• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS USAHATANI INTEGRASI ANTARA TANAMAN TERUBUK (Saccharum edule Hasskarl) DENGAN TERNAK SAPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS USAHATANI INTEGRASI ANTARA TANAMAN TERUBUK (Saccharum edule Hasskarl) DENGAN TERNAK SAPI"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS USAHATANI INTEGRASI ANTARA TANAMAN TERUBUK (Saccharum edule Hasskarl) DENGAN TERNAK SAPI

INTEGRATED FARMING PLANT ANALYSIS BETWEEN Terubuk (Saccharum edule Hasskarl) WITH CATTLE COW

OLEH :

RAMADHANI CHANIAGO

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LUWUK TAHUN 2013

(2)

Abstrak

Tanaman terubuk selain dikonsumsi sebagai sayuran, terubuk juga mempunyai potensi sebagai pakan yang dapat mengatasi kendala utama yang dihadapi petani dalam meningkatkan produktivitas sapi, sehingga dapat diupayakan untuk menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan kesejahteraan petani dengan melakukan usahatani terpadu. Penelitian ini bertujuan : Menganalisis besar pendapatan dari usaha tani integrasi terubuk dengan usaha ternak sapi di Kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah pada bulan maret - mei 2013. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif. Jumlah Populasi 30 orang yang terdiri dari 15 petani dan 15 peternak. Data dikumpulkan dengan cara : Untuk Menganalisis pendapatan dari usaha tani integrasi terubuk dengan usaha ternak sapi dengan menggunakan rumus Pd = TR – TC. Hasil penelitian adalah Besar pendapatan dari Integrasi usaha tani terubuk dengan usaha ternak sapi adalah sebesar Rp. 20,605,800/ha/ekor/tahun.

Kata Kunci : Pola Integrasi, Terubuk, Sapi. Abstract

Terubuk plants consumed as vegetables in addition, Terubuk also has potential as a feed which can overcome the main constraints faced by farmers in improving productivity of cows, so it can be attempted to be an alternative to improve the welfare of farmers by integrated farming. This study aims to: Analyze the revenue from farming Terubuk integration with the cattle business in the District of East Luwuk Banggai in Central Sulawesi. The research was conducted in the District of East Luwuk Banggai in Central Sulawesi in march - may 2013 This research is descriptive quantitative research. Total Population 30 people consisting of 15 farmers and 15 farmers. Data were collected by means of: To analyze the income from farming Terubuk integration with the cattle business by using the formula Pd = TR - TC. Results of the study is the Great income from farming Integration Terubuk the cattle business is Rp. 20,605,800 / ha / head / year.

(3)

PENDAHULUAN

Sayuran indigenous adalah sayuran asli suatu daerah yang merupakan salah satu komponen plasma nutfah yang kaya manfaat, namun sangat disayangkan saat ini belum banyak masyarakat yang mencoba untuk memanfaatkannya. Sayuran indigenous dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan nutrisi yang seimbang. Menurut Muchtadi (2000), sayuran sebagai salah satu kekayaan alam Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi yang baik. Sayuran mempunyai peranan penting untuk memperoleh suatu keseimbangan konsumsi makanan, karena sayuran mengandung zat gizi seperti pro-vitamin A dan vitamin C, sumber kalsium (Ca) dan zat besi (Fe), sedikit kalori, serta sumber serat pangan dan antioksidan alami. Oleh karena itu sayuran sangat dianjurkan untuk dikonsumsi setiap hari terutama sebagai komponen diet.

Terubuk (Saccharum edule Hasskarl) merupakan sayuran indigeous, permintaan sayuran indigenous di daerah Karawang, Jawa Barat mencapai 2-4 ton/hari (Putrasamedja 2005). Mengingat bahwa terubuk memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi (Rp 1000,- per bunga terubuk yang dijual per ikat berisi sekitar 10-15 bunga terubuk, berdasarkan pengamatan pribadi di pasar tradisional daerah Luwuk), serta memungkinkan untuk dibudidayakan secara intensif, maka diperlukan usaha peningkatan produksi dan kualitas terubuk.

Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan akan daging sapi. Indonesia masih sangat jauh lebih rendah tingkat konsumsi daging dari negara-negara tetangga seperti Singapura yang tingkat konsumsi dagingnya mencapai 16 gram perkapita, Jepang 76 gram perkapita dan Amerika Serikat 84 gram perkapita. Sementara di Indonesia pada tahun 2004 baru mencapai 6,17 gram perkapita dari 10,3 gram perkapita yang dicanangkan oleh pemerintah (Halim, 2008). Sedangkan di Sulawesi Tengah, tingkat konsumsi daging baru mencapai 4,14 gram perkapita. Jika permasalahan disubsektor ini tidak dapat diselesaikan dengan baik, maka kita akan menjadi Negara pengimpor daging terbesar untuk produk peternakan.

