1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mewujudkan tujuan
tersebut tujuan pendidikan nasional perlu dipecah menjadi tujuan-tujuan yang
lebih sempit yang termuat dalam tiap mata pelajaran. Matematika merupakan
salah satu mata pelajaran yang cukup berperan untuk mewujudkannnya.
Matematika yang diajarkan di sekolah atau matematika yang ada pada
kurikulum Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah disebut sebagai matematika
sekolah. Matematika sekolah memiliki peran diantaranya adalah bagi para pelajar
untuk memenuhi kebutuhan praktis dan memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari. (Erman Suherman, dkk., 2001:58). Pemecahan masalah harus menjadi
fokus utama dari kurikulum matematika agar matematika dapat menjalankan
2
of Teachers in Mathematics yang dikutip oleh Yee & Hoe (2009:54) sebagai
berikut.
Problem solving should be the central focus of the mathematics curriculum. As such, it is primary goal of all mathematics instructions and integral part of all mathematical activity. Problem solving is not a distinct topic but a process that should permeate the entire program and provide the context in which concepts and skills can be learned.
Pernyataan tersebut menyatakan bahwa pemecahan masalah harus menjadi
fokus utama dari kurikulum matematika. Pemecahan masalah menjadi tujuan
primer dari semua pembelajaran matematika dan bagian integral dari semua
aktivitas matematika. Pemecahan masalah bukan merupakan topik yang terpisah
namun sebuah proses yang harus ada pada seluruh program dan menyediakan
konteks dimana konsep dan keterampilan dapat dipelajari.
Keberhasilan pembelajaran dapat dinilai dari kemampuan siswa memahami
konsep dan memanfaatkan kemampuan pemecahan masalah untuk menyelesaikan
persoalan matematika. Tingkat keberhasilan belajar dapat diukur dan dievaluasi
menggunakan tes prestasi belajar (Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain,
2002:120). Prestasi belajar matematika merupakan hal penting karena
menunjukkan tingkat keberhasilan siswa dalam belajar matematika tetapi pada
umumnya masih menjadi masalah. Contoh di SMPN 2 Depok ditemukan prestasi
belajar matematika siswa kurang maksimal. Hasil ulangan harian yang
menunjukkan prestasi belajar matematika siswa cukup baik dimana rata-rata
kelas siswa di atas batas KKM tetapi menurut penuturan guru, ada siswa yang
nilainya bagus namun ada juga siswa yang nilainya di bawah KKM. Hal ini
menunjukkan adanya standar deviasi yang besar pada prestasi belajar matematika
3
Selain prestasi belajar matematika, yang perlu diperhatikan dalam
pembelajaran matematika di sekolah adalah aspek afektif. Salah satu aspek afektif
dalam pembelajaran matematika adalah sikap siswa terhadap matematika. Sikap
terhadap matematika seperti yang didefinisikan oleh (Ministry of Education
Singapore, 2006:9) menunjukkan aspek afektif pada pembelajaran matematika
yaitu percaya matematika dan kegunaannya, tertarik dan senang belajar
matematika, apresiasi dengan keindahan dan kekuatan matematika, percaya diri
dalam menggunakan matematika, tekun dalam penyelesaian masalah. Sikap siswa
terhadap guru atau suatu mata pelajaran dapat mempengaruhi proses
pembelajaran. Seperti yang diungkapkan oleh Muhibbin Syah (2005:135), sikap
(attitude) siswa yang positif terhadap seorang guru dan mata pelajaran yang guru
tersebut sajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa
tersebut. Sebaliknya, jika sikap negatif siswa terhadap seorang guru dan mata
pelajaran yang guru tersebut sajikan dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa.
Sikap terhadap matematika merupakan salah satu hal yang penting dalam
pembelajaran matematika tetapi pada umumnya masih menjadi masalah. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak (siswa) memiliki
pandangan terbatas mengenai matematika dan apa yang dikerjakan dalam
matematika. Siswa memiliki kepercayaan yang negatif dimana matematika
diartikan sebagai latihan-latihan soal dan pembelajaran yang memerlukan hafalan
(rumus) (Yee & Hoe, 2009:20). Sikap terhadap matematika yang demikian juga
ditemukan pada SMPN 2 Depok, dari hasil observasi diperoleh bahwa sikap siswa
4
baik dalam hal senang belajar matematika. Siswa terlihat senang dan tidak tegang
dalam mengikuti pembelajaran matematika tetapi dari hasil wawancara,
didapatkan siswa menganggap matematika sebagai mata pelajaran dengan
latihan-latihan soal. Terbatasnya pandangan siswa terhadap matematika menunjukkan
sikap siswa SMPN 2 Depok terhadap matematika kurang optimal. Oleh karena itu
diperlukan pembelajaran yang dapat memaksimalkan prestasi matematika dan
mengoptimalkan sikap siswa terhadap matematika siswa SMPN 2 Depok.
Salah satu cara yang menurut penelitian dapat memaksimalkan prestasi
belajar matematika dan mengoptimalkan sikap siswa terhadap matematika adalah
strategi metakognitif. Beberapa penelitian tentang strategi metakognitif
menunjukkan adanya pengaruh positif dari penggunaan strategi pembelajaran ini
terhadap prestasi matematika dan sikap terhadap matematika, salah satunya adalah
penelitian Sahin & Kendir (2013) yang menunjukkan siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan strategi metakognitif mengalami peningkatan dalam prestasi
matematika dan sikap terhadap matematika. Metakognisi adalah suatu bentuk
kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat
terkontrol secara optimal (Erman Suherman, dkk, 2001:95). Menurut Dirkes
(Blakey & Spence, 1990) yang menjadi dasar strategi metakognitif adalah
menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya, memilih
strategi berpikir dengan hati-hati, merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi
proses berpikir. Kesuksesan seseorang dalam menyelesaikan pemecahan-masalah
antara lain sangat tergantung pada kesadarannya tentang apa yang mereka ketahui
5
karena itu, strategi metakognitif dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah setiap individu. Prestasi belajar matematika menunjukkan kemampuan
siswa dalam memahami konsep dan memanfaatkan kemampuan pemecahan
masalah untuk menyelesaikan soal matematika, sehingga strategi metakognitif
dapat memaksimalkan prestasi belajar matematika siswa.
Siswa dapat memecahkan suatu masalah dengan memilih konsep
matematika yang cocok untuk memecahkan masalah tersebut menggunakan
strategi metakognitif. Aktivitas memilih konsep matematika untuk menyelesaikan
suatu masalah dapat memberikan kepercayaan pada siswa bahwa matematika
tidak hanya sekedar latihan soal, atau ujian. Akan tetapi siswa belajar tentang
penggunaan dinamik dari matematika, siswa sebagai problem solver, sikap siswa
terhadap matematika, pembelajaran dan pengajaran matematika sebaik
kemampuan siswa memonitoring dirinya (Yee & Hoe, 2009:20). Dari uraian
tersebut, strategi metakognitif dapat mengoptimalkan sikap siswa terhadap
matematika.
Secara teoritis, penggunaan strategi metakognitif dapat memaksimalkan
prestasi belajar matematika dan mengoptimalkan sikap siswa terhadap
matematika. Memperhatikan hal tersebut, maka peneliti mencoba membuktikan
secara empiris melalui penelitian yang berjudul " Pengaruh Strategi Metakognitif
6 B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, sehingga
masalah-masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut.
1. Adanya standar deviasi yang besar dalam prestasi belajar matematika siswa.
2. Prestasi belajar matematika siswa belum maksimal.
3. Pandangan siswa mengenai matematika masih terbatas sebagai mata pelajaran
dengan latihan-latihan soal.
