• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK TORTILLA CORN CHIPS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG PUTIH TELUR SEBAGAI SUMBER PROTEIN SKRIPSI R. MOCH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK TORTILLA CORN CHIPS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG PUTIH TELUR SEBAGAI SUMBER PROTEIN SKRIPSI R. MOCH."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK TORTILLA

CORN CHIPS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG PUTIH

TELUR SEBAGAI SUMBER PROTEIN

SKRIPSI

R. MOCH. TAUFIK HIDAYAT

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

R. MOCH. TAUFIK HIDAYAT. D14203074. 2008. Karakteristik Fisik dan

Organoleptik Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur Sebagai Sumber Protein. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Zakiah Wulandari, S.TP., MSi. Pembimbing Anggota : Ir. B. Nenny Polii, S.U.

Pembuatan tortilla corn chips merupakan salah satu usaha difersivikasi pangan dengan tujuan memperoleh produk makanan camilan yang dapat menjadi sumber gizi bagi konsumen. Penelitian ini bertujuan mempelajari pembuatan produk tortilla corn chips dengan penambahan tepung putih telur sebagai sumber protein, terutama ditinjau dari sifat fisik dan organoleptiknya. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai September 2007 di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Laboratorium Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Perlakuan yang diberikan adalah penambahan konsentrasi tepung putih telur yang berbeda, yaitu sebanyak 0% (F1) sebagai kontrol, 5% (F2), 10% (F3), dan 15% (F4). Peubah yang diukur adalah : kekerasan, warna, derajat pengembangan, derajat gelatinisasi, indeks penyerapan air (IPA), indeks kelarutan air (IKA), serta pengujian organoleptik yang berupa uji mutu hedonik terhadap warna, kerenyahan, rasa gurih, tekstur, dan uji hedonik (tingkat kesukaan). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola searah dengan tiga kali ulangan pembuatan produk, sedangkan data dianalisa secara statistik menggunakan ANOVA.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode penambahan tepung putih telur berpengaruh secara nyata terhadap derajat gelatinisasi produk, perlakuan juga berpengaruhnya terhadap keseluruhan pengujian organoleptik baik hedonik maupun mutu hedonik. Perlakuan penambahan tepung putih telur tidak berpengaruh secara nyata terhadap karakteristik fisik lain yang diujikan yaitu kekerasan, derajat pengembangan, indeks penyerapan air (IPA), indeks kelarutan air (IKA), dan warna dari tortilla corn chips.

(3)

ABSTRACT

Physics and Organoleptic Characteristic of Tortilla Corn Chips with White Egg Powder Adding as Protein Source

Hidayat, R. M. T., Z. Wulandari, and B. N. Polii

Different concentration of white egg flour adding method were conducted as treatment, to study the effect of white egg flour adding to physics and organoleptic characteristic of tortilla corn chips. The treatment are F1 as control (0%), F2 (5%), F3 (10%), F4 (15%). Measured observations were colour of product, crispiness, gelatinization degree, product size growth degree, water absorption index, water solubility index, and also include organoleptic test (sensory testing) to study the acceptance of product. The observation was analyzed using randoming complete design with there block of period. The result showed that the treatment were not influencing product crispiness, average value of cripspiness were F1 (363,33 gf), F2 (403,33 gf), F3 (1025 gf), F4 (1065 gf). Treatment also did not influence the colour of tortilla corn chips, average value for each colour component content of L, a, and b value were F1 (74,52; +8,536; +25,76), F2 (69,481; +8,64; +28,965), F3 (67,395; +9,706; 28,743), F4 (67,456; +9,188; +26,148). Treatment also did not influence the product size growth degree, water absorption index, and water solubility index value. Average value for product size growth degree were F1 (157,216), F2 (131,83), F3 (144,583), F4 (145,88), average value for water absorption index were F1 (3,045), F2 (2,692), F3 (3,6827), F4 (3,48), and average value for water solubility index were F1 (0,02305), F2 (0,0177), F3 (0,0171), F4 (0,0164). But treatment was succeeded influence the gelatinization degree of tortilla corn chips, average value for gelatinization degree were F1 (3,96), F2 (5,598), F3 (10,07), F4 (11,658). Treatment also influence to all organoleptic test result.

(4)

KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK TORTILLA

CORN CHIPS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG PUTIH

TELUR SEBAGAI SUMBER PROTEIN

R. MOCH. TAUFIK HIDAYAT D14203074

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK TORTILLA

CORN CHIPS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG PUTIH

TELUR SEBAGAI SUMBER PROTEIN

Oleh

R. MOCH. TAUFIK HIDAYAT D14203074

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 11 Juli 2008

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. Ir. B. N. Polii, SU.

NIP. 132 206 246 NIP. 130 816 350

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr. NIP. 131 955 531

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 April 1985 di Jakarta, DKI Jakarta. Penulis adalah anak ke-empat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak R. M. Hardiman Soehardjono dan Ibu Dra. Fitri Mardinah.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1997 di SD Islam P.B. Soedirman Jakarta, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2000 di SLTP Islam P.B. Soedirman Jakarta, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2003 di SMUN 62 Jakarta

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada jurusan Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2003. Selama menjalani pendidikan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

(7)

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohiim.

Alhamdulillahirobbilalamiin. Segala puji syukur bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan segala Karunia serta Hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis berkemampuan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang telah membawa dan menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia.

Skripsi berjudul ”Karakteristik Fisik dan Organoleptik Tortilla Corn

Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur Sebagai Sumber Protein” ini

dibuat dengan memperhatikan peluang tepung putih telur sehingga dapat diaplikasikan sebagai sumber protein pada berbagai macam produk panganan. Penelitian ini hanyalah langkah awal dan kecil untuk membuka peluang penelitian yang lebih mendalam dan matang. Meskipun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sebagai suatu sumber informasi yang baik, penulis tetap berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat baik kebaikan dan menjadi amal penulis kepada pendidikan. Amin.

(8)
(9)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN... ii ABSTRACT... iii LEMBAR PERNYATAAN... iv LEMBAR PENGESAHAN... v RIWAYAT HIDUP... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Komposisi Gizi Telur Ayam... 3

Putih Telur... 4

Proses Pembuatan Tepung Putih Telur... 6

Jagung... 8 Tepung Tapioka... 10 Snack... 10 Tortilla Chips... 12 Karakteristik Fisik... 13 Pengujian Organoleptik... 17 METODE... 19

Lokasi dan Waktu... 19

Materi... 19

Rancangan Percobaan... 19

Prosedur ... 20

Pembuatan Tepung Putih Telur... 20

Formula dan Proses Pembuatan Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur... 22

Penentuan Produk Terbaik... 24

(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN... 33

Tepung Putih Telur... 33

Karakteristik Fisik... 34

Derajat Gelatinisasi... 34

Derajat Pengembangan... 36

Kekerasan... 36

Indeks Penyerapan Air... 37

Indeks Kelarutan Air... 38

Warna... 39 Karakteristik Organoleptik... 41 Warna... 43 Kerenyahan... 43 Rasa Gurih... 44 Tekstur... 44

Hedonik (Tingkat Kesukaan)... 45

Penentuan Produk Terbaik... 46

KESIMPULAN DAN SARAN... 48

UCAPAN TERIMA KASIH... 49

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (per 100 gram bahan)... 4

2. Jenis, Sifat, dan Karakteristik Protein Putih Telur... 5

3. Komposisi Kimia Jagung... 9

4. Komposisi Kimia Grits Jagung... 9

5. Syarat Mutu Makanan Ringan...…. 12

6. Formula Pembuatan Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur... 22

7. Tabel Penentuan Produk Terbaik... 25

8. Hasil Pengujian Tepung Putih Telur dan Standar Tepung Putih Telur……….. 33

9. Nilai Rataan dan Standar Deviasi Derajat Gelatinisasi Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur... 34

10. Nilai Rataan dan Standar Deviasi Derajat Pengembangan Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur... 36

11. Nilai Rataan dan Standar Deviasi Kekerasan Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur... 37

12. Nilai Rataan dan Standar Deviasi Indeks Penyerapan Air Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur... 38

13. Nilai Rataan dan Standar Deviasi Indeks Kelarutan Air Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur... 38

14. Nilai Rataan dan Standar Deviasi Warna Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur... 39

15. Nilai Rataan dan Standar Deviasi Penilaian Organoleptik Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur... 42

15. Hasil Penentuan Produk Terbaik Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur... 46

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Macam – macam produk olahan jagung dengan berbagai variasi

pemasakan………. 13 2. Mekanisme Derajat Gelatinisasi... 14 3. Diagram Alir Pembuatan Tepung Putih Telur... 21 4. Diagram Alir Pembuatan Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur... 23 5. Diagram Kromameter Munsell... 31 6. Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Konsentrasi Tepung

