• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PEMUDA DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN NON FORMAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN PEMUDA DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN NON FORMAL"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN PEMUDA DALAM MENINGKATKAN MUTU

PENDIDIKAN NON FORMAL

Mulyono1

1STAI Nurul Huda Kapongan Situbondo

lyonie12mulyono@gmail.com

Abstrak

Pemuda harus mampu menyalurkan aspirasinya dalam upaya meningkatkan sistem kelembagaan yang ada dalam lingkungan masyarakatnya, termasuk sistem kelembagan pendidikan non formal sebagai salah satu lembaga yang mampu menopang terhadap kekurangan-kekurangan yang ada dalam lembaga pendidikan formal. Tujuan artikel ini untuk mengkaji peran pemuda dalam meningkatkan mutu pendidikan di masyarakat. Metodi yang dipakai dalam penelitian ini merupakan kajian pustaka yang didapatkan dari berbagai sumber empiris seperi jurnal, buku, dan lainnya. Hasil menunjukkan bahwa peran pemuda dalam pendidikan di masyarakat ialah; pertama, menempatkan mereka pada agen perubahan sosial (agent of social change), kedua, sebagai agent of modernization, ketiga, sebagai modernisator ini memerlukan suatu “literaur sejarah”. Kata kunci : Peran pemuda, pendidikan masyarakat, pendidikan non formal

Abstract

Youth must be able to distribute their aspirations in an effort to improve the existing institutional system in their society, including the non-formal educational institutional system as one of the institutions capable of supporting the deficiencies that exist in formal educational institutions. The purpose of this article is to examine the role of youth in improving the quality of education in society. The method used in this research is a literature review obtained from various empirical sources such as journals article, books, etc. The results show that the role of youth in education in society is; first, placing them in the agent of social change, second, as the agent of modernization, third, as modernizers this requires a "historical literature".

(2)

Pendahuluan

Pemuda secara definitif adalah pewaris nilai luhur dan penerus cita-cita perjuangan generasi terdahulu (Sutarmadi, 1998:1). Di samping itu pemuda dipandang sebagai kader dan calon pemimpin masa depan, karena mereka dipersiapkan oleh generasi sebelumnya untuk mampu memegang estafet kepemimpinan. Adalah sebuah kebanggaan bila harmoni bisa diciptakan karena kelestarian dan kemajuan cita dan pandangan hidup bisa lestari. Aspek kepeloporan dan keterkaitan sejarah ini tidak perlu mereduksi tata nilai luhur dan cita perjuangan yang diwariskan. Hal ini akan terjadi manakala daya kritis, keterbukaan dan kepedulian pemuda terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat yang menjadi bagian dari cara berfikir dan bersikap pemuda untuk mengekspresikan diri.

Ada tiga syarat pokok kepeloporan pemuda menjadi kader umat. Pertama, bilamana pemuda mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap problematika dan tantangan, keluhan dan penderitaan, harapan-harapan dan cita-cita dalam kehidupan riil masyarakat, bangsa, pada saat ini dan yang akan terjadi. Kedua, ada kemampuan memformulasikan tata nilai luhur agama dan bangsa sebagai sumber motivasi, serta solusi problematika dan tantangan yang dihadapi. Ketiga, adanya keterampilan memecahkan masalah, menjawab tantangan kehidupan umat dan bangsa (Sutarmadi, 1998:1-3)

Dengan kata lain, kehadiran pemuda sebagai kader dan calon pemimpin umat dan bangsa pada hakekatnya adalah perwujudan peran kekhalifahannya dalam berproses merealisasi tekad sebagai penebar rahmat pada seluruh penghuni alam.

