L A P O R A N A K H I R
PILOT MODEL RESTORASI
GAMBUT TERINTEGRASI
Pengarah : Rektor Universitas palangka Raya
Penanggung Jawab : Kepala UPT LLG - CIMTROP Universitas Palangka Raya
TIM AHLI :
1. Dr. Ir. Yusurum Jagau, M.S. (Agroteknologi, Pemuliaan) (Tim Perencana dan Pelaksana) 2. Yanetri Asi Nion, SP, M.Si, Ph.D. (Bioteknologi, Ilmu Penyakit Tanaman)(Tim Perencana
dan Pelaksana)
3. Dr. Renhart Jemi, S.Hut., M.P. (Kehutanan/Tim Perencana dan Pelaksana) 4. Ir. Inga Torang, M.Si. (Perikanan/Tim Perencana dan Pelaksana)
5. Ria Anjalani, S.Pt., M.Sc. (Peternakan/Tim Perencana dan Pelaksana) 6. Trisna Anggreini, S.P., M.Sc. (Agribisnis/Tim Perencana dan Pelaksana)
7. Dr. Yuprin A. D., S.P., MSi (Sosial Ekonomi Pertanian/Tim Perencana dan Pelaksana) 8. Dr. Zafrullah Damanik, M.Si (Ilmu Tanah/Tim Perencana dan pelaksana)
KATA PENGANTAR
Pilot Model Restorasi Gambut Terintegrasi (MRGT) merupakan kegiaran riset aksi Badan Restorasi Gambut yang diswakelolakan kepada UPT LLG CIMTROP UPR. Kegiatan ini dirancang untuk mendapatkan sebuah model pengelolaan lahan gambut secara lestari dengan mengkombinasikan tiga pendekatan restorasi gambut, 3R, Rewetting, Revegetasi dan Revitalisasi ekonomi masyarakat.
Kegiatan MRGT dilakukan dengan membuat sebuat model di lahan kelola oleh Tim UPT LLG di Desa Pilang Kabupaten Pulang Pisau. Pemilihan Desa ini disebabkan kawasan di desa ini selalu terjadi kejadian kebakaran lahan gambut setiap tahun. Proses transfer pengetahun dan keterampilan kepada masyarakat tentang Pilot MRGT ini dilakukan melalui pelatihan-pelatihan.
Kegiatan ini bertujuan untuk mendemontrasikan model restorasi gambut terintegrasi melalui pengembangan paludikultur. Pengembangan model ini dilakukan dengan mengkombinasikan tiga pendekatan yaitu Rewetting, Revegetasi dan Revitalisasi ekonomi masyarakat dengan pengelolaan sumberdaya alam terpadu. Diharapkan model sederhana ini dapat dikembangkan di Desa Pilang bahkan direplikasi di desa terdekat.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR ... v 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan... 3 2. RENCANA KEGIATAN ... 4
2.1. Waktu dan tempat ... 4
2.2. Rancangan Model ... 4
3. PELAKSANAAN KEGIATAN ... 8
3.1. Kegiatan Demontrasi model restorasi gambut terintegrasi melalui pengembangan paludikultur di kawasan lahan gambut bekas terbakar... 8
Kegiatan 1.1 Penyediaan Tenaga Ahli ... 8
Kegiatan 1.2. Proses koordinasi, sosialisasi dan FPIC ... 8
Kegiatan 1.3. Biofisik dan Kelayakan Sosial Ekonomi Kawasan Lahan Gambut ... 10
Kegiatan 1.4. Pembuatan model Retorasi gambut Terintegrasi ... 26
Kegiatan 2. Pengembangan Pelatihan Pemanfaatan Lahan Gambut Secara Lestari ... 36
Sub Kegiatan 2.1. Pelatihan pemanfaatan lahan gambut secara lestari ... 36
Sub Kegiatan 2.2. Penyusunan modul Pelatihan pemanfaatan lahan gambut secara lestari ... 38
Sub kegiatan 2.3. Penyediaan Penceramah ... 38
KEGIATAN 3. KEGIATAN PENDUKUNG ... 38
4. PEMBAHASAN ... 39
1. Kelayakan Teknis ... 39
Kelayakan Finansial ... 40
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 43
Kesimpulan ... 43
rekomendasi ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Logical Framework Model Restotasi Gambut Terintegrasi ... 6
Tabel 2. Output dan kegiatan ... 7
Tabel 3. Karakteristik Tanah di Lokasi Kegiatan ... 13
Tabel 4. Status Kesuburan Tanah di Lokasi Kegiatan ... 14
Tabel 5. Fasilitas Umum dan Sosial di Desa Pilang ... 17
Tabel 6. Profil penduduk Desa Pilang ... 18
Tabel 7. Organisasi formal yang ada di Desa Pilang ... 22
Tabel 8. Pemasukan anggaran desa tahun 2108 ... 24
Tabel 9. Mata Pencaharian masyarakat Desa Pilang ... 24
Tabel 10. Silabus yang diberikan dalam pelatihan kepada masyarakat Desa Pilang ... 37
Tabel 11. Pola tinggi muka air tanah dan kalender tanam komoditas ... 39
Tabel 12. Pohon potensi komoditas pilot Model Restorasi Gambut Terintegrasi ... 40
Tabel 13. Rangkuman inflow dan outflow pengembangan Model Restorasi Gambut Terintegrasi ... 41
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Penyelarasan pendekatan Restorasi Gambut (3R) dengan Pengelolaan
Sumberdaya Alam Terpadu (diadaptasi dari BP2LHK Palembang, 2017) ... 2
Gambar 2. Lokasi Pilot Model Restorasi Terintegrasi ... 4
Gambar 3. Rancangan Pilot Model Restorasi Gambut Terintegrasi dengan Paludikultur ... 5
Gambar 4. Sosialisasi Kegiatan Pilot Model Rewstorasi Gambut Terintegrasi untuk mendapat Persetujuan Atas Dasar Informasi Di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) dari Masyarakat Desa Pilar ... 9
Gambar 5. Peta sebaran gambut Desa Pilang (sumber: BRG, 2018) ... 10
Gambar 6. Kawasan Hidrologis Gambut Kahayan-Sebangau (www.brg.go.id) ... 11
Gambar 7. Transek dan titik boring di lokasi demplot BRG-Cimtrop UPR dan Ketebalan Gambut di lokasi demplot penelitian ... 12
Gambar 8. Kondisi Tinggi Muka Air Tanah di sekitar kawasan lokasi penelitian (sumber: Hidenori Takahashi dalam Ucun, 2019). ... 14
Gambar 9. Kondisi tinggi MAT di demplot lokasi penelitian ... 15
Gambar 10. Peta administrasi Kabupaten Pulang Pisau ... 16
Gambar 11. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa Pilang ... 20
Gambar 12. Wawancara dan diskusi dengan warga Desa Pilang dalam kegiatan pemetaan social ekonomi ... 26
Gambar 13. Keadaan kolam beje di demplot. (a) parit sebelum dibersihkan, (b). Kolam beje setelah dibersihkan dan diolah, (c). Keadaan beje setelah musim hujan dan telah ditanami tanaman air ... 26
Gambar 14. Kegiatan penangkapan ikan rawa gambut dengan system tampirai, (a) terusan air gambut tempat untuk masang tampirai, (b) tampirai yang dipasang, (c) tampirai yang telah diangkat dan mendapai ikan rawa gambut yang terperangkap di situ. ... 27
Gambar 15. Keadaan bedeng demplot penanaman talas. (a) Bedeng sebelum dibersihkan dan diolan, (b). Bedeng setelah dibersihkan dan diolah, (c). bedeng setelah ditanam tetapi dalam keadaan kering saat musim kemarau, (d). bedang dengan tanaman talas yang telah tergenang saat musim hujan di bulan Desember 2018 ... 28
Gambar 16. Contoh talas di tempat pembibitan talas, (a). Kasumba, b). Sentang, (c). langkat/malahoy, (d). basuring/tampahas ... 29
Gambar 17. Contoh umbi talas yang telah dikoleksi, (a). bawak bua baputi, b). bawak bua bahandang, (c). enyuh bahandang, (d). enyuh baputi, (e). madura 3. ... 29
Gambar 18. Contoh tanaman paludikultur lokal yang sudah tumbuh: tanaman bakung, teratai dan mimosa ... 30
Gambar 19. Proses pembibitan balangeran yang dimasukkan ke dalam keranjang purun ... 31 Gambar 20. Pohon balangeran yang telah ditanam dan dimasukkan ke dalam keranjang purun, (a) pada saat musim kemarau, (b) saat musim hujan, lokasi penanaman terendam air. ... 32 Gambar 21. Kondisi tanaman revegetasi ... 32 Gambar 22. Proses pengembangan lebah madu pada Kawasan pohon hutan (a) stup lebah madu Aphis, (b) stup lebah madu Trigona, (c). Alat ekstraktor untuk lebah madu ... 33 Gambar 23. Budidaya lebah madu di rawa gambut, (a) setup lebah madu yang ada di lahan, (b) bunga yang ditanam di antara pohon galam dan balangeran. ... 33 Gambar 24. Pengembangan paludikultur menjadi produk bernilai tambah, (a). proses pembuatan kripik dan kue dari talas dan bakung, (b) proses pengemasan produk ... 34 Gambar 25. Pondok pertemuan telah selesai dibangun ... 35 Gambar 26. Pembuatan track kayu ... 36 Gambar 27. Suasana beberapa pelatihan yang diberikan kepada masyarakat Desa Pilang .. 38
1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
Lahan gambut (peatlands) menjadi isu penting terkait dengan perubahan iklim. Lahan gambut menjadi penting karena lahan gambut yang tersusun dari bahan organik dengan kandungan C yang tinggi. Lahan gambut memiliki cadangan karbon yang melebihi kandungan karbon yang ada di ekosistem terrestrial lainnya. Lahan gambut merupakan reservoir C terbesar di antara seluruh ekosistem terrestrial. Diperkirakan lahan gambut menyimpan 500 Gt C di dalam gambutnya. Angka ini setara dengan 75% seluruh C di atmosfer, sama dengan seluruh biomasa terrestrial dan dua kali stok C di seluruh biomasa hutan dunia (UG, 2012).