Putih Telur... 41

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Contoh Formulir Uji Organoleptik... 55

2. Nilai Rataan Hasil Analisa Karakteristik Fisik, Organoleptik dan KimiaTortilla Corn Chips... 57

3. Analisis Ragam Derajat Gelatinisasi... . 58

4. Analisis Ragam Kekerasan Tortilla Corn Chips... . 58

5. Analisis Ragam Derajat pengembangan... 58

6. Analisis Ragam Indeks Penyerapan Air... 58

7. Analisis Ragam Indeks Kelarutan Air... 58

8. Analisis Ragam nilai L (kecerahan)... 58

9. Analisis Ragam nilai a (tingkat kromatik merah-hijau)... 59

10. Analisis Ragam nilai b (tingkat kromatik kuning-biru)... 59

11. Analisis Ragam nilai C... 59

12. Analisis Ragam nilai ºHue... 59

13. Analisis Ragam mutu hedonik (warna)... 59

14. Analisis Ragam mutu hedonik (kerenyahan)... 60

15. Analisis Ragam mutu hedonik (rasa gurih)... 60

16. Analisis Ragam hedonik (tekstur)... 60

(14)
(15)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang secara kuantitatif akan perlu ditingkatkan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Oleh karena itu, masalah penyediaan pangan memiliki posisi yang penting dalam program yang dilaksanakan pemerintah. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan pangan adalah swasembada pangan. Penganekaragaman pangan diharapkan dapat melepaskan ketergantungan masyarakat terhadap bahan pokok tertentu dan memanfaatkan sumberdaya lokal sebagai alternatif potensial pemenuhan nutrisi pokok yang dibutuhkan untuk aktivitas setiap harinya.

Makanan camilan (snack) merupakan salah satu jenis pangan yang memiliki cukup kandungan vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh disamping fungsinya sebagai sumber energi. Selain itu, makanan camilan cenderung menjadi favorit terutama bagi kalangan anak – anak, sehingga dapat dijadikan sumber asupan gizi dalam masa pertumbuhan. Tortilla corn chips merupakan salah satu contoh makanan camilan (snack).

Protein dari telur memiliki susunan asam amino yang lengkap untuk memenuhi kebutuhan asam amino yang tidak dapat disintesa oleh tubuh. Asam amino yang terkandung dalam sebutir telur terdapat dalam jumlah banyak dan seimbang, sehingga protein telur dapat digunakan untuk melengkapi kebutuhan makanan lain. Protein dalam albumen (putih telur) merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam jumlah besar. Beberapa jenis protein yang dikenal antara lain adalah ovalbumin, conalbumin, ovomucin, globulin (G1, G2, dan G3), ovomucid, flavoprotein, ovoglikoprotein, ovomakroblobulin, ovoinhibitor, dan avidin.

Tortilla corn chips merupakan salah satu jenis panganan camilan yang terbuat dari bahan baku jagung, panganan berasal dari kawasan Amerika tepatnya Meksiko. Penambahan tepung putih telur dalam proses pembuatan tortilla corn chips pada penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kadar protein. Karakteristik protein yang dapat menghasilkan rasa gurih, dapat menjadi alternatif pengganti bahan tambahan (MSG) yang biasa digunakan untuk memberi efek rasa gurih, didapat dari putih telur yang kaya akan protein. Kombinasi dari keseluruhan bahan yang

(16)

terkandung dalam tortilla corn chips ini akan dapat menghasilkan produk yang syarat gizi dan juga disenangi oleh berbagai kalangan.

Tujuan

1. Optimasi formulasi pembuatan tortilla corn chips dengan penambahan tepung putih telur sebagai sumber protein.

2. Menganalisa karakteristik fisik dan organoleptik tortilla corn chips dengan penambahan tepung putih telur sebagai sumber protein.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA Komposisi Gizi Telur Ayam

Telur merupakan protein hewani yang memiliki kandungan asam amino yang lengkap dan seimbang. Telur adalah sumber protein hewani yang dapat dijangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Telur merupakan bahan utama yang sering digunakan pada proses pembuatan kue, dan roti. Zat – zat makanan yang terdapat pada telur sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti protein, mineral, vitamin, lemak, serta memiliki daya cerna yang tinggi (Sirait, 1986).

Telur secara fisik dibagi menjadi 3 komponen yaitu kerabang telur (egg shell) 12,3%, putih telur (egg white) 55,8%, dan kuning telur (egg yolk) 31,9% (Stadelman dan Cotterril, 1977). Kerabang telur merupakan bagian paling keras dan kaku. Kerabang memiliki fungsi utama sebagai pelindung isi telur terhadap kontaminasi mikroorganisme (Sirait, 1986). Kerabang telur sebagian besar terdiri dari kalsium karbonat. Kerabang telur memiliki banyak pori – pori. Jumlah pori – pori pada kerabang bervariasi antara 100 – 200 buah per cm2 (Winarno dan Sutrisno, 2002).

Kuning telur berbentuk bulat dengan warna kuning atau oranye yang terletak pada pusat dan bersifat elastis. Warna kuning pada kuning telur disebabkan kandungan pigmen karotenoid yang berasal dari pakan. Posisi kuning telur akan bergeser bila telur mengalami penurunan kualitas (Buckle et al., 1987).

Putih telur terdiri dari empat lapisan yang tersusun dari lapisan encer luar (23,2%), lapisan kental luar (57,3%), lapisan encer dalam (16,8%), dan lapisan kental dalam atau khalazaferouz (2,7%) (Stadelman dan Cotterril, 1977). Menurut Zayas (1997) komponen terbesar dalam putih telur mengandung protein dan air. Komponen penyusun putih telur sebagian besar tersusun oleh air. Air akan mempengaruhi daya simpan suatu bahan pangan. Air berpengaruh dalam pengolahan dan pengawetan bahan pangan. Perbedaan tingkat kekentalan putih telur dipengaruhi oleh kandungan air yang menyusunnya (Romanoff and Romanoff, 1963). Telur mengandung komponen – komponen lain selain air dan protein seperti lemak, karbohidrat, kalsium, phospor, besi, vitamin A yang masing – masing jumlahnya dapat dilihat pada Tabel 1.

(18)

Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (per 100 gram bahan)

Komposisi Kimia Telur Ayam Segar

Telur Utuh Kuning Telur Putih Telur

Kalori (kal) Air (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (g) Fosfor (mg) Vitamin A (SI) 159,0 72,9 13,2 11,1 1,5 56,0 200,0 327,0 332,0 52,0 14,8 29,5 1,9 133,0 482,0 630,0 52,0 86,7 10,9 0,4 1,3 10,0 14,0 0,0 Sumber : ASEANFOOD (2000)

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa komponen kimia telur terbesar adalah air diikuti protein, lemak, abu dan karbohidrat. Komposisi antara putih telur dan kuning telur terlihat jauh berbeda, terutama pada kandungan lemaknya. Selain lemak, kuning telur mengandung banyak vitamin - vitamin yang larut lemak dan phospolipid, termasuk lesitin yaitu zat pengemulsi. Pada putih telur air membentuk dispersi koloidal bersama protein telur, sedangkan pada kuning telur air membentuk emulsi bersama lemak (Panda, 1996).

Matz (1984) menjelaskan bahwa fungsi telur dalam pengolahan bahan pangan adalah untuk menimbulkan buih, sebagai emulsifier, dan koagulasi. Protein putih telur memiliki komponen yang dapat memberikan kestabilan terhadap buih. Volume dan kestabilan buih menurut beberapa peneliti terdahulu, dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur telur, pengocokan dan penambahan bahan – bahan kimia atau stabilisator, komposisi protein, pH, pemanasan, adanya garam dan komposisi fase cair yang mungkin mengubah konfigurasi dan stabilitas molekul protein (Stadelman dan Cotterill, 1977).

Putih Telur

Putih telur merupakan suatu sistem protein yang terdiri dari serat – serat ovomucin didalam sejumlah larutan protein globular. Komposisi protein pada setiap lapisan putih telur berbeda pada kandungan ovomucinnya (Forsythe dan Foster, 1949). Di dalam putih telur, protein merupakan salah satu komponen yang terdapat

(19)

dalam jumlah besar. Beberapa jenis protein yang dikenal antara lain adalah ovalbumin, conalbumin, globulin (G1, G2, dan G3), ovomucoid, flavoprotein, ovoglikoprotein, ovomakroglobulin, ovoinhibitor, dan avidin. Jenis – jenis protein putih telur, sifat dan karakteristiknya dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Powrie dan Nakai (1985), karbohidrat terdapat dalam bentuk kompleks dengan protein maupun dalam keadaan bebas, sekitar 98% karbohidrat bebas pada putih telur adalah glokusa, sedangkan pada kuning telur terkandung karbohidrat sebanyak 1,0%. Romanoff dan Romanoff (1963) juga menyatakan bahwa karbohidrat yang terdapat dalam putih telur dapat dalam bentuk bebas maupun berikatan dengan protein membentuk glikoprotein.

