• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS. (Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS. (Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS

(Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh : LIVIA AMALIA NIM :11160480000020

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS

(Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/ 2021 M

i

Oleh : LIVIA AMALIA NIM :11160480000020

(3)

ii

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS

(Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh LIVIA AMALIA NIM: 11160480000020

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. JM. Muslimin, M.A. Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H. NIP. 19680812 199903 1 014 NIP. 19850610 201903 1 007

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 20 Januari 2021 , Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, Januari 2021 Mengesahkan

Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( ) NIP. 19670203 201411 1 101

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( ) NIP. 19650908 199503 1 001

3. Pembimbing I : Dr. JM. Muslimin, M.A. ( ) NIP. 19680812 199903 1 014

4. Pembimbing II : Fathudin, S.H. 5. I., S.H., M.A.Hum., M.H. ( )

NIP. 19850610 201903 1 007

6. Penguji I : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. ( ) NIP. 19591231 198609 1 003

7. Penguji II : M. Nuzul Wibawa, S.Ag., M.Hum. ( ) NIDN. 9920112985

(5)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Yang Bertanda Tangan Di Bawah Ini :

Nama :Livia Amalia

Tempat, tanggal lahir :Bekasi, 18 November 1998

NIM :11160480000020

Program Studi :Ilmu Hukum

Alamat :Kp. Cijingga No. 34 RT. 001/003 Desa. Serang, Cikarang Selatan, Bekasi

Nomor Telepon :085774784213

Email :livia.amalia16@mhs.uinjkt.ac.id

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya saya bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islan Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 02 Februari 2021

(6)

v

ABSTRAK

Livia Amalia. NIM 11160580000020. PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim), Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2020 M, ix + 62 halaman + 4 halaman daftar pustaka.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan penerapan restorative justice terhadap kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada Muhammad Rasyid Abdullah Rajasa. Adapun rumusan masalah, pertama konsep restorative justice dalam perspektif hukum pidana di Indonesia. Kedua, pertimbangan hakim pada penerapan restorative justice dalam kasus kecelakaan lalu lintas pada Ptusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/PN. Jkt. Tim.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan penelitian kasus (Case Approach) dan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal, dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim pertimbangan hakim dalam menerapkan hukum pada kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Tol Jagorawi KM 3+350 yang dialami oleh Terdakwa Muhammad rasyid Amrullah Rajasa tersebut sudah berdasarkan pertimbangan yuridis yaitu melihat dari peraturan perundang-undangan, surat dakwaan, surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, keterangan saksi dan keterangan terdakwa di dalam persidangan. Seorang hakim mengacu pada fakta-fakta yang diperoleh, dan juga dari alat bukti yang sah yang terdapat pada Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Kemudian dari penelitian ini peneliti menemukan bahwa vonis putusan yang dilakuan Majelis Hakim berupa sanksi keringanan hukuman penjara 5 (lima) bulan, dimana ada pengecualian yakni tidak usah dijalani jika tidak melakukan tindak pidana dalam masa percobaan 6 (enam) bulan adanya konsep restorative justice.

Kata Kunci : Restorative Justice, Muhammad Rasyid, Pertimbangan Hakim.

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. JM. Muslimin, M.A.

2. Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H. Daftar Pustaka : Tahun 1980 Sampai Tahun 2019

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Atas berkat rahmat, hidayat, dan juga anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS

KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis Putusan Nomor:

151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)”. Sholawat serta salam tidak lupa tercurah

oleh peneliti kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliah, kepada zaman islamiyah pada saat ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak dapat diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini.

Selanjutnya Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MH., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. JM. Muslimin, M.A. dan Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H. Pembimbing Skripsi peneliti, saya ucapkan terimakasih atas kesempatan waktu, arahan, dan kritik, serta saran yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan.

4. Kepala Urusan Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya ucapkan terimakasih telah memberikan peneliti fasilitas untuk mencari bahan bacaan dalam menyelesaikan skripsi ini.

(8)

vii

5. Kepada kedua orang tua saya Neneng Nuraeni, ayah kandung saya Emun, dan ayah sambung saya Emed, juga nenek saya Siti Masitoh dan kakek saya (Alm) H. Ahmad Nahrowi yang telah mendukung saya baik materi ataupun immateriil berupa motivasi, da’a bahkan kepercayaan untuk dapat menyelesaikan gelar sarjana ini.

6. Yunita Alnanda Sarawatari dan Sinta Nur Kholifah. saya ucapkan terimakasih kepada kakak dan adik saya yang telah memberikan semangat, memberikan dukungan secara finansial, dan selalu mendukung pilihan saya. 7. Semua pihak yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam

penyelesaian karya tulis ini.

Jakarta, Januari 2021

(9)

viii

DAFTAR ISI

COVER ... i

LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

D. Sistematika Pembahasan ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE JUSTICE DAN KEALPAAN DALAM HUKUM PIDANA ... 13

A. Kerangka Konseptual ... 13

B. Kerangka Teori ... 26

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 38

BAB III RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA ... 41

A. Restorative Justice dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia ... 41

B. Restorative Justice dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas ... 43

(10)

ix

C. Contoh Kasus Penggunaan Restorative Justice ... 46

BAB IV PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS LAKALANTAS ... 49

A. Kasus Posisi ... 49

B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim ... 50

C. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim ... 59

BAB V PENUTUP ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Rekomendasi ... 70

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan dan pelanggaran lalu lintas merupakan fenomena yang setiap hari harus dihadapi oleh masyarakat, yang setiap harinya masyarakat melakukan aktivitasnya menggunakan jalan raya. Jalan raya sudah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat, agar jalan raya berfungsi semestinya sebagai kebutuhan pokok, maka perlu adanya peraturan-peraturan tertentu mengenai ketertiban maupun keamanan guna kenyamanan dan keselamatan masyarakat yang menggunakannya.

