• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBERAPA SIFAT JARAK ROTASI PADA POHON BINER TERURUT DAN TERORIENTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BEBERAPA SIFAT JARAK ROTASI PADA POHON BINER TERURUT DAN TERORIENTASI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2355-3677

BEBERAPA SIFAT JARAK ROTASI PADA

POHON BINER TERURUT DAN TERORIENTASI

Oleh: Hasniati

STMIK KHARISMA Makassar hasniati@kharisma.ac.id

Abstrak

Andaikan Bn adalah himpunan struktur data pohon biner dengan n simpul dalam (internal

nodes) yang mempunyai akar. Pada setiap pohon T Bn, didefinisikan urutan dari semua

simpul dengan menggunakan preorder traversal. Kemudian orientasi dari pohon biner didefinisikan melalui konsep rotasi. Konsep rotasi ini menentukan suatu relasi terurut parsial dalam Bn, sedemikian sehingga terhadap relasi ini, kami tunjukkan bahwa Bn merupakan

sebuah kisi-kisi (lattice). Lebih lanjut dari konsep rotasi juga diturunkan konsep jarak rotasi antara dua pohon dalam Bn. Terhadap konsep jarak ini, kami tunjukkan pula bahwa Bn

merupakan ruang metrik.

Kata-kata kunci: Pohon biner berakar-terorientasi-terurut, rotasi, ruang metrik, kisi-kisi (lattice) Abstract

Let Bn be the set of binary trees with n internal-node and a root. The order of a tree T Bn

is defined by using pre-order traversal and its orientation is defined using the notion of rotation. This notion of rotation determines a partial order relation in Bn. Hence, Bn is a lattice. The same notion also shows the way to define a distance between a pair of trees in Bn. With respect to this distance, Bn is a metric space.

Key words: rooted-ordered-oriented binary tree, rotation, lattice.

A. PENDAHULUAN

Salah satu bentuk khusus struktur data dari graf adalah struktur data pohon. Penerapan konsep pohon dalam kajian ilmu komputer sangatlah penting khususnya dalam masalah pencarian (searching) dan pengurutan (sorting) data yang mampu menghasilkan kompleksitas algoritma yang sangat efisien. Konsep struktur data pohon tentu saja digunakan dalam merancang algoritma pencarian solusi untuk metode-metode blind search atau uniformed search. Dengan struktur pohon, algoritma mampu memberikan kompleksitas dengan batas asimptotik terhadap fungsi logaritmik.

Pada aplikasi pohon, simpul utama pohon dinyatakan sebagai akar pohon. Pohon bersama akarnya menghasilkan graf berarah yang disebut pohon berakar. Simpul pada pohon berakar yang bercabang disebut simpul-dalam (internal node) sedangkan yang tidak bercabang disebut simpul-luar (external node) atau daun (leaf). Sebuah pohon berakar terurut merupakan pohon berakar dimana cabang-cabang dari setiap simpul-dalam diurutkan dari kiri ke kanan. Pohon yang setiap simpul-dalamnya paling banyak berderajat 3 disebut pohon biner [5].

(2)

Menghitung ‘jarak’ antara dua pohon biner dengan banyak simpul yang sama sebagai cara membandingkan dua struktur pohon biner, diwujudkan dengan cara menghitung banyaknya pemakaian minimum dari ‘rotasi’ yang dapat terjadi ketika mentransformasikan suatu pohon biner kedalam pohon biner yang lain.

Pada jurnal ini, kami tunjukkan bahwa konsep rotasi pohon biner yang didefinisikan membentuk struktur lattice (kisi-kisi) dan sekaligus ruang metrik pada himpunan pohon-pohon biner. Dengan menggunakan konsep rotasi, jarak antara dua pohon biner dapat didefinisikan [3].

Konsep jarak pada himpunan pohon-pohon biner yang dimaksud adalah konsep jarak antara dua pohon biner yang ‘sejenis’ dibatasi hanya pada kumpulan pohon dengan sifat berakar, terurut, terorientasi, dan memiliki simpul yang sama banyak.. Konsep ini didefinisikan berdasarkan konsep transformasi dari bentuk satu pohon biner ke bentuk pohon biner yang lain sedangkan konsep transformasi sendiri didefinisikan dengan menggunakan konsep rotasi pada sebuah pohon biner. Dalam mentransformasi suatu pohon biner ke pohon biner lain, dapat dipelajari sifat-sifat dan struktur khusus dari suatu kumpulan pohon biner.