Sejumlah karbohidrat umumnya terdapat sebagai glukosa sebanyak 0,4% dari total putih telur dan 0,5% dari putih telur terdapat dalam bentuk glikoprotein yang mengandung unit – unit galaktosa dan manosa. Kuning telur mengandung karbohidrat bebas sebanyak 70% dan yang berkombinasi dengan protein sebanyak 0,3%. Jenis karbohidrat yang berikatan dengan protein pada kuning telur adalah manosa glukosamin polisakarida (Powrie dan Nakai, 1985).

Tabel 2. Jenis, Sifat, dan Karakteristik Protein Putih Telur

Jenis Jumlah

(%)

Titik Isoelektrik

Berat Molekul Karakteristik Ovalbumin Conalbumin Ovomucoid Lysozym (G1) G2-globulin G3-globulin Ovomucin Flavoprotein Ovoglikoprotein Ovomakroglobulin Avidin 54,0 13,0 11,0 3,5 4,0 4,0 1,5 0,8 0,5 0,5 0,05 4,6 6,6 3,9-4,3 10,7 5,5 5,8 -4,1 3,9 4,5-4,7 9,5 45.000 80.000 28.000 14.600 30.000-45.000 -35.000 24.000 760.000 53.000 Phospoglikoprotein Mengikat Fe Menghambat tripsin Mengurai bakteri -Sialoprotein Mengikat riboflavin Sialoprotein Menghambat protease Mengikat Biotin Sumber : Powrie (1973)

(20)

Proses Pembuatan Tepung Putih Telur

Pengolahan telur banyak dilakukan diantaranya adalah dengan membuat tepung putih telur. Pengeringan bertujuan mengurangi dan mencegah aktivitas mikroorganisme sehingga dapat memperpanjang umur simpan. Pembuatan telur menjadi tepung telur dapat mengurangi ruang penyimpanan, mempermudah penanganan dan transportasi (Winarno dan Sutrisno, 2002). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963) dan Berquist (1964) keuntungan pengeringan telur adalah mempermudah dan mengurangi ruang penyimpanan, menghemat biaya transportasi, memperpanjang daya simpan, serta mempermudah dalam penggunaannya. Proses yang dilakukan dalam pembuatan tepung putih telur adalah pemisahan putih telur, pengaturan pH berkisar antara 6,0 – 7,0 (Stadelman dan Cotterril, 1995), pasteurisasi, desugarisasi, pengeringan, penggilingan, dan kemudian menghasilkan tepung putih telur.

Pasteurisasi

Pasteurisasi cairan telur utuh dan cairan kuning telur pertama kali dilakukan oleh industri pada tahun 1930. Tahap yang dilakukan pada proses pasteurisasi telur sama dengan pasteurisasi susu yaitu dengan menggunakan metode HTST. Suhu yang digunakan dalam proses ini adalah 60°C. Suhu tersebut merupakan kondisi yang efektif dalam pengolahan putih telur untuk membunuh Salmonella yang terdapat dalam telur. United States Departement of Agriculture (USDA) mengatakan bahwa suhu pemananasan yang sesuai dan digunakan pada proses pasteurisasi telur adalah 60°C selama 3,5 menit. Pentingnya kombinasi yang tepat antara suhu dan waktu pasteurisasi adalah agar didapat hasil yang baik pada produk tersebut (Cunningham, 1995). Menurut Stadelman dan Cotterril (1995) perlakuan pemanasan pada putih telur mentah (tanpa fermentasi dan tanpa penambahan bahan lain) dengan kisaran suhu pasteurisasi dapat merusak sifat fungsional cairan putih telur.

Desugarisasi

Desugarisasi dilakukan sebelum proses pengeringan untuk menghilangkan glukosa yang terkandung dalam putih telur. Glukosa yang terkandung dalam putih telur akan menyebabkan terjadinya reaksi Maillard selama proses pengeringan, sehingga akan menimbulkan penyimpangan – penyimpangan seperti bau, cita rasa,

(21)

warna, ketidaklarutan dan pengurangan daya buih pada produk tepung putih telur (Buckle, 1987). Desugarisasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme yang sesuai pada substrat organik. Terjadinya proses desugarisasi dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan akibat pemecahan kandungan – kandungan bahan pangan tersebut

Pertumbuhan Saccharomyces sp. dalam putih telur memerlukan beberapa nutrisi, diantaranya adalah karbon. Karbon dapat diperoleh dari karbohidrat seperti glokusa, fruktosa, dan manosa. Saccharomyces sp. merupakan khamir yang memiliki bentuk oval. Pertumbuhan khamir dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah nutrisi, pH, suhu, ketersedian oksigen, dan ada tidaknya senyawa penghambat. Khamir dapat tumbuh pada suhu 25 - 30°C dengan nilai pH yang optimum untuk pertumbuhan khamir adalah 4,0 – 4,5 (Fardiaz, 1992).

Proses desugarisasi sangat membantu dalam mempertahankan daya buih putih telur serta menurunkan viskositasnya sehingga dapat mempermudah dalam penanganan (Hill dan Sebring, 1973). Tepung putih telur yang telah mengalami proses desugarisasi setelah disimpan selama empat bulan pada suhu ruang masih memiliki warna seperti awal akan tetapi tepung putih telur yang tidak mengalami desugarisasi memiliki warna merah kecoklatan.

Pengeringan

Pengeringan telur pada prinsipnya adalah mengurangi kandungan air pada bahan sampai batas agar mikroorganisme tidak tumbuh. Pengeringan telur memiliki beberapa keuntungan, yaitu; (1) mengurangi dan mempermudah ruang penyimpanan, (2) menghemat biaya transportasi, (3) memperpanjang daya simpan dan (4) mempermudah penggunaannya (Romanoff dan Romanoff, 1963; Berquist, 1964).

Metode pengeringan yang dapat digunakan untuk membuat tepung telur ada 4 macam yaitu pengeringan semprot, foaming drying, pengeringan secara lapis (pan drying), dan pengeringan beku (Matz dan Matz, 1978). Metode pengeringan semprot tidak biasa digunakan untuk membuat tepung putih telur, karena dapat menyebabkan penggumpalan dan penyumbatan pada nozzel alat pengering semprot (Berquist, 1964).

Menurut Aman et al., (1992), metode pengeringan secara lapis (pan drying) dan secara pengeringan busa (foaming drying) biasa digunakan untuk pembuatan

(22)

tepung putih telur. Pengeringan foaming drying digunakan untuk bahan cair yang dapat dibusakan. Tujuan pembusaan bahan tersebut adalah untuk memperluas permukaan dan mempercepat proses pengeringan. Metode pengeringan freeze drying merupakan proses pengeluaran air dari satu produk dengan cara sublimasi dari bentuk beku (es) menjadi uap (gas).

Metode pan drying biasanya digunakan untuk membuat tepung putih telur. Pengeringan dengan metode ini umummya dilakukan pada suhu sekitar 45,56 – 47,78oC. Romanoff dan Romanoff (1963), melaporkan bahwa metode pengeringan pan drying pada suhu sekitar 40 – 45oC, tebal lapisan bahan sekitar 6 mm selama 22 jam akan diperoleh produk kering dengan kadar air sekitar 5 %.

Produk yang dihasilkan dari proses pengeringan putih telur adalah berupa remah (flake) putih telur, dan tepung putih telur. Kedua bentuk ini dapat dihasilkan dengan metode pan drying, sedangkan pada spray drying hanya berupa tepung putih telur. Kadar air remah (flake) putih telur sekitar 12,16 % dengan pH 4,5 – 7,0, dan kadar air tepung putih telur yang dihasilkan dengan metode pan drying sekitar 6 - 14%. Tepung putih telur yang dihasilkan dengan metode pan drying adalah sekitar 4 – 8 % (Stadelman dan Cotterril, 1977).

Jagung

Jagung (Zea Mays) merupakan tanaman berumah satu Monoeciecious, letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina pada satu tanaman. Jagung termasuk genus Zea dan famili Poaceae (Muhadjir, 1988).

Biji jagung terdiri dari empat bagian yaitu pericarp (15%), endosperm (82%), lembaga (2%), dan tip cap (1%). Menurut Phang (2001), komposisi kimia jagung tergantung varietas, cara penanaman, dan iklim serta tingkat kematangan. Komposisi kimia jagung dapat dilihat pada Tabel 3.

