• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA NATURE RELATEDNESS DENGAN SUBJECTIVE WELL - BEING PADA MAHASISWA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA NATURE RELATEDNESS DENGAN SUBJECTIVE WELL - BEING PADA MAHASISWA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA

NATURE RELATEDNESS

DENGAN

SUBJECTIVE WELL - BEING

PADA MAHASISWA

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

OLEH

KEZIA RIVENTA TALUMEPA

802014111

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN ANTARA

NATURE RELATEDNESS

DENGAN

SUBJECTIVE WELL-BEING

PADA MAHASISWA

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

Kezia Riventa Talumepa

Berta Esti Ari Prasetya

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara nature relatedness dengan

subjective well-being (SWB) pada mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana. Subjek penelitian ini adalah 100 mahasiswa yang aktif berkuliah di UKSW. Metode pengumpulan data untuk mengukur SWB menggunakan

Satisfaction With Life Scale (SWLS) dan Positif and Negatif Affect Schedule

(PANAS). Kemudian untuk mengukur nature relatedness menggunakan Nature Relatedness Scale. Teknik analisis data menggunakan pearson product moment. Hasil penelitian ini memperoleh koefisien korelasi r = 0,273 dengan sig. = 0,003 (p<0,05). Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara nature relatedness dengan subjective well-being. Dengan sumbangan yang diberikan nature relatedness pada SWB mahasiswa UKSW sebesar 7,5%, sementara sisanya 92,5% disebabkan oleh faktor lain diluar dari penelitian ini.

(9)

ii Abstract

This study aims to find the correlation between nature relatedness and subjective well-being (SWB) among students at Satya Wacana Christian University (SWCU). This research was conducted on 100 students in SWCU. Methods of data collection to measure SWB using Satisfaction With Life Scale (SWLS) and Positive and Negative Affect Schedule (PANAS). To measure the nature relatedness using Nature Relatedness Scale. Data analysis technique using pearson product moment. The results of this study obtained correlation coefficient r = 0.273 with sig. = 0.003 (p <0.05). Result of this research showed that there was a significant positive correlation between nature relatedness and subjective well-being. Given the contribution of nature relatedness to SWB on SWCU students is 7.5%, while the remaining 92.5% is caused by other factors outside of this study.

(10)

1

PENDAHULUAN

Masa perguruan tinggi merupakan masa yang membantu perkembangan kognitif, mental, maupun fisik individu untuk lebih matang melalui kehidupan masa dewasa. Menurut Laouvie-Vief (2006) tingkat perkembangan kognisi yang lebih tinggi di masa dewasa kadang disebut pemikiran pascaformal dan pada umumnya dimulai di peralihan masa dewasa, seringkali melalui ekspos dari pendidikan tinggi (dalam Papalia & Fieldman, 2014). Dalam masa perguruan tinggi ini individu akan mulai belajar untuk berpikir fleksibel, terbuka, adaptif dan individualistik untuk membantu individu mengatasi dunia yang tampak kacau (Papalia & Filedman, 2014). Namun tidak hanya pengalaman atau masa menyenangkan yang akan dihadapi individu, dimana individu akan berhadapan dengan dunia yang jauh lebih kompleks. Individu akan dituntut untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan masa depannya.

Menurut berita media IDN Times (2016), berdasarkan data survei yang ada, mahasiswa zaman sekarang rentan terhadap depresi. Hasil penelitian National College Health Assessment, 30% mahasiswa yang menjalani survei mengalami depresi yang mengakibatkan kehilangan fokus belajar dan mengerjakan tugas karena terlalu mengkhawatirkan hal-hal kecil yang terjadi di hidup mereka (IDN Times, 2016). Penelitian lain yang dilakukan tahun 2015 juga menemukan 20% mahasiswa mencari perawatan dan konsultasi kejiwaan terkait tekanan yang dialami di dunia akademis. Bahkan 9% diantaranya secara serius sempat terlintas ingin bunuh diri karena tak sanggup menanggung beban yang ada. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Christyanti, Mustami‟ah dan Sulistiani (2010) di Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya menemukan

(11)

bahwa mahasiswa yang memiliki penyesuaian diri yang baik terhadap tuntutan akademik maka kecenderungan stresnya rendah, sebaliknya jika penyesuaian diri terhadap tuntutan akademik buruk maka kecenderungan stresnya tinggi. Namun sebaliknya ada berbagai hal yang dapat memengaruhi kehidupan psikologis mahasiswa yang dapat membuat mahasiswa memiliki kesejahteraan subjektif. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Utami (2009), mahasiswa yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan aktifitas lainnya memiliki tingkat kesejahteraan subjektif (subjective well-being) yang lebih tinggi daripada mahasiswa yang tidak terlibat dalam kegiatan apapun. Melalui penjelasan diatas maka dapat dikatakan ada beberapa hal yang dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis individu yang berperan dalam masa dewasa seseorang.

Well-being atau kesejahteraan menurut Diener, Oishi dan Lucas (2003) disebut sebagai subjective well-being (SWB) adalah evaluasi kognitif dan emosi seseorang dalam kehidupannya, termasuk yang umumnya disebut kebahagiaan, kedamaian, fulfillment, dan kepuasan hidup. Sedangkan Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) mengutarakan psychological well-being adalah keadaan individu dalam potensi diri yang sejati (true potential) yang ditandai ia dapat mandiri dalam berperilaku dan mampu mengelak dari tekanan sosial (autonomy), mampu merasakan peningkatan kualitas diri dari waktu ke waktu (personal growth), menerima kelemahan dan kelebihan dirinya (self-acceptance), memiliki tujuan hidup yang berdampak pada keterarahan sikap dan perilakunya (purpose in live), mampu menciptakan dan memilih lingkungan yang sesuai dengan nilai dan kebutuhan pribadi (environmental mastery) dan mampu menikmati dan menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain (positive relationship). Dalam hal ini

(12)

3

well-being berarti keadaan seseorang dapat menerima kehidupannya, memiliki makna kehidupan dan memiliki pandangan yang positif akan kehidupannya.

Ada berbagai hal yang memengaruhi subjective well-being, menurut Diener (1984) antara lain faktor kepuasan subjektif, pemasukan, variabel demografis lainnya (usia, gender, pekerjaan, ras, pendidikan, agama, pernikahan & keluarga), perilaku & outcomes, personalitas (self-esteem) dan pengaruh biologis. Selain itu dalam penelitian yang dilakukan oleh Takwin, Singgih dan Panggabean (2012) yang dilakukan terhadap warga DKI Jakarta menemukan bahwa self-management

yang baik juga memengaruhi SWB seseorang, individu yang memiliki self-management yang lebih baik akan semakin memengaruhi subjective well-being

dari seseorang. Sebaliknya individu yang memiliki self-management yang kurang baik cenderung memiliki subjective well-being yang rendah. Sedangkan menurut Nisbet, Zalenski dan Murphy (2009) keterhubungan dengan alam juga menjadi faktor yang memengaruhi well-being seseorang.