Perkembangan di Indonesia akhir-akhir ini, terutama di kota-kota besar menunjukan adanya pembaharuan di bidang motorisasi yang begitu cepat. Salah satunya yaitu dengan begitu meningkatnya jumlah kendaraan bermotor secara begitu pesat dan tidak proposional dengan perluasan jalan raya termasuk peningkatan sarana dan prasarana yang menimbulkan masalah-masalah lalu lintas yakni kemacetan-kemacetan, pelanggaran-pelanggaran dan kecelakaan-kecelakaan lalu lintas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sejak tahun 2009 hingga 2018 pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor tiap tahunnya mencapai 9,05 persen. Tingginya kepemilikan kendaraan bermotor tidak diimbangi dengan ruas pembangunan jalan, data pertumbuhan jalan di Indonesia tercatat dari tahun 2009 hingga 2018 menunjukan persentase rerata 1,45 persen tiap tahunnya.1

Jalan raya merupakan sarana penting bagi kehidupan manusia karena segala macam aktivitas manusia sekarang ini tidak lepas dengan menggunakan mobilitas jalan raya. Oleh karena itu, pihak-pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan penggunaan jalan raya sedemikian mungkin untuk menanggulangi kecelakaan lalu lintas, dengan cara menerapkan peraturan yang telah disusun yang sebelumnya telah

1www.bps.go.id diakses pada tanggal 28 September 2020 Pukul 02.34 WIB.

(12)

disosialisasikan. Walaupun dengan demikian, dalam kenyataannya masih banyak masalah-masalah di jalan raya yang sulit dan belum dapat ditanggulangi.2

Akhir-akhir ini kasus kecelakaan lalu lintas sangat memprihatinkan baik secara kualitas maupun kuantitas. Dalam sebuah kasus kecelakaan lalu lintas seringkali tidak hanya mengakibatkan luka-luka ringan maupun berat saja, tetapi juga tidak sedikit yang menimbukan kematian. Sepanjang tahun 2020 meskipun tingkat kecelakaan lalu lintas pada pekan ke-31 mengalami penurunan 10,06 persen dibandingkan dengan pekan sebelumnya, yaitu pada pekan ke-31 tercatat data yang dihimpun oleh Korlantas Polri sebanyak 974 kasus dengan korban meninggal dunia sebanyak 189 orang, luka-luka berat sebanyak 142 orang, dan luka-luka ringan sebanyak 1170 orang dengan kerusakan material sebesar 1.675.500.000 rupiah. Sedangkan pada pekan sebelumya jumlah kasus kecelakaan lalu lintas yakni pada pekan ke-30 sebanyak 1.083 kasus dengan korban meninggal dunia 200 orang, korban luka berat 135 orang, dan yang mengalami luka ringan 139 orang dengan kerugian material sebesar 1.958.801.700 rupiah.3

Pada hari Selasa tanggal 1 Januari 2013, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita kecelakaan yang mengakibatkan kematian. Kecelakaan lalu lintas di Tol Jagorawi, KM 3+350 yang mengakibatkan 3 (tiga) korban luka ringan dan 2 (dua) korban tewas yaitu Harun (57 tahun) dan Raihan (14 bulan). Kecelakaan lalu lintas ini terjadi bermula ketika kedua mobil berada di jalur paling kanan. Mobil Daihatsu Luxio berada di depan, lalu tiba-tiba ditabrak oleh mobil BMW hingga pintu samping mobil Daihatsu Luxio terbuka dan penumpang jatuh hingga kedua penumpang tewas. Penyebab utama kecelakaan itu, yaitu merupakan putra bungsu Hatta Rajasa yang pada saat itu sedang menjabat sebagai Menteri Perekonomian

2Marjan Miharja, Diversi dan Restoratif Justice dalam Penanganan Kecelakaan Lalu

Lintas, (Pasuruan: Qiara Media, 2019) h.3.

3 https://otomotif.kompas.com/read/2020/08/06/082200515/kasus-kecelakaan-lalu-lintas-di-indonesia-diklaim-turun-10-persen diakses pada tanggal 28 September 2020 Pukul 03.09 WIB.

(13)

pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu M. Rasyid Amrullah Rajasa.

Pelaku sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Adpaun pelanggaran yang telah dilakukan oleh putra bungsu Hatta Rajasa ini. Pertama, kelalaian dalam berlalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan barang/kendaraan (Pasal 310 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, ayat (2) dan ayat (3) menyebutkan perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh M. Rasyid, yaitu kelalaian dalam berlalu lintas yang menimbulkan kecelakaan dengan korban luka ringan dan kerusakan barang/kendaraan ayat (2) dan kelalaian dalam berlalu lintas yang menyebabkan kecelakaan dengan luka berat ayat (3). Pengadilan Negri Jakarta Timur sudah memvonis pelaku 5 (lima) bulan kurungan dengan hukuman percobaan 6 (enam) bulan serta denda 12 juta subsider enam bulan kurungan, penetapan hukuman kurungan tidak akan dijalankan kecuali apabila dalam kurun 6 (enam) bulan pelaku melakukan pidana kembali.4

Sebagian besar kecelakaan lalu lintas diakibatkan oleh kesalahan dan kelalaian manusia (human error). Ketidak-taatan pengemudi/pengendara pada peraturan lalu lintas adalah sebagai penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut, disamping buruknya karakter pribadi pengemudi/pengendara seperti ingin menang sendiri, tak peduli atas orang lain sehingga orang lain menjadi susah karenanya, selain itu penyebab lain adalah mau untung sebanyak-banyaknya walaupun harus mencelakakan orang lain.5

Salah satu fungsi hukum yaitu sebagai sarana perubahan masyarakat, fungsi ini mengandung arti bahwa hukum itu menciptakan pola-pola masyarakat. Pola-pola tersebutlah yang tentunya harus mampu mendukung terciptanya suatu kondisi yang menjunjung pembangunan di berbagai

4Lihat Putusan Pengadilan No:151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. h. 2.

5Marjan Miharja, Diversi dan Restoratif Justice dalam Penanganan Kecelakaan Lalu

(14)

sektor. Di setiap negara hukum pelaku penyimpangan aturan hukum diharuskan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya, suatu perbuatan dapat dipidana apabila perbuatan hukum tersebut memenuhi unsur kesalahan yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang. Mengenai sistem peradilan di Indonesia, sekarang ini dinilai masih belum sesuai dengan harapan masyarakat. Banyak kritikan yang dilontarkan dan kerap menimbulkan keputusan para pencari keadilan terhadap sistem peradilan di Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat menginginkan agar lembaga peradilan dapat memberikan keadilan kepada masyarakat yang tepat dan sesuai.6

Keadilan tidak dapat tercapai, apabila kepastian hukum terpenuhi, karena subjek hukum tertentu dapat dihukum tanpa memperhatikan terlebih dahulu, apakah tindakan yang dianggap suatu pelanggaran atau kejahatan, yang memang merupakan suatu delik.7 Keterkaitan antara nilai keadilan dengan kepastian hukum sangat erat, yakni memberikan perlindungan yang bermanfaat terhadap hak-hak setiap individu, dimana hal tersebut dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang seadil-adilnya.