Komponen dasar biji jagung secara kimiawi terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Pati merupakan karbohidrat utama dalam jagung. Granula pati jagung umumnya mengandung amilosa (27%) dan amilopektin (73%). Total gula pada biji jagung adalah 1 – 3%. Fraksi – fraksi protein jagung terdiri atas albumin (3,2%), globulin (1,5%), prolamin atau zein (47,2%) dan glutein (35,1%) (Munarso et al., 1988). Tepung jagung adalah produk hasil penggilingan jagung secara kering setelah sekam, biji lembaga dan dedak dihilangkan. Menurut Ahza

(23)

(1996), untuk membuat berasan jagung (grits) biji jagung pada umumnya diolah dengan proses giling kering sehingga terpisahkan bagian lembaganya (germ), kulit ari, dan dedak dari bagian endosperm yang lebih halus akan menjadi bekatul jagung (corn meal) dan tepung jagung (corn flour).

Tabel 3. Komposisi Kimia Jagung

Komposisi Jumlah per 100 gram

Air Kalori Protein Lemak Karbohidrat Serat Abu Ca P Fe 12 g 362 g 9 g 3,4 g 74,5 g 1 g 1,1 g 6 mg 178 mg 1,8 mg Sumber : Phang, 2001

Pada pembuatan snack (makanan camilan) biasanya ditambahkan grits jagung untuk meningkatkan kerenyahan karena grits jagung mempunyai kandungan gizi yang cukup baik untuk membuat produk snack (Harper, 1981). Kandungan gizi dari grits jagung menurut peneliti yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Grits Jagung

Kandungan Gizi Nilai Kandungan

Harper (1981) Rakhmawaty (1998) --- % ---Air 13,0 – 14,5 13,72 Protein 6,5 – 8,0 8,59 Abu 0,2 – 0,3 0,55 Lemak 0,5 – 1,0 1,29 Serat 0,2 – 0,4 1,32 Karbohidrat By difference 75,85

(24)

Tepung Tapioka

Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstraksi umbi ketela pohon (Manihot Ultilisma POHL) yang telah dicuci dan dikeringkan. Tapioka banyak digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan berbagai jenis kerupuk, seperti kerupuk atom, kerupuk udang, dan kerupuk ikan. Alasan penggunaan tapioka, selain harganya murah dan mudah didapat juga mempunyai daya ikat yang tinggi dan membentuk struktur kuat (Widowati, 1987).

Tepung tapioka hampir seluruhnya terdiri dari pati, sedangkan pati merupakan senyawa yang tidak mempunyai rasa dan bau (bland flavor), sehingga modifikasi citarasa pada tepung tapioka mudah dilakukan (Wurzburg, 1968). Berdasarkan analisa yang dilakukan oleh Mulyandari (1992), pati ubi kayu mengandung 29,01% (db) amilosa dan 69,06% (db) amilopektin.

Kandungan molekul amilosa akan mempengaruhi sifat – sifat pati yang tergelatinisasi. Polimer molekul D-glukosa yang berantai lurus sangat mudah berhubungan dengan polimer rantai lurus lainnya. Penggabungan seperti ini menyebabkan penurunan kestabilan pati tergelatinisasi (Collison, 1968).

Amilosa merupakan polimer berantai lurus yang panjang dan berbentuk heliks dalam larutan (Hodge dan Osman, 1976). Bagian matriks yang berada diantara molekul – molekul pati di dalam lingkaran - lingkaran heliks dapat menangkap senyawa – senyawa pembentuk citarasa, minyak atsiri, vitamin, dan karoten sehingga tidak mudah hilang selama proses pengolahan (Scoch, 1969). Tapioka mempunyai sifat yang sangat mirip dengan amilopektin karena tapioka sebagian besar terdiri dari amilopektin. Sifat – sifat amilopektin antara lain : 1). dalam bentuk pasta, amilopektin menunjukkan penampakan yang sangat jernih sehingga dapat meningkatkan penampakan produk akhir, 2). pada suhu normal pasta dari amilopektin tidak mudah menggumpal dan kembali menjadi keras, 3). mempunyai daya rekat yang tinggi (Tjokrodikosoemo, 1968).

Snack

Makanan atau dikenal dengan sebutan snack food adalah makanan yang dikonsumsi selain atau antara waktu makan utama dalam sehari (Lusas dan Rooney, 2001). Makanan ini biasa disebut snack yang berarti sesuatu yang dapat mengobati kelaparan dan memberikan suplai energi yang cukup untuk tubuh. Jenis makanan ini

(25)

sering terdiri dari bahan makanan tambahan seperti pemanis, pengawet, dan bahan tambahan (Purwanti, 2005).

Makanan ringan sudah merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari – hari, terutama pada kalangan anak – anak dan remaja. Harper (1981) menyatakan bahwa makanan ringan dibedakan menjadi dua macam berdasarkan bahan dasarnya. Kelompok makanan ringan pertama adalah makanan ringan yang menggunakan bahan baku utama seperti produk ekstrusi dari jagung dan kemudian ditambah garam dan bumbu penyedap. Kelompok makanan ringan yang kedua yaitu makanan ringan yang memakai campuran dari beberapa sumber pati seperti campuran jagung dan beras, bahkan dicampur pula dengan kacang – kacangan seperti kedelai, kacang hijau, dan lain – lain. Kalsium dan fosfor dapat ditambahkan dalam pembuatan snack untuk meningkatkan kandungan gizi, biasanya yang sering ditambahkan adalah trikalsium fosfat (Matz, 1984).

Makanan ringan berminyak merupakan jenis makanan ringan yang mengandung minyak nabati, baik berasal dari bahan baku maupun dari minyak yang digunakan untuk menggoreng. Pembuatan atau pengolahan makanan ringan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penggorengan merendam (deep frying) dan sistem penggorengan biasa (pan frying) (Purwanti, 2005). Minyak yang terkandung dalam snack dapat menyebabkan oksidasi sehingga menurunkan citarasa (Lusas dan Rooney, 2001).

Bentuk makanan ringan bervariasi tergantung dari cetakannya (Purwanti, 2005). Menurut Badan Standarisasi Nasional Indonesia 01-6630-2002 makanan ringan yaitu produk siap santap yang terbuat dari bahan baku utama karbohidrat berbumbu dengan atau penambahan bahan – bahan lain. Bahan baku utama yang digunakan bisa berasal dari terigu, beras, dan bahan pangan karbohidrat lainnya. Badan Standarisasi Nasional Indonesia 01-6630-2002 menyatakan bahwa bahan lain yang dapat ditambahkan adalah garam, gula, dan turunannya, bahan penyedap rasa dan aroma yang diizinkan, rempah – rempah dan produk olahannya, daging ternak, unggas, produk perairan, dan produk olahannya, susu dan produk olahannya, sayur dan produk olahannya, vitamin dan mineral, coklat dan turunannya, minyak dan lemak serta turunannya. Syarat mutu makanan ringan menurut Badan Standarisasi Nasional Indonesia 01-6630-2002 dapat dilihat pada Tabel 5.

(26)

Tabel 5. Syarat Mutu Makanan Ringan

No. Kriteria Satuan Persyaratan

1 1.1 1.2 1.3 1.4 2 3 4 Keadaaan Tekstur Aroma Rasa Warna Benda asing Kadar air Kadar protein -% %

Normal / dapat diterima Normal / dapat diterima Normal / dapat diterima Normal / dapat diterima Tidak boleh ada

Maks. 7,0 Min. 5,0 *) Badan Standarisasi Nasional Indonesia 01-6630-2002

Tortilla Chips

Jagung merupakan sumber serealia bagi penyediaan tortilla di Mexico dan Amerika Tengah. Kira – kira 10 % dari produksi jagung di Amerika Serikat digunakan untuk bahan pangan, sedangkan di Meksiko, 72% dari total produksi jagung diperuntukkan bagi bahan pangan, terutama tortilla. Khususnya, bagi golongan sosial ekonomi yang rendah bergantung pada tortilla sebagai sumber kalori dan protein yang utama (Rooney dan Serna-Salvidar, 1987).