B. POHON BINER TERURUT DAN TERORIENTASI

Secara formal, suatu graf tak berarah G adalah pasangan (V(G),E(G)) dengan V(G) adalah himpunan berhingga yang unsur-unsurnya disebut simpul (vertex) dan E(G) adalah himpunan pasangan-pasangan tak berurut dari unsur-unsur V(G) yang berbeda, yang disebut sisi (edge) [5].

Definisi 2.1: [5]

Pohon dengan n simpul adalah graf tak-berarah terhubung yang tidak memuat siklus.

Sebuah pohon berakar disebut pohon ari-m (m-ary) jika setiap simpul memiliki paling banyak (m+1) derajat. Jika suatu pohon memiliki lebih dari satu simpul, simpul yang berderajat satu disebut simpul-luar (external node) sedangkan simpul yang berderajat lebih dari satu disebut simpul-dalam (internal node).

Suatu pohon disebut pohon ari-m penuh (full m-ary) jika setiap simpul-dalamnya mempunyai tepat m cabang. Sebuah pohon ari-m dengan m = 3 disebut pohon triner sedangkan bila m = 2 disebut pohon biner.

Sebuah pohon berakar terurut merupakan pohon berakar dimana cabang-cabang dari setiap simpul-dalam mempunyai urutan. Pohon berakar terurut digambar sedemikian rupa sehingga setiap cabang dari simpul-dalam diurutkan dari kiri ke kanan [5].

(3)

Sebuah himpunan B dari pohon biner (berakar, terurut, dan terorientasi) secara rekursif dapat didefinisikan sebagai:

dimana  adalah simpul-dalam dan  adalah simpul-luar. |T| dinotasikan sebagai banyaknya simpul dalam. Sehingga suatu bobot

~

T

dari sebuah pohon T adalah banyaknya simpul-luar dari T yaitu

~

T

= |T| + 1. Misalkan Bn adalah himpunan pohon biner dengan simpul-dalam n (yaitu n

+ 1 simpul-luar). Suatu simpul-luar dari sebuah pohon T diberi nomor oleh sebuah pre-order traversal dari T [3].

Definisi 2.2: [4]

Diberikan T ϵ Bn, barisan bobot dari T adalah suatu barisan bilangan bulat

wT = (wT(1),wT(2), ..., wT(n)) (1)

dimana wT(i) adalah bobot dari subpohon terbesar T dengan simpul-luar terakhir merupakan

simpul-luar i pada T.

Contoh 1: Jika diberikan pohon T seperti pada Gambar 2.1, maka wT=(1,2,1,1,5,1,1,3).

Gambar 1. Pohon biner T.

Jika simpul-luar i adalah simpul-luar pertama (daun sebelah kiri) dari sebuah subpohon pada T maka wT(i)= 1 dan jika simpul-luar i adalah simpul-luar terakhir dari sebuah subpohon pada T

maka wT(i) ≥ 2. Untuk setiap i berlaku 1 ≤ wT(i) ≤ i [4].

1 2 3 4 5 6 7 8 9 T =

(4)

C. ROTASI POHON BINER

Dalam melakukan rotasi pada pohon biner menjadi pohon biner lain, kita harus tetap memperhatikan sifat dari pohon biner itu sendiri. Ada dua jenis rotasi yaitu: rotasi kiri dan rotasi kanan.

Definisi 3.1: [3]

Rotasi kiri

u pada simpul-dalam u pada Bn didefinisikan sebagai berikut: Untuk setiap pohon

T1, T2 ϵ Bn, T1

u T2 jika dan hanya jika diantara simpul-luar i dan j, subpohon 3.1 (a)

berada dalam T1, dan subpohon 3.1 (b) berada dalam T2, dimana T, T’, T” adalah subpohon

dari T1 dan T2.