Kesadaran kepeloporan pemuda di atas menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan bangsa dan negara, bahkan merupakan tekad dan kebijakan pembangunan Indonesia, sebagaimana tertera dalam GBHN:

Pembinaan dan pengembangan pemuda sebagai generasi pewaris nilai-nilai luhur budaya dan penerus cita-cita perjuangan bangsa diarahkan agar pemuda manjadi kader pembangunan dan pemimpin bangsa yang berjiwa Pancasilais, disiplin, peka, mandiri, beretoskerta, tangguh, memiliki idealisme yang kuat, berwawasan kebangsaan yang luas, dan mampu menghadapi tantangan baik masa kini atau masa yang akan datang dengan tetap memperhatikan nilai sejarah yang dilandasi semangat kebangsaan

(3)

serta persatuan dan kesatuan. Pembinaan dan pengembangan pemuda ditujukan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap hukum Yang Maha Esa serta menumbuhkan dan mengembangkan profesionalisme, kewirausahaan, rasa tanggung jawab, kesetiakawanan sosial, serta kepeloporan pemuda dalam membangun masa depan bangsa dan negara peningkatan penyaluran aspirasi pemuda dalam lembaga kepemudaan serta meningkatkan kemampuan penyesuaian diri daya lingkungan masyarakat (Sutarmadi, 1998:1-3).

Sejalan dengan pernyataan di atas, pemuda harus mampu menyalurkan aspirasinya dalam upaya meningkatkan sistem kelembagaan yang ada dalam lingkungan masyarakatnya, termasuk sistem kelembagan pendidikan non formal sebagai salah satu lembaga yang mampu menopang terhadap kekurangan-kekurangan yang ada dalam lembaga pendidikan formal.

Hal ini tidak terlepas dari tanggung jawab pemuda sebagai bagian dari masyarakat/warga Negara untuk menjaga keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Sebagaimana dijelaskan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS bab IV pasal 6 ayat 2 yang berbunyi : “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap kebelangsungan penyelenggaraan pendidikan” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2006:70).

Hal tersebut secara nyata dapat dilihat di desa Bataal Timur kecamatan Ganding kabupaten Sumenep. Keberadaan pemuda di desa ini ternyata memberikan warna yang berbeda dalam proses keberlangsungan pendidikan yang ada, termasuk pendidikan non formal. Adanya beberapa satuan pendidikan non formal, di antaranya lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), serta majlis ta'lim dan lainnya yang ada di desa Bataal Timur ternyata tidak terlepas dari peran pemuda yang secara signifikan ikut andil dalam perencanaan dan pengorganisasian lembaga-lembaga pendidikan non formal tersebut, termasuk juga dalam upaya peningkatan mutu pendidikan sehingga nantinya tujuan akhir dari pendidikan non formal dapat tercapai dengan baik.

Pemuda

(4)

calon pemimpin masa depan, karena mereka dipersiapkan oleh generasi sebelumnya untuk mampu memegang estafet kepemimpinan. Adalah sebuah kebanggaan bila harmoni bisa diciptakan karena kelestarian dan kemajuan cita dan pandangan hidup bisa lestari. Aspek kepeloporan dan keterkaitan sejarah ini tidak perlu mereduksi tata nilai luhur dan cita perjuangan yang diwariskan. Hal ini akan terjadi manakala daya kritis, keterbukaan dan kepedulian pemuda terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat yang menjadi bagian dari cara berfikir dan bersikap pemuda untuk mengekspresikan diri.

Ada tiga syarat pokok kepeloporan pemuda menjadi kader umat. Pertama, bilamana pemuda mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap problematika dan tantangan, keluhan dan penderitaan, harapan-harapan dan cita-cita dalam kehidupan riil masyarakat, bangsa, pada saat ini dan yang akan terjadi. Kedua, ada kemampuan memformulasikan tata nilai luhur agama dan bangsa sebagai sumber motivasi, serta solusi problematika dan tantangan yang dihadapi. Ketiga, adanya keterampilan memecahkan masalah, menjawab tantangan kehidupan umat dan bangsa (Sutarmadi, 1998:1-3).