Kegiatan yang berhubungan dengan alam pada dasarnya berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Menurut Nisbet dkk (2009) keterhubungan dengan alam (nature relatedness) mengacu pada hubungan afektif, kognitif dan

experiental seseorang dengan dunia alam atau ke-subjektifan dan kesesuaian dengan alam. Dengan tiga faktor nature relatedness (NR) yaitu NR-Self yang menggambarkan identifikasi internal dengan alam, NR-Persepective sebagai refleks ekstrenal, dan NR-Experience yang merefleksikan hubungan langsung dengan alam. Banyak orang yang merasa memiliki pengalaman yang berhubungan dengan alam atau memiliki ikatan dengan alam. Setiap orang yang nyaman

(13)

dengan alam dapat memiliki keterhubungan dengan alam yang lebih dari orang lain.

Penelitian yang dilakukan oleh Lauman, Garling dan Stormark (2001) pada mahasiswa di Norwegia menemukan bahwa mahasiswa lebih banyak memiliki ketertarikan terhadap lingkungan alam daripada lingkungan perkotaan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan individu merasa lebih nyaman, tenang ataupun lebih bahagia dalam lingkungan alam daripada perkotaan. Penelitian yang dilakukan oleh MacKerron & Mourato (2013) pada masyarakat di Inggris menemukan bahwa rata-rata orang yang melakukan aktifitas diluar ruangan yang berhubungan dengan alam pada dasarnya secara signifikan lebih bahagia daripada mereka yang beraktifitas di daerah perkotaan. Hal ini memberikan bukti yang menguatkan hubungan antara alam dan well-being. Kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Richardson, Cormack, McRobert dan Underhill (2016), dalam penelitian ini meminta individu untuk melakukan sesuatu yang terhubung dengan alam selama satu bulan setiap harinya menemukan bahwa individu yang melakukannya umumnya meningkatkan kebahagiaan, kesehatan dan hubungan dengan alam dan peduli dengan alam. Hal ini secara tidak langsung berhubungan dengan subjective well-being seseorang, karena setelah berhubungan dengan alam individu merasa lebih bahagia dan dapat menjalani kehidupannya dengan lebih efektif. Dari penelitian-penelitian yang ada dapat dikatakan bahwa kegiatan-kegiatan atau keterhubungan dengan alam dapat membuat individu menjadi lebih bahagia daripada individu yang tidak berhubungan dengan alam. Berdasarkan penjelasan yang ada peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai nature relatedness dengan subjective well-being pada mahasiswa

(14)

5

karena penelitian ini belum banyak di lakukan di Indonesia. Pada akhirnya peneliti hendak melaksanakan penelitian mengenai hubungan nature relatedness

dengan subjective well-being pada mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Definisi Subjective Well-Being

Subjective well-being adalah evaluasi kognitif dan emosi seseorang dalam kehidupannya, termasuk yang umumnya orang sebut kebahagiaan, kedamaian,

fulfillment, dan kepuasan hidup (Diener dkk, 2003).

Dengan demikian subjective well-being pada penelitian ini mengacu kepada evaluasi mahasiswa akan kehidupannya baik secara kognitif maupun afektif.

Dimensi Subjective Well-Being

Diener (1984) memaparkan tiga dimensi dari subjective well-being yaitu life satisfaction, positive affect dan negative affect. Life satistication merupakan evaluasi kognitif seseorang akan hidupnya. Positive affect dapat dibagi ke dalam emosi spesifik seperti kegembiraan, afeksi, dan kebanggaan. Sedangkan negatif affect dapat dibedakan dalam emosi dan suasana hati yang spesifik seperti bersalah, malu, kesedihan, amarah, dan kecemasan (Diner dkk 1997).

Faktor-faktor yang memengaruhi Subjective Well-Being

Menurut Diener (1984) hal-hal yang memengaruhi SWB adalah : a. Kepuasan Subjektif

Penilaian kepuasan cenderung memiliki korelasi tinggi dengan SWB daripada kondisi objektif.

(15)

b. Pemasukan

Banyak bukti yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara pemasukkan dengan SWB di berbagai negara (Diener, 1984). Kepuasan hidup seseorang dengan pemasukkan memiliki hubungan dengan kebahagiaan (Braun, 1977; Campbell dkk, 1976, dalam Diener, 1984).

c. Variabel Demografis lainnya : Usia, gender, pekerjaan, ras, pendidikan, agama, pernikahan & keluarga

Beberapa penelitian menemukan bahwa orang usia muda lebih bahagia daripada yang berusia tua. Namun beberapa penelitian menemukan bahwa hampir tidak ada hubungan antara usia dengan SWB (Stock dkk, 1983, dalam Diener 1984). Beberapa penelitian menemukan bahwa wanita muda lebih bahagia daripada pria muda, namun sebaliknya pada usia tua. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Braun, 1977; Cameron, 1975; Gurin dkk, 1960; dalam Diener, 1984) menemukan bahwa wanita melaporkan lebih memiliki afek negatif, namun mengalami kegembiraan yang lebih. Perbedaan ras juga menjadi hal yang memengaruhi SWB. Kemudian orang yang memiliki pekerjaan lebih bahagia daripada yang tidak memiliki pekerjaan. Pendidikan memiliki efek terhadap SWB namun tidak kuat. Penelitian dalam gereja menemukan hubungan positif antara religiusitas dengan SWB. Beberapa penelitian menemukan bahwa orang yang menikah memiliki SWB yang lebih baik daripada yang tidak menikah (Andrews & Withey, 1976; Glenn, 1975; dalam Diener, 1984).

(16)

7

Berdasarkan beberapa penelitian yang ada Diener (1984) berpendapat bahwa bukan berarti orang yang ekstrovet lebih bahagia dari pada introvert, namun kontak sosial sendirilah yang memiliki hubungan dengan SWB. Namun pengaruh yang ada belum begitu jelas. Dapat berarti orang lebih bahagia jika mereka lebih bersosialiasi. Keterlibatan dalam berbagai tipe aktivitas berdampak terhadap SWB (Diener, 1984).

e. Personalitas : self-esteem

Self-esteem memiliki peran yang penting dalam kebahagiaan dan kepuasan hidup (Compton, 2005). Dalam kenyataan yang ada sangat sulit menemukan orang dengan self-esteem rendah yang kronis merasa puas akan kehidupannya.

