PANDANGAN GENERASI MUDA DAN TUA MENGENAI FENOMENA MITOS GERHANA BULAN (BULAN GERRING)
Di Dusun Pengalangan Desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan
SKRIPSI Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.sos) dalam Bidang Sosiologi
Oleh:
Nenni Apriliani B05212035
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU SOSIAL PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
ABSTRAK
NENNI APRILIANI, NIM B05212035. Pandangan Generasi Muda dan Tua mengenai Fenomena Mitos Bulan Gerring di Dusun Pengalangan Desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan
Kata Kunci : Mitos, Gerhana Bulan, Tradisi.
Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan individu dalam suatu masyarakat secara turun-temurun. Tradisi tidak semata-mata terbentuk begitu saja dalam suatu masyarakat. Terdapat pengaruh-pengaruh dari luar, dan masyarakat meyakini pengaruh tersebut dan menghasilkan tradisi. Sehingga peneliti memunculkan rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut: Bagaimana pandangan masyarakat generasi muda dan tua terhadap mitos gerhana bulan (bulan gerring) di dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan. 2. Bagimana tradisi membangunkan manusia, tumbuhan, dan hewan ternak pada malam gerhana bulan (bulen gerring) muncul, berkembang dan dilestarikan di dusun Pengalangan desa Mcajah Tanjungbumi Bangkalan. Dalam penelitian ini, menggunakan metode kualitatif deskriptif.
Untuk menjawab rumusan masalah, peneliti menggunakan teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger yang memiliki konsep Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi. Dan hasil temuan dari penelitian ini, yakni (1) Tradisi yang di
lakukan masyarakat pada malam bulan gerring, yaitu melakukan ritual mencuci
wajah, membangunkan pepohonan dan binatang ternak. (2) Mitos Bulan Gerring,
Cerita rakyat yang terkait datangnya Bulan Gerring atau Gerhana Bulan, yakni
ABSTRACT
NENNI APRILIANI, NIM B05212035. The Opinion about the Phenomenon of Lunar Eclipse Myth by Young and Old Generation in Pengalangan, Macajah village Tanjungbumi Bangkalan.
Keys Words : Myth, Lunar Eclips, Tradition
Tradition is a custom practice by individual within a community from one generation to next. Tradition is not solely created for granted in community. There are some influences from outside, and it is believed by community so it creates a tradition. Based on the statement above, the researcher make some problems in this study, as follows: (1) How does the opinion of community of young and old generation against lunar moon (bulan gerring) myth in Pengalangan, Macajah village Tanjungbumi Bangkaan. (2) How does the tradition awaken human, palnt, animal on the night of lunar moon (bulan gerring) emerged, evolved and been preserved in Pengalangan, Macajah village Tanjungbumi Bangkaan. This study uses descriptive qualitative method.
To answer the problems formulation, the researchers used the theory of social construction by Peter L. Berger who have the concept of Externalization, Objectivities, and Internalization. And the finding of this study are, (1) The tradition which is practiced by community on the moon gerring night is washing face, waking the plant and animal. (2) Bulan gerring myth, folklore that related to the coming of moon gerring or lunar eclipse is the san of Mrs. randhe as the
inhabitant of the moon , tepelecok , telobuk, and disappeared then it produce a
tradition. (3) The purpose is done by the community is for get blessings. (4) The
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... i
PENGESAHAN TIM PENGUJI ………. ii
MOTTO ……… iii
PERSEMBAHAN ……… iv
PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULIS SKRIPSI v ABSTRAK ……….. vi
KATA PENGANTAR ……… vii
DAFTART ISI ……… viii
DAFTAR TABEL ……….. ix
DAFTAR SKEMA ………. x
DAFTAR GAMBAR ………. xi
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ………. 1
B. RUMUSAN MASALAH ………. 5
C. TUJUAN MASALAH ………. 5
D. MANFAAT PENELITIAN ………. 6
E. PENELITIAN TERDAHULU ……… 6
F. DEFINISI KONSEPTUAL ………. 8
G. METODE PENELITIAN a. Pendekatan dan Jenis Penelitian …..….……….…… 14
b. Lokasi dan Waktu Penelitian …..……...……….…... 16
c. Pemilihan Subyek Penelitian ……….……….….. 16
d. Tahap-tahap Penelitian ………...………... 17
e. Teknik Pengumpulan Data ………….………... 20
f. Teknik Analisis Data ………..…….……….. 21
g. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ….……….. 21
