• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Kredit Macet Bank Melalui Parate Eksekusi | Rizki Lestari | Kanun : Jurnal Ilmu Hukum 6600 15275 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian Kredit Macet Bank Melalui Parate Eksekusi | Rizki Lestari | Kanun : Jurnal Ilmu Hukum 6600 15275 1 PB"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 │e-ISSN: 2527-8482. PENYELESAIAN KREDIT MACET BANK MELALUI PARATE EKSEKUSI

THE SETTLEMENT OF NON-PERFORMING LOANS THROUGH PARATE EXECUTION

Chadijah Rizki Lestari

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh, 23111

E-mail: chadijah.riski@gmail.com

Diterima: 07/03/2017; Revisi: 29/03/2017; Disetujui: 07/04/2017

ABSTRAK

Salah satu jenis agunan yang dapat diberikan debitur kepada bank adalah tanah. Hal tersebut penting dilakukan agar penyaluran dan pengembalian kredit dapat berjalan lancar sesuai harapan. Namun kredit macet selalu tidak dapat dihindari. Salah satu langkah yang dapat ditempuh bank adalah dengan mengeksekusi obyek agunan yaitu tanah melalui hak tanggungan. Salah satu cara eksekusi hak tanggungan tersebut adalah berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT). Tulisan ini akan menelaah tentang bagaimanakah proses pelaksanaan eksekusi hak tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT. Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang bersifat eksplanatoris, dan akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksekusi hak tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT haruslah diperjanjikan terlebih dahulu antara bank dengan debitur. Janji tersebut dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tangungan Atas Hak atas Tanah (APHT). Apabila telah diperjanjikan, maka bank dapat mengajukan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan kepada KPKNL.

Kata Kunci: Kredit Macet, Eksekusi, Hak Tanggungan, Parate Eksekusi.

ABSTRACT

One type of collateral that can be given to the bank's borrowers is ground. This is important so that the distribution and loan repayments can run smoothly as expected. However, bad credit cannot always be avoided. One of the steps that can be taken by the executing bank is the object of the collateral is land through mortgage. One way of execution of the mortgage is based on the provisions of Article 6 of Law Number 4, 1996 on Mortgage of Land Along Objects Relating to Land (UUHT). This paper will examine how the process of the execution of the mortgage under the provisions of Article 6 UUHT. This is normative juridical approach that is both explanatory and will be analyzed by qualitative approach. The results showed that the execution Encumbrance pursuant to Article 6 UUHT must be agreed in advance between the bank and the debtor. Appointments are set forth in the Deed Granting Bond Over Land Rights (APHT). It has been agreed then the bank may apply for execution to KPKNL Mortgage.

(2)

PENDAHULUAN

Bank merupakan salah satu badan usaha yang memiliki posisi strategis guna mendorong

pertumbuhan perekonomian nasional. Dalam menjalankan usahanya, bank berfungsi sebagai

lembaga intermediasi dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam

bentuk kredit.1

Pemberian kredit yang dilakukan oleh bank (kreditur) didasarkan atas kepercayaan dan

keyakinan bahwa penerima kredit (debitur) mampu mengembalikan kredit sesuai dengan perjanjian.

Hal tersebut menjadi suatu hal yang mutlak diperhatikan karena sumber dana kredit yang

dikucurkan bank adalah milik masyarakat, sehingga bank tidak diperbolehkan menyalurkan kredit

secara sembarangan.

Pemberian kredit selalu didasarkan atas perjanjian kredit. Biasanya bentuk perjanjian kredit

tersebut sudah dibakukan oleh bank dalam bentuk formulir atau blanko perjanjian kredit. Akibatnya

selalu terjadi ketidakseimbangan posisi tawar antara debitur dan kreditur, dimana debitur selalu

dihadapkan pada 2 (dua) pilihan, yaitu apakah menerima seluruh isi perjanjian tersebut dan

meneruskan proses permohonan kredit atau malah sebaliknya.