Keadaan tersebut dapat diupayakan menjadi sebuah peluang alternatif dalam meningkatkan kesejahteraan petani dengan melakukan usahatani terpadu. Usahatani terpadu yang dimaksud adalah usahatani yang mengintegrasikan budidaya tanaman dan ternak. Tujuannya adalah mengaitkan usahatani tanaman dan ternak, sehingga kedua kegiatan tersebut dapat saling bersinergi dan dapat mengoptimalkan usaha agribisnis secara keseluruhan dalam suatu sistem integrasi tanaman dengan ternak yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penerapan pola usaha tani terpadu (Crop Livestock Systems /CLS) di Batumarta, Sumatera Selatan, selama 3 tahun dapat

(4)

meningkatkan pendapatan petani sebesar US$1.500/KK/tahun, dengan kepemilikan lahan 2 ha tanaman pangan dan 1 ekor sapi (Diwyanto et al. dalam Suwandi 2005), dengan kontribusi hasil ternak terhadap total pendapatan dengan pola CLS sebesar 36%. Pramono et al. (2001) melaporkan bahwa pola integrasi padi-sapi potong di Kabupaten Banyumas, Purworejo, Boyo-lali, Pati, dan Grobogan memberikan pendapatan rata-rata Rp.2.455.000/ha, dan pendapatan dari pembibitan sapi dengan pola introduksi mencapai Rp.1.830.000 per periode (13 bulan). Di Nusa Tenggara Barat dan Bali, sistem ini mampu meningkatkan pendapatan petani masing-masing 8,41% dan 41,40%.

Melalui sistem pertanian terpadu, petani memanfaatkan limbah dari tanaman budidaya dan hewan ternak sebagai alternatif hara untuk meningkatkan kesuburan tanah, sehingga perbaikan kesuburan lahan dapat dilakukan dengan biaya yang kecil. Selain itu, pelaksanaan sistem usahatani terpadu memungkinkan peningkatan penghasilan petani melalui interaksi tanaman budidaya dengan hewan ternak yang dipelihara. Pola usahatani integrasi tanaman dengan ternak memberikan manfaat yang besar bagi petani, karena petani dapat memanfaatkan pupuk organik yang dihasilkan dari ternak untuk memupuk tanamannya. Limbah pertanian berupa jerami, kulit kopi daun singkong, daun jagung, daun kacang, daun ubi, pisang, dimanfaatkan petani untuk pakan ternak. Pola integrasi antara tanaman dan ternak mampu menekan biaya produksi sehingga pendapatan petani dapat ditingkatkan (Hidayat et al., 2001). Namun, petani terubuk di Kabupaten Banggai belum melakukan sistem integrasi tanaman terubuk dengan ternak sapi. Sehubungan uraian tersebut, maka penulis terinspirasi untuk meneliti dengan judul “Analisis Usahatani Integrasi Antara Terubuk (Saccharum edule Hasskarl) dengan Ternak Sapi”.

Permasalahan

Masyarakat di daerah ini belum melakukan sistem integrasi antara tanaman terubuk dengan ternak sapi (Integrated Farming System) yaitu disamping menanam terubuk juga memelihara ternak sapi. Berdasarkan latar belakang yang dikemukan diatas, maka penulis mengangkat permasalahan yaitu : Bagaimana besar pendapatan usahatani integrasi terubuk dengan usaha ternak sapi?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk : Menganalisis besar pendapatan dari usaha tani integrasi terubuk dengan usaha ternak sapi di Kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah.

(5)

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Tanaman Terubuk (Saccharum edule Hasskarl)

Terubuk merupakan salah satu jenis dari sayuran indigenous. Berdasarkan asal bagian tanaman yang diambil, terubuk termasuk jenis sayuran bunga. Tebu terubuk atau telur terubuk belum dikenal masyarakat luas. Daulay et al., 1984).

Terubuk termasuk dalam famili Gramineae (Poaceae). James (2004) membagi genus Saccharum ke dalam enam spesies yaitu, S. spontaneum, S. robustum Brandes Jeswit ex Grassl, S. officinarum L., S. barberi Jeswit, S. sinense Roxb., dan S. edule Hasskarl. Irvine (1999) juga menyebutkan bahwa setiap spesies dikarakterisasi berdasarkan karakter bunga, kandungan gula, dan jumlah kromosom.

Klasifikasi tanaman terubuk adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom :Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Divisi :Spermatophyta (Menghasilkan biji) Subdivisi :Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas :Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Poales

Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : saccharum

Spesies : Saccharum edule Hasskarl

Terubuk termasuk ke dalam Poaceae (suku rumput-rumputan). Bentuk tanaman ini sama dengan tanaman tebu yaitu memiliki batang yang beruas-ruas dan berwarna hijau kemerahan. Di daerah Jawa Barat, tanaman ini dikenal dengan nama tiwu endog atau terubus, sedangkan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dikenal dengan nama tebu endog atau tebu terubuk. Sebutan endog atau telur pada nama tanaman ini dikarenakan tekstur bagian yang dikonsumsi menyerupai telur ikan.

Terubuk adalah tanaman asli Asia Tenggara dan sekitar Pasifik yang tersebar di daerah dataran rendah sampai daerah dataran tinggi. Terubuk termasuk tanaman perenial. Umumnya terubuk dapat dipanen setelah berumur 5-10 bulan, dengan daur hidup sekitar 2-3 tahun (Van den Bergh 1994). Tinggi terubuk mencapai 1,5-4 m, dengan sistem pembungaan yang abnormal, bunga tetap terbungkus dalam pelepah daun atau kelobot, berukuran sebesar buah pisang (Martin 1984).

Terubuk tumbuh optimal pada temperatur 20º-30ºC. Daerah pertumbuhan tanaman terubuk berkisar antara 1-2000 m di atas permukaan laut (dpl). Tanaman ini tumbuh subur pada kondisi tanah dengan pH sekitar 5-6. Tanaman ini dikembangbiakkan dengan cara

(6)

menanam potongan batang (stek) karena tanaman ini tidak memproduksi benih. Stek batang akan berakar dan membentuk suatu rumpun tanaman. Bunga tebu terubuk terbentuk di dalam batang (malai muda) dan terbungkus pelepah daun/kelobot.

