• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pendukung Keputusan

Sistem pendukung keputusan (decision support sistem) defenisi awalnya adalah suatu sistem yang ditujukan untuk mendukung manajemen pengambilan keputusan. Sistem berbasis model yang terdiri dari prosedur-prosedur dalam pemrosesan data dan pertimbangannya untuk membantu manajer dalam mengambil keputusan. Agar berhasil mencapai tujuannya maka sistem tersebut harus: (1) sederhana, (2) robust, (3) mudah untuk dikontrol, (4) mudah beradaptasi, (5) lengkap pada hal-hal penting, (6) mudah berkomunikasi dengannya. Secara implisit juga berarti bahwa sistem ini harus berbasis komputer dan digunakan sebagai tambahan dari kemampuan penyelesaian masalah dari seseorang.

Pemrosesan data elektronik (electronic data processing) adalah suatu proses mengumpulkan data dan menilai bukti untuk menentukan apakah sistem komputer mampu mengamankan aset, memelihara kebenaran data, maupun mencapai tujuan organisasi perusahaan secara efektif dan menggunakan aktiva perusahaan secara hemat.

Tabel 2.1. Perbedaan SPK dengan (Electronic Data Processing) EDP

Defenisi lain dari SPK adalah (1) sistem tambahan, (2) mampu untuk mendukung analisis data secara ad hoc dan pemodelan keputusan, (3) berorientasi

(2)

pada perencanaan masa depan, dan (4) digunakan pada interval yang tak teratur atau tak terencanakan.

Ada juga defenisi yang menyatakan bahwa SPK adalah sistem berbasis komputer yang terdiri dari 3 komponen interaktif:

1. Sistem bahasa – mekanisme yang menyediakan komunikasi antara user dan pelbagai komponen dalam SPK

2. Knowledge sistem – penyimpanan knowledge domain permasalahan yang ditanamkan dalam SPK, baik sebagai data ataupun prosedur

3. Sistem pemrosesan permasalahan – link diantara dua komponen, mengandung satu atau lebih kemampuan memanipulasi masalah yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan

Defenisi terakhir adalah, istilah SPK mengacu pada “situasi dimana sistem ‘final’ dapat dikembangkan hanya melalui adaptive process pembelajaran dan evolusi”. SPK didefenisikan sebagai hasil dari pengembangan proses dimana user SPK, SPK builder, dan SPK itu sendiri, semuanya bisa saling mempengaruhi, yang tercermin pada evolusi sistem itu dan pola-pola yang digunakan. Semua istilah diatas dapat digambarkan pada tabel berikut ini :

(3)

2.1.1 Karakteristik dan Kemampuan SPK

Gambar 2.1 Karakteristik dan kemampuan SPK (Turban, 1995)

Dibawah ini merupakan karakteristik dan kemampuan ideal dari suatu SPK:

1. SPK menyediakan dukungan bagi pengambil keputusan utama pada situasi semi terstruktur dan tidak terstruktur dengan memadukan pertimbangan manusia dan informasi terkomputerisasi. Pelbagai masalah tak dapat diselesaikan (atau tak dapat diselesaikan dengan memuaskan) oleh sistem terkomputerisasi lain, seperti EDP, tidak juga dengan metode atau tool kuantitatif standar.

2. Dukungan disediakan untuk pelbagai level manajerial yang berbeda, mulai dari pimpinan puncak sampai manajer lapangan.

3. Dukungan disediakan bagi individu dan juga bagi grup. Berbagai masalah organisasional melibatkan pengambilan keputusan dari orang dalam grup. Untuk masalah yang strukturnya lebih sedikit seringkali hanya membutuhkan keterlibatan beberapa individu dari departemen dan level organisasi yang berbeda.

(4)

4. SPK menyediakan dukungan ke berbagai keputusan yang berurutan atau saling berkaitan.

5. SPK mendukung berbagai fase proses pengambilan keputusan: intelegence, design, choice dan implementation.

6. SPK mendukung berbagai proses pengambilan keputusan dan style yang berbeda-beda, ada kesesuaian diantara SPK dan atribut pengambil keputusan individu

7. SPK selalu bisa beradaptasi sepanjang masa. Pengambil keputusan harus reaktif, mampu mengatasi perubahan kondisi secepatnya dan beradaptasi untuk membuat SPK selalu bisa menangani perubahan ini. SPK adalah fleksibel, sehingga user dapat menambahkan, menghapus, mengkombinasikan, mengubah, atau mengatur kembali elemen-elemen dasar) menyediakan respon cepat pada situasi yang tak diharapkan). Kemampuan ini memberikan analisis yang tepat waktu dan cepat setiap saat.