Dengan kata lain, kehadiran pemuda sebagai kader dan calon pemimpin umat dan bangsa pada hakekatnya adalah perwujudan peran kekhalifahannya dalam berproses merealisasi tekad sebagai penebar rahmat pada seluruh penghuni alam. Kesadaran kepeloporan pemuda/pemuda di atas menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan bangsa dan negara, bahkan merupakan tekad dan kebijakan pembangunan Indonesia, sebagaimana tertera dalam GBHN:

1. Pembinaan dan pengembangan pemuda sebagai generasi pewaris nilai-nilai luhur budaya dan penerus cita-cita perjuangan bangsa diarahkan agar pemuda manjadi kader pembangunan dan pemimpin bangsa yang berjiwa Pancasilais, disiplin, peka, mandiri, berotoskerta, tangguh, memiliki idealisme yang kuat, berwawasan kebangsaan yang luas, dan mampu menghadapi tantangan baik masa kini atau masa yang akan datang dengan tetap memperhatikan nilai sejarah yang dilandasi semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan. Pembinaan dan pengembangan pemuda ditujukan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap hukum Yang Maha Esa serta menumbuhkan dan mengembangkan profesionalisme, kewirausahaan, rasa tanggung jawab, kesetiakawanan sosial, serta kepeloporan

(5)

pemuda dalam membangun masa depan bangsa dan negara peningkatan penyaluran aspirasi pemuda dalam lembaga kepemudaan serta meningkatkan kemampuan penyesuaian diri daya lingkungan masyarakat (Sutarmadi, 1998:1-3).

2. Para pemuda sebagai bagian dari genarasi muda, yang merupakan calon-calon pemimpin bangsa di masa depan haruslah memahami paradigma nasional dan kebangsaan kita sebaik-baiknya. Jika pembinaan pemuda kearah ini gagal atau kurang serius, jelas akan timbul berbagai dampak negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Taher, 2003:229).

Pembinaan pemuda merupakan salah satu usaha pembangunan dibidang pendidikan dan didasarkan atas falsafah pancasila. Maka pembinaan pemuda secara integral dalam satu kesatuan sistem pendidikan tinggi yang dilakukan di dalam kegiatan kepemudaan mengandung beberapa sasaran antara lain:

1. Berjiwa pancasila: Maka pemuda sebagai warga negara Indonesia perlu dibina agar berjiwa pancasila ialah bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bersedia mempertahankan serta memelihara persatuan bangsa. Perasaan kemanusiaan harus dikembangkan, agar kepekaan sosialnya menjadi tangguh dalam menghadapi tantangan-tantangan, pengaruh negatif dan menjauhkan sifat individualitas serta dapat mempertahankan semangat kegotong royongan.

2. Sikap ilmiah: Para pemuda dilambangkan dan dibina dalam kegiatan menuntut ilmu pengetahuan dalam rangka membentuk insan cendikiawan atau sebagai manusia yang membuat analisa yang tajam, cakap membuat sintesa dengan ciri-ciri ilmiah, cermat, jujur, tekun, disiplin dan obyektif.

3. Sikap keahlian/profesional: Para pemuda dikembangkan dan dibina dalam kegiatan latihan kemahiran sesuai dengan ilmu dari fakultas dan jurusan serta bakat dan kemampuan mereka untuk persiapan profesi mereka kelak sebagai sumber tenaga pemilik bagi pembangunan bangsa dan negara.

4. Kepemimpinan: Para pemuda dibina dalam kegiatan-kegiatan berorganisasi dan berkomunikasi sebagai latihan kerjasama kepemimpinan dan tanggung jawab dalam rangka pengkaderan generasi muda yang diharapkan sebagai sumber-sumber calon pemimpin generasi penerus, cita-cita dalam perluasan bangsa yang akan memikul tanggung jawab masa depan negara, bangsa dan agama.

(6)

5. Dedikasi dan kepeloporan dalam pembangunan: Para pemuda dibina dalam kegiatan-kegiatan nyata untuk mengamalkan dan mengabdikan ilmu pengetahuan serta keterampilan mereka bagi pembangunan nusa, bangsa dan agama.

6. Ketahanan Nasional: Para pemuda dikembangkan kepribadiannya dengan menanamkan pengertian yang lebih merangsang jiwa mudanya. Tentang sejarah nasional/kepahlawanannya, posisi Indonesia dalam peta bangsa-bangsa, negara di dunia dan lain-lain, agar menjadi potensi bangsa dinamis kreatif dan patriotic (Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983:8-10).

