KANIBALISME DALAM POLITIK
STUDI TERHADAP PARTAI POLITIK ISLAM DI KOTA
SURABAYA PADA PEMILU 2014
SKRIPSI
Oleh:
FIRDAUS AYU PALESTINA NIM E84211060
PROGRAM STUDI FILSAFAT POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
KANIBALISME DALAM POLITIK
STUDI TERHADAP PARTAI POLITIK ISLAM
DI KOTA SURABAYA PADA PEMILU 2014
SKRIPSI
Diajukan KepadaUniversitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Program Studi Filsafat Politik Islam
Oleh :
FIRDAUS AYU PALESTINA NIM: E84211060
PROGRAM STUDI FILSAFAT POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Judul Skripsi : Kanibalisme dalam Politik Studi Terhadap Partai Politik Islam di Kota Surabaya Pada Pemilu 2014
Kata Kunci : Kanibalisme Politik, Partai Politik Islam, dan Pemilu 2014.
Skripsi ini mengkaji tentang kanibalisme dalam politik pada partai Islam dalam pemilu 2014. Fokus dari pembahasan makalah ini adalah mengenai fenomena menurunnya perolehan suara partai Islam di setiap pemilu, serta faktor penyebab kanibalisme yang terjadi antar partai Islam dalam pemilu 2014.
Dalam skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode penelitian deskriptif yang digambarkan dengan kata-kata tertulis dan lisan. Metode ini disebut juga sebagai metode interpretive, karena hasil penelitian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang ditemukan di lapangan.
Hasil dari kajian skripsi ini diketahui bahwa perolehan suara partai Islam yang cenderung menurun di setiap pemilu adalah tipologi umat Islam yang khas,
yakni “Islam YES, partai Islam NO”. Faktor partai Islam yang kurang berhasil “menggembleng” kader menjadi kader yang militan dan berkapabilitas. Faktor
kandidat partai yang meninggalkan visi-misi sakral partai sehingga membuatnya melakukan black campaign (kampanye hitam), serta terlalu sibuknya partai untuk memperoleh jabatan atau kekuasaan sehingga melupakan esensi tujuannya sebagai wadah dan penyalur bagi aspirasi masyarakat.
DAFTAR ISI
COVER ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
ABSTRAK ... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... v
PENGESAHAN SKRIPSI ... vi
PERNYATAAN KEASLIAN ... vii
MOTTO ... viii
PERSEMBAHAN ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Batasan Masalah... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
E. Metode Penelitian ... 7
BAB II KERANGKA KONSEPTUAL
A. Telaah Pustaka ... 15
B. Kerangka Teori 1. Kanibalisme Politik... 18
2. Partai Politik... a. Pengertian Partai Politik ... 20
b.Tipologi Partai Politik ... 23
c. Kemrosotan Suara Partai Islam... 35
3. Partai Islam... a. Sejarah Munculnya Partai Islam di Indonesia.. 25
b. Syarat Berdirinya Partai Islam di Indonesia... 33
4. Strategi Komunikasi Politik ... 36
BAB III PARTAI ISLAM DAN FENOMENA KANIBALISME A. Sejarah Perkembangan Partai Islam ... 1. Partai Bulan Bintang (PBB) ... 41
2. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ... 46
3. Partai Amanat Nasional (PAN) ... 50
4. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ... 57
5. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ... 61
B. Posisi Partai Islam dalam Pemilu 2014 ... 68
BAB IV PEMAKNAAN HASIL PENELITIAN
A. Perolehan Suara Partai Politik Islam ... 76
B. Fenomena Kanibalisme Antar Partai Islam ... 85
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 93
DAFTAR PUSTAKA ... 95
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 dan 4.1: Posisi Partai Islam dalam Pemilu 2014
di Kota Surabaya, Jawa Timur ... 34
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dinamika perpolitikan di Indonesia selalu menjadi suatu kajian yang
menarik untuk diikuti kemudian dianalisis perkembangnya. Salah satu hal yang
selalu menarik adalah diselenggarakannya pemilu di Indonesia. Kita tahu bahwa
Indonesia sebagai negara penganut sistem demokrasi empat belas tahun silam
hingga saat ini masih dikategorikan dala`m tahap transisi. Dibutuhkan usaha yang
tidak mudah untuk kemudian memajukan dari tahap transisi menuju demokrasi
yang hakiki. Salah satunya adalah dengan memberi ruang yang seluas-luasnya
pada masyarakat untuk ikut andil dalam proses demokrasi tersebut. Menurut
Diamond terdapat 10 komponen dalam demokrasi, yang salah satunya adalah
kebebasan untuk membentuk partai politik dan mengikuti pemilu.1
Implikasi dari kebebasan dalam membentuk partai politik ini berdampak
pada terjadinya sistem multi partai di Indonesia khususnya. Seperti kita ketahui
dari awal Indonesia mengadakan pemilu pertama kali yakni pada tahun 1955
terdapat sekitar 80 partai yang mengikutinya, dan diperoleh suara 5 besar, yakni :
PNI ( Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi MPR dan 119 kursi
Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi MPR dan 112 kursi Konstituante
(20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi MPR dan 91 kursi Konstituante (18,4
1Diamond, ”
Konsep Demokrasi” Jurnal Teori Politik dan Ideologi Demokrasi, Vol. 10.
2
persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi MPR dan 80 kursi Konstituante (16,4
persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen).2 Dan pada pemilu
selanjutnya yakni tahun 1971, peserta partai politik yang mengikuti pemilu
berkurang menjadi hanya 10 partai politik saja dengan perolehan suara terbesar
diperoleh oleh Partai Golongan Karya (Golkar), yang agak berbeda adalah pada
pelaksanaan pemilu tahun 1977 dimana hanya 3 partai saja yang diperbolehkan
mengikuti pemilu. Tiga partai tersebut adalah PPP, PDI dan Golkar. Dalam hal ini
pemerintah yang pada sat itu merupakan era orde baru, bersama-sama dengan
DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kondisi seperti ini bertahan hingga akhir
pemilu era orde baru yakni pada tahun 1997.3
Namun setelah runtuhnya masa orde baru dan dilanjutkan dengan era
reformasi, kondisi pemilu di Indonesia kembali diwarnai dengan bentuk multi
partai. “Alih-alih” mengembalikan bentuk demokrasi dengan menanggalkan
“kediktatoran” Soeharto selaku Presiden pada masa orde baru, maka eksistensi
demokrasi, yakni menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dari masyarakat
kembali diberlakukan. Pemilu pertama pasca runtuhnya masa orde baru
dilaksanakan pada tahun 1999, dengan jumlah partai yang terdaftar di Kementrian
Hukum dan HAM adalah 141 partai, sementara yang lolos verifikasi untuk ikut
Pemilu 1999 adalah 48 partai. Pada pemilu 2004, Indonesia untuk pertama kalinya
2
Wikipedia, “Pemilihan Umum Legislatif Indonesia 1955”,
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_1955 (8 Oktober
2014)
3
Desy Kurnia, “Pemilu di Indonesia Dari Masa ke Masa“,
3
diadakan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.