8. DSS mudah untuk digunakan. User harus merasa nyaman dengan sistem ini. User friendliness, fleksibelitas, dukungan grafis terbaik, dan antarmuka bahasa yang sesuai dengan bahasa manusia dapat meningkatkan efektifitas SPK. Kemudahan penggunaan ini diimplikasikan pada mode yang interaktif.

9. SPK mencoba untuk meningkatkan efektivitas dari pengambilan keputusan (akurasi, jangka waktu, kualitas), lebih daripada efisiensi yang bias diperoleh (biaya membuat keputusan, termasuk biaya penggunaan komputer).

10. Pengambil keputusan memiliki kontrol menyeluruh terhadap semua langkah proses pengambilan keputusan dalam menyelesaikan masalah. SPK secara khusus ditujukan untuk mendukung dan tak menggantikan pengambilan keputusan. Pengambil keputusan dapat menindaklanjuti rekomendasi computer sembarang waktu dalam proses dengan tambahan pendapat pribadi ataupun tidak.

11. SPK mengarah pada pembelajaran, yaitu mengarah pada kebutuhan baru dan penyempurnaan sistem, yang mengarah pada pembelajaran tambahan,

(5)

dan begitu selanjutnya dalam proses pengembangan dan peningkatan SPK secara berkelanjutan.

12. Pengguna harus mampu menyusun sendiri sistem yang sederhana. Sistem yang lebih besar dpat dibangun dalam organisasi pengguna tadi dengan melibatkan sedikit saja bantuan dari spesialis di bidang Information Sistem (IS).

13. SPK biasanya mendayagunakan berbagai model (standar atau sesuai keinginan user) dalam menganalisis berbagai keputusan. Kemampuan pemodelan ini menjadikan percobaan yang dilakukan dapat dilakukan pada berbagai konfigurasi yang berbeda. Berbagai percobaan tersebut lebih lanjut akan memberikan pandangan pandangan dan pembelajaran baru. 14. SPK dalam tingkat lanjut dilengkapi dengan komponen knowledge yang

bisa memberikan solusi yang efisien dan efektif dari berbagai masalah yang pelik.

2.1.2 Keuntungan SPK

Adapun 9 keuntungan dari SPK adalah sebagai berikut.

1. Mampu mendukung pencarian solusi dari masalah yang kompleks.

2. Respon cepat pada situasi yang tidak dharapkan dalam kondisi yang berubah-ubah.

3. Mampu untuk menerapkan berbagai strategi yang berbeda pada konfigurasi berbeda secara cepat dan tepat.

4. Pandangan dan pembelajaran baru. 5. Memfasilitasi komunikasi.

6. Meningkatkan kontrol manajemen dan kinerja. 7. Keputusannya lebih cepat.

8. Meningkatkan efektivitas manajerial, menjadikan manajer dapat bekerja lebih singkat dengan sedikit usaha.

(6)

2.1.3 Komponen SPK

1. Data Manajemen. Termasuk database, yang mengandung data yang relevan untuk pelbagai situasi dan diatur oleh software yang disebut Database Management Sistem (DBMS).

2. Model Manajemen. Melibatkan model financial, statistical, management science, atau berbagai model kuantitatif lainnya, sehingga dapat memberikan ke sistem suatu kemampuan analitis, dan management software yang diperlukan.

3. Komunikasi (dialog subsistem). User dapat berkomunikasi dan memberikan perintah pada SPK melalui subsistem ini. Ini berarti menyediakan antarmuka. 4. Knowledge Management. Subsistem optional ini dapat mendukung subsistem

lain atau bertindak sebagai komponen yang berdiri sendiri.

Di bawah ini adalah model konseptual SPK:

Gambar 2.2 Komponen SPK (Subakti, 2002)

(7)

2.2 Forward Chaining

Metode inferensi merupakan suatu cara penarikan kesimpulan yang dilakukan oleh mesin inferensi untuk meyelesaikan masalah. Forward chaining (runut maju) merupakan salah satu metode inferensi.