Salah satu klausul penting dalam perjanjian kredit adalah terkait jaminan kredit. Berdasarkan

ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) diketahui bahwa bank wajib

mempunyai keyakinan bahwa debitur akan mengembalikan hutangnya sesuai dengan yang

diperjanjikan. Keyakinan tersebut didasarkan atas hasil analisa kreditur terhadap watak,

kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitur. Terkait dengan jaminan kredit, agunan

merupakan salah satu bentuk dari jaminan kebendaan.

1 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun

(3)

Salah satu agunan kredit yang dapat diberikan debitur kepada kreditur adalah tanah. Tanah

merupakan salah satu jenis agunan yang paling disukai kreditur karena nilai tanah tidak pernah

turun bahkan semakin tinggi nilainya.2 Selain itu, sebagai objek jaminan kredit tanah lebih

memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi kreditur. Nantinya tanah tersebut akan diikat

dengan lembaga hak tanggungan yang memberi kedudukan yang diutamakan bagi krediturnya.

Meskipun kreditur selalu berharap bahwa pengembalian kredit dapat berjalan sesuai

perjanjian, namun kredit macet selalu tidak dapar dihindari. Apabila debitur tetap tidak dapat

mengembalikan kredit sesuai perjanjian maka debitur tersebut dikatakan telah melakukan

wanprestasi. Semakin tinggi jumlah dan persentase kredit macet maka semakin besar pula

pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan bank.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan bank untuk menyelamatkan kredit macet tersebut

adalah dengan mengekseskusi objek jaminan, dalam hal ini adalah tanah. Berdasarkan ketentuan

Pasal 6 Undang Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), diketahui bahwa apabila debitur cedera janji maka

bank selaku pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak

tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang

dari hasil penjualan tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk menelaah bagaimanakah

pelaksanaan eksekusi hak tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT?

2

(4)

METODE PENELITIAN

Penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang

bersifat eksplanatoris, yaitu menelaah dan mengkaji ketentuan peraturan perundang-undangan,

terutama yang berkaitan dengan hak tanggungan dan kredit macet.

Sumber data diperoleh melalui bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan

hukum primer adalah bahan-bahan yang mencakup ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan bahan hukum sekunder yaitu

bahan-bahan yang diperoleh dari penelusuran buku-buku dan artikel yang berkaitan dengan

penelitian. Nantinya bahan tersebut akan menjelaskan secara mendalam mengenai bahan hukum

primer.

Hasil penelitian dianalisis dengan pendekatan kualitatif, yakni dengan meneliti

peraturan-peraturan dan literatur (doktrin) yang ada serta fakta-fakta yang terjadi dalam pelaksanaan eksekusi

hak tanggungan sebagai konsekuensi jaminan kredit. Melalui pendekatan kualitatif tersebut

diharapkan dapat menghasilkan data-data yang bersifat deskriptif analitis terhadap fenomena atau

fakta-fakta sosial tersebut.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kata kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu “credere” yang berarti percaya. 3

Sementara itu, Thomas Suyatno berpendapat bahwa kredit berarti pihak kesatu memberikan

prestasi baik berupa barang, uang atau jasa kepada pihak lain, sedangkan kontraprestasi akan

diterima kemudian (dalam jangka waktu tertentu).4

3 H.M.A. Savelberg dalam Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, PT.Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1991, hlm. 23.

4

(5)

Secara khusus definisi kredit telah dibatasi menurut ketentuan Pasal 1 Angka 11

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun

1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) yaitu:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.5

Berdasarkan pengertian diatas menurut hemat penulis termasuk unsur-unsur kredit

adalah:

1) Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dapat dipersamakan dengan itu;

2) Didasarkan atas persetujuan pinjam meminjam;

3) Antara pihak bank dengan peminjam;

4) Menimbulkan kewajiban bagi para pihak;

5) Adanya jangka waktu;

6) Pemberian bunga oleh peminjam kepada bank.

