• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN. lainnya termasuk di Indonesia (Gasem et al., 2002; Vollaard et al., 2005; Prajapati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. PENDAHULUAN. lainnya termasuk di Indonesia (Gasem et al., 2002; Vollaard et al., 2005; Prajapati"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid merupakan penyakit endemis yang tersebar luas di daerah tropis terutama di Asia Tenggara, Afrika, Amerika Latin, dan Negara berkembang lainnya termasuk di Indonesia (Gasem et al., 2002; Vollaard et al., 2005; Prajapati et al., 2008). Secara global di negara berkembang diperkirakan terjadi 21 juta kasus baru demam tifoid dan lebih dari 200.000 kasus kematian tiap tahun (Vollard et al., 2005). Angka insiden demam tifoid di Indonesia mencapai 358-810/100.000 penduduk/tahun dengan angka kematian yang cukup tinggi, yaitu 1-5% dari penderita (Anonim, 2007a). Demam tifoid di Jakarta menjadi penyebab kematian kedua setelah gastroenteritis (Anonim, 1999; Moehario, 2009), sedangkan di Kota Semarang demam tifoid termasuk urutan ke tiga setelah demam berdarah dengue (DBD) dan diare serta gastroenteritis dari 10 besar penyakit (Anonim, 2008). Di Indonesia demam tifoid masih menjadi salah satu penyebab terjadinya kematian.

Bakteri Salmonella serotipe typhi (S. typhi) adalah penyebab terjadinya demam tifoid, yang disebut juga demam enterik, selain itu disebut tifus atau tifus abdominalis (Rathis et al., 1995; Anonim, 2003a; Vollaard et al., 2005). Penyakit ini merupakan penyakit infeksi sistemik yang cukup serius karena dapat disertai berbagai penyakit seperti demam dengue dan malaria (Gasem et al., 2002; Sulaiman, 2006). Gambaran klinis demam tifoid bervariasi, dari ringan sampai berat. Gambaran klinis ringan misalnya panas dingin, sakit kepala, malaise, anoreksia dan batuk ringan. Gambaran klinis berat adalah gangguan abdomen,

(2)

2

seperti rasa tidak enak di perut sampai berbagai komplikasi yang berat, misalnya perforasi usus (Gasem et al., 2002; Novianti, 2006; Vollaard et al.,2005). Penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh S. typhi menunjukkan gambaran klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat dan tidak mudah dibedakan dengan gejala klinis pada demam yang lainnya karena tidak menunjukkan gejala yang spesifik.

Gejala klinis demam tifoid tidak spesifik sehingga diagnosis untuk penyakit ini tidak dapat hanya berpijak pada gejala klinis tetapi harus didukung oleh diagnosis laboratorium (Khoharo et al., 2010; Ley et al., 2010; Fadeel et al., 2011). Diagnosis pasti demam tifoid dilakukan dengan ditemukannya S. typhi pada kultur darah atau sumsum tulang, tetapi fasilitas untuk kultur tidak selalu tersedia, biayanya mahal, butuh waktu lama (tujuh hari) dan biasanya hasil kultur negatif karena pasien telah mengkonsumsi antibiotik (Khoharo et al., 2010; Ley et al., 2010). Diagnosis serologis adalah diagnosis laboratorium yang lain. Diagnosis serologis yang digunakan adalah Widal, typhidot M, typhidot, ELISA, Tubex® TF dan Dipstick test (Novianti, 2006; Narayanappa et al., 2010). Diagnosis laboratorium sangat dibutuhkan untuk membantu diagnosis pasti demam tifoid yang gejala klinisnya tidak spesifik.

Uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi anti lipopolisakarida O (agglutinin O) dan anti protein flagella H (agglutinin H)(Parry et al., 1999). Aglutinasi terjadi apabila di dalam serum penderita terdapat aglutinin O atau agglutinin H atau keduanya (Parry et al., 1999; Beig et al., 2010). Pelaksanaan uji Widal sederhana, mudah, cepat, murah, tetapi sensitivitas dan spesifisitas, serta nilai ramalnya sangat bervariasi karena antibodi anti O dan anti

(3)

3

H dapat dijumpai pada penderita infeksi oleh strain anggota genus Salmonella, dan spesies anggota familia Enterobacteriaceae yang lain, serta Protozoa penyebab malaria (Novianti, 2006; Beig et al., 2010).