Gambar 2. Subpohon dari pohon T1 dan T2.

v



1

melambangkan rotasi kanan pada simpul-dalam v. Sama saja dengan definisi 3.1 tetapi kedua bentuk subpohon dipertukarkan. Rotasi identitas adalah rotasi yang mentransformasi pohon biner ke dirinya sendiri. Misalkan



* dinotasikan sebagai klosur refleksif transitif dari

u [3].

Ini berarti, untuk setiap pohon biner T berlaku T



* T. Lebih jauh jika T1

T2 dan T2

T3, perdefinisi berlaku T1



* T2, T2



* T3, dan T1



* T3.`

Suatu relasi pada A adalah sebuah subhimpunan R  A x A. Pernyataan (a, b)  R lebih sering ditulis sebagai aRb. Misalkan A adalah sebuah himpunan dan R adalah relasi pada himpunan A. Jika a ϵ A maka klosur refleksif dari R adalah relasi R ditambah semua relasi berbentuk aRa. Dengan kata lain, klosur refleksif dari R adalah relasi R’ = R  ∆, dimana ∆ = { aRa | a ϵ A}.

Misalkan R adalah sebuah relasi pada himpunan A. Jika aRb  R dan bRc  R, maka belum tentu aRc  R sehingga R belum tentu transitif. Tetapi jika semua bentuk aRc

j a v T’ T T” i u (a) u v i j T T” T’ (b)

(5)

ditambahkan sedemikian sehingga terbentuklah sebuah relasi baru R* yang disebut klosur

transitif dari relasi R. Secara formal,

R* = R  

dimana  = {aRc | terdapat b  A yang memenuhi aRb dan bRc}.

Untuk sembarang relasi R, klosur refleksif transitif dari R adalah relasi R  ∆  .

Dalam setiap graf berarah sederhana, jika (a, b) menyatakan keberadaan sebuah lintasan dari simpul a ke simpul b, maka himpunan lintasan-lintasan (a, b) membentuk relasi transitif (tetapi tidak refleksif, karena lintasan dari a ke dirinya sendiri, loop pada a, tidak diperbolehkan) [5].

D. KISI-KISI

Definisi 4.1: (Rosen, 1998)

Sebuah relasi R dalam suatu himpunan S disebut relasi urutan parsial jika relasi tersebut bersifat:

a. refleksif, yaitu untuk setiap x  S berlaku x R x. b. antisimetri, yaitu untuk setiap x, y  S berlaku implikasi x R y  y R x  x = y.

c. transitif, yaitu untuk setiap x, y, z  S berlaku implikasi x R y  y R z  x R z.

Himpunan S dengan relasi terurut parsial R yang didefinisikan dalam S seperti di atas disebut himpunan terurut parsial atau disingkat poset (partially ordered set).

Suatu unsur xdalam poset S disebut batas bawah [atas] dari suatu himpunan A  S jika untuk setiap a  A berlaku x R a [a R x]. Suatu batas bawah [atas] x  S dari himpunan A disebut batas bawah terbesar [batas atas terkecil] dari himpunan A  S, ditulis x = inf A [ x = sup A] jika untuk setiap batas bawah [atas] x’ dari A berlaku x’  x [x  x’].

Sebuah himpunan terurut parsial dimana setiap pasangan unsur-unsur di dalamnya mempunyai batas atas terkecil dan sekaligus memiliki batas bawah terbesar disebut kisi-kisi (lattice) (Rosen, 1998).

E. JARAK ROTASI

Sebelum membahas jarak rotasi, terlebih dahulu akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan ruang metrik. Metrik didefinisikan sebagai berikut.

(6)

Definisi 5.1: [2]

Misalkan X adalah suatu himpunan. Suatu metrik d pada X adalah suatu fungsi bernilai real yang terdefinisi pada X  X, yaitu

d: X  X  , sedemikian sehingga untuk setiap x, y, z  X berlaku 1) d(x, y)  0.

2) d(x, y) = 0 jika dan hanya jika x = y. 3) d(x, y) = d(y, x).

4) d(x, y)  d(x, z) + d(z, y).

Suatu ruang metrik adalah pasangan (X, d) dengan X adalah himpunan dan

d

adalah sebuah metrik yang terdefinisi pada X  X. d biasa disebut fungsi jarak pada X [2].