Sebagai lembaga keuangan, bank merupakan salah satu mitra pemerintah dalam

mendukung pembangunan berkesinambungan demi mewujudkan masyarakat yang adil dan

makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.6 Hal ini dapat disimpulkan berdasarkan

definisi bank yang diberikan oleh ketentuan Pasal 1 Angka (2) UU Perbankan, yaitu “Badan

usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya

kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”7

Namun, pemberian kredit yang dilakukan oleh bank harus dilakukan dengan hati -hati.

Setiap bank diwajibkan memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan

(6)

berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.8 Sebelum memberikan

kredit, bank wajib menilai secara seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan

prospek usaha dari debitur.9 Penilaian tersebut menyimpulkan unsur kehati-hatian, keamanan

sekaligus unsur keuntungan dari suatu kredit.10

Setelah bank merasa yakin akan kelayakan dan kemampuan debitur dalam

mengembalikan hutangnya maka bank dapat mengadakan perjanjian kredit sebagai perjanjian

pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian merupakan salah satu dasar dala m melakukan

aktivitas bisnis. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman yang

berpendapat bahwa:

Perjanjian kredit bank adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini bersifat konsensual, yaitu hasil permufakatan antara kreditur dan debitur mengenai hubungan hukum antara keduanya. Penyerahan uangnya sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit kedua pihak.11

Lebih lanjut, perjanjian kredit berlandaskan atas: 12

1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

2) KUH Perdata sepanjang mengatur tentang perjanjian;

3) Undang-undang yang mengatur tentang perbankan;

4) Peraturan pelaksanaan sebagai dasar hukum.

Dalam praktik perbankan, bentuk perjanjian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian

tertulis. Nantinya perjanjian tersebut menjadi pedoman bagi para pihak untuk mengetahui hak

dan kewajibannya.13 Begitu pentingnya keberadaan perjanjian tertulis ini mengakibatkan

8 Ibid, Pasal 8 ayat (2).

9 Ibid, Lihat Penjelasan Pasal 8 ayat (1). 10

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Cet. 3, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 299.

11 Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hlm. 32. 12 Ibid., hlm. 99.

13 Sri Walny Rahayu, Asas Hukum Kontrak dan Kontrak, Bahan Ajar Pengantar Hukum Bisnis, FH Unsyiah,

(7)

perjanjian secara lisan tidaklah dianjurkan. Disamping rentan dengan masalah, dikhawatirkan

akan menyulitkan dalam proses pembuktian.14

Biasanya perjanjian secara tertulis tersebut sudah dibakukan dalam bentuk formulir/

blanko perjanjian kredit, dimana isi perjanjiannya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh

bank. Terhadap prosedur ini, berlaku prinsip ta ke it or lea ve it, sehingga calon debitur mau

tidak mau harus menyetujui perjanjian tersebut karena jika tidak maka permohonan kredit

yang diajukan dipastikan gagal.

Salah satu klausul penting yang biasa dicantumkan dalam perjanjian kredit bank adalah

terkait dengan agunan. Agunan merupakan salah satu bentuk jaminan kebendaan yang

berfungsi menjamin kepentingan bank terhadap pemenuhan kewajiban debitur apabila yang

bersangkutan cedera janji (wanprestasi).15

Tanah merupakan salah satu objek agunan yang paling disukai bank. Selain memberikan

kedudukan dan perlindungan hukum yang kuat bagi para pihak, tanah memiliki nilai ekonomis

yang selalu meningkat dari masa ke masa. Setelah mencapai kata s epakat, nantinya tanah

tersebut akan diikat melalui lembaga hak tanggungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), yang dimaksud dengan

hak tanggungan adalah:

Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

14Yohanes Benny Apriyanto dan F.X.Suhardana, “Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada Bank DKI Jakarta

Cabang Solo Melalui Jalur Non Litigasi”, e-journal.uajy.ac.id79811JURNAL.pdf, diakses tanggal 2 Februari 2017.