Terubuk mulai dapat dipanen pada umur lima bulan setelah penanaman. Bagian yang dipanen dari tanaman ini adalah bagian malai yang masih muda, sedangkan yang dikonsumsi adalah bagian bunga yang terbungkus pelepah daun/kelobot. Bunga tanaman ini biasa dimakan dalam bentuk mentah (lalab), dikukus atau ditumis. Sayur yang dikenal dengan bahan dasar bunga terubuk antara lain sayur lodeh, tumis, kare dan sayur asem. Bunga terubuk sering digunakan sebagai bahan pengganti cauliflower /kembang kol di Eropa (Premachandran, 2006).

Konsep Sistem Pertanian Integrasi

Konsep integrasi atau terpadu telah banyak digunakan sebagai pendekatan dalam membuat sistem ataupun program baru yang diharapkan akan memajukan sektor pertanian. Integrasi atau keterpaduan ini dianggap dapat meningkatkan efisiensi. Konsep integrasi yang paling luas dan mencakup hamper seluruh elemen pertanian adalah sistem agribisnis. Menurut Gumbira dan Said dalam Ratu (2008) sistem agribisnis merupakan sistem yang terpadu, baik secara vertikal maupun horisontal (integrated farming). Agribisnis terpadu merupakan suatu bentuk pengeloIaan sistem agribisnis yang bertujuan untuk mengurangi risiko pasar, risiko produksi, dan risiko produk. Integrasi yang terjadi adalah integrasi antara subsistem usaha pengadaan input pertanian, subsistem usaha produksi pertanian atau usahatani (on-farm), subsistem usaha pengolahan hasil pertanian (Agroindustri), dan subsistem usaha pemasaran.

Konsep Sistem Pertanian terpadu adalah konsep pertanian yang dapat dikembangkan untuk lahan pertanian terbatas maupun lahan luas. Pada lahan terbatas atau lahan sempit yang dimiliki oleh petani umumnya konsep ini menjadi sangat tepat dikembangkan dengan pola intensifikasi lahan. Lahan sempit akan memberikan produksi maksimal tanpa ada limbah yang terbuang percuma. Sedangkan untuk lahan lebih luas konsep ini akan menjadi suatu solusi mengembangkan pertanian agribisnis yang lebih menguntungkan. Melaiui sistem yang terintegrasi ini akan bermanfaat untuk efisiensi penggunaan lahan, optimalisasi produksi, pemanfaatan limbah, subsidi silang untuk antisipasi fluktuasi harga pasar dan kesinambungan produksi (PT.RAPP dan Universitas Lancang Kuning, 2001).

Reijntjes (1999) mengatakan, hewan atau ternak bisa beragam fungsi dalam sistem usaha tani lahan sempit, hewan memberikan berbagai produk, seperti daging, susu, telur, wol, dan kulit. Selain itu, hewan juga memiliki fungsi sosiokultural, misalnya sebagai mas kawin, untuk pesta upacara dan sebagai hadiah atau pinjaman yang memperkuat ikatan

(7)

sosial. Dalam kondisi input luar rendah, integrasi ternak ke dalam sistem pertanian penting, khususnya untuk :

1) Meningkatkan jaminan subsistem dengan memperbanyak jenis-jenis usaha untuk menghasilkan pangan bagi keluarga petani;

2) Memindahkan unsur hara dan energi antara hewan dan tanaman melalui pupuk kandang dan pakan dari daerah pertanian dan melalui pemanfaatan hewan penarik.

Salah satu bentuk integrasi yang telah dilakukan di Indonesia adalah integrasi tanaman-ternak (ITT) atau pola Crop-Livestock System (CLS) dan integrasi tanaman-tanaman-ternak-ikan (ITTI). Tanaman dapat berupa tanaman pangan atau tanaman perkebunan yang kemudian diintegrasikan dengan ternak sapi, domba, kambing, dan berbagai jenis ikan. Memadukan tanaman, ternak dan ikan pada sistem usahatani kecil mempunyai kelebihan ditinjau dari ekologi dan ekonomi. Sistem ini secara kondusif telah melaksanakan konservasi sumberdaya alam, karena mendorong stabilitas habitat dan keanekaragaman kehidupan alami di lingkungan pertanian dan sekitarnya. Sistem terpadu ini mengoptimumkan penggunaan sumberdaya yang berasal dari usahatani itu sendiri maupun yang ada di sekitarnya, dan mendorong konservasi habitat daripada merusaknya. Sistem ini bersifat produktif dan menguntungkan karena melaksanakan daur ulang secara intensif. Limbah dari satu kegiatan dapat dimanfaatkan sebagai sumber hara kegiatan yang lain. Selain itu ikan merupakan sumber protein hewani untuk rumah tangga petani (Sutanto 2002).