Pada pemilu tahun ini diikuti oleh 24 parpol, dengan perolehan suara 5 besar
diduduki oleh : Golkar (21,58%), PDIP (18,58%), PKB (10,57%), PPP (8,15%),
dan Demokrat (7,45%). Selanjutnya pada pemilu tahun 2009, pada pemilu ini
jumlah partai politik yang mengikuti pemilu adalah sebanyak 38 partai politik
nasional dan 6 partai politik lokal Aceh. Pada pemilu ini perolehan 5 besar suara
terbesar diraih oleh : Demokrat (20,85%), Golkar (14,45%), PDIP (14,03%), PKS
(7,88%), dan PAN (6,01%). Sedangkan PKB dan PPP yang pada pemilu
sebelumnya berada pada posisi ke 3 dan 4 mengalami penurunan suara pada
pemilu tahun 2009 ini, yakni PKB memperoleh posisi ke 7, 4,94% dan PPP
memperoleh posisi ke 6, 5,32% suara. Selanjutnya, pemilu Indonesia terjadi pada
tahun ini, yakni tahun 2014 yang juga disebut sebagai tahun politik, karena di
tahun ini Indonesia memilih secara langsung anggota DPR RI, DPRD Tingkat I
(Provinsi), dan DPRD tingkat II (Kota), DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden,
yang hanya berselang waktu 3 bulan saja. Pada pemilu ini diikuti oleh 12 partai
politik nasional dan 3 partai lokal Aceh., dan diketahui perolehan 5 besar suara,
yakni ; PDIP (18,95%), golkar (14,75%), Gerindra (11, 81%), Demokrat
(10,18%), dan PKB (9,04%)4
Pada perolehan 5 besar pemilu terakhir, yakni pemilu 2014, Partai Islam
hanya mampu bertahan pada posisi ke 5, yakni PKB, yang oleh karena itu, untuk
wilayah Jawa Timur dan kota Surabaya berhasil mendapatkan jatah kursi di
DPRD Tingkat I (Provinsi Jawa Timur) sebanyak 20 kursi, sedangkan di DPRD
4
tingkat II (kota Surabaya) sebanyak 5 kursi. Sedangkan PAN (7,59%) untuk
DPRD tingkat I memperoleh 7 kursi, sedangkan DPRD tingkat II mendapat jatah
4 kursi. PKS (6,79%) untuk DPRD tingkat I mendapat 6 kursi dan DPRD tingkat
II mendapat jatah 5 kursi, dan PPP (6,53%) untuk DPRD tingkat I mendapat 5
kursi, sedangkan DPRD tingkat II mendapat jatah 1 kursi. Parahnya PBB berada
pada posisi rendah dan gagal memperoleh kursi, baik di DPRD tingkat I ataupun
II, karena hanya memperoleh suara sebanyak 1,46%.5 Sedangkan menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 2012, ambang batas parlemen atau
parliamentary threshold ditetapkan sebesar 3,5% dan berlaku nasional untuk
semua anggota DPR dan DPRD. Setelah digugat oleh 14 partai
politik, Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan ambang batas 3,5% tersebut
hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD. Ketentuan ini
direncanakan akan diterapkan sejak Pemilu 2014. 6 Hal ini menjadi Ironi, karena
mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam, pada kenyatannya tidak
mampu membawa parpol Islam untuk kemudian meraih posisi terbesar dalam
Pemilu dan menjadi partai kepercayaan untuk kemudian menyalurkan aspirasi
masyarakat muslim dalam hal pemerintahan. Khususnya yang terjadi di kota
Surabaya, Jawa Timur.
Naik turunnya perolehan suara partai Islam akibat kesamaan misi “partai
Islam” ini dapat disebut juga sebagai peristiwa fenomena saling
mangsa-memangsa suara atau “kanibalisme dalam politik”. Adapun pengertian
5
Firdaus Ayu Palestina, Observasi, DPW PBB, PAN, PKS, PPP, dan PKB, November
2014
6
Wikipedia, “Ambang Batas Parlemen”,
5
kanibalisme politik menurut Amich Alhumami seorang antropolog, peneliti senior
lembaga studi pengembangan etika usaha (lspeu) Indonesia, Jakarta menyatakan
bahwa political cannibalism atau kanibalisme politik adalah praktik saling
memangsa di antara aktor-aktor politik dalam perebutan sumber daya
ekonomi-politik, untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan atau pertarungan merebut
kekuasaan.7
Apakah yang kemudian membuat para partai Islam ini memperoleh
perolehan suara yang minim dan terjadi naik-turun di tiap-tiap pemilu? Terdapat
dua faktor utama untuk menjawab pertanyaan tersebut, diantaranya adalah :
Pertama, karena elektabilitas partai politik Islam yang dinilai rendah oleh
masyarakat karena dinilai partai-partai Islam pada kenyataannya juga banyak yang
tersandung kasus-kasus asusila dan internal partai, seperti: PKS dengan kasus
suap daging Import oleh Lutfi Hasan Ishaq dan kasus perempuan oleh Fathonah,
PPP dengan kasus korupsi dana Haji oleh Surya Dharma Ali dan perpecahan yang
terjadi karena perbedaan paham antara Surya Dharma Ali dan M. Romahurmuziy
yang mengakibatkan saling pecat- memecat antara keduanya, serta PKB dengan
perpecahannya antara kubu Gus Dur dan Muhaimin Iskandar. Kedua, adanya
indikasi “perebutan” suara dari masing-masing parpol Islam dikarenakan basis
massa yang sama dari masing-masing parpol Islam. Seperti misalnya : PPP dan
PKB yang sama-sama memiliki basis massa dari kaum Islam tradisionalis dan
diantaranya ada yang tergabung dalam organisasi masyarakat Islam Nadhlatul
7
Amich Al-Humami, “Korupsi dan Kanibalisme Politik”, :
6
Ulama (NU), serta PAN dan PKS yang memiliki basis massa dari kaum Modernis
dan diantaranya ada yang tergabung dalam organisasi masyarakat islam
Muhammadiyah. Sedangkan untuk PBB dapat dikatakan sedikit “sial” karena
dalam partai berlambang bulan dan bintang ini tidak memiliki basis massa yang
pasti dan jelas. Kesamaan basis massa dari masing-masing parpol Islam ini
dikarenakan menurut Saiful Mujani, partai Islam dapat dibagi menjadi dua.
Pertama, partai yang berbasis organisasi kemasyarakatan (ormas) keislaman,
seperti PKB dan PAN. Kedua, partai yang secara eksplisit berplatform Islam
sebagai asas ideologi, seperti PKS, PPP, dan PBB.8
Berdasarkan hal tersebut di atas penulis hendak meneliti bagaimana
fenomena “kanibalisme” atau saling makan-memakan suara antar parpol Islam di
kota Suara pada pemilu 2014, serta faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi
fenomena kanibalisme tersebut. Lebih khusus peneliti hendak meneliti lima partai
politik Islam yang hingga pemilu 2014 kemarin masih diakui sah keberadaannya
sesuai dengan parlementary threshold, yaitu : PAN, PPP, PKB, PKS, dan PBB.
B. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah dimaksudkan untuk meneliti
adanya indikasi kanibalisme dalam politik, studi terhadap partai politik Islam di
kota Surabaya pada pemilu 2014, yang dikhususkan pada partai-partai Islam
peserta pemilu 2014, yakni : PAN, PPP, PKB, PKS, dan PBB
8
Biyanto, “Kisruh PPP dan Masa Depan Partai Islam”, dalam
7
C. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penulisan penelitian
yang merujuk pada latar belakang di atas adalah :
1. Bagaimana fenomena kanibalisme antarpartai Islam di Surabaya dalam
pemilu 2014 ?
2. Faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi fenomena kanibalisme antar
partai Islam di Surabaya dalam pemilu 2014 ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun dari penelitian ini adalah dengan didasarkan pada tujuan dan
manfaat seperti :
1. Untuk mendeskripsikan fenomena kanibalisme antar partai Islam di
Surabaya dalam pemilu 2014
2. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang melatarbelakangi fenomena
kanibalisme antar partai Islam di Surabaya dalam pemilu 2014.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
penelitian deskriptif yang digambarkan dengan kata-kata tertulis dan lisan.
Metode ini disebut juga sebagai metode interpretive, karena hasil penelitian
8
lapangan.9 Dalam hal ini dapat dilihat melalui pengamatan perilaku untuk
memahami berbagai hal yang berkaitan dengan indikasi kanibalisme dalam
politik partai politik Islam di Kota Surabaya pada pemilu 2014, yang
difokuskan pada partai politik peserta pemilu 2014.
2. Pemilihan Lokasi Penelitian
Pemilihan lokasi ini bagi peneliti merupakan suatu hal yang sangat
penting, karena melalui pemilihan lokasi penelitian nantinya proses penelitian
ini akan dapat berjalan sesuai dengan rumusan masalah yang telah dijelaskan
diatas. Melalui penentuan pemilihan lokasi penelitian ini pula yang menjadi
alasan awal mengapa peneliti mengambil tema penelitian ini. Pemilihan lokasi
ini telah peneliti pertimbangkan baik dari segi jarak dan fenomena sosial yang
terjadi disana. Menurut peneliti, indikasi fenomena kanibalisme dalam politik
partai politik Islam di Kota Surabaya pada pemilu 2014, yang difokuskan pada
partai politik peserta pemilu hingga pemilu 2014.