Jarak rotasi pada setiap dua pohon biner dengan jumlah simpul yang sama adalah banyaknya rotasi yang digunakan untuk mentransformasi suatu pohon biner ke pohon biner lain. Dengan jarak tersebut, akan mengubah himpunan pohon-pohon biner menjadi sebuah ruang metrik [6].

Definisi 5.2: [3]

Diberikan dua buah pohon T, T’ ϵ Bn, jarak rotasi antara T dan T’, dinotasikan d(T, T’) adalah

banyaknya pemakaian minimum rotasi kiri pada suatu simpul u (

u) dan minimum rotasi kanan pada suatu simpul v (



1 v) yang akan mentransformasi T menjadi T’. Penggunaan

rotasi identitas tidak dihitung.

Jadi d adalah sebuah fungsi d: Bn  Bn  R bernilai tak negatif dengan daerah asal Bn  Bn.

Untuk selanjutnya cukup digunakan notasi ‘Bn’ untuk merujuk pada himpunan (Bn, d) yang

dilengkapi metrik d.

F. BEBERAPA SIFAT JARAK ROTASI

Jarak rotasi d, akan mengubah himpunan pohon-pohon biner menjadi sebuah ruang metrik. Seperti yang diberikan pada teorema berikut.

Teorema 6.1: [1]

(7)

Andaikan T dan T’ adalah dua pohon biner dari himpunan pohon biner dengan n simpul-dalam. Batas atas dari jarak rotasi antara T dan T’ adalah 2n – 2 seperti yang diberikan pada teorema berikut.

Teorema 6.2: [1]

Misalkan T, T’ ϵ Bn, dimana n ≥ 1, maka untuk setiap T, T’ ϵ Bn berlaku:

0 ≤ d(T, T’) ≤ 2n – 2 (2)

Lemma 6.3:[4]

Jika |T’| ≥ 1 dan |T”| ≥ 1, maka kita dapat menghitung barisan bobot dari perkalian (product)

dengan menggunakan barisan bobot dari pohon T’ dan T”: wT = (wT’(1), wT’(2), ..., wT’(|T’|), '

~

T , wT”(1), wT”(2), ..., wT”( |T”|) ) (3)

Bukti. Diketahui |T’| ≥ 1 dan |T”| ≥ 1, dengan |T| = |T’| + |T”| + 1. Menurut definisi 2.2, barisan bobot dari pohon T’ dan T” secara berurutan adalah

wT’ = (wT’(1), wT’(2), , wT’(|T’|)) dan

wT” = (wT”(1), wT”(2), , wT”(|T”|))

Jelas bahwa untuk setiap i  [1, |T’| ]; wT(i) = wT’(i) dan untuk setiap j  [1, |T”| ]; wT(|T’| +1 + j) =

wT”(j). Selanjutnya tinggal dihitung wT(|T’| +1), yaitu bobot dari subpohon terbesar dari T yang

simpul-luar terakhirnya |T’| +1. Subpohon dari T yang dimaksud adalah T’. Dalam pohon T, bobot simpul ini tidak masuk dalam barisan bobot pohon T’. Menurut definisi, bobot pohon T’ (sebagai subpohon dari T) adalah banyaknya simpul-luar dari pohon T’ yaitu

'

~

T

= |T’| + 1.

Jadi wT(|T’| +1) =

'

~

T

. Disimpulkan barisan bobot dari pohon T adalah:

wT = (wT(1), wT(2), , wT(|T’|), wT(|T’| + 1), wT(|T’| + 2), wT(|T’| + 3), , wT (|T’| + |T”| + 1)) = (wT’(1), wT’(2), , wT’(|T’|),

'

~

T

, wT”(1), wT”(2), , wT”(|T”|)).  T’ T” T =

(8)

Teorema 6.4: [4]

Sebuah barisan bilangan bulat wT = (wT(1),wT(2), ..., wT(|T|)) adalah barisan bobot dari suatu

pohon biner T dengan |T| = n simpul-dalam jika dan hanya jika untuk setiap

i

 [1, n] berlaku: a. 1 ≤ wT(i) ≤ i, dan

b. untuk setiap i’ ϵ [i – wT(i) + 1, i] berlaku i – wT(i) ≤ i‘ – wT(i’).