4. Sikap siswa terhadap matematika belum optimal.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka peneliti
membatasi permasalahan terkait dengan prestasi belajar matematika dan sikap
terhadap matematika siswa kelas VII SMPN 2 Depok dengan menggunakan
strategi metakognitif.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan
masalah di atas, maka dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apakah terdapat pengaruh penggunaan strategi metakognitif terhadap prestasi
belajar dan sikap siswa terhadap matematika?
2. Jika terdapat pengaruh penggunaan strategi metakognitif terhadap prestasi
belajar dan sikap siswa terhadap matematika, maka:
a. apakah prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti strategi
metakognitif lebih tinggi dibandingkan dengan prestasi belajar
7
b. apakah sikap siswa terhadap matematika yang mengikuti strategi
metakognitif lebih tinggi dibandingkan dengan sikap siswa terhadap
matematika yang mengikuti pembelajaran konvensional?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui pengaruh penggunaan strategi metakognitif terhadap prestasi
belajar dan sikap siswa terhadap matematika.
2. Mengetahui apakah prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti strategi
metakognitif lebih tinggi dibandingkan prestasi belajar matematika siswa
yang mengikuti pembelajaran konvensional.
3. Mengetahui apakah sikap siswa terhadap matematika yang mengikuti strategi
metakognitif lebih tinggi dibandingkan sikap siswa terhadap matematika yang
mengikuti pembelajaran konvensional.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat untuk:
1. Peneliti
Penelitian ini dapat menjadi pengalaman menggunakan strategi metakognitif
dalam pembelajaran.
2. Guru
Hasil dari penelitian ini dapat menjadi sumbangan pengetahuan mengenai
8
3. Siswa
Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi siswa sebagai salah satu strategi
9
Menurut Elea Tinggih (Erman Suherman, dkk., 2001:18), secara etimologis
perkataan matematika berarti "ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar".
Senada dengan Elea Tinggih, Reddy & Nagaraju (2007:3) mengatakan,
”Mathematics is the study of abstractions and their relationships in which the only
technique of reasoning that may be used to confirm any relationship between one
abstraction and another is deductive reasoning." Matematika adalah pelajaran
abstraksi dan hubungannya dimana hanya teknik bernalar yang dapat digunakan
untuk memperkuat setiap hubungan di antara satu abstraksi dengan yang lainnya
secara penalaran deduktif.
Sedangkan James dan James (Erman Suherman, dkk., 2001:18) mengatakan
bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran,
dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah
yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan
geometri. Hampir sama dengan apa yang dikatakan James dan James, menurut
Mustafa (2004:2),
10
Matematika adalah pelajaran kuantitas, bentuk, susunan, dan besaran;
khususnya metode dan proses untuk menyingkap dengan konsep-konsep yang
teliti dan simbol-simbol konsisten diri, sifat-sifat dan hubungan kuantitas dengan
besaran, baik dalam abstrak, matematika murni, atau koneksi praktis, matematika
terapan. Disisi lain, Johnson dan Rising (Erman, Suherman, dkk., 2001:19)
mengatakan bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan,
pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah
yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan
simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai
bunyi.
Matematika memiliki karakteristik atau ciri-ciri khusus dari ilmu
pengetahuan yang lain. Soedjadi (2007: 8-9) dalam bukunya menjabarkan
karakteristik atau ciri-ciri khusus matematika sebagai berikut.
1. Matematika memiliki objek kajian yang abstrak (hanya ada di pikiran)
2. Bertumpu pada kesepakatan (lebih bertumpu pada aksioma formal)
3. Berpola pikir deduktif
4. Konsisten dalam sistemnya
5. Memiliki/menggunakan simbol yang "kosong" dari arti
6. Memperhatikan semesta pembicaraan
Berdasarkan beberapa pengertian matematika yang telah diuraikan
sebelumnya, dapat disimpulkan matematika adalah ilmu pengetahuan yang
11
konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dan representasinya
menggunakan simbol secara cermat, jelas, dan akurat.
b. Matematika Sekolah
Matematika sekolah merupakan bagian dari matematika yang berhubungan
dengan pendidikan. Soedjadi (2007:13) mendefinisikan matematika sekolah
sebagai bagian dari matematika yang dipilih untuk atau berorientasi pada
kepentingan pendidikan.
Sedangkan menurut Erman Suherman, dkk. (2001: 54) mendefinisikan
matematika melalui dua informasi, informasi yang pertama merupakan alasan
perlunya matematika diajarkan di sekolah, dalam hal matematika sebagai ilmu
dasar telah berkembang secara pesat sehingga dalam perkembangan atau
pembelajaran di sekolah harus memperhatikan perkembangannya. Informasi yang
kedua, matematika sekolah adalah matematika yang ada dalam kurikulum
pendidikan dasar dan pendidikan menengah atau matematika yang diajarkan di
sekolah.
Pentingnya matematika dan nilai pendidikannya dijelaskan oleh Reddy &
Nagaraju (2007: 16-17) sebagai berikut.
1. Memungkinkan siswa untuk menyelesaikan masalah matematis dalam
kehidupan sehari-harinya.
2. Mengembangkan pengetahuan siswa dengan budayanya.
3. Menyediakan disiplin tipe yang cocok dengan pikiran siswa.
12
5. Menyiapkan siswa untuk hidup yang ekonomis, penuh tujuan,
produktif, kreatif dan membangun.
6. Mengembangkan siswa dalam pengertian dari apresiasi seni budaya.
7. Menyiapkan siswa untuk pendidikan lebih tinggi dalam sains,
ekonomi, teknik, psikologi, ilmu pengetahuan sosial, dst.
8. Mengembangkan kebiasaan konsentrasi, percaya diri dan menemukan.
9. Menciptakan siswa untuk mencintai kerja keras.
10. Memungkinkan siswa untuk memahami dan menikmati bacaan
popular.
11. Mengembangkan kekuatan mengungkapkan siswa.
12. Mengembangkan kekuatan berpikir dan bernalar siswa.
13. Mengembangkan kekuatan mengungkapkan siswa .
14. Membawa pengembangan personalitas siswa secara keseluruhan dan
harmonis.
Matematika sekolah memiliki karakteristik atau ciri-ciri khusus. Soedjadi
(2007: 14-15) juga menjabarkan karakteristik dari matematika sekolah sebagai
berikut.
1. Matematika sekolah memiliki objek kajian yang konkret dan juga
abstrak.
2. Bertumpu pada kesepakatan (termasuk penekanan kepada aksioma
self evident truth).
13
4. Konsisten dalam sistemnya (termasuk sistem yang dipilih untuk
pendidikan).
5. Memiliki/ menggunakan simbol yang kosong dari arti dan juga yang
telah memiliki arti tertentu.
6. Memperhatikan semesta pembicaraan (bahkan juga digunakan untuk
pembatasan bahan ajar matematika, sesuai kelas tertentu).
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan, matematika
sekolah adalah bagian dari matematika yang dipilih untuk diajarkan di sekolah
termuat dalam kurikulum sekolah dasar dan pendidikan menengah untuk
kepentingan pendidikan dan berkembang seiring dengan perkembangan
matematika.
c. Pembelajaran Matematika
Hakikat belajar menurut Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain (2002:11)
adalah perubahan. Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman
dan latihan. Artinya, tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik yang
menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap; bahkan meliputi segenap
aspek organisme atau pribadi.