Sensitivitas dan spesifisitas Widal (titer O dan H ≥ 1/200) di Vietnam, sebesar 64% dan 76% (Olsen et al., 2004), di Turkey 52% dan 88% (Willke et al., 2002), di India (titer O dan H ≥ 1/160) 34,1% dan 42,8% (Naranayappa et al., 2010), di rumah sakit Kairo, Mesir 77% dan 89% (Youssef et al., 2010). Di Jakarta, Indonesia sensitivitas Widal (titer O≥1/160) 37% dan spesifisitasnya 97,8% sedangkan pada titer H ≥ 1/80 sensitivitasnya 66,7% dan spesifisitasnya 82,6% (Muliawan et al., 2000). Hasil penelitian di Sulawesi Selatan menunjukkan nilai sensitivitas dan spesifisitas Widal adalah 96,7% dan 85,5% (Sabir et al., 2003), kejadian ini menunjukkan adanya variasi sensitivitas maupun spesifisitas Widal di berbagai negara termasuk di Indonesia. Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30%, selain itu epitop S. typhi juga bereaksi silang dengan strain bakteri lain anggota familia Enterobacteriaceae sehingga menyebabkan hasil positif palsu dan hal ini menunjukkan adanya kesamaan epitop antara S. typhi dengan spesies bakteri enterik yang lainnya (Novianti, 2006).

Isolasi S. typhi dari sumsum tulang belakang merupakan standar baku dalam mendeteksi demam tifoid dan lebih sensitif dibandingkan kultur darah (Anonim, 2003a; Vollaard et al., 2005). Parry et al. (1999) menyatakan bahwa nilai keberhasilan kultur darah sebesar 74% pada kasus penderita demam tifoid pada uji Widal dengan nilai standard aglutinasi ≥ 1/200 untuk agglutinin O ataupun ≥1/100 untuk agglutinin H sedangkan Darmowandono (1998) cit.

(4)

4

Prasetyo dan Ismoedijanto (2005) di RSU Dr. Soetomo Surabaya menyatakan nilai keberhasilan kultur darah sebesar 80-89% dengan uji Widal untuk nilai agglutinin O ≥ 1/200. Keberhasilan kultur darah tersebut tidak berbeda dengan yang dilakukan Amarantini et al. (2009), bahwa nilai keberhasilan kultur darah pada pasien dengan gejala klinis demam tifoid di Kabupaten Sumba barat Daya Nusa Tenggara Timur sebesar 78,83%, tetapi keberhasilan isolasi S. typhi masih rendah yaitu hanya 10,74%. Keberhasilan kultur darah yang cukup tinggi (74-89%) dibandingkan dengan keberhasilan isolasi S. typhi menunjukkan adanya jenis bakteri lain selain S. typhi, hal ini didukung oleh penelitian Itah dan Uweh (2005). Hasil kultur darah dari penderita dengan gejala klinis demam tifoid dan Widal positif yang dilakukan oleh Itah dan Uweh (2005) menunjukkan adanya macam-macam strain anggota spesies bakteri bentuk kokus Gram positif dan bentuk batang Gram negatif yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus faecalis, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris dan Salmonella typhi. Keanekaragaman spesies bakteri pada kultur darah tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan besar dapat diisolasi dan diidentifikasi bakteri selain anggota spesies S. typhi yang berasal dari kultur darah pasien Widal positif, dengan nilai agglutinin O ≥ 1/200.

Di Indonesia sebagian besar rumah sakit dan Puskesmas di daerah tidak memiliki fasilitas laboratorium untuk kultur bakteri sehingga diagnosis demam tifoid hanya berdasarkan gejala klinis dan kadang-kadang didukung dengan pemeriksaan Widal, demikian pula di kota Semarang Jawa Tengah dengan jumlah

(5)

5

penduduk 31 juta jiwa hanya memiliki 11 rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk kultur bakteri dari 115 rumah sakit yang ada (Gasem et al., 2002).

Demam tifoid terjadi pada komunitas yang sanitasi, higiene perorangan, sumber airnya sangat kurang (Khoharo et al., 2010; Okonko et al., 2010). Orang yang terinfensi S. typhi dan orang sehat tetapi karier adalah sumber terjadinya infeksi. Pasien akut (1-5%), bakteri S. typhi yang menyebabkan demam tifoid akan menetap dalam kandung empedu, kemudian bakteri diekskresikan ke dalam feses atau urin, hal ini terjadi lebih dari satu tahun setelah awal terjadinya demam tifoid akut (Vollaard et al., 2005).