Bukti. Syarat perlu (atau bukti ke kanan) diberikan sebagai berikut. Diketahui (wT(1),wT(2), ..., wT(n)) adalah barisan bobot pohon T.

Akan dibuktikan untuk setiap i dengan 1  i  n berlaku: a. 1 ≤ wT(i) ≤ i, dan

b. untuk setiap i’ ϵ [i – wT(i) + 1, i] berlaku i – wT(i) ≤ i‘ – wT(i’).

Kasus |T| = 1 trivial. Kasus |T| = n > 1

Anggap kedua pernyataan a dan b benar untuk setiap pohon T dengan | T | < n. Akan dibuktikan kedua pernyataan a dan b benar untuk | T | = n. Karena |T| > 1, pohon T merupakan hasil kali (product) dua pohon T’ dan T” dengan |T’| = n’  1 atau |T”| = n”  1. Ini berarti n = n’ + n” + 1 sehingga menurut Lemma 6.3.

wT = (wT’(1), wT’(2), ..., wT’(n’), n’ + 1, wT”(1), wT”(2), ..., wT”(n”) )

Menurut hipotesis induksi, pernyataan a dan b berlaku untuk kedua pohon T’ dan T”. Akan dibuktikan, pernyataan berlaku pada pohon T dengan membuktikan pernyataan a dan b berlaku untuk setiap i = 1, 2, ..., n’, n’ + 1, ..., n’ + n” + 1.

Kedua pernyataan berlaku untuk pohon T’ dengan |T’|  1 artinya untuk setiap i = 1, 2, ..., n’ berlaku:

a. 1  wT’(i)  i, dan

b. apabila i’ ϵ [i – wT’(i) + 1, i] maka i  wT’(i)  i’  wT’(i’).

Tetapi untuk setiap i = 1, 2, ..., n’, wT’(i) = wT(i). Jadi pernyataan a dan b berlaku untuk pohon T

apabila i = 1, 2, ..., n’.

Mengingat untuk setiap i = 1, 2, ..., n”, wT”(i) = wT(n’ + i + 1), maka berlakunya kedua

pernyataan a dan b untuk pohon T” dengan |T”|  1 harus diartikan bahwa untuk setiap i = n’ + 2, n’ + 3, ..., n’ + n” + 1 berlaku:

a. 1  n’ + 2  wT(i)  i, dan

b. apabila i’ ϵ [i – wT(i) + 1, i] maka i  wT(i)  i’  wT(i’).

Ini berarti, kedua pernyataan a dan b untuk i = n’ + 2, n’ + 3, ..., n’ + n” + 1 berlaku pada pohon T. Tinggal dibuktikan kebenaran pernyataan a dan b untuk i = n’ + 1.

Karena n’  1, maka wT (i) = wT(n’ + 1) = n’ + 1 = i adalah bobot dari T’ sebagai

subpohon kiri dari T (yang merupakan subpohon terbesar dengan i = n’ + 1 merupakan simpul-luar terakhir). Otomatis a dan b terbukti secara trivial. Sebaliknya, jika pernyataan a dan b benar maka sebuah pohon biner dengan n simpul-dalam mudah dikonstruksi.

(9)

Lemma 6.5:

Jika terdapat simpul-luar i dan j dari suatu pohon T dengan i = j wT(j) + 1, maka terdapat suatu

subpohon dengan simpul-luar pertama i dan simpul-luar terakhir j.

Barisan bobot dari pohon biner T tidak akan melebihi barisan bobot dari suatu pohon biner T’ yang merupakan rotasi dari pohon T. Hal tersebut berdasarkan teorema berikut.

Teorema 6.6: [4]

Misalkan T, T’  Bn . T



T’ jika dan hanya jika untuk setiap i  [1, n], berlaku wT(i)

wT’(i).

