• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tradisional dimulai dengan peperangan antar suku (tribes), dengan menguasai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tradisional dimulai dengan peperangan antar suku (tribes), dengan menguasai"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkembangan jenis tindak pidana di dalam era masyarakat internasional tradisional dimulai dengan peperangan antar suku (tribes), dengan menguasai tanah dan harta kekayaan serta masyarakat oleh suku yang menang perang atas suku yang kalah perang. Penyelesaian peperangan di masa itu tidak dilakukan melalui suatu perjanjian khusus melainkan melalui suatu pernyataan menang perang dari suku yang telah dapat mengalahkan suku lainnya. Kemenangan dari peperangan pada masa itu dengan sendirinya merupakan perluasan atau penambahan wilayah kekuasaan dari suku yang menang perang dan sekaligus pemasukan dan penambahan harta kekayaan dari suku tersebut.1

Pengaturan tentang perang diperjelas dan harus dilandaskan pada “sebab yang layak dan benar” (just cause), diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku, dan dilaksanakan dengan cara-cara yang benar. Pengaturan- pengaturan tersebut berasal dari pengajuan hukum yang diberikan oleh ahli- ahli hukum seperti Cicero dan St. Augustine. Mereka yang melakukan tindakan pelanggaran atas hukum kebiasaan dan hukum Tuhan dari suatu bangsa disebut dan dikenal kemudian sebagai kejahatan internasional.2

Perkembangan tindak pidana internasional atau kejahatan internasional setelah perang salib diawali dengan munculnya tindakan pembajakan di laut

1Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Jakarta,

2003, hal. 2

(2)

(piracy), yang dipandang sebagai musuh semua bangsa karena telah merusak hubungan perdagangan antar bangsa yang dianggap sangat penting pada masa itu. Sehingga hal tersebut dipersoalkan terutama di kalangan para ahli hukum dari berbagai bangsa yang sudah maju pada masa itu.3

Bajak laut dianggap sebagai kejahatan internasional karena kejahatan tersebut merusak hubungan dagang antar bangsa. Menurut Schwarzenberger , perkembangan hukum pidana internasional antara lain ditandai dengan perjanjian mengenai bajak laut antara Inggris dan Amerika yang dikenal dengan Jay Treaty pada tanggal 19 November 1947 dan Perjanjian Nyon atau Nyon Agreement 1937.4

Kendatipun dalam perjanjian tersebut tidak terdapat ketentuan yang menegaskan pelaku bajak laut sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara internasional, perjanjian-perjanjian tersebut memperlihatkan upaya masyarakat internasional yang menyadari dan mengakui adanya tindakan perorangan atau negara yang dipandang sebagai kejahatan internasional.5

Berdasarkan eksistensi kejahatan internasional, kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia tergolong baru, namun dari hirarki kejahatan internasional, kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia menempati hirarki yang paling

3Ibid., hal. 3 4Ibid.,hal. 9

5Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, 2009, hal.

(3)

utama. M. Cherif Bassioouni membagi tingkatan kejahatan internasional menjadi tiga, yaitu :6

1. Kejahatan internasional yang disebut juga sebagai ‘international crimes’ adalah bagian dari jus cogens. Tipikal dan karakter ‘international crime’ berkaitan dengan perdamaian dan keamanan manusia serta nilai- nilai kemausiaan yang fundamental. Termasuk dalam ‘international crime’ antara lain adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. 2. Kejahatan internasional yang disebut sebagai ‘international delicts’. Tipikal

dan karakter ‘international delicts’ berkaitan dengan kepentingan internasional yang dilindungi meliputi lebih dari satu negara atau korban dan kerugian yang timbul berasal lebih dari satu negara. Termasuk dalam ‘international delicts’ adalah pembajakan pesawat udara, pembiayaan terorisme, perdagangan obat- obatan terlarang secara melawan hukum, dan kejahatan terhadap petugas PBB.

3. Kejahatan internasional yang disebut dengan istilah ‘international infractions’. Dalam hukum pidana internasional secara normatif, ‘international infractions’ tidak termasuk dalam kategori ‘international crime’ dan ‘international delicts’. Dan kejahatan yang tercakup dalam ‘international infraction’ antara lain adalah pemalsuan dan peredaran uang palsu serta penyuapan terhadap pejabat publik asing.