Keterkaitan lahan gambut dengan perubahan iklim karena saat ini ekosistem gambut telah dan sedang terdegradasi dan rusak. Hutan rawa gambut didrainase dan tegakan hutannya ditebang. Sebagai akibat drainase lahan gambut , maka karbon yang dalam keadaan normal tetap basah dan tetap tersimpan, akan dilepaskan ke udara.
Penggunaan lahan untuk pertanian dan kehutanan di lahan gambut yang berbasis drainase menimbulkan banyak masalah di seluruh dunia. Masalah yang muncul antara lain degradasi tanah gambut dan subsidensi sebagai dampak langsung dari drainase lahan gambut; emisi gas rumah kaca, kehilangan keanekaragaman hayati dan bencana kebakaran gambut. Di Indonesia, luas lahan gambut diperkirakan 21 juta ha atau sekitar 36% dari luas lahan gambut tropis dunia (WI, 2006). Data resmi Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa lahan gambut Indonesia adalah 14,9 juta ha (BBPPSDLP, 2011). Lahan gambut inilah yang dipandang sebagai lahan yang potensial untuk dikembangkan untuk berbagai penggunaan lahan. Akibatnya banyak lahan gambut yang digunakan secara keliru sehingga menyebabkan kerusakan yang cukup besar dan memberikan dampak negatif kehidupan masyarakat. Kesalahan pengelolaan gambut selama ini telah menyebabkan sekitar 6,6 juta ha lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan mengalami terdegradasi (Miettinen & Liew, 2010). Kementerian Pertanian melaporkan sekitar 3,7 juta ha (35%) lahan gambut di Indonesia merupakan lahan gambut terdegradasi yang tidak produktif (Balitbangtan, 2013). Kerusakan lahan gambut di Indonesia makin bertambah ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 2015. Laporan Pemerintah Indonesia, kebakaran hutan dan lahan pada periode Juni – Oktober 2015 mencapai 2,611 juta hektar. Dari luasan yang terbakar, 33 % di antaranya terjadi di lahan gambut. Diperkirakan kerugian yang ditimbulkan mencapai IDR 221 triliun (World Bank, 2016). Kerusakan ini umumnya dipicu oleh drainase dan konversi lahan gambut untuk pertanian dan perkebunan.
Di Kalimantan Tengah, sejak dibukanya Proyek Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan (Keputusan Presiden No. 82 Tahun 1995), setiap tahun selalu terkena dampak kebakaran hutan dan lahan. Tiga kebakaran besar yang terjadi sejak
pembukaan Eks Proyek Lahan Gambut (Eks PLG) selalu terulang dalam selang periode 9 (sembilan) tahunan, yakni pada tahun 1997, 2006 dan yang terakhir pada tahun 2015. Bila dihitung berdasarkan total luas kebakaran tahun 2015 atau seluas 577.473,40 hektar, maka kebakaran yang terjadi pada vegetasi hutan seluas 57.017,20 hektar atau hanya 9,87% dari total luas kebakaran dan kebakaran yang terjadi pada area yang tidak bervegetasi hutan sekitar 520.456,20 hektar atau 90,13% dari total kebakaran tahun 2015 dengan kontribusi terbesar berasal dari kebakaran di tanah gambut yang tidak bervegetasi hutan seluas 355.286,29 hektar atau 61,52% dari luas total kebakaran tahun 2015.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Badan ini diberi tugas untuk melakukan percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan dan lahan secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh. Target luasan yang dipulihkan adalah 2 juta ha hingga tahun 2020.
Restorasi gambut yang dilaksanakan menggunakan tiga strategi/pendekatan, yaitu Rewetting, Revegetasi dan Revitalisasi mata pencaharian masyarakat. Dengan memadukan pendekatan 3R dan pola pengelolaan sumberdaya terpadu, maka Model Restorasi Gambut Terintegrasi yang didorong adalah Agro-Sylvo-Fishery.
Gambar 1. Penyelarasan pendekatan Restorasi Gambut (3R) dengan Pengelolaan Sumberdaya Alam Terpadu (diadaptasi dari BP2LHK Palembang, 2017)
3R
2R
2R
2R
Agro- Sylvo-Fishery Agro-fishery Agro-Sylvo Sylvo-FisheryModel Restorasi Gambut Terintegrasi
(Agro-Sylvo-Fishery)
Biancalani dan Avagyan (2014), Joosten et al. (2012) dalam rangka untuk pengelolaan lahan gambut untuk mitigasi perubahan iklim; Tata dan Susmianto (2016) mengkompilasi penerapan paludikultur di Indonesia.
Melalui Pilot Model Restorasi gambut Terintegrasi ini maka pola pengelolaan sumberdaya terpadu (agro-sylvo-foshery) akan dikembangkan melalui cara Paludikultur.
1.2. TUJUAN
Kegiatan ini bertujuan untuk mendemontrasikan model restorasi gambut terintegrasi melalui pengembangan paludikultur. Pengembangan model ini dilakukan dengan mengkombinasikan tiga pendekatan yaitu Rewetting, Revegetasi dan Revitalisasi ekonomi masyarakat dengan pengelolaan sumberdaya alam terpadu. Secara khusus tujuan kegiatan ini:
1) Melakukan riset aksi melalui demontrasi Pilot Model Restorasi Gambut Terintegrasi di kawasan
lahan gambut bekas terbakar di KHG Kahayan Sebangau,
2) Melakukan transfer pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat tentang Restorasi
Gambut Terintegrasi dengan pengembangan paludikultur,
2. RENCANA KEGIATAN 2.1. WAKTU DAN TEMPAT
Pelaksanaan kegiatan dari Juni – Desember 2018.
Lokasi kegiatan berada di KHG Kahayan Sebangau yang merupakan lokasi bekas kebakaran tahun 2015.
Desa : Pilang
Kecamatan : Jabiren Raya
Kabupaten : Pulang Pisau
Gambar 2. Lokasi Pilot Model Restorasi Terintegrasi
Lokasi kegiatan merupakan kawasan non hutan atau Areal penggunaan Lain (APL). Lokasi ini adalah milik masyarakat yang dikerjasamakan dengan Pihak Cimtrop.
2.2. RANCANGAN MODEL
Model Restorasi Gambut Terintegrasi (MRGT) dengan memadukan pendekatan 3R dan pengelolaan sumberdaya lahan gambut terpadu. Berdasarkan hasil brainstorming, pilot
tahan genangan
diutamakan spesies lokal, termasuk spesies hasil hutan bukan kayu
punya potensi ekonomi bagi masyarakat lokal
Pilot MRGT akan mengembangkan paludikultur dengan pola Agro-sylvo-fishery di-onfarm:
Agro- : Pengembangkan komoditas beberapa jenis talas lokal, bakung, teratai dan Mimosa
air.
Sylvo- : Pemeliharaan tegakan Gelam yang sudah ada sebagai sumber kayu dan sumber
nectar bagi pengembangan madu, pengayaan spesies pohon sperti Blangeran, penanaman tanaman sagu.
Fishery : Pengembangan beje dengan cara fishfen. Spesies ikan yang dikembangkan seperti
Betok dan Gabus.