Forward chaining adalah suatu strategi pengambilan keputusan yang dimulai dari premis (fakta) menuju konklusi (kesimpulan akhir) (kusrini, 2006). Metode inferensi runut maju cocok digunakan untuk menangani masalah pengendalian (controlling) dan peramalan (prognosis) (Giarattano dan Riley, 1994). Metode inferensi ini yang akan digunakan dalam sistem pendukung keputusan yang akan dibangun dengan contoh penalaran sebagai berikut

Tabel 2.3 Contoh aturan penalaran Forward Chaining (alur maju) No. Aturan R-1 IF A&B THEN C R-2 IF C THEN D R-3 IF A&E THEN F R-4 IF A THEN G R-5 IF F&G THEN D R-6 IF G&E THEN H R-7 IF C&H THEN 1 R-8 IF I&A THEN J R-9 IF G THEN J R-10 IF J THEN K

Pada tabel 2.3 terlihat ada 10 aturan yang tersimpan dalam basis pengetahuan. Fakta awal yang diberikan hanya : A dan E (artinya : A dan E bernila benar).

Ingin dibuktikan apakah K bernilai benar (hipotesis K)? Langkah-langkah inferensi adalah sebagai berikut:

a. Dimulai dari R-1, A merupakan fakta sehingga bernilai benar, sedangkan B belum bisa diketahui kebenarannya, sehingga C pun juga belum bisa diketahui kebenarannya. Oleh karena itu kita tidak mendapatkan informasi apapun pada R-1 ini. Sehingga kita menuju ke R-2.

(8)

a. Pada R-2 kita tidak mengetahui informasi tentang C, sehingga kita juga tidak bisa memastikan kebenaran D. Oleh karena itu kita tidak mendapatkan informasi apapun pada R-1 ini. Sehingga kita menuju ke R-3

b. Pada R-3, baik A maupun E adalah fakta sehingga jelas benar. Dengan demikian F sebagai konsekuen juga ikut benar. Sehingga sekarang kita mempunyai fakta baru yaitu F. Karena F bukan hipotesis yang hendak kita buktikan maka penelusuran kita lanjutkan ke R-4

c. Pada R-4, A adalah fakta sehingga jelas benar. Dengan demikian G sebagai konsekuen juga ikut benar. Sehingga sekarang kita mempunyai fakta baru yaitu G. karena G bukan hipotesis yang hendak kita buktikan, maka penelusuran kita lanjutkan ke R-5

d. Pada R-5, baik F maupun G bernilai benar berdasarkan aturan R-3, dan R-4. Dengan demikina G sebagai konsekuen juga ikut benar. Sehingga sekarang kita mempunyai fakta baru yaitu D. karena D bukan hipotesis yang hendak kita buktikan, maka penelusuran kita lanjutkan ke R-6.

e. Pada R-6, baik A maupun G adalah benar berdasarkan fakta dari R-4. Dengan demikian H sebagai konsekuen juga ikut benar. Sehingga sekarang kita mempunyai fakta baru yaitu H. karena H bukan hipotesis yang hendak kita buktikan, maka penelusuran kita lanjutkan ke R-7.

f. Pada R-7, meskipun H benar berdasarkan R-6, namun kita tidak tahu kebenaran C sehingga, I pun juga belum bisa diketahui kebenarannya. Oleh karena itu kita tidak mendapatkan informasi apapun pada R-7 ini. Sehingga kita menuju ke R-8.

g. Pada R-8, meskipun A benar karena fakta, namun kita tidak tahu kebenaran I, sehingga J pun juga belum bisa diketahui kebenarannya. Oleh karena itu kita tidak mendapatkan informasi apapun pada 8 ini. Sehingga kita menuju ke R-9.

h. Pada R-9, J bernilai benar karena G benar berdasarkan R-4. Karena J bukan hipotesis yang hendak kita buktikan, maka penelusuran kita lanjutkan ke R-10. Pada R-10, K bernilai benar karena J benar berdasarkan R-9. Karena H sudah merupakan hipotesis yang hendak kita buktikan, maka terbukti bahwa K adalah benar.

(9)

Tabel munculnya fakta baru pada suatu inferensi terlihat pada tabel 2.4 sedangkan alur inferensi terlihat pada gambar 2.3.