Dengan berdasarkan paparan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap pemuda sebelum mereka terjun pada masyarakat perlu diadakan pembinaan atau latihan-latihan agar mereka mampu menjawab dalam tantangan dari masyarakat

Peran Pemuda

Pemuda mempunyai dua peran penting, yakni sebagai agen perubahan social (agent of social change) dan sebagai agen modernisasi (agent of modernization).

1. Menempatkan mereka pada agen perubahan sosial (agent of social change) menuju ideal tuntutan nurani dan kesadaran kolektif. Watak yang progesif menghendaki dinamika perubahan terus berproses sejalan dengan tuntutan dan tantangan zaman. Kesadaran akan hidup yang lebih baik sebagai perwujudan idealisme serta kritis dan realitas yang jauh dari ideal mereka menciptakan sosok pemuda yang terus aktif dan kreatif. Kesadaran yang terus menerus untuk berubah kearah kemajuan inilah yang memposisikan pemuda sebagai agen pembangunan/kemajuan. Menyadari posisi strategis pemuda dengan peluang dan tantangan serta membela sejarah dinamika kegiatan dan gerakan pemuda dalam perwujudan diri, mampu mendorong kesadaran kita untuk memformulasikan kesadaran diri sebagai pisau analisa terhadap apa yang sedang dan akan kita hadapi (Sutarmadi, 1998:7-8).

2. Sebagai agent of modernization. Langkah pertama dalam pembahasan peranan pemuda sebagai unsur modernisasi adalah kesadaran, bahwa bangsa kita masih banyak mengalami keterbelakangan di segala bidang. Pengalaman menunjukkan bahwa merubah suatu masyarakat terlebih dahulu memerlukan pemahaman sistem nilai sosial budaya secara mendalam. Walaupun kedengarannya paradoksal, namun merupakan suatu kenyataan bahwa modernisasi harus berakar pada tradisi bangsa

(7)

yang kokoh dan kuat, yang merupakan sumber motivasi dari setiap langkah yang menyangkut bangsa.

Dengan demikian peranan sebagai modernisator ini memerlukan suatu “literaur sejarah” ialah kesadaran sejauh berbangsa itu sendiri. Adalah tidak benar, bahwa modernisasi hanyalah merupakan inport teknologi belaka, pembinaan dukungan sosial inilah salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan para pemuda, antara lain dengan mendidik sebagian besar rakyat kita di pedesaan dengan pandangan baru (Al-Kindi, dkk., 1993:83-84). Para pemuda sebagai unsur lapisan intelektual yang penuh cita-cita luhur, gemar belajar, mengabdi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan dan keindahan hendaknya menjadi beban dan sasaran bagi pengabdian pemuda sebagai motivator dan dinamisator rekan sebangsanya yang kurang beruntung (Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983:4).

Tantangan Pemuda

Tantangan hal dalam era globalisasi ini mau tidak mau kita harus menerimanya. Dalam hal ini terdapat dampak positif kita rasakan, tetapi negatifnya juga tidak serta merta dielakkan. Sehingga perlu adanya pemikiran yang luas agar kita dapat memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Ada beberapa indikasi umum yang bisa berdampak positif dan negatif bagi kita baik pada dimensi sosial budaya, ekonomi pendidikan, agama dan lain-lain, diantaranya:

1. Terdapatnya transformasi dari masyarakat industri ke masyarakat informasi.

2. Lingkup kegiatan ekonomi nasional telah menjadi terbuka (berskala Internasional). 3. Orientasi, kegiatan jangka pendek banyak berubah menjadi orientasi jangka panjang. 4. Tata kerja pemerintah yang lebih bersifat hirarkis menjadi sistem kerja secara net

work.