Setelah menguraikan berbagai definisi belajar dari para ahli, Muhibbin Syah
(2005:92) menarik kesimpulan belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan
seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Belajar juga
menghasilkan perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan
14
belajar sebagai suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi
aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-nilai sikap. Berdasarkan
pengertian-pengertian tentang belajar di atas dapat ditarik kesimpulan, belajar
adalah perubahan tingkah laku baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan
maupun sikap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang
melibatkan proses kognitif.
Pembelajaran meliputi unsur-unsur yang saling mempengaruhi untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran menurut Oemar Hamalik (2005: 57)
dalam bukunya adalah kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi,
material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi
mencapai tujuan pembelajaran. Unsur-unsur yang saling mempengaruhi tersebut
perlu ditata agar memberi nuansa belajar yang optimal. Erman Suherman, dkk
(2001: 8) mengatakan bahwa pembelajaran merupakan upaya penataan
lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang
secara optimal. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan,
pembelajaran adalah upaya penataan unsur-unsur manusia, material, fasilitas dan
perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi agar dapat mencapai
tujuan pembelajaran secara optimal.
Berdasarkan pengertian pembelajaran tersebut, dapat disimpulkan
pembelajaran matematika adalah upaya penataan unsur-unsur manusia, material,
fasilitas dan perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi agar dapat
15 2. Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah menurut Mustafa (2004:133) adalah sebuah proses
berkembang melalui kehidupan. Pemecah masalah menghadapi situasi yang
menipu daya mereka melalui misteri untuk mencapai solusi yang memuaskan.
Pemecahan masalah menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman
yang sebelumnya telah didapatkan yang kemudian disintetis menjadi format baru
yang menyediakan jalan untuk menyelesaikan pertanyaan.
Pemecahan masalah memuat langkah-langkah untuk menyelesaikannnya.
Menurut Polya (Erman Suherman, dkk., 2001: 84), solusi soal pemecahan
masalah memuat empat penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan
penyelesaian, menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan
kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan.
Pemecahan masalah menurut Kumar & Rao (2006) meliputi hal-hal berikut.
1. Memilih dan menggunakan metode yang tepat untuk menghitung, seperti
menggunakan komputasi mental, perkiraan, kertas dan pensil, dan kalkulator
atau komputer.
2. Merefleksikan dan mengevaluasi proses berpikir matematis yang digunakan
untuk memecahkan masalah.
3. Tujuan, tinjauan dan pendekatan alternatif untuk menyelesaikan masalah.
4. Memperluas pengetahuan matematis dengan menyimpan pengetahuan baru.
5. Menggunakan strategi pemecahan masalah yang berbeda, meliputi:
a. Membuat gambar atau diagram
16
c. Melihat pola
d. Mengidentifikasi contoh-contoh
e. Menebak dan memeriksa
f. Bekerja mundur
g. Memeriksa alasan hasil
h. Menggunakan penalaran secara proporsional
i. Mengeliminasi kemungkinan
j. Membuat model atau simulasi
k. Menyelesaikan masalah sederhana atau berhubungan
6. Mengembangkan klarifikasi dan memahami konsep matematis baru, proses
dan kosa kata dengan merefleksikan dan menjawab pertanyaan seperti :
a. Apa yang membuat kamu berpikir demikian?
b. Apakah orang lain berpikir cara yang berbeda?
c. Bagaimana pekerjaan saat ini berhubungan untuk dilakukan dalam
pelajaran?
d. Bagaimana ide-ide berhubungan?
e. Apakah kita sudah melihat masalah tersebut sebelumnya?
7. Menyelesaikan sebuah bilangan dengan banyak langkah, nonrutin,
masalah-masalah kompleks, memecahkan teka-teki, aplikasi, pola, dan open-ended
atau proyek pemecahan-masalah yang diperluas.
8. Memperkirakan solusi masalah dan kondisi dan ketepatan jawaban dengan
17
Menurut Krulick and Rudnick (Mustafa, 2004:141), empat esensial untuk
menetukan suatu situasi adalah masalah pemecahan masalah adalah sebagai
berikut.
1. Pentingnya solusi nonrutin
2. Adanya tantangan
3. Setiap individu menerima tantangan
4. Sikap positif terhadap pemecahan masalah dikembangkan.
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan
pemecahan masalah adalah sebuah proses yang memuat langkah-langkah untuk
menyelesaikan suatu situasi dengan solusi nonrutin, memiliki tantangan, dan
diterima sebagai tantangan.
3. Strategi Metakognitif
Strategi dapat diartikan sebagai seni melaksanakan siasat atau rencana.
Menurut Mc Leod (Muhibbin Syah, 2005:214) secara harfiah, kata "strategi"
dapat diartikan sebagai seni (art) melaksanakan stratagem yakni siasat atau
rencana.
Dilihat dari perspektif psikologi, menurut Reber (Muhibbin Syah, 2005:214)
kata strategi berasal dari bahasa Yunani itu, berarti rencana tindakan yang terdiri
atas seperangkat langkah untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan.
Selain rencana, strategi juga diartikan sebagai prosedur mental. Menurut Lawson
(Muhibbin Syah, 2005:214) seorang pakar psikologi pendidikan Australia,
mengartikan strategi sebagai prosedur mental yang berbentuk tatanan langkah
18
Di sisi lain, strategi dalam kaitannya dengan pembelajaran berupa siasat
untuk melaksanakan rencana untuk mencapai tujuan belajar yang optimal.
Menurut Erman Suherman, dkk. (2001: 6). " strategi dalam kaitannya dengan
pembelajaran (matematika) adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh
guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan
pembelajaran berjalan dengan lancar dan tujuannya yang berupa hasil belajar bisa
tercapai secara optimal."
Dari pengertian-pengertian strategi di atas, dapat ditarik kesimpulan, strategi
adalah siasat yang terdiri dari tahap kegiatan untuk mencapai tujuan berupa hasil
belajar secara optimal.
Menurut Erman Suherman, dkk. (2001: 95), metakognisi adalah suatu
bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan
dapat terkontrol secara optimal. Termasuk dalam metakognisi adalah kemampuan
memonitor pemahaman sebelumnya untuk meyakinkan kepahaman. (National
Research Council, 2005). Sementara, menurut Blakey & Spence (1990),
metakognisi adalah berpikir tentang berpikir, mengetahui "apa yang kita ketahui"
dan "apa yang kita tidak ketahui".
Metakognisi penting dalam pemecahan masalah. Pugalee (Sahin & Kendir,
2013:1778), metakognisi penting dalam memastikan pengetahuan dan strategi
yang tepat untuk digunakan dalam proses pemecahan masalah.
Selain penting dalam pemecahan masalah, metakognisi dapat meningkatkan
kepercayaan diri atas keputusan yang diambil. Kuiper (Sahin & Kendir,
19
membantu memecahkan masalah, memberikan responsibilitas dan meningkatkan
kepercayaan diri untuk keputusan yang tepat hingga akhir hidup seseorang.
Menurut Flavell (Du Toit & Kotze, 2009:58), "Metacognitive strategies refer to
the conscious monitoring of one’s cognitive strategies to achieve specific goals,
for example when learners ask themselves questions about the work and then
observe how well they answer these questions." Strategi metakognitif menunjuk
pada memonitoring secara sadar strategi kognitif seseorang untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu, contoh ketika siswa bertanya pada dirinya sendiri
pertanyaan tentang pekerjaannya dan kemudian mengobservasi seberapa baik
mereka menjawab pertanyaan tersebut.
Siswa yang menggunakan strategi metakognitif dapat menentukan tujuan,
mengetahui cara mencapai tujuan, dan memperkirakan keberhasilan tujuan
tersebut. Menurut Brown (Ratna Wilis D, 2011:123), strategi metakognitif
meliputi kemampuan siswa untuk menentukan tujuan belajar, memperkirakan
keberhasilan pencapaian tujuan itu, dan memilih alternatif-alternatif untuk
mencapai tujuan itu.
