112 PENGARUH PNPM-MKP TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN
KELOMPOK TANI IKAN DESA PERING KECAMATAN BLAHBATUH KABUPATEN GIANYAR
Ida Ayu Ketut Murdini1, A.A.Putu Agung2, Ni GAG.Eka Martiningsih2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University of Denpasar
2
Postgraduate Program of and Environmental management, Mahasraswati University Denpasar, Bali, Indonesia
Corresponding author email : [email protected]
ABSTRACT
The National Community Empowerment Program (NCEP) is a poverty reduction program that targets the areas of Maritime Affairs and Fisheries both coastal region and outside the coastal marine and fisheries activities in the field. The purpose of this study was to determine the effect of The National Community Empowerment Program on the economy of the fish farmers. This research was conducted in the Pering village of Sub district of Blahbatuh, Gianyar regency. Data collected by direct observation in the field and also used a questionnaire to all fish farmers group member who totaled 67 people. Descriptive data were analyzed using the statistical program R-GUI. Data analysis of fish farmers' income differences before and after the PNPM program M-KP computed X2.
This study proves that before NCEP program implemented are as follows: (a). The proportion of fish farmers in the Pering village that maintains shrimp commodities dominate in the maintenance of commodities, namely 53.7%, while the smallest proportion was found that the carp maintains commodities, namely 7.5%. Other types of commodities that are maintained by fish farmers in the Pering village pomfret, tilapia, carp and catfish. (b). Average frequency of fish farmers harvest in a year that maintains a commodity type of shrimp is 1.58 times, and (c). Average income of fish farmer is Rp. 2,930,597.02;
Meanwhile, after execution of the NCEP, it can be proved the following: (a). The proportion of fish farmers who maintain the type of commodity augmentation catfish dominate in the maintenance of commodities (68.66%) while the smallest proportion was found that the fish farmers who maintain the type of commodity augmentation carp (7.46%). Another type of commodity is maintained catfish hatchery and rearing tilapia. (b). Average frequency of fish farmers harvest in a year that maintains a commodity type of catfish is 2.63 times magnification, and (c). Average income of fish farmers is Rp. 3,539,552.24. This study also shows that the income of fish farmers in the Pering village after the implementation of the NCEP greater than before. (α <0.05).
113 PENDAHULUAN
Komunitas masyarakat yang berpencaharian di bidang perikanan dan kelautan di berbagai tempat sangat identik dengan kondisi miskin, hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia akan pengelolaan potensi lokal, keterbatasan permodalan, keterbatasan akses terhadap informasi teknologi dan pasar, peluang usaha serta tantangan iklim. Oleh karena itu di pandang perlu adanya suatu program yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat pesisir dan berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi, disamping mendorong masyarakat memiliki kekuatan untuk mengembangkan usahanya sesuai dengan potensi sumberdaya yang tersedia secara partisipatif yang melibatkan masyarakat sebagai stakeholder utama. Maka sebagai langkah konkrit untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan tersebut, Departemen Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2009 telah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan ( PNPM-MKP) yang merupakan integrasi dari kegiatan pemberdayaan Program PNPM Mandiri (Budi Utomo, 2011).
Program PNPM-MKP berupaya melaksanakan pendekatan dengan model
bottom-up, dimana masyarakat sendiri yang merencanakan program, melaksanakan dan melakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan mekanisme yang ditentukan. Pengembangan program ini diberikan kepada masyarakat yang dibiayai dari Anggaran Tugas Pembantuan (TP), yaitu langsung dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/Kota, yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh konsultan pelaksana dan tenaga pendamping yang bertugas sehari-hari mendampingi pembudidaya dalam proses pemberdayaan. Untuk Propinsi Bali alokasi kegiatan PNPM-MKP tahun 2009 meliputi 5 (lima) Kabupaten /Kota, yaitu Kabupaten Buleleng, Karangasem, Tabanan, Jembrana dan Kabupaten Gianyar.
Kabupaten Gianyar merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki potensi keanekaragaman sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. meskipun potensi sumberdaya alam tersebut sudah dimanfaatkan untuk jasa-jasa kelautan dan perikanan tetapi masih banyak yang belum dikelola dengan baik dan optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan potensi tersebut diatas bila dikelola dengan optimal dengan memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Juknis PNPM Mandiri K-P DPPK Kabupaten Gianyar, 2009).
114 pelaksanaan Bantuan Langsung Masyarakat dari Program Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan, kelompok pembudidaya ikan didampingi oleh Tenaga Pendamping (TP). Dengan demikian pemanfaatan dari BLM diarahkan bisa memperkuat Program Pemberdayaan masyarakat Kelautan dan Perikanan yang sudah berjalan dan diharapkan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan serta meningkatkan perekonomian masyarakat. Ruang lingkup bantuan langsung masyarakat bidang kelautan dan perikanan dilakukan melalui belanja bantuan sosial berupa sarana budidaya pembenihan dan pembesaran ikan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Desa Pering Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar, dalam waktu 3 bulan kalender yaitu pada bulan September sampai dengan Nopember 2012. Adapun Populasi dalam penelitian ini, adalah semua anggota kelompok dari 11 Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) penerima PNPM-MKP dengan jumlah anggota 67 orang. Dalam penelitian ini digunakan pengambilan semua sampel responden dari jumlah kelompok yang dipakai sebagai obyek penelitian.
Penelitian ini mengunakan Rancangan Deskriptif sebagai gambaran untuk mengetahui suatu kerangka acuan dalam penelitian melalui pengujian hipotesis. Selain data kuantitatif penggunaan data kualitatif juga dipakai sebagai penunjang. Data primer dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari objek penelitian yang diamati. Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah metode survey dengan teknik wawancara pada pembudidaya ikan berdasarkan kuesioner yang berisikan suatu rangkaian pertanyaan mengenai budidaya ikan di Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.
Data Sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung melalui studi kepustakaan yaitu dengan membaca kepustakaan seperti buku-buku literature, diktat-diktat kuliah, majalah-majalah, jurnal-jurnal, buku-buku yang berhubungan dengan pokok penelitian, surat kabar dan membaca serta mempelajari arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang terdapat di instansi terkait. paparan hasil penelitian juga digunakan rujukan dan referensi dari data lain yang relevan, misal dari laporan hasil penelitian terdahulu, serta publikasi yang relevan dengan penelitian ini.
Data mengenai peningkatan ekonomi masyarakat, yakni untuk melihat perbedaan ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah program ini dilaksanakan akan dilakukan analisis statistic menggunakan chi-square test
Rumus yang digunakan untuk menghitung x2 yaitu:
fe fe
fo 2
2 ( )
x
x2 = Nilai chi-kuadrat
fo = frekuaensi yang diobservasi (frekuensi empiris)
115
fe
T
fb
x
fk
)
(
)
(
fe = frekuensi yang diharapkan (frekuensi teoritis)
fk
= jumlah frekuensi pada kolomfb
= jumlah frekuensi pada barisT
= jumlah keseluruhan baris atau kolomHASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Sumberdaya Manusia di Desa Pering
Jumlah penduduk di Desa Pering tercatat 6.619 jiwa, dengan rincian laki-laki 3.325 jiwa dan perempuan 3.294 jiwa. Untuk sebaran dan jumlah KK miskin di Desa Pering tahun 2009 tercatat 130 KK miskin. Dilihat dari populasi penduduk, Desa Pering memiliki kepadatan penduduk dan jumlah RTM yang tinggi sehingga perlu penanganan dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Tabel 01. sebaran dan jumlah KK miskin di Desa Pering
No Nama Banjar Jumlah KK Miskin
1 Patolan 15
2 Sema 22
3 Pinda 5
4 Pering 15
5 Tojan Tegal 24
6 Tojan Kanginan 19
7 Perangsada 30
Jumlah 130
Sumber : Laporan Akhir Perencanaan Pembangunan Wilayah PNPM-MKP tahun 2009 Kabupaten Gianyar Bali.
Potensi Budidaya di Desa Pering
Kegiatan usaha budidaya di Desa Pering sebelum dana BLM program PNPM Mandiri K-P diluncurkan di desa pering mempunyai potensi budidaya udang galah dari beberapa kelompok dan perorangan yang tersebar hampir ke seluruh wilayah Desa Pering sejak tahun 80an, namun pola dan jenisnya masih sangat sederhana. Pada waktu itu hanya jenis ikan tertentu saja yang dipelihara seperti ikan Nila, patin dan Gurami. Perkembangan budidaya udang galah sangat pesat, namun setelah tahun 2000 pertumbuhan udang galah mengalami penurunan sehingga produksi udang galah juga menurun. Hal ini disebabkan oleh mutu bibit yang kurang bagus sebagai akibat dari persiapan calon induk yang kurang memenuhi persayaratan. Sebagai upaya meningkatkan penghasilan keluarga para pembudidaya ikan melaksanakan pemeliharaan ikan secara polycultur (memelihara lebih dari atu jenis ikan) seperti Patin, Gurami dan Nila.