5. Negara yang sedang berkembang di daerah selatan tidak banyak yang maju dan menjadi pesaing negara di daerah utara.

6. Menejemen sentralisasi (top down approach) berubah desentralisasi (bottom up approach).

7. Kehidupan pembangunan negara yang semula banyak diwarnai oleh serba bantuan berubah kearah negara yang lebih mandiri (slep realiance).

(8)

8. Sistem tata pemerintahan yang bersifat demokrasi perwakilan telah berubah menjadi sistem demokrasi yang lebih aspiratif.

9. Masyarakat yang semula terbatas dalam hal memilih berubah menjadi bebas memilih.

10. Kemajuan tingkat teknologi telah bergeser dari tingkat teknologi dasar formal menjadi tingkat teknologi canggih yang dapat diterima masyarakat (Sutarmadi, 1998:9).

Dengan beberapa indikator di atas kita dapat mengetahui tantangan dan masalah yang sedang kita hadapi, maka salah satu metode yang bisa kita tempuh adalah mencoba merefleksikan realitas internal maupun eksternal.

Faktor internal hal yaitu idealisme untuk berfikir jauh ke depan terhalang oleh pragmatisme dan berfikir kekinian masih jarang dimilikinya, kepekaan dan kepedulian sosial yang lemah menciptakan pola pikir dan kegiatan yang intoleran, anti demokrasi, tidak reponsif dan adoptif terhadap perkembangan, perguruan tinggi/senat hal bukan tempat wahana menumbuh kembangkan tata nilai yang berpihak kepada perubahan sosial ke arah kemajuan tetapi sekedar sebagai wahana melestarikan nilai-nilai tradisional yang mengarah kepada status quo dan kemapanan.

Faktor eksternal hal yaitu kondisi konkrit dunia pendidikan, kondisi masyarakat, kondisi bangsa dan negara sejauhmana kesenjangan dengan tren globalisasi tersebut. Usaha ini sebagai bahan menformulasikan keadaan kolektif untuk mampu menciptakan wahana berlatih menampilkan kepeloporan, kepemimpinan dan tanggung jawab profesi (Sutarmadi, 1998:8-10).

Untuk menunjang terhadap kwalitas hal yang bermutu perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Bersedia menerima pengalaman yang baru dan terbuka bagi perubahan, hal ini menyangkut alur pikiran, keadaan psikologis.

2. Hal harus mempunyai kesadaran tinggi tentang harga diri orang.

3. Hal harus percaya pada ilmu dan teknologi. Ilmu dan teknologi dipandang sebagai alat untuk mempermudah kehidupan.

4. Mempunyai orientasi masa kini dan masa depan.

5. Peka terhadap persoalan yang terjadi serta dapat memberi respon dalam pemecahannya. Dan harus demokratis dalam menghadapi opini yang terjadi.

(9)

Unsur di atas cukup untuk menggambarkan sikap dan nilai-nilai yang harus dimiliki oleh hal sehingga mereka dapat mengikuti tantangan ke depan yang semakin rumit (Karsa, 1995:19-20.

Pendidikan Non Formal

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan non formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan (Tirtarahardja, 2005:11).

Pendidikan nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun ke masyarakat Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja. Pendidikan kesetaraan meliputi Paket A, Paket B dan Paket C, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik seperti: Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, majelis taklim, sanggar, dan lain sebagainya, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (Tirtarahardja, 2005:13).

Landasan Pelaksanaan Pendidikan Non Formal

Untuk mencapai tujuan pendidikan bukanlah suatu hal yang mudah. Ada beberapa pihak yang turut bertanggung jawab terhadap berlangsungnya penyelengggaraan pendidikan. Di antara pihak-pihak yang turut bertanggung jawab atas berlangsungnya penyelenggaraan pendidikan, yaitu :

1. Warga negara 2. Orang tua 3. Masyarakat

(10)

Setiap warga negara mempunyai tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana dijelaskan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS bab IV pasal 6 ayat 2 yang berbunyi “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap kebelangsungan penyelenggaraan pendidikan” (Pidarta, 2000:32). Demikian juga orang tua mempunyai tanggung jawab atas pendidikan putera puterinya hal ini dijelaskan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS bab IV pasal 7 ayat 2 yang berbunyi “Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya”.