Eksistensi hukum pidana internasional tidaklah mungkin dipisahkan dengan keberadaan kejahatan internasional sebagai substansi dari hukum pidana

6Eddy O.S. Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM,

(4)

internasional itu sendiri. Pada awalnya, keberadaan kejahatan internasional berasal dari kebiasaan yang terjadi dalam praktek hukum internasional. Kejahatan perang dan bajak laut adalah kejahatan internasional tertua di dunia yang lahir dari hukum kebiasaan internasional.7 Secara eksplisit, kejahatan bajak laut (piracy) dinyatakan sebagai salah satu bentuk terorisme.8

Teror telah hadir dan menjelma dalam kehidupan kita sebagai momok, sebagai virus ganas dan monster yang menakutkan yang sewaktu- waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelmakan terjadinya “prahara nasional dan global”, termasuk mewujudkan tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia kehilangan eksistensinya dan tercabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan kebiadaban berupa aksi animalisasi (kebinatangan) sosial, politik, budaya dan ekonomi. 9

Teror telah terjadi dimana- mana dan kapan saja. Teror telah menjadi penyakit yang akrab dan melekat dalam bangunan kehidupan bernegara. Misalnya, penegak hukum yang merupakan representasi rakyat dalam melindungi dan menegakkan Hak Asasi Manusia dewasa ini tekah dibuat sibuk mencermati (mengantisipasi), melacak, dan menangani berbagai kasus teror dan kekerasan kolektif yang sepertinya sangat sulit mencapai titik minimalisasi, apalagi titik akhir.10

7Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hal. 11

8M. Cherif Bassiouni, Introduction to International Criminal Law, Inc. Ardsley, New

York, 2003, hal.149.

9Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika

Aditama, Bandung, 2004, hal. 1.

(5)

Teror telah menunjukkan gerakan nyatanya sebagai tragedi atas Hak Asasi Manusia. Karena akrabnya aksi teror ini digunakan sebagai salah satu pilihan manusia, akhirnya teror bergeser dengan sendirinya sebagai “terorisme”. Artinya terorisme ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa untuk menunjukkan potret lain dari dan diantara berbagai jenis dan ragam kejahatan, khususnya kejahatan kekerasan, kejahatan terorganisir dan kejahatan yang tergolong luar biasa (extra ordinary crime).11

Terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, secara akademis terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” atau ”Extra Ordinary crime” dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau ”crime against humanity”. Mengingat kategori yang demikian maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara biasa sebagaimana menangani tindak pidana pencurian, pembunuhan atau penganiayaan12

Menurut Muladi, terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extraordinary Measure) karena berbagai hal:13

1. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar (the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi

11Ibid. hal. 2

12Keterangan pemerintah tentang diterbitkannya Peraturan Perundang-undangan Nomor 1

tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, hlm. 8.

13Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Alumni, Bandung

(6)

manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk bebas dari rasa takut.

2. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah.

3. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan teknologi modern.

4. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme nasional dengan organisasi internasional.

5. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi baikyang bersifat nasional maupun transnasional.

6. Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama di dunia ini. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi yang mempunyai jaringan global dimana kelompok- kelompok teroris yang beraksi di berbagai negara telah terkooptasi oleh suatu jaringan terorisme internasional serta mempunyai hubungan serta mekanisme kerja sama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun struktur pendukung (support infrastructure).14

Perspektif Indonesia, terorisme merupakan salah satu ancaman utama dan nyata terhadap pelaksanaan amanat konstitusi antara lain melindungi segenap tanah air dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Oleh

(7)

karena itu sudah sepantasnyalah bila terorisme dianggap ancaman terhadap kohesi nasional yang akan berpengaruh terhadap penciptaan stabilitas nasional. Sementara penciptaan stabilitas nasional merupakan salah satu kunci pemulihan ekonomi guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Salah satu pendekatan adalah pendekatan hukum.15

Telah 2 tahun berlalu sejak kejadian yang menggemparkan masyarakat Indonesia dan juga para pemimpin bangsa ini, yaitu meledaknya bom di Bali yang terjadi pada 12 oktober 2002 di Sari Club dan Peddy’s Club Kuta Legian Bali, yang kemudian lebih dikenal masyarakat dengan istilah Bom Bali I dan II, oleh sekelompok orang yang dicap sebagai kaum teroris, juga menghentakkan dunia mengingat Bali adalah pulau tujuan wisata dunia yang tidak asing lagi.16

