• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Konseling Pastoral Antarbudaya. Alkitab memberi kesaksian secara tertulis kepada orang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. Konseling Pastoral Antarbudaya. Alkitab memberi kesaksian secara tertulis kepada orang"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB II

Konseling Pastoral Antarbudaya

A. Konseling Pastoral: Suatu Refleksi Alkitabiah

Alkitab memberi kesaksian secara tertulis kepada orang Kristen bahwa pelayanan pastoral kepada orang-orang sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru. Musa, misalnya, selain sebagai pemimpin bangsa Yahudi juga menjadi pengantara antara umat dan Allah (Ulangan 14:11 dan seterusnya). Musa juga berupaya mendamaikan pertengkaran di antara umat dan memelihara kesejahteraan mereka dengan mengangkat para hakim. Musa juga memimpin umat untuk mengakui segala dosa mereka kepada Allah. Di dalam pengakuan dosa tersebut, umat Allah merasa bersalah dan memohon berkat Allah untuk pemulihan keutuhan pribadi mereka yang telah dirusak oleh dosa.1

Tuhan Yesus, di dalam Perjanjian Baru, melayani umat dengan penyembuhan- penyembuhan fisik untuk mendemonstrasikan kehadiran Allah di tengah-tengah umatNya. Ada satu hal yang sangat menarik di dalam pelayanan Yesus. Ketika Yesus menyembuhkan orang yang lumpuh, di sana Ia mengeluarkan suatu pernyataan yang secara langsung berhubungan dengan kesembuhan jasmani dan rohani (Lukas 5:17-26). Rasul Paulus juga memberikan

▸ Baca selengkapnya: sebutkan contoh melayani yang tertulis di alkitab

(2)

2 nasehat kepada orang Kristen di Korintus yang terlibat perselisihan antar jemaat (I Korintus 3:1-9). Di situ Paulus melakukan pelayanan pastoral bagi pertumbuhan rohani dan juga kesembuhan batin di antara jemaat yang berselisih.2

Seorang penulis buku Biblical Approaches to Pastoral

Counseling, Donald Capps menyebutkan tiga pedoman pastoral yang

bersumber dari Alkitab untuk pendampingan pastoral, antara lain:3

a. Mazmur: Mazmur, khususnya mazmur ratapan, menunjukkan proses pengungkapan emosional (pendekatan kepada Allah, keluhan, ungkapan kepercayaan, permohonan, kata-kata penghiburan dan penguatan (assurance), dan janji untuk memuji). Dalam Mazmur ini titik beratnya adalah pada emosi. Dengan demikian, ketika pendamping memberikan ke-sempatan bagi penderita untuk mengungkapkan emosinya melalui empati, ia akan menerapkan fungsi menyembuhkan dan menopang ataupun mengutuhkan.

b. Amsal menunjukkan cara berkomunikasi yang banyak menekankan nasihat dan teguran. Bagian ini memberi perhatian pada aturan-aturan moral kehidupan, menekankan pengembangan moral seseorang dan tanggung jawab moral dari mereka yang membina orang lain. Membimbing adalah sesuai dengan pendekatan ini.

c. Perumpamaan-perumpamaan dalam Perjanjian Baru menunjukkan pendekatan metaforis (ibarat) Yesus dalam mengarahkan. Pendekatan ini berfokus pada perubahan perspektif total. Melalui pendekatan ini, keluar kesamaan dan ketidaksamaan. Dua-duanya penting (mis. Kerajaan Allah sama dengan benih, tetapi sekaligus juga bukan). Tekanannya adalah pada perubahan perspektif emosional lalu tingkah laku yang menyusul. Pendekatan ini paling mencerminkan fungsi mengutuhkan karena cerita/kisah dapat dipakai secara tidak langsung, tidak mengancam penderita dan menghargai pengalamannya.

Selain itu, Alistair Campbell menyampaikan tiga tema alkitabiah untuk pelayanan pastoral dengan menekankan pada fungsi-fungsi pastoral, antara lain:4

1. Memimpin dan membimbing: fungsi ini menurut Campbell dibutuhkan untuk menolong mereka yang sedang mengalami ketidakadilan atau krisis sosial.

2 Ibid.

3 Lihat Donald Capps, “Biblical Approaches to Pastoral Counseling”, dikutip dari Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, op. cit., 36.

4 Alistair Campbell, “Dictionary of Pastoral Care and Counseling”, dikutip dari Aart Van Beek, ibid., 37.

(3)

3

2. Menyembuhkan dan memulihkan/memperbaiki. Dalam Wahyu 7:17 menyebutkan gembala dan domba adalah satu; Yesaya 53:5 menyebutkan Mesias dibicarakan sebagai hamba yang menderita. Dalam pengertian ini gembala ikut menderita sebagai “penyembuh yang terluka”.

3. Mengasuh dan menopang: Yohanes 21:15 mengemukakan Yesus memberi Petrus tugas mengasuh domba-dombanya. Dalam pengertian ini pendamping menjadi seseorang yang menciptakan ketenangan dan suasana yang baik untuk perkembangan dan pendewasaan.

Dalam melakukan konseling pastoral terdapat hal penting lainnya yang dikemukakan Alkitab yang perlu diperhatikan, yakni: Matius 9: 36; 14:14; 15:32; I Petrus 5:2, yaitu tentang shared

compassion (bela rasa). Pelayanan pastoral itu adalah bela rasa.