15 Herowati Poesoko, Parate Executie Objek hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma, dan kesesatan

(8)

Dengan konsep di atas, bukan berarti semua hak atas tanah dapat dibebani hak

tanggungan. Ada beberapa persyaratan khusus yang harus dipenuhi agar hak atas tanah

tersebut dapat dibebani hak tanggungan, yaitu dapat dinilai dengan uang; mempunyai sifat

dapat dipindahtangankan; termasuk hak yang didaftar menurut peraturan tentang pendaftaran

tanah yang berlaku; dan memerlukan penunjukan khusus oleh suatu undang -undang.16 Secara

spesifik, hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan, yaitu:17

a) Hak milik;

b) Hak Guna Usaha;

c) Hak Guna Bangunan;

d) Hak Pakai Atas Tanah Negara;

e) Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, hasil karya yang sekarang dan di kemudian hari

akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut yang berada dalam

kepemilikan yang sama.

f) Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, hasil karya yang sekarang dan di kemudian hari

aka nada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut yang berada dalam

kepemilikan yang berbeda.

g) Satuan rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun.

Pemberian hak tanggungan oleh debitur tidak dapat dilakukan secara langsung dan serta

merta. Pada awalnya debitur menuangkan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai

jaminan pelunasan hutang tertentu didalam perjanjian hutang piutang.18 Setelah itu dilakukan

16

Boedi harsono, ibid., hlm. 422.

17 Imma Indra Dewi Windajani, Hambatan Eksekusi Hak Tanggungan di Kantor Pelayanan Kekayaann Negara

dan Lelang Yogyakarta, Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011, hlm. 124. Lihat juga ketentuan Pasal 4 dan Pasal 27 UUHT.

18

(9)

pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) dengan mencantumkan:19

a) Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan;

b) Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c) Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1);

d) Nilai tanggungan;

e) Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan.

Setelah APHT tersebut selesai dan telah ditandatangani oleh pemberi dan pemegang Hak

Tanggungan maka selambat-lambatnya dalam 7 (tujuh) hari kerja PPAT wajib mengirimkan

APHT dan warkah lain kepada kantor pertanahan untuk didaftarkan. Hal ini bertujuan agar

dapat dibuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku hak atas tanah yang

menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah

yang bersangkutan. Nantinya hak tanggungan ini akan lahir pada hari ketujuh setelah

surat-surat yang diperlukan telah diterima secara lengkap oleh Kantor Pertanahan.20

Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan akan menerbitkan

Sertifikat Hak Tanggungan yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,21 yang nantinya akan menjadi dasar bagi pihak

bank dalam mengeksekusi objek hak tanggungan apabila ternyata debitur wanprestasi.

Setelah debitur mendapatkan kredit, maka ia berhak untuk mempergunakannya sesuai

dengan tujuan yang telah disepakati. Namun, disamping hak yang ia miliki, Levy dan M. Jakil

19 Lihat Pasal 11 ayat (1) UUHT.

20 Lihat Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UUHT. 21

(10)

berpendapat bahwa debitur berkewajiban juga untuk mengembalikan pinjaman tersebut dalam

jumlah dan waktu yang telah disepakati.22

Namun, apabila debitur tidak melakukan kewajibannya sesuai denga n perjanjian maka ia

dianggap telah melakukan wanprestasi. Wanprestasi merupakan tidak terpenuhi atau lalainya

dalam melaksanakan kewajiban (prestasi) sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian

antara para pihak.23 Wanprestasi dapat terjadi karena kesalahan debitur (sengaja maupun

karena lalai); dan keadaan memaksa (over ma cht).24

Termasuk wanprestasi adalah:25

a) Tidak memenuhi prestasi;

b) Terlambat berprestasi

c) Berprestasi tapi tidak sebagaimana mestinya.