Masyarakat juga mempunyai tanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan. Hal ini juga dijelaskan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS yaitu pada bab IV pasal 9 yang berbunyi “Masyarakat berkewajiban memberi dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”(Mulyasa, 2003:102).

Pemerintah dan Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara khususnya yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun hal ini dijelaskan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS tepatnya pada bab IV pasal 11 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :

1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi

2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun

(11)

Landasan pelaksanaan pendidikan non formal tertuang dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan nasional diselenggarakan melalui tiga jalur, yaitu ; pendidikan formal, nonformal dan informal (Mulyasa, 2003:10). Melalui jalur pendidikan nonformal, pemerintah dalam hal ini Direktorat Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Dan Pemuda, Departemen Pendidikan Nasional, menyelenggarakan berbagai program yang salah satunya diantaranya adalah pendidikan kesetaraan yang terdiri atas program paket A, yaitu program yang memberikan pelayanan pendidikan setara sekolah dasar (SD), program paket B, yaitu program yang memberikan pelayanan pendidikan setara sekolah menengah pertama (SMP) dan program paket C, yaitu program yang memberikan pelayanan pendidikan setara sekolah menengah atas (SMA).

Sasaran dari program-program pendidikan nonformal adalah mereka yang tergolong kurang beruntung, baik dari aspek ekonomis, geografis dan sosial budaya. Oleh karena itu, aspek akademis dan kecakapan hidup dalam program-program pendidikan nonformal selalu diajarkan secara integral.

Fungsi, tujuan dan mamfaat pendidikan non formal

Lembaga pendidikan non formal merupakan sarana pendidikan yang akan memberikan kesetaraan dan berupaya melayani masyarakat yang kurang beruntung baik karena tidak pernah sekolah atau karena putus sekolah yang masih dalam usia produktif dalam meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidupnya (Ridwan, 2004:31).

Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Sedangkan tujuan pendidikan non formal adalah untuk mengurangi keragaman prestasi belajar dari peserta didik (Ridwan, 2004:40), karena semua peserta didik harus mencapai suatu tingkat tertentu sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah terbagi menjadi bagian yang lebih kecil dan mudah dicapai. Jika didiskripsikan lebih lanjut, tujuan acuan ini adalah :

1. Untuk menguatkan dan memperkuat pengetahuan peserta didik melalui pernyataan sasaran dan tujuan serta keterkaitan tutorial yang jelas, mengemas materi ajar dalam paket-paket pembelajaran yang lebih kecil.

(12)

2. Untuk mengembangkan pendekatan berbasis kelompok hingga mencapai ketuntasan, dengan demikian perpindahan dari satu materi ajar ke materi ajar yang lain dilakukan setelah mayoritas peserta didik memenuhi ketuntasan belajar.

3. Tercapainya kompetensi kurikulum oleh peserta didik yang disesuaikan dengan ketersediaan waktu dan kesempatan belajar peserta didik.

4. Adapun manfaat yang akan diraih dalam kejar paket ini adalah meliputi :

5. Menghasilkan lulusan pendidikan kesetaraan yang mempunyai kemampuan yang utuh sesuai apa yang diharapkan pada kurikulum berbasis kompetensi.

6. Meningkatkan efektifitas pembelajaran tanpa harus melalui tatap muka secara teratur karena kondisi geografis, social ekonomi, dan situasi masyarakat.

7. Menentukan dan menetapkan waktu belajar yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan belajar peserta didik.

8. Secara tegas mengetahui pencapaian kompetensi peserta didik secara bertahap melalui criteria yang telah ditetapkan dalam modul.

9. Mengetahui kelemahan atau kompetensi yang belum dicapai peserta didik berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam modul sehingga tutor dapat memutuskan dan membantu peserta didik untuk memperbaiki belajarnya dan melakukan remediasi.