Strategi metakognitif tidak hanya meliputi proses menentukan dan mencapai
tujuan, serta kegiatan memonitoring proses tersebut namun juga menghubungkan
dengan pengetahuan sebelumnya. Dirkes (Blakey & Spence, 1990) menyatakan
yang menjadi dasar strategi metakognitif adalah menghubungkan informasi baru
dengan pengetahuan sebelumnya, memilih strategi berpikir dengan hati-hati,
20
Salah satu metode yang digunakan dalam strategi metakognitif adalah
metode bertanya pada diri sendiri. Menurut Kramarski & Mirachi
(2004:171-172), panduan metakognitif berdasarkan metode yang berisi empat rangkaian
pertanyaan metakognitif yang ditunjukkan pada diri sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Comprehension question, pertanyaan pemahaman didesain untuk
merefleksikan pemahaman siswa sebelum menyelesaikan
masalah/tugas. comprehension question meliputi pertanyaan seperti :
"Tentang apakah masalah tersebut?"; "Apa pertanyaannya?",
"Bagaimana konsep matematisnya?"
2. Connections question, pertanyaan koneksi didesain untuk siswa fokus
pada kemiripan dan perbedaan antara masalah atau tugas yang sedang
dikerjakan dengan yang sudah dikerjakan. Contoh : " Apakah
masalah/tugas tersebut sama/ berbeda dengan yang sudah kalian
kerjakan? jelaskan mengapa"
3. Strategic questions, pertanyaan strategis didesain agar siswa
memperhatika strategi yang tepat untuk meyelesaikan masalah dan apa
alasannya. Contoh pertanyaannya adalah : "Apa strategi/taktik/prinsip
yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah/tugas tersebut?".
"bagaimana saya mengorganisasikan informasi untuk menyelesaikan
masalah/tugas?;
4. Reflection questions, pertantanyaan refleksi didesain agar siswa
21
penyelesaian. Contoh pertanyaan : "Apa yang saya kerjakan?", "Apakah
ini bermakna?", "Apa kesulitan/perasaan saya menghadapi tugas
tersebut?", "Dapatkah saya menggunakan pendekatan lain untuk
menyelesaikan tugas tersebut?"
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan strategi metakognitif adalah
siasat yang digunakan secara sadar untuk memonitoring proses mencapai tujuan,
berupa menentukan tujuan, merencanakan, memperkirakan keberhasilan,
menentukan strategi yang digunakan melalui pertanyaan-pertanyaan yang
ditunjukkan pada diri sendiri.
Schoenfeld (Muijs & Reynolds, 2008:191) mengusulkan beberapa teknik
mengajarkan strategi metakognitif kepada murid-murid:
a. Mengembangkan kesadaran tentang proses berpikir kepada
murid-murid. Untuk melakukan ini penting untuk menjelaskan mengapa
berbagai strategi mengatasi masalah dinilai penting. Schoenfold
mengusulkan kegiatan seperti menunjukkan rekaman video tentang
penyelesaian masalah secara kooperatif, sehingga siswa dapat melihat
orang-orang yang menggunakan strategi tidak efektif. Kegiatan ini
dapat memberi kesan pentingnya menyadari apa yang sedang
dikerjakan.
b. Menyelesaikan masalahnya di papan tulis dengan mempresentasikan
resolusi masalahnya secara keseluruhan dan bukan hanya menunjukkan
solusi rapinya. Teknik ini berguna karena menekankan pada
22
c. Biarkan seluruh kelas menyelesaikan suatu masalah, dan guru
mengambil peran moderator di dalam diskusi murid-muridnya.
Murid-murid akan memilih mengerjakan hal-hal tertentu yang mungkin benar
atau mungkin keliru. Bila strategi yang mereka gunakan tidak berjalan
baik, strategi lain dapat dicoba sampai mereka menemukan solusi.
Kemudian diikuti dengan debriefing yang dilaksanakan oleh guru.
Kegiatan ini dapat membantu murid untuk meregulasi-diri.
Adapun langkah-langkah pelaksanaan strategi metakognitif dalam
pembelajaran menurut Blakey & Spence (1990) adalah sebagai berikut.
a. Mengidentifikasi "apa yang diketahui" dan "apa yang tidak diketahui" (Identifying "what you know" and "what you don't know").
Pada permulaan dari aktivitas penelitian (research activity) siswa
membutuhkan untuk membuat keputusan-keputusan sadar tentang pengetahuan
mereka. Diawali dengan menulis "apa yang sudah saya tahu tentang … " dan "apa
yang saya ingin pelajari tentang … " Selama siswa meneliti topik tersebut, mereka
akan memeriksa, mengklarifikasi dan mengembangkan atau mengganti dengan
informasi yang lebih akurat, setiap pernyataan awal yang mereka tuliskan.
b. Berbicara tentang pemikiran (Talking about thinking).
Berbicara tentang pemikiran (Talking about thinking) merupakan hal yang
penting, karena siswa membutuhkan kosa kata berpikir. Selama merencanakan
dan dalam situasi pemecahan masalah, guru dapat think aloud sehingga siswa
dapat mengikuti proses berpikir yang dilakukan oleh guru. Modeling dan diskusi
mengembangkan kosakata yang siswa butuhkan untuk berpikir dan berbicara
23
menggunakannya juga merupakan hal yang penting untuk mengenali ketrampilan
berpikir.
Paired problem-solving (Pemecahan masalah secara berpasangan)
merupakan strategi lain yang berguna. Salah satu siswa membicarakan suatu
masalah, mendeskripsikan bagaimana proses berpikirnya. Siswa yang lain
mendengarkan dan bertanya untuk membantu mengklarifikasi proses berpikirnya.
Hampir sama dengan pada reciprocal teaching menurut Palinscar, Ogle, Jones,
Carr & Ransom (Blankey & Spence, 2013), kelompok kecil dari siswa akan
bergantian menjadi guru, bertanya, dan mengklarifikasi serta merangkum materi
selama pembelajaran.
c. Membuat jurnal berpikir (Keeping athinking journal).
Cara lain untuk mengembangkan metakognisi adalah melalui jurnal
berpikir. Jurnal berpikir merupakan buku harian dimana siswa merefleksikan
pemikiran meraka, membuat catatan dari kesadaran mereka tentang keambiguan
dan ketidakkonsistenan, dan memberikan komentar bagaimana mereka mengatasi
kesulitan tersebut. Jurnal berpikir tersebut adalah sebuah buku harian tentang
proses.
d. Merencanakan dan regulasi diri (Planning and self-regulation).
Siswa harus berasumsi meningkatkan kesadaran untuk merencanakan dan
meregulasi proses belajarnya. Akan sulit bagi seorang pembelajar untuk menjadi
self directed learning ketika pembelajaran direncanakan dan dimonitor oleh orang
24
Siswa dapat diajarkan membuat perencanaan untuk aktivitas belajarnya
meliputi estimasi waktu yang dibutuhkan, mengorganisasikan materi, dan
menjadwal prosedur penting untuk melengkapi aktivitas tersebut. Sumber belajar
yang lebih fleksibel dan mengakses materi yang lebih bervariasi akan
memungkinkan siswa untuk melakukan hal tersebut. Kriteria untuk evaluasi
dikembangkan dengan siswa sehingga siswa belajar untuk berpikir dan bertanya
pertanyaan pada mereka sendiri selama proses aktivitas pembelajaran.
e. Melaporkan kembali proses berpikir (Debriefing the thinking process).