Menurut Rooney dan Serna-Salvidar (1987), Serealia siap santap (Ready to eat) dibuat dengan cara memasak serealia tersebut hingga terjadi gelatinisasi pati dan terbentuk adonan atau memasak partikel – partikel menjadi serpihan – serpihan (flakes), irisan – irisan (shreds), dan butiran – butiran. Rasa, aroma, dan tekstur yang diinginkan dipertahankan dengan mengontrol proses pemanggangannya. Tekstur menjadi crispy (renyah) selama dehidrasi. Selain itu, reaksi karamelisasi dan Maillard berperan dalam pengembangan rasa dan warna yang diinginkan. Proses – proses konvensional masih digunakan untuk memproduksi sereal – sereal tersebut yang terus populer, seperti halnya corn flakes. Variasi dari produk olahan jagung dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

(27)

Adonan

Ekstrusi/ Perataan dan Perataan dan Perataan dan Perataan Pemotongan Pemotongan Pemotongan Penggorengan Pemanggangan Pemanggangan Pemaganggan Corn Chips Penggorengan Table Chips Penggorengan

Tortilla Chips Taco Shells Gambar 1. Macam – macam produk olahan jagung dengan berbagai variasi

pemasakan (Rooney dan Serna Salvidar, 1987)

Tortilla chips merupakan makanan camilan (snack) yang dibuat dari tortilla jagung yang dipotong – potong menjadi bentuk lembaran kemudian digoreng atau dipanggang. Tortilla chips merupakan panganan khas Meksiko, namun diperkenalkan dan diproduksi secara massal untuk pertama kali di Amerika serikat pada akhir tahun 1940. Tortilla chips umumnya terbuat dari bahan dasar jagung yang ditambahkan minyak sayur, garam, dan air. Jagung yang biasa digunakan dalam pembuatan tortilla chips adalah jagung kuning, namun dapat juga digunakan jagung putih, jagung biru, maupun jagung merah. (www.Wikipedia.com, 2007).

Karakteristik Fisik Derajat Gelatinisasi

Menurut Wooton et al. (1971) yang dimaksudkan derajat gelatinisasi adalah rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati. Tingkat derajat gelatinisasi produk menunjukkan tingkat pemasakan yang terjadi, artinya derajat gelatinisasi yang tinggi menunjukkan bahwa produk lebih mudah dicerna oleh tubuh.

Pati tidak larut dalam air dingin (Collison, 1968), tetapi bagian amorfus granula dapat menyerap air sampai 30 persen tanpa merusak struktur misel (Hodge dan Osman, 1976). Jika suspensi air-pati dipanaskan maka akan terjadi pembengkakan granula. Pembengkakan granula tersebut pada awalnya bersifat reversibel, artinya granula yang telah mengalami pembengkakan dapat kembali seperti kondisi semula. Namun jika pemanasan diteruskan, maka setelah mencapai

(28)

suhu tertentu sifat pembengkakan granula menjadi ireversibel. Proses itulah yang disebut gelatinisasi (Winarno, 1997).

Suhu gelatinisasi merupakan suatu kisaran, karena granula – granula dari jenis pati yang sama mempunyai bentuk dan ukuran yang bervariasi sehingga energi yang diperlukan untuk pembengkakan granula yang berbeda. Damardjati (1986) mengemukakan bahwa granula yang berukuran besar biasanya membengkak pada suhu yang lebih rendah. Sehingga suhu pemanggangan pada saat pemasakan juga menentukan tingkat derajat gelatinisasi yang terjadi pada produk.

Menurut Winarno (1997), mekanisme gelatinisasi pati terdiri dari tiga tahap. Pertama, air berpenetrasi secara bolak – balik ke dalam granula. Kemudian pada suhu 60°C - 85°C granula akan mengembang dengan cepat dan akhirnya kehilangan sifat ”birefringence”-nya. Pada tahap ketiga, jika temperatur terus naik maka molekul – molekul pati akan terdifusi dari granula.

Mekanisme gelatinisasi pati diawali dengan berpenetrasinya molekul air ke dalam granula pati, selanjutnya granula pati akan mengembang akibat adanya proses pemanasan. Pada suhu tertentu yang disebut suhu gelatinisasi, granula yang telah mengembang menjadi bersifat ireversibel sehingga tidak dapat kembali menjadi ukuran semula. Mekanisme gelatinisasi pati dapat dilihat pada Gambar 2.

Granula pati yang terdiri dari amilosa (rantai lurus) dan amilopektin (rantai bercabang)

Granula mengembang, penambahan air akan memecahkan kristalinitas dan merusak keteraturan bentuk amilosa.

Penambahan panas dan air yang berlebihan menyebabkan pengembangan lebih lanjut, amilosa mulai terdifusi keluar granula

Granula sebagian besar terdiri dari amilopektin saja, dan terperangkap dalam struktur matriks amilosa

Gambar 2. Mekanisme Gelatinisasi Pati (Harper, 1981)

(29)

Derajat Pengembangan

Menurut Shukla (1995) derajat pengembangan dipengaruhi oleh jumlah pati yang terdapat dalam bahan baku. Jumlah pati tersebut erat hubungannya dengan jumlah pati tergelatinisasi. Besar kecilnya derajat pengembangan produk ditentukan oleh banyak sedikitnya jumlah pati yang tergelatinisasi pada saat pemanggangan. Menurut Harper (1981) dan Linko et al. (1981), derajat gelatinisasi yang semakin tinggi diikuti derajat pengembangan yang semakin tinggi.

Derajat pengembangan dapat dipengaruhi sifat – sifat pati yang terdapat dalam adonan. Selain itu, derajat pengembangan dipengaruhi pula oleh komposisi yang digunakan diantaranya adalah gula. Kemampuan gula mengikat air juga berpengaruh terhadap semakin meningkatnya nilai derajat pengembangan.

Kekerasan

Kekerasan suatu bahan pangan mengindikasikan seberapa banyak kekuatan atau tekanan yang dibutuhkan untuk menghancurkan produk tersebut. Kekerasan berbanding terbalik dengan kerenyahan suatu produk semakin tinggi kekerasan produk menunjukkan bahwa produk tersebut memiliki kerenyahan yang rendah, begitupun sebaliknya semakin rendah nilai kekerasan suatu produk menunjukkan semakin tinggi kerenyahannya (Buckle et al.,1987). Faktor lain yang dapat mempengaruhi kekerasan dari suatu produk antara lain adalah komponen penyusun produk, tingkat kematangan produk, serta kadar air bahan.

Kekerasan pada produk dapat dipengaruhi oleh perbandingan amilosa dan amilopektin pada bahan baku. Tjokrodikosoemo (1968) menjelaskan bahwa amilopektin pada pati memiliki sifat daya rekat yang tinggi, sehingga semakin tinggi kadar amilopektin pada bahan baku yang digunakan akan menyebabkan semakin tinggi kekompakan/kekerasan dari suatu produk.

Indeks Penyerapan Air (IPA)

Indeks penyerapan air (IPA) atau disebut juga daya serap air menunjukkan kemampuan bahan untuk dapat berinteraksi dengan air. Cherry (1981) menyebutkan bahwa interaksi protein dengan air menentukan sifat hidrasi, pengembangan produk, viskositas, dan gelasi.

(30)

Cherry (1981) menambahkan bahwa daya serap air selain bergantung pada sifat protein bahan, juga dipengaruhi oleh keberadaan dan jumlah gugus polar dan non polar dalam bahan. Protein menjadi penting sebagai komponen yang menentukan tingkat penyerapan air karena hampir semua protein mengandung sejumlah rantai polar sepanjang kerangka peptidanya dan membuatnya bersifat hidrofilik. Protein memegang peranan penting pada kemampuan menyerap air, untuk itu perlu diketahui jenis dan jumlah protein yang terkandung dalam suatu bahan pangan yang memiliki sifat hidrofilik maupun hidrofobik.

Indeks Kelarutan Air

Indeks kelarutan air atau disebut juga daya larut menunjukkan kemampuan suatu bahan untuk dapat larut dalam air yang dinyatakan dengan banyaknya jumlah partikel (g) yang terlarut dalam sejumlah air tertentu (ml). Kelarutan protein sering mempengaruhi sifat fungsional protein dan berkontribusi pada pembentukan gel dan emulsifikasi (Damodaran, 1996). Hilangnya kelarutan protein sering dijadikan indikator denaturasi protein dan ikatan silang akibat perlakuan yang buruk. Lehninger (1991) menambahkan bahwa sifat kelarutan protein sangat dipengaruhi beberapa hal antara lain suhu, sifat garam larutan, dan sifat asam-basa larutan.

Warna

Warna adalah refleksi cahaya pada permukaan bahan yang ditangkap oleh indera penglihatan dan ditransmisikan oleh sistem syaraf. Menurut Fellows (1992), perubahan warna dapat ditentukan oleh penambahan bahan kimia dan perombakan enzim menjadi pigmen. Warna mempengaruhi penerimaan suatu bahan pangan, karena umumnya penerimaan bahan yang pertama kali dilihat adalah warna. Warna yang menarik akan meningkatkan penerimaan produk. Warna dapat mengalami perubahan saat pemasakan. Hal ini dapat disebabkan oleh hilangnya sebagian pigmen akibat pelepasan cairan sel pada saat pemasakan atau pengolahan, intensitas warna semakin menurun. Penerimaan warna suatu bahan berbeda – beda tergantung dari faktor alam, geografis, dan aspek sosial masyarakat penerima (Winarno, 2002).