Daerah-daerah di Indonesia mulai banyak yang menerapkan pertanian integrasi. Salah satunya adalah Kabupaten Lampung Utara. Analisis pendapatan usahatani pada pertanian lada terintegrasi ternak kambing di Kecamatan Abung Timur, Kabupaten Lampung Utara yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung (BPTP Lampung) pada tahun 2002, memperlihatkan bahwa dengan pemeliharaan ternak kambing dapat memberikan tambahan pendapatan petani lada Rp 4.088.760,00 per hektar per tahun, yang terdiri atas pendapatan kambing Rp 1.188.760,00 dan tanaman lada Rp 2.900.000,00 per hektar per tahun dengan nilai rasio R/C 1,8, sedangkan cara bertani tanpa integrasi ternak kambing hanya Rp 1.315.000,00 per hektar per tahun dengan nilai rasio R/C 1,6.

Pakan Sapi Pedaging

Pakan utama sapi pedaging terdiri dari rumput dan leguminosa, sapi termasuk ternak ruminansia yang dapat mengubah hijauan (rumput dan leguminosa) menjadi daging dan susu yang mempunyai nilai gizi yang tinggi. Ternak sapi juga memanfaatkan limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacang, dedak padi, bungkil kelapa, limbah sawit, limbah tebu dan sebagainya.

(8)

Rumput memegang peranan penting dalam penyediaan pakan bagi ternak ruminansia. Rumput mengandung zat-zat makanan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup ternak, seperti air, lemak, serat kasar, beta protein, mineral serta vitamin Hutasoit (2009) dalam Askari (2012). Jenis-jenis hijauan yang dapat dijadikan pakan sapi pedaging adalah gamal, rumput gajah dan lamtoro.

Terubuk Sebagai Pakan

Pakan berupa hijauan makanan ternak merupakan aspek sangat penting dalam produksi ternak untuk pemenuhan protein hewani. Kendala utama di Indonesia dalam produksi pakan adalah ketersediaannya yang tidak kontinyu. Pada musim penghujan ketersediaannya melimpah, tetapi pada musim kemarau sangat sedikit. Hal ini terjadi karena curah hujan sebagai sumber air bagi tumbuhan pada umumnya. merupakan tanaman lokal (indigenous plant) Indonesia. Selain bunganya dimanfaatkan sebagai sayuran, daun dan batangnya dapat digunakan untuk memenuhi pakan ternak khususnya sebagai hijauan yang kaya serat kasar (Lizah, 2013).

Di Indonesia berbagai tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi pedaging, namun belum diteliti diteliti secara ilmiah. Salah satu tanaman mempunyai potensi dan prospek sebagai pakan adalah terubuk baik dilihat kandungan bahan kering (biomassa yang mencapai 11,6 %). Meskipun kandungan protein, karbohidrat, kalori dan mineralnya rendah.

Terubuk juga merupakan salah satu spesies dari rumput-rumputan dalam genus Saccharum, atau tebu. Menurut Heyne (1950) dalam buku De Nuttige Planten Van Indonesie dalam (Lizah, 2013), tanaman Terubuk merupakan tanaman asli Indonesia (Indigenous plant) dikenal dengan nama daerah Tobu Bunga (Simelungun, Batak); Sayor Lilin (Manado); Tebu Telur, Tubu Telur Ikan (Ambon); Bunga Tobu (Lampung); Tiwu Turubus (Sunda); Dawaho (Ternate); dan Dolawaho (Tidore). Nama asing Terubuk adalah Fiji asparagus, duruka atau pit-pit.

Tanaman ini mempunyai forma bunga yang tidak tumbuh sempurna dan tetap tertutup dalam pelepah dauh yang digunakan sebagai sayur oleh penduduk setempat. Sedangkan selain bunga, sebagian besar bagian tumbuhan ini berpotensi sebagai hijauan makanan ternak yang baik bagi sapi dan kerbau (Lizah, 2013).

Usaha Ternak Sapi Daging

Sapi daging merupakan komoditas subsektor peternakan yang sangat potensial. Hal ini bisa dilihat dari tingginya permintaan akan daging sapi. Namun, sejauh ini Indonesia belum mampu menyuplai semua kebutuhan daging tersebut. Akibatnya, pemerintah terpaksa membuka kran inpor sapi hidup maupun daging sapi dari negara lain, misalnya Australia dan

(9)

Selandia Baru. Usaha peternakan sapi daging pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya, permintaan pasar akan daging sapi masih terus memperlihatkan adanya peningkatan. Selain dipasar domestik, permintaan daging di pasar luar negeri juga cukup tinggi (Rianto dan Purbowati, 2009).

Indonesia dengan jumlah penduduk diatas 220 juta jiwa juga membutuhkan pasokan daging sapi dalam jumlah yang besar. Sejauh ini, peternakan domestik belum mampu memenuhi permintaan daging dalam negeri. Timpangnya antara pasokan dan permintaan ternyata masih tinggi, tidak mengherankan jika lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal pertanian termasuk petenakan, mengakui masalah utama usaha sapi daging di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya. Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju peningkatan populasi sapi daging. Pada gilirannya, kondisi seperti ini memaksa Indonesia untuk selalu melakukan inpor, baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging dan jeroan sapi (Anonim, 2010).

Sapi daging merupakan salah satu komponen usaha yang cukup berperan dalam agribibisnis pedesaan, utamanya dalam sistem integrasi dengan subsektor pertanian lainnya, sebagai rantai biologis dan ekonomis sistem usaha tani. Terkait dengan penyediaan pupuk, maka sapi dapat berfungsi sebagai "pabrik kompos". Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran sebanyak 8-10 kg/hari yang apabila diproses akan menjadi 4-5 kg pupuk organik. Menurut Ensminger (1980) seekor sapi menghasilkan feses 12 ton per tahun. Potensi pupuk organik ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mernpertahankan kesuburan lahan, melalui siklus unsur hara secara sempurna (Mariyono dkk. 2010).

