebelum dipasarkan atau digunakan harus menjalani serangkaian uji untuk memastikan efektivitas dan keamanannya (Priyanto, 2009). Umumnya uji toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu toksisitas umum (akut, subkronik dan kronik) dan toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik) (Priyanto, 2009; Lu, 1994).

2.4.1 Toksisitas umum 2.4.1.1 Toksisitas akut

Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberikan secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu 24 jam (BPOM RI, 2011).

Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis yang diberikan pada beberapa kelompok hewan uji kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian sebagai parameter akhir (BPOM RI, 2011).

Tujuan toksisitas akut adalah untuk mendeteksi toksisitas dari suatu zat, untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk merancang uji toksisitas selanjutnya serta untuk menentukan LD50 (potensi ketoksikan) akut dari suatu senyawa (Priyanto, 2009; BPOM RI, 2011).

LD50didefinisikan sebagai “dosis tunggal suatu bahan yang secara statistik

(8)

menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya, serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Lu, 1994). LD50 adalah dosis perkiraan ketika suatu zat diberikan langsung kepada hewan uji, menghasilkan kematian 50% dari populasi di bawah kondisi yang ditentukan dari tes (Hudgson dan Levi, 2004). Nilai LD50 sangat berguna untuk hal-hal sebagai berikut:

a. Klasifikasi lazim zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya yang dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kategori penggolongan sediaan uji

Kategori LD50

Supertoksik 5 mg/kg atau kurang

Amat sangat toksik 5-50 mg/kg

Sangat toksik 50-500 mg/kg

Toksik sedang 0,5-5 g/kg

Toksik ringan 5-15 g/kg

Praktis tidak toksik >15 g/kg

b. Evaluasi dampak keracunan yang tidak sengaja; perencanaan penelitian toksisitas subkronik dan kronik pada hewan, memberikan informasi tentang mekanisme toksisitas, pengaruh umur, seks, faktor lingkungan dan variasi respons antar spesies dan antar strain hewan; memberikan informasi tentang reaktivitas suatu populasi hewan (Lu, 1994).

2.4.1.2 Toksisitas subkronik

(9)

Tujuan toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu (OECD, 2008), untuk memberikan informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya efek reversibilitas zat tersebut (BPOM RI, 2011).

Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari (OECD, 2008), bila diperlukan ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek yang bersifat reversibel (BPOM RI, 2011).

Studi subkronik dapat dilakukan pada tikus dan mencit dengan rute pemberian yang lazim yaitu oral. Sekurang-kurangnya digunakan tiga kelompok dosis yang berbeda, 1 kelompok kontrol dan 2 kelompok satelit (kelompok dosis tinggi dan kelompok kontrol). Dosis sediaan uji yang paling tinggi harus menimbulkan efek toksik tetapi tidak menimbulkan kematian atau gejala toksik yang berat, dosis menengah menimbulkan gejala toksik yang lebih ringan sedangkan dosis yang paling rendah tidak menimbulkan gejala toksik (BPOM RI, 2011).

(10)

berguna, konsumsi makanan yang nyata berkurang dapat menimbulkan efek yang mirip manifestasi toksik suatu zat (BPOM RI, 2011). Uji laboratorium klinik biasanya mencakup pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi. Disamping itu, berat relatif organ harus diukur karena merupakan indikator yang berguna bagi toksisitas (Lu, 1994).

2.4.1.3 Toksisitas kronik

Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji berulang-ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya (Priyanto, 2009). Prinsip toksisitas kronik oral pada umumnya sama dengan uji toksisitas subkronik, hanya pada toksisitas kronik sediaan uji yang diberikan lebih lama yaitu tidak kurang dari 12 bulan (BPOM RI, 2011).

2.4.2 Toksisitas khusus 2.4.2.1Uji teratogenik

Uji teratogenik adalah suatu pengujian untuk memperoleh informasi adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian suatu zat dalam masa perkembangan embrio (Priyanto, 2009).

Prinsip pengujian ini senyawa uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan kepada beberapa kelompok hewan hamil selama paling sedikit masa organogenesis dari kehamilan, satu dosis untuk satu kelompok. Sesaat sebelum waktu melahirkan, uterus diambil dan dilakukan evaluasi terhadap fetus (OECD, 2008).

2.4.2.2Uji mutagenik

(11)

mutagenik merupakan efek yang menyebabkan terjadinya perubahan pada sifat genetika sel tubuh makhluk hidup (Loomis, 1978).