(31)

Pengujian Organoleptik

Penilaian organoleptik adalah penilaian mutu suatu produk dengan menggunakan indera manusia melalui syaraf sensori. Penilaian dengan indera banyak digunakan untuk menilai hasil pertanian dan makanan. Penilaian dengan cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Analisis organoleptik dapat membantu pendugaan parameter untuk formula baru, sedangkan pengukuran menggunakan alat (instrumen) dibutuhkan untuk meyakinkan konsistensi kualitas suatu produk (Kerry, et al., 2001).

Uji Skor

Uji skor digunakan dalam metode pengujian hedonik dan mutu hedonik pada penelitian ini. Soekarto (1985) menjelaskan, pemberian skor ialah memberikan angka nilai atau menepatkan nilai mutu sensori terhadap bahan yang diuji pada jenjang mutu atau tingkat skala hedonik maupun mutu hedonik. Uji skor dapat dilakukan pada penilaian sifat sensori yang spesifik seperti tekstur kekerasan pada nasi, warna merah pada tomat, rasa langu pada hasil olahan kedelai atau sifat sensori umum seperti sifat hedonik atau juga sifat – sifat sensori kolektif seperti pada pengawasan mutu komoditi (Soekarto, 1985). Seperti halnya pada skala mutu, pemberian skor dapat juga dikaitkan dengan skala hedonik.

Soekarto (1985), juga menerangkan bahwa, banyaknya skala hedonik tergantung dari tingkat perbedaan yang ada dan juga tingkat kelas yang dikehendaki. Dalam pemberian skor, besarnya skor tergantung pada kepraktisan dan kemudahan pengolahan atau interpretasi data. Banyaknya skala hedonik biasanya dibuat dalam jumlah tidak terlalu besar, untuk skala hedonik biasanya dipilih jumlah ganjil.

Uji Mutu Hedonik

Soekarto (1985) menyatakan bahwa uji mutu hedonik berbeda dengan uji kesukaaan (hedonik), uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka melainkan menyatakan kesan tentang baik atau buruknya suatu objek yang diuji. Kesan baik – buruk ini disebut kesan mutu hedonik. Kesan mutu hedonik lebih spesifik daripada sekedar kesan suka atau tidak suka. Mutu hedonik dapat bersifat umum yaitu baik – buruk, dan bersifat spesifik seperti empuk - keras untuk daging,

(32)

pulen – keras untuk nasi, renyah – lembek untuk mentimun, dan sebagainya. Rentangan skala mutu hedonik berkisar dari ekstrim baik sampai ke ekstrim jelek.

Skala hedonik pada uji mutu hedonik sesuai dengan tingkat mutu hedonik. Jumlah tingkat skala juga bervariasi tergantung dari rentangan mutu yang diinginkan dan sensitifitas antar skala. Seperti halnya pada uji kesukaan, pada uji mutu hedonik, data penilaian dapat ditransformasikan dalam skala numerik dan selanjutnya dapat dianalisa statistik untuk interpretasinya. Pada uji mutu hedonik menggunakan metode skoring dibutuhkan 15 – 25 orang panelis agak terlatih dengan jumlah contoh per penyajian maksimal sebanyak 6 sampel (Soekarto, 1985).

Uji Kesukaan (Hedonik)

Uji kesukaan juga disebut uji hedonik. Soekarto (1985) menjelaskan bahwa dalam uji hedonik panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan. Di samping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat – tingkat kesukaan yang dinyatakan oleh panelis disebut sebagai skala hedonik.

Dalam penganalisaan, skala hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Dengan adanya skala hedonik tersebut, uji hedonik secara tidak langsung juga dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan, karena hal ini maka uji hedonik paling sering digunakan untuk menilai komoditi sejenis atau produk pengembangan secara organoleptik. Jika uji pembedaan banyak digunakan dalam program pengembangan hasil – hasil baru atau hasil bahan mentah, maka uji hedonik banyak digunakan untuk menilai hasil akhir produksi.

Pada uji hedonik dibutuhkan setidaknya 15 – 25 orang panelis agak terlatih dengan jumlah sampel per sajian sebanyak 1 – 12 sampel ringan, ataupun dapat digunakan 80 orang panelis tidak terlatih dengan jumlah contoh per penyajian maksimal sebanyak 6 sampel berat (Soekarto, 1985).

(33)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Departeman Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, dan Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penelitian ini dilakukan dalam waktu 3 bulan, yaitu dari bulan Juli sampai dengan September 2007.

Materi

Bahan – bahan yang digunakan dalam pembuatan tortilla corn chips antara lain telur ayam ras (umur 1 hari) sebagai bahan pembuat tepung putih telur, grits jagung didapatkan dari PT.Amylum Corn Mills, tepung tapioka, air, gula, dan garam.

Peralatan yang digunakan antara lain blender, roller, cetakan, pengaduk kayu, loyang, timbangan analitik, autoclave, rheoner, chromameter, penangas air, kompor listrik, micrometer, dan oven.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah dengan peubah perbedaan konsentrasi penambahan tepung putih telur sebanyak 0%, 5%, 10%, dan 15% dari total adonan kontrol (0%) yang bersifat komplementer (penambahan), masing – masing 3 kali ulangan. Model matematika menurut Steel and Torrie (1995) adalah sebagai berikut :

Yij = µ + Ai(x) + ε ij keterangan :

Yijk = nilai pengamatan µ = nilai rataan umum

Ai (x) = pengaruh konsentrasi penambahan tepung putih telur pada taraf ke-i; ε ij = galat percobaan untuk taraf ke-i dan ulangan ke-j;

i (x) = perbedaan konsentrasi penambahan tepung putih telur (0%, 5%, 10%, dan 15%) dari total adonan kontrol (0 %)).

k = ulangan dari masing – masing perlakuan.

Data yang diperoleh dianalisis dengan software MINITAB 14 dan apabila menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan.

(34)

Prosedur

Penelitian ini diawali pembuatan tepung putih telur dengan menggunakan metode pengeringan oven dan pembuatan tortilla corn chips berbahan baku grits jagung dengan penambahan tepung putih telur dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, dan 15% dari total adonan kontrol (0%), dilanjutkan dengan pengujian karakteristik fisik dan karakteristik organoleptik. Kemudian dilakukan penentuan produk terbaik dari keseluruhan formula produk yang dibuat.

Pembuatan Tepung Putih Telur

Pembuatan tepung putih telur diawali dengan persiapan telur yang terdiri atas seleksi telur dan pembersihan telur. Seleksi telur dilakukan dengan melakukan pemilihan telur dengan kualitas yang baik yaitu memiliki bentuk normal (bulat lonjong), bersih (bebas dari kotoran yang menempel maupun noda), utuh, serta memiliki bobot yang seragam (60 – 65 gram). Pencucian telur dilakukan terhadap telur kotor dengan cara dicuci menggunakan air hangat (35o – 40oC) kemudian ditiriskan. Selanjutnya telur dipecah dan dipisahkan bagian putih dan kuningnya, kemudian putih telur dihomogenkan dengan pengaduk hingga tercampur rata. Selanjutnya dilakukan pasteurisasi dengan sistem batch menggunakan penangas air pada suhu 50°C selama 3 menit.

Proses desugarisasi dilakukan dengan penambahan ragi roti (Saccharomyces cereviceae) sebanyak 0,3% ke dalam cairan putih telur, lalu diaduk secara manual menggunakan pengaduk kayu sampai penyebaran khamir merata, setelah itu putih telur diinkubasi pada suhu ruang (± 30oC) selama 150 menit. Proses selanjutnya setelah fermentasi yaitu telur dimasukkan ke dalam loyang dengan ketebalan kira – kira 6 mm, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC selama 42 jam hingga menghasilkan flake (bentuk remah). Flake putih telur yang diperoleh dari hasil pengeringan kemudian digiling menggunakan blender kering. Diagram alir proses pembuatan tepung putih telur dengan penambahan tepung putih telur dapat dilihat pada Gambar 3.