116 jumlah kelompok pembudidaya. Dimana jumlah kelompok yang dulunya ada 8 Pokdakan (kelompok Pembudidaya Ikan) tahun 2009 berkembang menjadi 11 KMP (Kelompok Masyarakat Pemanfaat). Sedangkan Tahun 2010 bertambah 2 kelompok Pembudidaya Ikan dan 1 kelompok nelayan.
Kriteria dan Penetapan Lokasi serta Penyerahan BLM kepada Kelompok Masyarakat
Sesuai dengan hasil identifikasi dan analisis potensi dan pemanfaat lahan, lokasi pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009 adalah Kecamatan Blahbatuh, karena Kecamatan Blahbatuh memiliki potensi yang sangat besar dan hingga saat ini Kecamatan Blahbatuh merupakan sentral untuk kegiatan Perikanan khususnya kegiatan Perikanan Budidaya, yang meliputi komoditas Perikanan seperti Udang galah, Nilla, Lele, Patin dan lain sebagainya.
Dinas Peternakan Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Gianyar menetapkan Desa Pering dan Desa Bedulu sebagai daerah sasaran ditetapkan oleh Pengelola PNPM Mandiri Klautan dan Perikanan ( Satker Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan ) setelah melaui Proses identifikasi dan analisis Potensi serta Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang dilaksanakan oleh Tenaga Pendamping (TP), PPL Perikanan dan Kelautan, Konsultan Pendamping Perencanaan Wilayah serta aparat terkait di lapangan. Untuk Kabupaten Gianyar penetapan Tim BLM ini dituangkan dalam Keputusan Kepala Dinas Peternakan Perikanan dan Kelutan Kabupaten Gianyar Nomor : 519/05-M/HK/2009 tentang Pembentukan Tim Pemberdayaan Masyarakat Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Bidang Perikanan dan Kelautan Program Pengembangan Sumber Daya Perikanan Kegiatan Pemberdayaan Ekonomi, Sosial, Budidaya, Pelaku Usaha Perikanan dan Masyarakat Pesisir pada Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Gianyar Tahun 2009.
Identifikasi dan Verifikasi calon penerima BLM dilaksanakan terhadap kelompok-kelompok yang ada di daerah sasaran penerima BLM yaitu di daerah Desa Pering yang dibantu oleh Kepala Desa kemudian dituangkan dalam Berita Acara hasil Identifikasi Kelompok Calon Penerima BLM PNPM Mandiri-KP No. 523/1637a/DPPK pada hari Senin tanggal 14 September 2009. Dari data identifikasi ini oleh Tim BLM diadakan seleksi, yang kemudian dituangkan dalam Berita Acara Hasil Seleksi Kelompok Calon Penerima BLM PNPM Mandiri-KP No. 523/1648a/DPPK pada hari Selasa tanggal 15 September 2009, yaitu Desa pering sebagai Calon Penerima BLM.
Sesuai dengan keputusan KPA/ Kepala Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Gianyar, bahwa sebagai penerima BLM PNPM mandiri-KP untuk di Desa Pering ditetapkan 8 Kelompok Pembudidaya Ikan (POKDAKAN) dengan 11 Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP), yang kesemuanya telah dituangkan dalam keputusan KPA/Kepala DPPK Kabupaten Gianyar dengan Nomor 523/1661/DPPK/2009 pertanggal 17 September 2009 tentang Penetapan Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP)/ Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) sebagai penerima Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PNPM Mandiri –KP Kabupaten Gianyar Tahun Anggaran 2009.
117 Masyarakat Pemanfaat di Desa Pering sebesar Rp.246.000.000,- secara administrasi bahwa dana BLM PNPM Mandiri-KP bagi kelompok Masyarakat Pemanfaat dapat didistribusikan melalui rekening masing-masing kelompok pada PT.BRI (Persero) Tbk.Cab. Gianyar dan dicairkan secara bertahap oleh kelompok pelaksana sesuai dengan kebutuhan tahapan pembudidaya ikan.
Luas Lahan, Jenis Komoditas dan Produksi Sebelum Diberi Bantuan PNPM-MKP
Penelitian ini berdasarkan hasil dari wawancara terhadap 67 orang anggota Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) pembudidaya ikan yang ada di Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Wawancara ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bantuan melalui program PNPM-MKP yang dialokasikan di Desa Pering. Dari hasil wawancara dan observasi lapangan sebelum diberikan bantuan melalui program PNPM-MKP ini ditemukan bahwa, jenis komoditas yang dipelihara oleh anggota kelompok antara lain, 10 orang (14,9%) memelihara ikan bawal, 5 orang (7,5%) memelihara ikan gurami, 6 orang (9,0%) memelihara ikan nila, 10 orang (14,9%) memelihara ikan patin, dan 36 orang (53%) memelihara udang. Jenis komoditas ikan yang dipelihara oleh anggota kelompok pembudidaya ikan di Desa Pering sebelum adanya bantuan melalui program PNPM-MKP secara rinci disajikan dalam Tabel 02 berikut:
Tabel 02. Proporsi pembudidaya ikan dan jenis komoditas ikan yang dipelihara sebelum diberi bantuan PNPM-MKP
Dari data yang diperoleh di lapangan yang merupakan hasil wawancara dan pengamatan langsung, ditemukan bahwa jenis komoditas udang galah yang mendominasi menjadi pilihan para pembudidaya ikan di Desa Pering, karena udang galah merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Gianyar artinya pembudidaya ikan lebih dominan memilih memelihara udang galah dibandingkan jenis komoditas yang lainnya. Hal ini disebabkan karena harga udang galah tiap-tiap kilogram lebih tinggi dan lebih stabil dari jenis komoditas yang lain. Karena harga udang galah yang lebih tinggi dan lebih stabil ini menyebabkan pembudidaya ikan lebih memilih memelihara udang galah, sekalipun dalam pemeliharaannya lebih rumit dibanding jenis komoditas yang lain. Di samping itu pemasaran yang relatif lebih cepat laku, juga menjadi penyebab pembudidaya ikan lebih memilih memelihara udang.
Sebelum diluncurkannya program PNPM-MKP ini pembudidaya ikan Desa Pering telah memelihara udang galah dengan luas lahan rata rata setiap anggota adalah 6,33 + 1,37 are (rentang antara 5 -10 dengan CI 95% antara 3,64 – 9,02). Frekwensi panen dalam setahun ditemujkan rata-rata adalah 1,58 + 0,50 kali, dengan
No. Jenis komoditas Jumlah Proporsi (%)
1 Bawal 10 14,9
2 Gurami 5 7,5
3 Nila 6 9,0
4 Patin 10 14,9
5 Udang Galah 36 53,7
118 rentang antara 1 – 2, dan CI 95% antara 0,60 – 5,26. Sedangkan untuk produksi satu kali panen rata rata 21,17 + 4,16 kg, rentang antara 15 – 28 dengan CI 95% antara 13,02 – 29,32 dan rata rata penghasilan satu kali panen masing masing anggota adalah 715,28 + 177,21 ( X Rp. 1000), dengan rentang antara 600,00 – 1.300,00 dengan CI 95% antara 367, 95 – 1.062,61. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap are lahan kolam udang dapat memproduksi 33, 45 kg udang/Tahun. Data terinci parameter pemeliharaan jenis komoditas udang disajikan dalam tabel 03.
Tabel 03 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas udang sebelum diberi bantuan PNPM-MKP
Untuk jenis komoditas ikan bawal luas rata rata lahan yang digunakan oleh setiap orang adalah 5,9 + 1,45 are (rentang antara 5 – 8, dengan CI 95% antara 3,06 -8,74). Sedangkan rata rata produksi dalam satu kali panen adalah 249,00 + 12,87 kg (rentang antara 230 – 270, dengan CI 95% antara 223,78 – 274,22. Data terinci parameter pemeliharaan komoditas ikan bawal disajikan dalam tabel 04.
Tabel 04 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas ikan bawal sebelum diberi bantuan PNPM-MKP
Dengan Produksi yang mampu dihasilkan setiap are untuk komoditas ikan bawal adalah 249,00 kg, sehingga dalam satu tahun rata-rata dapat menghasilkan 498,00 kg. Hal ini menunjukkan produksi ikan bawal dalam setahun cukup tinggi dalam setiap are lahan kolam. Jika diperhatikan dalam satu kali panen dapat memberikan pendapatan sebesar Rp. 1.300.000 + 141,42 (dengan rentang antara 1.200.000 – 1.500.000,dan CI95% antara 1.022.814 sampai 1.577.180).