Dalam hukum pidana di Indonesia biasanya penyelesaian perkara menekankan pada penerapan retributive justice. Pendekatan retributive justice ini perlu direformasi yaitu dengan alternatif penyelesaian masalah pidana dengan penekanan pada pemulihan masalah/konflik dan pengambilan keseimbangan masyarakat yakni dengan restorative

justice.8Sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai masih bersifat offender

oriented, yaitu terlalu mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa sebagaimana yang dikemukakan oleh Andi Hamzah:

6Muhammad Rusli, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2006), h.180.

7E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan

Antinomi Nilai, (Jakarta: Januari, 2007), h. 101.

8Ali Sodikin, Restorative Justice daalam Tindak Pidana Pembunuhan: Persfektif Hukum

(15)

“Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupashal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban. Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya akibat suatu kejahatan”.9

Akibat sistem peradilan pidana yang cenderung offender oriented, maka diperlukannya konsep penyelesaian diluar sistem peradilan pidana. Solusi yang ditawarkan, yaitu penyelesaian perkara pidana dengan konteks keadilan restorative justice (keadilan restoratif). Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu konsep yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan bagi pelaku dan korban.10 Konsep restorative justice yaitu suatu konsep penyelesaian masalah/konflik yang terjadi dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana yang terjadi (korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku, masyarakat, dan penengah).11

Mark S Umbreit menyatakan bahwa keadilan restoratif memberi kerangka kerja yang sangat berbeda dalam menanggapi kejahatan. Pihak-pihak yang terkena langsung oleh kejahatan, yakni korban, anggota masyarakat dan pelaku yang melakukan tindak pidana dianjurkan untuk memegang peran aktif dalam proses peradilan. Dari pada menitikberatkan pada penghukuman terhadap pelaku, lebih baik menitikberatkan pada pemulihan kehilangan baik emosi maupun materiil.12

Restorative justice mengupayakan me-restore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang paling penting adalah sense of

9Dikdik M. Arief Mansur & Elisatri Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

antara Norma dan Realita, (Jakarta: Raja Grafindo, 2008), h.25.

10Bambang Waluyo, Viktimologi perlindungan korban dan saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 58.

11Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2010), h.2.

12Muhammad. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat & Biaya Ringan Menuju Keadilan

(16)

control (rasa dari control). Dengan menganut paradigma restorative justice, diharapkan kerugian dan penderitaan yang dialami oleh korban dan keluarganya dapat dipulihkan oleh si pelaku, dan juga beban rasa bersalahpelaku kejahatan berkurang karena telah mendapatkan maaf dari korban atau keluarganya.13 Dengan adanya pemahaman seperti ini,

penegakan hukum memberi ruang partisipasi antar korban dan pelaku dalam bentuk kesepakatan yang bisa merestorasi hubungan keduanya sebagaimana sebelum terjadinya tindak pidana.

Mengingat adanya pendekatan restorative justice pada penyelesaian tindak pidana pada lakalantas di Indonesia pada umumnya, mendorong peneliti untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam penerapan hukum dan pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas dikaitkan dengan konsep restorative justice ke dalam sebuah penelitian skripsi yang berjudul “PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE

DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim)”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Adapun beberapa permasalahan yang ditemukan dalam penelitian ini diantaranya:

a. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap peraturan lalu lintas. b. Belum adanya Undang-Undang yang mengatur jelas tentang

restorative justice.

c. Perbedaan pendapat antara Jaksa dan Hakim mengenai penerapan hukum terhadap perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. d. Pemidanaan di Indonesia yang masih mengedepankan retributive

justice disbanding restorative justice.

(17)

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas terdapat banyak masalah yang teridentifikasi, agar penelitian lebih terfokus pembahasannya maka membuat peneliti membatasi masalahnya hanya pada penerapan restorative justice dan pertimbangan hakim dalam menyelesaikan kasus tindak pidana lakalantas dalam perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang sudah dipaparkan, maka perumusan masalah yang diangkat oleh peneliti yaitu tentang penerapan restorative justice dan pertimbangan hakim dalam menyelesaikan kasus tindak pidana lakalantas dalam perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. Untuk mempertegas dan mempermudah perumusun masalah, peneliti uraikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana konsep restorative justice dalam perspektif hukum pidana di Indonesia?

b. Bagaimana penerapan restorative justice dalam kasus kecelakaan lalu lintas sebagaimana menurut Putusan Pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/PN. Jkt. Tim?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dan pengetahuan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui penerapan restorative justice terhadap kasus

perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.

b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus perkara

(18)

2. Manfaat Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, secara garis besar manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Adapun dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber atau bahan kajian mengenai penyelesaian tindak pidana melalui restorative justice.

b. Manfaat Praktis

Bagi kalangan akademisi dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah guna untuk mengembangkan pengkajian dan pembahasan lebih mendalam mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkara menggunakan prinsip teori hukum restorative justice, dan bagi masyarakat luas, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan wawasan dan pemahaman baru lagi.

D. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu proses dari kegiatan mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan menganalisis suatu data dalam sebuah peristiwa. Untuk memperoleh suatu hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif sering juga disebut sebagai penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah perundang-undangan menurut doktrin positivisme.14

2. Pendekatan Penelitian

14 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dan

(19)

Pendekatan kasus (Case Approach) bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam peraktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.15 Pendekatan kasus (Case Approach) digunakan kalangan praktisi dalam melakukan penelitian dengan mengidentifikasi putusan-putusan pengadilan yang telah berkualifikasi yurisprudensi untuk digunakan dalam perkara konkret.16

Selanjutnya pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekataan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan Undang-Undang-Undang-Undang, atau antar Undang-Undang-Undang-Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lain.17

3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan oleh penulis pada penelitian iniada dua sumber bahan hukum, antara lain:

a. Bahan Hukum Primer

Sumber bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas dan mengikat, berupa peraturan perundang-undangan.18 Adapun dalam penelitian ini penulis mengambil bahan hukum primer dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, KUHP, KUHAP, dan salinan putusan pengadilan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.

15Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h.321.

16I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016) h.165.

17Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), h.93

18Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), h.141.

(20)

b. Bahan Hukum Sekunder

Sumber bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang diperoleh dari sumber bukan asli yang memuat informasi. Biasanya berupa doktrin, pendapat hukum, atau teori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, juga website yang terkait dengan penelitian. Bahan hukum sekunder ini bermanfaat untuk memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan untuk mrmahami atau menganalisis bahan hukum primer.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yang mempelajari pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai hukum pidana, tindak pidana kealpaan, restorative justice dan lakalantas.Studi pustaka ialah teknik pengumpulan data dengan mengumpulkan data melalui buku-buku, literatur-literatur, jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen, atau hasil penelitian yang selaras dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini.

