• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Danandjaja yang mengutip pendapat Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Definisi folklore secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.

Bentang alam dan tata ruang tradisional Tenganan dapat dipahami melalui mitos asal-usul terjadinya Tenganan sebagai titipan Dewa Indra. Cerita bermula saat pemerintahan Raja Maya Denawa. Seorang raja yang dikenal sangat otoriter dan menganggap dirinya sebagai Tuhan serta melarang masyarakatnya melakukan persembahan kepada Tuhan. Para dewa pun menjadi sangat murka karena mereka tidak pernah mendapat persembahan. Maka diadakanlah pertemuan para dewa

(2)

dapat mengalahkan Raja Maya Denawa, dilakukan satu upacara untuk membersihkan dan menyucikan kembali tempat peperangan. Upacara yang dilakukan disebut dengan Asvameda Yadnya yang menggunakan seekor kuda sebagai korban persembahan. Kuda yang digunakan sebagai korban adalah

O

ncesrawa, kuda putih milik Dewa Indra yang berekor hitam sampai menyentuh tanah dan bertelinga panjang. Ketika mengetahui dirinya akan disembelih dan dijadikan sebagai korban, kuda

O

ncesrawa melarikan diri dan menghilang. Dewa Indra kemudian mengutus wong peneges, prajurit Bedahulu untuk mencari kuda tersebut. Wong peneges membagi anggotanya menjadi dua kelompok. Satu kelompok ke arah Singaraja dan kelompok lain ke arah Karangasem.

Kelompok yang pergi ke arah Karangasem kemudian menemukan bangkai kuda

O

ncesrawa di lereng bukit, di daerah utara. Tempat bangkai kuda tersebut ditemukan kemudian disebut dengan Batu Jaran. Wong peneges dikenal sangat mencintai kuda

O

ncesrawa. Karena kecintaannya terhadap kuda tersebut, wong peneges memohon kepada Dewa Indra agar mengijinkan mereka tinggal di sekitar Batu Jaran. Dewa Indra mengabulkan permohonan wong peneges bahkan memberikan hadiah atas usaha mereka yang telah menemukan kuda

O

ncesrawa, walaupun sudah menjadi bangkai. Hadiah yang diberikan oleh Dewa Indra berupa wilayah kekuasaan, dengan batasan luas sampai bau bangkai kuda tidak lagi tercium. Karena menginginkan wilayah yang luas, wong peneges kemudian memotong bangkai kuda dan dibawa berjalan sejauh mungkin. Tindakan tersebut

(3)

diketahui oleh Dewa Indra yang kemudian datang dan berdiri di sebuah tempat yang saat ini dikenal dengan Batu Madeg.

Ketika Dewa Indra tiba di Batu Madeg, wong peneges sudah sampai di satu daerah yang cukup jauh. Dewa Indra melambaikan tangan dari Batu Madeg dan memberitahukan bahwa wilayah yang ingin dikuasai wong peneges sudah cukup luas. Pada tempat wong peneges tersebut berhenti kemudian didirikan Pura Pengulap-ulap. Tempat diletakkannya masing-masing potongan bangkai kuda kemudian diberi nama, dan sampai sekarang masih bisa ditemukan batu yang menyerupai masing-masing potongan bangkai tersebut. Paha kuda dibagi menjadi dua, dinamakan ‘Penimbalan Kauh’ dan ‘Penimbalan Kangin’. Rambut kuda dinamakan ‘Rambut Pule’. Kotoran kuda dinamakan ‘Taikik’. Perut kuda dinamakan ‘Batu Keben’. Kemaluan kuda (jantan) dinamakan ‘Kaki Dukun’. Potongan-potongan tubuh bangkai kuda tersebut menyebar di seluruh wilayah dan menjadi batas wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Desa Tenganan Pegeringsingan.

Karena letaknya di tengah-tengah inilah, lama-lama desa ini dinamakan Tenganan. Kemudian sebagai kerajinan tangan dari penduduk Tenganan ini adalah menenun kain Geringsing, dan kain tersebut menjadi pakaian adat penduduk Tenganan. Karena wilayah Tenganan Pegeringsingan merupakan hadiah yang diberikan oleh Dewa Indra, maka masyarakat Tenganan Pegeringsingan menganut kepercayaan Hindu beraliran Indra. Dewa Indra sebagai

(4)

yang artinya waspada terhadap musuh, dilindungi benteng dengan empat lawangan, pintu di setiap mata angin. Pola permukiman Desa Tenganan Pegeringsingan mengelompok di tengah-tengah desa yang dikelilingi oleh Bukit Kangin, Bukit Kauh dan Bukit Kaja. Sedangkan di selatan merupakan pintu keluar menuju desa Sedahan, desa tetangga.

Desa Tenganan Pegeringsingan terkenal dengan tradisi dan kepercayaannya yang masih bertahan sampai sekarang. Tradisi sastra lisan yang masih berkembang sampai sekarang di Desa Tenganan Pegeringsingan adalah kepercayaan terhadap adanya Lipi Selan Bukit (I Tundung). Lipi Selan Bukit diyakini sebagai ular penjelmaan dari I Tundung yang keluar dari sela bukit, namun ada juga yang mengatakan Lipi Selem Bukit karena dilihat dari segi intensitas warnanya hitam (selem). Banyak nilai-nilai penting yang terkandung di dalam menjaga tradisi tersebut. Diantaranya adalah nilai etika, sosial, religi masyarakat. Tradisi tersebut juga dapat kita wariskan secara turun temurun agar tidak punah. Lipi Selan Bukit (I Tundung) diyakini sebagai penjaga alam Desa Tenganan Pegeringsingan. Lipi Selan Bukit (I Tundung) selalu menjaga kelestarian alam Desa Tenganan Pegeringsingan. Lipi Selan Bukit (I Tundung) adalah ular hitam di Bukit Kangin yang diyakini menjaga kelestarian alam Desa Tenganan Pegeringsingan. Nilai religius dalam wacana Lipi Selan Bukit adalah adanya pura Naga Sulung. Pura tersebut diyakini sebagai pemujaan terhadap Lipi Selan Bukit, karena disana tempat I Tundung bertapa sebelum menjelma menjadi Lipi Selan Bukit. Konon katanya, kemunculan I Tundung dapat memberikan

(5)

isyarat kepada masyarakat Desa Tenganan Pegeringsingan akan terjadi suatu bencana, maka masyarakat dapat lebih awal melakukan antisipasi.