Pilot MRGT juga mengembangkan kegiatan off-farm yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola paludikultur dan mengolah hasil untuk peningkatan nilai tambah.
Gambar 3. Rancangan Pilot Model Restorasi Gambut Terintegrasi dengan Paludikultur
@jagau Sagu
Gelam
Talas lokal Teratai lokal
Mimosa air Bakung sayur Kalakai Ikan lokal Dlm Beje Itik lokal Lebah madu Kanal
Tabel 1. Logical Framework Model Restotasi Gambut Terintegrasi
Uraian singkat Indikator dan target
Tujuan:
Mendemontrasikan model Restorasi Gambut Terintegrasi melalui pengembangan
paludikultur
Terbangunnya suatu model restorasi gambut terintegrasi melalui pengembangan paludikultur Sasaran:
o Mendemontrasikan model restorasi gambut terintegrasi dengan mengkominasikan model 3R melalui pengembangan paludikultur, serta Melakukan kajian kelayakan dan analisis scenario perluasan,
o Melakukan transfer pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat agar dapat menerapkan pengembangan paludikultur dari on-farm hingga off-farm.
1. Terbentuk suatu model restorasi gambut terintegrasi melalui pengembangan paludikultur 2. Tersusunnya kelayakan dan scenario perluasan 3. Terbentuknya kelompok masyarakat (kelompok
tani) yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam mereplikasikan model restorasi gambut terintegrasi melalui pengembangan paludikultur di lahan milik kelompok tani.
Output
o Demontrasi model restorasi gambut terintegrasi melalui pengembangan
paludikultur di kawasan lahan gambut bekas terbakar & Kajian kelayakan dan scenario perluasan.
o Kelompok tani dengan pengetahuan dan keterampilan penngembangan paludikultur dari on-farm hingga off-farm.
1. Terbangunnya model restorasi gambut terintegrasi melalui pengembangan paludikultur di kawasan lahan gambut bekas terbakar
2. Dihasilkannya kelayakan dan scenario perluasan 3. Terlaksananya proses transfer pengetahuan dan
Tabel 2. Output dan kegiatan
Ouput Aktivitas
1.Demontrasi model restorasi gambut terintegrasi melalui pengembangan paludikultur di kawasan lahan gambut bekas terbakar
1.1 Penyediaan tenaga ahli
1.2 Proses koordinasi, sosialisasi & FPIC
1.3. Pemetaan biofisik dan sosial & ekonomi kawasan lahan gambut target
1.4 Pelaksanaan pembuatan model
1.4.1 Pembuatan beje & kelengkapannya (fishfen) 1.4.2 Pengelolaan sayuran Lokal dan pendukungnya
1.4.3 Penyiapan penanaman tanaman tahunan paludikultur (sagu, belangeran) 1.4.5. Penyiapan pengembangan ternak lebah madu di kawasan pohon hutan Gelam 1.3.6 Pembuatan Pondok pertemuan & toilet
1.3.7 Track jalan kayu dan jembatan titian
2.Kelompok tani dengan pengetahuan dan keterampilan pengembangan paludikultur dari on-farm hingga off-farm.
2.1 Pengembangan Pelatihan Pemanfaatan Lahan Gambut Secara Lestari 2.1.1 Penyusunan Bahan Pelatihan Pemanfaatan Lahan Gambut Secara Lestari &
pembuatan modul
2.1.2 Pelaksananaan Pelatihan Pemanfaatan Gambut Secara Lestari 2.1.3 Penyediaan penceramah Pemanfaatan Gambut Secara Lestari
3.Dukungan pengelolaan kegiatan 3.1 Penyediaan Biaya Pengelolaan kegiatan 3.1.1 Penyediaan tenaga ahli pelaksana
3.1.2 Penyediaan biaya kegiatan kantor & lapangan 3.1.3. Pelaporan
3. PELAKSANAAN KEGIA TAN
3.1. KEGIATAN DEMONTRASI MODEL RESTORASI GAMBUT TERINTEGRASI MELALUI PENGEMBANGAN PALUDIKULTUR DI KAWASAN LAHAN GAMBUT BEKAS TERBAKAR
KEGIATAN 1.1 PENYEDIAAN TENAGA AHLI
Tenaga ahli yang direkrut untuk terlibat di dalam kegiatan ini berjumlah 8 orang,.
Nama Deskripsi tugas
Dr. Ir. Yusurum Jagau, MS Mengkompilasikan rancangan model, bertanggung jawab dalam implementasi model dan kegiatan lapangan lainnya, serta penyampaian laporan kegiatan
Yanetri Asi Nion, SP, M.Si, Ph.D. Mempersiapkan, melaksanakan dan melaporkan pelaksanaan kegiatan paludikultur komoditas pertanian tanaman
Dr. Renhart Jemi, S.Hut., M.P. Mempersiapkan, melaksanakan dan melaporkan pelaksanaan kegiatan revegetasi dan pengembangan agroforestry
Ir. Inga Torang, M.Si. Mempersiapkan, melaksanakan dan melaporkan pelaksanaan kegiatan perikanan khususnya pengembangan beje
Ria Anjalani, S.Pt., M.Sc. Mempersiapkan, melaksanakan dan melaporkan pelaksanaan kegiatan hasil hutan bukan kayu melalui pengembangan ternak lebah Trisna Anggreini, S.P., M.Sc. Mempersiapkan, melaksanakan dan melaporkan pelaksanaan
kegiatan pemetaan sosial dan ekonomi dan pengembangan agribisnis Dr. Yuprin A. D., S.P., MSi Mempersiapkan, melaksanakan dan melaporkan pelaksanaan
kegiatan riset kelayakan ekonomi dan perancangan scenario model Dr. Zafrullah Damanik, M.Si Mempersiapkan, melaksanakan dan melaporkan pelaksanaan
kegiatan pemantauan tinggi muka air dan analisis geofisik lahan.
KEGIATAN 1.2. PROSES KOORDINASI, SOSIALISASI DAN FPIC
Tim telah melakukan koordinasi dengan Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) baik di tingkat provinsi maupun Kabupaten Pulang Pisau. Koordinasi dilakukan pula dengan pihak Desa Pilang dan Dinas Pertanian, Peternakan, Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau.
Gambar 4. Sosialisasi Kegiatan Pilot Model Restorasi Gambut Terintegrasi untuk mendapat Persetujuan Atas Dasar Informasi Di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) dari Masyarakat Desa Pilar
Sosialisasi dan FGD dengan tema “Model Restorasi Gambut Terintegrasi” tersebut dilakukan untuk memberikan informasi kegiatan sebelu kegiatan dimulai. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendapat persetujuan dari masyarakat dan mendapatkan masukan-masukan dari masyarakat. Kegiatan ini untuk memastikan prinsip-prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) atau dikenal dengan istilah PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi Di Awal Tanpa Paksaan). Kegiatan dilaksanakan di Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau.
Kegiatan diikuti 35 peserta, terdiri dari Tim Peneliti LLG CIMTROP-UPR, aparatur desa, anggota BPD, kelompok tani dan masyarakat Peduli Api (MPA), fasilitator BRG, dan perwakilan warga Desa Pilang.
Secara garis besar kegiatan terdiri dari:
1. Pengantar dari Kepala UPT LLG CIMTROP dan Kepala Desa Pilang
2. Paparan oleh Ketua Tim yang menjelaskan tentang rancangan kegiatan dan rancangan model Restorasi Gambut Terintegrasi.
3. Tanya jawab yang menyimpulkan :
a. Masyarakat Desa Pilang setuju untuk mendukung kegiatan yang disampaikan
b. Masyarakat Desa Pilang berharap agar terjadi transfer pengetahuan dan keterampilam kepada masyarakat secara merata.
c. Masyarakat Desa Pilang berharap kegiatan dapat menjadi alternatif bagi dampak pelarangan penyiapan lahan dengan membakar.
KEGIATAN 1.3. BIOFISIK DAN KELAYAKAN SOSIAL EKONOMI KAWASAN LAHAN GAMBUT
1. KEGIATAN BIOFISIK KAWASAN LAHAN GAMBUT
Data biofisik diperoleh dari data sekunder dan dari data analisis di laboratorium. Ada 2 jenis tanah yang terdapat di Desa Pilang, yaitu tanah alluvial atau tanah mineral subur dari endapan sungai yang membentang sepanjang pinggiran sungai Kahayan mencapai 1-2 Km yang cocok diperuntukkan kegiatan pertanian dan perkebunan masyarakat, dan kemudian tanah rawa yang didominasi gambut dangkal dengan kedalaman antara 0,5 – 3 m dengan tingkat kematangan gambut mentah/fibrik. Di wilayah ini biasanya ditumbuhi vegetasi tanaman perintis pakupakuan, tanaman galam, garunggang, tumih, pulai, dan tanaman perkebunan masyarakat.