Self-esteem yang positif dihubungkan dengan fungsi adaptif di hampir semua bagian kehidupan. Hal ini sesuai dengan Campbell (dalam Compton, 2005) yang menemukan bahwa self-esteem merupakan prediktor penting dari

subjective well-being. f. Pengaruh biologis

Kesehatan subjektif menunjukkan hubungan yang kuat dengan kebahagiaan, dan kesehatan objektif memiliki hubungan yang lemah namun signifikan dengan SWB (Zautra & Hempel, 1983; dalam Diener, 1984).

Diener & Diener (2001) menemukan hal-hal yang memengaruhi SWB yaitu : a. Pendapatan

Pendapatan yang tinggi tidak menjamin memiliki SWB yang tinggi karena faktor seperti hubungan dengan orang terdekat merenggang, stress dan tekanan.

(17)

Mengapa orang-orang di negara kaya lebih merasa bahagia, ini terkait dengan bagaimana pemerintah membuat kebijakan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Kesetaraan pendidikan, melek huruf, hak asasi manusia, dan kesejahteraan subjektif lebih tinggi di negara-negara kaya (Diener dan C. Diener, 1995; dalam Diener & Diener, 2001).

c. Budaya

Pendekatan budaya menjelaskan bahkan mengapa kebanyakan individu yang relatif miskin melaporkan SWB tinggi karena sebagian besar dari mereka yang terlibat dalam kegiatan produktif yang dihormati dalam budaya mereka.

Kemudian menurut Diener dkk (2003) hal-hal yang juga memengaruhi SWB adalah :

a. Personalitas

Pembagian personalitas seperti estrovet, neuroticism, dan self-esteem

memberikan pengaruh terhadap tingkat SWB. b. Kultural

Variabel kultural menjelaskan perbedaan rata-rata tingkat SWB dan muncul karena faktor objektif seperti kekayaan, norma perasaan yang tepat dan bagaimana SWB ditanggapi, dan pendekatan relatif dibandingkan tendesi menghindar dari masyarakat.

Definisi Nature Relatedness

Nisbet dkk mengemukakan (2009) nature relatedness mengukur perasaan individu mengenai keterhubungannya dengan alam. Menurut Nisbet dkk (2009) keterhubungan dengan alam yang disebut dengan nature relatedness mengacu pada hubungan afektif, kognitif dan experiental seseorang dengan dunia alam.

(18)

9

Nature relatedness menjelaskan tingkat keterhubungan individu dengan dunia alam. Dimana nature relatedness merupakan sebuah penghargaan dan pemahaman mengenai keterkaitan individu dengan makhluk hidup lainnya di bumi.

Dengan demikian nature relatedness pada penelitian ini mengacu kepada tingkat keterhubungan mahasiswa dengan alam melalui ketertarikan, pemahaman dan penghargaan terhadap alam.

Aspek Nature Relatedness

Nisbet dkk (2009) menjelaskan nature relatedness memiliki tiga faktor yaitu NR-Self, NR-Perspective dan NR-Experience.

c. NR-Self

Menggambarkan perspektif internal dengan alam, merefleksikan pemikiran dan perasaan mengenai hubungan personal individu dengan alam , seperti “hubungan saya dengan alam merupakan bagian yang penting dari diri saya”. d. NR-Perspective

Merefleksikan aspek eksternal, gambaran besar nature-related, kepekaan terhadap pandangan dunia luar mengenai tindakan individual individu dan dampaknya terhadap semua aspek kehidupan.

e. NR-Experience

Merefleksikan keakraban fisik dengan dunia alam, tingkat kenyamanan dan keinginan yang kuat untuk berhubungan dengan alam, seperti “saya menyukai berada di luar ruangan, bahkan dalam cuaca yang tidak menyenangkan”.

(19)

Masa dewasa awal yang dialami individu dalam masa perguruan tinggi akan memengaruhi psikologis individu, yang dapat membuat individu merasakan berbagai emosi seperti bahagia, sedih, tertekan ataupun kepuasan hidup. Dimana hal ini dapat memengaruhi kesejahteraan subjektif individu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Here dan Priyanto (2014) pada siswa SMK Semarang menemukan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara kesadaran lingkungan dengan subjective well-being pada siswa SMK Semarang (r = 0.506).

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Lauman, Garling dan Stormark (2001) pada mahasiswa di Norwegia yang diminta untuk membayangkan berada dialam dan kota, dan melihat gambar maupun video yang berhubungan dengan alam. Hasil penelitian menemukan bahwa mahasiswa lebih banyak memiliki ketertarikan terhadap lingkungan alam daripada lingkungan perkotaan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan individu merasa lebih nyaman, tenang ataupun lebih bahagia dalam lingkungan alam daripada perkotaan.

Kemudian penelitian yang dilakukan Kardan, Gozdyra, Misic, Moola, Palmer, Paus dan Berman (2015) di daerah pusat Toronto, Kanada yang memiliki populasi yang besar menemukan bahwa orang yang tinggal dalam lingkungan yang memiliki jumlah pohon lebih banyak di jalan memiliki tingkat kesehatan yang lebih tinggi dan kondisi cardio-metabolic yang merupakan kontrol sosial ekonomi dan faktor demografis yang lebih rendah. Dimana berdasarkan penelitian ditemukan perbandingan dimana dengan tinggal dilingkungan yang memiliki 10 pohon di setiap blok memengaruhi tingkat kesehatan lebih besar daripada kenaikkan pendapatan dan pindah dilingkungan yang lebih kaya, ataupun menjadi tujuh tahun lebih muda. Kemudian dalam penelitian yang dilakukan Beyer,

(20)

11

Kaltenbach, Szabo, Bogar, Nieto dan Malecki (2014) yang dilakukan di Amerika Serikat yang mengambil data dari populasi yang tinggal di perkotaan maupun desa. Hasil penelitian menemukan bahwa orang yang tinggal ditempat tinggal yang terpapar lebih dengan lingkungan hijau memiliki mental health yang lebih baik. Dimana tinggal dilingkungan yang terpapar lebih dengan lingkungan hijau memiliki hubungan yang signifikan dengan simptom depresi, anxiety dan stress, setelah dilakukan kontrol terhadap berbagai macam faktor lainnya. Dari hasil penelitian yang ada dapat dikatakan bahwa lingkungan hijau atau alam memiliki hubungan yang positif dengan kesehatan, maupun mental health manusia. Dimana hal ini secara tidak langsung dapat berhubungan dengan tingkat well-being

individu, jika individu memiliki kehidupan yang sehat maka dapat mengurangi beban pemikiran untuk fisiknya. Hal ini juga berlaku bagi mental health manusia, jika individu memiliki tingkat anxiety, depresi yang rendah maka berarti individu lebih bahagia dan kemungkinan memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi .

Dalam penelitian yang dilakukan Reese, Lewis, Myers, Wahesh dan Iversen (2014) menemukan bahwa individu yang aktif berpengalaman dengan alam memiliki tingkat physical wellness yang tinggi. Dimana hal ini sangat berkaitan dengan lingkungan seseorang, alam sangat berintegrasi dengan self-concept, persepsi yang tinggi terhadap well-being dan pertimbangan yang sangat besar dari

self sebagai bagian dari alam. Sedangkan menurut Howell, Dopko, Passmore dan Buro (2011) terhadap mahasiswa psikologi di Kanada menemukan keterhubungan dengan alam berkorelasi positif dengan psychological well-being dan social well-being. Penelitian yang dilakukan oleh MacKerron & Mourato (2013) pada masyarakat di Inggris dengan menggunakan aplikasi yang dapat mengetahui

(21)

lokasi, suhu, waktu dari subjek menemukan bahwa rata-rata orang yang melakukan aktifitas diluar ruangan yang berhubungan dengan alam pada dasarnya secara signifikan lebih bahagia daripada mereka yang beraktifitas di daerah perkotaan. Hal ini memberikan bukti yang menguatkan hubungan antara alam dan

well-being. Kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Richardson, Cormack, McRobert dan Underhill (2016), dimana dalam penelitian ini meminta individu untuk melakukan sesuatu yang terhubung dengan alam selama satu bulan setiap harinya menemukan bahwa individu yang melakukannya umumnya meningkatkan kebahagiaan, kesehatan dan hubungan dengan alam dan peduli dengan alam. Hal ini secara tidak langsung berhubungan dengan subjective well-being seseorang, karena setelah berhubungan dengan alam individu merasa lebih bahagia dan dapat menjalani kehidupannya dengan lebih efektif.

Sedangkan menurut Nisbet Zelenski & Murphy (2011) well-being memiliki korelasi positif dengan NR (nature relatedness). Nisbet dkk (2011) membagi penelitian dalam tiga bagian yaitu korelasi antara nature relatedness (NR) dengan

well-being pada mahasiswa, kemudian pada karyawan dari pemerintahan di Kanada dan penelitian longitudinal terhadap mahasiswa dengan memberikan

environmental courses kepada mahasiswa. Pada penelitian pertama dan kedua peneliti menemukan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara NR dengan subjective well-being. Namun untuk dimensi negative affect dan life satisfaction memiliki hubungan yang tidak signifikan. Kemudian untuk penelitan ketiga yang merupakan penelitian longitudinal dimana subjek dibagi dalam dua kelompok yaitu mahasiswa yang mengikuti environmental courses dan group control. Di akhir penelitian ditemukan bahwa kedua kelompok tersebut memiliki

(22)

13

negative affect yang lebih, dimana hal ini mungkin disebabkan oleh pemilihan waktu pengambilan data yang dilakukan mendekati musim dingin. Namun secara keseluruhan NR memiliki korelasi positif yang kuat dengan positive affect. Sedangkan dalam penelitian Zelenski dan Nisbet (2014) yang dilakukan dengan dua studi, dimana studi pertama kepada siswa dan komunitas menemukan bahwa korelasi NR dengan dimensi SWB pada siswa yaitu negatif affect (r=-0.02) sangat rendah, sedangkan untuk positive affect (r=0.16) dan life satisfaction (r=0.15) termasuk tinggi. Kemudian penelitian terhadap komunitas menemukan bahwa hubungan NR dan SWB pada dimensi life satisfaction (r=0.07) dan negative affect

(r=-0.02) sangat rendah, sedangkan untuk positive affect (r=0.22) tinggi. Sedangkan untuk studi kedua dilakukan kepada karyawan yang menemukan bahwa NR memiliki korelasi yang rendah dengan life satisfaction (r=0.04) dan memiliki korelasi yang tinggi dengan positive affect (r=0.18) dan negatif affect

(0.16). Secara umum NR berperan sebagai prediktor yang signifikan terhadap kebahagiaan. Berdasarkan penelitian yang ada maka dapat dikatakan bahwa NR merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi subjective well being

seseorang

Hipotesis

Berdasarkan dinamika hubungan yang telah diuraikan di atas, dalam penelitian ini peneliti mengajukan hipotesis, bahwa terdapat hubungan positif antara nature relatedness dengan subjective well-being pada mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana.

(23)

METODE PENELITIAN

Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu, variabel independen (X) dan variabel dependen (Y). Variabel X adalah nature relatedness dan variabel Y adalah subjective well-being.

Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana dengan jumlah 13.720 orang. Dengan ciri-ciri populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana dan mahasiswa yang aktif berkuliah.

2. Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan incidental sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/incidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2012). Untuk penentuan sampel menggunakan rumus Yamane (dalam Sukandarrumidi, 2006), dengan taraf kesalahan 10%. Dengan menggunakan rumus tersebut, maka jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 100 orang. Kriteria sampel yang digunakan adalah mahasiswa yang aktif berkuliah di UKSW.

(24)

15

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala yaitu pengumpulan data dengan menggunakan daftar pernyataan atau pertanyaan yang diberikan pada subjek yang berisi item-item. Skala pengukuran yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Skala Subjective Well-Being

Skala subjective well-being yang akan mengungkap tinggi rendahnya SWB mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana. Skala SWB yang akan digunakan adalah SWLS (Satisfaction With Life Scale) oleh Diener dkk (1985) yang mengukur dimensi life satisfaction dari SWB. Alat ukur ini menggunakan skala likert, yaitu untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang tentang fenomena sosial (Darmawan, 2013). Korelasi alpha dari SLWS adalah α = 0,87 (Diener dkk, 1985). Skala SWLS terdiri dari 5 item pernyataan dengan tujuh skala yaitu „sangat tidak setuju‟, „tidak setuju‟ , „agak tidak setuju‟, „tidak setuju ataupun setuju‟, „agak setuju‟, „setuju‟, dan „sangat setuju‟. Sedangkan skala yang digunakan untuk mengukur dimensi positive affect dan negative affect adalah positive and negative affect schedule

(PANAS) yang dibuat oleh Watson dkk (1988) berdasarkan teori Diener. Koefisien reabilitas dengan koesfisien Chronbach’s Alpha reliability mulai dari α = 0,86 - 0,90 untuk positive affect dan α = 0,84 - 0,87 untuk negative affect. PANAS terdiri dari 20 item dengan 5 skala yaitu „sangat atau tidak

sama sekali‟, „sedikit‟, „sedang‟, „cukup‟, „sangat‟.