Proporsi pembudidaya yang memelihara jenis ikan gurami adalah terkecil (7,5%) dibandingkan jenis komoditas ikan yang lain, menurut data ditemukan bahwa rata rata luas lahan setiap orang adalah 5,80 + 1,30, (dengan rentang antara 5 – 8,
No Parameter Mean + SD Range CI 95%
1 Luas lahan (are) 6,33 + 1,37 5 - 10 3,64 - 9,02
2 Frekwensi panen dalam setahun 1,58 + 0,50 1 - 2 0,60 - 2,56
3 Produksi sekali panen (kg)/are 21,17 + 4,16 15 - 28 13,02 - 29,32
4
Penghasilan satu kali panen (Rp. X
1000) 715,28 + 177,21 600 - 1300 367,95 – 1062,61
No Parameter Mean + SD Range CI 95%
1 Luas lahan (are) 5,9 + 1,45 5 – 8 3,06 - 8,74
2
Frekwensi panen dalam
setahun 2,40 + 0,52 2 – 3 1,39 - 3,41
3
Produksi sekali panen
(kg)/are 249,00 + 12,87 230 – 270 223,78 - 274,22
4
Penghasilan satu kali panen
119 dengan CI 95% antara 3,24 – 8,6, menghasilkan produksi dalam satu kali panen adalah 244,00 + 16,73 kg (rentang antara 230 – 270 dengan CI 95% antara 211,20 – 276,80). Sedangkan frekwensi panen dalam satu tahun bagi pembudidaya yang memilih gurami sebagai komoditas peliharaan adalah 1,60 + 0,55 yang rentangnya antara 1– 2 kali, dengan CI 95% antara 0,53 – 2,67 kali. Dengan rentang yang cukup besar mengindikasikan bahwa hal ini kurang efektif, karena memerlukan waktu yang cukup lama untuk memproduksi komoditas jenis ini. Akan tetapi dari segi prosentase kehidupannya tinggi dengan tingkat mortalitas yang cukup rendah dan harga jual yang memadai. Data terinci tersaji pada Tabel 05.
Tabel 05 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas ikan gurami sebelum diberi bantuan PNPM-MKP
No Parameter
Mean +
SD Range CI 95%
1 Luas lahan (are) 5,80 + 1,30 5 – 8 3,24 - 8,36
2 Frekwensi panen dalam setahun 1,60 + 0,55 1 – 2 0,53 - 2,67 3 Produksi sekali panen (kg)/are 244,00 + 16,73 230 – 270 211,20 -276,80 4 Penghasilan satu kali panen
(Rp. X 1000) 1260,00 + 54,77 1200 – 1300 1152,65 - 1367,35
Tabel 06 memperlihatkan bahwa rata rata luas lahan yang dipergunakan oleh setiap orang pembudidaya ikan di Desa Pering adalah 6,33 + 0,41 are (rentang antara 4 – 8, dengan CI 95% antara 2,68 – 9,98. Dengan luas lahan sebesar yang disebutkan di atas pembudidaya ikan di desa Pering mampu memberikan penghasilan dalam satu kali panen sebesar Rp. 1.116.677 + 4.0823 (rentang antara 1.100.000 – 1.200.000, dengan CI 95% antara 1.036.500 – 1.196.680. Karena frekwensi panen setiap tahun terjadi 1,83 + 1,86 kali maka dalam setahun pembudidaya ikan dengan jenis komoditas ikan nila mendapatan penghasilan sebesar Rp 2.047.222,22
Tabel 06 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas ikan nila sebelum diberi bantuan PNPM-MKP
No Parameter Mean + SD Range CI 95%
1 Luas lahan (are) 6,33 + 1,86 4 – 8 2,68 - 9,98
2 Frekwensi panen dalam setahun 1,83 + 0,41 1 - 2 1,03 - 2,63 3 Produksi sekali panen (kg)/are 245,00 + 15,17 230 - 240 215,28 - 275,72
4
Penghasilan satu kali panen
(Rp. X 1000) 1116,67 + 40,82 1100 - 1200 1036,65 - 1196,68
120 Tabel 07 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas ikan patin sebelum diberi bantuan
PNPM-MKP
No Parameter Mean + SD Range CI 95%
1 Luas lahan (are) 7,20 + 1,62 5 - 10 4,03 - 10,37
2 Frekwensi panen dalam setahun 2,50 + 0,53 2 - 3 1,47 - 3,53 3 Produksi sekali panen (kg)/are 247,00 + 12,52 230 – 270 222,47 - 271,53
4
Penghasilan satu kali panen (Rp.
X 1000) 1370,00 + 176,69 1200 - 1500 1023,67 - 1716,32
Penghasilan yang diperoleh oleh pembudidaya ikan yang membudidayakan ikan patin dalam satu kali panen adalah sebesar Rp. 1.370.000 + 176.690 (rentang antara 1.200.000 – 1.500.000, dengan CI 95% antara 1.023.6700 – 1.716.302. Sedangkan dalam setahun pembudidaya ikan dengan jenis komoditas ikan patin dapat melakukan panen dalan setahun sebanyak 2,50 + 0,53 kali. Ini berarti dalam satu tahun pembudidaya mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 3.425.000 + 176.690.
Luas Lahan, Jenis Komoditas dan Produksi Sesudah Diberi Bantuan PNPM-MKP
Sejak dilaksanakannya program PNPM-MKP di Desa Pering, sesuai dengan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, jenis komoditas yang dipelihara oleh pembudidaya ikan di Desa Pering adalah 10 orang (14,93%) komoditasnya pembenihan lele, 46 orang (68,66%) pembesaran lele, 5 orang (7,46%) pembesaran gurami dan 6 orang (8,96%) pembesaran nila. Data terinci tersaji dalam tabel 08
Tabel 08 Proporsi pembudidaya ikan dan jenis komoditas ikan yang dipelihara sesudah diberi bantuan PNPM-MKP
No Jenis Komoditas Jumlah (orang) Proporsi (%)
1 Pembenihan lele 10 14.93
2 Pembesaran lele 46 68.66
3 Pembesaran gurami 5 7.46
4 Pembesaran nila 6 8.96
Jumlah 67 100.00
Sesudah pelaksanaan bantuan PNM-MKP, nampaknya pembudidaya ikan di desa Pering dominan (68,66%) memelihara jenis komoditas ikan lele, terutama untuk pembesaran. Pemilihan jenis komoditas ini dilakukan setelah mendapat pembinaan dari PPL perikanan, bahwa ikan jenis lele ini masih layak dikembangkan karena waktu pemeliharaannya cukup singkat dan menguntungkan. Cara pemeliharaan lele lebih mudah daripada jenis ikan lainnya, daya hidup (survival) sangat tinggi, karena sangat tolerans terhadap lingkungan, lebih cepat mencapai berat panen, dan pemasarannya lebih mudah.
121 6,11 + 1,30 are. Karena frekwensi panen pembesaran ikan lele mencapai 2,63 + 0,64 kali setiap tahunnya, maka ini pula menggambarkan bahwa dalam satu tahun setiap are lahan untuk pembudidaya ikan lele dapat menghasilkan 721,83 kg. Data terinci parameter pemeliharaan jenis komoditas pembesaran ikan lele tersaji dalam Tabel 09.
Tabel 09 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas pembesaran ikan lele sesudah diberi bantuan PNPM-MK
Untuk pembenihan ikan lele rata rata luas lahan yang digunakann pembudidaya ikan Desa Pering adalah 6,50 + 1,84 (rentang antara 5 – 10, dengan CI 95% antara 2,89 – 10,11). Dengan luas yang cukup sempit ini pembudidaya ikan Desa Pering dapat memproduksi 12.480,00 + 379,47 ekor benih setiap pasang induk. Sedangkan frekwensi panen setiap tahun mencapai 13,80 + 0,79 kali (rentang antara 13 – 15, dengan CI 95% antara 12,25 – 15,35. Hal ini menggambarkan bahwa dalam setiap tahun sepasang induk ikan lele mampu memproduksi 172.224 ekor benih. Sedangkan penghasilan pembudidaya dengan komoditas pembenihan ikan lele dalam sekali produksi mencapai 660,580 + 151,620, rentang antara 455.000-910.000 dengan CI 95 % adalah 363.410-957.76. Data terinci mengenai parameter pemeliharaan jenis komoditas pembenihan ikan lele ini tersaji dalam Tabel 10
Tabel 10 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas pembenihan ikan lele sesudah diberi bantuan PNPM-MKP
No Parameter Mean + SD Range CI 95%
1 Luas lahan (are) 6,50 + 1,84 5 -10 2,89 - 10,11
2 Frekwensi panen dalam
setahun 13,80 + 0,79 13 – 15 12,25 - 15,35
3 Produksi sekali panen
(ekor/pasang) 12480,00 + 379,47 12000 - 13000 11736,23 - 13223,77 4 Penghasilan per panen (Rp.