Topografi atau bentuk bentang atau hamparan permukaan Desa Pilang dapat dilihat dari 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan vegetasi dan tata guna lahan. Kondisi vegetasi areal akan membedakan jenis dan tata guna lahan yang digunakan. Ketinggian dataran Desa Pilang dari permukaan laut adalah 0-50 m dpl dengan elevasi antara 0 - 8°, yang dipengaruhi juga oleh kondisi pasang surut yang memungkinkan terjadi kondisi banjir di areal-areal tertentu pada musim penghujan.
Kahayan-Sebangau. Wilayah ini merupakan salah satu kawasan prioritas restorasi gambut sebagai salah satu tugas Badan Restorasi Gambut.
Gambar 6. Kawasan Hidrologis Gambut Kahayan-Sebangau (www.brg.go.id)
Lahan gambut di lokasi kegiatan secara tipologi pembentukan, digolongkan sebagai gambut pedalaman, yaitu gambut yang terbentuk tanpa pengaruh pasang surut air laut maupun air sungai. Pada gambut pedalaman hanya dipengaruhi oleh air hujan, sehingga dikenal sebagai gambut ombrogen. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa substratum di bawah gambut merupakan sedimen pasir, dan tidak mengandung bahan sulfidik.
Ketebalan gambut di lokasi penelitian berdasarkan survey lapangan berkisar 160 - 670 cm. Variabilitas ketebalan gambut di lokasi penelitian disebabkan lokasi penelitian yang terletak pada kubah gambut. KHG Kahayan-Sebangau merupakan kubah gambut yang terletak di antara dua sungai besar, yaitu Sungai Kahayan dan Sebangau. Ketebalan gambut di lokasi kegiatan semakin tebal sejalan dengan semakin jauhnya jarak dari sungai Kahayan.
Gambar 7. Transek dan titik boring di lokasi demplot BRG-Cimtrop UPR dan Ketebalan Gambut di lokasi demplot penelitian
Karakteristik Tanah
Karakteristik tanah di lokasi penelitian (STN 1-STN 3) disajikan dalam Tabel 3. Secara umum kemasaman tanah berkisar 3,20-3,47 dan tergolong sangat. Berbeda dengan tanah mineral, rendahnya pH tanah pada tanah gambut disebabkan tingginya konsentrasi asam-asam organik yang berasal dari dekomposisi senyawa organik. Salampak (1999) menyebutkan bahwa gambut yang berkembang dari bahan induk kayu-kayuan (woody) akan menghasilkan sejumlah asam-asam organik turunan asam fenolik, seperti sinapat, kumarat, siringat dan
Tabel 3. Karakteristik Tanah di Lokasi Kegiatan
C-organik berkisar 42,21-50,95% dan N-total tergolong tinggi hingga sangat tinggi (0,52-1,0%). Tingginya N-total pada tanah gambut tidak menggambarkan ketersediaan N bagi tanaman. Karena N berada dalam bentuk senyawa organik yang tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini terlihat dari nisbah C/N yang tergolong sangat tinggi (48-66). Sehingga jika dihubungkan dengan budidaya tanaman di lokasi penelitian, diperlukan masukan hara N berupa pupuk kimia maupun pupuk kandang.
Kadar abu di lokasi penelitian relatif tinggi dibanding lahan gambut di lokasi lain. Pada lokasi penelitian kadar abu berkisar 12-27%, sedangkan pada lokasi yang tidak terlalu jauh yaitu hutan Sebangau kadar abu relatif rendah (<1%). Tingginya kadar abu di lokasi penelitian menunjukkan sejarah kebakaran yang berulang, dan terakhir kebakaran besar terjadi pada tahun 2015. Kebakaran gambut akan menghasilkan sejumlah abu hasil pembakaran yang terdiri dari oksida-oksida basa. Hal ini dapat dilihat dari relatif tingginya basa-basa dapat dipertukarkan (Tabel 3.).
Karakteristik tanah gambut di lokasi penelitian memiliki KTK tanah yang tinggi (129-162 cmol(+).kg-1) yang dihasilkan dari gugus-gugus fungsional pada koloid organic, seperti hidroksil dan fenolik. KTK tanah yang tinggi pada tanah gambut tidak diikuti oleh tingginya kejenuhan basa, yang sangat rendah (2-8%) dan tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Sehingga dalam pengelolaan lahan gambut perlu dilakukan peningkatan kejenuhan basa tanah seperti pengapuran dan ameliorasi dengan tanah mineral.
Ketersediaan unsur hara makro terutama N, P dan K di lokasi penelitian tergolong sangat rendah. Hasil analisis tanah menunjukkan P-total (ekstrak HCl 25%) tergolong sangat rendah (<10 mg.100g-1), sedangkan P-tersedia hanya sekitar kurang dari 10% P-total. Hal ini disebabkan pada tanah gambut P berada dalam bentuk organic yang tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu rendahnya P-tersedia pada tanah gambut juga disebabkan oleh rendahnya daya jerap koloid gambut terhadap ion fosfat, sehingga P mudah terlindi dan hilang dari sistem tanah.
Status Kesuburan Tanah
Penentuan status kesuburan tanah berdasarkan juknis evaluasi kesuburan tanah PPT (1983) yang mendasarkan pada 5 (lima) parameter tanah, yaitu C-organik, P dan K-total, KTK dan
KB. Status kesuburan tanah di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 4. Berdasarkan hasil evaluasi, status kesuburan tanah di lokasi penelitian tergolong rendah.
Tabel 4. Status Kesuburan Tanah di Lokasi Kegiatan
Keterangan : ST=sangat tinggi; SR=sangat rendah; S=sedang; R=rendah
Dinamika Muka Air Tanah (MAT)
Tinggi muka air selama satu tahun di lokasi demplot penelitian didekati melalui data muka air tanah di sekitar lokasi penelitian yaitu di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Tumbang Nusa. Data dalam Gambar 8, didapat dari water logger SESAME Project. Pola MAT secara umum elevasinya meningkat pada bulan November-Juni, dan turun pada Juli-Oktober. Pola tinggi MAT di kawasan penelitian secara umum dipengaruhi oleh curah hujan yang jatuh. Tinggi muka air segera meningkat setelah adanya hujan dan secara perlahan akan menurun apabila tidak terjadi hujan. Pola yang sama juga ditemui pada lahan gambut di lokasi lain, seperti lokasi penelitian ICCTF Desa Jabiren Kalteng (Sosiawan et al., 2014).
Nilai Harkat Nilai Harkat Nilai Harkat Nilai Harkat Nilai Harkat
STN 1 42,21 ST 4,06 SR 4,73 SR 161 ST 3,48 SR R STN 2 50,95 ST 9,6 SR 23,5 S 162 ST 9,38 SR R STN 3 46,36 ST 5,7 SR 7,46 SR 129 ST 4,33 SR R
Status C-organik (%) P-total (mg/100g) K-total (mg/100g) KTK (cmol (+)/kg) KB (%)
Kondisi MAT di demplot selama pelaksanaan penelitian (Oktober-Desember 2018) digambarkan dalam Gambar 9. Data MAT didapat dengan pengamatan manual harian menggunakan metode piezometer. Pada demplot ditempatkan 2 (dua) buah Piezometer, yang diletakkan pada pinggir sekat kanal dan pada jarak 200 meter dari kanal dan diletakkan pada pinggir sekat kanal dan pada jarak 100 meter dari kanal.
Gambar 9. Kondisi tinggi MAT di demplot lokasi penelitian
Secara umum tinggi MAT di demplot Paludikultur masih di bawah permukaan tanah gambut. Selama pengamatan dari tanggal 25 Oktober 2018 hingga 3 Januari 2019, pada dua piezometer hanya beberapa hari saja air menggenang diatas permukaan tanah gambut. Walaupun hujan sudah mulai turun pada bulan Desember. Hal ini menunjukkan peran sekat kanal yang terdapat di samping demplot penelitian tidak berperan secara optimal. Sekat kanal dimaksudkan untuk menahan dan membasahi air di sekitarnya, yang keberhasilannya ditunjukkan oleh tinggi MAT yang dangkal.
Muka air tanah yang dalam menyebabkan penanaman untuk demplot Paludikultur menjadi terlambat. Sistem Paludikultur membutuhkan tinggi air tanah yang dangkal, bahkan hingga tergenang. Sehingga pada masa yang akan datang dalam pengembangan Paludikultur di demplot perlu dilakukan perbaikan pintu-pintu air pada sekat kanal, maupun perbaikan konstruksi. Kondisi eksisting saat ini konstruksi sekat kanal gagal untuk menahan air di saluran sekaligus membasahi lahan gambut di sekitarnya. Selain itu untuk keberhasilan sistem Paludikultur, perlu dilakukan penyesuaian musim tanam. Hal ini berkaitan dengan curah hujan yang secara langsung berkorelasi dengan MAT di lokasi demplot.