Untuk itu, peneliti memutuskan untuk mengambil lokasi penelitian di
masing-masing kantor DPD dan DPW 5 partai politik Islam, yaitu : DPW PAN
Surabaya , DPW PPP Jawa Timur , DPW PKB Jawa Timur , DPW PKS, DPW
PBB Jawa Timur.
9
9
3. Penentuan Informan
Informan adalah seseorang yang diwawancarai dan diharapkan
memberikan keterangan atau informasi mengenai hal-hal yang ingin diketahui
si peneliti. Berdasarkan pertimbangan secara empiris, yang dipertimbangkan
dengan penyesuaian perumusan masalah penelitian dan juga tujuan penelitian
maka beberapa pihak yang dimaksudkan relevan dalam kriteria menjadi
informan di antaranya adalah para ketua dan atau pengurus DPW
masing-masing fokus partai Islam di atas. Yakni : Rizal Aminuddin dan Akshabul
Mukminin (dari DPW PBB), Shidiq Baihaqi dan Rahmat Wahyudi (dari DPW
PKS), Kuswiyanto dan R. Suwasis Hadi (dari DPW PAN), Fauzan Fuadi dan
Badrut Tamam (dari DPW PKB), Husni Tamrin dan Amar (dari DPW PPP)
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknis pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dari
berbagai sumber yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi.10 Informan
yang akan dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah beberapa pihak
yang dianggap memiliki pengaruh penting dalam indikasi fenomena
kanibalisme dalam politik partai politik Islam di Kota Surabaya pada pemilu
2014, yang difokuskan pada partai politik peserta pemilu hingga pemilu 2014
10
10
4. Analisis Penelitian
Untuk Analisis data yang digunakan dalam mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.
Proses analisa dilakukan secara bersamaan sebagai sesuatu proses yang
jalin-menjalin pada saat, sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data sehingga
dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang permasalahan yang
diteliti.
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
interaktif analisis yaitu model analisis yang terdiri dari tiga komponen analisa
utama yang membentuk suatu tahapan yang dapat digambarkan sebagai
berikut:11
Model Analisa Data Interaktif
Tiga komponen analisa yang utama dalam model ini adalah reduksi data,
sajian data, dan penarikan kesimpulan yang dapat menjelaskan sebagai berikut:
11
H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif , Dasar Teori dan Terapannya dalam
Penelitian (Surakarta: UNS Press, 2002), hal 96
Pengumpulan data
penyajian data Reduksi data
11
a) Reduksi data, merupakan proses seleksi, pemfokusan, dan penyederhanaan
dan abstraksi data (kasar) yang dilaksanakan terus sepanjang pelaksanaan
penelitian. Dalam reduksi data peneliti memusatkan tema dan membuat
batas-batas permasalahan. Proses ini terus berlangsung sampai laporan
penelitian selesai ditulis.
b) Penyajian data adalah suatu rangkaian informasi yang memungkinkan
kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat penyajian data,
peneliti akan mengerti tentang apa yang terjadi dan memungkinkan untuk
mengerjakan sesuatu pada analisa atau tindakan lain berdasarkan
penelitian tersebut.
c) Penarikan kesimpulan, merupakan tahap pengambilan kesimpulan dimana
peneliti dapat menarik kesimpulan akhir berdasarkan rangkaian data yang
telah didapat. Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai proses
pengumpulan data berakhir.
Dalam proses analisa, ketiga komponen tersebut berinteraksi dengan
proses pengumpulan data sehingga membentuk suatu siklus.
5. Pengujian Keabsahan Data
Pengujian keabsahan data sangat diperlukan dalam penelitian kualitatif
karena data hasil penelitian harus valid, rediabel dan objektif. Dalam penelitian
ini, pengujian keabsahan data yang dingunakan adalah uji kredibilitas karena
melibatkan penetapan hasil penelitian kualitatif yang dapat dipercaya. Kriteria
12
karena pada hakekatnya tujuan penelitian kualitatif ialah untuk memahami
fenomena sosial yang menarik perhatian dari sudut pandang partisipan
penelitian. Strategi untuk meningkatkan kredibilitas data dilakukan dengan
melakukan perpanjangan pengamatan, ketekunan penelitian, tringualistik
teknik (triangulation technic) dan memberchecking. Dalam penelitian ini yang
dilakukan untuk pengujian keabsahan data ialah perpajangan pengamatan,
triangulation dan memberchecking. Pengujian keabsahan data tersebut secara
rinci dapat dijelaskan seperti dibawah ini:12
1). Perpanjangan Pengamatan
Perpanjangan waktu yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian
dengan mewawancarai informan yang telah diwawancara untuk
mengetahui apakah memang informasi yang sudah ditemukan dahulu
benar adanya atau bersifat valid.
2). Teknik Tringualistik (Triangulation technic)
Tringualistik Teknik (Triangulation technic) adalah proses penguatan
bukti dari beberapa individu yang menjadi informan dalam penelitian yang
berbeda dari teknik pengamatan yang sebelumnya dan melakukan
wawancara dengan informan yang berbeda dari informan yang telah
diwawancara sebelumnya. Dalam penelitian ini, penguatan data yang
dilakukan adalah hanya dengan melakukan wawancara dengan informan
12
13
baru namun tekniknya tidak berbeda dengan teknik pengamatan
sebelumnya.
3). Member Checking
Memberchecking merupakan suatu proses dimana peneliti
menanyakan atau melakukan wawancara pada salah satu informan atau
lebih dalam studi untuk mengecek keakuratan keterangan yang ada
sebelumnya. Dalam penelitian ini, pengujian keabsahan data dilakukan
selama beberapa hari dengan melakukan wawancara dengan informan
yang lama atau yang baru mengenai informasi yang sesuai dengan masalah
penelitian.
F. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika pembahasan yang akan di bahas dalam penelitian ini
diantaranya sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Memuat Latar belakang, batas masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Secara umum, setiap sub-bab berisi uraian yang bersifat global, dan juga
sebagai pengantar untuk memahami bab-bab berikutnya.
Bab II : Kajian Konseptual/Teori
Kajian konseptual atau teori ini terdiri dari penelitian sebelumnya, ,
14
Bab III : Partai Islam dan Fenomena Kanibalisme
Berisikan gambaran mengenai lokasi atau setting penelitian, yakni :
sejarah perkembangan partai-partai Islam, posisi partai Islam dalam
pemilu 2014, dan fenomena kanibalisme antar partai Islam.
Bab IV : Pemaknaan Hasil Penelitian
Berisikan tentang hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian,
yang diolah secara menyeluruh berdasarkan dengan data lapangan,
perolehan hasil wawancara dengan para narasumber serta
sumber-sember lain, seperti : hasil penelusuran dari buku, jurnal, skripsi, dan
sumber-sumber yang mendukung dari internet.
Bab V : Penutup
15
BAB II
KAJIAN KONSEPTUAL/TEORI
A. Telaah Pustaka
Terdapat beberapa penelitian mengenai kiprah Partai Politik Islam
Indonesia dalam politik, diantaranya adalah :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Sudharno Shobron yang berjudul “Prospek
Partai Islam Ideologis di Indonesia”. Penelitian ini bermaksud untuk
meneliti tentang perlunya gagasan cerdas untuk dapat meningkatkan
kesuksesan partai Islam. Gagasan tersebut adalah dengan menghadirkan
partai ideologis, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai peserta
pemilu yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam di indonesia.
Adapun hasil dari penelitian ini diketahui bahwa partai Islam belum
memiliki prospek yang menggembirakan namun dengan kekonsistenan
HTI dalam mengemban cita-cita syariat Islam memiliki peluang untuk
menjadi partai ideologis di Indonesia.1
2. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Detri Soetiawan, dengan judul
“Partai-Partai Islam dalam Pemilu 1999, Studi Kebijakan Presiden BJ.