Bukti. Dengan induksi pada n, dibuktikan syarat perlunya. Jika n = 1, selalu didapat i = 1 sehingga otomatis wT(i) = wT(1) = 1 = wT’(i) = wT’(i). Anggap teorema benar untuk setiap pasang

pohon S, S’ ϵ Bn. Akan dibuktikan teorema benar untuk setiap pasang pohon T, T’ ϵ Bn+1.

Misalkan T, T’ ϵ Bn+1. Hapus dua simpul-luar ke-k dan ke-(k + 1) dari pohon T yang merupakan

cabang kiri dan kanan dari satu simpul-dalam u dari T. Berdasarkan definisi rotasi (Definisi 3.1), bisa disimpulkan simpul-luar ke-k dan ke-(k + 1) dari pohon T’ juga merupakan cabang kiri dan cabang kanan dari sebuah simpul-dalam u’ dari T’. Dengan demikian, terbentuk dua pohon S, S’ ϵ Bn yang simpul-luar ke-knya masing-masing merupakan simpul-dalam u dari T dan u’ dari

T’. Jelas jika 0 ≤ i < k, maka wS(i) = wT(i)  wT’(i) = wS’(i). Selanjutnya, wT(k)= 1 = wT’(k)

sedangkan wT(k + 1)  1 = wS(k) ≤ wS’(k) = wT’(k + 1)1 sehingga wT(k + 1) ≤ wT’(k + 1).

Akhirnya, untuk setiap k + 2 ≤ i < n+1, wT(i) = wS(i  1)  wS’(i  1) = wT’(i) dan untuk i = n + 1,

wT(i) = wT’(i).

Untuk membuktikan syarat cukupnya, anggap wT  wT’ (wT(i)  wT’(i), untuk setiap i) dan

T

T’. Misalkan i bilangan bulat terkecil sedemikian sehingga wT(i) < wT’(i). Menurut definisi

2.2, 1 ≤ wT’(i) ≤ i. Karena wT(i) < wT’(i) maka wT(i) < wT’(i) ≤ i. Akibatnya wT(i) < i. Misalkan j = i –

wT(i) +1 dan k = j – wT(j – 1) . Maka menurut lemma 6.5 terdapat di dalam pohon T, yaitu

sebuah subpohon T1 yang menerima k sebagai luar pertama dan j – 1 sebagai

simpul-luar terakhir, sedangkan subpohon T2 menerima j sebagai simpul-luar pertama dan i sebagai

simpul-luar terakhir. T memuat subpohon yang bentuknya seperti pada gambar 4 (a) dimana p ≥ 1, dengan menggunakan pemakaian rotasi kiri tunggal

u menjadi subpohon yang bentuknya seperti pada gambar 4 (b) dari pohon T1.

(10)

Gambar 3. Subpohon dari pohon T dan T1.

Misalkan l bilangan bulat terbesar sedemikian sehingga j = l - wT(l) +1. Artinya, l adalah

simpul-luar terakhir dari subpohon terbesar dari T yang simpul-luar pertamanya adalah j. Karena i adalah simpul-luar suatu subpohon (belum tentu terbesar) yang simpul-luar terakhirnya j, diperoleh i ≤ l. Perhatikan, sebelum rotasi, kedua simpul-luar k dan j  1 berada di luar subpohon terbesar ini.

Setelah rotasi, barisan bobot dari T1 sama dengan barisan bobot dari

T

kecuali pada

simpul-luar

l

sebab

wT(l) = l – j + 1 <

w

T1

( )

l

= l – k + 1.

Jadi setelah rotasi

u, ada kenaikan bobot simpul-luar l sebesar j  k. Apabila proses dilanjutkan sampai terbentuk pohon T’, ada penambahan bobot paling sedikit sebesar j  k. Ini berarti subpohon terbesar dari T yang simpul-luar terakhirnya l setelah dikenai



 membesar. Setelah dikenakan



, paling sedikit satu simpul-luar j  1 masuk kedalam subpohon terbesar yang simpul-luar terakhirnya adalah l.