Peristiwa 11 September 2001 yang berupa dihancurkannya gedung kembar World Trade Centre dengan cara menubrukkan pesawat udara oleh kaum teroris dengan aksi bunuh dirinya yang menjadikan dunia tersentak secara mendadak, bahwa dihadapan umat manusia ini sewaktu- waktu bisa muncul teroris dengan perbuatannya yang sangat mengerikan.17

Menurut S. Endriyono, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 15 Oktober 2002 mengeluarkan Solusi Nomor 1438, yang menyatakan bahwa serangan di Bali sebagai ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional, oleh karena itu semua anggota PBB harus bekerjasama untuk memerangi terorisme.18 Dan

15Ibid.

16I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internsional dan Ekstradisi, Yrama Widya,

Bandung, 2004, hal. 70

17Ibid.

18S. Endriyono, Terorisme Ancaman Sepanjang Masa, Media Agung Persada, Semarang,

(8)

bukan hanya para pemimpin bangsa yang tergabung dalam PBB, masyarakat masing- masing negara juga harus ikut ambil bagian dalam usaha pemberantasan dan pencegahan terorisme.

PBB telah menaruh perhatian cukup lama terhadap permasalahan terorisme. Perhatian ini dapat dilihat dari upaya yang dilakukannya secara terpadu, baik melalui upaya hukum maupun politik. Melalui upaya hukum PBB telah menghasilkan sejumlah konvensi yang terkait dengan persoalan terorisme, diantaranya sebagai berikut :19

1. Convention on Ofences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft. Ditandatangani di Tokyo tanggal 14 September 1963 dan mulai belaku tanggal 4 Desember 1969.

2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft. Ditandatangani di Hague tanggal 16 Desember 1970 dan mulai berlaku tanggal 14 Oktober 1971.

3. Covention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 23 September 1971 dan mulai berlaku tanggal 26 Januari 1973.

4. Convention on the Prevention and Punisment of crimes agains internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 3166 (XXVIII) tanggal 14 Desember 1973 dan mulai berlaku tanggal 20 Februari 1977.

19 F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003,

(9)

5. International Convention against the Taking of Hostages. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 34/46 tanggal 17 Desember 1979 dan mulai berlaku tanggal 3 Juni 1983.

6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material. Ditandatangani di Vienna dan New York tanggal 3 Maret 1980. Disetujui di Vienna tanggal 26 Oktober 1979 dan mulai berlaku tanggal 8 Februari 1987.

7. The Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation. Tambahan untuk Convention for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 24 Februari 1988 dan mulai berlaku tanggal 6 Agustus 1989.

8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Maritime Navigation. Diterima di Roma tanggal 10 Maret 1988 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992.

9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Fixed Platform Located on the Continental Shelf. Diterima di Roma tanggal 10 Maret 1988 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992.

10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection. Dibuat di Montreal tanggal 1 Maret 1991 dan mulai berlaku tanggal 21 Juni 1998.

(10)

11. International Convention for the Supression of Terorist Bombing. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 52/164 tanggal 15 Desember 1997 dan mulai berlaku tanggal 23 Mei 2001.

12. International Convention on the Supression of Financing of Terrorism. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 54/109 tanggal 9 Desember 1999 dan mulai berlaku tanggal 10 April 2002.

Pemerintah Amerika Serikat sendiri menganggap terorisme sebagai kejahatan politik. Definisi yang diberikan Pemerintah Amerika Serikat mengenai terorisme adalah “the unlawful use or threat of violence againts person or property to further political or social objectives”.20 Sejak peristiwa 11 September 2001, Pemerintah Amerika Serikat bersikap tegas tidak melakukan kompromi, dan menolak melakukan negosiasi dengan kelompok teroris karena negosiasi hanya akan memperkuat posisi kelompok teroris. Sikap Amerika Serikat ini nampak dalam ucapan Presiden George W. Bush. “If you are not with us, you are against us” dan selanjutnya negara-negara berat sekutu Amerika mengikuti langkah Amerika Serikat memerangi terorisme.