5. Teknik Pengolahan Bahan Hukum

Dalam pengolahan bahan hukum dalam penilitian ini yaitu menggunakan metode kualitatif, yakni dengan cara mengumpulkan bahan hukum sebanyak-banyaknya yang kemudian diolah dan dijadikan kesatuan bahan hukum untuk mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materi yang relevan dengan permasalahan lalu dikomparasikan yaitu dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Kemudian sumber-sumber hukum tersebut di klasifikasikan agar memudahkan dalam menganalisa.

6. Teknik Analisa Bahan Hukum

Proses analisis bahan hukum yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode normatif-kualitatif. Bahan hukum yang sudah di klasifikasikan dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder kemudian dilakukan analisa dengan cara menguraikan isi dalam bentuk penafsiran dan argumentasi rasional untuk

(21)

mempertahankan gambaran yang sudah diperoleh. Selanjutnya penulis juga menggunakan metode analisis deduktif, yaitu dengan cara menganalisis bahan hukum yang bertitik tolak dari bahan hukum yang bersifat umum kemudian ditarik pada kesimpulan yang khusus.

7. Teknik Penulisan

Dalam penyusunan penulisan proposal skripsi ini, penulismerujuk pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang Diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.

E. Sistematika Pembahasan

Pembahasan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab-bab agar dapat memudahkan para pembaca untuk memahami isi dari penelitian ini, yang terdiri dari:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan latar belakang masalah, pokok permasalahan yang menjadi acuan dalam penelitian ini yaitu identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumasan masalah, Terdapat juga tujuan dari penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan dalam penelitian ini.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE

JUSTICE, DAN KEALPAAN DALAM HUKUM

PIDANA

Dalam bab ini dibagi menjadi tiga sub bab pembahasan, sub bab yang pertama memaparkan mengenai tindak pidana kealpaan yang menjelaskan terkait pengertian tindak pidana kealpaan dan teori-teorinya. Sub bab kedua yaitu memaparkan terkait restorative justice dan yang terakhir yaitu sub bab ketiga yaitu memaparkan mengenai lakalantas.

(22)

BAB III : RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM

PIDANA INDONESIA

Dalam bab ini terdiri dari dua sub bab pembahasan. Pertama menjelaskan mengenai restotarive justice dalam penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas, yang kedua menjelaskan mengenai restotarive justice dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

BAB IV : PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE

DALAM KASUS LAKALANTAS

Dalam bab ini terbagi menjadi tiga sub bab pembahasan, Pertama adalah terkait pemaparan kronologi kasus, kedua menjelasakan tentang pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. ketiga menjelaskan tentang analisis penulis terhadap pertimbangan hakim.

BAB V : PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan atas pertanyaan penelitian yang telah diajukan dan rekomendasi atas penelitian ini.

(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE JUSTICE DAN KEALPAAN DALAM HUKUM PIDANA

A. Kerangka Konseptual

Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep-konsep terkait beberapa istilah yang akan sering digunakan, sehingga dalam hal ini peneliti mencoba untuk memberikan berbagai konseptual dalam rangka menyederhanakan pemahaman terhadap penelitian ini berupa:

1. Penerapan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian penerapan adalah perbuatan menerapkan, sedangkan menurut beberapa ahli, penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya. Menurut Usman, penerapan (implementasi) adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan.1 Menurut Setiawan penerapan (implementasi) adalah

perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif.2

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kata penerapan (implementasi) bermuara pada aktifitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa penerapan (implementasi) bukan sekedar aktifitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara

1 Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, (Jakarta: Grasindo, 2002), h.70.

2 Guntur Setiawan, Implementasi dalam Birokrasi Pembangunan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), h. 39.

(24)

sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.

Penerapan atau penegakan hukum menurut pendapat Soerjono Soekanto adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.3 Dalam hal penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam

pemberantasan korupsi, Satjipto Rahardjo berpandangan bahwa pada umumnya kita masih terpaku cara penegakan hukum yang konvensional, termasuk kultur. Hukum yang dijalankan berwatak liberal dan memiliki kultur liberal yang hanya menguntungkan sejumlah kecil orang (privileged few) di atas “penderitaan” banyak orang. Untuk mengatasi ketidakseimbangan dan ketidakadilan itu, kita bisa melakukan langkah tegas (affirmative action). Langkah tegas itu dengan menciptakan suatu kultur penegakan hukum yang beda, sebutlah kultur kolektif. Mengubah kultur individual menjadi kolektif dalam penegakan hukum memang bukan hal yang mudah.4

Sudikno Mertokusumo,5 mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, sehingga hukum harus dilaksanakan secara normal, damai, tetapi dapat terjadi pula pelanggaran hukum, sehingga hukum harus ditegakkan agar hukum menjadi kenyataan. Dalam penegakan hukum mengandung tiga unsur, pertama kepastian hukum (rechtssicherheit), yang berarti bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku dan tidak boleh menyimpang, atau dalam pepatah meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan (fiat justitia et pereat mundus). Hukum harus dapat menciptakan kepastian hukum

3 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983), h. 3.

4 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2007), h. 142-143. 5 Sudikno mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005), h.160.

(25)

karena hukum bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Kedua kemanfaatan (zweekmassigkeit), karena hukum untuk manusia maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai justru karena hukumnya diterapkan menimbulkan keresahan masyarakat. Ketiga keadilan (gerechtigheit), bahwa dalam pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus adil karena hukum bersifat umum dan berlaku bagi setiap orang dan bersifat menyamaratakan. Tetapi hukum tidak identik dengan keadilan karena keadilan bersifat subyektif, individualistic dan tidak menyamaratakan.

Andi Hamzah mengemukakan penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris Law Enforcement, bahasa Belanda rechtshandhaving. Beliau mengutip Handhaving Milieurecht, 1981, Handhaving adalah pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan instrumen administratif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individual. Handhaving meliputi fase law enforcement yang berarti penegakan hukum secara represif dan fase compliance yang berarti preventif.6

2. Restorative Justice

Restorative justice atau Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Restorative justice adalah salah satu upaya alternatif penyelesaian perkara pidana yang menekankan pada pemulihan masalaah/konflik dan pengambilan keseimbangan masyarakat. Konsep ini menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan

(26)

korban, dan dengan tujuan meminimalisir over capacity rutan.Restorative justice pada dasarnya merupakan proses damai yang melibatkan mereka yang memiliki peranan dalam suatu tindak pidana tertentu dan secara kolektif diidentifikasikan menderita kerugian, dan sekaligus mempunyai kebutuhan, serta kewajiban, dengan maksud sedapat mungkin untuk memulihkannya dan memperlakukannya sebaik mungkin.