(35)

Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Tepung Putih Telur (Puspitasari, 2006) Persiapan Telur

Pemecahan dan pemisahan putih dari kuning telur

Pengeringan dengan oven suhu 50 oC selama 42 jam

Penambahan 0,3% khamir Saccaromyces

cereviceae

Desugarisasi pada suhu ruang 30oC selama 150 menit Pengadukan putih telur dan khamir

Penggilingan Flake dengan blender kering Flake Putih Telur

Tepung Putih Telur Pasteurisasi pada suhu 50°C

selama 3 menit

Kerabang Telur dan Kuning Telur

Penurunan suhu hingga 30 oC

(36)

Formula dan Proses Pembuatan Tortilla Corn Chips

Penelitian tahap selanjutnya merupakan pembuatan tortilla corn chips dengan menggunakan formula bahan dasar grits jagung dengan penambahan tepung putih telur. Formula Tortilla Corn Chips yang dibuat dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Formula Pembuatan Tortilla Corn Chips dengan Penambahan Tepung Putih Telur. Bahan yang digunakan Formula 1 (g) % Formula 2 (g) % Formula 3 (g) % Formula 4 (g) % Grits Jagung 80 52,6 80 50,12 80 47,86 80 45,77 Tepung putih telur 0 - 7,6 4,76 15,2 9,09 22,8 13,04 Garam 2 1,3 2 1,25 2 1,2 2 1,14 Gula 20 13,2 20 12,54 20 11,95 20 11,44 Tepung Tapioka 50 32,9 50 31,33 50 29,9 50 28,7

Jumlah 152 100 159,6 100 167,2 100 174,8 100

Keterangan :

Perhitungan Penambahan Tepung Putih Telur ke Dalam Adonan : - Formula 1 (0 % Tepung Putih Telur) :

0 % x 152 gram (Total Adonan Kontrol) = 0 gram - Formula 2 (5 % Tepung Putih Telur) :

5 % x 152 gram (Total Adonan Kontrol) = 7,6 gram - Formula 3 (10 % Tepung Putih Telur) :

10 % x 152 gram (Total Adonan Kontrol) = 15,2 gram - Formula 4 (15 % Tepung Putih Telur) :

15 % x 152 gram (Total Adonan Kontrol) = 22,8 gram

Bahan pembantu dalam pembuatan tortilla corn chips yaitu gula halus, garam, air, dan tepung tapioka. Alir proses pembuatan tortilla corn chips didasarkan pada penelitian terdahulu oleh Khasanah (2003) namun sudah dilakukan beberapa perubahan. Diagram alir proses pembuatan tortilla corn chips dengan penambahan tepung putih telur dapat dilihat pada Gambar 4.

(37)

Gambar 4. Diagram Alir Proses Pembuatan Tortilla Corn Chips (Modifikasi Khasanah (2003)).

Pembuatan Adonan. Adonan dibuat dengan cara mencampurkan tepung putih telur

serta grits jagung sesuai formula dengan tepung tapioka, gula halus, dan garam sampai homogen, penambahan air dilakukan sampai adonan menjadi kalis. Tepung tapioka, gula, dan garam yang ditambahkan pada adonan masing – masing sebanyak 50 gram, 20 gram dan 2 gram. Jumlah banyaknya bahan pembantu yang dicampurkan dalam adonan berbeda dibandingkan pada penelitian Khasanah (2003). Penggunaan tepung putih telur yang bersifat penambahan (melengkapi), sebanyak 0%, 5%, 10%, dan 15% dari total berat adonan kontrol (0%). Proses selanjutnya, yaitu pengadukan secara manual menggunakan tangan untuk menghomogenkan adonan yang terdiri dari tepung putih telur, grits jagung, tepung tapioka, gula, garam dan air.

Tortilla Corn Chips

Dipanggang dalam oven pada suhu 150ºC selama ± 20 menit

Dicetak lembaran Dipipihkan dengan

roller (flaking) Dihomogenisasi

Tepung Putih Telur + Grits Jagung Tepung Tapioka + Gula Halus + Garam

(38)

Pemipihan Adonan. Adonan yang telah menjadi homogen kemudian dipipihkan

menggunakan roller kayu untuk mendapatkan lembaran yang pipih. Adonan dipipihkan hingga memiliki ketebalan sebesar 0,5 – 1,0 mm.

Pencetakan Lembaran (Khasanah, 2003). Lembaran adonan hasil proses

pemipihan kemudian dicetak. Dalam penelitian ini, pencetakan dilakukan secara manual menggunakan sudip plastik, sehingga didapatkan bentuk persegi panjang. Lembaran tortilla corn chips memiliki ukuran panjang ± 35 mm dan lebar ± 25 mm, serta ketebalan ± 1 mm.

Pemanggangan (Khasanah, 2003). Lembaran tortilla corn chips yang masih basah

disusun pada loyang dan dilakukan pemanggangan dalam oven pada suhu 150ºC hingga berwarna kecoklatan. Proses pemanggangan tortilla corn chips pada penelitian ini dilakukan selama ±20 menit, lebih lama ±10 menit dibandingkan penelitian Khasanah (2003). Hal ini dikarenakan ketebalan tortilla corn chips berbeda dengan corn flakes sehingga penetrasi panas ke dalam tortilla corn chips membutuhkan waktu yang berbeda pula. Proses pemanggangan akan mempengaruhi flavour, kerenyahan, dan penampakan pada produk akhir.

Penentuan Produk Tortilla Corn Chips Terbaik

Pada tahap ini dilakukan penentuan produk tortilla corn chips dengan penambahan tepung putih telur yang terbaik dengan cara melakukan pemberian nilai (scoring) terhadap peubah yang dianalisa yaitu karakteristik fisik dan organoleptik terhadap keseluruhan formula tortilla corn chips yang dibuat, yang kemudian dibandingkan dengan acuan produk yang sudah ada di pasaran.

Nilai yang diberikan pada sifat fisik dan organoleptik (seperti : derajat pengembangan, derajat gelatinisasi, dan warna) berdasarkan urutan hasil terbaik yang diperoleh. Untuk beberapa peubah yang belum memiliki acuan diberikan nilai tertinggi 4 dan nilai terendah 1. Jika diperoleh hasil yang berada dalam kisaran standard, maka diberikan nilai yang sama yaitu 4. Apabila hasil yang diperoleh tidak berada dalam kisaran standard, maka pemberian nilai berdasarkan peringkat hasil terbaik (nilainya 1 - 4). Jika tidak ada yang berada dalam kisaran standard, penilaian berdasarkan peringkat hasil terbaik (yang diharapkan).

(39)

Tabel 7. Tabel Penentuan Produk Terbaik

Kriteria Produk Standar Produk Penentuan Nilai

Karakter Fisik

1. Derajat Gelatinisasi 2. Indeks Penyerapan Air 3. Indeks Kelarutan Air 4. Kekerasan 5. Warna Karakter Organoleptik 1. Kerenyahan 2. Warna 3. Rasa Gurih 4. Tekstur 5. Hedonik Belum Ada Belum Ada Belum Ada Normal/dapat diterima* Normal/dapat diterima* Normal/dapat diterima* Normal/dapat diterima* Belum Ada Normal/dapat diterima* Normal/dapat diterima* 1. Berada dalam kisaran standard diberi nilai 4. 2. Untuk beberapa peubah yang belum

memiliki acuan

diberi nilai tertinggi 4 dan nilai terendah 1.

*) Badan Standarisasi Nasional Indonesia 01-6630-2002

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati pada tepung putih telur meliputi karakteristik kimia yang terdiri dari kadar air, abu, serat kasar, protein, lemak, dan karbohidrat. Peubah yang diamati terhadap tortilla corn chips pada tiap pengamatan meliputi karakteristik sifat fisik terdiri dari derajat gelatinisasi, derajat pengembangan, kekerasan, indeks kelarutan air (IKA), indeks penyerapan air (IPA), dan warna; serta karakteristik organoleptik yang diuji menggunakan uji hedonik dan uji mutu hedonik.

Analisa Karakteristik Kimia Tepung Putih Telur

Kadar Air sesuai SNI 01-2891-1992 (Badan Standardisasi Nasional, 1992).

Pengukuran kadar air ini dilakukan dengan menggunakan metode oven. Sampel sebanyak 1 - 2 g dimasukkan ke dalam sebuah cawan yang sudah diketahui bobotnya. Setelah itu dikeringkan pada oven dengan suhu 105oC selama 3 jam, lalu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Pekerjaan ini dilakukan hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan kadar air dilakukan dengan cara perhitungan sebagai berikut :

w1

Kadar Air = _____ x 100% w

(40)

Keterangan :

w = Berat sampel sebelum dikeringkan (g) w1 = Kehilangan bobot setelah dikeringkan (g)

Kadar Abu sesuai SNI 01-2891-1992 (Badan Standarisasi Nasional, 1992).

Sampel dalam cawan porselen ditimbang sebanyak 2 – 3 gram, lalu diarangkan di atas nyala pembakar. Kemudian diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550OC sampai pengabuan sempurna, hingga didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai beratnya tetap. Setelah itu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang sampai bobotnya tetap. Kadar abu dihitung dengan rumus :

100% x (g) Sampel Berat (g) Abu Berat abu Kadar =

Kadar Serat Kasar sesuai SNI 01-2891-1992 (Badan Standardisasi Nasional, 1992). Sampel sebanyak 2 - 4 gram, dibebaskan dari lemak dengan cara ekstraksi

sokhlet atau dengan cara mengaduk contoh dalam pelarut organik sebanyak 3 kali, lalu dikeringkan. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 500 ml, ditambahkan 50 ml H2SO4 1,25%, dipasang pendingin tegak lalu dididihkan selama 30 menit. Campuran tersebut ditambahkan 50 ml larutan NaOH 3,25% lalu dimasak lagi selama 30 menit. Dalam keadaan panas disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring yang telah diketahui bobotnya (kertas saring terlebih dahulu dikeringkan pada suhu 105OC sampai bobot tetap). Endapan yang terdapat pada kertas saring dicuci berturut – turut menggunakan H2SO4 1,25% panas, air panas, dan etanol 96%. Setelah itu cawan, isi dan kertas saring dipanaskan dalam oven sampai bobot tetap lalu ditimbang. Kadar serat kasar dihitung dengan rumus :

w1

Kadar serat kasar = x 100% w

Keterangan : w = bobot sampel

(41)

Kadar Protein sesuai SNI 01-2891-1992 (Badan Standarisasi Nasional, 1992).