Jika dikaitkan dengan perkreditan, wanprestasi seorang deb itur diidentikkan dengan

kredit macet. Meskipun telah melalui proses analisa yang cermat dan mendalam, kredit macet

tetap tidak dapat dihindari. Secara khusus pada Pasal 12 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia

Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (PBI No.7/2/2005)

menentukan bahwa kualitas kredit terbagi atas:

22 Mariam Darus Badrulzaman dalam Gentur Cahyo Setiono, Penyelesaian Kredit Bermasalah dalam

Perbankan, Jurnal Ilmu Hukum Yuris, Vol. 2, No. 1, April 2013, hlm. 274.

23

Salim HS dalam A.A.Pradnyaswari, Upaya Hukum Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Menyewa Kendaraan (Rent a Car”, Jurnal advokasi FH UNMAS, Vol. 3, No. 2, 2013, hlm. 126.

24Abdul kadir dalam Pipit Puspita, “Upaya Upaya Penyelesaian Kredit Macet

oleh Lembaga Perbankan terhadap

Debitur Wanprestasi (Studi di Bank Tabungan Pensiunan Nasional Cabang Pasar Legi Jakarta)”, hlm.3, diakses melalui

jurnal.hukum.uns.ac.idindex.phpprivatlawarticledownload446419, tanggal 2 Februari 2017.

25 Agus Yudha Hernoko dalam Evalina Yessica, Karakteristik dan Kaitan Antara Perbuatan Melawan Hukum

(11)

e) Macet.

Dalam hal terjadi kredit macet maka bank menempuh: Memberikan 1 (satu) surat

peringatan setiap bulannya selama 3 (tiga) bulan berturut-turut.26

Apabila dalam periode tersebut debitur tidak dapat melaksanakan prestasinya juga, bank

melakukan upaya represif berupa negoisasi dengan pihak debitur. Negoisasi merupakan salah

satu penyelamatan kredit yang berbentuk:27

a) Penjadwalan kembali (rescheduling) yaitu perubahan syarat kredit menyangkut jadwal

pembayaran atau jangka waktunya.

b) Persyaratan kembali (reconditioning) yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat kredit

sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit.

c) Penataan kembali (restructuring) yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut

penambahan dana bank, konversi seluruh atau sebagian bunga menjadi pokok bunga baru,

konversi seluruh atau sebagian kredit menjadi penyertaan.

Upaya penyelamatan kredit tersebut hanya dapat dilakukan jika berdasarkan hasil

analisa yang mendalam dan penuh kehati-hatian diperoleh kesimpulan bahwa kredit debitur

masih dapat diselamatkan. Sebaliknya, apabila diperoleh kesimpulan yang berbeda, maka

langkah terakhir bank melakukan penyelamatan kredit adalah dengan mengeksekusi objek

jaminan kredit, dalam hal ini adalah tanah yang diikat dengan lembaga hak tanggungan.

Eksekusi hak tanggungan merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan

undang-undang kepada bank apabila debitur wanprestasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 6

UUHT, disebutkan bahwa “apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama

mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui

26 Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pipit Puspita pada Bank BTPN Cabang Pasar Legi

Jakarta, Pipit Puspita, Op.Cit., hlm. 9.

27 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dalam Diyani Indrawati, Kajian Hukum Eksekusi Hak Tanggungan Pada

(12)

pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”

Penjualan atas kekuasaan sendiri tersebut diistilahkan dengan parate eksekusi.

Namun demikian, wewenang untuk menjual objek hak tanggungan harus tetap

menghormati hak penguasaan tanah yang dimiliki oleh debitur. Secara hukum, bentuk

penghormatan tersebut diwujudkan dengan mencantumkan salah satu janji pada Akta

Pemberian Hak Tanggungan klausul bahwa debitur berjanji untuk memberikan hak kepada

bank sebagai pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek

hak tanggungan apabila debitur wanprestasi.28

Dengan janji tersebut, apabila dikemudian hari debitur melakukan wanprestasi maka

bank dapat menjual objek hak tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan atau

tanpa izin debitur.29 Begitu pula sebaliknya, apabila tidak diperjanjikan terlebih dahulu, bank

tidak berhak untuk melakukan eksekusi hak tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT

melainkan berdasarkan titel eksekutorial sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 20 Ayat (1)

huruf UUHT.30

Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No. 27/PMK.06/2016 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK 27/PMK.06/2016) yang dimaksud dengan lelang adalah:

“Penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau

lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului

dengan pengumuman lelang”.