Tabel 2.4. fakta baru pada inferensi Aturan Fakta Baru

R-3 F R-4 G R-5 D R-6 H R-9 J R-10 K

Gambar 2.3. Alur Inferensi Forward Chaining (Kusuma Dewi, 2003 )

2.3 Batubara

Batubara merupakan zat padat yang heterogen, yang dapat terbakar, terdiri dari material organik dan anorganik. Material organiknya sebagian besar berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang telah mengalami proses dekomposisi dalam berbagai tingkat di daerah rawa dan mengalami ubahan secara kimia dan fisika setalah terkubur atau tertimbun oleh endapan berikutnya.

(10)

Batubara yang tebentuk di rawa tersebut akan berbeda-beda tipenya, dan ini tergantung pada komposisi awalnya, iklim, tinggi, muka air rawa, komposisi kimia air dan sebagainya.

Batubara pada umumnya terbentuk secara insitu (autochthonous), namun demikian ada sedikit endapan barubara yang mengalami proses pengendapan kembali (allotochthonous).

2.3.1 Cara Terbentuknya Batubara

Komposisi kimia batubara hampir sama dengan komposisi kimia jaringan tumbuhan, keduanya mengandung unsur utama yang terdiri dari C, H, O, N, S, P. hal ini mudah dimengerti, karena batubara terbentukdari jaringan tumbuhan yang telah mengalami proses pembatubaraan (coalification). Apabila jaringan tumbuhan dibakar dalam suasana reduksi, yaitu dengan cara sesudah jaringan tumbuhan disulut dengan api, kemudian di atas tumpukan ditutup tanah agar tidak berhubungan dengan udara luar (atau dengan kata lain agar jaringan tumbuhan tidak terbakar), maka jaringan tumbuhan (umum disebut kayu), akan menjadi arang kayu. Agar nyala api yang ada di dalam kau mati, maka kayu tersebut harus disiram dengan air, dan terbentuklah arang kayu. Makin keras kayu yang dipergunakan sebagai bahan baku, arang kayu yang dihasilkan mutunya makin baik. Komposisi kimia utama arang kayu serupa dengan komposisi kimia utama batubara. Perbedaannya, arang kayu dapat dibuat sebagai hasil rekayasa dan inovasi manusia, selama jangka waktu yang pendek, sedang batubara terbentuk oleh proses alam, selama jangka waktu ratusan hingga ribuan tahun. Karena batubara terbentuk oleh proses alam, maka banyak parameter yang akan berpengaruh pada pembentukan batubara. Makin tinggi intensitas parameter yang berpengaruh makin tinggi mutu batubara yang terbentuk.

Didalam mempelajari cara terbentuknya batubara dikenal 2 teori yaitu teori insitu dan teori drift (Krevelen, 1993). Teori insitu menjelaskan, tempat dimana batubara terbentuk sama dengan tempat terjadinya proses coalification dan sama pula dengan tempat dimana tumbuhan tersebut berkembang. Oleh sebab itu beberapa

(11)

penciri yang dapat dipergunakan untuk mengetahui berlakunya teori insitu pada suatu daerah tambang batubara, antara lain didapatkannya getah tumbuhan yang telah mengeras (membatu), dalam istilah geologi disebut sebagai Harz (istilah setempat dikenal sebagai damar selo/gandarukem).

Teori drift menjelaskan, bahwa endapan batubara yang terdapat pada cekungan sedimen berasal dari tempat lain, dengan kata lain tempat terbentuknya batubara berbeda dengan tempat tumbuhan semula berkembang kemudian mti. Oleh sebab itu bahan pembentuk batubara tersebut telah mengalami proses transportasi, sortasi dan terakumulasi pada suatu cekungan sedimen. Oleh karenanya keberadaan harz dan tikas daun tidak pernah didapatkan, disamping kualitas batubara antara lapisan yang satu dengan lapisan stratigrafi atasnya berbeda. Hal ini mudah dimengerti karena selama terjadinya proses transportasi yang berkaitan dengan kekuatan arus air, pada saat arus kuat akan terhanyutkan pokok pohon yang besar, sedang pada saat arus air kekuatannya telah mulai berkurang yang diangkut bagian pohon yang lebih kecil (ranting dan daun). Penyebaran batubara dengan konsep teori drift, mungkin luas ataupun sempit, tergantung pada luasan cekung sedimentasi. (Krevelen,1993).