Kendala utama yang dihadapi petani dalam meningkatkan produktivitas sapi adalah tidak tersedianya pakan secara memadai terutama pada musim kemarau di wilayah yang padat ternak. Untuk itu peternak di beberapa lokasi di Indonesia telah mengembangkan sistem integrasi tanaman ternak (Crops Livestock System, CLS). Pada saat ini telah dikembangkan berbagai model integrasi antara lain Ternak – Padi, Ternak – Hortikultura dan Ternak – Sawit (Anonim, 2010).

Pengembangan Integrasi Antara Terubuk dengan Sapi Sebagai Sumber Ekonomi Pedesaan

Pengembangan sistem integrasi tanaman dan ternak (sapi) bertujuan untuk :

a. Mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik lahan pertanian melalui penyediaan pupuk organik yang memadai,

b. Mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman,

c. Mendukung upaya peningkatan produksi daging dan populasi ternak sapi, dan d. Meningkatkan pendapatan petani atau pelaku pertanian.

(10)

Melalui kegiatan ini, produktivitas tanaman maupun ternak menjadi lebih baik sehingga akan meningkatkan pendapatan petani-peternak (Suharto 2004; Kariyasa 2005; Utomo dan Widjaja 2006). Sistem integrasi merupakan penerapan usaha tani terpadu melalui pendekatan low external input antara ternak sapi dan tanaman (Priyanti 2007).

Lebih lanjut menurut Hidayat et al (2001). Melalui sistem usahatani terpadu, petani memanfaatkan limbah dari tanaman budidaya dan hewan ternak sebagai alternatif hara untuk meningkatkan kesuburan tanah, sehingga perbaikan kesuburan lahan dapat dilakukan dengan biaya yang kecil. Selain itu, pelaksanaan sistem usahatani terpadu memungkinkan peningkatan penghasilan petani melalui interaksi tanaman budidaya dengan hewan ternak yang dipelihara. Pola usahatani integrasi tanaman dengan ternak memberikan manfaat yang besar bagi petani, karena petani dapat memanfaatkan pupuk organik yang dihasilkan dari ternak untuk memupuk tanamannya. Limbah pertanian berupa jerami, kulit kopi daun singkong, daun jagung, daun kacang, daun ubi, pisang, dimanfaatkan petani untuk pakan ternak. Pola integrasi antara tanaman dan ternak mampu menekan biaya produksi sehingga pendapatan petani dapat ditingkatkan.

Usaha tani integrasi menerapkan pendekatan sistem dalam satu kesatuan daur produksi (Priyanti 2007). Dalam penelitiannya, Suwandi (2005) dan Priyanti (2007) mengkaji sistem integrasi tanaman-ternak sapi potong. Beberapa hasil penelitian menunjukkan sistem integrasi ternak sapi dan tanaman dapat meningkatkan pendapatan petani (Sariubang et al. 2003; Suwandi 2005; Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat 2007; Priyanti 2007).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Integrasi antara Terubuk dengan Sapi 1. Input Pertanian

Input pertanian yang digunakan berupa lahan, bibit, pakan, tenaga kerja, dan modal. Alokasi penggunaan input secara efisien mempengaruhi produktivitas usaha ternak.

a. Lahan pertanian yang makin berkurang akibat beralih fungsi menjadi pemukiman, misalnya, menyebabkan petani-peternak harus mempunyai alternatif usaha untuk meningkatkan pendapatan, antara lain dengan mengatur pola tanam secara bergantian maupun campuran. Alternatif lain adalah meningkatkan usaha ternak sapi melalui integrasi sapi-tanaman pangan atau tanaman perkebunan (kelapa). Imam (2003) menyatakan, pengembangan peternakan dapat melalui diversifikasi ternak sapi dengan lahan persawahan, perkebunan, dan tambak. Suwandi (2005) yang meneliti penerapan pola usaha tani padi sawah dengan sapi potong melaporkan sistem ini dapat meningkatkan produksi dan keuntungan petani berlahan sempit.

b. Bibit mempengaruhi produktivitas ternak. Kondisi ternak sapi lokal saat ini telah mengalami degradasi produksi dan bentuk tubuhnya kecil (Wijono et al. 2003). Hal ini

(11)

karena mutu genetik sapi local makin menurun. Makin baik bibit yang digunakan, walaupun dari bibit lokal tetapi diseleksi, produktivitas makin meningkat Demikian halnya dengan pakan yang diberikan; makin baik pakan, produktivitas ternak makin meningkat. c. Pakan merupakan sarana produksi yang sangat penting bagi ternak karena berperan

sebagai pemacu pertumbuhan. Namun, dalam usaha penggemukan, selain pakan juga perlu diperhatikan aspek pemeliharaan, seperti perbaikan kandang dan pemanfaatan limbah untuk pakan. Hendayana dan Yusuf (2003) menyatakan, untuk menjamin keberlanjutan usaha, perlu upaya menanam tanaman pakan dan membuat rumput dan jerami.