28

Lihat Ketentuan Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT.

29 Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan,

(Suatu Kajian mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hlm. 164.

30 Arkisman, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan dalam Praktek Perbankan, Tesis,

(13)

Pelaksanaan lelang yang didasarkan atas ketentuan Pasal 6 UUHT merupakan salah satu

jenis lelang yang termasuk dalam lelang eksekusi.31 Nantinya pelaksanaan lelang ini akan

dilakukan melalui Kantor Pelayanan Kakayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Sebelum lelang dilakukan, kreditur harus mengajukan surat permohonan lelang secara

tertulis dengan disertai dokumen persyaratan lelang kepada KPKNL.32 Apabila dokumen

persyaratan lelang sudah lengkap dan telah memenuhi legalitas formal sub jek dan objek

lelang maka Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II tidak boleh menolak permohonan

lelang yang diajukan kepadanya.33

Pelaksanaan lelang dilakukan setelah bank melakukan pengumuman lelang pada surat

kabar harian yang terbit dan/atau beredar di kota atau kabupaten tempat barang berada.34 Jika

ternyata tidak ada surat kabar seperti dimaksud di atas, pengumuman lelang dapat dilakukan

melalui surat kabar harian yang terbit di kota atau kabupaten terdekat atau di ibukota provinsi

atau ibukota negara dan beredar di wilayah kerja KPKNL atau wilayah jabatan Pejabat Lelang

Kelas II tempat barang akan dilelang.35

Apabila terdapat peserta lelang yang menawarkan harga tertinggi dan telah mencapai

atau melampaui nilai limit, pejabat lelang akan mengesahkan penawar tertinggi tersebut

sebagai pembeli. Kemudian pembeli harus sudah melunasi pembelian ob jek lelang paling

lambat 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan lelang dilakukan, baik secara tunai atau cek

atau giro. Nantinya kreditur berhak untuk mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan

objek lelang milik debitur tersebut, dan apabila hasil penjualan lebih besar dari piutang maka

debitur berhak atas sisanya. Namun apabila pelaksanaan lelang tidak berjalan mulus, seperti

31

Pasal 6 Huruf e Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

32 Ibid., Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1). 33 Ibid., Pasal 13.

34 Ibid., Pasal 53 ayat (1). 35

(14)

lelang tidak ada peminat, lelang yang ditahan atau lelang yang pembelinya wanprestasi maka

bank dapat mengajukan permohonan lelang ulang untuk memperoleh pembeli lelang.36

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa dalam dunia perbankan, Kredit macet

merupakan salah satu kondisi yang tidak dapat dihindari. Apabila ternyata kredit tersebut

sudah tidak dapat diselamatkan lagi maka bank dapat melakukan eksekusi ob jek hak

tanggungan. Parate eksekusi merupakan salah satu eksekusi hak tanggungan yang dikenal

berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT.

Selain itu, melalui parate eksekusi, maka bank dapat mengambil pelunasan piutang atas

kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum. Pelaksanaan lelang akan dilaksanakan oleh

KPKNL sebagai instansi pemerintah yang ditunjuk untuk melaksanakan lelang berdasarkan

ketentuan Pasal 6 UUHT.

Melalui penelitian ini disarankan, bahwa mengingat pentingnya pembayaran piutang

dalam praktek perbankan maka perlu kiranya diatur secara jelas terkait jumlah pelaksanaan

lelang ulang parate eksekusi yang diselenggarakan oleh KPKNL. Selain untuk memperoleh

kepastian hukum, hal tersebut akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan masyarakat dan

dunia usaha terhadap regulasi perkreditan.