Beberapa pengertian restorative justice yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain:

a. Menurut Braithwaite bahwa restorative justice lebih berkaitan dengan usaha penyembuhan atau pemulihan, daripada menderitakan, pembelajaran moral, partisipasi masyarakat, dan kepedulian masyarakat, dialog yang saling menghormati, pemaafan, tanggungjawab, permintaan maaf, dan mengganti kerugian.7

b. Menurut Tony F. Marshall seorang ahli kriminologi mengatakan bahwa restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara berama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.8

c. Menurut Howad Zahr keadilan restoratif adalah proses untuk melibatkan dengan menggunakan segala kemungkinan, selaku pihak terkait dan pelanggaran tertentu dan untuk mengidentifikasi serta menjelaskan ancaman, kebutuhan dan kewajiban dalam rangka menyembuhkan serta menempatkan hal tersebut sedapat mungkin sesuai dengan tempatnya.9

7John Braithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation, (New York: Oxford University Press, 2002), h. 11.

8Mahmud Siregar dkk, Pedoman Praktis Melindungi Anak Dengan Hukum Pada Situasi

Emergensi Dan Bencana Alam, (Medan: Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA), 2007), h.

34.

(27)

Restorative justice telah berkembang secara global diseluruh dunia. Dibanyak negara, restorative justice menjadi satu dari sejumlah pendekatan penting dalam kejahatan dan keadilan yang secara terus menerus dipertimbangkan di sistem peradilan dan undang-undang. Sesuai dengan penyebaran proses ini di seluruh dunia maka timbul beberapa inovasi yang memang terbuka untuk restorative justice. Lebih memudahkan restorative justice memandang bahwa:

a. Kejahatan adalah pelanggaran terhadap rakyat dan hubungan antar warga masyarakat.

b. Pelanggaran menciptakan kewajiban.

c. Keadilan mencakup para korban, para pelanggar, dan warga masyarakat di dalam suatu upaya untuk meletakkan segala sesuatunya secara benar.

d. Fokus sentralnya: para korban membutuhkan pemulihan kerugian yang dideritanya (baik secara fisik, psikologis, dan materi) dan pelaku bertanggung jawab untuk memulihkannya (biasanya dengan cara pengakuan bersalah dari pelaku, permohoanan maaf dan rasa penyesalan dari pelaku dan pemberian kompensasi atau restitusi).10

Selama ini penggunaan proses Restorative Justice di Indonesia didasarkan pada diskresi dan diversi ini merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana keluar proses formal untuk diselesaikan melalui musyawarah. Pada dasarnya penyelesaian masalah dan sengketa melalui jalan musyawarah bukan merupakan hal asing bagi masyarakat Indonesia. sejak sebelum Belanda datang ke Indonesia hukum adat yang merupakan hukum asli Indonesia, sudah menggunakan jalan musyawarah untuk menyelesaikan segala macam sengketa, baik perdata maupun pidana dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangan atau memulihkan keadaan. Dimana pada dasarnya sistem ini telah sesuai

10Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial

(28)

dengan tujuan dari sistem peradilan pidana itu sendiri yang dirumuskan oleh Madjono sebagai berikut:11

a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan

c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Bagir Manan berpendapat, bahwa prinsip dalam sistem Restorative Justice yaitu: “membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat untuk menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai stakeholders yang bekerjasama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win win solution).”12

Pada suatu proses restoratif, kepentingan-kepentingan korban adalah jauh bersifat sentral dibanding dalam proses-proses hukum acara pidana saat ini. Di beberapa negara telah mengadopsi suatu legislasi yang menetapkan hak-hak prosedural yang dimiliki oleh korban sepanjang suatu proses hukum acara pidana atau proses dari hukum acara pidana remaja.13 Bentuk atau variasi penerapan restorative justicemerupakan praktik yang sebagian dari tradisi dalam masyarakat atau hasil dari penelitian dan perjalananpanjang dari contoh yang diambil sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan kasus pidana di luar peradilan.

11Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana-Perspektif Eksistensialisme dan

Abolisionisme, (Bandung: Binacipta, 1996), h.15.

12Bagir Manan, Restorative Justice (suatu perkenalan) dalam buku Refleksi dinamika

hukum rangkaian pemikiran dalam dekade terakhir, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2008),

h. 4.

13Rufinus Hitmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejhatan Korporasi Melalui

(29)

Bentuk praktik restorative justice yang telah berkembang di negara Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand, dimana bentuk ini dapat dikelompokan dalam empat jenis praktik yang menjadi pioner penerapan restorative justice dibeberapa negara yaitu, Victim Offender Mediation, Conferencing/Family Group Conferencing, Circles dan Restorative Board/Youth Panels. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1) Victim Offender Mediation, dalam pelaksanaan dilakukan nya VOM yaitu memberi penyelesaian terhadap perstiwa yang terjadi, diantaranya dengan membuat sanksi alternatif bagi pelaku atau untuk melakukan pembinaan ditempat khusus bagi pelanggaran yang benar-benar serius. Dalam bentuk dasarnya proses ini melibatkan dan membawa bersama korban dan pelakunya kepada satu mediator yang mengkoordinasi dan memfasilitasi pertemuan.Sasaran dari VOM yaitu proses penyembuhan terhadap korban dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk bertemu dan berbicara secara sukarela serta memberi kesempatan pada pelaku belajar terhadap akibat dari perbuatannya itu serta membuat rencana penyelesaian kerugian yang terjadi.14

2) Conferencing/Family Group Conferencing. Yaitu memiliki tujuan mendapatkan kejelasan dari peristiwa yang terjadi dengan memberi semangat kepada pelaku, mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ke masyarakat dan pertanggung jawaban bersama.15 Sasarannya memberikan kesempatan kepada

korban untuk terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan sanksi yang tepat bagi pelaku serta mendengar secara langsung

14Marlina, Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan

Restorative Justice,(Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 184.