Kecenderungan untuk menjadi karier dapat dikurangi dengan cara penggunaan antibiotik yang tepat. Kejadian demam tifoid telah diperburuk dengan terjadinya peningkatan resistensi bakteri terhadap banyak antibiotik, meningkatnya jumlah individu yang terinfeksi HIV serta meningkatnya mobilitas pekerja migran dari daerah dengan insiden yang tinggi (Thong et al., 2000a). Resistensi S. typhi terhadap beberapa antibiotik semakin meningkat seperti resistensi terhadap ampisilin, kloramfenikol, kotrimoksazol, trimetoprim, sulfonamid, streptomisin dan tetrasiklin, bahkan terhadap banyak antibiotik atau multi-drug resistant (MDR).

Angka kesakitan demam tifoid di kota Semarang adalah 589 pada tahun 2007, kemudian meningkat menjadi 7.507 pada tahun 2008 dan 7965 pada tahun 2009 angka kesakitan tersebut cukup besar (Anonim, 2007c; Anonim, 2008; Anonim, 2009). Survei pendahuluan menunjukkan bahwa kasus demam tifoid banyak dijumpai di RSUD Tugurejo kota Semarang, Rumah Sakit Islam Sultan

(6)

6

Agung, RSUD Kota Semarang, Puskesmas Kedungmundu dan Puskesmas Bangetayu Semarang, oleh karena itu kejadian demam tifoid di Kota Semarang perlu mendapat perhatian.

Sensitivitas dan spesifisitas Widal yang bervariasi, adanya hasil negatif palsu untuk pemeriksaan Widal, dan adanya kesamaan epitop S. typhi dengan strain bakteri enterik yang lain menyebabkan perlunya dilakukan analisis keanekaragaman spesies bakteri pada pasien Widal positif. Keanekaragaman spesies yang terdapat pada kultur darah Widal positif dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam pengembangan diagnosis, khususnya untuk demam tifoid dan sebagai bahan pertimbangan dalam pemberian antibiotik yang tepat. Analisis keanekaragaman spesies dapat dilakukan dengan metode sistematika polifasik.

Metode sistematika polifasik yang mengintegrasikan data fenotipik dan genotipik dapat untuk mengidentifikasi mikroorganisme secara akurat (Vandamme et al., 1996 cit. Sembiring, 2004). Metode tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengungkap diversitas mikrobia dengan menempatkan mikrobia secara logis dalam suatu sistem berdasarkan hubungan similaritas maupun hubungan filogenetis antar sesama mikrobia (Atlas, 1977). Keanekaragaman spesies bakteri pada darah pasien Widal positif di kota Semarang belum diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian yang dapat untuk memastikan kelayakan uji Widal sebagai salah satu diagnosis serologis demam tifoid yang disebabkan oleh S. typhi.

(7)

7 B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah keanekaragaman spesies bakteri pada darah pasien Widal positif berdasarkan sistematika polifasik.

2. Bagaimanakah keanekaragaman strain anggota masing-masing spesies bakteri pada darah pasien Widal positif berdasarkan sistematika polifasik. 3. Bagaimanakah profil sensitivitas keanekaragaman spesies bakteri pada

darah pasien Widal positif terhadap antibiotik

C. Keaslian dan Kedalaman Penelitian

Penelitian sistematika polifasik bakteri untuk mengungkap keanekaragaman genetik di Indonesia masih jarang dilakukan, termasuk keanekaragaman spesies bakteri yang berasal dari kultur darah pasien Widal positif yang diduga demam tifoid, sehingga sampai sekarang Widal masih digunakan sebagai salah satu diagnosis laboratorium untuk mendukung diagnosis demam tifoid.

Thong et al. (1995) melakukan penelitian bersama dengan peneliti dari Indonesia, Thailand dan Malaysia tentang diversitas genetik dengan PFGE. Sebanyak 50 isolat S. typhi yang berasal dari RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RS. Dr.Soetomo Surabaya, 10 isolat dari Thailand, 120 isolat dari Malaysia, menunjukkan bahwa dengan PFGE dapat mengungkap variasi genetik isolat S. typhi yang berasal dari daerah yang berbeda. Penelitian Massi et al.(2005) menunjukkan bahwa identifikasi dan sekuensing gen 16S rRNA S. typhi yang

(8)

8

berasal dari 6 sampel darah pasien demam tifoid yang mengalami perforasi dan 5 sampel darah non-perforasi yang berasal dari Sulawesi, hasilnya menunjukkan sekuens gen 16S rRNA dapat untuk mengelompokkan strain bakteri S. typhi yang berasal dari pasien yang mengalami perforasi dan tidak.