Habibie tentang Multi Partai”. Pada penelitian ini minimnya perolehan
kursi partai Islam di parlemen pada pemilu 1999 yang diselaraskan
dengan kebijakan BJ Habibie selaku Presiden RI, tentang beberapa
konsep demokrasinya yang kemudian tidak disia-siakan oleh kalangan
1
16
politisi Islam untuk kemudian mendirikan partai-partia Islam, hingga
akhirnya dapat mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI
ke empat dengan menanggalkan Megawati, meski dalam parlemen,
kenyataannya masih kalah dengan partai-partai non Muslim seperti
Golkar dan PDIP. Penelitian ini menggunakan metode historis yaitu
rekonstruksi imajinatif tentang sejarah melalui proses menguji dan
menganalisa secara kritis kejadian masa lalu berdasarkan data yang sudah
ada.2
3. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Reslawati, dengan judul :
“Pandangan Pemimpin Ormas Islam terhadap Perolehan Suara Partai
Politik Islam pada Pemilu Legislative 2009 di DKI Jakarta”. Penelitian ini
difokuskan pada pandangan pemimpin ormas Islam terhadap perolehan
suara partai politik Islam pada pemilu legislatif di DKI Jakarta. Dengan
lokus kajian dilaksanakan di Propinsi DKI Jakarta, dengan metode
kualitatif dan pendekatan fenomenologis. Kajian ini menghasilkan bahwa
penyebab penurunan perolehan suara partai politik Islam antara lain:
parpol Islam saat ini sangat pragmatis, tidak ideologis; Ada keinginan
parpol Islam bergabung menjadi satu atau dua parpol Islam saja atau
cukup mengosentrasikan pada parpol Islam yang sudah ada dan lolos
elektoral treshold, agar potensi dan kosentrasi umat tidak terpecah belah;
adanya signifikasi yang cukup tajam antara perolehan penurunan suara
2
Detri Soetriawan, “Partai-Partai Islam dalam Pemilu 1999, Studi Kebijakan Presiden BJ.
17
parpol Islam dengan pengambilan keputusan parpol Islam di legislative,
bila perolehan suara parpol Islam kecil, maka secara otomatis jumlah
wakil parpol Islam di legislatif juga kecil.3
Adapun perbedaan penelitian yang dilakukan beberapa penelitian di atas
dengan penelitian ini adalah yang pertama pada metode penelitiannya. Metode
penelitian metode historis yaitu rekonstruksi imajinatif tentang sejarah melalui
proses menguji dan menganalisa secara kritis kejadian masa lalu berdasarkan data
yang sudah ada dan melalui metode kualitatif dan pendekatan fenomenologis,
sedangkan pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan
metode penelitian deskriptif yang digambarkan dengan kata-kata tertulis dan lisan
yang mencoba menggali sumber data memalui observasi lapangan terlebih dahulu,
baru kemudian wawancara dan juga dokumentasi. Perbedaan selanjutnya adalah
tujuannya. Ketiga penelitian di atas, yaitu penelitian yang pertama memiliki
tujuan untuk perlunya diselenggarakannya gagasan syariat Islam HTI guna
Prospek kesuksesan Partai Islam kedepan. Penelitian kedua bertujuan untuk
meneliti pengaruh kebijakan Presiden Habibie sebagai wujud munculnya
partai-partai Islam, meski memiliki hasil yang minim di parlemen namun dapat
menghantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden ke empat pengganti
Megawati. Selanjutnya penelitian ketiga bertujuan untuk mencari tahu pandangan
pemimpin ormas Islam terhadap perolehan suara partai politik Islam pada pemilu
3
Reslawati, “Pandangan Pemimpin Ormas Islam terhadap Perolehan Suara Partai Politik
Islam pada Pemilu Legislative 2009 di DKI Jakarta”, Jurnal Puslitbang Kehidupan
18
legislatif di DKI Jakarta. Sedangkan pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk
mencari tahu dan mengidentifikasi adanya kanibalisme dalam politik terhadap
Partai Politik di kota Surabaya, yang difokuskan pada partai politik Islam yang
hingga pemilu 2014 kemarin terdaftar sebagai peserta pemilu, yakni : PAN, PPP,
PKS, PKB, dan PBB.
B. Kerangka Teori
Adapun beberapa kerangka teori dalam penelitian ini adalah :
1. Kanibalisme Politik
Peristiwa kanibalisme tanpa kita sadari telah terjadi dan sering dilakukan
oleh diri kita sendiri, seperti misalnya : suka menggigit-gigit kuku, memakan
rambut, kulit, dan darah sendiri. Atau kanibalisme yang terjadi karena paksaan,
hal ini biasa terjadi dalam keadaan perang dimana seseorang dipaksa
melakukan sebagai bentuk paksaan atau siksaan perang. Misalnya pada abad
ke-enambelas, penjajah Spanyol memaksa penduduk pribumi memakan buah
pelirnya sendiri, atau di Sudan pada tahun 1990, seorang pemuda dipaksa
untuk memakan telinganya sendiri.4
Praktik kanibalisme ini seakan menjadi kebudayaan tersendiri. Orang
melakukannya adakala memang dibenarkan keberadaannya sebagai norma
sosial, pada situasi ekstrem kelaparan, atau dimaklumi sebagai bentuk kegilaan
dan penyimpangan sosial. Adapun yang terakhir ini dibagi menjadi dua jenis,
yakni : endo-kanibalisme (memakan orang dari komunitas sendiri), dan
4
Julia Suryakusuma, Jihad Julia : Pemikiran Kritis dan Jenaka Feminis Pertama di
19
kanibalisme (memakan manusia dari masyarakat lain). Selain itu juga ada
kanibalisme janin (lebih umum terjadi pada binatang daripada manusia), serta
kanibalisme digunakan sebagai hiburan, ini biasanya dilakukan aktor sebagai
akting di sebuah film. Seperti misalnya pada film “Sweeney Tood : The
Demon Barber of Fleet Street” pada tahun 2007 yang diperankan oleh tokoh
eksentrik internasional, Jhonny Deep.
Selain tersebut di atas, jenis kanibalisme yang tidak kalah ekstrem adalah
kanibalisme politik, yakni : apabila seorang manusia dalam negara baik aktor
maupun non-aktor “memakan” orang mereka sendiri. Ini diekspresikan sebagai
cara hubungan kekuasaan terhadap orang tersebut. Peristiwa kanibalisme
politik ini berdasarkan dengan tujuan dari politik itu sendiri, yaitu : hubungan
sosial yang melibatkan intrik dengan tujuan mendapatkan otoritas atau
kekuasaan.5 Lebih khusus, selain istilah kanibalisme politik, terdapat istilah
lain, yakni kanibalism caleg. Ini diutarakan oleh Sudiyatmiko Ariwibowo,
seorang kuasa hukum dari PDIP untuk KPU dalam pemilu presiden 2014
kemarin, menyatakan bahwa : kanibalisme caleg merupakanPraktek pencurian
suara antarcaleg di dalam satu partai .6
Menurut sumber lain disebutkan, bahwa kanibalisme politik adalah praktik
saling memangsa di antara aktor-aktor politik dalam perebutan sumber daya
ekonomi-politik, untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan atau
5
Ibid, hal 157
6
Sudiyatmiko Ariwibowo, “Kanibalisme Caleg Disebabkan Pengawasan yang Lemah”. :
20
pertarungan merebut kekuasaan. Perilaku saling memangsa di antara
aktor-aktor politik ini mencerminkan mentalitas purba dan naluri primitif, merujuk
doktrin kuno yang dipopulerkan oleh ahli filsafat sosial Herbert Marcuse:
homo homini lupus (man is a wolf to man)—manusia adalah serigala
pemangsa manusia lain.
Ungkapan ini menggambarkan bahwa dalam peradaban pri-mitif, manusia
acap memakan dalam pengertian harfiah manusia lain, yang dikenal dengan
tradisi kanibalisme. Dalam konteks peradaban modern, pertarungan merebut
kekuasaan melahirkan kanibalisme politik dalam wujud korupsi di kalangan
pemangku kekuasaan. Kanibalisme politik bertentangan dengan civic morality,
yang menjadi basis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
beradab. Penting dicatat, kanibalisme politik dalam konteks pertarungan dan
perburuan kekuasaan selalu bersifat nihilistik dengan prinsip zero sum game.7
2. Partai Politik
a. Pengertian Partai Politik
Partai politik merupakan salah satu sarana penting penyaluran aspirasi
masyarakat, dan sebagai kendaraan politik, yang pada umumnya ada pada
negara-negara berdaulat serta merdeka. Partai politik pertama-tama lahir di
negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat
merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikut sertakan dalam
7
Amich Al-Humami, “Korupsi dan Kanibalisme Politik”, :
21
proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan
berkembang menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Partai
politik pada umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu sistem
politik yang sudah modern atau sedang dalam proses memodernisasikan
diri.