2.4.2.3Uji karsinogenik

Uji karsinogenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai efek korsinogenik suatu senyawa pada hewan percobaan (Lu, 1994) dan untuk mengetahui apakah zat jika dipakai dalam jangka panjang akan dapat menimbulkan kanker (Priyanto, 2009).

2.5 Ginjal

2.5.1 Anatomi ginjal

Ginjal merupakan organ peritoneal yang berperan dalam proses ekskresi di dalam tubuh dan menempel pada dinding posterior abdomen, di belakang peritonium dan di bawah diafragma (Nurachmah, 2011). Ginjal berbentuk seperti kacang dengan warna merah kecoklatan dan dikelilingi oleh jaringan adiposa (Standring, 2005). Ginjal melekat pada posisinya karena berikatan dengan suatu masa lemak. Selubung fasia renal fibroelastik membungkus ginjal dan lemak ginjal (Nurachmah, 2010). Terdapat sepasang ginjal, yaitu kanan dan kiri, bagian kanan jauh lebih pendek dan tebal daripada bagian kiri. Posisi ginjal bagian kanan terletak lebih rendah daripada ginjal bagian kiri karena adanya organ hati yang terdapat pada bagian kanan (Gartner, 2007).

(12)

Gambar 2.1 Anatomi ginjal (Robbins dan Cotran, 2009)

Ginjal bagian kiri maupun kanan masing-masing terdiri dari kurang lebih satu juta nefron. Di dalam nefron terdapat glomerolus yang terletak di korteks ginjal dan hasil penyaringannya akan menuju tubulus ginjal. Tubulus ginjal terdiri dari tubulus proksimal, tubulus distal dan lengkung Henle yang merupakan tempat terjadinya proses reabsorpsi air, elektrolit dan zat-zat penting lainnya. Urin yang dihasilkan akan dialirkan ke dalam duktus koligentes, air dalam urin akan diabsorpsi lebih lanjut sebelum dialirkan ke piramid ginjal. Bagian tebal dari lengkung Henle asendens memiliki sel yang melekat dengan mesangium ekstra glomerular dan arteriol aferen, ketiganya membentuk aparatus jukstaglomerular.

Aparatus ini akan mensekresi renin yang berperan dalam pengaturan aliran darah

ke glomerulus serta laju filtrasinya (Davey, 2006). 2.5.2 Fisiologi ginjal

(13)

a. Pembentukan urin

Ginjal membentuk urin yang mengalir melalui ureter ke kandung kemih untuk disimpan sebelum diekskresi.

b. Filtrasi

Terjadi di dinding semipermeabel glomerulus dan kapsul Bowman. Air dan molekul kecil lainnya dapat melewati dinding semipermeabel ini. Sel darah merah, protein plasma dan molekul besar lainnya terlalu besar untuk difiltrasi sehingga tetap di kapiler.

c. Mengatur keseimbangan asam basa

Bersama dengan paru-paru dan sistem dapar cairan tubuh, ginjal turut mengatur asam basa dengan cara mengeksresikan asam, seperti asam sulfur dan asam fosfat yang dihasilkan oleh metabolisme protein.

d. Mengatur produksi eritrosit

Eritropoetin diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan merangsang pembentukan sel darah merah. Salah satu rangsangan yang penting untuk sekresi eritropoetin adalah hipoksia. Pada kondisi normal, ginjal akan mensekresikan seluruh eritropoetin ke dalam sirkulasi, namun pada orang dengan penyakit ginjal berat atau ginjalnya sudah diangkat, maka akan timbul anemia berat karena menurunnya produksi eritropoetin.

e. Sintesis glukosa

(14)

cepat. Dalam beberapa hari akan terjadi akumulasi kalium, asam, cairan dan zat-zat lainnya dalam tubuh yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian.

f. Mengatur keseimbangan keluaran air dan urin

Keluaran urin minimum merupakan volume terkecil yang diperlukan untuk mengekskresikan produk sisa tubuh, yaitu sekitar 500 ml per hari. Volume urin diatur oleh hormon antidiuretik yang dilepaskan di dalam darah oleh lobus posterior kelenjar hipofisis. Hipofisis posterior ini berkaitan dengan hipotalamus di otak (Guyton dan Hall, 2008).

g. Keseimbangan elektrolit

Adanya perubahan konsentrasi elektrolit di dalam cairan tubuh dapat menyebabkan perubahan isi cairan tubuh atau kadar elektrolit. Terdapat beberapa mekanisme untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit diantaranya adalah mengatur keseimbangan natrium dan kalium, keseimbangan kalsium dan keseimbangan pH normal darah (Nurachmah, 2011).