Analisis kegiatan kelayakan sosial ekonomi ini masih belum selesai pada awal Oktober, yang dilakukan masih input pemetaan data sosial ekonomi di daerah Pilang. Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu menggunakan teknik wawancara dan memberikan kuisioner dengan buku panduan khusus, juga mengumpulkan data sekunder. Wawancara dilakukan dengan teknik pertanyaan terbuka pada masyarakat Desa Pilang yang dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai topik atau keadaan di wilayahnya.
a. Lokasi Desa
Desa Pilang berada pada titik koordinat Lintang Selatan S02’29’14,3’ dan Bujur Timur E.114’11’43,4’ dengan luas wilayah 33.113,36 Ha. Desa Pilang terletak di tengah tengah Ibukota Kabupaten Pulang Pisau dan Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Luas wilayah Desa Pilang adalah 33.133,36 Ha membentang sepanjang jalur Sungai Kahayan dari Utara ke Selatan dengan Panjang mencapai 10 Km, dan dari Timur ke Barat sepanjang 18 Km.
Ke Palangka Raya
Desa Pilang
Lokasi dan posisi Desa Pilang berada tepat di antara Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah dan Ibukota Kabupaten Pulang Pisau sehingga memudahkan untuk berkoordinasi Pemerintahan di Kabupaten, dan akses yang mudah mencapai Ibukota Provinsi.
Desa Pilang berbatasan dengan 2 Wilayah Desa di Kecamatan Jabiren Raya yaitu Desa Tumbang Nusa di bagian Utara handel dengan titik koordinat lintang selatan s.02.30.084– dan bujur timur e.114.11.434, dan Desa Jabiren di bagian selatan desa yang ditandai dengan patok batas wilayah desa yang dikuatkan juga dengan batas aliran sungai atau handel dengan titik koordinat lintang selatan = s.02.27.512 – dan bujur timur e.114.11.140.
Bagian timur Desa Pilang berbatasan langsung dengan Desa Lamunti Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas, dan sebelah barat berbatasan langsung dengan Taman Nasional Sebangau. Batas antara Desa Pilang dengan Taman Nasional Sebangau adalah Parit Kanal eks PLG yang membelah dua wilayah , dan batas timur desa Pilang adalah batas administrasi yang sudah ditetapkan oleh kabupaten sebagai wilayah administrasi Kabupaten Pulang Pisau. Batas antara Desa Pilang dan Desa Jabiren disisi bagian barat Sungai Kahayan masih menjadi pembahasan antara kedua desa walaupun sudah dilakukan pemetaan tapal batas. Begitu pula sisi utara yang berbatasan dengan Desa Tumbang Nusa sisi bagian barat jalur Sungai Kahayan.
b. Fasilitas Umum dan Sosial
Pembangunan yang terjadi sejak berdirinya Desa Pilang sampai saat ini, memprioritaskan akses sarana transportasi permukiman, usaha tani dan perkebunan masyarakat. Sarana umum lainnya seperti sarana pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan dasar juga terdapat di Desa Pilang, begitu juga sarana keagamaan dan kebudayaan.
c. Kependudukan
Desa Pilang berpenduduk 1.687 Jiwa yang terdiri dari 866 Laki-laki dan 821 Perempuan dengan jumlah KK 455. Mata Pencaharian utama masyarakat adalah usaha tani karet. Selain itu juga melakukan kegiatan pekerjaan penambangan pasir dan usaha wiraswasta lainnya.
Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang dinilai dari tingkat survey ekonomi dan pendapatannya tidak memenuhi kebutuhan keluarga seharihari atau jauh di bawah minimal standar yang ditetapkan daerah. Sedangkan keluarga sejahtera 3+ adalah keluarga yang memenuh kriteria pangan, papan dan sandang secara berlebih dengan adanya aset berupa kendaraan, kebun, tingkat pendapatan, pekerjaan sebagai PNS, memiliki sarang burung walet, ijin tambang galian C dan lain-lain. Keluarga Prasejahtera di Desa Pilang merupakan kepala keluarga dengan usia lanjut, mereka menumpang hidup bersama dengan keluarga anak-anak mereka. Meski tergolong prasejahtera, para keluarga dengan usia lanjut ini memiliki lahan kebun karet dan kebun campuran. Usia dan hasil kebun ini bervariasi tergantung dari luas dan usia pohon. Klasifikasi Keluarga Prasejahtera, Keluarga Sejahtera-1 dan Keluarga Sejahtera 02 masing-masing adalah pemilik kebun karet dan kebun campuran minimal 1 Ha dimiliki masing-masing Kepala Keluarga.
d. Struktur Pemerintahan
Desa Pilang dipimpin oleh seorang Kepala Desa Bp.Leson Idar (2015-2020), dibantu oleh Sekdes PNS Bp.Garutak. Badan Permusyawaratan Rakyat atau BPD diketuai oleh Bp. Tri Boy dan dibantu oleh 4 Anggota BPD.
Wilayah Desa Pilang terbagi menjadi 4 RT. RT.01 dengan penduduk 611 dengan Ketua RT. Bp.Junedi, RT.02 dengan penduduk berjumlah 285 dengan Ketua RT Bp.Sintuk, RT.03 dengan penduduk berjumlah 376 dengan Ketua RT.Bp.Jagau Effendi, dan RT.04 dengan penduduk berjumlah 454 dengan Ketua RT Bp.Apo.
Gambar 11. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa Pilang
Seiring dengan pengembangan status desa dari desa swadaya menjadi desa swakarya, Desa Pilang mendapatkan penambahan 1 perangkat desa. Proses pemilihan perangkat desa melalui seleksi yang dilakukan secara terbuka sesuai dengan amanat peraturan pemerintah mengenai pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa. Jumlah Kaur ada 3 dan Kasie ada 3 yang membantu pelaksanaan pelayanan umum desa.
e. Kepemimpinan adat
Wilayah Desa Pilang berada di bawah Pemerintahan Adat Dayak, Damang. Damang berkedudukan di kecamatan. Perpanjangan pemerintahan adat Damang, adalah mantir adat yang terdiri dari 3 orang perwakilan masyarakat adat suku Dayak. Ketiga orang ini dipilih berdasarkan kriteria kepemahaman mengenai adat istiadat dan budaya tradisional serta
merupakan periode pertama kali pemerintahan Adat Dayak diakui secara resmi oleh pemerintah. SK ini kemudian diperbaharui, untuk memperpanjang masa kepemimpinan kedua, yaitu terhitung sejak 22 Oktober 2014 sampai tahun 2020.
Dalam menjalankan aturan adat istiadat, ada hukum-hukum adat yang mengikat seluruh masyarakat adat Desa Pilang. Mantir Adat sebagai pemimpin adat desa berkewajiban menjalankan seluruh peraturan adat untuk dilaksanakan dan tidak dilanggar. Aturan-aturan dalam hukum adat mengatur tata cara dalam hidup bermasyarakat, dan urusan rumah tangga serta norma-norma sosial lainnya. Hukum adat yang diberlakukan berupa denda untuk berbagai pelanggaran norma adat diatur dalam kitab undang-undang hukum adat.
. Struktur pemimpin adat
f. Organisasi sosial
Proses pembentukan kelembagaan secara umum dilakukan dengan musyawarah yang dibuktikan dengan terbentuknya pengurus kelembagaan tersebut. Pembentukan kelembagaan ada yang memang berdasarkan kesepakatan kelompok atau memang sudah menjadi ketetapan Peraturan Daerah dan Peraturan Pemerintah dengan Surat Keputusan Pembentukan yang disyahkan oleh instansi tertentu.
Data kelompok atau Lembaga di desa ada 4 yaitu: 1) Lembaga pengelola hutan Desa, 2). Lembaga pembudidaya Ikan “Kahinje”, 3). Masyarakat pengelola tabat, 4). Kelompok Tani Ternak “Hakadohop Mahaga”
Proses pembentukan organisasi atau kelembagaan sosial non formal pada umumnhya adalah menyesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan pembentukan. Proses musyawarah hanya menjadi sarana untuk menentukan kepengurusan atau pemilihan pengurus. Kemudian dilanjutkan dengan melengkapi berbagai syarat yang dibutuhkan untuk berdirinya kelompok organisasi atau kelembagaan sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh inisiator atau syarat-syarat yang ditetapkan sebagai kelengkapan organisasi atau kelembagaan untuk mencapai tujuan tertentu yang pada umumnya adalah untuk melaksanakan kegiatan tertent Hubungan sosial kemasyarakatan desa cukup banyak berperan dalam hal kematian atau apabila salah satu anggota masyarakat melakukan kegiatan. Masih kental budaya Handep /
gotong royong dimana masyarakat saling berbalas budi untuk menyumbangkan materi dan non materi.