Pada skala SWB dilakukan pengujian reliabilitas dan seleksi item terpisah

(25)

penilaian. Sedangkan untuk mendapatkan skor SWB secara keseluruhan, dilakukan dengan mengubah data pada dimensi life satisfaction dan positive affect dan negative affect menjadi z skor dan kemudian menjadi t skor. Setelah diuji kembali oleh peneliti, skala life satisfaction memiliki reliabilitas α = 0,709 yang dapat dikatakan diterima karena Chronbach’s Alpha reliability memiliki nilai α ≥ 0,7 dan tidak memiliki aitem yang gugur. Menurut Sekaran (2006) Cronbach‟s Alpha yang memiliki nilai α ≥ 0,7 dapat diterima. Skala PANAS dibedakan menjadi PA (afek positif) dan NA (afek negatif), PA memiliki reliabilitas α = 0,820 yang dapat dikatakan tinggi dan tidak memiliki aitem yang gugur. Sesuai dengan pemaparan Sekaran (2006) dimana

Chronbach’s Alpha reliability yang memiliki nilai α ≥ 0,8 masuk dalam kategori tinggi. Sedangkan skala NA memiliki reliabilitas α = 0,763 yang dapat dikatakan diterima. Karena menurut Sekaran (2006) Chronbach’s Alpha

reliability yang memiliki nilai α ≥ 0,7 dapat diterima. Dengan aitem yang gugur berjumlah 2 aitem yang menyisahkan 8 aitem. Skala SWB dapat dikatakan diterima karena tingkat reliabilitas Chronbach’s Alpha reliability memiliki nilai α = 0,709 – 0,820. Menurut Kaplan & Saccuzo (dalam Peterson, 1997) tingkat reliabilitas dengan nilai α = 0,7 - 0,8 dapat digunakan untuk basic research.

b. Skala Nature Relatedness

Nature Relatedness diukur dengan menggunakan instrument NR (Nature Relatedness) scale yang disusun oleh Nisbet dkk (2009) dalam the nature relatedness scale : linking individuals’ connection with nature to environmental. Koefisien reabilitas dengan menggunakan Chronbach’s Alpha

(26)

17

reliability dengan nilai α = 0.87. Dimana Chronbach’s Alpha reliability untuk masing-masing aspek yaitu NR-Self α = 0.84, NR-Perspective α = 0.66 dan NR-Experience α = 0.80. Jumlah seluruh aitem yaitu 21 aitem dengan tiga bagian. Skala pengukuran menggunakan skala likert dengan 5 skala yaitu „sangat tidak setuju‟, „sedikit tidak setuju‟, „netral‟, „cukup setuju‟, „sangat setuju‟.

Setelah diuji kembali oleh peneliti, skala NR memiliki reliabilitas α = 0,797, aitem yang gugur sebanyak 10 sehingga aitem yang tersisa sebanyak 11 aitem, dimana semua aspek nature relatedness terwakili. Skala nature relatedness dapat dikatakan diterima karena tingkat reliabilitas Chronbach’s

Alpha reliability memiliki nilai α ≥ 0,7. Menurut Sekaran (2006) nilai

(27)

HASIL PENELITIAN

Analisis Deskriptif

Tabel 1 Kriteria skor Nature Relatedness

No Interval Kategori Frekuensi % Mean

46.2 < x ≤ 55 Sangat Tinggi 9 9% 37.4 < x ≤ 46.2 Tinggi 43 43% 38.89 28.6 < x ≤ 37.4 Sedang 41 41% 19.8 < x ≤ 28.6 Rendah 7 7% 11 ≤ x ≤ 19.8 Sangat Rendah 0 0% 100 SD=6.566 Max = 55 Min = 25

Data diatas menunjukkan tingkat nature relatedness yang diperoleh dari 100 subjek yang berbeda dari tingkat paling tinggi hingga rendah. Dalam kategori sangat tinggi terdapat presentase 9%, kategori tinggi 43%, kategori sedang 41% dan kategori rendah 7%. Berdasarkan data dalam tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar subjek berada pada kategori tinggi dengan presentase 43%. Hasil analisis nature relatedness mendapatkan nilai maksimum 55 dan nilai minimal 25. Dimana nilai rata-rata yang dimiliki subjek adalah 38,89 yang termasuk dalam golongan tinggi dengan standar deviasi 6.566.

Tabel 2 Kriteria Skor SWB

No Interval Kategori Frekuensi % Mean

73.2 < x ≤ 89 Sangat Tinggi 11 11% 50 57.4 < x ≤ 73.2 Tinggi 16 16% 41.6 < x ≤ 57.4 Sedang 36 36% 25.8 < x ≤ 41.6 Rendah 30 30% 10 ≤ x ≤ 25.8 Sangat Rendah 7 7% 100 SD=17.701 Max = 96 Min = 14

Data diatas menunjukkan tingkat subjective wel- being yang diperoleh dari 100 subjek yang berbeda dari tingkat paling tinggi hingga sangat rendah. Pada

(28)

19

kategori sangat tinggi didapati presentase 11%, kategori tinggi 16%, kategori sedang 36%, kategori rendah 30% dan kategori sangat rendah 7%. Berdasarkan data yang ada dalam tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar subjek berada pada kategori sedang dengan presentase 36%. Hasil analisis subjective wel-being

mendapatkan nilai maksimum 96 dan nilai minimal 14. Dimana nilai rata-rata yang dimiliki subjek adalah 50 yang termasuk dalam golongan sedang dengan standar deviasi 17,701.

Analisis Data

Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi antara nature relatedness dan subjective well-being. Sebelum melakukan uji korelasi peneliti harus melakukan uji asumsi terlebih dahulu untuk menentukan jenis statistic parametrik atau non-parametrik yang akan digunakan untuk uji korelasi.

Uji Normalitas

Tabel 3 Rangkuman Hasil Uji Normalitas Nature Relatedness dengan

Subjective Well-Being

Variabel K-S Z Sig.

Nature Relatedness 0,860 0,891

Subjective Well-Being 0,891 0,450

Berdasarkan uji normalitas (Tabel III) diperoleh nilai signifikansi untuk SWB adalah (K-S-Z = 0,579, p = 0,891 p>0,05). Sedangkan nilai signifikansi untuk NR adalah (K-S-Z = 0,860, p = 0,450 p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa data

(29)

memiliki nilai signifikansi p>0,05 yang berarti seluruh data memiliki sebaran data berdistribusi normal.