Pengaturan kejahatan- kejahatan internasional sebagai substansi hukum pidana internasional dalam hukum pidana nasional masing- masing negara bukanlah suatu kewajiban, tetapi lebih merupakan suatu kebutuhan dalam tata pergaulan internasional, khususnya berkaitan dengan masalah ekstradisi. Salah satu prinsip utama dalam ekstradisi adalah double criminality yang pada intinya menyatakan bahwa ekstradisi hanya dapat dilakukan jika tindakan tersebut adalah

20Poltak Pantegi Nainggolan, Terorisme dan Tata Dunia Baru, Penerbit Sekjen DPR-RI,

(11)

suatu kejahatan menurut hukum nasional negara peminta maupun menurut hukum nasional negara yang diminta.

Hubungan antara hukum pidana internasional dan hukum pidana nasional adalah hubungan yang bersifat komplementer antara satu dengan yang lain dan memiliki arti penting dalam rangka penegakan hukum itu sendiri. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya asas dalam hukum pidana nasional yang diadopsi sebagai asas- asas dalam hukum pidana internasional. Dalam ketentuan KUHP di semua negara, khususnya berkaitan dengan asas berlakunya hukum pidana menurut tempat, yang dicakup bukanlah sekedar teritorial negara tersebut, tetapi juga tempat- tempat tertentu yang dianggap sebagai perluasan teritorial, kendatipun berada di wilayah negara lain. Demikian pula sebaliknya, tindakan-tindakan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional oleh hukum pidana internasional kemudian diadopsi ke dalam ketentuan- ketentuan dalam hukum pidana nasional dengan tujuan agar kejahatan tersebut tidak terjadi di negaranya.21

Berdasarkan latar belakang di atas merasa tertarik memilih judul Eksistensi Konvensi Internasional Tentang Terorisme Ditinjau Dari Hukum Pidana Nasional.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai pemberantasan terorisme dari hukum pidana Internasional?

(12)

2. Bagaimana pengaturan mengenai terorisme dari hukum nasional Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Suatu penulisan skripsi, perlu memiliki suatu tujuan didalam penulisan skripsi tersebut, sehingga dapat memberikan arah dan jawaban atas permasalahan yang ada. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai pemberantasan terorisme dari hukum pidana Internasional.

2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme dari Hukum Nasional Indonesia.

Penulisan skripsi ini penulis mengharapkan agar terwujud manfaat dan kegunaan yang diperoleh adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Untuk menambah pengetahuan tentang pengaturan tindak pidana khusus mengenai pencegahan dan pemberantasan terorisme.

b. Untuk memberikan kontribusi tentang pertimbangan hukum dibentuknya suatu peraturan perundang- undangan di Indonesia.

2. Manfaat praktis

a. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan pembaca tentang tindak pidana terorisme, agar masyarakat mengenali, mencegah, dan turut membantu memberantas tindak pidana terorisme.

(13)

b. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang berbagai peraturan yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.

c. Memberikan pengetahuan kepada para penegak hukum agar menindak para pelaku teror sesuai dengan hukum positif Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Bahwa penulisan skripsi dengan judul “ Eksistensi Konvensi Internasional tentang Terorisme Ditinjau dari Segi Hukum Pidana Nasional” telah diperiksa melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang memberikan beberapa skripsi yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, antara lain skripsi dengan judul “ Aspek Hukum Terhadap Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Menurut Perppu No. 1 Tahun 2002 Jo. Undang- Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme” , oleh : Dwi Prasetya, NIM : 000200033

E. Tinjauan Pustaka

1. Asas- Asas Hukum Pidana Internasional

a. Asas kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat negara- negara

Asas inilah yang menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidak, memiliki kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya, sesuai dengan hukum

(14)

internasional. Asas inilah yang selanjutnya menurunkan asas- asas lainnya dari hukum internasional, seperti: 22

1) Asas non intervensi

2) Asas saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat negara- negara

3) Asas hidup berdampingan secara damai

4) Asas penghormatan dan perlindungan atas hak asasi manusia

5) Asas bahwa suatu negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan kedaulatan di dalam wilayah negara lainnya

b. Asas non intervensi

Menurut asas ini, suatu negara tidak boleh ikut campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain, kecuali negara itu sendiri menyetujuinya secara tegas. Jika dalam suatu negara, misalnya, dengan menggunakan kekuataan bersenjata berupa berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non intervensi. Tindakan Israel mengeintervensi Lebanon pada tahun 1984, atau tindakan Amerika Serikat dan sekutunya untuk menyerbu Irak pada tahun 2004, adalah sekedar beberapa contoh intervensi.