Gambar 2.4 Urutan proses pembatubaraan (Anggayana, 1995)

(12)

Gambar 2.5 Skema pembentukan batubara (Anggayana, 1995)

2.3.2 Klasifikasi Batubara

Batubara merupakan salah satu jenis bahan bakar pembangkit energi. Berdasarkan cara penggunaannya sebagai penghasil energi batubara dibedakan :

1. Penghasil energi panas primer, yaitu langsung dipergunakan untuk industri, misalnya sebagai bahan burner (pembakar) dalam industri semen, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), bahan bakar pembuatan kapur tohor, bahan bakar pembuatan genting, bahan bakar lokomotif, pereduksi proses metalurgi, kokas konvensional, bahan bakar tidak berasap (smokeless fuel).

2. Penghasil energi sekunder, yaitu tidak langsung dipergunakan untuk industri, misalnya sebagai bahan bakar padat (briket), bahan bakar cair (konversi menjadi bahan bakar cair), bahan bakar gas (konversi menjadi bahan bakar gas).

(13)

Batubara dapat pula dipergunakan tidak sebagai bahan bakar, tetapi dipergunakan sebagai reduktor pada proses peleburan timah, industri ferro-nikel, industri besi dan baja, sebagai bahan pemurnian pada industri kimia (dalam bentuk karbon aktif), sebagai bahan pembuatan kalsium karbida (dalam bentuk kokas atau semi kokas).

Pemanfaatan batubara sebagai energi panas kontak langsung sering dilakukan. Artinya batubara tersebut dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit energi panas, dimana pada proses pembakaran, batubara bersinggungan secara langsung dengan materi lain tanpa ada pembatas, misalnya dalam proses pembakaran genting, kapur tohor, keramik, industri semen. Pada operasi pembakaran batubara sebagai energi kontak langsung sifat fisik dan kimia batubara akan sangat menentukan terhadap proses pembakaran. Sifat-sifat batubara yang perlu dicermati antara lain kadar abu (ash content), kadar lengas (moisture content), volatile matter, fixed carbon.

Secara Umum batubara di golongkan menjadi lima tingkatan (dari tingkatan paling tinggi sampai tingkatan terendah) yaitu: anthracite, bituminous coal, sub bituminous coal, lignite dan peat (gambut). Penggolongan tersebut menekankan pada kandungan relatif antara unsur C dan H2O yang terdapat dalam batubara. Pada anthracite, kandungan C relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan H20. Pada bituminous dan pada peat kandungan unsur C relatif lebih rendah dibandingkan dengan kandungan H2O. pada bituminous kandungan unsur C relatif lebih rendah dibandingkan dengan kandungan H2O pada anthracite. Mempergunakan konsep analogi, disimpulkan kandungan unsur C dalam peat relatif paling sedikit, sebaliknya kandungan H2O paling banyak dibandingkan dengan jenis batubara yang lain.

Kandungan air dalam batubara, dikenal sebagai sifat lengas (moisture). Kandungan lengas (moisture content), digolongkan sebagai lengas bebas (free moisutere), yaiut lengas yang disebabkan oleh adanya kandungan air mekanika (air yang menempel pada permukaan butir batubara), lengas bawaan (inherent moisture), yaitu lengas yang disebabkan oleh adanya kandungan air mineral (air yang merupakan bagian dari senyawa batubara/air yang terdapat didalam unsur batubara) dan lengas

(14)

total (total moisture), yaitu jumlah total kandungan batubara yang merupakan penjumlahan dari free moisture + inherent moisture.

Anthracite menunjukkan ciri antara lain, memperlihatkan struktur kompak, berat jenis tinggi, berwarna hitam metalik, kandungan volatile matter rendah, kandungan abu dan kandungan air rendah, tanpa timbul nyala. Nilai kalor berkisar pada nilai 8300 kkal/kg. Bituminous coal berwarna hitam agak kompak, kandungan abu dan air relatif rendah (5% - 10%), nilai kalor antara 7000-8000 kkal/kg. Batubara yang berwarna hitam (jenis anthracite dan bituminous coal ) bersifat tidak higroskopis. Lignite apabila dibakar menghasilkan nilai kalor 1500-4500 kkal/kg, sedang peat apabila dibakar menghasilkan nilai kalor 1700-3000 kkal/kg. Oleh sebab itu. Apabila batubara dipergunakan sebagai bahan bakar industri dipilih jenis anthracite atau bituminous coal, dihindarkan penggunaan lignit dan peat.

