ANALISIS TRIANGLE KEBIJAKAN PUBLIK JAMINAN KESEHATAN
(Studi Kasus pada Sektor Informal)
Haerawati Idris
Pendahuluan
Kesehatan merupakan
modal untuk bekerja
Investasi kesehatan
berperan dalam
pembangunan ekonomi (Atmawikarta, 2002):
Jumlah pekerja informal terus meningkat, khususnya di negara berkembang
Menurut International Labour Office (2011)
menyatakan bahwa secara global, ada
hubungan statistik yang negatif antara PDB (Pendapatan Domestik Bruto) per kapita dan perbandingan angkatan kerja dilapangan
kerja informal
Negara kaya cenderung memiliki
Sumber: dikutip dari Nazara, Informal Ekonomi di Indonesia: Ukuran, Komposisi dan Evolusi, 2010.
Bagaimana Jaminan kesehatan
pada sektor informal?
Survei yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) terhadap kebutuhan jaminan sosial bagi pekerja sektor informal tahun 2001-2003 menemukan bahwa jaminan
kesehatan merupakan prioritas kebutuhan mereka.
Direktorat Bina kesehatan kerja Depkes 2006 melakukan
studi yang menyatakan bahwa 60% pekerja formal dilindungi dengan pembiayaan kesehatan sedangkan pekerja sektor informal hanya 1%
Data Sakernas 2007 menunjukkan bahwa pekerja sektor informal/TKLHK mencapai 31,7 juta orang. Namun yg memiliki jaminan sosial mencapai 196.127 (0.61%).
Informal economy study (IES) oleh Bappenas mengestimasi 32.5 juta pekerja informal tidak tercakup dalam skema
Kondisi cakupan Jaminan
kesehatan menuju
“UHC”
Top covered
Pembiayaan yang bersumber dari pajak atau skema asuransi kesehatan wajib bagi yang bekerja di bidang pemerintah/publik
Skema asuransi wajib untuk pekerja di sektor formal dan pekerja di bidang swasta
The ‘missing middle’
Sektor informal non miskin/berusaha sendiri & pekerja mandiri
Seringkali enrolment-nya rendah dari asuransi kesehatan dengan skema voluntary & terjadinya masalah adverse selection
Bottom covered
Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis kebijakan
Metode
Telaah dokumen-dokumen terkait dengan kebijakan jaminan kesehatan bagi sektor informal:
Pra Jkn:
Keputusan Menteri sosial No.51 tahun 2003 tentang program jaminan sosial bagi masyarakat rentan dan tidak mampu melalui pola asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan kesejahteraan permanen
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 24 Tahun 2006 (PER-4/MEN/VI/2006) tentang Pelaksanaan Pedoman Program Jaminan Sosial untuk Pekerja yang Bekerja di Luar Hubungan Kerja
Kebijakan Askeskin/ Jamkesmas mulai tahun 2005
Peraturan Jamkesda Pasca JKN
Triangle of Health Policy
Sumber: Walt & Gilson (1994)
Konteks
Aktor: individu, grup,
organisasi
Isi Proses
Hasil penelitian-Pra JKN
Kebijakan jaminan kesehatan pekerja
sektor informal masih bersifat parsial dan tumpang tindih, manfaat program belum optimal dan jangkauan program yang terbatas serta hanya menyentuh sebagian pekerja sektor informal.
Kebijakan tersebut berakibat
Pasca JKN
Lahirnya berbagai peraturan jaminan
kesehatan: pekerja bukan penerima upah
Perpres no. 12 tahun 2013
Pepres no. 111 tahun 2013
AKTOR
Hasil review dokumen kebijakan
menunjukkan bahwa laporan yang disusun Langenbrunner et al, 2014 ada lima “aktor” yang terlibat dalam implementasi jaminan kesehatan nasional:
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
Perwakilan Pemerintah Indonesia terdiri dari kementerian kesehatan, kementerian
keuangan, kementerian tenaga kerja, kementerian sosial, dan Bapennas
Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS)
KONTEKS
Ekonomi
• Perekonomian & tenaga kerja didominasi oleh pekerja sektor
informal
• 62% pekerja disektor
• Bantuan teknis dari lembaga internasional (GIZ, WHO, ILO)
• Bantuan asing bersifat
bantuan dana kunjungan ke negara yang sukses
melaksanakan jaminan sosial
Struktural
• Sebagian besar sektor
informal memiliki pendapatan rendah
Konten
Terjadi perubahan besaran iuran pada peserta mandiri:
Pepres no.111/2013 Pepres no.19/2016 Kelas 1:59.500 80.000
Kelas 2:42.500 51.000 Kelas 3:25.500 30.000
PROSES
Proses penyusunan kebijakan: top
down
Terjadi Perubahan kebijakan
jaminan kesehatan yang dinamis
Analisis Pasca JKN
Hasil analisis triangle menunjukkan bahwa: 1. Aktor, peraturan JKN yang ada hanya
melibatkan peran pelaku kebijakan resmi
sedangkan kelompok berkepentingan (serikat pekerja sektor informal dan paguyuban sektor informal) belum diikutsertakan.
2. Kebijakan pun belum mampu membiayai pelayanan yang membutuhkan biaya
pengobatan yang besar misalnya penyakit langka.
3.Secara proses, lahirnya kebijakan yang ada melalui proses top down dan
Kesimpulan
Pelibatan sektor informal dalam
penyusunan kebijakan jaminan kesehatan masih minim.
Kebijakan tersebut perlu dikembangkan