Ketika Yesus melihat orang-orang Israel yang berserakan seperti domba yang tak bergembala, maka jatuhlah belas-kasihanNya. Markus 10:42-45 memberi penekanan tentang pengorbanan bagi sebuah pelayanan sebagai inti dari bela rasa, sebagaimana Yesus telah menunjukkan kepada manusia bahwa Ia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang. Dengan demikian, bela rasa harus menjadi inti atau bahkan hakikat kewibawaan.5

Kewibawaan yang diperoleh melalui bela rasa itu memungkinkan seseorang (konselor) menembus dinding-dinding pemisah: jabatan, kelompok ras, umur, kekayaan dan bahkan agama. Matanya menjadi jeli dan melihat dengan tepat orang lain yang membutuhkan, telinganya untuk mendengarkan keluh-kesah dan masalah yang dihadapi oleh sesamanya yang tertindas.6 Dengan

5 Lihat Mesach Krisetya, Kepemimpinan Pastoral, op. cit. 6 Ibid., 25

(4)

4 demikian, kewibawaan bela rasa adalah kemampuan manusia untuk mengampuni saudaranya, karena pengampunan hanya menjadi nyata bagi orang yang sudah menemukan kelemahan kawan-kawannya dan dosa musuh-musuhnya di dalam hatinya sendiri, dan bersedia menerima semua orang sebagai saudaranya sendiri.7

Proses konseling pastoral yang mengedepankan bela rasa seperti uraian di atas merupakan tindakan praktis konseling pastoral yang sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitabiah. Jika dalam ilmu konseling pastoral terdapat 6 fungsi, yang oleh Van Beek menggunakan istilah pendampingan pastoral, antara lain: fungsi membimbing, mendamaikan/memperbaiki hubungan, menopang/ menyokong, menyembuhkan, mengasuh, dan mengutuhkan8 atau fungsi konseling pastoral seperti yang dikemukakan oleh Totok S. Wiryasaputra, yakni menyembuhkan (healing), membimbing (guiding), menopang (sustaining), memperbaiki hubungan (reconciling) dan membebaskan (liberating, empowering, capacity

building)9 dilihat secara teologis, maka fungsi-fungsi tersebut memiliki nilai-nilai alkitabiah seperti yang dikemukakan oleh Capps maupun Campbell di atas. Dengan menjalankan fungsi konseling pastoral tersebut, konselor sesungguhnya telah menolong manusia yang menderita ke arah pengutuhan, langkah demi langkah. Peran

7 Lihat Nouwen, “Wounded”, dikutip oleh Mesach Krisetya, ibid., 25-26. 8 Lihat Aart Van Beek, Ibid., 13-15.

(5)

5 seorang konselor seperti demikian menunjuk kepada tindakan yang pro-hidup/kemanusiaan.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa melalui konseling pastoral, keprihatinan terhadap kemanusiaan dan pembebasan atas ketidakberdayaan manusia karena masalah-masalah yang digelutinya adalah bagian dari karya Allah di dunia. Allah turut menyatakan karya penyelamatanNya melalui orang-orang yang melakukan peran konseling pastoral, seperti pendeta yang terlatih dan terampil untuk memberikan penghiburan, penguatan dan pembebasan kepada umatNya yang menderita. Dua tokoh Alkitab yang dicontohkan oleh Gunawan dan Capps di atas merupakan stereotipe bagi pendeta dalam menjalankan tugas konseling pastoral. Hal penting yang bisa dipelajari dari mereka, antara lain: Musa sebagai sosok pemimpin yang mendamaikan pertengkaran diantara umat Israel, dan menyatukan hubungan mereka dengan Allah yang rusak akibat perilaku buruk. Selain itu, Yesus dengan karya penyelamatan yang ditunjukkan melalui tindakan keberpihakan terhadap orang-orang yang tertindas, sakit secara jasmani dan rohani, sampai rela mengorbankan diriNya untuk membebaskan manusia dari dosa. Pola pelayanan yang dilakukan Yesus itu adalah pelayanan yang bersifat eksistensial (bandingkan Lukas 10:25-37). Jika Musa dan Yesus, seperti yang dicontohkan sebelumnya telah melakukan tindakan-tindakan yang mencintai hidup dan memanusiakan manusia maka

(6)

6 selayaknya setiap orang yang bekerja, khususnya pendeta sebagai pelaksana tugas konselor pastoral harus dapat melanjutkan karya Musa dan Yesus untuk menghadirkan sukacita bagi jemaat yang dilayaninya. Terlebih lagi, pendeta dapat menjadi konselor pastoral antarbudaya yang mampu menjalankan fungsi konseling pastoral secara efektif dan tertanggungjawab, antara lain dapat menyembuhkan (healing), membimbing (guiding), menopang/ menyokong (sustaining), memperbaiki hubungan/mendamaikan (reconciling) dan membebaskan (liberating, empowering, capacity

building) kehidupan jemaatnya yang terpuruk secara spiritual dan

jasmaniah karena problem hidup yang melingkupi mereka.