Kelembagaan sosial yang ada di desa juga memiliki peran yang besar dalam kegiatan kemasyarakatan. Hubungan kedekatan dengan masyarakat dalam berbagai aktivitas, menentukan dan mengambil sikap, serta keputusan bersama lebih didominasi oleh tokoh tokoh RT yang memimpin di desa. Peran kelompok Posyandu juga dinilai sangat dekat karena kegiatan rutin yang dilakukan kepada bayi dan balita sangat dibutuhkan oleh warga. Peran kelompok Yassinan dan RKM serta Kelembagaan Gerejawi dinilai sangat dekat hubungannya dengan masyarakat dalam sisi pelayanan keagamaan. Untuk hal-hal kemasyarakatan yang bersifat pembangunan desa secara umum, seperti RT dan Pemdes memiliki peranan yang sangat besar untuk menentukan keputusan melalui musyawarah dan mufakat.
Hubungan antar desa juga terjalin dengan baik. Anggota Tim Pemetaan Tapal Batas dapat melaksanakan proses penetapan tapal batas desa dengan baik. Begitupula dengan jaringan kerja yang dilakukan oleh Anggota MPA dalam melaksanakan kegiatan patroli pencegahan kebakaran, terdapat kesepakatan diantara mereka dengan warga untuk saling mendukung dalam kegiatan pencegahan dan pemadaman kebakaran lahan.
Tabel 7. Organisasi formal yang ada di Desa Pilang (lanjutan)
g. Perekonomian Desa
Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai dana pembangunan bagi Desa Pilang sangat berperan dalam kegiatan pengembangan dan kemajuan desa. Sumber-sumber pendapatan desa selain dari DD dan ADD adalah dari pembagian hasil pajak dan retribusi daerah. Pendapatan Asli Desa / PADes masih belum dapat memberikan sumbangan bagi kegiatan pembangunan desa.
Tabel 8. Pemasukan anggaran desa tahun 2108
Sebagian besar masyarakat Desa Pilang memiliki lahan kebun karet (75,8%). Selain karet, mereka juga menanam tanaman buah-buahan, rotan, dan tanaman perkebunan lainnya seperti sengon.
Selain pekebun, warga Desa Pilang juga banyak yang bekerja sebagai nelayan tangkap. Biasanya dilakukan oleh kelompok Laki-laki dalam rumah tangga nelayan. Perempuan biasanya melaksanakan sebagian kegiatan pertanian padi lokal dan sayur-sayuran yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja, tidak untuk dijual. Peternak yang berjumlah 17,3 % dari seluruh keluarga Desa Pilang melakukan kerja sama usaha dengan pengusaha ternak dari luar yang berasal dari Palangkaraya dan Banjarmasin dimana peternak desa hanya menyediakan tempat dan perawatan. Sementara proses persiapan bibit ternak, pakan dan suplemen vitamin serta vaksin dan proses pemasaran dilakukan oleh pihak yang bekerja sama dengan peternak desa. Hewan yang diternakan adalah ayam ras potong.
h. Perkembangan capaian desa
Berdasarkan hasil wawancara sementara, hasil capaian desa Pilang sampai bulan Desember 2018 dapat dilihat dalam tabel berikut.
Gambar 12. Wawancara dan diskusi dengan masyarakat dalam kegiatan pemetaan sosial ekonomi
KEGIATAN 1.4. PEMBUATAN MODEL RETORASI GAMBUT TERINTEGRASI
SUB KEGIATAN 1.4.1. PEMBUATAN BEJE (PERIKANAN)
Beje sudah dibuat dengan bentuk fishpen tetapi masih belum dimasukkan ikan ke dalam beje tersebut karena keadaan kolam masih dalam keadaan surut airnya (karena masih musim kemarau). Panjang kolam beje adalah 70 m dan lebar 3 m.
Pada beje dan pada saluran air yang ada di sekitar lahan telah dipasang perangkat ikan (tampirai=Bahasa lokal) untuk menangkap ikan lokal yang ada di rawa. Ikan yang ditemukan antara lain gabus, betok, tabakang dan lele.
Gambar 14. Kegiatan penangkapan ikan rawa gambut dengan system tampirai, (a) terusan air gambut tempat untuk masang tampirai, (b) tampirai yang dipasang, (c) tampirai yang telah diangkat dan mendapai ikan rawa gambut yang terperangkap di situ.
SUB KEGIATAN 1.4.2. PENGELOLAAN SAYURAN LOKAL PALUDIKULTUR DAN PENDUKUNGNYA
Pada bagian lahan telah dibuat satu petakan untuk membuat tanaman talas yang tahan terhadap lahan yang basah yaitu kumpulan berbagai varietas talas yang dkumpulkan baik dari daerah Kalimantan Tengah maupun dari luar Kalimantan Tengah. Sekitar ada 27 varietas yang telah dikumpulkan yaitu dari provinsi Kalteng (enyuh baputi, enyuh bahandang, bawak bua baputi, bawak bua bahandang, madura 1, madura 2, madura 3, sasapat, tampahas/basuring, pudak, punggu, sentang, kasumba, punggu,
a
langkat/malahoy/bentul, sirau, kereng bangkirai, lilin, bahijau, sulur, bangas 1, bangas 2, b, garuda 1, garuda 2, garuda 3), dari Kalbar (talas hitam), dari Jawa (talas bogor).
Tempat tanaman talas sudah disiapkan tetapi karena lahan masih kering karena kondisi musim kemarau yang agak panjang sehingaga tanaman talas agak terlambat ditanam di demplot yang telah disediakan, tetapi setelah akhir bulan November sampai awal Desember hampir tiap hari hujan sehingga demplot yang semula kering akhirnya terendam air. Ukuran bedeng untuk tanaman talas adalah Panjang 20 m dan lebar 2 m.
Gambar 15. Keadaan bedeng demplot penanaman talas. (a) Bedeng sebelum dibersihkan dan diolan, (b). Bedeng setelah dibersihkan dan diolah, (c). bedeng setelah ditanam tetapi dalam keadaan kering saat musim kemarau, (d). bedang dengan tanaman talas yang telah tergenang saat musim hujan di bulan Desember 2018
Gambar 16. Contoh talas di tempat pembibitan talas, (a). Kasumba, b). Sentang, (c). langkat/malahoy, (d). basuring/tampahas
Gambar 17. Contoh umbi talas yang telah dikoleksi, (a). bawak bua baputi, b). bawak bua bahandang, (c). enyuh bahandang, (d). enyuh baputi, (e). madura 3.
Pada bagian yang tergenang yang ada di kolam beje dan tempat irigasi telah dikembangkan sayuran air lokal yang berpotensi untuk menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat yang
a
c
c
mengembangkan paludikultur. Jenis yang dikembangkan adalah Mimosa air (uru mahamen), teratai, kangkung air dan bakung.
Gambar 18. Contoh tanaman paludikultur lokal yang sudah tumbuh: tanaman bakung, teratai dan mimosa
SUB KEGIATAN 1.4.3. PENANAMAN TANAMAN TAHUNAN
Pengolahan tanah dan pemupukan
Tanah yang digunakan untuk media tanam merupakan tanah subur, ditambah dengan pupuk kadang. Media tanah diletakan pada sebuah keranjang besar yang terbuat dari Purun (tas yang terbuat dari Purun Tikus). Dikondisikan dulu selama satu minggu.
Penanaman
Jenis Jelutung (Dyera costulata) yang ditanam didalam wadah keranjang besar Purun. Tinggi anakan Jelutung sebesar > 130 cm dan memeliki > 10 helai daun. Diletakan di bawah
• Bakung
• Teratai
• Mimosa
anakan Jelutung mati, pada akhirnya yang ditanam adalah tanaman balangeran. Sampai saat ini (Desember 2018) semua anakan pohon balangaeran yang ditanam telah tumbuh dengan baik di lahan walaupun tergenang air.
Gambar 19. Proses pembibitan balangeran yang dimasukkan ke dalam keranjang purun
Penyulaman
Tindaklanjutnya selanjutnya melakukan kegiatan menyulaman, menganti tanaman anakan Jelutung yang mati, karena musim kering seperti ini ternyata ada beberapa bibit tanaman yang mati. Dengan anakan Jelutung yang baru. Dimana kondisi anakan dengan tinggi minimal 30 cm serta memiliki daun minimal 10 helai, terlebih dahulu dilakukan klimatisasi untuk 2 minggu dilahan. Penanam sebaiknya diwaktu musim penghujan. Hendaknya dilakukan pemeliharaan secara rutin khususnya penyiraman dan pemupukan tanaman.