d. Pengembangan usaha ternak sapi dari tradisional ke semiintensif perlu memperhatikan berbagai hal, antara lain modal dan tenaga kerja yang profesional, bukan lagi tenaga kerja keluarga. Contoh usaha ternak secara intensif adalah perusahaan peternakan sapi potong di Sukabumi. Perusahaan ini melakukan impor bibit, menggunakan tenaga profesional, dan memberikan pakan konsentrat (Nefri 2000). Pengembangan usaha ternak sapi ke arah semikomersial dapat dilakukan dengan dukungan pemerintah. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah pembentukan kelompok tani-ternak agar pemerintah mudah menetapkan strategi agresif dan diversifikatif. Hasil penelitian Priyanti (2007) menunjukkan keikutsertaan anggota keluarga dalam organisasi pertanian mempengaruhi petani-peternak untuk mengadopsi sistem integrasi sapi dengan tanaman. Pembentukan kelompok tani memberikan peluang bagi petani-peternak untuk merespons inovasi usaha tani integrasi. Selain itu, usaha ternak sapi dengan berkelompok akan memperkuat posisi tawar petani-peternak dalam penjualan ternak (Fagi et al. 2004; Fagi dan Kartaatmadja 2004).

e. Pasar dan harga yang kompetitif juga dapat merangsang petani untuk meningkatkan produktivitas ternak, termasuk yang dikelola secara tradisional. Namun, petani biasanya menjual ternak bila ada kebutuhan yang mendesak sehingga peternak tidak dapat menentukan harga. Selain itu, pedagang biasanya mendatangi petani-peternak dalam membeli sapi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mondo (2002) yang menunjukkan pedagang yang juga sebagai peternak biasanya mendatangi petani-peternak untuk membeli ternak. Sebelum dipotong atau diperdagangkan antarpulau, pedagang biasanya melakukan penggemukan agar harga ternak lebih tinggi.

f. Penyuluhan secara intensif dan kontinu, baik kepada petani, penyuluh maupun inseminator, dapat mendorong peningkatan produktivitas usaha ternak. Gould dan Saupe (1989) menganalisis umur, pendidikan, dan pelatihan sebagai variabel yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dalam off-farm, pekerjaan usaha tani dan rumah tangga. Pelatihan termasuk pula penyuluhan bertujuan mengubah perilaku sumber daya petanipeternak ke arah yang lebih baik.

(12)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2013 di Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai. Lokasi penelitian ini bertempat di Kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai.

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif kuantitatif yaitu mendeskriptifkan/menggambarkan apa adanya variabel yang dipertanyakan di Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai.

Sampel dan Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah 30 orang yang terdiri dari 15 petani dan 15 peternak. Pada penelitian ini digunakan metode sensus dalam pengambilan sampel hal ini disebabkan karena jumlah populasi peternak yang kecil.

Metode Pengumpulan Data

Metode Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara : Observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap usahatani tanaman terubuk dengan usaha ternak sapi dibeberapa Desa/Kelurahan di Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan melakukan interview pada petani yang melakukan usahatani tanaman terubuk dan usaha ternak sapi. Untuk memudahkan proses wawancara tersebut digunakan bantuan kuisioner atau daftar pertanyaan yang telah disusun sesuai kebutuhan penelitian seperti identitas responden, penerimaan, biaya produksi, jumlah ternak sapi, dan lain sebagainya.

Analisis Data

Analisa data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif yaitu dengan menghitung rata-rata pendapatan, dan mentabulasi data. Untuk mengetahui penerimaan usahatani dengan sistem integrasi tanaman terubuk dengan ternak sapi digunakan rumus Menurut Soekartawi, (2003) sebagai berikut:

Total Penerimaan (TR) = Q x P Dimana :

TR = Total Revenue/penerimaan (Rp/Thn) Q = Jumlah Produksi per tahun

P = Harga (Rupiah)

Untuk mengetahui pendapatan atau keuntungan usahatani dengan sistem integrasi tanaman terubuk-ternak sapi digunakan rumus menurut Soekartawi, (2003) sebagai berikut : Pd = TR - TC

(13)

Dimana :

Pd = Total Pendapatan yang diperoleh peternak (Rp/Thn)

TR = Total Revenue/Penerimaan yang diperoleh peternak (Rp/Thn) TC = Total Cost/Biaya yang dikeluarkan peternak (Rp/Thn).

HASIL

Input pertanian yang digunakan berupa lahan, bibit, pakan, tenaga kerja, dan modal. Alokasi penggunaan input secara efisien mempengaruhi produktivitas dan pendapatan usaha integrasi terubuk dengan ternak. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pendapatan dengan penerapan sistem integrasi usahatani terubuk dengan sapi dapat meningkatkan pendapatan dengan nilai R/C rasionya sebesar 2,45 yang menunjukkan bahwa usaha integrasi ini layak untuk dikembangkan (Tabel 1).

Pendapatan pola integrasi mencapai Rp.20,605,800 per ha per ekor per tahun pada bulan Maret - Mei 2013 atau lebih tinggi bila dibandingkan dengan hanya melakukan usahatani terubuk saja sebesar Rp. 16,360,800 atau usaha ternak sapi Rp. 4,245,000. Hal ini disebabkan karena usahatani yang mengintegrasikan antara terubuk dan sapi dapat mengefisienkan biaya produksi terubuk dan ternak sapi seperti halnya dalam pemanfaatan limbah terubuk yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan bagi ternak sapi dan begitupun limbah atau kotoran dari ternak sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang yang dapat meningkatkan produksi tanaman terubuk.