Agar dapat memberikan pelayanan pastoral yang komprehensif kepada jemaatnya, GMI mengamanatkan para pendetaNya untuk tidak hanya menjadi pengkhotbah, tetapi juga pembimbing atau gembala. Hal ini seperti yang dikemukakan dalam disiplin GMI pasal 61, poin 5 dan 7, tentang tugas-tugas kependetaan, antara lain: pendeta bertugas mengunjungi rumah anggota jemaat untuk memberikan bimbingan sebagai penggembalaan kerohanian kepada anggota-anggota jemaat dan kepada orang lain (5); pendeta bertugas membimbing dan mendidik pemuda-pemudi mengenai pernikahan, keluarga Kristen dan keluarga bertanggung jawab (7).10 Adapun tugas-tugas kependetaan di atas merupakan bagian dari tugas konseling pastoral yang hendak dilakukan oleh pendeta-pendeta

(7)

7 GMI. Agar dapat melakukan tugas-tugas itu dengan baik, maka para pendeta sebaiknya dapat menjadi orang yang terlatih dan terampil untuk menjadi konselor pastoral, sehingga pelayanannya bagi gereja Tuhan maksimal.

B. Konseling Pastoral Antarbudaya

Dalam ilmu konseling, istilah konseling antarbudaya adalah hal biasa, namun konseling pastoral antarbudaya sangat jarang ditemukan istilah demikian. Tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan untuk mengkonsepkan suatu pengertian tentang konseling pastoral antarbudaya. Totok S. Wiryasaputra, dalam bukunya konseling antarbudaya memberi definisi tentang konseling antarbudaya adalah interaksi antar manusia yang berlangsung dalam perjumpaan eksistensial, antar orang yang berlatarbelakang budaya yang berbeda. Pada perjumpaan tersebut terjadi proses pendampingan untuk menangani persoalan psikososial sebagai perwujudan dari kepedulian kepada sesama dalam suka dan duka hidupnya secara utuh dan penuh sekaligus diberlakukan usaha

prevention dan post-vention. Adapun pendampingan yang terjadi bisa

dalam suasana yang kurang atau tidak formal, kurang atau tidak terstruktur, bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.11 Berdasarkan pada pandangan Wiryasaputra itu, maka dapat dikatakan bahwa proses konseling pastoral antarbudaya yang

(8)

8 berlangsung dalam suasana interaktif dan care dapat memberikan hasil yang memuaskan baik bagi konselor maupun konseli.

Mengacu pada pandangan konseling antarbudaya menurut Wiryasaputra di atas, maka dapat didefinisikan pengertian konseling pastoral antarbudaya adalah perjumpaan eksistensial antara konselor dan konseli dari latar belakang budaya yang berbeda-beda, yang membutuhkan pertolongan di tengah persoalan yang dihadapi. Adapun pertolongan yang diberikan kepada sesama bersifat utuh mencakup jasmani, mental, sosial, dan rohani. Selain itu, pertolongan tersebut bertujuan untuk membimbing, menopang, menyembuhkan, mendamaikan, membebaskan dan memberdayakan sebab Allah yang adalah Pencipta bersifat merawat dan memelihara dengan baik.12 Melibatkan Allah dalam konseling pastoral antarbudaya adalah hal yang penting karena lewat kehadiran Allah, suatu proses pembaharuan akan terjadi antar konselor dan konseli melalui karya Roh Kudus. Lewat peristiwa itu persoalan yang dihadapi konseli dapat dijadikan sebagai suatu refleksi kritis atas realitasnya dan melaluinya konseli tertolong melalui kasih yang sungguh dari si pendamping, sebagai wujud kasih Allah. Pandangan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Lartey tentang definisi teologi pastoral yaitu suatu refleksi yang kritis, interpretif,

12 Lihat Totok S. Wiryasaputra, Ready to Care, op.cit.; juga Aart Van Beek,

(9)

9 konstruktif dan ekspresif terhadap tindakan-tindakan kepedulian Allah dan komunitas manusia.13

Dalam konseling pastoral antarbudaya, konselor berada dalam proses dan mengalami kebudayaan yang mengalami proses, menghadapi penderita yang juga berada dalam proses dengan kebudayaan yang juga berproses. Ketika menghadapi kebudayaan yang berbeda, tidak mungkin setiap pendamping mengetahui ataupun menguasai kebudayaan yang beragam di suatu tempat sehingga dapat mengetahui pandangan hidup tertentu. Agar dapat berproses dengan baik dalam konteks yang beragam itu, seorang konselor harus peka pada waktu dan tempat manapun. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Lartey, bahwa ketika menghadapi kebudayaan yang berbeda dibutuhkan kepekaan konselor terhadap variasi pandangan hidup setiap orang dalam budayanya.14 Selain itu, menurut Wiryasaputra, dalam menghadapi konteks keberagaman budaya itu, seorang konselor harus memiliki pilihan untuk menggunakan strategi antarbudaya.15

Dalam strategi antarbudaya, perbedaan dan kesamaan ditempatkan secara sejajar dan seimbang. Hal ini berarti perspektif partikularitas dan universalitas harus dipertimbangkan secara seimbang. Hal ini sebabkan oleh keduanya terlibat dalam proses perjumpaan konseling yang dinamis, organis, dan sistemik. Selain

13 Lihat Emmanuel Y. Lartey, Pastoral Theology in an Intercultural World (Britain: Epwoerth, 2006), 14.

14 Ibid., 58.

(10)

10 itu, konselor dan konseli dalam strategi antarbudaya berinterelasi dan berinteraksi, saling memasuki dan dimasuki, saling menggunakan dan digunakan, saling menyadari, mengakui, menghormati, dan menerima keperbedaan sebagaimana adanya. Konselor yang masuk, hadir secara penuh dan utuh dalam latar belakang budaya yang berbeda namun tidak kehilangan identitas budayanya sendiri. Itulah yang disebut dengan empati antarbudaya, yakni empati dalam ranah kognisi, emosi dan psikomotorik. Empati dalam pengertian holistik, fisik, mental, spiritual dan sosial.16