X 1000) 660,58 + 151,62 455,0 – 910,0 363,41-957,76
Sementara itu untuk komoditas pembesaran ikan gurami yang dilaksanakan oleh 5 orang (7,46%) pembudidaya ikan, yang rata rata luas lahan yang digunakan adalah 6,80 + 2,17 are(rentang antara 5 – 10, dengan CI 95% antara 2,56 – 11,05), mampu memproduksi ikan dengan sekali panen sebesar 348,00 + 19,24 kg. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap tahun seorang pembudidaya ikan dengan jenis komoditas ikan gurami per are, mampu memproduksi ikan gurami sebesar 487, 2 kg. Data parameter pemeliharaan jenis komoditas ikan gurami i disajikan dalam Tabel 11
No Parameter Mean + SD Range CI 95%
1 Luas lahan (are) 6,11 + 1,30 5 -8 3,55 - 8,66
2 Frekwensi panen dalam setahun 2,63 + 0,64 2 – 3 1,37 - 3,89
3 Produksi sekali panen (kg)/are 274,46 + 39,57 230 – 280 196,90 - 325,01
4 Penghasilan satu kali panen (Rp.
122 Tabel 11 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas pembesaran ikan gurami sesudah
diberi bantuan PNPM-MKP
No Parameter Mean + SD Range CI 95%
1 Luas lahan (are) 6,80 + 2,17 5 – 10 2,56 - 11.05
2 Frekwensi panen dalam setahun 1,4 + 0,55 1 – 2 0,33 - 2,47 3 Produksi sekali panen (kg)/are 348,00 + 19,24 320 – 370 310,30 - 385,70 4 Penghasilan satu kali panen (Rp. X
1000) 1460,00 + 54,77 1400 – 1500 1352,65 - 1567,35
Tabel 12 Paremeter pemeliharaan jenis komoditas pembesaran ikan nila sesudah diberi bantuan PNPM-MKP
No Parameter Mean + SD Range CI 95%
1 Luas lahan (are) 7,50 + 1,22 5 – 8 5,10 - 9,90
2 Frekwensi panen dalam setahun 2,5 + 0,55 2 – 3 1,43 - 3,57
3 Produksi sekali panen (kg) 368,33 + 40,70 240 – 360 288,56 - 448,19 4 Penghasilan satu kali panen (Rp.
X 1000) 1483,33 + 147,19 1300 – 1600 1194,82 - 177,18
Untuk jenis komoditas ikan nila rata rata luas lahan yang digunakan masing masing pembudidaya ikan adalah 7,50 + 1,22 are (rentang antara 5 – 8 dengan CI 95% antara 5,10 – 9,90. Produksi ikan yang dapat dicapai dalam sekali panen adalah 368,33 + 40,70 kg. (rentang antara 240- 360, dengan CI 95% antara 288,56 – 448,19. Frekwensi panen dalam setahun dapat mencapai 2,5 + 0,55 kali (rentang antara 2 – 3, dengan CI 95% antara 1,43 – 3,57. Frekwensi panen dalam setahun sampai 2, 5 kali ini memungkinkan untuk mendapatkan produksi ikan yang lebih besar dengan waktu yang efektif.
Jika dibandingkan antara penghasilan rata rata pembudidaya ikan di Desa Pering Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar sebelum dan sesudah dilaksanakannya program PNPM-MKP, maka rata rata penghasilan pembudidaya ikan sebelum menerima bantuan PNPM-MKP adalah sebesar Rp. 2.930.597,02 + 987.534, 25. Sesudah program PNPM-MKP dilaksanakan rata rata penghasilan pembudidaya ikan Desa Pering adalah Rp. 3.539.552,24 + 836.820,16. Data mengenai perbedaan rata rata penghasilan pembudidaya ikan Desa Pering sebelum dan sesudah dilaksanakannya program PNPM-MKP ditampilkan pada Tabel 13.
123 Tabel 13 Rata-rata penghasilan pembudidaya ikan sebelum dan sesudah meneriman
bantuan melalui program PNPM-MKP
No Parameter
Penghasilan sebelum bantuan PNPM-MKP
(Rp)
Penghasilan sesudah bantuan PNPM-MKP
(Rp)
1 Mean 2.930.597,02 3.539.552,24
2 SD 987.534,24 836.820,16
3 Lower CI 95 % 995.029,89 1.899.384,73
4 UP CI 95% 4.866.164,13 5.179.719,75
5 Lower Range 1.800.000,00 1.800.000,00
6 Up Range 4.500.000,00 4.800.000,00
KESIMPULAN
1. Dengan bantuan BLM dari Pelaksanaan Program PNPM Mandiri –KP yang dilaksanakan di Desa Pering memberikan pengaruh positif terhadap pengembangan potensi budidaya perikanan dan pengembangan Kelompok Masyarakat Pemanfaat.
2. Dengan meningkatnya produksi hasil usaha budidaya perikanan akan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pembudidaya Desa Pering yang pada akhirnya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pembudidaya ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Budi Utomo, 2011, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Mandiri Kelautan Dan Perikanan Kota Semarang Tahun 2010.http:// regional kompasiana.com/2011/06/20, diakses 30 Juli 2011.
Dinas Peternakan Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Gianyar. 2009. Petunjuk Teknis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan Dan Perikanan
Dinas Peternakan Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Gianyar. 2009. Laporan Perencanaan Pembangunan Wilayah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan Dan Perikanan.
124 OPTIMALISASI SUMBERDAYA HUTAN UNTUK KONSERVASI DAN
KEMANDIRIAN DESA
(Studi Inovasi Lokal dari Desa-Desa Indonesia Timur) Borni Kurniawan
Researchers Institute For Research And Empowerment (IRE) Yogyakarta Email : [email protected]
ABSTRACT
The welfare and prosperity are a great vision of Indonesian nation. One of strategies that have been taken by the government is to maximize the forest and land assets for the greatest prosperity of the people economically. But in one side, the unilaterally mastery that played by the country have many advantages for private groups and disadvantages for the village community. People want agrarian reform and redistribution assets as key policyto ensure the sustainability of village livelihoods. Unfortunately, the government was never realization of the policy completely. Currently, the innovation and emancipation local movement has been growing to develop the local resources as a response to the government's slowness to create national asset utilization policies that ensure the welfare of the village community. So, it is the time for the government to recognize the villages as the identity of the nations that whose ability to manage the natural resourcescan be accounted, even though the recognition is in theform of the delegation of local scale authority from the supra government of village to the village.
Keywords: agrarian reform, forest, redistribution, local authority
PENDAHULUAN
125 2001 mampu menyumbang PDB 1,1% dari total PDB (gross domestic product) nasional (Rp. 1.490,0 triliun) atau setara US$ 5,1 miliar. Pada tahun 2005 dan 2009, pencapaian ekonomi tersebut menurun menjadi 1% dan 0,8%. Menurunnya angka ini, disinyalir oleh beberapa kalangan seperti pemerintah, pelaku usaha maupun organisasi masyarakat sipil, dikarenakan aktivitas penebangan liar (illegal logging) oleh masyarakat.Pada Januari 2003, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa aktivitas penebangan liar menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 30,24 trilliun (US$3,37 miliar). Menurut wakil sekretaris Asosiasi Pengusaha Kayu Indonesia, Agung Nugraha, sekitar 322 dari 460 perusahaan yang beroperasi di bidang ini mengalami kegagalan yang diakibatkan penebangan liar. Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Longgena Ginting, sebanyak 80% dari 70 juta meter kubik kayu, setiap tahunnya diperjualbelikan secara illegal (illegal trading). Masih berdasar temuan Walhi, kayu-kayu hasil penebangan liar dari daerah seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Riau, Aceh, Sumatera Utara dan Jambi diselundupkan ke luar negeri seperti Malaysia, Cina, Vietnam dan India. Jumlahnya, mencapai 10 juta meter kubik tiap tahunnya.Bahkan dari Papua bisa mencapai 600 ribu meter kubik (Williams, 2004).
Dalam praktik penebangan liar, alih-alih masyarakat desa sekitar hutan khususnya, selalu menjadi pihak yang disalahkan.Padahal kalau dicermati lebih dekat masyarakat desa-desa hutan memiliki berbagai pranata sosial, aturan dan struktur pemerintahan adat yang mampu mencegah praktik penebangan liar.Masyarakat desa di Maluku memiliki pranata yang disebut ―sasi‖.Sasi adalah seperangkat aturan adat yang melarang warga untuk mengambil berbagai jenis sumber daya alam baik itu dari sektor pertanian, kehutanan maupun kelautan sebelum tiba waktunya. Desa-desa di Aceh memiliki perangkat bernama panglima laut dan panglima uten yang diberi tugas dan kewenangan untuk menjaga laut dan hutan dari perburuan ikan dan kayu secara liar. Jadi, sekalipun kondisi ekonomi masyarakat desa hutan jauh lebih rendah daripada ekonomi di kota, mereka tetap menghormati keberlanjutan dan kelestarian alam. Fakta ini menunjukan bahwa masyarakat lokal telah memiliki semacam system pencegahan degradasi hutan.Jadi, kecil kemungkinan bahwa praktik penebangan liar yang disematkan pada masyarakat lokal, semata-mata karena motivasi pragmatis masyarakat lokal sendiri untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
126 seorang dosen IPB yang berpendapat bahwa kelebihan kapasitas dari industri kayu adalah salah satu faktor yang mendorong praktik illegal logging (Williams, 2004).