Aktivitas penutup memfokuskan pada diskusi siswa dalam proses berpikir
untuk mengembangkan kesadaran tentang strategi yang dapat digunakan dalam
situasi yang lain. Terdapat tiga langkah metode yang berguna untuk melaksanakan
debriefing the thinking process. Pertama, guru membimbing siswa untuk
mereview aktivitas, mengumpulkan data tentang proses berpikir dan perasaan
dalam pembelajaran. Kemudian, kelompok mengklarifikasi gagasan yang
berhubungan, mengidentifikasi strategi berpikir yang digunakan. Terakhir, mereka
mengevaluasi keberhasilan mereka, menghilangkan strategi yang tidak penting,
mengidentifikasi kebergunaan untuk penggunaan di masa yang akan datang dan
mencari penyelesaian alternatif.
f. Evaluasi diri (Self evaluation).
Membimbing pengalaman evaluasi diri dapat diperkenalkan melalui
konferensi individual dan daftar yang memfokuskan pada proses berpikir. Secara
25
aktivitas belajar pada disiplin berbeda memiliki kesamaan, maka mereka akan
memulai mentransfer strategi belajar mereka ke situasi yang baru.
Berdasarkan teori tersebut, maka strategi metakognitif dalam penelitian ini
diartikan sebagai pembelajaran matematika yang memuat kegiatan
mengidentifikasi "apa yang diketahui" dan "apa yang tidak diketahui", berbicara
tentang pemikiran, membuat jurnal berpikir, merencanakan dan regulasi diri,
melaporkan kembali proses berpikir, dan evaluasi diri.
4. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang paling sering
digunakan oleh guru di sekolah. Dalam penelitian ini model pembelajaran
konvensional yang digunakan adalah pembelajaran langsung.
Pengajaran langsung , yang juga dikenal dengan sebutan active teaching
(pengajaran aktif) atau whole-class teaching (pengajaran seluruh-kelas).
Pengajaran langsung mengacu pada gaya mengajar dimana guru terlibat aktif
dalam mengusung isi pelajaran kepada murid-muridnya dengan mengajarkannya
secara langsung kepada seluruh kelas. (Muijs & Reynolds, 2008:41).
Menurut Martinis Yamin & Bansu I. Ansari (2009:66), pembelajaran
langsung (direct instruction) disebut pula dengan metode ekspositori. Metode
ekspositori sering disamakan dengan metode ceramah karena sifatnya sama-sama
memberi informasi, dan pembelajaran berpusat pada guru. Namun, dalam
pelaksanaannya, metode ekspositori berbeda dengan metode ceramah, mengingat
pada metode ekspositori dominasi guru banyak dikurangi. Guru tidak terus
26
diperlukan. Misalnya, pada permulaan pelajaran, pada topik yang baru, pada
waktu memberikan contoh-contoh soal dan sebagainya, selanjutnya murid diminta
menyelesaikan soal-soal di papan tulis atau meja masing-masing. Adapun
fase-fase pada model pembelajaran langsung menurut Martinis Yamin & Bansu I.
Ansari (2009:67) adalah:
a. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
b. Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan
c. Membimbing pelatihan
d. Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
e. Memberikan latihan dan penerapan konsep.
Menurut Endang Mulyatiningsih (2012:239-240) Pembelajaran aktif
konvensional dapat berupa 1) Ceramah (Lectures) dan Bertanya (Question), 2)
Resitasi (Recitation) 3)Praktik dan Latihan (Practice and Drills).
1) Ceramah (Lectures) dan Bertanya (Question)
Metode ceramah dan bertanya merupakan strategi dimana guru
memberi presentasi lisan dan peserta didik dituntut menanggapi atau
mencatat penjelasan guru.
2) Resitasi (Recitation)
Resitasi digunakan untuk mendiagnosis kemajuan belajar siswa.
Resitasi menggunakan pola: guru bertanya, peserta didik merespon dan guru
27
3) Praktik dan Latihan (Practice and Drills).
Praktik dilakukan setelah materi dipelajari dan sebaiknya dilakukan di
luar jam belajar atau setelah guru melakukan demonstrasi. Drill digunakan
ketika peserta didik disuruh mengulang informasi pada topik-topik khusus
sampai peserta didik dapat menguasai topik yang diajarkan.
Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah dengan
pembelajaran langsung, adapun tahapan-tahapan pembelajaran yang akan
dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Kegiatan pendahuluan pembelajaran
Pada tahap ini guru memberikan apersepsi, menyampaikan tujuan
pembelajaran, dan memotivasi siswa serta menginformasikan cara pembelajaran.
Peran siswa pada tahap ini adalah bertanya jawab dengan guru ketika guru
menyampaikan apersepsi.
b. Kegiatan inti pembelajaran
Pada tahap ini guru memberikan stimulus dengan memberikan materi,
kemudian mendiskusikan dengan siswa mengenai materi tersebut. Siswa
mengkomunikasikan secara lisan mengenai materi. Siswa dan guru bersama-sama
membahas contoh dalam buku paket. Siswa mengerjakan beberapa soal dalam
buku paket. Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk bertanya hal-hal
yang belum dipahami. Terakhir, melalui tanya jawab guru meluruskan
28
c. Kegiatan penutup pembelajaran
Pada tahap ini guru membimbing siswa membuat rangkuman materi yang
telah dipelajari. Kemudian, guru memberikan kuis atau pekerjaan rumah. Serta
menginformasikan garis besar isi kegiatan pertemuan selanjutnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan pembelajaran
konvensional adalah pembelajaran yang menekankan guru sebagai pusat
pembelajaran pada permulaan pembelajaran dan selanjutnya diikuti dengan
mengecek pemahaman dan umpan balik melalui tanya jawab guru dan siswa, serta
latihan yang dilakukan siswa.
5. Prestasi Belajar Matematika
Menurut Gagne dan Elliot (Eva Latipah, 2010:115), prestasi belajar
terwujud karena adanya perubahan selama beberapa waktu yang tidak disebabkan
oleh pertumbuhan, tetapi karena adanya situasi belajar. Selain disebabkan oleh
situasi belajar, ada berbagai faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa.
Menurut Moh. Uzer Usman (1993:9), prestasi belajar yang dicapai siswa pada
hakikatnya merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor, baik berasal dari
dirinya (internal) maupun dari luar dirinya (eksternal). Faktor-faktor yang
dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Faktor yang berasal dari diri sendiri (internal)
1) Faktor jasmaniah (fisiologi) baik yang bersifat bawaan maupun yang
diperoleh. Yang termasuk faktor ini ialah panca indera yang tidak berfungsi
29
2) Faktor Psikologis, baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh, terdiri
atas:
a) Faktor intelektif yang meliputi faktor potensial, yaitu kecerdasan dan bakat
serta faktor kecakapan nyata, yaitu prestasi yang dimiliki.
b) Faktor nonintelektif yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap,
kebiasaan, minat kebutuhan, motivasi, emosi, dan penyesuaian diri.
3) Faktor kematangan fisik maupun psikis
b. Faktor yang berasal dari luar diri (eksternal)
Faktor eksternal meliputi:
1) Faktor sosial yang terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah,
lingkungan masyarakat, lingkungan kelompok.
2) Faktor budaya, seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi dan
kesenian.
3) Faktor lingkungan fisik, seperti fasilitas rumah dan fasilitas belajar.
4) Faktor lingkungan spiritual atau keagamaan.