Sejalan dengan pandangan Wiryasaputra, Mayeroff mengemuka-kan bahwa ketika berada bersama untuk orang lain, penolong sebenarnya tidak kehilangan identitas sendiri. Identitas sendiri tetap dipertahankan, tetapi sang penolong harus menyadari sepenuhnya akan tanggapannya kepada yang ditolong dan dunianya. Keberadaan dari orang yang ditolong diberlakukan sederajat dengan sang penolong. Dengan begitu sang penolong dapat merasakan keterpecahan orang yang ditolong dari dalam sehingga dapat menolongnya keluar dari kebingungan dan keterpecahannya itu.17 Menolong orang lain (konseli) adalah inti dari proses konseling pastoral antarbudaya. Dengan demikian, agar dapat menjadi penolong yang baik maka proses empati dari konselor terhadap konseli harus benar-benar lahir dari nurani dan bukan dibuat-buat.

16 Ibid., 78.

17 Lihat Milton Mayeroff, Mendampingi Untuk Menumbuhkan (Yogyakarta: Jakarta, Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1993), 53.

(11)

11 Dalam empati antarbudaya, menurut Wiryasaputra, konselor tidak hanya berusaha memahami keperbedaan melainkan kesamaan. Secara dialektis dapat dikatakan ada kesamaan dalam perbedaan atau perbedaan dalam kesamaan, keuniversalan dalam keunikan atau keunikan dalam keuniversalan. Menghadapi perbedaan budaya itu konselor diharapkan menyiapkan motivasi, pikiran, perasaan dan psikomotoriknya sedemikian rupa sehingga secara terbuka menghayati dan menerima kesamaan dan perbedaan yang ada sebagaimana adanya.18

Selanjutnya dikemukakan Wiryasaputra bahwa dalam strategi antarbudaya konselor dan konseli saling menggunakan dan digunakan untuk perubahan, pertumbuhan, menuju situasi baru yang lebih baik, sejahtera secara utuh dan penuh. Bahkan dalam strategi antarbudaya konselor dan konseli melalui proses konseling mungkin menciptakan kesamaan atau bahkan perbedaan baru agar hidup konselor maupun konseli terasa lebih indah, berfungsi, penuh dan utuh.19 Selain itu, dalam strategi antarbudaya konselor tidak hanya melintasi batas budaya melainkan juga masuk, tinggal bersama dengan, dalam dan untuk konseli, memahami dan menghayati dunia konseli sebagaimana adanya menurut kacamata budayanya dan menerima perbedaan dan sekaligus kesamaan itu untuk perubahan dan pertumbuhan baik bagi konselor sendiri maupun konseli yang membutuhkan pertolongan. Dalam konseling

18 Totok S. Wiryasaputra, Konseling Antarbudaya, op.cit. 19 Ibid., 79.

(12)

12 antarbudaya dimungkinkan terjadinya proses saling menukar nilai, sistem, dan sebagainya. Namun semuanya berjalan secara alamiah, tidak dipaksakan, prosesual dan terjadi pada waktu yang tepat.20 Pandangan seperti ini hendak menegaskan bahwa dalam konseling pastoral antarbudaya, konselor maupun konseli harus memainkan perannya dengan aktif. Kedua pihak merupakan subyek yang saling melengkapi untuk menciptakan suasana yang damai, bahagia, dan bebas dari masalah yang membelenggu kehidupan konseli. Dalam hal mengatur kesepakatan tentang waktu pelaksanaan konseling pastoral antarbudaya pun, konselor dan konseli harus menyepakatinya secara bersama. Sejak awal konselor dan konseli sudah membicarakan dan membuat semacam kontrak hingga kapan konseling pastoral antarbudaya tersebut akan dilaksanakan. Tentunya hal ini dilakukan berdasarkan kebutuhan dan persetujuan konseli karena berhubungan dengan persoalan privasinya.

Adapun durasi waktu yang efektif dalam setiap konseling pastoral antarbudaya adalah adalah 45 menit. Waktu kebersamaan dengan konseli saja tidak cukup untuk memahami konseli secara utuh dan menolongnya, karena kehidupan konseli sangat kompleks berkaitan dengan masa lalu, budaya yang melekat padanya, kondisi saat ini dan harapan atau pergumulan masa depannya baik terhadap diri sendiri maupun sekitarnya. Untuk itu dibutuhkan kerjasama dengan pihak keluarga, kerabat dan rekan terdekat yang

(13)

13 mengenal kehidupan konseli dengan baik agar konselor dapat mendampingi konseli dengan maksimal dengan segala keberadaannya menuju kepada suatu pertumbuhan. Bila dalam jangka waktu konseling tersebut ditemukan kesulitan yang tidak dapat ditangani oleh konselor, konselor dapat merujuk konseli atas persetujuan konseli kepada pihak yang lebih berkompeten, misalnya psikiater, psikolog atau dokter.