Uji Linearitas

Tabel 4 Rangkuman Hasil Uji Linearitas Nature Relatedness dengan

Subjective Well-Being ANOVA Table Sum of Squares df Mean Square F Sig. SWB * NR Between Groups (Combined) 10842.285 28 387.224 1.363 .149 Linearity 2313.503 1 2313.503 8.141 .006 Deviation from Linearity 8528.782 27 315.881 1.112 .352 Within Groups 20175.675 71 284.164 Total 31017.960 99

Dari nilai deviation from linearity maka didapatkan variabel NR dan SWB memiliki nilai deviation from linearity 0,352 dengan sig. = 0,006. Hal ini menunjukkan bahwa variabel NR dan SWB bersifat linear. Hasil perhitungan data dikatakan linear karena deviation from linerarity memiliki nilai p>0,05, dan data dikatakan signifikan sebab linearity memiliki nilai p<0,05.

Uji Korelasi

Tabel 5 Rangkuman Hasil Uji Korelasi Nature Relatedness dengan Subjective

Well-Being

Variabel r Sig. N

NR dengan SWB 0,273 0,003 100

Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi NR dengan SWB adalah sebesar 0,273 dengan taraf signifikansi sebesar 0,003. Hasil

(30)

21

ini menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara nature relatedness dengan subjective well-being pada mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana.

Melalui hasil uji data diketahui juga bahwa nilai R square = 0,075. Hal ini berarti nature relatedness memberikan kontribusi sebesar 7,5% terhadap

(31)

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan hipotesis penelitian diterima dengan kesimpulan yang di dapatkan adalah terdapat hubungan positif yang signifikan antara nature relatedness dengan subjective well being pada mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana. Hal tersebut berarti semakin tinggi nature relatedness (keterhubungan dengan alam) mahasiswa akan semakin tinggi pula

subjective well-being pada mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana. Meskipun koefisien korelasi kedua variabel hanya 0,273 yang termasuk dalam tingkat korelasi rendah. Menurut Sugiyono (2017) koefisien korelasi 0,20-0,399 termasuk dalam tingkat hubungan yang rendah. Namun signifikan karena tingkat signifikansi korelasi nature relatedness dengan subjective well-being adalah 0,003 (p<0,005).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nisbet dkk (2011), dimana subjective well-being memiliki korelasi positif dengan nature relatedness. Orang yang memiliki nature relatedness membuat individu tersebut memiliki emosi positif yang baik dan lebih puas akan kehidupan mereka. Diener dkk (2003) memparkan subjective well-being sebagai evaluasi kognitif dan emosi seseorang dalam kehidupannya, termasuk yang umumnya orang sebut kebahagiaan, kedamaian, fulfillment, dan kepuasan hidup.

Mayer dan Frantz (2004) mengutarakan keterhubungan individu dengan alam sebagai the connectedness to nature yang mengukur trait level dari keterhubungan perasaan emosional dengan dunia alam. Hal ini berhubungan dengan aspek dari

nature relatedness yaitu NR-Self yang menggambarkan perspektif hubungan internal individu dengan alam, yang merefleksikan pemikiran dan perasaan

(32)

23

mengenai hubungan personal individu dengan alam (Nisbet, 2009). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lauman, Garling dan Stormark (2001) yang menemukann ketika seseorang lebih banyak memiliki kontak dengan hal yang berhubungan dengan alam seperti melalui membayangkan berada di alam meskipun ditengah lingkungan perkotaan, melihat foto alam dan menonton video yang berhubungan dengan alam mendapati ia akan merasa lebih nyaman, tenang juga lebih bahagia dalam menjalani kehidupannya. Sehingga didapati bahwa orang akan merasa lebih nyaman dan bahagia jika memiliki keterhubungan dengan alam. Hal ini akan menyebabkan orang memiliki subjective well-being

yang baik dalam kehidupanya. Sesuai dengan pemaparan Awan & Sitwat (2014) yaitu well-being mengacu pada penilaian sendiri seseorang akan kebahagiaan dan kepuasan hidupnya, dalam hal ini termasuk kedamaian yang dirasakan seseorang akan hidupnya (Diener dkk, 2003).

Here & Priyanto (2014) dalam penelitiannya yang menemukan bahwa kesadaran terhadap lingkungan memiliki korelasi yang signifikan dengan

subjective well-being. Kesadaran lingkungan merupakan kesiagaan individu pada kondisi lingkungannya, baik terhadap lingkungan mati (abiotik) maupun lingkungan hidup (biotik) sehingga individu tersebut dapat mengendalikan diri dan lingkungan (Here & Priyanto, 2014). Sehingga kesadaran lingkungan dapat dikatakan berhubungan dengan dimensi nature relatedness yaitu NR-Perspective

yang merupakan kepekaan terhadap dunia luar, bagaiman dunia luar menanggapi tindakan dan dampak terhadap semua aspek kehidupan (Nisbet dkk, 2009). Hal ini didukung oleh Carbonell & Gowdy (2006) yang menemukan bahwa ada hubungan yang kuat antara kesadaran lingkungan dengan subjective well-being.

(33)

Sehingga dapat dikatakan orang yang memiliki kesadaran lingkungan yang berhubungan dengan keterkaitan dengan alam (NR-Perspective) memiliki

subjective-well being yang baik.

MacKerron & Mourato (2013) yang menemukan orang yang melakukan aktifitas di luar ruangan yang berhubungan dengan alam pada dasarnya secara sginifikan lebih bahagia daripada mereka yang beraktifitas di daerah yang tidak berhubungan dengan alam. Hal ini berhubungan dengan salah satu aspek dari

nature relatedness yaitu NR-Experience yang merefleksikan keakraban fisik dengan dunia alam, tingkat kenyamanan dan keinginan yang kuat untuk berhubungan dengan alam (Diener, 2009). Hal ini didukung oleh penelitian dari Richardson dkk (2016) yang menemukan bahwa orang yang melakukan aktivitas yang terhubung dengan alam umumnya meningkatkan kebahagiaan, kesehatan dan hubungan dengan alam dan peduli dengan alam. Individu yang melakukan aktivitas yang berhubungan dengan alam dapat merasa lebih bahagia dan puas akan hidupnya dapat menjalani kehidupannya dengan lebih efektif. Dimana hal ini merupakan bagian dari subjectvie well-being seseorang.

Kemudian Beyer dkk memaparkan (2014) orang yang tinggal di lingkungan yang terpapar dengan alam dapat mengurangi simptom depresi, kecemasan dan stres. Hal ini sesuai dengan pemaparan Passmore & Howell (2014) yang menjelaskan bahwa pengalaman individu dengan alam dapat meningkatkan well-being seseorang dengan membantu mengatasi kecemasan seperti kebahagiaan dan arti kehidupan. Hal ini juga berhubungan dengan aspek nature relatedness yaitu NR-Experience. Dimana orang yang melakukan kontak dengan alam dapat

(34)

25

meningkatkan well-beingnya dan mengurangi kecemasan atau tekanan dalam hidupnya.