Menurut Reddy & Nagaraju (2007:26), prestasi siswa dapat diukur melalui
hasil ujian. Salah satu cara memperoleh hasil ujian adalah melalui tes prestasi. Tes
prestasi dapat digunakan untuk mengukur kinerja murid pada mata pelajaran atau
topik tertentu pada waktu tertentu (Muijs & Reynolds, 2008:364).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan prestasi belajar matematika adalah
hasil yang menunjukkan kinerja siswa dalam mata pelajaran matematika atau
30 6. Sikap Terhadap Matematika
Sikap merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk merespon secara
positif dan negatif suatu objek, seperti yang dikemukakan oleh Aiken & Marnat
(2009:67), sikap (attitude) adalah kecenderungan yang dipelajari untuk merespons
secara positif atau negatif objek, situasi, institusi atau orang tertentu. Senada
dengan Aiken & Marnat, Muhibbin Syah (2005:135) juga mendefinisikan sikap
sebagai gejala internal yang berdimensi aktif berupa kecenderungan untuk
mereaksi atau merespon (respons tendency) dengan cara yang relatif tetap
terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif.
Sementara itu, sikap dapat didefinisikan sebagai pembawaan yang dapat
dipelajari. Menurut Ratna Wilis D. (2011:123), sikap merupakan pembawaan
yang dapat dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda,
kejadian-kejadian, atau makhluk hidup lainnya.
Sikap dapat berupa pendapat, dan keyakinan seseorang terhadap suatu
objek. Menurut Bimo Walgito (1994:109), "Sikap itu merupakan organisasi
pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang
disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut
untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang
dipilihnya."
Menurut Bimo Walgito (1994:109), sikap mengandung tiga komponen
yang membentuk struktur sikap, yaitu:
1. Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang
31
yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap
objek sikap.
2. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang
berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek
sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak
senang merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan arah
sikap, yaitu positif atau negatif.
3. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu
komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak
terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap,
yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau
berperilaku seseorang terhadap objek sikap.
Berdasarkan uraian di atas, sikap adalah kecenderungan yang dapat
dipelajari dan mempengaruhi respons terhadap suatu objek, yang meliputi
komponen kognitif (persepsi), komponen afektif (emosional), dan komponen
konatif (perilaku).
Sikap (attitude) siswa yang positif, terutama kepada guru dan mata
pelajaran yang disajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar
siswa tersebut. Sebaliknya, jika sikap negatif siswa terhadap guru dan mata
pelajaran, apabila jika diiringi kebencian dapat menimbulkan kesulitan belajar
siswa tersebut. Selain itu, sikap terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat
conserving walaupun mungkin tidak menimbulkan kesulitan belajar, namun
32
Menurut Ballard & Clanchy (Muhibbin Syah, 2005:127-128) pendekatan
belajar siswa pada umumnya dipengaruhi oleh sikap terhadap ilmu pengetahuan
(attitude to knowledge). Ada dua macam siswa dalam menyikapi ilmu
pengetahuan, yaitu :
1) Sikap melestarikan apa yang sudah ada (conserving);
Siswa yang bersikap conserving pada umumnya menggunakan
pendekatan belajar "reproduktif" (bersifat menghasilkan kembali fakta
dan informasi). Strategi pendekatan reproduktif : mengahafal, meniru,
menjelaskan, meringkas.
2) Sikap memperluas (extending).
Siswa yang bersifat extending, biasanya menggunakan pendekatan
belajar "analitis" (berdasarkan pemilahan dan interpretasi fakta dan
informasi). Strategi pendekatan analitis: berpikir kritis,
mempertanyakan, menimbang, berargumen.
Menurut Ediger & Rao (2007:29), sikap siswa terhadap matematika akan
berpengaruh pada proses pembelajaran.
Good attitudes of pupils toward mathematics indicate that this academic discipline is valued or prized. Learned need to trust the self that with continued success in ongoing lessons and units in mathematics, they are becoming increasingly confident. Being a proficient problem solver is at the top of mathematics skills and abilities that need to be achieved.
Sikap siswa terhadap matematika mengindikasikan disiplin akademik
tersebut bernilai atau berharga, Siswa perlu untuk percaya diri bahwa akan
berhasil pada pembelajaran berikutnya dan unit-unit dalam matematika,
33
terampil akan menjadi puncak dari keterampilan dan kemampuan matematika
yang perlu dicapai.
Sikap terhadap matematika seperti yang didefinisikan oleh (Ministry of
Education Singapore, 2006:9) menunjukkan aspek afektif pada pembelajaran
matematika yaitu percaya matematika dan kegunaannya, tertarik dan senang
belajar matematika, apresiasi dengan keindahan dan kekuatan matematika,
percaya diri dalam menggunakan matematika, tekun dalam penyelesaian masalah.
Merujuk dari pendapat tersebut, selanjutnya dapat disimpulkan sikap siswa
terhadap matematika adalah kecenderungan yang dapat dipelajari dan
mempengaruhi respons terhadap pembelajaran matematika termasuk didalamnya
matematika, yang meliputi komponen kognitif (persepsi), komponen afektif
(emosional), dan komponen konatif (perilaku).
B. Penelitian yang Relevan
Ada beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang
dilaksanakan oleh peneliti. Hasil penelitian ini digunakan untuk pengembangan
terhadap penelitian yang dilaksanakan.
Penelitian Emi Sugiartini, dkk. (2013) tentang Pengaruh Model
Pembelajaran Metakognitif Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Kelas V Sd Di Gugus III Kecamatan Tejakula. Hasil penelitian
yang diperoleh menunjukkan pembelajaran metakognitif berpengaruh terhadap
kemampuan pemecahan masalah siswa kelas V di gugus III kecamatan Tejakula.
Selain berpengaruh terhadap pemecahan masalah, pembelajaran matematika
34
matematika siswa. Penelitian Evi Dwi Krisna, dkk pada tahun 2013 tentang
pengaruh model pembelajaran berbasis masalah berbantuan pertanyaan
metakognitif terhadap prestasi belajar matematika siswa ditinjau dari motivasi
berprestasi. Penelitian tersebut menunjukkan prestasi belajar siswa yang
mengikuti pembelajaran matematika dengan model pembelajaran berbasis
masalah berbantuan pertanyaan metakognitif lebih baik dibandingkan siswa yang
mengikuti pembelajaran matematika dengan model pembelajaran berbasis
masalah.
Penelitian relevan lainnya adalah Jurnal Sahin & Kendir (2013) tentang
efektivitas penggunaan strategi metakognitif untuk menyelesaikan masalah
geometri pada prestasi dan sikap siswa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan strategi metakognitif dan siswa yang
mengikuti pembelajaran tradisional secara signifikan berbeda ditinjau dari prestasi
matematika, keterampilan metakognitif dan sikap terhadap matematika.
Dengan memperhatikan hasil-hasil penelitian di atas dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran yang melibatkan metakognisi dapat meningkatkan prestasi
belajar matematika siswa. Pada penelitian ini akan digunakan strategi
metakognitif untuk mengetahui pengaruhnya terhadap prestasi belajar dan sikap
siswa terhadap matematika.
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan uraian dari kajian pustaka tersebut di atas, maka dapat
disusun suatu kerangka berpikir. Prestasi belajar dan sikap siswa terhaap
35
prestasi dan sikap siswa terhadap matematika masih menjadi masalah, contohnya
di SMP Negeri 2 Depok ditemukan prestasi belajar dan sikap siswa terhadap
matematika belum optimal.
Salah satu cara untuk mengoptimalkan prestasi belajar dan sikap siswa
terhadap matematika adalah strategi metakognitif. Strategi metakognitif meliputi
menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya, merencanakan,
memilih strategi berpikir, memonitor dan mengevaluasi proses berpikir. Proses
tersebut merupakan langkah-langkah untuk mengembangkan metakognisi siswa.