Sampel seberat 0,51 g dimasukkan ke dalam labu Kjedahl 100 ml, kemudian ditambahkan 2 gram campuran selen (2,5 g SeO2, 100 g K2SO4, dan 20 g CuSO4.5H2O) dan 25 ml H2SO4 pekat. Campuran dipanaskan diatas pemanas listrik sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijau – hijauan (sekitar 2 jam). Setelah dingin, kemudian dimasukan ke dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan sampai tepat tanda garis. Pipet 5 ml larutan dan dimasukan ke dalam alat penyuling, ditambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP. Campuran ini disulingkan selama kurang lebih 10 menit, sebagai penampung digunakan 10 ml larutan asam borat 2% yang telah dicampur indikator (10 ml bromocresol green 0,1% dan 2 ml larutan metil merah 0,1%). Kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N. Hal yang sama dilakukan untuk blanko. Persentase nitrogen dan kadar protein kasar dihitung dengan rumus sebagai berikut :

x100% w fp fk x x 0,014 x HCl N x ) 2 V -(V1 (%) Protein Kadar =

Keterangan : w = bobot sampel

V1 = volume HCl 0,01 N yang digunakan penitaran contoh V2 = Volume Hcl yang digunakan penitaran blanko

N = Normalitas HCl fk = Faktor Konversi fp = Faktor Pengenceran

Kadar Lemak sesuai SNI 01-2891-1992 (Badan Standarisasi Nasional, 1992).

Sampel sebanyak 1 - 2 g dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas, lalu selongsong kertas yang berisi sampel disumbat dengan kapas. Kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80°C selama kurang lebih 1 jam, lalu dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Sampel diekstrak dengan heksana atau pelarut lemak lainnya selama kurang lebih 6 jam. Setelah itu heksana disulingkan dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105°C. Proses pengeringan ini diulangi hingga tercapai bobot tetap. Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan cara perhitungan sebagai berikut :

(42)

w1 Kadar Lemak (%) = ___________ x 100% w Keterangan : w = Bobot sampel (g) w1 = Bobot lemak (g)

Kadar Karbohidrat (Winarno, 1997).

Kadar karbohidrat dihitung dengan by difference :

Persentase Kadar Karbohidrat = 100% - (% air + % lemak + % protein + % abu)

Analisa Karakteristik Fisik Tortilla Corn Chips

Derajat Gelatinisasi (Wooton, et al., 1971). Derajat gelatinisasi didefinisikan

sebagai rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati produk yang dihitung dengan metode spektrofotometer dengan mengukur kompleks pati-iodin yang terbentuk dari suspensi contoh sebelum dan sesudah dilarutkan dalam alkali.

Produk yang dihaluskan sampai ukuran ± 60 mesh, ditimbang sebanyak 1 g dan didispersikan dalam 100 ml air dalam waring blender selama 1 menit. Suspensi kemudian disentrifuse pada suhu ruang dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil duplo, lalu masing – masing ditambah 0,5 ml HCl 0,5M dan dijadikan 10 ml dengan akuades. Pada salah satu tabung duplo tersebut ditambahkan 0,1 ml larutan iodium, lalu contoh diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm, begitu juga dengan tabung yang tanpa iodium.

Suspensi disiapkan dangan cara mendispersikan produk yang sudah dihaluskan sebanyak 1 gram dalam 95 ml air dan ditambah 5 ml NaOH 10M. Suspensi dikocok selama 5 menit kemudian disentrifuse selama 15 menit pada suhu ruang dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0,5 ml secara duplo, ditambah 0,5 ml HCl 0,5M dan dijadikan 10 ml dengan akuades. Pada salah satu tersebut ditambahkan 0,1 ml iodium dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm, begitu juga dengan tabung yang tanpa iodum.

Secara ringkas, pengamatan dilakukan dengan urutan sebagai berikut :

1. Larutan yang ditambahkan HCl digunakan sebagai standar untuk pati yang tergelatinisasi.

(43)

2. Larutan bahan yang ditambahkan HCl dan larutan iodium, sebagai larutan pati yang tergelatinisasi.

3. Larutan bahan yang ditambahkan NaOH dan HCl sebagai larutan standar untuk total pati.

4. Larutan bahan yang ditambahkan NaOH, HCl, dan larutan iodium sebagai larutan total pati.

Derajat gelatinisasi dihitung dengan rumus :

100% 2 A 1 A si Gelatinisa Derajat = x Keterangan :

A1 = absorbansi standar pati yang tergelatinisasi – absorbansi larutan pati yang tergelatinisasi.

A2 = absorbansi larutan standar total pati – absorbansi larutan total pati

Derajat Pengembangan (Linko et al., 1981). Pengukuran dilakukan di

Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pengukuran volume produk dilakukan sebanyak 6 kali ulangan dengan menggunakan alat jangka sorong digital, dengan mengukur panjang, lebar, dan ketebalan dari tortilla corn chips sebelum dan setelah dipanggang, kemudian dihitung volumenya dengan mengalikan nilai panjang, lebar, dan ketebalan yang didapat. Derajat pengembangan ditentukan dengan rumus :

x 100 ) (mm Awal Produk Volume ) (mm Akhir Produk Volume (%) an Pengembang Derajat 3 3 = %

Kekerasan. Kekerasan produk ditentukan secara objektif menggunakan rheoner.

Sampel ditekan dengan plunger berbentuk silinder yang berdiameter 4 mm. pengukuran dilakukan dengan chart speed 60 mm/menit. Beban (load) yang digunakan adalah 2 valve sehingga skala penuh pada chart adalah 200 gf. Table speed yang digunakan 0,5 mm/detik dengan preset nomor 1 (pergerakan 10 mm). Tingkat kekerasan produk dinyatakan dalam gram gaya (gf), yang berarti besarnya gaya tekan yang diperlukan untuk deformasi produk sampai pecah.

(44)

Indeks Penyerapan Air (IPA) dan Indeks Indeks Kelarutan Air (IKA) Metode Sentrifugasi (Anderson et al., 1984 disitir oleh Muchtadi et al., 1988). Sampel

sebanyak satu gram dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge yang telah diketahui beratnya. Sebanyak 10 ml aquades kemudian ditambahkan ke dalam tabung dan diaduk dengan vibrator sampai semua bahan terdispersi secara merata. Tabung selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh dituang secara hati-hati ke dalam wadah lain, sedangkan tabung sentrifuge beserta residunya dipanaskan dalam oven. Tabung diletakkan dengan posisi miring (25o) dan oven diatur pada suhu 50oC selama 25 menit. Tabung berisi residu ditimbang untuk menentukan berat air terserap.

Supernatan yang diperoleh diambil sebagai contoh sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam cawan timbang yang telah diketahui beratnya. Cawan lalu dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan pada suhu 110oC sampai semua air menguap. Cawan didinginkan dan ditimbang untuk mengetahui berat bahan kering yang terdapat dalam supernatan. Indeks penyerapan air dan indeks kelarutan dalam air ditentukan dengan persamaan berikut :

arut bahan terl berat -awal berat terserap yang air berat (ml/g) IPA = larutan ml 2 larutan ml 2 dalam terlarut yang bahan berat (g/ml) IKA =

Warna (Hutching, 1999). Metode Hunter, parameter warna yang diukur pada

produk tortilla corn chips ini, menggunakan Hunter Lab System yang diukur dengan menggunakan alat Minolta Chromameter CR-310. Metode Hunter ini diindikasikan dengan beberapa komponen warna yang diukur, yaitu L, a, dan b, kemudian parameter warna lain yang diukur dengan Minolta Chromameter CR-310 adalah C dan ho (hue). Notasi L menyatakan parameter kecerahan (light) yang mempunyai nilai 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik putih, abu-abu, dan hitam. Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai 100 untuk warna merah dan –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran kuning-biru dengan nilai +b (positif) dari 0

Gambar

Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (per 100 gram bahan)
Tabel 2. Jenis, Sifat, dan Karakteristik Protein Putih Telur
Tabel 3. Komposisi Kimia Jagung
Tabel 5. Syarat Mutu Makanan Ringan
+7

Referensi

Dokumen terkait