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN ..………... 22
BAB II KONSTRUKSI SOSIAL A. ALAM SEBAGAI OBJEK-SUBJEK ……… 24
B. REALITAS SOSIAL, KONSTRUKSI SOSIAL DALAM PANDANGAN PARADIGMA DEFINISI SOSIAL KONSTRUKTIVISME ……….. 25
SEBAGAI TEORI DAN PENDEKATAN DALAM
PARADIGMA KONSTRUKTIVISME ……… 27
D. GAGASAN BERGER DAN LUCKMAN
TETANG EKSTERNALISASI, OBYEKTIVASI
DAN INTERNALISASI ……….. 31
BAB III PANDANGAN GENERASI MUDA DAN TUA MENGENAI FENOMENA MITOS GERHANA BULAN (BULAN GERRING)
Di Dusun Pengalangan Desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan
A. DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN ……….. 46
B. PENYAJIAN DATA ………. 54
C. ANALISIS DATA ………. 72
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN ……….... 83
B. SARAN ……… 84
DAFTAR PUSTAKA ……….. 85
JADWAL PENELITIAN
LAMPIRAN
Pedoman wawancara
DAFTAR TABEL
TABEL 1.1. Pemilihan Subyek Penelitian ……… 17
TABEL 1.2. Jarak Antar Desa ……….. 48
TABEL 1.3. Jumlah Penduduk Perdusun Desa Macajah ……… 48
TABEL 1.4. Fasilitas Keagamaan Desa Macajah .……….. 51
TABEL 1.5. Jumlah Sekolah Desa Macajah .……….. 52
DAFTAR SKEMA
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat merupakan ruang tempat terjadinya berbagai macam
proses sosial, karena adanya proses sosial tersebut dapat menciptakan
banyak keunikan dari berbagai aspek, baik itu aspek budaya maupun
sosial. Keunikan tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara mereka hidup
dan menanggapi berbagai macam rangsangan dari luar maupun dari dalam
lingkungan mereka sendiri, baik itu rangsangan dari sesama individu
dalam masyarakat itu maupun rangsangan dari sekitar lingkungan mereka
yang berupa alam.
Madura adalah suatu wilayah yang memiliki empat kabupaten
yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, dengan masyarakat
yang memiliki ciri khas yang berbeda-beda, baik dari segi bahasa maupun
budaya. Banyak sekali budaya Madura yang sudah dikenal, baik nasional
maupun internasional, seperti budaya carok yang melibatkan antara dua
laki-laki maupun lebih yang dapat menimbulkan korban jiwa, atau seperti
remoh yang merupakan cara masyarakat Madura berpesta, maupun hajatan
dengan melibatkan banyak orang dan masih banyak sekali budaya atau
tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Madura. Selain itu, mitos leluhur
maupun mitos alam yang sangat kuat dikalangan masyarakat dan sangat
2
yang memiliki tradisi tertentu, tidak dilaksanakan menurut masyarakat,
memang tidak akan berdampak fatal bagi masyarakat itu sendiri, namun
segala sesuatu yang mencakup tradisi yang biasa mereka lakukan, tidak
mungkin jika tidak melakukan, sebab hal itu sudah menjadi kewajiban,
meskipun individu dalam masyarakat tersebut hanya manut-manut saja
dengan apa yang dilakukan individu lainnya. Mitos-mitos leluhur maupun
mitos alam tersebut tak kalah uniknya dengan berbagai budaya dan
perbedaan bahasa yang dimiliki oleh masyarakat madura.
Indonesia yang dulunya sangat terkenal dengan kepercayaan nenek
moyang yakni animisme dan dinamisme, animisme merupakan
kepercayaan terhadap nenek moyan dan dinamisme yakni kepercayaan
terhadap benda-benda yang dianggap sakral oleh masyarakat. Saat ini
sedikit banyaknya masih kental ditengah-tengah masyarakat meski sudah
terdapat unsur keagamaan. Dikabupaten Bangkalan kecamatan
Tanjungbumi desa Macajah dusun Pengalangan, memiliki berbagai macam
tradisi yang di mulai dengan adanya mitos leluhur maupun mitos alam
yang dipercayai oleh masyarakat tersebut, yang salah satunya yakni mitos
gerhana bulan atau yang biasa dikenal dengan bulan gerring oleh
masyarakat Madura. Bulan dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang
tetap namun berbeda pengucapan bahasanya. Jika dalam bahasa Madura,
bulan di baca bulen dan Gerring memiliki arti sakit, apabila digabungkan
dari arti perkata tersebut yakni bulan sakit. Masyarakat Madura meyakini
3
yang jika di artikan dalam bahasa Indonesia, bu dapat diartikan ibu dan
Randhe yaitu janda. Jadi bu Randhe dalam bahasa Indonesia memiliki arti
ibu janda. Mitos tentang adanya penghuni di dalam bulan yang bernama
bu Randhe sangat terkenal dikalangan masyarakat Madura. Masyarakat
Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan mengartikan
bahwasanya jika gerhana bulan atau bulan gerring terjadi, anak dari
penghuni (bu Randhe) bulan tersandung batu ketika ia berjalan. Maka
terjadilah gerhana bulan atau bulan gerring.