Strategi antarbudaya juga memungkinkan konselor dan konseli menciptakan perjumpaan dan komunikasi eksistensial sejati antar manusia. Melalui proses interelasi, interaksi, dan intertransaksi, konselor tidak hanya memberi melainkan juga menerima, memperoleh pemahaman, nilai, sikap, bahkan mungkin kepercayaan baru yang dapat dipakai olehnya untuk mengubah dan menumbuhkan diri. Dengan begitu secara tidak langsung konselor dapat menjadi manusia baru sebagaimana dia menolong konseli menjadi manusia baru. Terlebih lagi dalam strategi antarbudaya konselor dan konseli memperlakukan diri dan diperlakukan sebagai subyek sejati.21

Melakukan konseling pastoral dengan mengedepankan prinsip antarbudaya adalah suatu proses yang penting karena dengan strategi antarbudaya dapat meminimalisir konflik antar konselor dan konseli. Dalam situasi apapun, konflik karena perbedaan gampang sekali terjadi. Lingenfelter dan Mayers dalam pandangannya tentang

(14)

14 konflik mengatakan bahwa perbedaan merupakan faktor yang mudah untuk menciptakan konflik karena orang sering menganggap bahwa prioritas perilaku pribadi mereka memiliki kekuatan moral sehingga mereka menghakimi orang yang berbeda pendapat dengan mereka sebagai orang tercela, pemberontak atau tidak bermoral. Ketika penilaian pribadi itu menjadi penilaian sosial dan dipegang oleh banyak orang, maka masyarakat memaksa individu-individu mengikuti sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.22 Jika setiap individu dengan hak dan budaya privasinya tidak dapat dihargai karena faktor dominasi, maka tindakan seperti demikian tidak dapat menjadi sarana untuk mensukseskan jalannya konseling pastoral antarbudaya. Dengan demikian, proses konseling pastoral antarbudaya akan berjalan dengan baik apabila perbedaan dilihat sebagai kekayaan (anugerah Tuhan) yang dimiliki setiap individu dalam budaya dan bukan benih bagi munculnya konflik antar sesama.

Yesus sebagai sosok yang menjadi teladan bagi konselor Kristen sudah memberi banyak pelajaran tentang pelayanan di tengah perbedaan budaya itu. Hal ini seperti yang disaksikan Alkitab, Lukas 2:7 “Ia datang sebagai bayi yang tidak berdaya” selanjutnya hidup di tengah manusia untuk memahami manusia dan keberadaannya dan menyelamatkan manusia dari dosa. Selain itu, Yesus belajar bahasa dan budaya Yahudi (Lukas 2:46). Anak

22 Lihat Sherwood G. Lingenfelter dan Marvin K. Mayers, Menggeluti Misi

(15)

15 Allah belajar bahasa, budaya dan cara hidup masyarakatNya sendiri selama tiga puluh tahun, sebelum Ia memulai pelayananNya. Ia mengetahui segala sesuatu tentang kehidupan berkeluarga dan masalah-masalah yang mereka hadapi. Ia belajar membaca dan mempelajari Kitab Suci Allah di Sinagoge setempat dan mendapat pengakuan sampai Ia dipanggil „Rabi‟. Ia beribadah bersama mereka dalam sinagoge mereka, mengikuti perayaan Paskah setiap tahunnya dan perayaan-perayaan lainnya dalam Bait Suci di Yerusalem. Ia mengidentifikasi diriNya secara total dengan mereka, kepada siapa Ia diutus dan menyebut diriNya sebagai Anak Manusia. Selanjutnya, Lingenfelter dan Mayers menyebut cara Yesus ini merupakan suatu proses inkarnasi.23 Dari pandangan keduanya, maka dapat dikatakan bahwa ketika Yesus berinkarnasi segala hal yang berkaitan dengan konflik dan ketegangan dapat diminimalisir atau dijembatani. Bahkan melalui tindakan Yesus itu konflik karena faktor perbedaan budaya dapat didamaikan.

Di samping itu, terdapat sifat pelayanan Yesus lainnya yang inklusif seperti yang digambarkan oleh Boss, yaitu pelayanan yang melintasi perbedaan dan klaim kebenaran sepihak. Pelayanan yang inklusif itu mencakup: yang miskin dan yang kaya, yang tertindas dan yang menindas, yang berdosa dan yang saleh, melenyapkan keterasingan dan menghancurkan tembok-tembok kebencian, misi

(16)

16 yang melintas batas-batas antara individu dan kelompok, maupun budaya (Yahudi dan bukan Yahudi).24

Pola pelayanan Yesus tersebut menjadi contoh untuk terhindar dari prasangka kebudayaan yang eksklusif. Biasanya prasangka kebudayaan yang dimiliki bersama dalam komunitas menjadi suatu kesepakatan umum yang digunakan untuk melindungi diri dari orang lain. Melalui kesepakatan ini, perilaku orang lain diatur dan menolak mereka yang tidak mau menyesuaikan diri. Selanjutnya adalah menganggap cara yang dipakai adalah yang paling tepat dan dibutakan akan kemungkinan ada cara lain yang berbeda atau menerapkan perilaku baru yang mungkin bermanfaat bagi orang lain.25 Apabila karena faktor kebutaan budaya, seperti yang disebutkan itu, merupakan pemicu timbulnya konflik antar konselor dengan konseli maka konselor harus dapat berinkarnasi di dalam budaya dan kehidupan konseli yang dilayani. Dengan begitu konselor dapat menyatu secara utuh dengan konseli dan keduanya dapat saling berelasional.

Selanjutnya dalam konseling pastoral antarbudaya, “meneladani Allah”, seperti yang Paulus katakan dalam Efesus 5:1: “hidup…dalam kasih” (Efesus 5:2), dalam budaya yang dilayani adalah hal penting bagi suksesnya suatu konseling pastoral. Meneladani Allah yang dimaksud disini adalah meneladani inkarnasi

24 Lihat David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang

Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 41, 138.