Gambar 20. Pohon balangeran yang telah ditanam dan dimasukkan ke dalam keranjang purun, (a) pada saat musim kemarau, (b) saat musim hujan, lokasi penanaman terendam air.
Gambar 21. Kondisi tanaman revegetasi
SUB KEGIATAN 1.4.4. PENGEMBANGAN LEBAH MADU PADA KAWASAN POHON HUTAN GELAM
Keberadaan pohon Gelam ini dapat menjadi sumber penghasil nectar bagi serangga termasuk lebah madu. Pengembangan lembah madu ini diharapkan dapat memberikan alternated sumber pendapatan bagi masyarakat yang nantinya mengembangkan model paludikultur ini. Lebah madu yang dibudidayakan ada jenis yaitu lebah Aphis dan lebah Trigona.
Keadaan musim kemarau dan pada saat di lapangan ada beberapa lokasi yang menimbulkan asap sehingga untuk sementara stup atau sarang lebahnya dipindahkan ke lokasi yang lebih aman. Sistem pemeliharaan lebah yang digunakan adalah system penggembalaan, di mana disesuaikan dengan kondisi yang lebih aman dan banyak menghasilkan bunga, sebagai sumber pakan lebah.
Gambar 22. Proses pengembangan lebah madu pada Kawasan pohon hutan (a) stup lebah madu Aphis, (b) stup lebah madu Trigona, (c). Alat ekstraktor untuk lebah madu
Setelah keadaan memungkinkan dimana tidak ada asap, sarang lebah madu dipindahkan ke lokasi demplot yang telah disediakan semula. Pada sekitar pohoh galam juga ditanam sebagaian bunga matahari dan bunga pukul Sembilan, sebagian di sela tanaman galam juga di dekat tanaman balangeran yang baru di tanam.
Gambar 23. Budidaya lebah madu di rawa gambut, (a) setup lebah madu yang ada di lahan, (b) bunga yang ditanam di antara pohon galam dan balangeran.
SUB KEGIATAN 1.4.5. PENGEMBANGAN PENGOLAHAN HASIL PALUDIKULTUR
Hasil dari pengelolaan model paludikultur ini akan dikembangkan menjadi produk bernilai-tambah dimana pada awal bulan Desember 2018 telah diberi pelatihan pada 13 orang peserta pelatihan dari masyarakat Desa Pilang yaitu Pelatihan pengolahan makan dari talas (kripik dan kue) dan bakung (kripik) dengan tenaga ahli bidang Teknologi Industri Pertanian.
Gambar 24. Pengembangan paludikultur menjadi produk bernilai tambah, (a). proses pembuatan kripik dan kue dari talas dan bakung, (b) proses pengemasan produk
SUB KEGIATAN 1.4.6. PEMBUATAN PONDOK PERTEMUAN
Pondok pertemuan telah dibuat sebagai pusat kegiatan Tim dan kegiatan bersama masyarakat.
Gambar 25. Pondok pertemuan telah selesai dibangun
SUB KEGIATAN 1.4.7 PEMBUATAN TRACK JALAN DAN JEMBATAN TITIAN
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan fasilitasi kepada tim dan juga masyarakat untuk bisa secara langsung melihat plot-plot demontrasi model paludikultur yang dikembangkan di lokasi. Lokasi ini diharapkan dapat menjadi show window bagi masyarakat. Track yang akan dibuat akan menyesuaikan dengan lanskap lokasi yang ada.
Gambar 26. Pembuatan track kayu
KEGIATAN 2. PENGEMBANGAN PELATIHAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT SECARA LESTARI
Pengembangan Pelatihan pemanfaatan lahan gambut secara lestari ini bertujuan untuk melakukan transfer pengetahuan dan keterampilan tentang Restorasi Gambut Terintegrasi melalui paludikultur kepada masyarakt di Desa Pilang dan Sekitarnya. Kegiatan ini telah selesai dilakukan pada termin kedua ini.
SUB KEGIATAN 2.1. PELATIHAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT SECARA LESTARI
Kegiatan ini mengundang peserta pelatihan 15 orang petani atau masyarakat untuk satu topik pada ruang kelas yang berbeda, dimana ada 7 topik yang telah dilatih kepada masyarakat yaitu pelatihan dengan topik mengenai pengenalan gambut, budidaya tanaman hutan, berternak lebah madu, memproduksi ikan di rawa gambut, budidaya tanaman paludikultur, pemasaran dan kewirausahaan, serta kelembagaan, sehingga total peserta yang mengikuti pelatihan ini berjumlah 105 orang dan dibantu oleh 10 orang asisten. Pelatihan dilaksanakan 1 hari, masing-masing topik diberikan selama 6 OJ, terdiri dari teori dan praktek.
Tabel 10. Silabus yang diberikan dalam pelatihan kepada masyarakat Desa Pilang
Topik Tujuan pengajaran
Pengenalan gambut Karakteristik gambut, pemanfaatannya dan resiko salah kelola
Paludikultur Alternatif pemanfaatan lahan gambut tanpa harus membuat
drainage, paludikultur berbasis lahan (land-based
paludiculture)
Kehutanan Pengembangan tanaman kehutanan untuk alternatif ekonomi
seraya melakukan revegetasi
Perikanan Alternatif pemanfaatan lahan gambut secara paludikultur
berbasis air (water-based paludiculture)
Ternak lebah Alternatif pemanfaatan lahan gambut secara paludikultur
berbasis jasa ekosistem (ecosystem-based paludiculture)
Pemasaran dan Kewirausahaan
Membantu masyarakat dalam pembentukan pasar dengan menggunakan strategi pemasaran dan Membangun jiwa kewirausahaan di lahan gambut.
Penguatan Kelembagaan
Mendorong masyarakat untuk penguatan kelembagaan kelompok dalam pemanfaatan lahan gambut secara lestari.
Gambar 27. Suasana beberapa pelatihan yang diberikan kepada masyarakat Desa Pilang
SUB KEGIATAN 2.2. PENYUSUNAN MODUL PELATIHAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT SECARA LESTARI
Kegiatan ini dilakukan oleh Tim ahli yang berkompeten untuk menyusun materi pelatihan. Ada dalam proses penyempurnaan dan akan masuk dalam lampiran.
SUB KEGIATAN 2.3. PENYEDIAAN PENCERAMAH
Penceramah telah disiapkan sebanyak 7 orang sesuai dengan topik dan bidang keahliannya.
KEGIATAN 3. KEGIATAN PENDUKUNG
Kegiatan ini berupa penyediaan tenaga ahli, penyediaan biaya operasional dan lapangan, pelaporan, dan publikasi.
4. PEMBAHASAN
Pilot Model Restorasi Gambut Terintegrasi (MRGT) yang didemontrasikan merupakan salah satu model alternatif yang dapat dikembangkan di kawasan yang tergenang akibat telah dilakukannya penabatan (canal blocking). Lokasi penelitian merupakan kawasan yang telah menjadi lokasi pembuatan kanal oleh masyarakat. Sejak terjadinya kebakaran lahan tahun 2015, maka kanal yang ada telah ditutup. Akibatnya tinggi muka air tanah di lahan menjadi lembah bahkan tergenang pada musim hujan.
Mengingat lahan yang sepanjang tahun selalu lembab dan tergenang, maka Pilot MRGT mencoba untuk memanfaatkan kondisi tersebut agar tetap dapat dimanfaatkan dan menghasilkan suatu produk yang dapat menghasilkan nilai ekonomi. Mengacu kepada pendekatan 3R, maka kegiatan rewetting tidak perlu dilakukan. Kegiatan yang dikembangkan adalah rvegetasi dan revitalisasi ekonomi masyarakat.
1. KELAYAKAN TEKNIS
Memperhatikan pola pergerakan tinggi muka air tanah yang diperoleh dari pengamatan langsung pada bulan oktober-Desember 2018, pengamatan oleh penelitiannya dan informasi lapangan dari masyarakat, maka pola tinggi muka air tanah dapat dilihat pada Tabel 12. Jika disandingkan dengan komoditas yang dikembangkan maka MRGT yang diintroduksi mampu memberikan sumber penghasilan dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
Tabel 11. Pola tinggi muka air tanah dan kalender tanam komoditas
Peluang-peluang yang dapat dikembangkan dari hasil MRGT untuk masing-masing komoditas dapat dilihat pada Tabel 12.