Meskipun kepercayaan dan pengartian masyarakat dusun
Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan seperti itu, namun
terdapat beberapa wilayah yang menyikapi datangnya gerhana bulan,
berbeda-beda. Ketika bulan gerhana tiba, biasanya masyarakat pada
umumnya melakukan shalat gerhana bulan sesuai anjuran agama, ada juga
yang melakukan shalat gerhana bulan dengan ritual mandi kembang dan
masih banyak lagi kebiasaan unik yang dilakukan masyarakat ketika
datangnya gerhana bulan. Namun masyarakat dusun Pengalangan desa
Macajah Tanjungbumi Bangkalan ini, tidak melakukan sesuatu yang
dilakukan masyarakat pada umumnya sesuai anjuran agama. Mereka
memiliki kebiasaan tersendiri terkait ketika gerhana bulan tiba, terdapat
pemaknaan-pemaknaan tersendiri yang dimiliki masing-massing kalangan
masyarakat mengenai tradisi ketika datangnya gerhana bulan, dan ada juga
yang menganggap tradisi yang dilakukan terbilang aneh, namun tradisi
4
Masyarakat dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi
Bangkalan ini memiliki tradisi membangunkan seluruh makhluk hidup
yang diciptakan tuhan yakni manusia, tumbuhan dan hewan ternak.
Terdapat suatu kepercayaan yang bisa dikatakan mistis ketika mereka
tidak melakukan kebiasaan yang turun-temurun dilakukan oleh nenek
moyang. Hewan-hewan yang dibangunkan Seperti binatang ternak sapi
atau kambing dan pepohonan seperti pohon mangga, pisang, nangka dan
lain sebagainya. Tradisi membangunkan pepohonan biasanya dilakukan
dengan cara memukul-mukul pohon sembari berucap “jhegeh… jhegeh…
jhegeh…” atau jika dalam bahasa Indonesia memiliki arti “bangun…
bangun… bangun…”.
Masyarakat khususnya dusun Pengalangan desa Macajah
Tanjungbumi Bangkalan mempercayai jika tradisi tersebut tidak dilakukan
maka tumbuhan atau binatang ternak yang tidak dibangunkan akan mati.
Berbeda lagi dengan pemaknaan individu lain, yang ada didusun
Pengalangan tersebut, ia memiliki pernyataan bahwasanya tujuan
melakukan tradisi tersebut agar pepohonan yang dibangunkan akan
berbuah, seperti pohon manga, pohon nangka dan lain sebagainya.
Kepercayaan tersebut juga berlaku pada manusia, jika saat gerhana bulan,
orang yang tidur tidak dibangunkan maka orang tersebut akan memiliki
mata sipit. Tidak hanya itu, ritual-ritual kecil yang dilakukan pada malam
gerhana bulan (bulen gerring) yang dipercaya akan membawa perubahan
5
dilaksanakan masyarakat dusun Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi
Bangkalan pada umumnya, yakni seperti mengusapkan kunyit pada bagian
tubuh yang terkena panu akan dapat menghilangkan penyakit kulit
tersebut, dan juga mencuci muka dengan air perasan parutan kunyit akan
membuat kulit wajah akan tampak cerah dan cantik. Kemudian terdapat
larangan pada malam gerhana bulan (bulan gerring) dilarang berada di
bawah kolong, sebab hal itu mengakibatkan bentuk tubuh seseorang akan
berubah menjadi pendek.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan masyarakat generasi muda dan tua terhadap mitos
gerhana bulan (bulan gerring) di dusun Pengalangan desa Macajah
Tanjungbumi Bangkalan?
2. Bagimana tradisi membangunkan manusia, tumbuhan, dan hewan ternak
pada malam gerhana bulan (bulan gerring) muncul, berkembang dan
dilestarikan di dusun Pengalangan desa Mcajah Tanjungbumi Bangkalan?
C. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui Bagaimana pandangan masyarakat generasi muda dan
tua terhadap mitos gerhana bulan (bulan gerring) di dusun Pengalangan
desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan
b. Untuk mengetahui dan memahami Bagimana tradisi membangunkan
manusia, tumbuhan, dan hewan ternak pada malam gerhana bulan (bulan
gerring) muncul, berkembang dan dilestarikan di dusun Pengalangan desa
6
D. Manfaat Penelitian
Setelah menguraikan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan,
peneliti melihat terdapat dua manfaat dari hasil penelitian ini, yakni:
1. Secara Teoretis
Penelitian ini dapat memberikan penjelasan mengenai pemahaman
masyarakat yang khususnya generasi muda dan tua terkait mitos gerhana
bulan (bulan gerring) dan memberikan penjelasan mengenai Bagimana
tradisi membangunkan manusia, tumbuhan, dan hewan ternak pada malam
gerhana bulan (bulan gerring) muncul, berkembang dan dilestarikan di
dusun Pengalangan desa Mcajah Tanjungbumi Bangkalan
2. Secara Praktis
Sebagai bahan refrensi bagi mahasiswa yang ingin menindak
lanjuti penelitian terkait mitos yang berada ditengah-tengah masyarakat,
dan tentunya mitos tersebut memiliki tradisi yang bisa dikatakan unik,
menarik dan merupakan suatu identitas bagi masyarakat.
E. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai mitologi gerhana bulan (bulan gerring)
sebelumnya belum pernah dilakukan, namun terdapat penelitian mengenai
mitologi/mitos yang ada di masyarakat yang dilakukan oleh Husnul
Khotimah pada tahun 2011yang berjudul “Mitologi Masyarakat Madura
(Studi Tentang Konstuksi Sosial Atas Upacara Arokat Makam di Desa
Gunung Rancak Kecamatan Eobatal Kabupaten Sampang)” prodi
7
merupakan penelitian yang relevan dengan fokus penelitian mitologi
gerhana bulan (bulan gerring), sebab memiliki persamaan fokus yakni
konstruksi masyarkat terkait upacara arokat makam Desa Gunung Rancak
Kecamatan Robatal Kabupaten Sampang dan pandangan masyarakat
sekitar terhadap upacara arokat makam di Desa Gunung Rancak
Kecamatan Robatal Kabupaten Sampang tersebut. Persamaan dari
penelitian tersebut dengan penelitian ini yakni, penelitian ini terkait pada
kepercayaan mitologi karena kejaidan alam yaitu gerhana bulan (bulan
gerring), sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Husnul Khotimah
terkait pada kepercayaan mitologi nenek moyang. Dan kedua kepercayaan
mitologi tersebut sama-sama menghasilkan tradisi di dalam masyarakat.
Penelitian lapangan yang dilakukan Husnul Khotimah di temukan bahwa
budaya Arokat Makam yang memadukan dengan ajaran-ajaran agama
dengan budaya setempat yang diwariskan oleh leluhurnya dengan tujuan
untuk mendapatkan keberkahan dan keselamatan.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Nurul Hasanah tahun
2012 mengenai “Konstruksi Sosial Tradisi Ontal-ontal Masyarakat Di
Desa Merandung Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan” prodi
Sosiologi, fakultas Dakwah, IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang memiliki
fokus bentuk konstruksi sosial tradisi "Ontal-Ontal", tipologi masyarakat
dalam mengkonstruksi tradisi "Ontal-Ontal", serta kaitan antara stratifikasi
sosial masyarakat dengan tradisi "Ontal-Ontal" di Desa Mrandung
8
ini lebih kepada mitologi gerhana bulan (bulan gerring), namun terdapat
tradisi yang dihasilkan masyarakat melalui mitologi yang mereka percayai
yakni membangunkan makhluk hidup. Penelitian lapangan yang dilakukan
Nurul Khasanah di temukan bahwa Tradisi Ontal-Ontal yang merupakan
budaya setempat yang diwariskan oleh leluhurnya dengan tujuan tetap
melestarikan budaya yang sudah lama dilakukan secara turun temurun.
Dimana dalam pelaksanaannya mempengaruhi tingkat kedudukan
masyarakatnya.
Dari kedua judul sebagai penelitian yang relevan dengan penelitian
yakni terdapat persamaan tradisi namun terdapat perbedaan mengenai
asal-usul tradisi tersebut yang dihasilkan masyarakat. Terdapat tradisi
membangunkan makhluk hidup pada malam gerhana bulan (bulan
gerring), tradisi upacara arokat makam yang dipengaruhi oleh mitologi
nenek moyang, dan tradisi ontal-ontal dilakukan pada upacara pernikahan
atau pertunangan berlangsung. Perbedaan dari penelitian tersebut juga
memiliki persamaan, yaitu sama-sama menggunakan teori konstruksi
sosial dengan konsep eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi yang
dicetuskan oleh Peter L. Berger.