c. Asas hidup berdampingan secara damai

Asas ini menekankan kepada negara- negara dalam menjalankan kehidupan baik internal maupun eksternal, supaya dilakukan dengan cara hidup

(15)

bersama secara damai, saling menghormati dan menghargai antara satu dengan yang lainnya. Apabila ada masalah atau sengketa yang timbul antara dua atau lebih negara supaya diselesaikan secara damai. Wujud dari asas hidup berdampingan secara damai ini dapat dilihat pada pengaturan masalah- masalah internasional baik dalam ruang lingkup global, regional, maupun bilateral adalah dengan merumuskan kesepakatan- kesepakatan untuk mengatur masalah tertentu dalam bentuk perjanjian- perjanjian internasional.

d. Asas penghormatan dan perlindungan terhadapa hak asasi manusia

Asas ini membebani kewajiban kepada Negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh Negara-negara atas seseorang ataupun lebih dalam status apapun juga, tindakannya itu tidak boleh melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh suatu negara membuat peraturan perundang – undangan nasional dalam bidang hukum pidana, seperti undang – undang terorisme, undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana pemalsuan urang, dan lain-lainnya, tidak boleh ada ketentuannya yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Misalnya, ketentuan yang menyatakan, bahwa terhadap orang yang di duga terlibat didalam peristiwa tersebut, dapat dikenakan penahanan tanpa suatu batas waktu tertentu, atau ditahan untuk selamanya.

e. Asas legalitas

Asas legalitas yang dikenal juga dengan Asas nullum delictum noela poena sine poenale, sebagai salah satu asas utama didalam hukum pidana nasional

(16)

Negara-negara, pada hakikat nya menyatakan, bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum di atur didalam suatu undang – undang pidana nasional. Tegasnya, untuk dapat diadili atau dijatuhi hukuman atas perbuatannya jika terbukti bersalah, haruslah didasarkan pada adanya undang-undang pidana yang ada dan berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan.

f. Asas Non-Retroactive

Asas non-retroactive ini merupakan turunan dari asas legalitas. Dengan keharusan untuk menetapkan terlebih dahulu suatu perbuatan bagi kejahatan atau tindak pidana didalam hukum atau peraturan perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu barulah negara menerapkannya terhadap sipelaku perbuatan tersebut. Dalam arti negatif, peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang sama yang terjadi sebelum berlakunya peraturan perundang-undangan itu. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh diberlakukan surut. Inilah yang lebih dikenal dengan asas non-retroactive.

g. Asas Culpabilitas

Asas ini yang juga merupakan salah satu assas utama dari hukum pidana nasional negara-negara menyatakan, bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya sudah dapat dibuktikan berdasarkan atas peraturan perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu. Sebaliknya jika kesalahannya tidak berhasil dibuktikan, maka dia harus dibebaskan dari tuntutan pidana. Jika dirumuskandengan kalimat yang lebih

(17)

singkat dan konkrit, bahwa seseorang tidak boleh dipidana tanpa ada kesalahan (tiada pidana tanpa kesalahan). Asas ini selanjutnya menurunkan asas lainnya, seperti, asas praduga tak bersalah (presumption if innocent).

h. Asas praduga tak bersalah (Presumtion of Innocent)

Menurut asas ini, seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan badan peradilan yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti. Berdasarkan asas ini, setiap orang yang didakwa melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana harus diperlakukan sebagaimana layaknya manusia biasa yang tidak bersalah, dengan segala hak asasi manusia yang melekat pada dirinya. Dia tidak boleh diperlakukan secara sewenang- wenang, secara kejam, secara tidak menusiawi, ataupun diperlakukan di luar batas- batas perikemanusiaan. Bahkan andaikata kesalahan yang dilakukan terhadapnya sudah terbuktipun dan sudah dijatuhi putusan oleh pengadilan dengan kekuatan mengikat yang pasti, dia juga harus tetap diperlakukan seperti manusia biasa dengan segala hak asasinya.

i. Asas Ne Bis In Idem

Asas ini menegaskan, bahwa orang yang sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yaang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan untuk kedua kalinya atau lebih, atas kejahatan atau tindak pidana tersebut. Dengan perkataan lain, seseorang tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan lebih dari satu kali

(18)

atas suatu perbuatan yang dilakukannya. Adapun dasar pertimbangan mengapa seseorang tidak boleh diadili atau dijayuhi putusan lebih dari satu kali atas suatu perbuatan atau tindak pidana yang dilakukannya, disebabkan karena dia akan sangat dirugikan dan terhadapnya tidak diberikan jaminan kepastian hukum.