Menurut definisi i, untuk setiap simpul-luar i’ < i berlaku wT(i’) = wT’(i’). Karena, j  1 < i,

berlaku wT(j  1) = wT’(j  1) = j  k. Jadi bobot subpohon terbesar dari T ’ yang simpul-luar

terakhirnya j  1 adalah j  k. Padahal setelah dikenai



, simpul-luar j  1 masuk ke dalam subpohon terbesar yang simpul-luar terakhirnya l. Artinya, ada penambahan bobot terhadap subpohon dengan simpul-luar terakhir l sebesar j  k. Dari sini disimpulkan bahwa setelah dikenai



, subpohon terbesar yang simpul-luar terakhirnya l diperbesar oleh subpohon terbesar yang simpul-luar terakhirnya j  1. Dalam kasus subpohon ini adalah T1 simpul-luar

pertamanya adalah k, tetapi dalam kasus subpohon ini lebih besar dari T1, simpul-luarnya

v

u

T1 T2 p – 1

u

v

T1 T2 p (a) (b)

(11)

terletak sebelum k. Jadi k ≥ l  wT’(l) + 1 atau wT’(l) ≥ l  k + 1. Jadi l – wT’(l) ≤ k – 1. Sehingga l –

k + 1 = 1 T

w

(l) ≤ wT’(l). Karena untuk setiap i ≠ l, 1 T

w

(i) ≤ wT(i), maka 1 T

w

≤ wT’.

Jadi pohon T1 terbentuk sedemikian sehingga w

T ≤ 1 T

w

≤ wT’ dan T

T1. Dengan mengulang

proses tersebut, kita dapat menemukan barisan berhingga dari pohon-pohon Ti sedemikian

sehingga wT ≤ 1 T

w

≤ 2 T

w

≤ ... ≤ n T

w

= wT’ dan T

T1

T2

...

Tn = T’. Secara transitif: T



T’.  Teorema 6.7: [4]



adalah sebuah relasi urutan parsial dari B.

Bukti. Dengan menggunakan teorema 5.6 yaitu T



T’ jika dan hanya jika untuk setiap i ϵ [1, n], wT(i)  wT’(i) dimana T, T’ ϵ Bn. Sebab relasi

merupakan relasi urutan parsial maka dari

teorema 5.6 dapat disimpulkan bahwa



 juga merupakan relasi urutan parsial. 

Teorema 6.8: [4]

Untuk setiap n, (Bn,



* ) adalah kisi-kisi (lattice).

Bukti.Ambil T, T’, T”  Bn. Akan ditunjukkan bahwa setiap pasangan dari pohon biner T dan T’

dengan n simpul-dalam mempunyai infimum T  T’. Menurut teorema 5.6 jika T”



T maka untuk setiap i berlaku wT”(i)  wT(i) dan jika T



T” maka untuk setiap i berlaku wT”(i)

 wT’(i). Selanjutnya karena untuk setiap i berlaku wT”(i)  wT(i) dan wT”(i)  wT’(i) maka berlaku

wT”(i)  inf(wT(i), wT’(i)) untuk setiap i. Kita cukup menunjukkan bahwa wP = (inf{wT(i), wT’(i)} ); i 

[1, n] adalah barisan bobot, yaitu dengan membuktikan kondisi pada teorema 5.4. Jelas bahwa 1  inf{wT(i), wT’(i)} i. Kemudian jika i’ ϵ [i – inf{wT(i), wT’(i)} + 1, i] maka i  wT(i)  i’  wT(i’) dan i

 wT’(i)  i’  wT’(i’). Sehingga

i  inf{wT(i), wT’(i)} ≤ sup{i’  wT(i’), i’  wT’(i’)}

= i’  inf{wT(i’), wT’(i’)}.

Jadi wP = ( inf{wT(i), wT’(i)}); i  [1, n] adalah barisan bobot. Sehingga

w

TT'(i) = inf{wT(i), wT’(i)},

untuk setiap i. 

Akibat 6.9 (Meet Dua Pohon): [3]

Misalkan T’, T” Bn.. T adalah meet dari T’ dan T” dinotasikan (T = T’ T”), jika untuk setiap i

(12)

Bukti. Lihat bukti teorema 6.8 

Kecuali pada kasus sup(wT’(i), wT”(i)) = 1 atau sup(wT’(i), wT”(i)) = i, pada umumnya wT’T”(i) 

sup(wT’(i), wT”(i)). Sebagai akibatnya, pendefinisian secara konstruktif wT’T”(i) tidak bisa

langsung, memerlukan langkah-langkah seperti yang dinyatakan oleh Akibat 6.10.