15Marlina, Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan

(30)

penjelasan dari pelaku tentang pelanggaran yang terjadi. Kemudian meningkatkan kepedulian pelaku atas akibat perbuatannya kepada orang lain serta memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab penuh atas perbuatannya. Terakhir adalah memberikan kesempatan korban dan pelaku untuk saling berhubungan dalam memperkuat kembali tatanan masyarakat yang sempat terpecah karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.

3) Circles. Bentuk restorative justice ini memiliki tujuan untuk membuat penyelesaian terhadap suatu tindak pidana dengan mempertemukan korban, pelaku, masyarakat dan pihak lainnya yang berkepentingan dengan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran yang ingin dicapai melalui proses circles adalah terlaksananya penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan memberi kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya dengan tanggung jawab penyelesaian kesepakatan. Masyarakat digugah untuk peduli terhadap permasalahan anak ada disekitarnya dan mengawasi penyebab dari tindakan yang besangkutan.16

4) Restorative Board/Youth Panels.Pada bentuk yang satu ini restoratif memiliki tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa dan pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau masyarakat. Sasarannya adalah peran serta aktif anggota masyarakat secara langsung dalam proses peradilan tindak pidana, kemudian memberi kesempatan kepada korban dan anggota masyarakat melakukan dialog secara langsung dengan pelaku. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut pelaku melakukan pertanggungjawaban secara langsung atas tindakan yang telah dilakukannya.17

16Marlina, Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan

Restorative Justice, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h.192.

17Marlina, Perlindungan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan

(31)

3. Kecelekaan Lalu Lintas

Di dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat UU LLAJ) didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedang yang dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang diperuntukan bagi gerak pindah kendaraan, orang dan/atau barang yang berupa jalan atau fasilitas pendukung. Operasi lalu lintas di jalan raya ada empat unsur yang saling terkait yaitu pengemudi, kendaraan, jalan dan pejalan kaki. Pemerintah mempunyai tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien melalui menajemen lalu lintas dan rekayasa lalu lintas. Tata cara berlalu lintas di jalan diatur dengan peraturan perundangan menyangkut arah lalu lintas, prioritas menggunakan jalan, lajur lalu lintas, jalur lalu lintas dan pengendalian arus dipersimpangan. Menurut H.W. Heinrich Kecelakaan merupakan tindakan tidak direncanakan dan tidak terkendali, ketika aksi dan reaksi objek, bahan, atau radiasi menyebabkan cidera atau kemungkinan cidera.18 Menurut D.A. Colling sebagaimana dikutip oleh Marc M. Schneier sebagai tiap kejadian yang tidak direncanakan dan terkontrol yang dapat disebabkan oleh manusia, situasi, faktor lingkungan, ataupun kombinasi-kombinasi dari hal-hal tersebut yang mengganggu proses kerja dan dapat menimbulkan cederaataupun tidak, kesakitan, kematian, kerusakan Properti ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya.19

Menurut F.D. Hobbs mengungkapkan kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya. Kecelakaan tidak hanya meliputi trauma cidera, ataupun kecacatan

18H.W. Heinrich, Industrial Accident Prevention : A Safety Management Approach, (New York: McGrawHill, 1980), h. 22.

19Marc M. Schneier, CONSTRUCTION ACCIDENT LAW : A Comprehensive Guide to

(32)

tetapi juga sering kali menyebabkan kematian. Kasus kecelakaan sangat sulit untuk diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan. Secara teknis kecelakaan lalu lintas didefinisikan sebagai suatu kejadian yang disebabkan oleh banyak faktor yang tidak disengaja (Random Multy Factor Event) yang artinya penyebab kecelakaan itu sendiri bukan dikarenakan kesengajaan dari si pelaku itu sendiri, melainkan kelalaian dari si pelaku.20

Menurut Pasal 1 ayat (24) UULLAJ Tahun 2009 menentukan sebagai berikut : “Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Menurut Pasal 229 UULLAJ Tahun 2009 menentukan sebagai berikut:

1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas : a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang c. Kecelakaan Lalu Lintas berat

2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat. 5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh

20F.D Hobbs, Perencanaan dan Tehnik Lalu Lintas, Terjemahan oleh : Suprapto, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 474.

(33)

kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.

Sedangkan korban kecelakaan lalu lintas adalah manusia yang menjadi korban akibat terjadinya kecelakaan lalu lintas, berdasarkan tingkah keparahan korban kecelakaan dibedakan menjadi 3 macam yaitu:

1) Korban meninggal dunia atau mati 2) Korban luka berat

3) Korban luka ringan

Klasifikasi kecelakaan pada dasarnya dibuat berdasarkan tingkat keparahan korban, dengan demikian kecelakaan lalu lintas dibagi dalam 4 macam kelas sebagai berikut :

1) Klasifikasi berat Apabila terdapat korban yag mati (meskipun hanya satu orang) dengan atau korban luka-luka berat atau ringan.

2) Klasifikasi sedang Apabila tidak terdapat korban yang mati namun dijumpai sekurangkurangnya satu orang mengalami luka-luka berat.

3) Klasifikasi ringan Apabila tidak terdapat korban mati dan luka luka berat dan hanya dijumpai korban yang luka ringan saja. 4) Klasifikasi lain-lain Apabila tidak ada manusia yang menjadi

korban hanya berupa kerugian materiil saja baik berupa kerusakan kendaraan, atau fasilitas lain.21

Secara umum, terdapat 3 faktor utama penyebab kecelakaan, yaitu Faktor Pengemudi, Faktor Kendaraan, dan Faktor Lingkungan Jalan. Namun dewasa ini yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan pada

21Pengertian Dan Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas. WWW. Google. Com, Diakses Pada Hari Sabtu Tanggal 12 September 2020, Jam 02.03.

(34)

umumnya tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan hasil interaksi antara berbagai faktor lain, yaitu:22

a. Faktor Pengemudi : kondisi fisik pengemudi merupakan faktor utama yang menjadi penyebab kecelakaan seperti kondisi fisik (mabuk, lelah, sakit, dan sebagainya), kemampuan mengemudi, penyebrang atay pejalan kaki yang lengah.

b. Faktor kendaraan : kondisi kendaraan tidak fit, terdapat modifikasi, kerusakan pada kendaraan.

c. Faktor Lingkungan : kondisi jalan, lubang, penerangan kurang, jalan licin, marka lalu lintas minim.

d. Faktor Cuaca : hujan, kabut, asap, salju.