Hasil analisis data pada mahasiswa menunjukkan sebagian besar mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana memiliki tingkat subjective well-being sedang dengan nilai rata-rata 38,89. Hal ini mungkin dikarenakan saat pengambilan data mahasiswa sedang menghadapi tuntutan tugas dan ujian akhir semester. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yudha, Halis dan Widiani (2017) ujian akhir semester menyebabkan kecemasan hingga insomnia bagi mahasiswa. Dimana berdasarkan hal tersebut, maka akan memengaruhi emosi positif, kebahagiaan dan kepuasan hidup mahasiswa yang merupakan bagian dari

subjective well-being. Sehingga pengaruh yang ada akan menyebabkan subjective well-being mahasiswa menjadi lebih rendah.

Sesuai dengan yang diungkapkan Awan & Sitwat (2014), yaitu well-being

mengacu pada penilaian sendiri seseorang akan kebahagiaan dan kepuasan hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa UKSW masih belum memiliki kepuasan hidup dan kebahagiaan yang tinggi baik secara kognitif maupun emosi. Berdasarkan data yang ada salah satunya dapat disebabkan oleh tuntutan akhir semester yang mengakibatkan tingkat subjective well-being yang diperoleh mahasiswa belum cukup baik.

Kemudian hasil analisis data terhadap nature relatedness mahasiswa UKSW memperlihatkan bahwa sebagian besar mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana memiliki nature relatedness yang tinggi dengan nilai-rata-rata 38,89. Faktor yang dapat menyebabkan tingkat nature relatedness mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana tinggi salah satunya dapat berupa lingkungan

(35)

perkuliahan yang masih memiliki pepohonan, maupun keadaan di sekitar kota Salatiga yang masih memiliki pepohonan di trotoar jalan dan lingkungan sekitar yang asri, yang menyebabkan mahasiswa lebih sering terpapar dengan lingkungan hijau. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nisbet (2009), yaitu orang yang menghabiskan waktu diluar ruangan, di alam, berhubungan dengan

nature relatedness seseorang.

Menurut Nisbet dkk (2009) keterhubungan dengan alam yang disebut dengan

nature relatedness mengacu pada hubungan afektif, kognitif dan experiental

seseorang dengan dunia alam. Nature relatedness menjelaskan tingkat keterhubungan individu dengan dunia alam. Dimana nature relatedness

merupakan sebuah penghargaan dan pemahaman mengenai keterkaitan individu dengan makhluk hidup lainnya di bumi. Sesuai dengan pemaparan Neolaka (dalam Here dkk, 2014) bahwa kesadaran lingkungan adalah keadaan tergugahnya jiwa terhadap sesuatu, dalam hal ini lingkungan, yang terlihat dari perilaku dan tindakan individu yang bersangkutan. Dalam hal ini mahasiswa mempunyai perilaku dan tindakan yang positif terhadap lingkungan alam yang menyebabkan

nature relatedness mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana tinggi. Maka melalui data dan penjelasan yang ada mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana memiliki tingkat kenyamanan, ketertarikan, pemahaman dan penghargaan yang tinggi terhadap alam.

Penelitian ini menunjukkan R square (r2) sebesar 0,075. Artinya nature relatedness memberikan kontribusi sebesar 7,5% terhadap subjective well-being. Sedangkan sisanya 92,5% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak ada dalam penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut ada faktor lain yang mungkin dapat

(36)

27

memengaruhi subjective well-being adalah personalitas, self esteem, kultural dan religiusitas. (Diener, 1984; Diener, 2001; Diener, 2003). Menurut Diener dkk (2003) pembagian personalitas seperti ekstrovet, neuroticism, dan self-esteem

memberikan pengaruh terhadap tingkat SWB (Diener dkk, 2003). Kemudian menurut Compton (2005) self-esteem memiliki peran yang penting dalam kebahagiaan dan kepuasan hidup (Compton, 2005). Campbell (dalam Compton, 2005) menemukan bahwa self-esteem merupakan prediktor penting dari subjective well-being. Diener dkk (2003) menjelaskan kultural menjelaskan perbedaan rata-rata tingkat subjectvie well-being dan muncul karena faktor objektif seperti kekayaan, norma perasaan yang tepat dan bagaimana SWB ditanggapi, dan pendekatan relatif dibandingkan tendesi menghindar dari masyarakat. Sedangkan Cameron (dalam Diener, 1984) menemukan religiusitas memiliki korelasi berbanding terbalik dengan suasana hati positif.

(37)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah hipotesis penelitian dapat diterima. Dimana didapati ada hubungan positif yang signifikan antara nature relatedness

dengan subjective well-being terhadap mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang ada, maka peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Mahasiswa

Diharapkan untuk memiliki tingkat kebahagian dan kepuasan hidup yang lebih baik dan mempertahankan tingkat keterhubungan dengan alam. Mahasiswa dapat mengikuti kegiatan, memiliki kontak sosial, dukungan keluarga, dan hidup dalam lingkungan yang dapat meningkatkan subjective well-being seseorang.

2. Universitas

Saran untuk Universitas Kristen Satya Wacana adalah diharapkan untuk memiliki program yang di dalamnya membantu mahasiswa untuk berhubungan dengan alam seperti program untuk merawat lingkungan dalam kampus dan menanam pohon. Selain itu diharapkan juga menambahkan unsur-unsur yang berhubungan dengan alam seperti hiasan tumbuhan di dalam kelas untuk membuat suasana menjadi lebih segar. Sehingga dapat meningkatkan subjective well-being mahasiswa.

(38)

29

3. Penelitian selanjutnya

Saran untuk penelitian selanjutnya untuk meneliti kembali mengenai pengaruh

nature relatedness terhadap subjective well being dengan subjek yang lebih spesifik seperti individu yang aktif mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan alam. Selain itu peneliti selanjutnya juga dapat meneliti faktor lain yang dapat memengaruhi subjective well-being seseorang seperti religiusitas, dukungan sosial dan tuntutan akademik.

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Awan, S., & Sitwat, A.(2014). Workplace Spirituality, Self-esteem, and Psichologycal Well-being Among Health Professionals. Pakistan Journal of

Psychology Research, 29, 125-149.

http://www.pjprnip.edu.pk/pjpr/index.php/pjpr/article/download/317/315 Beyer, K. M. M., Kaltenbach, A., Szabo, A., Bogar, S., Javier Nieto, F., &

Malecki, K. M. (2014). Exposure to neighborhood green space and mental health: Evidence from the survey of the health of wisconsin. International Journal of Environmental Research and Public Health, 11(3), 3453–3472. https://doi.org/10.3390/ijerph110303453

Christyanti, D., Mustami‟ah, D., & Sulistiani, W. (2010). Hubungan antara Penyesuaian Diri terhadap Tuntutan Akademik dengan Kecenderungan Stres pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.