Menurut Miriam Budihardjo partai politik secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kelompok yang terorganisir, yang
anggotaanggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang
sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan politik untuk melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka, baik dengan cara konstitusional maupun
inkonstitusional.8
Joseph Lapalombara dan Myron Weiner, sebagaimana dikutip oleh
Miriam Budihardjo melihat partai politik sebagai organisasi untuk
mengekspresikan kepentingan ekonomi sekaligus mengapresiasikan dan
mengatur konflik. Partai politik dilihat sebagai organisasi yang mempunyai
kegiatan yang berkesinambungan serta secara organisatoris memiliki cabang
mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah. Arifin Rahman
mengasosiasikan partai politik sebagai organisasi perjuangan, tempat
seseorang atau kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik
dalam negara. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik
tidak harus menggunakan kekerasan atau kekuatan fisik, tetapi melalui
8
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. (Jakarta, PT . Gramedia Widisuasarana,
22
berbagai konflik dan persaingan baik internal partai maupun antar partai
yang terjadi secara melembaga dalam partai politik pada umumnya.9
A. A Said Batara & Moh. Dzulkiah mengemukakan dalam perspektif
sosiologi politik, bahwa partai politik merupakan kumpulan dari
sekelompok orang dalam masyarakat yang berusaha untuk meraih atau
mempertahankan kekuasaan suatu pemerintahan atau negara. Adapun dalam
ilmu politik, istilah partai politik biasa disebut sebagai suatu kelompok yang
terorganisir anggota-anggotanya yang mempunyai orientasi, nilai, dan
cita-cita yang sama.10
Partai politik juga telah terdiferensiasi berdasarkan tipologinya atau
klasifikasi. Klasifikasi itu dapat diketahui dari tiga dasar kriteria, yaitu asas
dan orientasi, komposisi dan fungsi, serta basis tujuan dan sosial. Dari sisi
asas dan orientasi, parpol dapat dikelompokkan menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Parpol pragmatis, yaitu suatu partai yang mempunyai program dan
kegiatan yang tidak terikat kaku pada suatu doktrin dan ideologi
tertentu.
2. Parpol doktriner, ialah suatu parpol yang memiliki sejumlah program
dan kegiatan konkret sebagai penjabaran ideologinya.
3. Parpol kepentingan merupakan suatu parpol yang dibentuk dan
dikelola atas dasar kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, etnis,
agama, yang secara langsung ingin berpartisipasi dalam pemerintahan.
9
Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Struktural Fungsional: (
Surabaya :SIC 2002), hal 91.
10
A.A. Said Batara & Moh. Dzulkiah Said, Sosiologi Politik; Konsep & Dinamika
23
Beberapa definisi tersebut di atas membawa pada pemahaman bahwa
partai politik adalah kumpulan orang yang terorganisir secara rapi dengan
ideologi tertentu dan kepentingan untuk meraih kekuasaan dengan penuh
persaingan. Ada empat kata kunci tentang partai politik, yakni ideology
(ideology), kepentingan (interest), kekuasaan (power), dan persaingan
(competition). Ideologi dan kepentingan (interest) suatu partai dapat
mengidentifikasi dirinya dengan konstituennya. Ideologi sebagai landasan
untuk menyusun program kerja, dan tujuan-tujuan yang akan dicapai.
Bahkan visi dan misi, landasan dan prinsipprinsip perjuangan, serta cita-cita
politik tidak lepas dari ideologi. Selain itu, setiap partai politik itu dilahirkan
untuk meraih kekuasaan. Untuk dapat berkuasa, maka setiap partai politik
harus bersaing (kompetisi) untuk meraih suara sebanyakbanyak dari
masyarakat pemilih. Dalam kompetisi inilah sering tidak dapat dihindari
gesekan-gesekan yang memicu terjadi konflik antar partai politik. Oleh
karena itu dibuatkan aturan-aturan atau normanorma untuk meraih
kekuasaan melalui undang-undang, sehingga kekuasaan yang nantinya
didapat sudah melewati proses demokrasi yang transparan.
b. Tipologi Partai Politik
Menurut Ichlasul Amal, sekurang-kurangnya ada lima jenis partai
politik dilihat dari tingkat komitmen terhadap ideologi, yaitu partai proto,
kader, massa, diktatorial, dan partai catch-all. Pertama, partai proto adalah
bentuk awal suatu partai di Eropa Barat pada abad pertengahan hingga akhir
24
ini membedakan antara anggota dan non-anggota. Kedua, partai kader
merupakan jenis partai yang belum memberikan hak pilih kepada
masyarakat umum, hanya mereka dari kalangan menengah ke atas yang
memiliki hak. Partai ini tidak memerlukan anggota yang besar, sehingga
tidak memobilisasi massa. Ketiga, partai massa adalah partai yang
mementingkan kuantitas anggota dan berorientasi pada basis pendukung
yang luas, lintas profesi, etnis dan agama. Tujuan utamanya adalah
melakukan pendidikan politik rakyat. Keempat, partai diktatorial, yakni
sub-tipe dari partai massa, hanya saja ideologinya dipegang secara kaku dan
radikal, sehingga dalam rekrutmen anggota lebih selektif. Partai ini
menuntut pengabdian secara total dari setiap anggotanya. Kelima, partai
catch-all merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Tujuan
utama partai ini adalah memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan
program-program dan keuntungan bagi anggota partai.11
Sedangkan menurut Roy C.Macridis ada tujuh tipe partai politik,
yakni otoriter dan demokratis, integratif dan representatif, ideologis dan
pragmatis, agamis dan sekuler, demokratis dan revolusioner, massa dan elit,
demokratis dan oligarkhi. Untuk membuat tipologi partai didasarkan pada
tiga hal, yakni sumber dukungan partai, organisasi internal, dan tindakan.12
11
Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), hal. 31
12
25
3. Partai Islam
a. Sejarah Munculnya Partai Islam di Indonesia
sejarah munculnya partai politik Islam di Indonesia ditandai dengan
dikeluarkannya Undang-undang desentralisasi tahun 1903, kala itu pemerintah
Belanda memberikan hak kepada pemerintahan lokal di Hindia Belanda untuk
membentuk satu Dewan Perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang duduk di dewan
ditunjuk oleh Gubernur Jenderal sebagai wakil-wakil dari “the Color Caste
System”, satu model yang sama dengan Constitutional Democracy. Ini terjadi
pada tahun 1916, saat Gubernur Jenderal menyatakan bahwa sebagian anggota
volksraad (Dewan Perwakilan) tetap ditunjuk dan sebagian lain dipilih. Maka
dari itu untuk mengisi kursi yang dipilih, maka pada tahun 1917, pemerintah
Hindia Belanda mengumumkan dibolehkannya pembentukan partai politik
pada tingkat nasional.
Mosi Tjokroaminoto dan Mosi Djajadiningrat pada November 1918
menuntut agar seluruh anggota Volksraad dipilih oleh rakyat. Akhirnya
berbuah rakyat diperbolehkan secara bebas berserikat dan berkumpul, meski
pada kenyataannya polisi rahasia tetap mengawasi kegiatan politik mereka.
Setelah kejadian tersebut, di Indonesia tumbuh partai secara garis besar
berkategori : 1). Partai keturunan Belanda, 2). Partai keturunan China, 3).