PEMBAHASAN

Pola integrasi terubuk dengan ternak sapi dapat meningkatkan pendapatan sebesar antara 13,60 – 86,40 %, berada pada kisaran yang dinyatakan oleh Kusnadi dan Prawiradiputra (1993) yaitu integrasi ternak dan tanaman dapat meningkatkan pendapatan antara 14,9 - 129 %. Dengan demikian pola integrasi layak dikembangkan karena meningkatkan pendapatan petani dan menekan biaya produksi dibandingkan dengan kegiatan usahatani yang selama ini dilakukan oleh petani. Hal ini menunjukkan bahwa sistem integrasi layak untuk diusahakan karena dapat meningkatkan pendapatan petani, manfaat lainnya yaitu menekan biaya produksi dan berkesinambungan (LEISA : Low External input Sustainable Agriculture) sistem integrasi ternak dalam usahatani merupakan salah satu upaya untuk mencapai optimalisasi produksi pertanian. Lebih lanjut

Menurut Pamungkas et al (2004), sistem integrasi ternak secara signifikan mampu memberikan nilai tambah pada hasil usahatani maupun terhadap produktivitas ternak.

Usahatani terpadu dapat menekan biaya produksi, terutama terhadap penyediaan hijauan pakan, sebagai sumber tenaga kerja serta dapat memberikan kontribusi dalam penghematan pembelian pupuk. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

(14)

penerapan pola usaha tani terpadu (Crop Livestock Systems /CLS) di Batumarta, Sumatera Selatan, selama 3 tahun dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar US$1.500/KK/tahun, dengan kepemilikan lahan 2 ha tanaman pangan dan 1 ekor sapi (Diwyanto et al. dalam Suwandi 2005), dengan kontribusi hasil ternak terhadap total pendapatan dengan pola CLS sebesar 36%. Pramono et al. (2001) melaporkan bahwa pola integrasi padi-sapi potong di Kabupaten Banyumas, Purworejo, Boyo-lali, Pati, dan Grobogan memberikan pendapatan rata-rata Rp2.455.000/ha, dan pendapatan dari pembibitan sapi dengan pola introduksi mencapai Rp1.830.000/ periode (13 bulan). Di Nusa Tenggara Barat dan Bali, sistem ini mampu meningkatkan pendapatan petani masing-masing 8,41% dan 41,40%.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Besar pendapatan dari Integrasi usaha tani terubuk dengan usaha ternak sapi adalah sebesar Rp. 20,605,800 per ha per ekor per tahun pada bulan Maret - Mei 2013.

SARAN

Dalam upaya pengembangan usaha ekonomi pedesaan di bidang peternakan dan pertanian di Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai baik kepada pihak pemerintah terkait maupun pada pihak yang menggeluti usahatani terubuk dan usaha peternakan sapi agar sebaiknya kegiatan pertanian dengan peternakan dijalankan secara terpadu dengan mengintegrasikan usaha tani terubuk dengan usaha sapi karena memiliki potensi yang menjanjikan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2010. Program Swasembada Daging Sapi 2014. Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan.

Askari Zakariah, 2012. Evaluasi Kecernaan Beberapa Bahan Pakan pada Ternak Peranakan Ongole (PO) dan Peranakan Frisien Holstein (PFH). Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Daulay, D., H. Syarief., dan L. Hidayat. 1984. Mempelajari Peningkatan Daya Simpan dan Pemanfaatan Tebu Terubuk (Saccharum edule Hassk). Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Ensminger, M.E. 1980. Dairy Cattle Science 2nd. The Intenstate Pernitens and Publishers, Inc. Dauville Illinois.

Fagi, A.M., A. Djajanegara, K. Kariyasa, dan I G. Ismail. 2004. Keragaman Inovasi

Kelembagaan Dan Sistem Usaha Tani Tanaman-Ternak Di Beberapa Sentra.

Prosiding Seminar Sistem Kelembagaan Usaha Tani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertani- an, Jakarta.

(15)

Fagi, A.M. dan S. Kartaatmadja. 2004. Dinamika Kelembagaan Sistem Usaha Tani

Tanaman- Ternak Dan Diseminasi Teknologi. Prosiding Seminar Sistem

Kelembagaan Usaha Tani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan Pe- ngembangan Pertanian, Jakarta.

Gould, B.W. and W.E. Saupe. 1989. Off-Farm Labor Market Entry And Exit. Am. J. Agric. Econ. 71(4): 960- 969.

Halim, MD., (2008). Menyahuti Pencapaian Percepatan Swasembada Daging Sapi 2010, Propinsi Sulawesi Tengah. Disampaikan Pada Acara, Seminar Nasional Sapi Potong, 24 November 2008 di Palu. Propinsi Sulawesi Tengah.

Hidayat, S dan Syamsulbahri, D. (2001). Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Jakarta : Pustaka Quantum.

Hendayana, R. dan Yusuf. 2003. Kajian Adopsi Teknologi Penggemukan Sapi Potong

Mendukung Pengembangan Agribisnis Peternakan Di Nusa Tenggara Timur.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Vete- riner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Imam, H.M.S. 2003. Strategi Usaha Pengembangan Peternakan Berkesinambungan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Irvine JE. 1999. Saccharum species as horticultural classes. Theor Appl Genetics 98:186-194.

James G. 2004. Sugarcane (Second Edition). United Kingdom: Blackwell Science.