(17)

17 Kristus. Kristus yang “dalam rupa manusia” tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Ia tidak hanya menjadi seorang Yahudi, tapi juga seorang hamba di antara orang Yahudi (Filipi 2:6-7).26 Dengan pola Yesus seperti itu, hal penting yang dapat diambil sebagai pelajaran bagi konselor pastoral antarbudaya adalah memberlakukan kasih kepada konseli. Ketika konselor dapat mengasihi konseli, maka ia bersedia untuk memasuki budaya konseli seperti anak-anak belajar menggunakan bahasa mereka, makan makanan yang mereka makan, tidur dimana mereka tidur, dan belajar apa yang mereka pelajari. Dengan kata lain, konselor meninggalkan “penjara” privasinya dan masuk ke dalam “penjara” konseli, selanjutnya berpartisipasi penuh di dalam proses bersama konseli. Jika proses inkarnasi dalam kasih dapat diberlakukan, maka tindakan tersebut merupakan suatu jalan untuk menuju pada keberhasilan konseling pastoral antarbudaya.

Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka dalam melakukan konseling pastoral di tengah konteks jemaat yang multikultural/plural tidak dapat mengabaikan esensi dari kebudayaan manusia. Hal ini disebabkan oleh kebudayaan itu merupakan hal mendasar yang menyatu dalam perilaku kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan pengertian kebudayaan menurut Koentjaraningrat yaitu “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan

(18)

18 milik diri manusia dengan belajar”,27 sehingga apapun yang merupakan hasil dari belajar itu pada akhirnya merupakan ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu.28 Selanjutnya Koentjraningrat mengemukakan bahwa dalam budaya itu sendiri terdapat 7 unsur yang bersifat universal, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian.29 Dari ketujuh unsur itu, Wiryasaputra kemudian menambahkan 2 unsur tambahan yang berkaitan dengan konseling yaitu sistem permakanan dan sistem pertolongan.30

Ketujuh unsur kebudayaan Koentjaraningrat ditambah 2 unsur tambahan Wiryasaputra tidak lain adalah hasil dari interaksi manusia dengan lingkungannya. Menurut Wiryasaputra, interaksi itu merupakan kreativitas yang sangat bernilai, berguna, sekaligus ada juga yang berbahaya.31 Karena unik dan kompleksnya unsur-unsur yang menjadi satu dalam eksistensi manusia yang disebut kebudayaan itu, maka hal-hal yang mengarah kepada kesalahpahaman mudah terjadi jika tidak ada upaya untuk saling mengerti dan memahami perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Dengan demikian, upaya untuk memahami

27 Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1981), 180.

28Lihat Carol R. Ember dan Melvin Ember, “Perkenalan dengan Antropologi”, dalam

T.O. Ihromi, (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), 7.

29 Lihat Koentjaraningrat, op. cit., 203.

30 Lihat Totok S. Wiryasaputra, Konseling Antarbudaya, op.cit., 12. 31 Ibid., 13.

(19)

19 perbedaan dengan mempelajari budaya sangat penting, khususnya dalam melakukan konseling pastoral antarbudaya. Pentingnya pemahaman terhadap budaya konseli yang berbeda dengan konselor itu bertujuan untuk membantu dan menolong konseli keluar dari masalah yang dihadapi dan di satu sisi turut memberi pertumbuhan bagi sang konselor sendiri.

C. Relasional Sebagai Faktor Pendukung Konseling Pastoral Antarbudaya: Kemampuan Konselor

Agar dapat menerapkan strategi antarbudaya secara signifikan dalam melakukan konseling pastoral, seorang konselor harus memiliki kemampuan yang mendasar. Kemampuan konselor adalah salah satu faktor pendukung agar konseling pastoral antarbudaya dapat berjalan dengan baik. Sebab dengan kemampuan tersebut interaksi dan interelasi antara konselor dan konseli terbangun secara baik. Van Beek menyebutkan bahwa kemampuan yang harus dimiliki konselor secara mendasar adalah meliputi: kemampuan bersikap, kemampuan merespons, kemampuan berbahasa, kemampuan hermeneutik, kemampuan diagnosa, kemampuan integrasi, dan kemampuan metodologi.32

Lebih lanjut dikemukakan Van Beek, bahwa kemampuan bersikap yang mestinya dimiliki terdiri atas kemampuan mendengar,

32 Lihat Aart van Beek, Cross-Cultural Counseling (USA: Fortress Press dan Minneapolis, 1996), hlm. 26-36.

(20)

20 bahasa tubuh, komunikasi visual, dan respons verbal. Kemampuan merespons yang dimaksud adalah melampaui respons nonverbal, seperti kontak mata dan nooding, dan respons verbal, seperti melihat, fokus pada apa yang benar-benar menjadi kebutuhan. Kemampuan berbahasa yang dimaksudkan yaitu mengetahui tentang bahasa yang tidak terbatas. Oleh karena itu, diperlukan pembelajaran tentang suatu bahasa baru yang tidak hanya tekniknya saja, tetapi juga bentuk emosional bahasa itu.33 Mempelajari tentang bahasa itu adalah sesuatu yang penting. Apalagi bahasa yang dipelajari, tidak lain, merupakan salah satu unsur dari kebudayaan yang mendukung berhasilnya konseling pastoral antarbudaya. Mengingat pentingnya bahasa dalam kebudayaan, Ihromi mengemukakan bahwa bahasa memegang peranan utama dalam perkembangan budaya manusia-bahasa dimana pada hakekatnya merupakan wahana utama untuk meneruskan adat-istiadat dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.34

Selanjutnya kemampuan hermeneutik bertujuan untuk me-mahami apa yang dimengerti dan tidak dimengerti oleh orang lain dalam suatu proses antarbudaya. Untuk kemampuan diagnosa, diperlukan keterampilan yang tidak bias atau stereotipe yang negatif. Kategori dalam mendiagnosa meliputi pandangan dunia, kesadaran membangun, dinamika antarbudaya dalam sebuah proses.