4. Kealpaan

Kealpaan berasal dari kata culpayang berarti kesalahan pada umumnya. Dalam ilmu pengetahuan hukum memiliki arti yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sifatnya bertingkat-tingkat, ada orang yang melakukan suatu pekerjaan sangat berhati-hati, ada yang kurang lagi ada yang lebih kurang lagi.23

Kealpaan (culpa) dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi.

Menurut pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kealpaan adalah barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)

22F.D Hobbs, Perencanaan dan Tehnik Lalu Lintas, Terjemahan oleh : Suprapto, h. 474. 23Debi Aris Siswanto & Marjan Miharja, Tinjauan Diversi Dan Restorative Justice Dalam

Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Pelaku Anak Yang Menyebabkan Korban Meninggal Dunia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, (Pasuruan: Qiara Media, 2019), h. 8.

(35)

menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Kealpaan juga diartikan bahwa terdakwa tidak bermasud melangar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu, sehingga tidak berhati-hati dan menimbulkan keadaan yang dilarang. Moeljanto berpendapat kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.24Berdasarkan pada keterangan KUHP tersebut kejahatan kealpaan dapat dipahami terjadi bukanlah semata-mata seorang menentang larangan tersebut dengan justru melakukan yang dilarang itu. Tetapi dia tidak begitu mengindahkan larangan, hal ini nyata dari perbuatannya. Hal tersebutlah sehingga oleh Moeljatno disebut dengan gecompliceerd.

Pada prinspinya seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya tanpa disertai “de nodige en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid” atau tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh karena itu maka menurut Simons, culpa itu pada dasarnya mempunyai dua unsur masing-masing yakni “het gemis aan voorzichtigheid” dan “het gemis van de voorzienbaarheid” atau “tidak adanya kehati-hatian” dan “kurangnya perhatian terhadap akibat yang dapat timbul”. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Van Hamel, sebagaimana dikutip Moejatno bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu: pertama, tidak mengadakan praduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. Kedua, tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.25

Selain apa yang telah disebutkan di atas, ada pula yang disebut dengan culpa atau kelalaian / kealpaan yang dalam doktrin hukum

24Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,1993), h. 201. 25Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,1993), h. 217.

(36)

pidana dikenal sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan yang disadari atau bewute schild. Faktor terpenting dalam unsur ini adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu, atau pelaku kurang berhati-hati. Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan. Oleh sebab itu, untuk mempertanggujawabkan perbuatan, hubungan batin terdakwa dengan akibat yang timbul harus dibuktikan adanya hubungan kausal sehingga dapat ditentukan kesalahannya.

B. Kerangka Teori

Konsep teori merupakan bagian terpenting dalam membantu memecahkan masalah. Adanya peran konsep menjadikan peneliti lebih memahami serta melakukan pembatasan dalam rangka menjawab setiap permasalahan yang timbul. Sebelum dilakukan penelitian, peneliti sudah mempunyai gambaran, harapan, jawaban atau bayangan tentang apa yang akan ditemukannya melalui penelitian yang dimaksud.

Menurut Muchyar Yahya teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang mempelajari berbagai aspek teoritis maupun praktis dari hukum positif tertentu secara tersendiri dan dalam keseluruhannya secara interdisipliner, yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih baik, lebih jelas, dan lebih mendasar mengenai hukum positif yang bersangkutan.26 Selain itu, Bruggink mengartikan teori hukum adalah : “suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian penting dipositifkan”.27

Selanjutnya teori-teori yang dipergunakan sebagai alat untuk menjelaskan masalah yang telah diidentifikasi, yakni sebagai berikut:

1. Teori Pemidanaan

26Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001), h. 87. 27Salim, HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 20.

(37)

Pemidanaan didalam hukum Indonesia merupakan suatu cara atau proses untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman untuk seseorang yang telah melakukan tindak pidana ataupun pelanggaran. Pemidanaan adalah kata lain dari sebuah penghukuman. Menurut Prof. Sudarto, bahwa penghukuman berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukum” atau “memutuskan tentang hukumanya”.28 Dalam artian disini menetapkan hukum tidak hanya

untuk sebuah peristiwa hukum pidana tetapi bisa juga hukum perdata. Pemidanaan adalah suatu tindakan terhadap seorang pelaku kejahatan, dimana pemidanaan ditujukan bukan karena seseorang telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa. Jadi dari pernyataan diatas bisa kita simpulkan bahwa pemidanaan ataupun penghukuman itu adalah sebuah tindakan kepada para pelaku kejahatan yang mana tujuannya bukan untuk memberikan balas dendam kepada para pelaku melainkan para pelaku diberikan pembinaan agar nantinya tidak mengulangi perbuatannya kembali.

Teori pemidanaan dapat digolongkan dala tiga golongan pkok yaitu golongna teori pembalasan, golonngan teori tujuan, dan golongan teori gabungan.

a. Teori Pembalasan

Teori pembalasan atau juga bisa disebut dengan teori absolut adalah dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi orang lain maka si pelaku kejahatan pembalasannya adalah harus diberikan penderitaan juga.29 Teori pembalasan ini menyetujui pemidanaan karna

seseorang telah berbuat tindak pidana. Pencetus teori ini adalah Imanuel Kant yang mengatakan “Fiat justitia ruat coelum” yang

28 Muladi dan Barda Nawawi, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), h.1.

29 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 105.

(38)

maksudnya walaupun besok dunia akan kiamat namun penjahat terakhir harus tetap menjalakan pidananya. Kant mendasarkan teori ini berdasarkan prinsip moral dan etika. Pencetus lain adalah Hegel yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah tantangan kepada hukum dan keadilan. Karena itu, menurutnya penjahat harus dilenyapkan. Sedangkan menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran tuhan karena itu harus dilakukan pembalasan kepada penjahat.30

Jadi dalam teori ini adalah pembalasan itu ditujukan untuk memberikan sebuah hukuman kepada pelaku pidana yang mana nantinya akan memberikan efek jera dan ketakutan untuk mengulangi perbuatan pidana tersebut. Teori pembalasan atau teori absolut dibagi dalam dua macam, yaitu:31

1) Teori pembalasan yang objektif, berorientasi pada pemnuhan kepuasan dari perasaan dendam dari kalangan masyarakat. Dalam hal ini perbuatan pelaku pidana harus dibalas dengan pidana yang berupa suatu bencana atau kerugian yang seimbang dengan kesengsaraan yg diakibatkan oleh si pelaku pidana. 2) Teori pembalasan subjektif, berorientasi pada pelaku pidana.