Akibat 6.10 (Join Dua Pohon): [3]

Misalkan T’, T”  Bn.. T adalah join dari T’ dan T” dinotasikan (T = T’  T”). Barisan bobot wT =

(wT(1), wT(2), ...,wT(n)) dari T didefinisikan pada algoritma berikut:

Langkah 1. Untuk setiap i = 1, 2, ..., n didefinisikan vT(i) = sup(wT’(i), wT”(i)).

Langkah 2. Jika vT(i) = 1 atau vT(i) = i, definisikan wT(i) = vT(i).

Langkah 3. Sebaliknya jika vT(i) ≠ 1 dan vT(i) ≠ i, definisikan

wT(i) = i – l + 1,

dimana l = min{k – vT(k) + 1 | k  [i – vT(i) + 1, i]}.

KESIMPULAN

Pada jurnal ini, kami telah memaparkan struktur khusus dari himpunan pohon biner dengan menerapkan konsep rotasi dan beberapa sifat dapat diberikan pada pohon biner dengan bukti-bukti berdasarkan teorema dan lemma yang ada.

a. (Bn,



* ) adalah kisi-kisi (lattice), untuk setiap n.

b. Untuk setiap n, (Bn,, d) adalah sebuah ruang metrik dan untuk setiap T, T’ ϵ Bn berlaku:

0 ≤ d(T, T’) ≤ 2n – 2.

c. Untuk setiap struktur pohon biner dapat diwakili oleh sebuah barisan bobot.

d. Barisan bobot pohon biner yang diurutkan menggunakan preorder traversal dapat pula dibentuk menggunakan inorder traversal. (Barisan bobot dapat pula diurutkan menggunakan postorder traversal namun akan menghasilkan barisan bobot yang sama dengan preorder traversal).

(13)

Daftar pustaka

[1] Culik II. K., dan Wood, D., 1982, A Note On Some Tree Similarity Measures, Information Processing Letters 15, pp. 39-42.

[2] Kreyszig, Erwin, 1978, Introductory Functional Analysis With Applications, New York, John Wiley and Sons, Inc.

[3] Pallo, J. M., 1987, On The Rotation Distance In The Lattice Of Binary Trees, North-Holland, Information Processing Letters 25, pp. 369-373.

[4] Pallo, J. M., 1986, Enumerating, Ranking, and Unranking Binary Trees, The Computer Journal, vol. 29, no. 2, pp. 171-175.

[5] Rosen, H. Kenneth, 1998, Discrete Mathematics and Its Applications Fourth Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc

Gambar

Gambar 1.  Pohon biner T.
Gambar 2.  Subpohon dari pohon T 1  dan T 2 .
Gambar 3. Subpohon dari pohon T  dan T 1 .

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah membantu guru kelas memperbaiki kualitas pembelajaran dalam menumbuhkan kecerdasan naturalis melalui penerapan strategi garden

Untuk dapat mencapai tujuan kinerja perusahaan yang maksimal, para pegawai di BMT dituntut tidak hanya melaksanakan tugas formal saja, selain itu perlu dikembangkan

Tata cara pencacahan yang menyangkut rumah tangga atau badan usaha anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang berada di wilayah kesatrian dan melakukan kegiatan

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengunduran Diri Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, dan Pegawai Negeri

Di Indonesia, penelitian mengenai hubungan antara rentang tangan dan fungsi paru pada anak yang menderita penyakit asma belum pernah dilakukan Melalui penelitian

Risiko Kredit akibat kegagalan pihak lawan (counterparty credit risk) – Timbul dari jenis transaksi yang secara umum memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) transaksi

Keuntungan yang didapat bagi pasien dari segi biaya yang lebih murah karena proses penyembuhan luka yang cepat, sedangkan dampak bagi perawat adalah

Paritas terbanyak pada pasien sectio caesarea adalah yang telah melahirkan lebih dari sekali, yaitu sebanyak 206 orang (69,4%).. Mayoritas pasien sectio caesarea adalah