Partai orang Indonesia. Kategori yang ketiga ini kemudian terbagi atas dua
jenis yakni : partai Islam dan Non-Islam. Adapun partai Islam sendiri
perjalanannya sepanjang era adalah :13
13Nuruddin’ITR,
26
Periode Pra-Kemerdekaan
Pada era ini partai yang pertama dibangun oleh umat Islam adalah
Sarekat Islam (SI) pada tanggal 11 November 1912 di Solo. Partai ini
berasal dari sebuah organisasi dagang yang bernama Sarekat Dagang
Islam (SDI). Partai yang didirikan oleh H. Samanhudi ini pada awal
perjalanannya sebagian besar dicurahkan pada masalah-masalah
organisasi seperti : mencari pimpinan, menyusun anggaran dasar, dan
hubungan antara organisasi pusat dengan organisasi daerah.14
Kemudian di era kepemimpinan Tjokroaminoto, Abdul Moeis, dan
Agus Salim, SI mulai memasuki periode puncak dengan berhasilnya SI
meluas hingga di seluruh nusantara pada tahun 1919, dengan jumlah
anggota lebih dari setengah juta orang dari berbagai lapisan masyarakat.
Hal ini mampu membawa SI secara serius memperhatikan beberapa
persoalan di bidang : agama, ekonomi, dan politik. SI membagi
program kerjanya menjadi delapan bagian, yaitu : politik, pendidikan,
agama, hukum, agraria, pertanian, keuangan, dan perpajakan.
SI melakukan perjuangan politik dengan ikut berpartisipasi di
Volksraad meski ditentang oleh anggotanya, yakni Samaun (tokoh SI
yang nantinya menjadi tokoh komunis). Di dalam Volksraad ini,
Tjokroaminoto dan Moeis menjadi bintang karena tuntutan-tuntutannya
yang sangat keras untuk memperluas hak-hak Volksraad, pembentukan
dewan-dewan daerah dan perluasan hak pilih, penghapusan kerja paksa,
27
dan sistem izin untuk bepergian. Namun kemudian pada periode
keempat kelahirannya (1927-19942), SI gagal mempertahankan
kejayaan posisinya sebagai pemain kunci dalam gerakan nasional
karena berbagai faktor, yaitu Pertama, konflik internal di kalangan elite
partai, seperti : kekecewaan seorang elite terhadap langkah politik yang
ditempuh oleh elite lain, perbedaan pandangan antar elite, sehingga
kerapkali berakhir dengan pengusiran seorang elite dari tubuh partai.
Cara inilah yang kemudian mengakibatkan SI secara perlahan
mengalami krisis kepemimpinan dan melemahnya kondisi partai.
Kedua, memudarnya kepercayaaan kelompok Islam lain terhadap SI.
Oragnisasi-organisasi Islam lain seperti : Al-Irsyad, Muhammadiyah
dari sayap modernis dan gejala semakin terorganisasinay golongan
tradisionalis. Reputasi besar SI yang piawai dalam berorganisasi dapat
meyakinkan semua kelompok Islam untuk memberikan kursi
kepemimpinan umat dalam bidang agama kepada SI, sebagaimana
tergambar dalam beberapa kali Kongres Al-Islam. Tapi karena merasa
diperlakukan tidak wajar oleh pimpinan SI, akum tradisionalis
menceraikannya, dan pertikaiannya dengan Muhammadiyah pada tahun
1926 membuat banyak warga Muhammadiyah keluar dari kenggotaan
SI pada tahun selanjutnya. Ketiga, tantangan semakin besar terhadap
kepemimpinan SI muncul dari kaum pergerakan kebangsaan yang
28
Periode Pasca-Kemerdekaan / Orde Lama (1945-1965)
Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17
Agustus 1945, Indonesia menerapkan sistem kabinet presidensial yang
mengacu pada UUD 1945. Seminggu kemudian, Soekarno
menganjurkan dibentuknya suatu organisasi pembantu presiden namun
juga melaksanakan fungsi partai dan fungsi parlemen, yaitu komite
nasional yang akan didirikan di seluruh Indonesia. Pada saat yang sama
Presiden Soekarno juga menghendaki pembentukan partai tunggal,
yaitu : Partai Nasional Indonesia (PNI). ide tersebut ditentang keras
oleh para tokoh yang menginginkan kehidupan demokratis. Sultan
Sjahrir adalah tokoh politik yang paling keras menolak ide yang
menurutnya dapat menyeret Indonesia ke arah otoritanisme, karena itu
ia kemudian memprakarsai adanya perubahan iklim politik dengan
menggalang dukungan dari anggota Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) untuk menuntut agar komite nasional dirombak sehingga juga
mempunyai kekuasaan legislatif.
Sejak saat itu, Presiden harus berbagi kekuasaan dengan parlemen
yang dikomandani oleh Sjahrir dan Amir Syariffuddin. Berbekal
kekuasaan ini, Sjahrir mempelopori penggusuran sistem satu partai dan
membangun sistem multi partai. Hal ini tertuang dalam maklumat
tanggal 3 November 1945 yang ditandantangani oleh Muhammad
Hatta, yang isinya menganjurkan pada ranyat untuk mendirikan partai
29
bakal digelar pada Januari 1946. Dengan demikian, praktis sistem
pemerintahan Indonesia bergeser dari sistem presidensial menjadi
sistem parlementer tanpa mengganti UUD 1945. Hal ini yang kemudian
oleh Alfian membagi partai-partai yang muncul menjadi lima bagian,
yaitu : Nasionalis, Islam, Komunis, Sosialis, dan Kristen/Nasrani.15
Keluarnya maklumat 1945 ini disambut dengan mengadakan
kongres umat Islam Indonesia selama 2 hari di Yogyakarta. Kongres
tersebut dihadiri oleh lima ratus utusan organisasi-organisasi
keagamaan Islam, tokoh-tokoh aliran ulama dan tokoh-tokoh politik
Islam. Pada tanggal 7 November 1945, para peserta kongres
menyepakati pembentukan partai Islam yang secara resmi dinamakan
partai politik Islam Indonesia Masyumi. Yang dibentuk oleh sejumlah
politisi dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia yang telah
aktif sejak zaman penjajahan Belanda, diantaranya adalah : Agus Salim,
Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir,
Mohammad Roem, Prawoto Mangkusaswito, Sukiman Wirjosandjojo,
Ki Bagus Hadikusumo, Muhammad Mawardi, dan Abu Hanifah.
Masyumi dicanangkan sebagai satu-satunya partai Islam yang akan
menyalurkan dan mengartikulasikan kepentingan umat Islam. Hal ini
diwujudkan dengan cara membentuk dua jenis keanggotaan yang
diharapkan dapat menampung semua elemen Islam di masyarakat. Dua
jenis keanggotaan tersebut adalah : perseorangan (biasa), dan organisasi
15 Alfian, “Aliran Partai-partai Pasca Maklumat November 1945”, dalam Peta Islam
30
(istimewa). Adapun anggota perseorangan disyaratkan minimal berusia
18 tahun atau sudah kawin dan tidak menjadi partai lain, sedangkan
anggota istimewa semula terdiri dari 4 organisasi, yakni : NU,
Muhammadiyah, Perserikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam.
Namun jumlahnya terus bertambah dengan masuknya Persis (1948),
Al-Irsyad (1950), dll.
Kebesaran Masyumi pada zamannya memang tidak diragukan lagi.
Prestasi cemerlangnya adalah berhasilnya para tokohnya mengisi posisi
sebagai menteri bahkan perdana menteri pada rentang tahun 1945-1957,
pada pemilu 1955 mampu mendudukkan 4-5 anggota Mayumi dalam
setiap kabinet. Namun sayang, seiring perjalanannya Masyumi gagal
mempertahankan klaimnya sebagai satu-satunya partai Islam bersamaan
dengan mengerasnya konflik internal antarfaksi yang berujung dengan
pecahnya persatuan partai. Seperti pada tahun 1947, saat PSII keluar
dari Masyumi karena berselisih paham mngenai kabinet Amir
Syarifuddin yang ingin menyertakan Masyumi. Pada tahun 1952, NU
menyatakan keluar dari Masyumi. Hingga akhirnya terjadi ktegangan
antara Masyumi dan Sukarno yang berimbas dikeluarkannya Keputusan
Presiden No. 200/1960 yang diumumkan pada 17 Agustus 1960.