F. Definisi Konseptual
Definisi konseptual pada umumnya memberikan penjelasan
mengenai judul dari suatu penelitian. Judul dalam penelitian ini
“Pandangan Generasi Muda dan Tua Mengenai Fenomena Mitos Gerhana
9
Bangkalan”, penjelasan dari judul suatu penelitian diuraikan satu persatu
dalam definisi konseptual, sebagai berikut.
1) Pandangan yakni benda atau orang yang dipandang (disegani, dihormati,
dsb) atau bisa dikatakan hasil perbuatan memandang (memperhatikan,
melihat, dsb), dapat pula memiliki pengertian pengetahuan, dan juga
pendapat2, pandangan yang dimaksud dalam judul yang diteliti merupakan
pendapat dari masyarakat yang ingin diteliti sebagai objek penelitian.
2) Banyak sekali pengertian dari kata generasi, menurut kamus bahasa
Indonesia yakni 1. sekalian orang yang kira-kira sama waktu hidupnya;
angkatan; turunan; 2. Masa orang-orang satu angkatan hidup; kira-kira
dua—lagi bangsa Indonesia sudah dapat berbahasa nasional dengan baik
dan benar- muda kelompok (golongan, kaum) 3. Generation memiliki arti
generasi, angkatan, dan keturunan merupakan periode rata-rata antara
kelahiran individu dari suatu species dan permulaan reproduksi; atau
turunan dari dua induk4. Generasi sendiri memiliki maksud angkatan,
muda atau penerus5. Generation adalah sekelompok orang-orang yang
lahir dalam jangka waktu tertentu6. Generasi memiliki indikator perbedaan
usia pada sekelompok orang yang hidup dalam lingkup waktu yang sama.
Pendekatan klasik tentang pemuda melihat bahwa masa muda
merupakan masa perkembangan yang enak dan menarik. Kepemudaan
2
Departemen pendidikan dan kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesai,(Jakarta: BALAI PUSTAKA,1990),643
3
Departemen pendidikan dan kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesai,(Jakarta: BALAI PUSTAKA,1990),269
4
Hartinidkk,Kamus Sosiologi dan Kependudukan,(Jakarta: Bumi Aksara,1992)166
5
Zainul Bahry,Kamus Umum,(Bandung: ANGKASA,1993)77
6
10
merupakan suatu fase dalam pertumbuhan biologis seseorang yang bersifat
seketika, dan sekali waktu akan hilang dengan sendirinya sejalan dengan
hukum biologi itu sendiri: manusia tidak dapat melawan proses ketuaan.
Maka keanehan-keanehan yang menjadi ciri khas masa muda akan hilang
sejalan dengan berubahnya usia. Menurut pendekatan klasik ini, pemuda
dianggap sebagai suatu kelompok yang mempunyai aspirasi sendiri yang
bertentangan dengan aspirasi orang tua atau generasi tua.
Generasi tua sebagai “angakatan yang berlalu” (passing
generation), berkewajiban untuk membimbing generasi muda sebagai
generasi penerus, mempersiapkan generasi muda untuk memikul tanggung
jawabnya yang makin kompleks. Di pihak lain, generasi muda yang penuh
dinamika hidup, berkewajiban mengisi akumulator generasi tua yang
makin melemah, disamping memetik buah-buah pengalamannya yang
telah terkumpul oleh pengalaman.
Pemuda atau generasi muda merupakan konsep-konsep yang selalu
dikaitkan dengan masalah “nilai”, hal ini sering lebih merupakan
pengertian ideology dan kultural daripada pengertian ilmiah. Pemuda atau
generasi muda merupakan istilah demografis dan sosiologis dalam konteks
tertentu. Dalam pola dasar pembinaan dan pengembangan generasi muda
bahwa yang dimaksud pemuda adalah:
a) Dilihat dari segi biologis, terdapat istilah
Bayi : 0-1 tahun
11
Remaja : 12-15 tahun
Pemuda : 15-30 tahun
Dewasa : 30 tahun ke atas
b) Dilihat dari segi budaya atau fungsional dikenal istilah
Anak : 0-12 tahun
Remaja : 13-18 tahun
Dewasa : 18-21 tahun ke atas7
Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa, orang lanjut usia merupakan masa transisi dari orang dewasa
produktif ke masa menuju kematian. Ketika seseorang mencapai lanjut
usia mereka harus belajar bergantung kepada orang lain, belajar untuk
tidak terlalu produktif dan menghabiskan sebagian besar untuk
waktu-waktu santai.8
Terdapat pembagian perkembangan masa dewasa, yakni:
1. Dewasa Awal
Dewasa Awal merupakan masa dewasa atau satu tahap yang dianggap
kritikal selepas alam remaja yang berumur dua puluhan (20-an) sampai tiga
puluhan (30 an). Ia dianggap kritikal karena disebabkan pada masa ini
manusia berada pada tahap awal pembentukan karir dan keluarga. Menurut
Teori Erikson, Tahap Dewasa Awal yaitu mereka di dalam lingkungan umur
7
Abu Ahmadidkk,Ilmu Sosial Dasar,(Jakarta: Bina Aksara,1988),113-119
8
12
20 an ke 30 an. Pada tahap ini manusia mulai menerima dan memikul
tanggungjawab yang lebih berat9.