Untuk mempermudah pengenalan jenis batubara, berikut ditunjukkan sifat-sifat batubara untuk masing-masing jenis sebagai berikut:

1. Jenis anthracite

Warna hitam, sangat mengkilat, kompak, kandungan karbon sangat tinggi, kandungan air sangat sedikit, kandungan abu sangat sedikit, kandungan sulfur sangat sedikit.

2. Jenis bituminous/subbituminous coal

Warna hitam mengkilat, kurang kompak, kandungan karbon relatif tinggi, nilai kalor tinggi, kandungan air sedikit, kandungan abu sedikit, kandungan sulfur sedikit.

3. Jenis lignite (brown coal)

Warna hitam, sangat rapuh, kandungan karbon sedikit, nilai kalor rendah, kandungan air tinggi, kandungan abu banyak, kandungan sulfur banyak.

Kebanyakan batubara dimanfaatkan sebagai bahan bakar, sehingga faktor volatile matter, lama penyalaan dan suhu memegang peranana penting. Dikenala istilah long flaming coal dan short flaming coal. Long flaming coal merupakan batubara dengan kandungan volatile matter tinggi, apabila batubara batubara dalam keaadaan serbuk

(15)

menghasilkan periode nyala pendek, panas yang dihasilkan sebagian untuk membakar volatile matter yang jumlahnya cukup banyak, akibatnya suhu yang dihasilkan menjadi relatif rendah. Sedangkan short flaming coal, merupakan batubara dengan volatile matter rendah,apabila batubara dalam keaadaan serbuk dibakar dalam tanur putar, akan terurai segera, sehingga menghasilkan periode nyala panjang, panas yang dihasilkan sebagian dipakai untuk membakar volatile matter yang jumlahnya sedikit, akibatnya suhu yang dihasilkan menjadi relatif tinggi.

Untuk proses pembakaran secara terus menerus (jangka panjang), misalnya dalam industri semen, batubara dengan periode nyala panjang lebih disukai dibandingkan dengan batubara dengan periode nyala pendek, karena nyala panjang akan membuat reaksi kimia berlangsung akan lebih sempurna.

1.3.2.1 Klasifikasi Batubara Berdasarkan Atas Nilai Kalor

Beberapa klasifikasi batubara berdasarkan atas nilai kalornya adalah sebagai berikut. 1. Batubara tingkat tinggi (high rank), meliputi meta anthracite, anthracite, semi

anthracite

2. Batubara tingkat menengah(moderate rank), meliputi low volatile, bituminous coal, high volatile coal.

3. Batubara tingkat rendah (low rank), meliputi sub bituminous coal, lignite.

Apabila diperhatikan lebih lanjut, penggolongan tersebut diatas lebih ditekankan pada nilai kalor yang dihasilkan, selain tetap memperhatikan unsur C dan jumlah volatile matter yang terdapat didalamnya. Seperti pada penggolongan yang pertama, apabila batubara dipakai dalam industri, akan dipilih batubara tingkat tinggi karena akan menghasilkan panas yang cukup tinggi.

1.3.2.2 Klasifikasi Batubara menurut ASTM

American Society for Testing Material (ASTM) membuat klasifikasi batubara (yang umum dipergunakan dalam industri) sebagai berikut (lihat Tabel 2.5)

(16)
(17)

Keberadaan ASTM batubara, diharapkan terdapat kesepakatan antara para penghasil batubara dengan industri/pemakai batubara. Terlihat pada masing-masing pengelompokan, tiap jenis batubara mempunyai perbedaan baik pada sifat fisik (struktur) maupun pada sifat kimiawinya (reaktivitas). Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa suatu jenis batubara dipandang sesuai untuk pemanfaatan tertentu dan tidak sesuai untuk pemanfaatan lainnya. Sebagai contoh batubara jenis bituminous dan subbituminous dapa dibakar langsung pada tungku atau ketel uap untuk keperluan industri dan pembangkit tenaga listrik, sedang batubara jenis anthracite biasanya dipakai untuk reduktor. Batubara jenis lignite digunakan untuk bahan bakar pembangkit tenaga listrik di mulut tambang atau diproses menjadi bahan bakar cair (minyak sintetis), gas sintetis atau briket batubara. Gambut kurang sesuai untuk bahan bakar, tetapi cocok sebagai media semai tanaman.