Insan, 12(3), 153–159.

Compton, C. W. (2005). An Introduction to Positive Psychology. Belmont: Thomson Wadsworth

Darmawan, D. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Diener, E. (1984). Subjective Well-Being. Psychological Bulletin, 95, 542-575. https://internal.psychology.illinois.edu/~ediener/Documents/Diener1984.pdf Diener, E., & Diener, R. B.(2001). Will Money Increase Subjective Well-Being?

A literature Review and Guide to Needed Research. Social Indicators Research, 57, 119-169.

Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2003). Personality, Culture, and Subjective Well-Being: Emotional and Cognitive Evaluations of Life. Annual Review of Psychology, 54(1), 403–425.

https://doi.org/10.1146/annuerev.psych.54.101601.145056

Diener, E., Suh, E., & Oishi, S. (1997). Recent findings on subjective well-being.

Indian Journal of Clinical Psychology. https://doi.org/10.1037/0033-2909.125.2.276

Ferrer-i-Carbonell, A., & Gowdy, J. M. (2007). Environmental degradation and happiness. Ecological Economics, 60(3), 509–516.

https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2005.12.005

(40)

31

dari kesadaran lingkungan. Psikodimensia, 13(1), 10–21.

Howell, A. J., Dopko, R. L., Passmore, H. A., & Buro, K. (2011). Nature connectedness: Associations with well-being and mindfulness. Personality

and Individual Differences, 51(2), 166–171.

https://doi.org/10.1016/j.paid.2011.03.037

Kardan, O., Gozdyra, P., Misic, B., Moola, F., Palmer, L. J., Paus, T., & Berman, M. G. (2015). Neighborhood greenspace and health in a large urban center.

Scientific Reports, 5, 1–14. https://doi.org/10.1038/srep11610

Laumann, K., Gärling, T., & Stormark, K. M. (2001). Rating scale measures of restorative components of environments. Journal of Environmental Psychology, 21(1), 31–44. https://doi.org/10.1006/jevp.2000.0179

MacKerron, G., & Mourato, S. (2013). Happiness is greater in natural environments. Global Environmental Change, 23(5), 992–1000. https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2013.03.010

Mayer, F. S., & Frantz, C. M. P. (2004). The connectedness to nature scale: A measure of individuals‟ feeling in community with nature. Journal of

Environmental Psychology, 24(4), 503–515.

https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2004.10.001

Nisbet, E. K., Zelenski, J. M., & Murphy, S. A. (2009). The nature relatedness scale: linking individuals‟ connection with nature to environmental concern and behavior . Envrionment and behavior, 41(5), 715-740. http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0013916508318748

Nisbet, E. K., Zelenski, J. M., & Murphy, S. A. (2011). Happiness is in our Nature: Exploring Nature Relatedness as a Contributor to Subjective Well-Being. Journal of Happiness Studies, 12(2), 303–322. https://doi.org/10.1007/s10902-010-9197-7

Papalia, D. P., & Feldman, R. D.(2014). Menyelami Perkembangan Manusia (ed. 12). Jakarta: Salemba Humanika

Peterson, R. A. (2013). Meta-analysis of Alpha Cronbach â€TM s Coefficient.

Journal of Consumer Research, 21(2), 381–391.

https://doi.org/10.1093/bioinformatics/btr476

Reese, R. F., Lewis, T. F., Myers, J. E., Wahesh, E., & Iversen, R. (2014). Relationship between nature relatedness and holistic wellness: An exploratory study. Journal of Humanistic Counseling, 53(1), 63–79. https://doi.org/10.1002/j.2161-1939.2014.00050.x

(41)

Richardson, M., Cormack, A., McRobert, L., & Underhill, R. (2016). 30 days wild: Development and evaluation of a large-scale nature engagement campaign to improve well-being. PLoS ONE, 11(2), 1–14. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0149777

Ryan, R. M., & Leci, E. L.(2001). On Happiness and Human Potentials: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-Being. Annual

Review Psychology, 52, 141-166.

https://condor.depaul.edu/hstein/NYAR.pdf

Sekaran, U. (2006). Metodologi Penelitian untuk Bisnis. Jakarta: Salemba Empat Sugiyono (2005). Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sukandarrumidi. (2006). Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Semula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Survei Buktikan Mahasiswa Zaman Sekarang Mudah Depresi. Ini Penyebabnya!. (2016). Retrieved from https://science.idntimes.com/discovery/winda-carmelita/survei-buktikan-mahasiswa-zaman-sekarang-mudah-depresi/full Takwin, B., Singgih, E. E., & Panggabean, S. K. (2012). THE ROLE OF

SELF-MANAGEMENT IN INCREASING SUBJECTIVE WELL-BEING OF DKI JAKARTA ‟ S CITIZENS Peran Managemen-Diri dalam Peningkatan Subjective Well-Being Warga DKI Jakarta, 16(1), 1–8.

Utami, M. S. (2009). Keterlibatan dalam kegiatan dan kesejahteraan subjektif mahasiswa. Jurnal Psikologi, 36(2), 144–163.

Zelenski, J. M., & Nisbet, E. K. (2014). Happiness and Feeling Connected: The Distinct Role of Nature Relatedness. Environment and Behavior, 46(1), 3– 23. https://doi.org/10.1177/0013916512451901

Gambar

Tabel 1 Kriteria skor Nature Relatedness
Tabel 3 Rangkuman Hasil Uji Normalitas Nature Relatedness dengan
Tabel 4 Rangkuman Hasil Uji Linearitas Nature Relatedness dengan

Referensi

Dokumen terkait

Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Correlation is significant at the 0.01

Metode pengumpulan data pada variabel motivasi berprestasi menggunakan The Achievement Motivation Profile (AMP) yang disusun oleh Mandel, Friedland, &amp; Marcus

Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis korelasi pearson product moment dan diperoleh hasil korelasi sebesar -0,016 Dengan signifikansi 0,453 (p&gt;0,01),

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara self-compassion dengan subjective well- being terhadap 344 mahasiswa di Universitas Sumatera Utara (USU) yang

Self-compassion adalah salah satu kemampuan yang diperkirakan akan membantu mahasiswa dalam mempertahankan kualitas tingkat subjective well-being , karena dengan

mereka dengan cara yang lebih positif dan adaptif. Penelitian Terry et al

Berdasarkan uraian dan permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai coping stress dan subjective well-being dengan mengambil

Model GI merupakan model pembelajaran yang mengambil seting model yang terjadi dalam masyarakat, terutama cara anggota masyarakat melakukan proses mekanisme sosial melalui