2. Dewasa Madya
Masa Dewasa Madya adalah masa peralihan dewasa yang berawal dari
masa dewasa muda yang berusia 40- 65 tahun. Pada masa dewasa madya, ada
aspek- aspek tertentu yang berkembang secara normal, aspek-aspek lainnya
berjalan lambat atau berhenti. Bahkan ada aspek- aspek yang mulai
menunjukkan terjadinya kemunduran- kemunduran.
Pada akhir masa dewasa madya (sekitar usia 40 tahun), kekuatan aspek-
aspek psikis ini pun secara berangsur ada yang mulai menurun, dan
penurunannya cukup drastic pada akhir usia dewasa10.
Menurut Lavinson, Masa Dewasa Madya berusia 40-50 tahun. Masa
Dewasa Madya adalah masa peralihan dari masa dewasa awal. Pada usia 40
tahun tercapailah puncak masa dewasa. Setelah itu mulailah peralihan ke masa
madya (tengah baya antara usia 40-45 tahun), dalam masa ini seseorang
memiliki tiga macam tugas:
a. Penilaian kembali pada masa lalu.
b. Perubahan struktur kehidupan.
c. Proses individuasi.
Artinya seseorang menilai masa lalu dengan kenyataan yang ada saat
ini, dan dengan pandangan ke depan seseorang merubah struktur
9
Elizabeth B Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta, Gelora Aksara Pratama : 1980 ),277
10
13
kehidupannya dengan penyesuaian pemikiran rasional pada zaman ini pula.
Proses individuasi akan membangun struktur kehidupan baru yang
berlangsung sampai fase penghidupan yang berikutnya yaitu permulaan masa
madya (45-50 tahun)11
3. Dewasa Akhir
Masa dewasa lanjut usia merupakan masa lanjutan atau masa dewasa akhir
(60 ke atas). Perlu memperhatikan khusus bagi orangtuanya yang sudah
menginjak lansia dan anaknya yang butuh dukungan juga untuk menjadi
seorang dewasa yang bertanggung jawab
Menurut Lavinson dalam mempelajari fase-fase hidup manusia tertuju
pada siklus hidup dari pada jalan hidup seseorang. Jalan hidup seseorang
berbeda-beda dari yang satu dengan yang lain, apa yang berubah selama orang
itu hidup merupakan struktur kehidupan yang mengatur transaksi antara
struktur kepribadian dengan struktur sosial. Lavinson membedakan empat
periode kehidupan, yaitu:
1. Masa anak dan masa remaja (0-22 tahun)
2. Masa dewasa awal (17-45 tahun)
3. Masa dewasa madya (40-65)
4. Masa dewasa akhir (60 ke atas)
Antara 17 dan 22 tahun seseorang ada di dua masa. Ia meninggalkan masa
pra-dewasa dan memasuki masa dewasa awal yang mencangkup tiga periode,
11
14
yaitu; pengenalan dengan dunia orang dewasa (22-28 tahun), di mana orang
akan mencari tempat dalam dunia kerja dan dunia hubungan sosial untuk
membentuk struktur kehidupan yang stabil. Pada usia antara 28-33 tahun
pilihan struktur kehidupan ini menjadi lebih tetap dan stabil. Dalam fase
kemantapan (33-40 tahun) seseorang dengan keyakinan yang mantap
menemukan tempatnya dalam masyarakat dan berusaha sebaik-baiknya.