Keppres ini melarang adanya keberadaan Masyumi dan PSI karena
dituduh terlibat dalam pemberontakan separatis PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1958. Setelah itu,
31
yang diantaranya NU, PSI, dan Perti. Namun keberadaan ketiga partai
Islam tersebut nyaris tidak berguna karena sistem kepartaian pada
demokrasi terpimpin bersifat “No Party System”. Akibatnya negara
demokrasi terpimpin digerogoti oleh aneka krisis politik dan ekonomi
yang kemudian berujung pada hancurnya kekuasaan Soekarno.16 Periode Orde Baru (1966-1998)
Runtuhnya rezim orde lama kemudian muncul orde baru, yakni
sebuah rezim pemerintahan militer yang dipimpin oleh presiden
Soeharto. Ini berimplikasi pada gaya kepemimpinan Soeharto yang
diktator dan mengakibatkan buntunya ruang gerak para pemimpin umat
Islam dalam menegakkan panji-panji politik umat Islam di panggung
politik nasional bukan hanya itu, politik Islam bahkan disejajarkan
kedudukannya dengan komunisme melalui penamaan ekstrem kanan
untuk politik Islam dan ekstrem kiri untuk komunis. Penamaan ini
ikarenakan keinginan politik Islam untuk mendirikan sebuah negara
Islam. Penilaian ini menjadikan politik islam menjdi musuh besar
negara yang layak menerima intimidasi, penekanan, dan penganiayaan
politik berkepanjangan.
Puncak kesewenang-wenangan Orba tampak pada pemilu 1971,
dimana saat itu Golkar menjadi pemenang dan mendorong negara untuk
mewujudkan pengelompokan-pengelompokan partai-partai politik yang
baru, dan hanya akan diikuti oleh 3 partai politik. Dimana saat itu empat
32
partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) berfusi menjadi satu partai
yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebagai partai ciptaan
negara, PPP terjerat kesulitan dalam membenarkan kehadirannya di
hadapan para pendukungnya, bahkan di depan dirinya sendiri. Sebab
dalam diri PPP telah hilang kesadaran untuk bersatu akibat
meruncingnya persaingan antarfraksi dalam mengedepankan agenda
politik masing-masing, dan dalam mencapai cita-citanya membangun
sebuah negara Islam atau mengenakan hukum Islam tidak dapat
tercapai karena dikerangkeng oleh berbagai persyaratan kebijakan
negara.
Periode Pasca Orde Baru / Refomasi
Lahirnya partai Islam di Indonesia ditandai dengan lengsernya
Soeharto sebagai Presiden dengan pemerintahan orde Barunya pada
1998 silam yang kemudian diganti dengan pemerintahan reformasi oleh
BJ. Habibie. Pada era ini Habibie yang kala itu mewarisi pemerintahan
Soeharto, negara berada pada kondisi yang berantakan. Merosotnya
kepercayaan masyarakat terhadap otoritas negara, sehingga
menimbulkan berbagai tuntutan reformasi di segala bidang kehidupan.
Oleh karena keadaan itu lah Habibie melakukan tindakan-tindakan
“populer” guna mendongkrak legitimasinya dan pada saat yang sama
memasang kuda-kuda untuk pertarungan memperebutkan kursi presiden
periode berikutnya. Langkah-langkah tersebut diantaranya adalah :
33
tahanan politik, dan narapidana politik, menggusur Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dari wacana politik
Nasional, menghapus keharusan menggunakan asas Pancasila bagi
orgaisasi masyarakat dan organisasi politik, mengeluarkan
undang-undang otonomi daerah, serta kebebasan mendirikan partai politik bagi
seluruh masyarakat dan komitmen untuk menyelenggarakan pemilu
1999.
Dua butir yang disebut terakhir sangat disambut masyarakat
dengan suka cita. Terbukti bahwa dengan adanya kebijakan tersebut,
partai-partai dengan basis sosial besar dan kecil secara ideologis dapat
dibelah menjadi dua bagian besar, yaitu : nasionalisme-religius, dan
nasionalisme-skuler. Ini lah latar belakang yang melahirkan partai Islam
di Indonesia.17 Adapun menurut Saiful Mujani, menegaskan bahwa
partai Islam di Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua.
Pertama, partai yang berbasis organisasi kemasyarakatan (ormas)
keislaman, seperti PKB dan PAN. Kedua, partai yang secara eksplisit
berplatform Islam sebagai asas ideologi, seperti PKS, PPP, dan PBB.18
b. Syarat Berdirinya Partai Islam di Indonesia
Adapun indikasi yang melatarbelakangi dan syarat-syarat berdirinya
partai Islam adalah : Pertama, umat Islam yang jumlahnya besar di
Indonesia ini wajib memiliki wadah politik untuk menyalurkan aspirasi dan
17
Nurrudin, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta : LP3ES, 2003), hal. 59-60
18 Saiful Mujani, “Tipologi Partai Islam”, dalam
34
orientasi politiknya. Diyakini bahwa masih banyak umat Islam yang
memandang berpolitik itu bagian dari ibadah, dan mereka hanya mau
menyalurkan ke partai politik Islam. Kedua, harus ada kesadaran kolektif
umat Islam bahwa dakwah yang efektif itu melalui jalur struktur atau
politik, dengan tidak meninggalkan jalur kultural. Kalau umat Islam telah
memegang kunci atau memiliki kekuasaan, maka dengan mudah untuk
melakukan dakwah amar makruf nahi munkar melalui undang-undang resmi
negara, peraturan pemerintah, peraturan daerah (perda) dan bentuk peraturan
lainnya yang bersifat mengikat masyarakat. Ketiga, harus ada perubahan
nalar kolektif umat Islam, yang semula memandang politik itu urusan
duniawi menjadi urusan ukhrawi juga, maka menjatuhkan pilihan dalam
setiap pemilu itu wilayah ibadah.
Keempat, bentuk partai politik Islam harus tetap terbuka, karena
Islam itu rahmatan lil’alamien, hanya saja harus dapat menawarkan
program-program yang langsung dinikmati oleh masyarakat. Kelima, partai
politik Islam harus mencantumkan ideologinya Islam, dengan penampilan
dan pemaknaan yang baru. Keenam, pemimpin partai harus memenuhi
kriteria sebagai pemimpin Islam, yakni kriteria internal, sidiq, amanah,
tabligh dan fathanah.Dalam bahasa hadis, seorang pemimpin itu harus
dhabid (cerdas) dan ghairu syadz (tidak cacat moral). Melihat realitas
politik di Indonesia, apakah ada partai Islam ideologis yang bertarung dalam
pemilu 2014 ? Melihat partai Islam yang mendaftar ke KPU dengan jelas
35
Islam pargmatis yang hanya sekedar mencari kekuasaan belaka, bahkan
kemungkinan melakukan praktek akuisisi partai politik tidak dapat
dihindarkan. Partai politik yang tidak lolos verifikasi bisa jadi akan menjual
KTP konstituennya kepada partai lain dalam rangka untuk memenuhi
jumlah konsituten partai.19
c. Kemerosotan Suara Partai Islam
Akibat dari hal tersebut di atas adalah terjadi dilema politik Islam,
dimana dilema ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti :20 Pertama :
estimasi berlebihan dari kekuatan politik Islam. Para pemimpin politik
Islam dengan bangga menunjuk Indonesia sebagai negara dengan
penduduknya yang hampir 90% beragama Islam. Atas dasar itu mereka
optimis mendapatkan suara mayoritas. Namun ternyata optimisme tersebut
melenceng. Terbukti pada pemilu 1955 hanya 50% dari pemilih yang
memilih partai Islam, selanjtnya pada pemilu 1971, 1977, 1982, dan 1987
perolehan suara menjadi naik turun menjadi : 27,11%, 29,29%, dan
27,28%. Kedua, terjadinya apa yang disebut ambivalensi atau definisi
mendua tentang umat Islam. Para pemimpin umat Islam mengkalim bahwa
umat Islam mencapai sekitar 90% dari keseluruhan penduduk Indonesia,
tapi penggunaan mereka atas kata “umat Islam” dalam konteks politik
tidak tepat dan tidak pada tempatnya. Umat Islam disini mereka artikan
19
Sudarno Shobron, “Prospek Partai Islam Ideologis di Indonesia”, Jurnal Studi Islam, Vol.14. No. 1 (Juni, 2013)
20Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu,
36
sebagai mereka yang secara formal menjadi anggota dan pendukung partai
politik Islam, dengan demikian mereka mengesampingkan sejumlah orang
yang menyatakan diri sebagai beragama Islam. Ketiga, belum adanya
perkembangan pemikiran di kalangan pemimpin dan pemikir politik Islam
mengenai hubungan yang pas antara agama dan politik dalam Islam.