Kariyasa, K. 2005. Sistem integrasi tanaman- ternak dalam perspektif reorientasi

kebijakan subsidi pupuk dan peningkatan pendapatan petani. Jurnal Analisis

Kebijakan Pertanian 3(1)

Kusnadi, U. dan B.R. Prawiradiputra. (1993). Produktivitas Ternak Domba dalam Sistem Usahatani Konservasi Lahan Kering di DAS Citanduy. Risalah Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Konservasi di DAS Citanduy, Linggarjati, 9-11 Agustus 1988. p.205-293.

Lizah Khairani, 2013. Kloning dan Analisis Gen untuk Sifat Tahan Kekeringan pada Terubuk Sebagai Hijauan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.

Mariyono, Anggraeni,Y., Rasyid,A., 2010. Rekomendasi Teknologi Peternakan dan Veteriner Mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2010).

Martin F. 1984. Saccharum edule Hasskarl. (http://ecocrop.fao.org).

Muchtadi, D. (2000). Sayur-sayuran Sumber Serat dan Antioksidan. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mondo, M. 2002. Analisis Keuntungan Perdagangan Antarpulau Temak Sapi di SulawesiUtara. Skripsi. Fakultas Petemakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.

(16)

Nefri, J. 2000. Optimalisasi dan Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pamungkas, D., dan Hartati. (2004). Peranan Ternak dalam Kesinambungan Sistem Usaha Pertanian. Prosiding Seminar Nasional: Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Denpasar 20-22 Juli 2004. p. 304-312.

Putrasamedja S. (2005). Eksplorasi dan Koleksi Sayuran Indigenous di Kabupaten Karawang. Buletin Plasma Nutfah 11:1.

Pramono, D., U. Nuschati, B. Utomo, dan J. Susilo. (2001). Pengkajian Terintegrasi Sapi Potong Pembibitan dan Tanaman dalam Sistem Usaha Tani Terpadu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Ungaran.

Priyanti, A. 2007. Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman Ternak terhadap Alokasi

Waktu Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani. Disertasi.

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Premachandran MN. 2006. Cauliflower gene in sugarcane. Current Sci. 91(6):750-751. PT RAPP dan Universitas Lancang Kuning, 2001. Seayun Langkah Membangun Riau:

Pertanian Terpadu (Integrated Farming System). PPMR Press, Pekan Baru.

Ratu. 2008. Pendapatan Usahatani Integrasi Pola Sayuran Ternak-Ikan (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Ittifaq, Kampung Ciburial, Desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung). Skripsi. IPB Bogor.

Rianto, Edy & Purbowati, Endang., 2009. Panduan Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Reijntjes, C., B. Haverkot dan A. W. Bayer, 1999. Pertanian Masa Depan, Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius dan ILEIA, Yogyakarta.

Sariubang, M.A., A. Syam, dan A. Nurhayu. 2003. Sistem Usaha Tani Tanaman-Ternak pada Lahan Kering Dataran Rendah di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan.

Suharto. 2004. Pengalaman Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit

Di Riau. hlm. 57- 63 Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa

Sawit-Sapi, Beng- kulu, 9- 10 September 2003. Departemen Pertanian bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.

Sutanto R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius.

Suwandi. (2005). Keberlanjutan Usaha Tani Terpadu Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan RAP-CLS. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soekartawi, (2003). Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Utomo, B.N. dan E. Widjaja. 2006. Pengkajian Integrasi Sapi Potong Dengan

(17)

Laporan Akhir Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Palangkaraya.

Van den Bergh, M. H. 1994. Cosmos caudatus Kunth, p. 152-153. In: J. S. Siemonsma and K. Piluek (Eds.). Plant Resources of South-East Asia. PROSEA: Vegetables. Prosea. Bogor.

Wijono, D.B., D.E. Wahyono, P.W. Prihandini, A.R. Siregar, B. Setiadi, dan L. Affandhy. 2003. Performans Sapi Peranakan Ongole Muda Pascas Krining. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Vete- riner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Keragaan usahatani padi dengan pemanfaatan limbah ternak sapi potong di Desa Sukajadi merupakan pemanfaatan limbah tanpa proses pengomposan terlebih dahulu. Petani di Desa

Pada pola usaha- tani dan peternakan sapi terpadu optimal peningkatan pendapatan usahatani keluarga terutama disebabkan oleh peningkatan pendapatan usaha ternak sapi sebagai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui menejemen usaha pembibitan ternak sapi potong dalam sistem integrasi tanaman–ternak di kawasan pantai selatan Kabupaten

JUDUL SKRIPSI : Analisis Kelayakan Finansial Usaha Perbibitan Sapi Bali dengan Menerapkan Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (Studi Kasus pada Kelompok Tani Ternak “Mekar

Terpilihnya model E, yaitu Model usahatani integrasi tanaman sorgum dan ternak sapi menggunakan varietas adaptif, sistem tanam tumpang sari, memanfaatkan pupuk kandang dan

Tabel 14, menunjukkan bahwa biaya tenaga kerja sangat bervariasi disebabkan oleh lama pengembalaan, biaya tenaga kerja pada usaha sistem gaduhan ternak sapi bali di

Ternak sapi di Desa Tobu merupakan komponen penting dalam sistem usahatani karena kehidupan petani tidak dapat dipisahkan dengan ternak, meskipun

Ada perbedaan signifikan, antara rata-rata pendapatan usahatani padi yang menggunakan hand traktor dengan ternak sapi, pendapatan rata-rata usahatani padi yang menggunakan