Impian yang ada pada (17-33) mulai mencapai kenyataan. Pekerjaan dan
keluargan membentuk struktur peran yang memunculkan aspek-aspek
kepribadian yang diperlukan dalam fase tersebut. Pada usia 40 tahun
tercapailah puncak masa dewasa. Setelah itu mulailah peralihan ke masa
madya (tengah baya antara usia 40-45 tahun), dalam masa ini seseorang
memiliki tiga macam tugas:
1. Penilaian kembali pada masa lalu
2. Perubahan struktur kehidupan
3. Proses individuasi12
Selanjutnya, terdapat pengertian masa tua (lanjut usia), usia lanjut adalah
periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur
enam puluh tahun sampai meninggal, yang ditandai dengan adanya
perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.
Proses menua (lansia) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama
lain. Berikut beberapa pendapat mengenai pengertian masa tua :
12
15
Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua
adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya.
Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga
kelompok yakni :
a) Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang baru
memasuki lansia.
b) Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
c) Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70
tahun
Ciri - ciri masa tua
Menurut Hurlock (Hurlock, 1980, h.380) terdapat beberapa ciri-ciri
orang lanjut usia, yaitu :
a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran
b. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas
c. Menua membutuhkan perubahan peran.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia13.
3) Fenomena/fe-no-me-na/fénoména/ 1. hal-hal yang dapat disaksikan
dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah
(seperti fenomena alam); gejala: gerhana adalah salah satu -- ilmu
pengetahuan; 2. sesuatu yang luar biasa; keajaiban: sementara
masyarakat tidak percaya akan adanya pemimpin yang berwibawa, tokoh
13
16
itu merupakan tersendiri; 3. fakta; kenyataan: peristiwa itu merupakan
-- sejarah yang tidak dapat diabaikan14.
Fenomena dari bahasa Yunani; phainomenon, "apa yang terlihat",
dalam bahasa Indonesia bisa berarti:
a) Gejala, misalkan gejala alam
b) Hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra
c) Hal-hal mistik atau klenik
d) Fakta, kenyataan, kejadian15
4) Mitos yakni cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman
dahulu, yang mengandung penafsiran tentang dewa dan asal-usul semesta
alam, manusia, dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti mendalam
yang diungkapkan dengan cara gaib16. Mythology yakni perangkat mitos
yang ditemukan dalam suatu masyarakat (mitologi)17. Mitos adalah suatu
dongeng; kisah tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu dengan
diagung-agungkan18. Myth sama dengan mitos, dongeng, isapan jempol
yang dapat diuraikan sebagai suatu dogma yang singkat, suatu cerita yang
bersifat keramat, suatu gagasan yang menjamin kepatuhan pada
pimpinan19.
14
http.//kbbi.web.id/fenomena
15
https://id.wikipedia.org/wiki/Fenomena 16
Departemen pendidikan dan kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesai,(Jakarta: BALAI PUSTAKA,1990),588
17
Soerjono Soekanto,Kamus Sosiologi,(Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada,1993),325
18
Zainul Bahry,Kamus Umum,(Bandung: Angkasa,1993),179
19
17
Mite adalah sesuatu yang mengisahkan sebuah cerita; mite adalah
sebuah anekdot. Tidak seperti puisi, di mana kata individual
semuanya-penting, dalam mite yang menjadi masalah, menurut Levi-Strauss, tidak
seperti puisi, diterjemahkan dengan baik. Sebenarnya ia menegaskan
bahwa mite-mite tersebut diterjemahkan kurang lebih tanpa kehilangan
nilai, sedangkan puisi harus kehilangan beberapa signifikan jika bunyi
kata-kata di mana puisi diungkapkan. Mite-mite menurut Levi-Strauss,
pada hakikatnya terdiri dari pengisahan cerita. Mite-mite tersebut
menghubungkan urutan kejadian yang kepentingannya terletak pada
kejadian-kejadian itu sendiri dan dalam detail yang menyertainya. Jadi,
mite-mite tersebut selalu terbuka untuk diungkapkan ulang dan khususnya
menyadarkan diri pada terjemahan. Dengan kata lain, mite bias dikisahkan
ulang dalam kata-kata yang lain—bisa diparafrasekan dan dipadatkan,
diperluas dan dielaborasi20
5) Gerhana memiliki keterkaitan dengan bulan (matahari) gelap sebagian atau
seluruhnya dilihat dari bumi.—bulan cahaya bulan tidak sampai ke bumi
karena titik pusat geometri bulan, bumi dan matahari terletak pada suatu
garis dan bumi berada di tengahnya;21
Gerhana Bulan dalam bahasa arab berarti Al-Qamar, dalam bahasa
inggris memiliki arti Moon dan Latin berarti Luna. Bulan adalah satelit
bumi yang selalu mengikuti dan tidak pernah meninggalkannya, baik
disaat bumi berotasi mengelilingi porosnya maupun waktu beredar
20
Christoper R. Badcock,Levi Strauss,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),73
21
18
mengelilingi matahari bulan berotasi mengelilingi porosnya dengan
kecepatan yang sama, seperti saat mengelilingi bumi. Karena itulah bulan
selalu menghadap ke bumi dengan satu wajah.