Prestasi belajar matematika dapat dilihat dari kemampuan siswa
memahami konsep dan memanfaatkan kemampuan pemecahan masalah untuk
menyelesaikan persoalan matematika. Melalui strategi metakognitif, pembelajaran
akan dilakukan dengan langkah-langkah yang dapat membantu siswa melihat pada
diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal. Sehingga
siswa dapat menyadari setiap kegiatan dalam penemuan konsep yang
dipelajarinya ataupun memahami betul setiap langkah dalam proses pemecahan
masalah yang dilakukan. Oleh karena itu strategi metakognitif dapat
mengoptimalkan prestasi belajar matematika siswa.
Salah satu hal utama dalam strategi metakognitif adalah memilih strategi
berpikir. Dalam pembelajaran matematika dengan strategi metakognitif, siswa
dapat memilih strategi berpikir untuk menyelesaikan permasalahan matematika.
Sehingga pandangan siswa terhadap matematika tidak hanya sekedar latihan soal
yang hampir sama dengan contoh soal yang diberikan, namun siswa sebagai
ide-36
idenya. Selain memilih strategi berpikir, dalam strategi metakognitif siswa
dituntut untuk memonitor pekerjaannya. Memonitor pekerjaan yang dilakukan
akan membuat siswa yakin dengan setiap langkah yang dilakukan, sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan diri dalam menghadapi permasalahan matematika
yang lain. Sehingga strategi metakognitif dapat mengoptimalkan sikap siswa
terhadap matematika.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Penggunaan strategi metakognitif berpengaruh terhadap prestasi belajar
dan sikap siswa terhadap matematika.
2. Prestasi belajar matematika siswa yang mengikuti strategi metakognitif
lebih tinggi dibandingkan prestasi belajar matematika siswa yang
mengikuti pembelajaran konvensional.
3. Sikap siswa terhadap matematika yang mengikuti strategi metakognitif
lebih tinggi dibandingkan sikap siswa terhadap matematika yang
37 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah quasi experiment atau eksperimen semu. Quasi
eksperimen mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi
sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi
pelaksanaan eksperimen (Sugiyono, 2013:77). Dalam suatu kegiatan pendidikan
di sekolah, sering tidak mungkin menggunakan sebagian siswa untuk eksperimen
sedangkan sebagian yang lain tidak karena di sekolah siswa sudah dikelompokkan
dalam kelas-kelas. Quasi eksperimen digunakan karena pada kenyataannya sulit
menentukan kelompok kontrol yang digunakan dalam penelitian.
Dalam penelitian ini, desain yang digunakan adalah nonequivalent control
group design. Desain ini hampir sama dengan pretest-posttest control group
design dimana terdapat dua kelompok yang diberi pretes untuk mengetahui
kemampuan awal kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, kemudian
diberikan postes untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan yang diberikan.
Kelompok eksperimen menggunakan pembelajaran matematika dengan strategi
metakognitif dan kelompok kontrol menggunakan pembelajaran matematika
secara konvensional. Desain eksperimen pretest – posttest with non equivalent
group diilustrasikan sebagai berikut.
Tabel 1. Desain Eksperimen pretest – posttest with non equivalent group
O1 X O2
38
Keterangan:
O1 : Pretes kelompok eksperimen
O3 : Pretes kelompok kontrol
X : Pembelajaran strategi metakognitif
O2 : Postes kelompok eksperimen
O4 : Postes kelompok kontrol
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan data dilakukan di kelas VII SMP 2 Depok, Sleman yang
beralamat di Jln. Dahlia Condongcatur, Depok, Sleman dilaksanakan pada
semester genap, yaitu bulan Maret sampai Mei 2015 tahun pelajaran 2014/2015.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP 2 Depok yang
terdiri dari 4 kelas yaitu kelas VII A, VII B, VII C, dan VII D
2. Sampel Penelitian
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara acak dengan
mengundi 4 kelas di SMPN 2 Depok yaitu kelas VII A, VII B, VII C dan VII D.
Dari hasil undian diperoleh kelas VII B dan kelas VII C. Selanjutnya dilakukan
undian lagi, untuk menentukan kelas mana yang menjadi kelompok eksperimen
dan kelas mana yang menjadi kelas kontrol. Dari undian di dapat kelas VII B
39 D. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah
pada variabel penelitian, perlu dikembangkan definisi operasional variabel sebagai
berikut.
1. Pembelajaran dengan Strategi Metakognitif
Pembelajaran dengan Strategi Metakognitif dalam penelitian ini adalah
pembelajaran yang memuat langkah-langkah berikut: 1) mengidentifikasi
"apa yang diketahui" dan "apa yang tidak diketahui" 2) berbicara tentang
pemikiran (Talking about Thinking) 3) membuat jurnal berpikir (Keep a
thinking journal) 4) Merencanakan dan regulasi diri (Planning and
self-regulation) 5) Melaporkan kembali proses berpikir (Debriefing the thinking
process). 6) Evaluasi diri (Self evaluation).
2. Pembelajaran konvensional
Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah pembelajaran
langsung (direct instruction).
3. Prestasi Belajar Matematika
Prestasi belajar matematika dalam penelitian ini adalah prestasi belajar
matematika siswa ditunjukkan dengan nilai pretes dan postes yang didapatkan
siswa kelas eksperimen dan kontrol sebelum dan setelah mendapatkan perlakuan.
4. Sikap Siswa terhadap Matematika
Sikap siswa terhadap matematika dalam penelitian ini adalah skor sikap
40
konatif dari siswa kelas eksperimen dan kontrol yang didapatkan melalui angket
sikap terhadap matematika.
E. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Terdapat satu variabel bebas dalam penelitian ini yaitu strategi pembelajaran
yang digunakan, dalam hal ini strategi metakognitif.
2. Variabel terikat
Terdapat dua variabel terikat dalam penelitian ini yaitu prestasi belajar
matematika dan sikap siswa terhadap matematika.
F. Perangkat Pembelajaran
Perangkat pembelajaran yang digunakan untuk menunjang pembelajaran
dengan strategi metakognitif di antaranya adalah Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS).
1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
RPP merupakan pedoman dan langkah-langkah yang digunakan setiap kali
pertemuan di kelas. RPP untuk kelas eksperimen menggunakan RPP sesuai
dengan strategi metakognitif, sedangkan kelas kontrol disesuaikan dengan
pembelajaran konvensional.
2. Lembar Kegiatan Siswa (LKS)
Lembar Kegiatan Siswa (LKS) merupakan salah satu alat bantu
pembelajaran berupa lembaran kertas yang berisi informasi maupun pertanyaan
yang harus dikerjakan oleh siswa. LKS digunakan dalam kelas eksperimen untuk
41
yang diketahui" dan "apa yang tidak diketahui", berbicara tentang pemikiran,
merencanakan, meregulasi diri, dan mengevaluasi diri).
G. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes, angket,
dan lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran.
1. Tes Prestasi Belajar Matematika
Tes dalam penelitian ini adalah tes tertulis untuk mengukur prestasi belajar
matematika siswa. Bentuk tes yang digunakan terdiri dari soal pilihan ganda
dengan 4 pilihan jawaban alternatif dan uraian.
Tes yang dilaksanakan untuk mengukur prestasi belajar siswa dilaksanakan
dalam 2 tahap tes, yaitu pretes dan postes. Pretes adalah tes awal yang diberikan
untuk melihat sejauh mana kemampuan peserta didik sebelum mendapatkan
perlakuan dan untuk mengetahui apakah kemampuan awal kedua kelas sama.
Sedangkan postes adalah tes akhir yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan
siswa setelah mendapatkan perlakuan.