Perkiraan kapasitas produksi kayu tahunan Indonesia pada tahun 2004 mencapai 63 juta meter kubik. Jumlah ini sangat jauh dari jumlah produksi kayu nasional resmi yang sebesar 5,7 juta meter kubik untuk tahun yang sama. Artinya pada tahun 2004 ada kekurangan sebesar 57.3 juta meter kubik kayu.Karena itu, industri pengolahan kayu Indonesia yang bergantung pada hasil penebangan liar bisa dipastikan meningkatkan kapasitas produksinya.Meskipun perhatian nasional terpaku pada praktik illegal logging, kenyataannya industri pengolahan kayu Indonesia, misalnya untuk pengolahan kayu lapis mendapatkan keuntungan dari kenaikan permintaan kayu dan harga kayu lapis internasional.
SEPUTAR KEBIJAKAN TATA KELOLA HUTAN
Desa selalu menjadi arena konflik dan sekaligus menjadi korban atas tindak kekerasan berbasis isu agraria.Munculnya konflik agraria berpangkal pada disain pengelolaan sumber daya alam yang meminggirkan desa, tapi mengutamakan pemodal.Padahal semua sumber daya alam berada di desa.Apa yang terjadi dengan tragedi kemanusian di Mesuji, Kebumen, Kulonprogo maupun Bima pada kurun waktu 2011-2012 lalu, merupakan serangkaian contoh dampak ketidakberesan negara dalam mengatur kekayaan agraria nasional. Sumber-sumber daya alam penting yang mempunyai nilai strategis untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat malah menyengsarakan masyarakat desa.Masyarakat Mesuji harus berhadapan dengan kebijakan negara yang memberi konsesi berlebihan kepada perusahaan perkebunan.Petani Urut Sewu di Kebumen terancam kehilangan aset tanah mereka karena kebijakan sepihak TNI yang mencaplok tanah ulayat dan tanah masyarakat desa untuk industri penambangan pasir besi dengan menumpang kebijakan tata ruang sebagai pusat latihan tempur TNI. Demikian pula dengan masyarakat Bima yang lebih memilih mempertahankan hutan sebagai cagar alam daripada merelakannya menjadi objek produksi tambang. Karenanya mereka rela berhadapan dengan alat negara (TNI dan POLRI), demi mempertahankan kedaulatan atas potensi keagrariaan yang selama ini menjadi sumber penghidupan.
Pemerintah belum pernah secara sempurna menepati janjinya meredistribusi aset negara kepada masyarakat desa.Padahal negara telah membuat beberapa perangkat program dan kebijakan yang intinya mengandung janji redistribusi asset.Pertama, Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai kebijakan politik yang mendorong pemberlakukan pembaruan agraria.Kedua, kebijakan yang disebut programPembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang diluncurkan pada tahun 2006, pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional RI (BPN-RI). Inti program ini yaitu menjalankan reforma agraria dengan prinsip ‖tanah untuk keadilan dan kemakmuran‖. Melalui program ini, pemerintah merencanakan pengalokasikan obyek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (Ha) yang terdiri dari: 8,15 juta Ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta Ha berasal dari tanah dibawah langsung kewenangan BPN. (Safitri et al., 2009)
127 ‖Program Reforma Agraria...secara bertahap...akan dilaksanakan mulai Tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat...(yang) saya anggap mutlak untuk dilakukan‖.
Demikian pula dengan Pidato Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 21 Oktober 2010 pada Peringatan Hari Tani Nasional, menyatakan:
‖……..agar di negeri kita ini, rakyat menjadi tuan tanah, menjadi keluarga yang memiliki bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ………bahwa dengan distribusi yang lebih adil, rakyat kita yang tadinya tidak punya apa-apa sebagai sumber kehidupan mulai memiliki sesuatu yang bisa digunakan untuk kehidupannya. Oleh karena itu, bagi lahan-lahan yang terlantar dengan tatanan yang baik, dengan sistem yang baik, dengan perencanaan yang baik, itu bisa didistribusikan secara lebih adil bagi semua, termasuk kalangan rakyat kita‖
Beberapa kebijakan diatas, sebenarnya mengandunng penegasan urgensi implementasi atas kebijakan reforma agraria. Pihak yang paling berkepentingan terhadap agenda reforma agraria ini adalah petani dan desa. Untuk itu penguatan ruang kelola sumberdaya hutan bagi desa dapat dimulai melalui reforma agraria. Sayangnya, janji tersebut tak kunjung terealisasi. Dalam catatan Serikat Petani Indonesia (2003), dalam kurun waktu rata-rata kepemilikan tanah petani kecil menurun dari 0,26 hektar menjadi 0,17 hektar. Ketimpangan kepemilikan tanah antara kelompok kaya dengan kelompok miskin juga terlihat menganga. Indikatornya, ada 11 persen keluarga di Indonesia menguasai 45 persen dari total tanah nasional. Dalam perkebunan sawit, pihak swasta dan negara menguasai 66 persen dari total luasan kebun di Nusantara, sementara untuk rakyat hanya 30 persen aja. Persentase kepemilikan tanah ini menunjukkan ketimpangan yang luar biasa dalam tata kelola kebijakan agraria. (Pembaruan tani, 2010)
Tanah dan hutan merupakan aset negara yang ada di desa, sekaligus jantung dan urat nadi yang memompa darah kehidupan bagi masyarakat desa.Desa, sebagai satu kesatuan masyarakat serta bagian dari pemerintah yang menempati hierarki terbawah, memiliki peran sangat strategis dalam berbagai upaya peningkatan kesejahteraan dan keadilan, serta keberlanjutan demokratisasi ekonomi NKRI.Secara
territorialdesa adalah ‗penguasa wilayah‘ yang berhubungan langsung dengan entitas
masyarakat yang mendiaminya.Tapi, ketika pemerintah supradesa menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat yang hanya menjalankan perintah-perintah pemerintahan dari atas, tanpa kewenangan untuk mengelola sumber daya alam, berakibat desa hanya menjadi miniatur sekelompok warga negara yang hidup menderita ditengah bergelimangnya sumber kesejahteraan.
128 dominan.Berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5/1967, peran Kementerian Kehutanan memegang kewenangan dominan dalam pengelolaan hutan.Menteri Kehutanan mempunyai kewenangan untuk mendistribusikan lahan serta mengeluarkan izin konsesi HPH kepada pihak swasta dan pihak lainnya.Namun, pemberian izin tersebut tidak melibatkan masyarakat lokal dan komunitas adat secara aktif untuk mencegah terjadinya konflik lahan.Karenanya, di lapangan banyak terjadi konflik lahan antara masyarakat lokal dengan pengusaha yang disebabkan tidak jelasnya batas-batas pemetaan peruntukan lahan.Hutan adat seringkali dicaplok para pengusaha hutan.Paska reformasi, dominasi pemerintah atas pegelolaan hutan juga masih disuratkan kembali dalam Undang-Undang Kehutanan yang baru No. 41/1999. Pasal 4 mengenai ‗kewenangan kehutanan‘, menyebutkan bahwa semua lahan hutan di dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk didalamnya kekayaan alam, harus dikontrol oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
Implikasi dari Undang-Undang ini adalah banyak sekali terjadi pembalakan liar yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan pemegang HPH di berbagai wilayah Indonesia yang berujung pada kerusakan hutan (deforestasi). Menurut Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan, kerusakan hutan di Indonesia mencapai 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar dari total 180 juta hektar luas hutan Indonesia. Sementara itu, sekitar 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta hektar juga mengalami deforestasi sebagai akibat aktivitas ekonomi perusahaan pemegang HPH. Jadi total kesuluruhan hutan yang bisa dikatakan masih bebas dari kerusakan hanya sekitar 43 juta hektar saja. (http://alamendah.wordpress.com/2010) Deforestasi yang terjadi sebagai akibat aktivitas industri dan pertambangan tentu tidak hanya berakibat pada kerusakan vegetasi alam hutan, tapi menghilangkan kemampuan daya tampung hutan atas air tanah. Kelalaian fatal yang dilakukan negara dengan memberi konsesi pada perusahaan-perusahaan air minum kemasan yang banyak memanfaatakn sumber mata air di desa juga melemahkan aksesibilitas desa atas air bersih. Di salah satu desa di kabupaten Sukabumi harus kehilangan akses terhadap air bersih karena sumber airnya sudah dikuasai perusahaan air minum. Sementara, untuk mendapatkan air bersih layak minum masyarakat kebanyakan harus membeli air minum kemasan yang diproduksi perusahaan bersangkutan yang tidak lain berasal dari sumber air desa tersebut.
129 Bagan 1
Alur Perizinan Hutan Desa
130 Bagan 2
Alur Perizinan Hutan Kerakyatan Masyarakat (HKM)
BELAJAR PADA PENGALAMAN BAIK DESA
131 kepada desa.Keraguan pemerintah terhadap kemampuan desa mengelola sumber daya hutan perlu dibarengi dengan upaya melihat secara lebih dekat peran dan emansipasi desa-desa di sekitar hutan. Upaya ini penting dilakukan karena akan membuka mata pemerintah bahwa desa memiliki kemampuan tersebut, asal diberi kepercayaan oleh pemerintah supradesa. Dengan pelimpahan kewenangan, sekalipun berskala lokal kepada desa untuk mengoptimalkan kemanfaatan sumber daya hutan bagi masyarakat, maka kerja pemerintah supra desa pun menjadi ringan dan kian mendekatkan peran Negara kepada warganya.Tidak sedikit desa yang mampu memaksimalkan potensi agraria yang dimilikinya untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan desa.Tidak sedikit pula desa yang berhasil membangun kemandirian sumber pendapatan desa karena kemampuannya mengelola sumber daya alam yang dimilikinya.Berikut ini kami paparkan beberapa pengalaman baik beberapa desa di Indonesia yang turut menyumbangsihkan kemampuannya membangun keberlanjutan sumber daya alam sekalipun pemerintah tidak memberi ruang kewenangan bagi desa untuk mengelola sumber agraria negara.