Masyarakat Desa Tenganan Pegeringsingan sangat percaya akan adanya Lipi Selan Bukit yang diyakini selalu menjaga kelestarian alam Desa Tenganan Pegeringsingan serta melindungi dari mara bahaya atau bencana. Sehingga masyarakat Desa Tenganan Pegeringsingan sampai sekarang tetap memuja Lipi Selan Bukit (I Tundung) di Pura Naga Sulung. Yang menarik dalam wacana ini adalah adanya unsur fungsi dan makna, serta dapat memberikan petuah tentang cara menjaga serta mempertahankan kelestarian lingkungan. Karena di dalam wacana tersebut mengandung nilai positif yang patut ditiru. Seperti perbuatan I Tundung yang mulia meskipun wujudnya telah berubah menjadi seekor ular. Dia selalu menjaga alam Tenganan Pegeringsingan walaupun telah diusir dan dituduh mencuri hasil kebun.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, tentunya terdapat beberapa permasalahan yang perlu di analisis. Maka dari itu permasalahan-permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyaannya sebagai berikut :

1. Bagaimanakah struktur cerita Lipi Selan Bukit pada masyarakat adat Tenganan Pegeringsingan ?

(6)

1.3 Tujuan

Setiap gerak langkah haruslah mempunyai tujuan yang pasti. Begitu pula analisis terhadap suatu karya sastra tentunya mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuannya pun dapat dibedakan menjadi dua yakni tujuan khusus dan tujuan umum.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan dari penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan umum kepada masyarakat betapa pentingnya tradisi sastra lisan yang berupa wacana. Tujuan lainnya adalah untuk dapat memahami serta meningkatkan daya apresiasi masyarakat terhadap tradisi sastra lisan. Karena selain merupakan warisan dari leluhur yang patut kita lestarikan, di dalamnya juga terdapat nasihat (petuah) yang dapat kita pelajari dalam rangka membentuk kepribadian suatu generasi muda yang berlandaskan sastra dan agama.

Semua itu patut kita pelajari dan diamalkan dengan baik. Maka dari itu tradisi sastra lisan patut dipertahankan, dituturkan serta diajarkan kepada generasi muda guna menambah khasanah budaya Bali agar kedepannya tetap bertahan. Selain itu juga agar tetap eksis dan tidak termakan oleh zaman.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara lebih mengkhusus penelitian ini bertujuan untuk dapat menjawab permasalahan yang dituangkan dalam rumusan masalah di atas, yakni:

1. Untuk mendeskripsikan bagaimanakah struktur cerita Lipi Selan Bukit pada masyarakat adat Tenganan Pegeringsingan.

(7)

2. Untuk mendeskripsikan fungsi dan makna yang terkandung di dalam wacana kelestarian alam cerita Lipi Selan Bukit pada masyarakat adat Tenganan Pegeringsingan.

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah agar dapat menumbuhkan rasa dan minat masyarakat untuk mempelajari serta mencintai tradisi sastra lisan, sehingga nantinya dapat digemari oleh masyarakat. Semoga keberadaan tradisi sastra lisan sebagai sebuah budaya bangsa dapat dijaga dan dilestarikan agar tidak punah. Agar dapat diwariskan kepada generasi berikutnya khususnya mengenai fungsi dan makna yang terkandung didalamnya.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk pengenmbangan penerapan teori sastra dalam wacana pada sastra lisan di Bali, khususnya di Desa Tenganan Pegeringsingan. Karena sastra lisan itu perlu dikembangkan dan terus diterapkan di dalam kehidupan masyarakat luas.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran berupa urain tentang fungsi dan makna dalam tradisi sastra lisan. Agar dapat menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap warisan leluhur berjenis

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan responden yang hipertensi memiliki kadar MDA yang lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak hipertensi, dan diperoleh nilai p=0,200 (p>0,05)

Hermanu, MS., Apt., selaku koordinator Bidang Apotek Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah

Jangan selalu <strong>mengharapkan anak melakukan lebih tinggi</strong> daripada yang mereka mampu lakukan, misalnya anak hanya mampu mencapai nilai ulangan 80 tetapi

Para peminum toak mengobjektivasikan bahwa dengan keberadaan minuman toak di Tuban sejak dahulu yang diberikan secara turun-temurun kepada generasi ke generasi dan memang sudah

Pengolahan citra adalah setiap bentuk pengolahan sinyal dimana input adalah gambar, seperti foto atau video bingkai, sedangkan output dari pengolahan gambar dapat berupa

DAFTAR NAMA GURU PAI PADA SEKOLAH - TAHUN 2011 PROVINSI : JAWA TENGAH... SDN

Dengan memanjatkan Puji Syukur Kehadirat Allah SWT atas segala Karunia dan Hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesikan skripsi ini dengan judul ” Penilaian Kinerja

Penerimaan Terhadap Program KB.. KESIMPULAN DAN