Menurut teori ini kesalahan si pelaku kejahatanlah yang harus mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yg besar disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka si pembuat kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.

b. Teori Tujuan

Berdasarkan teori ini, pemidanaan dilaksanakan untuk memberikan maksud dan tujuan suatu pemidanaan, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat perbuatan

30 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 142. 31 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 142.

(39)

kejahatan tersebut. Dalam hal ini teori ini juga dapat diartikan sebagai pencegahan terjadinya kejaatan dan sebagai perlindungan terhadap masyarakat. Penganjur teori ini yaitu Paul Anselm van Feurbach yang mengemukakan “hanya dengan mengadakan ancaman pidana pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan pemjatuhan pidana kepada si penjahat”. Mengenai tujuan – tujuan itu terdapat tiga teori yaitu : untuk menakuti, untuk memperbaiki , dan untuk melindungi. Yang dijelaskan sebagai berikut:32

1) Untuk menakuti;

Teori dari Anselm van Feurbach, hukuman itu harus diberikan sedemikian rupa, sehingga orang takut untuk melakukan kejahatan. Akibat dari teori itu ialah hukuman yang diberikan harus seberat – beratnya dan bisa saja berupa siksaan.

2) Untuk memperbaiki;

Hukuman yang dijatuhkan dengan tujuan untuk memperbaiki si terhukum sehingga sehingga di kemudian hari ia menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan tidak akan melanggar peraturan hukum.

3) Untuk melindungi;

Tujuan pemidanaan yaitu melindungi masyarakat terhadap perbuatan kejahatan. Dengan diasingkannya si penjahat itu untuk semntara, maka masyarakat akan diberikan rasa aman dan merasa di lindungi oleh orang- orang yang berbuat jahat tersebut. Jadi dalam teori tujuan yang lebih modern memilki artian bahwa pemidanaan memebrikan efek jera kepada si pelaku agar tidak berbuat tindak pidana lagi.

c. Teori Gabungan

(40)

Teori gabungan ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut dan teori relatif yang belum dapat memberi hasil yang memuaskan. Aliran ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat secara terpadu.33 Artinya penjatuhan pidana beralasan pada dua alasan yaitu sebagai suatu pembalasan dan sebagai ketertiban bagi masyarakat.

Adapun teori gabungan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:34 1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi

pembalsan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya diperthankan tat tertib masyarakat. 2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyrakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari perbuatan yang dilakukan terpidana.

Teori gabungan yang menitik beratkan pada pemblasan ini didukung oleh Zevenbergen yang bependpat bahwa:35

“makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tat tertib hukum, sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan pada hukum dan pemerintah. Oleh sebab itu pidana baru dijatuhkan jika jika memang tidak ada jalan lain untuk memperthankan tata tertib hukum itu”.

Jadi menitik beratkan pada pembalasan itu artinya memberikan hukuman atau pembalsan kepada penjahat dengan tujuan untuk menjaga tata tertib hukum agarsupaya dimana masyarakat ataupun kepentingan umumnya dapat terlindungi dan terjamin dari tindak pidana kejahatan. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib hukum didukung antara lain oleh Simons dan Vos. Menurut Simons, dasar primer pidana yaitu pencegahan

33 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.19.

34 Adami Chazaw, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). h. 162. 35 Adami Chazaw, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). h. 162.

(41)

umum dan dasar sekundernya yaitu pencegahan khusus. Dalam artian pidana primer ialah bertujuan pada pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidananya dlam undang-undang, apabila hal ini tidak cukup kuat atau tidak efektif dalam hal pencegahan umum, maka barulah diadakan pencegahan khusus yang bertujuan untuk menakut-nakuti, memperbaikin dan membuat tidak berdayanya penjahat. Dalam hal ini harus diingat bahwa pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan undang-undang atau berdasarkan hukum dari masyarakaat.36

Jadi teori gabungan yang mengutamakan perlindungan dan tata tertib hukum ini dalam artian memberikan keadilan bagi para korban kejahatan demi melindungi hak hak mereka, dan untuk penhat sendiri bertujuan memberikan efek jera agar tidak mengulangi perbuatan kejahatannya kembali.

Jenis-jenis Pemidanaan berdasarkan ketentuan yang ada di KUHP menyangkut tentang sanksi pidana atau jenis pemidanaan hanya terdapat 2 macam hukuman pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.37 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 10 berbunyi sebagai berikut, Pidana terdiri atas:

1. Hukuman pokok (hoofd straffen): a. Pidana Mati

b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Pidana denda

2. Hukuman tambahan (bijkomende straffen): a. Pencabutan hak-hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu c. Pengumuman Putusan Hakim

36 Adami Chazaw, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). h. 163. 37 M. Najih, Pengantar Hukum Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), h.177.

(42)

Pidana pokok adalah hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas dari hukuman hukuman-hukuman lain. Sedangakan pidana tambahan adalah hukuman yang hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok.

2. Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum dengan penegakan hukum secara tegas adalah melalui kekuasaan kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum yang melalui putusannya dapat menjadi tolok ukur tercapainya suatu kepastian hukum.

Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya suatu Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak

Referensi

Dokumen terkait

Tahapan Penelitian pada Gambar 3, dapat dijelaskan sebagai berikut, Tahap Analisis Kebutuhan dan Pengumpulan Data: Pada tahapan ini dilakukan analisis terhadap

Penelitian lain mengenai bioplastik pati yang pernah dilakukan adalah (Riza et al ., 2013) dengan judul “Sintesa Plastik Biodegradable dari Pati Sagu dengan Gliserol dan

Dua tahap penelitian dilakukan untuk mengevaluasi penambahan enzim cairan rumen domba dalam menurunkan kandungan serat kasar kulit buah kakao (KBK) dan mengevaluasi ketercernaan

Obligasi ini tidak dijamin dengan suatu agunan khusus dan tidak dijamin oleh pihak ketiga manapun dan tidak termasuk dalam Program Jaminan Pemerintah Terhadap

Sebagai orang tua juga berperan dalam mengajarkan anak untuk toleransi dan membiasakan selalu mengajarkan kepada anak untuk berbuat baik kepada teman, tidak mengejek dalam bermain,

Pemerian dari etanol yaitu merupakan cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak, memiliki bau yang khas dan rasa yang panas.. Mudah terbakar

Program Gerak Gempur Bengkel Bersama Industri, Auto Count Sdn Bhd, menggunapakai AutoCount Computerized Accounting diadakan demi meningkatkan kefahaman tentang

Berdasarkan analisis yang dilakukan, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pergantian manajemen, opini audit dan kesulitan keuangan ( financial distress ) tidak