2. Pengertian Konvensi Internasional

Konvensi (convention)23, yaitu persetujuan formal yang bersifat multilateral dan tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). Persetujuan ini hams dilegalisasi oleh wakilwakil yang berkuasa penuh (plaenipotentiones).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 24, konvensi diartikan sebagai Permufakatan atau kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi) dan Perjanjian antarnegara, para penguasa pemerintahan. Secara umum konvensi merupakan suatu bentuk kebiasaan dan terpelihara dalam praktek serta tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum internasional sebuah konvensi dapat berupa perjanjian internasional tertulis yang tunduk pada ketentuan hukum kebiasaan internasional, yurisprudensi atau prinsip hukum umum. Sebuah konvensi internasional dapat diberlakukan di Indonesia, setelah terlebih dahulu melalui proses ratifikasi yang dilakukan oleh DPR.

Definisi konvensi atau pengertian hukum dasar yang tidak tertulis adalah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan

23http://www.semipedia.com/2012/08/istilah-istilah-perjanjian-internasional.html diakses

tanggal 13 Sepetember 2015.

24http://bayudwiprasetiya.blogspot.com/2013/06/konvensi-internasional.html diakses

(19)

negara meskipun sifatnya tidak tertulis. Konvensi ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

1. Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam praktek penyelenggarannya

2. Tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar dan berjalan sejajar 3. Diterima oleh seluruh rakyat

4. Bersifat sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai aturan-aturan dasar yang tidak terdapat dalam Undang-undang Dasar.

3. Pengertian Terorisme

Kata terorisme atau pelaku dari terorisme atau aksi berasal dari kata “terrere” yang kurang berarti membuat gemetar atau menggetarkan, kata teror juga bisa mengerikan atau kengerian dihati atau pikiran dari korban terorisme.

Kata terorisme sudah sejak lama dikenal di dunia internasional sebagai salah satu pidana yang khusus di masyarakat dunia sebagai salah satu upaya merusak keamanan dan kestabilan suatu bangsa bahkan dalam buku Romli Atmasasmita, yang berjudul Pengantar Hukum Pidana Internasional, terorisme sudah dikenal sejak tahun 1996 dan berkembang dengan sangat pesatnya di Eropa dan di Negara-negara Timur Tengah dan Asia. Berbagai peristiwa pengeboman dan korban massal sebagai akibat kegiatan terorisme sudah terjadi terutama dibelahan utara daratan Asia dan di belahan selatan benua Afrika dan di beberapa

(20)

Negara Eropa Utara, pasca perang dingin kegiatan terorisme beralih ke benua Asia dan beberapa Negara ASEAN termasuk Indonesia.25

Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Terorism (ECST) di Eropa tahun 1977, dimana terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes Against State menjadi Crimes Against Humanity. Crimes Against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan dan masyarakat umum ada dalam suasana teror, yang dari segi HAM dikategorikan kedalam gross violation of human rights yang dilakukan sebagai bagian serangan meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan langsung terhadap penduduk sipil, lebih- lebih diarahkan kepada jiwa- jiwa tidak bersalah (public by innocent).26

Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam kiranya perlu dikaji terlebih dahulu pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan baik oleh lembaga maupun beberapa penulis/ pakar atau ahli, yaitu :

1. US Departements of state and defense

Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok nonkombatan.Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.27 2. Black’s Law Dictionary

25Romli Atmasasmita, Pegantar Hukum Pidana Internasional bagian II, Hecca Mitra

Utama, Jakarta, 2004, hal 73.

26Abdul Wahid, Op. Cit, hal. 23. 27Ibid., hal 24.