(15)

merupakan hasil akhir dari semua penyakit parenkim ginjal kronik (Robbins dan Cotran, 2009). Salah satu penyakit mengenai tubulus, yaitu nekrosis. Nekrosis merupakan suatu pembengkakan sel yang kemudian mengalami lisis. Sel yang nefrotik terlihat membesar dan lebih merah dibanding dengan sel normal. Nekrosis ini menyebabkan kematian sel dan memperlihatkan respon peradangan (Kumar, 2010).

2.5.3 Ureum

Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi glomerulus atau GFR yang dapat memberikan informasi mengenai jumlah jaringan ginjal yang masih berfungsi. Secara sederhana GFR dapat diukur menggunakan kadar ureum dan kadar kreatinin (Noer, 2006).

Ureum adalah produk akhir dari metabolisme protein yang diekskresikan melalui urin. Penurunan kadar ureum dapat disebabkan oleh hipervolemia, kerusakan hati yang berat, diet rendah protein, malnutrisi dan kehamilan, sedangkan peningkatan kadar ureum dapat disebabkan oleh dehidrasi, komsumsi protein yang tinggi, suplai darah ke ginjal menurun, gagal ginjal, glomerulonefritis dan sepsis (Sutedjo, 2009).

(16)

yang tinggi akan meningkatkan aliran darah pada ginjal dan laju filtarsi glomerulus sampai sekitar 20-30 menit sesaat setelah subjek uji diberi pakan (Meyer, 2004).

2.5.4 Kreatinin

Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatinin otot dan kreatinin fosfat (protein), yang diproduksi di dalam hati dari metionina, glisina, dan arginina, ditemukan dalam otot rangka dan darah serta diekskresikan dalam urin. Terbentuknya kreatinin ini diawali dengan sintesi ATP. ATP yang dihasilkan dari proses glikolisis dan fosforilasi oksidatif ini akan bereaksi dengan kreatin kemudian akan membentuk ADP dan fosfokreatin yang mengandung ikatan fosfat energi tinggi (lebih tinggi dari ATP). Fosfokreatin dengan ATP memiliki hubungan yang reversibel karena apabila banyak terdapat ATP dalam sel, maka sebagian akan dirubah menjadi fosfokreatin sehingga membentuk cadangan energi. Jika ATP mulai habis, maka energi dalam fosfokreatin akan diteransfer kembali dalam bentuk ATP. Kreatinin fosfat yang dihasilkan akan membentuk kreatinin yang selanjutnya akan difiltasi oleh glomerulus, sebagaian kecil difiltrasi oleh tubulus proksimal dan diekskresikan oleh ginjal (Sacher and Richard, 2004).

Gambar

Tabel 2.1 Kategori penggolongan sediaan uji
Gambar 2.1 Anatomi ginjal (Robbins dan Cotran, 2009)

Referensi

Dokumen terkait

Seperti sekarang juga banyak bermunculan produk-produk nata, namun yang sering dipasarkan adalah nata dari buah kelapa, untuk itu dalam menciptakan diversifikasi produk

Pengaruh Pupuk SP-36 Kompos Tithonia diversifolia Dan Vermikompos Terhadap Pertumbuhan dan Serapan P Tanaman Jagung (Zea mays L.) serta P-tersedia Pada Ultisol

______ murid dapat mencapai objektif yang ditetapkan dan ______ murid yang tidak mencapai objektif akan diberi bimbingan khas dalam sesi akan datang...

Ekstrak daun nimba dengan konsentrasi 5% yang diberikan pada 7 HST paling efektif menghambat intensitas penyakit layu fusarium pada tanaman tomat, yaitu mampu menghambat

______ murid dapat mencapai objektif yang ditetapkan dan ______ murid yang tidak mencapai objektif akan diberi bimbingan khas dalam sesi akan datang..

Lamanya waktu pencapaian fase differensiasi pada kombinasi perlakuan 2 g bahan aktif per pohon dan waktu aplikasi ethepon 2 bulan kemudian disebabkan oleh keberlanjutan

Daftar sidik ragam bobot gabah netto kering per sampel (g) pada sistem tanam legowo dan beberapa

[r]