Penelitian Moehario (2009) mengungkapkan bahwa epidemiologi molekular S. typhi isolat Jakarta, Medan, Pontianak, Makasar dan Jayapura berdasarkan fingerprinting DNA dengan metoda Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) dan Pulsed-field Gel Electrophoresis (PFGE) dapat dilacak. Metode RFLP dan PFGE dapat untuk mengelompokkan isolat S. typhi dari daerah yang berbeda, hasilnya menunjukkan adanya empat kluster yang berasal dari daerah yang berbeda, setiap kluster terdiri dari isolat yang berasal dari daerah yang sama. Meskipun ada kluster yang beranggotakan isolat dari daerah yang berbeda. demikian pula dapat dilihat adanya pergerakan satu tipe strain yang terdapat di semua pulau di Indonesia.

Penelitian Amarantini et al. (2009) mengisolasi, karakterisasi dan klasifikasi strain S. typhi asal kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur dari kultur darah penderita demam tifoid dengan Widal positif, hasilnya menunjukkan bahwa kultur darah positif sebesar 78,83% dengan keberhasilan memperoleh isolat S. typhi sebesar 10,74%. Identifikasi dan karakterisasi S. typhi penyebab demam tifoid asal wilayah yang sama, berdasarkan sekuens gen 16S rRNA juga dilakukan oleh Amarantini et al. (2011), tetapi keanekaragaman spesies bakteri pada kultur darah pasien Widal positif berdasarkan sistematika polifasik belum pernah dilakukan.

(9)

9 D. Tujuan Penelitian:

Penelitian mengenai keanekaragaman spesies bakteri pada darah pasien Widal positif untuk:

1. Menganalisis keanekaragaman spesies bakteri pada darah pasien Widal positif berdasarkan sistematika polifasik.

2. Menganalisis keanekaragaman genetik strain anggota masing-masing spesies bakteri pada darah pasien Widal positif berdasarkan sistematika polifasik.

3. Menganalisis profil sensitivitas keanekaragaman spesies bakteri pada darah pasien Widal positif terhadap antibiotik.

E. Manfaat Penelitian

Identifikasi strain bakteri menggunakan pendekatan sistematika polifasik yaitu menggabungkan sistematik numerik fenetik, sistematik kimiawi dan sistematik molekular mampu memberikan dasar klasifikasi yang lebih bermakna, bersifat akurat dan dapat untuk mempelajari keanekaragaman mikrobia, baik keanekaragaman spesies maupun strain bakteri.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk penentuan metode diagnosis yang lebih sensitif dan spesifik sebagai metode diagnosis serologis demam tifoid berdasarkan jenis bakteri yang dijumpai pada kultur darah, sehingga dapat memberikan jenis antibiotik yang lebih tepat untuk menghindari timbulnya strain MDR di lingkungan, yang akibatnya apabila bakteri strain MDR tersebut menginfeksi orang akan meningkatkan biaya perawatannya.

Referensi

Dokumen terkait

Data penelitian ini didapat dari hasil belajar siswa melalui tes akhir pada kegiatan pembelajaran dan merupakan hasil pembelajaran tentang pokok bahasan ekosistem, tes

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat kelayakan game edukasi 2D sebagai media pembelajaran mata pembelajaran jaringan komputer untuk siswa TKJ SMK Harapan

Sedangkan pada waktu ada ang- gota keluarga yang mengidap penyakit cacing, sikap responden berbeda (p<0,05) Orang tua murid SD program sebagian be- sar memberikan

pada tahap awal yang di lakukan ketika akan membuat sebuah film documenter adalah mempelajari isu atau permasalahan yang ingin kita angkat dengan cara meriset,

Sesuai isi dari Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/383/2020 tentang Protokol Pengawasan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri di Bandar Udara dan Pelabuhan dalam rangka

Hal ini berarti telah sepenuhnya menghentikan penderitaan emosional dan telah sepenuhnya merealisasikan jalan kebenaran; bebas dari sebab akibat dukkha, dan hal ini berarti

Kombinasi serai wangi dan lemon yang digunakan dalam permen keras berpengaruh pada kandungan gula reduksi, sakarosa, vitamin C, minyak atsiri, namun tidak