Satuan Pendidikan Non Formal

Satuan lembaga pendidikan non formal adalah sebagai berikut : 1. Kelompok bermain (KB)

2. Taman penitipan anak (TPA) 3. Lembaga kursus

4. Sanggar

5. Lembaga pelatihan 6. Kelompok belajar

7. Pusat kegiatan belajar masyarakat 8. Majelis taklim

Implementasi Pendidikan Non Formal

Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan yang dialaminya.

(13)

Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.

Sejauh ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.

Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.

Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.

Disebutkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah.

(14)

Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat.

Pendidikan berbasis masyarakat (communihy-based education) yang juga merupakan bagian dari pendidikan non formal, merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.

Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.

Pendidikan non formal berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah.

Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab

(15)

kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.

Di dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri (Undang-Undang RI Nomor 20, 2003:6).

Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat sebagai salah satu pendidikan non formal adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.

Kesimpulan

Keberadaan pemuda dapat mempengarahi pendidikan non formal yang ada dipedesaan. Agar supaya kontribusinya dapat menciptakan tatanan masyarakat yang bermartabat, berpendidikan dan mempunyai status social yang tinggi. Sehingga ini memunculkan reaksi positif dari para pemuda untuk selalu sebuah melakukan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik. Peran pemuda dalam upaya meningkatan mutu pendidikan non formal dilaksanakan dengan melakukan perencanaan yang matang, mengorganisir serta melakukan evaluasi agar nantinya pendidikan yang ada

(16)

Daftar Pustaka

Al-Kindi, Muhammad Djazaman, dkk. (1993). Mahasiswa dan Masa Depan Politik Indonesia. Yogyakarta: PSIP, DPP, IMM

Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. (1983). Pola Pembinaan Mahasiswa IAIN. Jakarta: DEPAG RI. Hasan, Fuad H. (1997). Dasar-Dasar Kependidikan. Rineka Cipta, Jakarta.

Hasbullah. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Jauhari, Ahmad. (2004). Basic Kompetensi Guru. Jakarta : Depag.

Made. Pidarta. (2000). Landasan Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Mulyasa M. Pd. (2003). Menjadi Kepala sekolah professional. Bandung : Rosda Karya. Poerwadarninta. (1999). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Ridwan, Ahmad. (2004). Acuan Ketuntasan Belajar pendidikan kesetaraan.Jakarta:

Depdiknas.

Sutarmadi. (1998). Mahasiswa dan Keberpihakan Sosial. Pamekasan: Senat Mahasiswa STAIN Pamekasan

Taher, Tarmidi. (2003). Arek Suroboyo dan Aktivis Kampus Abdi Umat dan Bangsa. Surabaya: JP. Press

Umar Tirtarahardja., dkk. (2005). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung : Permana

Wisadirana, Darsono. (2005). Metode Penelitian. Pedoman Penelitian Skripsi untuk Ilmu Sosial. UMM, Malang.

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 7 dilaksanakan sesuai dengan Modul Rekonsiliasi dalam Penyusunan Laporan

Acuminate Balbisiana) Dan Lama Penyimpanan Terhadap Mutu Buah Mangga (Mangifera Indica) Sebagai Bahan Untuk Mengembangkan Sumber Belajar Biologi Video Materi

[r]

Pertimbangan : Bahwa berdasarkan hasil penyidikan terhadap tersangka, saksi dan barang bukti, perbuatan pidana yang disangkakan kepada tersangka tidak cukup bukti

PENERAPAN PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN PRESTASI BELAJAR IPA PADA MATERI SISTEM PERNAPASAN MANUSIA DI KELAS VIII C.. SMP NEGERI 34

(1) Dengan tidak mengurangi kewajiban untuk memperoleh izin menurut peraturan-peraturan lain yang berlaku, maka kepada Pemegang Kuasa Pertambangan yang telah memiliki bahan

Gunakan baju kerja / ketel pak dan sarung tangan untuk menghindari kontak dengan kulit jika terjadi paparan debu bahan ini.. Pelindung

Menurut Vincent Gaspersz (2005, p203), kapasitas produksi merupakan suatu kemampuan dari fasilitas produksi untuk mencapai jumlah kerja tertentu dalam periode waktu tertentu