Desa Tangkumaho di kabupaten Muna dahulu marak dengan kasus-kasus pembalakan liar dan perambahan jati.Tindakana ini secara umum terjadi sejak masa reformasi.Sampai sekarang belum ditangani secara serius.Sementara, alokasi APBD untuk pengamanan hutan yang mencapai Rp 300.000.000/tahun dengan personil pengamanan yang sangat banyak (lintas instansi), ternyata kurang efektif untuk penurunan angka kasus pembalakan liar.Bahkan dalam operasional pengamanan hutan di lapangan, terdapat oknum-oknum tertentu yang sengaja memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan. Proses pembalakan semakin meningkat karena dipicu oleh tumbuh suburnya industri saw mill/circle, IPKH dan pengusaha-pengusaha di bidang pengolahan hasil hutan. Akibatnya, hutan jati menjadi sasaran empuk aktivitas illegal logging oleh penduduk sekitar hutan dan para penganggur lainnya yang sering kali bekerjasama dengan oknum pejabat setempat.
Pihak-pihak yang selama ini mengambil hasil hutan (kayu jati dan lainnya) adalah perseorangan dari masyarakat yang memperoleh ijin dari pemerintah daerah. Pihak yang menadah hasil hutan tersebut adalah badan-badan usaha dari dalam Muna sendiri ataupun yang berasal dari luar Muna. Informasi ini menunjukkan bahwa penyebab kerusakan hutan ini turut dipicu oleh Pemda yang mudah mengeluarkan izin pemanfaatan kayu tanah milik (IPKTM).Sebenarnya pihak Pemda melalui Dinas Kehutanan telah menjalankan program/kegiatan guna menanggapi degradasi hutan di Muna. Program/kegiatan tersebut, antara lain; patroli (pengamanan hutan), penyuluhan kepada masyarakat tentang manfaat hutan, kegiatan rehabilitasi hutan & lahan (RHL), pengadaan kebun bibit rakyat (KBR), pengembangan hutan tanaman rakyat (HTR), serta pemberian bantuan bibit swadaya kepada masyarakat pada umumnya. Namun, inisiatif pemerintah kabupaten tidak mampu meredam aksi pembalakan hutan yang sudah menggurita tersebut.
132 daripada fungsi-fungsi pengamanan hutan yang disandarkan kepada ―polisi hutan‖.Apa yang dilakukan desa Tangkumaho terhadap hutan tersebut juga bertujuan untuk mempertahankan debit air yang mengalir dari perut hutan di sekitar desa. Karena itulah, aksi perlindungan ini bukan hanya sekedar menghentikan tindak pencurian kayu secara sistematis, tapi juga membangun keberlanjutan supply air bersih untuk warga desa.
Tidak hanya itu, pemerintah desa Tangkumaho bersama kelembagaan desa dan masyarakat berani menolak kehadiran pemodal yang hendak menanam investasi di sektor tambak. Namun karena dipandang akan berakibat serius terhadap ekosistem pantai (hutan bakau), maka inisiatif tersebut ramai-ramai ditolak. Sebagai bentuk konsistensi pemerintah terhadap kelestarian sumber daya alam, pemdes bersama organisasi rakyat dan masyarakat Tangkumaho menyelengarakan program dan kegiatan untuk menjaga kelestarian hutan bakau di desanya.Kini, pelan tapi pasti hasil kerja mempertahankan kelastarian ekosistem hutan bakau tersebut telah meningkatkan produk kepiting. Hasil studi IRE menunjukan bahwa hutan bakau di Tangkumaho mampu memproduksi kepiting tangkapan dengan bobot terberat sekitar 1,8 kg per ekor. Rata-rata bobot kepiting yang ditangkap pencari kepiting adalah sekitar 5 ons (1/2 kg) per ekor.Nilai jual kepiting dengan bobot 5 ons per ekor sebesar Rp 14.000 per ekor.Warga pencari kepiting rata-rata memperoleh tangkapan sebanyak 2 kg per hari.Sehingga pendapatan yang diperolehnya per hari sekitar Rp 56.000, atau sekitar Rp 800.000 per bulan.
Kemitraan yang baik antara pemerintah desa Lapandewa di kabupaten Buton dengan organisasi masyarakat sipil mampu melahirkan kader-kader desa yang peduli pada keberlanjutan ekosistem laut sebagai sumber penghidupan keluarga nelayan. Ibu Saidah, salah satunya, mencoba membangun dan menggerakkan kesadaran kolektif warga untuk menghentikan sistem penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan peledak. Perjuangan yang gigih dari kader-kader desa tersebut, kini mampu meminimalisasi jumlah nelayan yang menggunakan bahan peledak serta memulihkan ekosistem laut dan vegetasi pantai di desa tersebut dan desa-desa disekitarnya.Tanpa polisi hutan, ternyata kader-kader desa Lapandewa mampu melindungi hutan bakau dari kehancuran ekosistem dan penangkapan ikan secara liar.
Desa Mbatakapidu di kabupaten Sumba Timur juga patut direkognisi oleh pemerintah supra desa karena kemampuannya membangun desa mandiri pangan tanpa menggantungkan diri pada intervensi pemerintah supra desa.Pemerintah desa Mbatakapidu secara sistematis membuat program penanamankomoditas jangka pendek.Strategi ini untuk mendorong perubahan tradisi bercocok tanam dari tradisi monokultur ke tradisi bercocok tanam multikultur.Pemerintah desa bersama dengan warganya mengidentifikasi berbagai jenis tanaman pangan umur jangka pendek dan merumuskan langkah-lankah penanamannya. Kemudian pemerintah desa memutuskan kebijakan setiap rumah tangga diwajibakn menami pekarangan dan kebunnya paling tidak dengan 5 s/d 10 jenis tanaman umur jangka pendek seperti jagung, ubi, padi, jemawut, sayur-sayuran, lombok dan jenis kacang-kacangan lainnya.
133 kemiri, jambu mete, nangka, mangga dan lainnya. Sementara, untuk menjawab kebutuhan jangka panjang warganya, pemerintah desa menggerakkan warganya untuk menanam aneka jenis tanaman jangka panjang, minimal sebanyak 1.000 pohon tanaman umur panjang per KK.Diantara jenis pohon yang termasuk kategori berjangka menengah adalah tanaman pohon mahoni, jati lokal, dan gamalina.
Untuk memenuhi kecukupan bibit atau anakan berbagai jenis komoditas tanaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang tersebut pemerintah desa melakukan dua cara, yakni: pertama, secara swadaya mengumpulkan bibit pohon dan anakan dari pekarangannnya sendiri atau dengan cara mencari melalui jejaring pertemanan atau perkerabatan lainnya. Kedua, diambilkan dari dana alokasi desa untuk belanja bibit pohon. Ketiga, mengajukan proposal kerjasama bantuan dengan Dinas Pertanian dan Dinas Kehutanan Pemda Sumba Timur.Misalnya, pada tahun 2010, berhasil memperoleh bantuan bibit anakan pohon kelapa sebanyak 7.500 bibit.Juga pengadaan anakan sukun sebanyak 1.000 pohon. Tahun 2011 kembali memperoleh bantuan sebanyak 1.750 bibit pohon kelapa.
Dari peta jalan yang diterapkan pemerintah desa Mbatakapidu dalam mengoptimalkan potensi lahan milik masyarakatnya menuju desa mandiri pangan menunjukann kemampuan desa menjalankan urusan pemerintah supra desa baik dibidang ketahanan pangan maupun konservasi hutan, khususnya hutan kerakyatan masyarakat. Sekali lagi, di tengah model tata kelola hutan yang diperankan Perum Perhutani (Departemen Kehutanan) yang lebih memprioritaskan kelompok pemodal desa Mbatakapidu telah menghadirkan evidence dan menyampaikan makna bahwa pengelolaan hutan oleh desa mampu mendekatkan kehadiran negara kepada masyarakat miskin serta menggugurkan klaim Perhutani yang mengatakan berhasil membantu peningkatan ekonomi masyarakat desa hutan.