1.3.2.1 Kualitas Batubara

Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor : 13-5015-1998/Amd 1:1999 membagi kualitas batubara menjadi dua, yaitu: batubara energi rendah (brown coal) dan batubara energi tinggi (hard coal).

1. Batubara Energi Rendah (Brown Coal)

Batubara energi adalah jenis batubara yang paling rendah peringkatnya, bersifat lunak mudah di remas, mengandung kadar air yang tinggi (10 – 70%), memperlihatkan struktur kayu dan nilai kalorinya ≤ 7000 Kcal/Kg ( dry ash free-ASTM).

2. Batubara Energi Tinggi (Hard Coal)

Batubara energi tinggi adalah semua jenis batubara yang peringkatnya lebih tinggi dari brown coal, bersifat lebih keras, tidak mudah di remas, kompak, mengandung kadar air yang relatif lebih rendah, umumnya struktur kayu tidak tampak lagi dan nilai kalorinya ≥ 7000 Kcal/Kg (dry ash free-ASTM).

1.3.3 Sumberdaya dan Cadangan Batubara

Sumber daya batubara (Coal Resources) adalah bagian dari endapan batubara yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumber daya batu bara ini dibagi dalam kelas-kelas

(18)

sumber daya berdasarkan tingkat keyakinan geologi yang ditentukan secara kualitatif oleh kondisi geologi/tingkat kompleksitas dan secara kuantitatif oleh jarak titik informasi. Sumberdaya ini dapat meningkat menjadi cadangan apabila setelah dilakukan kajian kelayakan dinyatakan layak.

Cadangan batubara (Coal Reserves) adalah bagian dari sumber daya batubara yang telah diketahui dimensi, sebaran kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat pengkajian kelayakan dinyatakan layak untuk ditambang.

1.3.2.1 Sumber Daya Batubara Hipotetik (Hypothetical Coal Resource)

Sumber daya batubara hipotetik adalah batu bara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan survei tinjau.

Sejumlah kelas sumber daya yang belum ditemukan yang sama dengan cadangan batubara yg diharapkan mungkin ada di daerah atau wilayah batubara yang sama dibawah kondisi geologi atau perluasan dari sumberdaya batubara tereka. Pada umumnya, sumberdaya berada pada daerah dimana titik-titik sampling dan pengukuran serat bukti untuk ketebalan dan keberadaan batubara diambil dari distant outcrops, pertambangan, lubang-lubang galian, serta sumur-sumur. Jika eksplorasi menyatakan bahwa kebenaran dari hipotesis sumberdaya dan mengungkapkan informasi yg cukup tentang kualitasnya, jumlah serta rank, maka mereka akan di klasifikasikan kembali sebagai sumber daya teridentifikasi (identified resources).

2.3.3.2 Sumber Daya Batubara Tereka (inferred Coal Resource)

Sumber daya batubara tereka adalah jumlah batubara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap penyelidikan prospeksi.

(19)

ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam daerah antara 1,2 km – 4,8 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm atau lebih.

2.3.3.3 Sumber Daya Batubara Tertunjuk (Indicated Coal Resource)

Sumber daya batubara tertunjuk adalah jumlah batubara di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi pendahuluan.

Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk melakukan penafsiran secara relistik dari ketebalan, kualitas, kedalaman, dan jumlah insitu batubara dan dengan alasan sumber daya yang ditafsir tidak akan mempunyai variasi yang cukup besar jika eksplorasi yang lebih detail dilakukan. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti gteologi dalam daerah antara 0,4 km – 1,2 km. termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sib bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.

2.3.3.4 Sumber Daya Batubara Terukur (Measured Coal Resourced)

Sumber daya batubara terukur adalah jumlah batu bara di daerah peyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan, yang dihitung berdasarkan data yang memenuhi syarat–syarat yang ditetapkan untuk tahap eksplorasi rinci.

Densitas dan kualitas titik pengamatan cukup untuk diandalkan untuk melakukan penafsiran ketebalan batubara, kualitas, kedalaman, dan jumlah batubara insitu. Daerah sumber daya ini ditentukan dari proyeksi ketebalan dan tanah penutup, rank, dan kualitas data dari titik pengukuran dan sampling berdasarkan bukti geologi dalam radius 0,4 km. Termasuk antrasit dan bituminus dengan ketebalan 35 cm atau lebih, sub bituminus dengan ketebalan 75 cm atau lebih, lignit dengan ketebalan 150 cm.