DAFTAR PUSTAKA

A.A. Pradnyaswari, 2013, Upaya Hukum Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa

Menyewa Kendaraan (Rent a Car), Jurnal advokasi FH UNMAS, Vol. 3, No. 2.

Arie S. Hutagalung, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, LPHI, Jakarta.

36

(15)

Budi Harsono, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanannya, Djambatan, Jakarta.

Diyani Indrawati, 2009, Kajian Hukum Eksekusi Hak Tanggungan pada PT. Bank Perkreditan

Rakyat Jateng (PT. BPR Jateng) Semarang, Tesis Magister Ilmu Hukum, Universitas

Dipenogoro.

Evalina Yessica, 2014, Karakteristik dan Kaitan antara Perbuatan Melawan Hukum dan

Wanprestasi, Jurnal Repertorium, Vol. 1, No. 2, November.

Gentur Cahyo Setiono, 2013, Penyelesaian Kredit Bermasalah dalam Perbankan, Jurnal Ilmu

Hukum Yuris, Vol. 2, No. 1, April.

Herowati Poesoko, 2008, Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma,

dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Cet. 2, LaksBang PRESsindo, Yogyakarta.

Imma Indra Dewi Windajani, 2011, Hambatan Eksekusi Hak Tanggungan di Kantor Pelayanan

Kekayaann Negara dan Lelang Yogyakarta, Jurnal Mimbar Hukum Edisi Khusus, November.

Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan Di Indonesia, Cet. 3, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Pipit Puspita, 2017 “Upaya Upaya Penyelesaian Kredit Macet Oleh Lembaga Perbankan terhadap

Debitur Wanprestasi (Studi di Bank Tabungan Pensiunan Nasional Cabang Pasar Legi

Jakarta)”, dalam jurnal.hukum.uns.ac.idindex.phpprivatlawarticledownload446419, diakses 2

Februari.

Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan Masalah Yang dihadapi

oleh Perbankan (Suatu Kajian mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni,

Bandung.

Sri Walny Rahayu, tt, Asas Hukum Kontrak dan Kontrak, Bahan Ajar Pengantar Hukum Bisnis, FH

(16)

Yohanes Benny Apriyanto dan F.X.Suhardana, 2017, “Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada Bank

DKI Jakarta Cabang Solo Melalui Jalur Non Litigasi”, diunduh dari

e-journal.uajy.ac.id-79811JURNAL.pdf, diakses 2 Februari.

Yuyuk Herlina, 2015, Review Of Law Againts Debt Absorption Banking Credit Agreement, Jurnal

Ilmu Hukum Legal Opinion, Ed. 5, Vol.3.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Jo.UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Referensi

Dokumen terkait

The scientific method as a method of intervention to improve the character education of elementary school students is more directed to the affective domain in the field of

Penelitian ini didasarkan pada fenomena banyaknya pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh pelajar SMP yang mengemudikan sepeda motor tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi

database dan bisa ditampilkan pada web serta mengirim pesan singkat ke handphone apabila salah satu phasa arus pada kWh meter ada yang hilang atau bocor. Pada

Di era globalisasi saat ini teknologi informasi dan komunikasi sedang berkembang pesat. Perkembangan tersebut secara tidak langsung berpengaruhh terhadap jalannya aktivitas manusia

(3) Tatacara, pembatalan atau pengurangan ketetapan pajak dan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Gubernur atau

<td

30 Bila orang tua membuat saya kesal, saya akan memberikan kritikan dengan kata-kata yang halus agar mereka tidak tersinggung. SS S

Aplikasi yang dibuat ini adalah sebuah aplikasi untuk memantau dan mengontrol buku yang masuk dan buku yang keluar pada perpustakaa, sehingga informasi tentang buku yang masuk dan