KESIMPULAN
Ada beberapa pembelajaran penting yang dapat kita tarik dari pemaparan peta kebijakan serta pengalaman desa-desa di Indinesia timur diatas untuk tranformasi kebijakan nasional.Pertama, penyerahan tanah dan hutan kepada mekanisme pasar, tidak selamanya menjamin pertumbuhan dan kesejahteraan desa.Penguasaan dan tata kelola hutan oleh oleh negara (pemerintah pusat) juga berpotensi dibajak oleh elit-elit birokrasi yang berwatak pragmatis.Dalam konteks ini, pemerintah kiranya perlu segera mendesentralisasikan sebagian kewenangan dan meredistribusi sebagian asetnya kepada desa. Desa, dengan norma, tradisi dan aturan mainnya sendiri memiliki potensi besar dapat mengelola tanah dan hutan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
134
Ketiga, desentralisasi kewenangan dan redistribusi aset kepada desa secara tidak langsung akan menekan laju pembajakan elite atas sumber daya alam nasional yang selama ini banyak mengitari tata kelola hutan. Pertumbuhan (growth) dan kesejahteraan (welfare) yang selama ini dijanjikan pemodal atas pengelolaan hutan cenderung menumpuk diatas. Praktik keswadayaan, transparansi dan partisipasi pengelolaan hutan yang diperankan desa-desa diatas bisa menjadi prototype
pengelolaan hutan yang akan menjamin kesejahteraan bersama. Redistribusi hutan menjadi aset desa, khususnya desa-desa di sekitar hutan berpotensi akan mendongkrak nilai konservasi hutan terhadap keberlanjutan sumber daya ekonomi yang lainnya. Desa dan warga bersama-sama menanam dan juga menikmati hasilnya.Berbeda dengan pengalaman sebelumnya, desa dan warga menanam, tapi para pemodal yang menikmati hasil hutannya. Sudah saatnya negara memberikan kepercayaan kepada desa untuk mengelola aset tanah dan hutan yang negara miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Haryanto, Titok. 2012. Melawan Kemiskinan Berbasis Potensi Lokal: Pelajaran Berharga dari Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Stock Take: Manfaat Program ACCESS Terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Kerjasama Ire Yogyakarta dengan ACCESS Tahap II
Pembaruan Tani/Edisi 80/Oktober 2010
http://www.wwf.or.id/berita_fakta/berita_fakta/?6040/Profil-Industri-Kayu-Indonesia, diakses pada Rabu, 13 Maret 2012
http://alamendah.wordpress.com/2010/03/09/kerusakan-hutan-deforestasi-di-indonesia/, diakses pada Kamis, 14 Maret 2012
Rozaki, Abdur. 2012. Dari Desa Krisis Pangan Menuju Mandiri Pangan: Pelajaran Berharga dari Kabupaten Sumba Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Stock Take: Manfaat Program ACCESS Terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia.
Safitri, Laksmi Adriani, Mohamad Shohibudin, Surya Saluang (Eds.). 2009.
Memahami dan Menemukan Jalan Keluar Dari Problem Agraria dan Krisis Sosial dan Ekologi. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)-Sajogyo Institute.
Serikat Petani Indonesia. 2010. Ketegasan dan Kepemimpinan Presiden Kunci Sukses Pembaruan Agraria. Pembaruan Tani/Edisi 80/Oktober 2010
Zamroni, Sunaji. 2012. Keberdayaan Desa Melindungi Hutan: Pelajaran Berharga dari Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Stock Take: Manfaat Program ACCESS Terhadap Kemandirian Desa dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Kerjasama Ire Yogyakarta dengan ACCESS Tahap II
135 BUDIDAYA TERUMBU KARANG GUNA PENINGKATAN PENDAPATAN
PETANI DI DESA SERANGAN DENPASAR SELATAN TAHUN 2012 I Gusti Agung Gede Dhyana Putra1, Wayan Maba2, Made Nada2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University of Denpasar
2
Postgraduate Program of and Environmental management, Mahasraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia *Corresponding author email: [email protected], Tel. +62.17.81338.321888.
ABSTRACT
This study will determine how the cultivation of planting coral reefs with mediation (1) Traditional (2) Semi Modern, (3) Modern, as an effort to increase the income of farmers in Serangan village.Adult coral is an export commodity. To maintain continuity, the distinguished way of planting and harvesting coral by using a system of mediation. Traditional Mediation is a way to harvest the crop reef directly in nature, in this way of the damage to coral reefs. Modern Semi Mediation is a way of cultivating a friendly reef environment with business objectives for export, meaning that the goal is economic gain. Semi Modern Mediation cultivation is considered the best solution because it is economically profitable for farmers and maintains marine conservation. Modern Mediation is a way to cultivate coral that requires more complete equipment, which affects the high cost and also requires specialized skills. This study used a questionnaire method to accumulate data, which was then examined by comparative analysis. The results showed that cultivation can improve the quality of coral reefs by (41.8%), the selling price is more expensive by (65.5%), the economic benefits by (56.4%), more efficient operating costs by (43, 6%) and the offense is can be reduced by (76.4%). Conditions like these are positive for business and thrive in the waters of Serangan village.
The result of planting reefs using Traditional Mediation shows a very small profit margin, breaks the law and causes damage to the environment. It is also difficult to sell these products as they are often rejected by the international market due to strict worldwide export regulations (CITES - Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora) in Appendix II category, which means the extinction of species that are highly protected. The analysis Semi Modern Mediation coral farming shows that the fishermen can increase their profits. Planting coral with Modern Mediation requires special skills or expertise in the manufacture of the concrete medium used. It also requires a large investment and the equipment is expensive as well as labor intensive to move the concrete to the location in the middle of the sea. This method is considered to be less efficient for commercial purposes. It is suggested that the coral reef farmers Serangan village continue to develop and improve their methods of farming. The government needs to strictly enforce the law for those who break the rules and at the same time provide guidance and counseling for reef farmers in the area.
136 PENDAHULUAN
Aktifitas pengambilan karang untuk bangunan dan Aquarium hias laut di Pulau Serangan (Bahtera Nusantara, 2009) Sejak tahun 1995/1997 wilayah pengambilan tidak hanya disekitar Pulau Serangan saja tapi meluas sampai ke Sanur dan Nusa Dua. Karena keterbatasan modal maka nelayan pada saat itu hanya dengan perahu dayung tanpa mesin untuk mencapai kedua lokasi tersebut. Selanjutnya mulai ada nelayan yang memiliki cukup modal untuk membeli perahu motor dan sejak saat itu mulai dilakukan pengambilan karang hias ke luar Pulau Bali seperti Nusa penida dan Nusa Tenggara Barat. Perluasan wilayah tangkap ini seiring dengan tingginya tingkat permintaan dari para eksportir.
Pada kurun waktu 1998/2000 pada masa reformasi banyak pengusaha ikan hias laut memindahkan atau mengembangkan bisnis mereka ke Bali dari Jakarta.Tercatat ada12 perusahan baru yang membuka farm eksport mereka yang tersebar di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung termasuk di Pulau Serangan Sendiri yaitu PT Lintas Antar Nusa (LAN) yang masih ada sampai sekarang. Fenomena ini makin mendorong meningkatnya permintaan karang hidup sebagai primadona produk Aquarium hias laut di Pulau Serangan. Walaupun secara hukum pengambilan karang di perairan laut Bali adalah melanggar, pengambilan karang alam ini tetap berlangsung dengan cara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Peneggakan hukum terhadap Kegiatan pengambilan karang pada kurun waktu ini, sangat lemah sekali. Bahkan Protes dari pemerhati lingkungan di Bali ditanggapi dengan perlawanan oleh masyarakat, dengan alasan pada saat itu mega proyek BTID yang menguruk hektaran terumbu karang mejadi lahan untuk pengembangan Pulau Serangan justru dilegalkan oleh pemerintah (Bahtera Nusantara 2001). Seiring dengan berjalannya waktu ditambah dengan semakin banyak pihak yang peduli kurun waktu 2001/2002 beberapa pengusaha, Perguruan Tinggi dan LSM mendorong upaya budi daya karang sebagai alternatif pengambilan karang hias alam. Kegiatan ini dilakukan melalu penelitian dan uji coba budidaya yang di motori oleh CV. Dinar dengan 4 perusahaan lainnya yang tergabung dalam Asosiasi Karang Budidaya Bali. Pada tahun 2003-2004 usaha karang bididaya ini sudah mendatangkan hasil ada hampir 30 spcies yang bisa dibudidayakan dengan tekhnik propagasi. Walaupun demikian pengambilan karang alam masih terus berlangsung walaupun tidak segencar dahulunya sampai saat ini (Sudiarta, 2005).
137 dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang.
Di dalam terumbu karang, koral adalah insinyur ekosistemnya. Merupakan ekosistem laut tropis, Sebagai hewan yang menghasilkan kapur untuk kerangka tubuhnya, karang merupakan komponen yang terpenting dari ekosistem tersebut. Jadi Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih. Airnya hangat (lebih dari 22oC), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang keras. (Guilcher, 1988). Secara aktif membentuk sedimen kalsium karbonat akibat aktivitas biologi (biogenik) yang berlangsung di bawah permukaan laut. Bagi ahli geologi, terumbu karang merupakan struktur batuan sedimen dari kapur (kalsium karbonat) di dalam laut, atau disebut singkat dengan terumbu.Bagi ahli biologi terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang dibentuk dan didominasi oleh komunitas koral.