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
Muka air tanah
tergenang tergenang Permukaan tanah
kering kering
Talas Tanam Panen Panen Panen Panen Jangka pendek
Teratai Tanam Panen Panen Panen Panen Jangka pendek
Bakung Tanam Panen Panen Panen Panen Jangka pendek
Mimosa Tanam Panen Panen Panen Panen Panen Panen Panen Jangka pendek
Madu Mulai Panen Panen Panen Panen Panen Panen Jangka pendek
Beje Mulai Panen Panen Panen Jangka menengah
Blangeran Tanam Jangka panjang
Jelutung Tanam Jangka panjang Sumber penghasilan
Tabel 12. Pohon potensi komoditas pilot Model Restorasi Gambut Terintegrasi
Komoditas Segar Olahan Waktu panen
Talas Umbi Daun Batang Sulur Kripik, tepung - - - 6 bulan Teratai Umbi Tangkai bunga Buah Kripik - Kripik 5 bulan
Bakung Batang - 5 bulan
Mimosa Batang & daun - 3 bulan
Lebah madu Madu - 1 bulan
Beje ikan Olahan ikan 12 bulan
Blangeran Kayu - Jelutung Kayu Getah - - - 7 tahun
Tantangan teknis yang dihadapi ketika MRGT ini direplikasikan kepada masyarakat adalah: 1. Memastikan MRGT dapat menjadi alternatif sumber pendapatan tanpa harus
mengeringkan lahan dengan drainase;
2. Memastikan masyarakat punya pengetahuan dan keterampilan dalam mengolah hasil MRGT ke dalam produk olahan bernilai tambah;
3. Memastikan bahwa produk segar atau olahan dapat dikelola dalam sebuah usaha bersama (kelompok).
4. Memastikan ada pendampingan.
KELAYAKAN FINANSIAL
Analisis kelayakan finansial pilot model restorasi gambut terintegrasi penting dilakukan untuk menilai apakah dari aspek keuangan pilot ini layak dilaksanakan atau tidak, berkenaan dengan pertimbangan konsep nilai waktu (Time Value of Money). Konsep nilai waktu uang sangat penting mengingat semakin lama waktu berjalan nilai uang semakin turun. Analisis kelayakan finansial pilot ini menggunakan kriteria Net Present Value (NPV), Benefit Cost
Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR) dan Payback Period (PP) dalam jangka panjang
selama 20 tahun karena waktu panen komoditi yang paling lama adalah tanaman kehutanan balangeran yakni baru panen pada usia yang ke-20 tahun. Selain tanaman kehutanan
Investasi non komoditas, misalnya biaya untuk pembuatan jembatan, pondok, pemasangan listrik, pemasangan pompa air dan lain-lain. Kemudian investasi komoditas, terdiri dari biaya pengadaan bibit, pupuk dan upah tenaga. Selain investasi, kegiatan atau pilot ini dapat berjalan dengan baik juga membutuhkan biaya operasional seperti biaya untuk pemeliharaan, panen dan pemasaran komoditas dan fasilitas non komoditas semasa usia ekonomis pilot. Biaya (cost) yang dikeluarkan untuk pilot dikenal dengan istilah arus keluar (outflow), sedangkan manfaat (benefit) yang masuk dikenal dengan istilah arus masuk (inflow). Manfaat yang dihitung dalam analisis kelayakan keuangan pilot ini adalah nilai produksi dari beberapa komoditi tersebut di atas ditambah dengan nilai produksi tanaman yang tumbuh secara alami yang digolongkan sebagai nilai yang dapat dimanfaatkan secara langsung (direct use value). Tanaman yang tumbuh secara alami yang dapat dimanfaatkan secara langsung adalah produksi tanaman kalakai. Investasi dan manfaat pilot lebih rinci disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Rangkuman inflow dan outflow pengembangan Model Restorasi Gambut Terintegrasi
No Investasi Investasi Benefit Keterangan
I Non komoditas
1 Pondok, Pemasasangan air, & listrik
15.182.000 2 Jembatan 14.500.000 Jumlah 29.682.000 II Komoditas 1 Beje 15.000.000 35.800.000 1 tahun 2 Talas 700.000 7.000.000 1 tahun 3 Teratai 1 tahun 4 Bakung 1 tahun 5 Kalakai 3.000.000 1 tahun 6 Mimosa 1 tahun 7 Madu 900.000 1.250.000 1 tahun 8 Blangeran 12.940.000 177.625.000 20 tahun
Berdasarkan data outflow dan inflow di atas diperoleh hasil analisis kelayakan finansial pilot sebagai mana pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil Analisis Kelayakan Finansial
No. Kriteria Kelayakan Finansial Nilai Satuan
1 NPV 165.678.912,80 Rp.
2 BCR 1,92 -
3 IRR 50,89 %
4 PP tahun ke- 3 -
Tabel 14 menunjukkan bahwa kelayakan finansial Pilot Model Restorasi Gambut Terintegrasi di Desa Pilang Kecamatan Pulang Pisau dengan discount rate (suku bunga) sebesar 13%, diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 165.678.913. Dengan demikian NPV>0 artinya pilot tersebut dapat memberikan manfaat dan layak untuk diteruskan. Ditinjau dari BCR yang bernilai 1,92, artinya apabila ingin menambah biaya pilot sebesar Rp. 1.000.000,- maka akan memperoleh manfaat sebanyak Rp. 1.920.000,- atau memiliki perbandingan biaya dan manfaat sebesar 1:1,92 (BCR>1) sehingga dapat dikatakan bahwa pilot ini layak untuk dilanjutkan. Demikian juga ditinjau dari IRR>suku bunga (50,89%>13,00%), artinya investasi yang ditanamkan untuk pilot memberikan keuntungan melebihi suku bunga bank apabila modalnya didepositokan di bank sehingga pilot ini layak diteruskan. Ditinjau dari sisi PP pada tahun ke-3, artinya investasi kembali pada tahun ke-3 atau 15% dari usia ekonomis pilot selama 20 tahun, sisanya 85% dari usia ekonomis terus menghasilkan setiap tahun hingga berakhirnya usia ekonomis, sehingga dapat dikatakan juga pilot ini layak untuk dilanjutkan.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN
1. Pilot Model Restorasi Gambut Terintegrasi (MRGT) yang didemontrasikan merupakan kegiatan yang memadukan tiga pendekatan restorasi gambut, rewetting, revegetasi dan revitalisasi ekonomi masyarakat. MRGT dapat dikembangkan pada kondisi lahan yang tergenang dengan melakukan pengembangan paludikultur berbasis lahan dan jasa ekosistem.
2. MRGT secara teknis layak untuk dikembangkan karena mampu merevegetasi lahan dan menghasilkan sumber pendapatan baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang. 3. MRGT secara finansial layak untuk dikembangkan.
REKOMENDASI
1. MRGT dapat direkomendasikan menjadi salah satu alternatif model restotasi gambut di kawasan yang dibasahi milik petani.
2. Pengembangan model ini harus didukung dengan peningkatan kapasitas masyarakat dan pendampingan secara kontinu.
DAFTAR PUSTAKA
BBPPSDLP. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia. Skala 1: 250.000. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian RI.
Biancalani, R. Dan A. Avagyan. 2014. Towards climate-responsible peatlands management. . FAO, Rome.
Harun, M. K. 2014. Agroforestri berbasis Jelutung rawa di Lahan Gambut. Forda Press. 254p.
Jauhiainen J., Hooijer A., & Page S. E. 2012. Carbon Dioxide Fluxes in an Acacia Plantation on Tropical Peatland. Biogeosciences 9: 617–630.
Joosten, H., Marja-Liisa Tapio-Biström dan Susanna Tol . 2012. Peatlands - guidance for climate change mitigation through conservation, rehabilitation and sustainable use. FAO dan Wetland International.
Miettinen, J., dan S. C. Liew. 2010. Status of peatland degradataion and development in Sumatra and Kalimantan. Ambio. 39:394-401.
Sosiawan, H., Budi Kartiwa, Wahyu Tri Nugroho, Haris Syahbuddin. 2014. Variasi Temporal
Dan Spasial Tinggi Muka Air Tanah Gambut Lokasi Demplot Icctf Jabiren, Kalimantan Tengah. Dalam: Wiharjaka et al. (Eds.). Prosiding Seminar Nasional:
Pengelolaan lahan gambut terdegradasi untuk mitigasi Emisi GRK dan Peningkatan Nilai Ekonomi. Jakarta, 14-15 Agustus 2014. Balitbangtan Kementan, Jakarta. Hal: 97-115.
Tata, H.L. dan A. Susmianto. 2016. Prospek paludikultur ekosistem gambut Indonesia. Forda Press. Bogor.
UG. 2012. Paludiculture Sustainable productive utilisation of rewetted peatlands. Universitat of Greifswald.
LAMPIRAN