Ini diterapkan pada Indonesia harusnya para pemimpin-pemimpin
baik dari kalangan tradisionalsi maupun modernis, yang telah memilih
sistem politik demokratis, hendaknya tetap memegang teguh demokrasi
dengan tetap menggunakan nilai-nilai Islam.
4. Strategi Komunikasi Politik
Strategi komunikasi politik merupakan bagaimana proses komunikasi
yang terjadi di dalam pemenangan dalam satu pertarungan politik oleh partai
politik, atau secara langsung, oleh seorang calon Legislatif atau calon pimpinan
daerah, yang menghendaki kekuasaan dan pengaruh sebesar-besarnya di
tengah-tengahmasyarakat sebagai konstituennya.21 Bahwa StrategiKomunikasi
Politik adalah rencana yang meliputi metode, teknik dan tata hubungan
fungsional antara unsur-unsur dan faktor-faktor dari proses komunikasi guna
kegiatan operasional antara unsur-unsur dan faktor-faktor dari proses
komunikasi guna kegiatan operasional untuk mencapai tujuan dan sasaran.
Faktor-faktor dari proses komunikasi politik adalah meliputi :
21
37
1. Komunikator Politik
Komunikator politik adalah Partisipan yang dapat menyampaikan atau
memberikan informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau
bobot politik.
2. Pesan Politik
Pesan politik adalah pernyataan yang disampaikan , baik secara tertulis
maupun tidak tertulis , baik secara verbal maupun
non-verbal,tersembunyi maupun terang-terangan, baik yang disadari
maupun tidakdisadari yang isinya mengandung bobok politik. Yaitu
bagaimana agarsetiap pesan politik yang disampaikan dapat dimengerti
oleh setiap anggota ataupun masyarakat.
3. Saluran atau Media politik
Saluran atau media Politik adalah alat atau sarana yang
dipergunakanoleh para komunikator politik dalam menyampaikan
pesan politik nya.Dimana setiap kegiatan ataupun pesan yang ingin
38
4. Sasaran atau Target Politik
Sasaran atau target politik adalah anggota masyarakat yang
diharapkandapat memberi dukungan dalam bentuk pemberian suara
(vote) kepadapartai atau kandidat dalam Pemilihan Legislatif.
5. Pengaruh atau Efek Komunikasi Politik
Efek komunikasi politik yang diharapkan adalah terciptany
apemahaman terhadap sistem pemerintahan dan partai-partai politik,
dimana nuansanya akan bermuara pada pemberian suara dalam
pemilihan umum.
McNair memiliki lima fungsi dasar dalam melaksanakan strategi
komunikasi politiknya, yakni sebagai berikut 22:
1. Bagaimana memberikan informasi kepada masyarakat apa yang terjadi
disekitarnya. Disini media komunikasi memiliki fungsi pengamatan dan
juga fungsi monitoring apa yang terjadi dalam masyarakat. Indikatornya
adalah :
a)Adanya penyampaian program-program partai yang bersentuhan
terhadap kalangan bawah melalui berbagai media cetak atau elektronik.
2. Bagaimana mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta
yang ada. Disini para jurnalis diharapkan melihat fakta yang ada
22
Hafied Cangara, Komunikasi Politik (Konsep, Teori, Strategi), (Jakarta : Rajawali
39
sehinggaberusaha membuat liputan yang objektif (objective reporting)
yang bisa mendidik masyarakat atas realitas fakta tersebut. Indikatornya
adalah:
a) Informasi sebenar-benarnya mengenai janji parpol kepadamasyarakat.
b) Adanya upaya pembuktian janji setelah caleg terpilih dalampemilihan
umum legislatif tahun 2009.
3. Bagaimana menyediakan diri sebagai platform untuk menampung
masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk
opini publik, dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat.
Dengan cara demikian, bisa memberi arti dan nilai pada usaha penegakan
demokrasi. Indikatornya:
a) cara partai dalam menampung aspirasi masyarakat.
b) meyakinkan masyarakat bahwa mereka bisa menjadi
penampungaspirasi masyarakat maupun aspirasi politik
4. Bagaimana membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah
danlembaga-lembaga politik. Indikatornya adalah :
a) setiap program kerja yang ada dapat diketahui oleh pemerintah
danpihak lainnya seperti masyarakat maupun lembaga-lembaga
40
5. Dalam masyarakat yang demokratis, media politik berfungsi sebagaisaluran
advokasi yang bisa membantu agar kebijakan dan program-programlembaga
BAB III
PARTAI ISLAM DAN FENOMENA KANIBALISME
A. Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam
1. Partai Bulan Bintang (PBB)
Partai Bulan Bintang atau PBB adalah sebuah partai politik Indonesia
yang berasaskan Islam. Didirikan pada tanggal 23 Rabi’ul Awwal 1419
Hijriyah yang bertepatan pada 17 Juli 1998 Masehi di Jakarta, dan
dideklarasikan pada hari Jumat tanggal 26 Juli 1998 di halaman Masjid
Al-Azhar Kemayoran Baru Jakarta. Partai ini berlambang “Bulan Bintang“
berwarna emas di atas dasar warna hijau dan di bawahnya dibubuhi tulisan
berbunyi “PARTAI BULAN BINTANG“.1
Partai Bulan Bintang didirikan dan didukung oleh ormas-ormas Islam
tingkat Nasional yaitu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan Koordinasi dan Silaturahmi
Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI),
Forum Silaturahmi Ulama, Habaib dan Tokoh Masyarakat (FSUHTM),
Persatuan Islam (PERSIS), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan
Umat Islam (PUI), Perti, Al-Irsyad, Komite untuk Solidaritas Dunia Islam
(KISDI), Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), Lembaga Hikmah,
Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII),
1
DPP PBB, “ Anggaran Dasar Partai Bulan Bintang”,
42
Gerakan Pemuda Islam (GPI), KB-PII, KB-GPI, Hidayatullah, Asyafiiyah,
Badan Koordinasi Pemuda & Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Badan
Koordinasi Muballigh Indonesia (Bakomubin), Wanita Islam, Ikatan
Keluarga Masjid Indonesia (IKMI), Ittihadul Mubalighin, Forum Antar
Kampus dan Lembaga Penelitian Pengkajian Islam (LPPI). Berbagai ormas
ini bergabung didalam Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI) yang didirikan
pada tanggal 12 Mei 1998. BKUI merupakan pelanjut dari Forum Ukhuwah
Islamiyah (FUI) yang didirikan pada tanggal 1 Agustus 1989 oleh Pemimpin
Partai Masyumi yaitu DR.H. Mohammad Natsir, Prof.DR.HM. Rasyidi, KH.
Maskur, KH. Rusli Abdul Wahid, KH. Noer Ali, DR. Anwar Harjono, H.
Yunan Nasution, KH. Hasan Basri dan lain-lain.
Pada awal berdirinya PBB diketuai oleh Yusril Ihza Mahendra, tokoh
reformasi yang menjadi arsitek berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden RI
ketika reformasi bergulir dan juga sebagai tokoh yang mempelopori
Amandemen Konstitusi Pasca reformasi ditengah tuntutan Federalisme dari
berbagai tokoh reformasi ketika itu dan pernah pula menjadi Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Sekretaris Negara. Sedangkan MS.
Kaban diangkat sebagai Sekretaris Jendral, tokoh HMI yang sangat disegani
dan pernah menjabat sebagai Menteri Kehutanan yang juga dikenal tanpa
kompromi dengan para cukong kayu dan perambah hutan Indonesia.
Berikutnya MS.Kaban dipilih sebagai Ketua Umum PBB pada tanggal 1
Mei 2005 dan Drs.H. Sahar L. Hasan sebagai Sekjen. Sejak Muktamar ke-3,