(21)

Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk ;(i) mengintimidasi penduduk sipil ;(ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah;(iii) mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.28

3. US Central Inteligence Agency (CIA)

Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/ atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing. 29

4. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer

Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, terutama untuk tujuan politik.30

5. Dalam Pasal 1 Perpu No. 01 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek- objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia

28Ibid. 29Ibid. 30Ibid. hal. 31.

(22)

negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.31

Menurut Abdul Wahid, kegiatan terorisme sendiri tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun, karena ciri-ciri utamanya yaitu32 :

1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk menciptakan ketakutan publik;

2. Ditujukan kepada negara, masyarakat atau individu atau kelompok masyarakat tertentu;

3. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga;

4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir.

Menurut pendapat James H. Wolfe menyebutkan beberapa karakteristik terorisme sebagai berikut:

1. Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat politis maupun nonpolitis;

2. Sasaran yang menjadi objek aksi terorisme bisa sasaran sipil (supermarket, mall, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit dan fasilitas umum lainnya) maupun sasaran non-sipil (fasilitas militer, kamp militer);

3. Aksi terorisme dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau mempengaruhi kebijakan pemerintah negara;

31Ibid. 32Ibid. hal. 32.

(23)

4. Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak menghormati hukum internasional atau etika internasional.33

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama di dunia ini. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme yang beroperasi diberbagai negara telah terkooptasi oleh suatu jaringan terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung (support infrastructure).34

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam perumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum yuridis normatif, dengan metode pendekatan kualitatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini.

Sebagai mana yang dikemukakan oleh Soetandyo Wijnjosoebroto yang telah dikutip Sanusy Lian Nury membagi penelitian hukum, sebagai berikut:

33 Ibid. hal. 35.

(24)

a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif berupa peraturan perundangan-undangan.

b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar dalam falsafah hukum positif.

c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concerto yang layak diterapakan untuk menyelesiakan suatu perkara tertentu.

2. Data dan Sumber data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, internet, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan hukum primer yg paling utama digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Undang-Undang Dasar 1945;

2) Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme;

(25)

4) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970, dan Konvensi Montreal 1971;

5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Antara lainberupa buku-buku atau literatur yang berkaitan atau membahas tentang tindak pidana pemberantasan terorisme.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

3. Metode pengumpulan data

Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

(26)

Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif. Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil yang mempergunakan pendekatan yuridis dan sosiologis.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan pembahasan yang jelas.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai isi tulisan skripsi ini. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini dimulai dengan mengemukakan mengenai, latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TERORISME DARI

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Bab ini menguraikan mengenai bagaimana pengaturan hukum mengenai terorisme, mulai dari sumber hukum internasionalnya,

(27)

sampai tahapan menjadikan sumber hukum internasional tersebut dapat dijadikan sumber hukum nasional.

BAB III PENGATURAN MENGENAI PENCEGAHAN DAN

PEMBERANTASAN TERORISME DARI HUKUM NASIONAL INDONESIA

Bab ini memaparkan penjelasan mengenai peraturan tentang pemberantasan terorisme di Indonesia dan juga membahas penerapan atau implementasi peraturan tersebut di Indonesia.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian dan saran dari penulis dari permasalahan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Merapi Utama Pharma (Studi di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara). Adapun permasalahan yang timbul dalam penulisan ini adalah bagaimanakah prosedur

tugas akhir ini dikaji pengaruh ukuran butiran air hujan terhadap tegangan tembus udara, dengan pemodelan simulasi hujan buatan pada peralatan tegangan tinggi dengan

[r]

Tingkah laku siswa diluar kelas tampak aktif dan senang bermain. Selain itu, siswa SD Negeri Kepek terlihat sopan kepada guru maupun tamu-tamu yang datang. Setiap

Pokja Konstruksi pada Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Kabupaten Aceh Barat Daya akan melakukan klarifikasi dan/atau verifikasi kepada penerbit dokumen, apabila diperlukan.

Kelompok Kerja Jasa Konsultansi Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Kabupaten Lamandau telah menetapkan peringkat teknis untuk Pekerjaan Pendataan Rumah Tidak Layak Huni

[r]

Pada hari ini Selasa tanggal Dua Puluh Lima bulan September Tahun Dua Ribu Dua Belas, kami yang bertanda tangan dibawah ini Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Bina Marga