33 Ibid.

(21)

21 Sementara kemampuan integrasi yang dimaksudkan meliputi kemampuan mengintegrasikan pemahaman individu, pemahaman diri sendiri (individu) dalam komunitas, atau persepsi individu terhadap realitas, sedangkan kemampuan metodologi yang dimaksudkan, yaitu kemampuan basic untuk memberi perhatian penuh (care) dalam komunikasi antarbudaya. Menurut Van Beek,

care givers dapat mengintegrasikan pandangan dunia, identitas dan senses of belonging dalam kesatuan metodologi.35

Menyangkut kemampuan yang dibutuhkan dalam konseling antarbudaya, Wiryasaputra juga menyebutkan ada tiga aspek utama, yakni: kesadaran konselor akan asumsi, nilai dan biasnya sendiri, mengetahui pandangan hidup konseli yang berbeda budaya dan mengembangkan strategi dan teknik intervensi yang cocok. Dari ketiga aspek itu kemudian dikembangkan lagi tiga aspek lainnya, yakni keyakinan dan sikap, pengetahuan, dan keterampilan.36

Aspek keyakinan dan sikap mengisyaratkan bahwa konselor menjadi sadar dan sensitif terhadap warisan budayanya, kemudian menghargai dan menerima perbedaan; konselor menyadari pengaruh budaya, pengalaman, sikap, nilai dan biasnya terhadap proses-proses psikologis; konselor menyadari keterbatasan pengalaman, ketrampilan dan keahliannya; dan konselor merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dengan konseli, misalnya warna

35 Lihat Aart van Beek, op. cit, 26-37.

(22)

22 kulit, ras, budaya, keyakinan, wilayah tempat tinggal, kondisi tubuh, orientasi seksual, dan sebagainya.37

Sementara itu, aspek pengetahuan menekankan pada konselor secara spesifik mengetahui warisan budayanya sendiri, yang dapat mempengaruhi pengertian dan pandangan tentang yang normal atau tidak dan proses konseling; konselor mengetahui kehadirannya memiliki pengaruh sosial pada konseli, misalnya mengetahui adanya perbedaan model komunikasi. Kemudian pada aspek keterampilan, sang konselor harus berusaha meningkatkan keterampilannya agar dapat melakukan konseling antarbudaya dengan baik, melalui konsultasi, mengikuti pelatihan, merujuk ke yang lebih ahli.38 Ketika seorang konselor kurang memiliki keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas sebagai konselor pastoral yang terampil, maka orang-orang yang dilayaninya dapat dikatakan ibarat menerima sebuah batu saat mereka meminta roti.39

Tentang pentingnya kemampuan seorang konselor pastoral seperti yang dikemukakan oleh Van Beek dan Wiryasaputra, kesimpulan yang dapat diambil dari pandangan mereka adalah keduanya sama-sama mengisyaratkan bahwa pengetahuan dan ketrampilan itu penting. Oleh karena itu, bagi seorang konselor pastoral yang ingin memiliki kemampuan sebagai konselor pastoral

37 Ibid., 103. 38 Ibid.

39 Lihat Howard Clinebell, “Basic Types of Pastoral Care and Counselling” dikutip oleh David G. Benner, Strategic Pastoral Counselling: A Short-Term Structure Mode (USA: Baker Book House Company, 1992), 94.

(23)

23 antarbudaya yang handal, proses belajar menjadi orang yang berpengetahuan dan terampil adalah penting untuk dilakukan. Apalagi tugas konseling pastoral antarbudaya itu hendak dilakukan oleh seorang pendeta yang bukan profesinya sebagai konselor pastoral yang profesional. Dengan proses belajar untuk menjadi seorang konselor pastoral antarbudaya yang baik, maka penguasaan akan strategi dan kemampuan konseling pastoral antarbudaya dapat dimiliki dan menjadi modal bagi sebuah kesuksesan konseling pastoral antarbudaya.

Agar konseling pastoral antarbudaya dapat berhasil dan sukses, maka pendekatan antar konselor dan konseli harus diperhatikan secara baik. Terkadang pengetahuan dan keterampilan sudah dimiliki secara baik oleh konselor, tetapi pendekatan yang dibangunnya tidak baik dan tepat maka pengetahuan dan ketrampilan itu tidak bisa diterapkan dengan baik. Melalui suatu pendekatan yang baik, maka proses konseling pastoral antarbudaya dapat mencapai pada tujuannya. Hubungan antara konselor dan konseli dapat terbangun secara baik dalam konseling pastoral antarbudaya, apabila konselor dan konseli dapat saling menerima dan menghargai apapun yang menjadi perbedaan diantara keduanya. Demi terciptanya hubungan antara konselor dan konseli yang menekankan pada kesalingan itu, maka bagi David W. Augsburger hubungan tersebut harus bersifat relasional. Pandangannya adalah sebagai berikut:

(24)

24

“Salah satu elemen sentral dari pastoral counseling across cultural adalah relasional. Hal penting daripadanya yaitu kontak tercapai, terciptanya perasaan interpati40 dan pemahaman berpengalaman,

kepedulian komunikasi yang original (tidak basa-basi). Selain itu, untuk konselor pastoral, kehadiran penerimaan, dan cinta adalah kualitas dari proses konseling, dimana ketiganya merupakan inti anugerah yang membuat konseling pastoral menjadi otentik”.41

Lebih lanjut, dengan mengutip Dayanand Pitamber, ia mengatakan bahwa:

“Pastoral counseling tries to communicate love through interpersonal relationship. It does not mean that interpersonal relationship is used as a mere technique to communicate love, but rather it is an expression of love in itself...a genuine encounter in which the person is able to experience love...not only human love but also divine love.” 42

(“Konseling pastoral mencoba mengkomunikasikan kasih melalui relasi interpersonal. Ini berarti hubungan interpersonal yang digunakan tidak sebagai teknik belaka untuk mengkomunikasikan kasih, melainkan hal itu adalah ungkapan kasih itu sendiri….sebuah perjumpaan yang murni dimana orang tersebut dapat mengalami kasih ... tidak hanya kasih manusia, tetapi juga cinta ilahi”)

Berdasarkan pada pandangan Augsburger di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengetahuan tentang strategi antarbudaya dan kemampuan konseling pastoral antarbudaya bukanlah yang utama dari suatu proses, melainkan relasional yang berlandaskan kasih. Hubungan antara konselor dan konseli yang terbangun atas dasar kasih melampaui pengetahuan dan teknik konseling. Relasional atas dasar kasih mampu menyatukan kehidupan antar sesama manusia maupun manusia dengan Tuhan. Bahkan bukanlah semata-mata kasih manusia, tetapi lebih daripada itu adalah kasih Allah. Dengan demikian, dalam tulisan ini, penulis cenderung

40 Interpati adalah kemampuan beridentifikasi dari luar kerangka kognitif dan kerangka budaya orang lain=empati antarbudaya.

41 Lihat David W. Augsburger, Pastoral Counseling Across Cultures (Philadelphia: Westminster Press, 1986), 362.

42 Lihat Dayanand Pitamber, “Mental Health and Pastoral Counseling. Religion and Society”, dikutip oleh David W. Augsburger, ibid.

(25)

25 melihat pada hubungan relasional yang dapat menyatukan perbedaan diantara konselor dan konseli (pendeta dan jemaat) sehingga keduanya saling terbuka untuk memperoleh kebahagian hidup yang lebih baik lagi. Penulis sependapat dengan Augsburger yang mengatakan bahwa relasional sebagai elemen sentral dan kasih menjadi tumpuan dalam konseling pastoral. Oleh karena itu, dalam konseling antarbudaya, relasional merupakan pendekatan yang penting sebab dengan terbangunnya relasional antara konselor dan konseli, pastoral antarbudaya dapat berjalan dengan baik atas dasar kasih ilahi dan alkitabiah.

Dengan begitu ketika dalam menghadapi masalah apapun, khususnya di jemaat yang multikultural/plural, pendeta dapat melakukan konseling pastoral secara baik, dalam tugasnya untuk menolong jemaatnya dari ketidakberdayaan juga menghadirkan karya penyelamatan Allah kepada jemaatnya yang kritis di hadapan Allah dan orang banyak. Hal ini seperti yang telah dilakukan sebelumnya oleh Yesus sebagai Kepala Gereja dalam tugas pelayananNya, seperti yang diungkapkan oleh Lochman yaitu membela perjuangan orang miskin, melayani mereka yang ada di pinggiran, membangkitkan kaum tertindas dan yang hancur dan, terutama sekali, “memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”.43

43 Lihat Jan M. Lochman, “Church and World in the Light of the Kingdom” dalam Limouris, dikutip David J. Bosch, op.cit., 52.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan perlakuan pra tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kerusakan umbi hal ini disebabkan karena konidia yang diaplikasikan rusak atau mati akibat

Kompetensi lulusan yang mewakili tujuan institusional itulah yang kemudian dijabarkan ke dalam kurikulum dan silabus IPS sebagai acuan para guru dalam menyusun

-Klien mengatakan saat sakit keluarga klien membantu perawatan klien dan hubungan dengan keluarga/orang lain masih baik tetapi peran dalam keluarga berkurang. berhubungan dengan

Seluruh utang bank jangka pendek diatas dijamin oleh jaminan perusahaan (corporate guarantee ) sebesar USD14 juta dari Toray Industries Inc., Jepang (perusahaan

Dari analisis di atas, dapat diambil simpulan, Pertama, Analisis likuiditas pada KJKS BMT Mass Group Sragen Jawa Tengah dilihat berdasarkan angka rasio memperoleh

misalnya memberikan kebebasan dalam membuat karya seni atau membuat sesuatu yang baru (puisi, cerita pendek), memberikan kebebasan berimajinasi seperti bercerita

Pada pembuatan lotion ini, digunakan emulgator yang berbeda yaitu emulgator anionik dan nonionik dengan tujuan untuk menentukan emulgator yang paling stabil untuk

Untuk memperhitungkan tegangan maupun deformasi struktur yg timbul akibat penga- ruh temperatur, diambil perbedaan temperatur yang besarnya setengah dari selisih antara