(20)

2.3.3.5 Perhitungan Cadangan Batubara Menggunakan Metode Cross Section

Perhitungan cadangan metode penampang (cross section) merupakan metode perhitungan cadangan yang perinsipnya adalah dengan membagi tubuh endapan batubara kedalam blok-blok dengan konstruksi penampang geologi pada interval sepanjang garis melintang atau level yang bebeda.

Rumus luas rata-rata (mean area) dipakai untuk endapan yang mempunyai penampang yang uniform.

1 . 2 ... ... ... ... ... ... 2 ) (S1 S2 L V = +

S1,S2 = luas penampang endapan L = jarak antar penampang V = volume cadangan

Gambar 2.6. Sketsa perhitungan volume endapan dengan rumus mean area (Anwar,2008)

Sedangkan untuk menghitung tonase digunakan rumus:

2 . 2 ... ... ... ... ... ... ... ... ... BJ V T = × T = tonase (ton) V = volume (m3) BJ = berat jenis (ton/m3)

Rumus Prismoida 3 . 2 . ... ... ... ... ... ... ... 6 ) 4 (S1 M S2 L V = + +

(21)

M = luas penampang tengah L = jarak antara S1 dan S2 V = volume cadangan

Gambar 2.7. Sketsa perhitungan volume endapan dengan rumus prismoida. (Anwar,2008)

Rumus kerucut terpancung

(

)

...2.4 3 S1 S2 S S2

L

V = + +

S1 = luas penampang atas S2 = luas penampang alas L = jarak antara S1 dan S2 V = volume cadangan

Gambar 2.8. Sketsa perhitungan volume endapan dengan rumus kerucut terpancung. (Anwar,2008) S S S 1/2

(22)

Rumus Obelisk, rumus ini merupakan suatu modifikasi dari rumus prismoida dengan substitusi: 5 . 2 ... ... ... ... ... ... ... 2 ) ( 2 ) (a1 a2 b1 b2 M = + + ) ( 24 ) ( ) ( 3 4 ) ( ) ( 4 6 ) 4 ( 6 1 2 2 1 2 1 2 2 1 2 1 1 2 1 obelisk b a b a S S L S b b a a S L S M S L V     + + + + =     + + + + = + + =

Gambar 2.9. Sketsa perhitungan volume endapan dengan rumus obelisk. (Anwar, 2008)

Gambar

Tabel 2.1. Perbedaan SPK dengan (Electronic Data Processing) EDP
Tabel 2.2. Pengertian dari SPK
Gambar 2.1 Karakteristik dan kemampuan SPK  (Turban, 1995)
Gambar 2.2 Komponen SPK  (Subakti, 2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan peredaman radikal bebas DPPH dari ekstrak Etanol wortel lokal secara kualitatif (reaksi warna) dapat dilihat pada Gambar 1. Analog untuk wortel impor,

Pengadaan barang ini dilaksanakan secara elektronik dengan mengakses aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik (aplikasi SPSE) pada alamat website LPSE

Ditambah lagi dengan sisa ketidakefisienan yang mewarnai aparat pemerintahan Portugal serta peraturan untuk akuntabilitas yang baru dan berlebihan, yang hasilnya adalah kelumpuhan

Lampiran: Gambar 4 Penari perempuan dan penari laki – laki beserta pimpinan sanggar Dapur Seni Fitria Kota Cimahi

Keterlibatan pembangunan berkelanjutan di bidang air minum dalam tahap ini menjadi bagian terpenting dalam mengembangkan keterlibatan warga negara dalam pembangunan

Diangkat dalam RUPS tanggal 20 Desember 2013 sebagai Komisaris Independen PT Bank Dinar Indonesia Tbk dan mendapat persetujuan dari Bank Indonesia pada tanggal 09

bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya dalam hal ini dapat dilihat dari aktivitas guru dalam kegiatan sehari – hari dari penampilan, pemakaian aksesoris, fasilitas

Karena tidak didapatkan pengaruh yang signifikan antara turnover intension dan konflik santri-keluarga terhadap kepuasan studi di pondok pesantren maka perl dilakukan