Dalam peristilahan 'terumbu karang', "karang" yang dimaksud adalah koral, sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu. Terumbu adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup dan karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang. Di Indonesia semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan koral. Kerangka karang mengalami erosi dan terakumulasi menempel di dasar terumbu.
Penanaman karang dengan Mediasi Tradisional memperlihatkan hasil keuntungan yang sangat kecil, pelanggaran hukum, kerusakan lingkungan dan penjualan hasil produksi yang sulit karena penolakan pasar eksport akibat dari peraturan eksport dunia (CITES: Convension on International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna and Flora) dalam katagori Appendix II yang artinya dalam kepunahan dan sangat dilindungi.
Perlakuan untuk memaksimumkan hasil terumbu buatan perlu dirancang bentuk dan bahan terumbu buatan yang sesuai dengan target yang ingin dicapai. Wong (1991). menyebutkan bahwa secara umum bahan yang digunakan harus: (1) tahan lama; (2) tidak mengeluarkan bahan kimia beracun di air; (3) murah dan mudah diperoleh; dan (4) mudah ditangani dan diangkut ke tempat tujuan. Dari patokan di atas maka bahan-bahan yang selama ini telah digunakan kebanyakan berupa ban, konkret dan pipa PVC (Wong 1991).
138 Kerusakan terumbu karang lebih banyak diakibatkan oleh ulah manusia. Penelitian ini akan mengetahui bagaimanakah usaha budidaya penanaman terumbu karang dengan mediasi (1) Tradisional, (2) Semi Moderen, (3) Moderen, sebagai suatu usaha meningkatkan pendapatan petani di desa Serangan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dimulai dari analisis permasalahan di lapangan yang didukung dengan melakukan studi kepustakaan, Permasalahan yang dianalisis adalah cara Penanaman beberapa jenis karang dalam upaya untuk menjadikan Terumbu Karang di Pantai Desa Serangan, Bali sebagai salah satu komuditi ekonomi dengan kualitas eksport.
Lokasi Penelitian Dilakukan di Pantai Desa Serangan, Denpasar Selatan Bali. dilakukan disepanjang pantai yang tumbuhi dengan terumbu karang yakni pada panjang 400 m dan 75 m lebar.Waktu penelitian dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan system cross section di saat air laut agak surut, mulai bulan Oktober 2012 sampai Desember 2012.
Jenis dan Sumber Data.
Data primer adalah data yang bersumber dari koresponden langsung yaitu petani terumbu karang yang melakukan mediasi karang secara trdisional, petani terumbu karang dengan mediasi semi modern dan mediasi moderen. Data primer meliputi kecepatan pertumbuhan karang pada masing-masing media. Keuntungan ekonomis dan keuntungan lain yang di dapat oleh petani karang, Jenis karang yang tumbuh dengan baik dan arah kebijakan pengelolaan terumbu karang dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar.
Data sekunder adalah data yang bersumber dari sumber kedua, yaitu instansi atau perusahaan terkait, dinas pemerintahan dan LSM serta literatur yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder tersebut seperti data perkembangan perdagangan terumbu karang di Indonesia, daftar eksportir terumbu karang di Indonesia, kondisi terumbu karang di Bali, peta status terumbu karang serta peta status perdagangan terumbu karang di Indonesia, data demografi Kelurahan Serangan, serta foto-foto jenis karang yang diperdagangkan.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dengan maksud pengumpulan data primer adalah : wawancara dan kuisioner..kamera, untuk memperoleh rekaman data fisik lokasi penelitian, alat tulis, untuk mencatat hasil pengamatan langsung di lapangan, snorkel dan fins untuk alat pengamatan di dalam air.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data yang bersifat primer maupun sekunder. Data primer didapat melalui wawancara maupun pengukuran langsung dilapangan dan laboratorium yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Analisis data dilakukan secara deskriftif komperatif.
139 HASIL DAN PEMBAHASAN
Budidaya Penanaman Karang Untuk Peningkatan Pendapatan Nelayan dengan Mediasi Tradisional.
Petani karang di desa Serangan mengambil karang adalah sebagai mata pencaharian secara turun temurun. Sejalan dengan kemajuan jaman maka bahan bangunan dari batu karang laut semakin tidak populer dan dituding sebagai penyebab kehancuran karang dan habitat laut, lalu nelayan mengalihkan mata pencaharian mereka dengan menjual karang sebagai karang hias. Dibawah ini adalah tabel dari empat tempat harga yang berbeda dari petani karang yang melakukan mediasi tradisional.
Tabel 1 Harga Jual Karang Hias Mediasi Tradisional
No Jenis Karang
Harga per unit (rupiah)
Serangan Nusa Penida
Muncar Tejakula
1. Akropora 3.500 2.300 2.500 2.500
2. Babut 5.500 4.800 5.000 5.200
3. Nanas/Otak 5.500 5.000 5.000 5.100
4. Koreng 3.500 3.800 3.500 3.400
5. Monti/Mangkok 4.000 3.800 4.000 4.700
6. Sarang Burung 7.000 5.800 6.000 6.200
7. Lunak Payungan 2.500 2.600 2.500 2.200
8. Lunak Seroja 3.000 2.900 3.000 3.100
9. Cokelat 2.500 2.800 3.000 2.800
10. Batu Hidup Size S/M 5.000 5.800 6.000 5.700 11. Batu Hidup Size L/Xl 5.500 6.500 6.500 6.300
Sumber: data primer
Pada awalnya usaha ini menunjukan hasil yang baik, namun semakin banyak orang yang perduli dengan kelestarian alam, maka cara bertani dengan mengambil karang secara langsung di alam mendapatkan protes yang keras dan pasar dunia menolak untuk membeli segala bentuk karang yang diambil langsung di alam. Dengan adanya penolakan pasar, maka kebutuhan karang alam ini lebih banyak ditujukan hanya untuk pasar lokal, sehingga harga sangat menurun. Sebagai suatu perbandingan harga karang Sarang Burung dari empat tempat yang berbeda dapat ditunjukan seperti gambar 6 di bawah ini. Dari gambar itu dapat dikatakan harga di desa Serangan adalah yang paling mahal. Hal ini disebabkan oleh kualitas karang yang baik, kedekatan dengan bandara sehingga karang tidak mengandung resiko patah selama perjalanan dan waktu pengiriman yang lebih cepat sejak panen.
140 karang hias hidup dari alam untuk keperluan aquarium laut mulai booming di Pulau Serangan pada tahun 1995-2000. Ada sekitar 8 (delapan) pengepul aktif pada saat itu, masing-masing pengepul memiliki 3-10 nelayan sebagai anak buah. Alat yang mereka gunakan adalah perahu, alat selam dasar (fin, snorkle dan masker), ban dan besek (sebagai tempat penampung barang) dan martil serta alat pemotong untuk pengambil karang. Seiring dengan peningkatan permintaan maka nelayan menambahkan kompresor selam untuk pengambilan karang yang lebih menambah luas areal perburuannya. Semakin banyak permintaan, semakin jauh mereka melaut dan semakin luas areal karang yang rusak.
Budidaya Penanaman Karang Untuk Peningkatan Pendapatan Nelayan dengan Mediasi Semi Moderen .
Demikian pula dengan dengan petani karang yang melakukan mediasi Semi Moderen di empat tempat yang berbeda memiliki harga yang berbeda pula seperti yang ditunjukan oleh table 2 di bawah ini
Tabel 2. Harga Jual Karang Hias Mediasi Semi Moderen di Desa Serangan.
No Jenis Karang
Harga per unit (rupiah)
Serangan Nusa Penida
Muncar Tejakula
1. Akropora 11.000 11.000 10.000 12.000
2. Babut 17.500 17.000 16.000 16.800
3. Nanas/Otak 20.000 18.400 18.000 18.400
4. Koreng 24.000 25.900 25.000 26.000
5. Monti/Mangkok 15.000 14.200 14.000 14.700 6. Sarang Burung 28.000 26.000 27.000 26.400 7. Lunak Payungan 12.000 10.200 10.000 10.200 8. Lunak Seroja 12.000 12.000 11.000 10.800
9. Cokelat 13.000 11.800 11.000 10.700
10. Batu Hidup Size S/M 18.000 16.200 17.000 17.200 11. Batu Hidup Size L/Xl 18.000 17.100 16.000 16.300
Sebagai sebuah perbandingan harga dengan bisnis yang sama yang dilakukan oleh nelayan di daerah Banyuwangi. Harga di Banyuwangi ternyata sedikit lebih murah, namun pengepul harus membawanya ke Surabaya untuk tujuan eksport. Perjalanan yang jauh berakibat karang mengalami penurunan kualitas, ongkos perjalanan yang mahal dan waktu yang lama untuk sampai di Negara tujuan. Walaupun dengan harga yang sedikit lebih mahal, para eksportir lebih menyukai berbisnis dengan petani karang di Bali. Hal lainnya yang menjadi pertimbangan adalah mudahnya berkomunikasi dan kualitas karang dari Bali memiliki kualitas karang yang bagus.