2. Angket Sikap Siswa terhadap Matematika
Kuisioner (angket) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada
responden untuk dijawabnya. (Sugiyono, 2013:142).
Angket digunakan untuk mengetahui data sikap siswa terhadap
matematika. Angket yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk daftar
pernyataan untuk dinilai oleh responden. Pada angket ini, menggunakan skala
42
positif atau negatif dinilai oleh subjek dengan sangat setuju, setuju, tidak punya
pendapat, tidak setuju dan sangat tidak setuju. (Nana Sudjana, 2001:80). Skala
likert dalam angket ini berbentuk checklist. Dengan alternatif jawaban SS(Sangat
Setuju), ST (Setuju), RG (Ragu-Ragu), TS(Tidak Setuju), dan STS(Sangat Tidak
Setuju) dengan masing alternatif jawaban diberi skor 5,4,3,2,1 untuk pernyataan
positif dan sebaliknya untuk pernyataan negatif.
3. Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Strategi
Metakognitif.
Lembar observasi berisi pernyata-pernyataan yang menunjukkan kegiatan
pembelajaran dengan strategi metakognitif yang memuat langkah-langkah berikut:
1) mengidentifikasi "apa yang diketahui" dan "apa yang tidak diketahui" 2)
berbicara tentang pemikiran (Talking about Thinking) 3) membuat jurnal berpikir
(Keep a thinking journal) 4) Merencanakan dan regulasi diri (Planning and
self-regulation) 5) Melaporkan kembali proses berpikir (Debriefing the thinking
process). 6) Evaluasi diri (Self evaluation). Lembar observasi berbentuk checklist
yaitu "Ya" jika pernyataan pada lembar observasi terlaksana dan "Tidak" jika
pernyataan pada lembar observasi tidak terlaksana. ya nilai 1, tidak 0.
H. Validitas Instrumen
Validitas suatu instrumen penelitian adalah derajat yang menunjukkan
dimana suatu tes mengukur apa yang hendak diukur. (Sukardi, 2011:122).
Dalam penelitian ini untuk memperoleh bukti validitas instrumen
menggunakan validitas isi (Content Validity). Validitas isi ialah derajat di mana
43
Pengujian validitas isi dapat dibantu dengan menggunakan kisi-kisi
instrumen, atau matriks pengembangan instrumen. Dalam kisi-kisi tersebut
terdapat variabel yang diteliti, indikator sebagai tolak ukur dan nomor butir (item)
pertanyaan atau pernyataan yang telah dijabarkan dalam indikator.(Sugiyono,
2013:129). Kemudian instrumen dikoreksi oleh para ahli, melihat kesesuaian item
dengan kisi-kisi instrumen. Setelah instrumen dikoreksi oleh para ahli, instrumen
tersebut direvisi berdasarkan masukan dari ahli.
I. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi
Observasi adalah teknik pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dan mitra
peneliti secara langsung di dalam kelas selama proses pembelajaran di kelas.
Kegiatan observasi ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh keterlaksanaan
strategi metakognitif dalam pembelajaran matematika di kelas.
2. Tes
Teknik pengumpulan data menggunakan tes bertujuan untuk mengetahui
seberapa jauh peningkatan prestasi belajar matematika siswa setelah mengikuti
kegiatan pembelajaran dengan strategi metakognitif.
Adapun jenis tes yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah pretes
dan postes. Pretes adalah tes yang dilakukan sebelum materi pembelajaran
diberikan untuk mengetahui sejauh manakah penguasaan siswa terhadap materi
44
pembelajaran untuk mengetahui apakah semua materi yang tergolong penting
sudah dapat dikuasai dengan baik oleh siswa atau belum.
3. Angket
Angket digunakan untuk mendapatkan data sikap siswa terhadap matematika
dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pemberian angket dilakukan
dua kali. Angket awal untuk mengetahui sikap siswa terhadap matematika
sebelum diberikan perlakuan, dan angket akhir untuk mengetahui sikap siswa
terhadap matematika setelah diberikan perlakuan.
J. Teknik Analisis Data 1. Analisis Deskriptif
a. Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran
Data hasil observasi merupakan data yang diperoleh dari hasil observasi
tentang keterlaksanaan pembelajaran matematika di kelas eksperimen dan kelas
kontrol berdasarkan lembar observasi. Data hasil observasi akan dianalisis dengan
ketentuan skor 1 untuk pilihan jawaban "ya" dan skor 0 untuk pilihan jawaban
"tidak". Cara menghitung persentase skornya adalah sebagai berikut.
P = jumlah skor pencapaian per indikator
jumlah skor maksimal per indikator × 100%
b. Prestasi Belajar dan Sikap Siswa terhadap Matematika
Statistik deskriptif menurut Wiersma & Jurs (2009: 382), "Suppose values
or scores on some variable have been colected; one of the first task is to describe
these scores. … . Certain information is generated that describes these score as a
group. This information and the process by which obtained are called descriptive
45
pertama yang dilakukan adalah mendeskripsikan skor dalam suatu kelompok.
Informasi dan proses yang dilakukan disebut statistik deskriptif.
Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data yang telah
diperoleh melalui pretes dan postes prestasi belajar matematika serta sikap siswa
terhadap matematika awal dan sikap siswa terhadap matematika akhir baik pada
kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Hasil dari statistik deskriptif
tersebut diinterpretasikan melalui mean, standar deviasi, varian, skor minimum,
dan skor maksimum. Perhitungan dengan statistik deskriptif ini menggunakan
microsoft excel.
Data dari tes prestasi yang menunjukkan prestasi siswa dikonversi menjadi
skor dengan interval 0-100. Sedangkan data dari angket yang menunjukkan sikap
siswa terhadap matematika dikonversi menjadi skor dengan interval 30-150.
Selanjutnya data yang diperoleh dari data angket dan tes prestasi digunakan untuk
mengklasifikasikan sikap siswa terhadap matematika dan prestasi matematika
siswa. Pengklasifikasian skor angket dan skor prestasi belajar matematika
menggunakan klasifikasi S. Eka Putra Widoyoko (2009:238).
Penyekoran angket sikap siswa terhadap matematika dengan interval skor
30-150, maka untuk menentukan klasifikasi menggunakan klasifikasi berikut.
Rata-rata ideal ( )=( ) = ( ) = 90
46 Tabel 2. Klasifikasi Sikap Siswa terhadap Matematika
Rumus Interval Klasifikasi
> + 1,8 × > 126 Sangat baik
+ 0,6 × < ≤ + 1,8 × 102 < ≤126 Baik
−0,6 × < ≤ + 0,6 × 78 < ≤102 Cukup −1,8 × < ≤ −0,6 × 54 < ≤78 Kurang
< −1,8 × < 54 Sangat Kurang
Penyekoran prestasi matematika dengan interval skor 0-100, maka untuk
menentukan klasifikasi menggunakan klasifikasi berikut.
Rata-rata ideal ( )=( ) = ( ) = 50
Satuan lebar wilayah( ) = ( ) = ( ) = 16,67
Tabel 3. Klasifikasi Prestasi Belajar Siswa
Rumus Interval Klasifikasi
> + 1,8 × > 80,006 Sangat baik
+ 0,6 × < ≤ + 1,8 × 60,002 < ≤80,006 Baik
−0,6 × < ≤ + 0,6 × 39,998 < ≤60,002 Cukup −1,8 × < ≤ −0,6 × 19,994 < ≤39,998 Kurang
< −1,8 × < 19,994 Sangat Kurang
2. Uji Asumsi a. Uji Normalitas
Uji Normalitas dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya sebaran
data penelitian. Uji normalitas dilakukan terhadap skor 2 variabel pengukuran