Selama beredar posisi bumi dan bulan terhadap matahari
berubah-ubah. Perubahan ini secara ilmiah diberi istilah Fase bulan (Phase of the
moon). Pada saat bulan menempati posisi paling dekat ke matahari, bagian
yang menghadap ke-bumi gelap, tidak kelihatan. Fase ini disebut “Bulan
Muda” (New Moon). Bulan berputar terus maka Nampak fase yang
dinamakan “Bulan Sabit” (Hilal). Ketika posisi bumi dan bulan sama
jauhnya dari matahari maka terlihat bulan setengah penuh. Lalu
disambung dengan bungkuk. Saat dari bulan baru ke bulan bungkuk, biasa
juga disebut “Bulan Muda.” Kemudain terlihat wajah bulan bagaikan
piring bundar yang terang cemerlang. Itulah yang popular dengan “Bulan
Purnama”(Full Moon). Pada saat ini bulan menempati posisi paling jauh
dari matahari, dilihat dari bumi. Akhirnya setelah mencapai fase purnama,
terjadi proses kebalikan dari bulan muda. Memaskui bulan tua, bulan
semakin menyempit, bungkuk, setengah penuh, berbentuk sabit, hingga
mencapai fase bulan baru lagi (bulan mati). Dari bulan baru sampai bulan
purnama dinamai orang dengan bulan timbul. Sedang dari bulan purnama
sampai bulan baru disebut bulan surut22.
Gerhana bulan terjadi saat bulan purnama, yaitu saat bumi berada
di antara bulan dan matahari. Pada saat itu, bayangan bumi menutupi
22
19
bulan sehingga bulan purnama menjadi gelap dan berwarna
kemerah-merahan. Gerhana bulan ini bisa cukup lama berlangsung, kadang-kadang
mencapai beberapa jam. Gerhana matahari tejadi saat bulan berada di
antara bumi dan matahari, yaitu saat bulan baru. Peristiwa ini, meskipun
berlangsung sebentar saja, besar sekali pengaruhnya pada seluruh makhluk
hidup di bumi, baik hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun manusia23
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a) Pendekatana
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Terdapat beberapa ahli yang memberikan pengertian mengenai
kualitatif, Creswell menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu
proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan untuk memahami
masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan
gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan, melaporkan
pandangan terperinci dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam
setting yang alamiah tanpa adanya intervensi apa pun dari peneliti.
Moleong juga memiliki definisi terkait penelitian kualitatif, penelitian
kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami
suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan
23
20
mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara
peneliti dengan yang diteliti.24
b) Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, yang
merupakan gambaran utuh atau penulisan secara narasi pada data yang
diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dan informan.
Kemudian peneliti akan melakukan penggalian data, yakni data primer dan
data sekunder.
a. Data Primer
Data Primer merupakan data yang didapat dari subyek
penelitian dengan mencari informan untuk memberikan informasi
secara langsung kepada peneliti sebagai sumber informasi yang
dicari.
b. Data Sekunder
Data Sekunder merupakan data yang didapat melalui pihak
lain. Biasanya data sekunder berbentuk data dokumentasi atau data
laporan yang telah tersedia.
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini diarahkan pada Dusun Pengalangan Desa
Macajah Tanjungbumi Bangkalan. Sebab masyarakat Dusun Pengalangan
Desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan memiliki banyak sekali mitologi
24
21
yang menghasilkan tradisi, seperti mitologi nenek moyang dan mitologi
fenomena alam gerhana bulan. Waktu penelitian dilaksanakan pada
tanggal 26 November 2015 sampai 26 Desember
3. Pemilihan Subyek Penelitian
Pemilihan subyek penelitian ini difokuskan pada masyarakat dusun
Pengalangan desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan dengan memilih
perbandingan umur antara generasi tua dan generasi muda, sebab
pandangan antara generasi muda dan tua pastinya berbeda ketika
menanggapi mitologi yang berada ditengah-tengah masyarakiat. Mitologi
pada umumnya hanya dianggap sebatas cerita rakyat biasa, namun
mitologi dalam penelitian ini memiliki fokus pada pandangan masyarakat
generasi muda dan tua mengenai tradisi yang dilakukan pada malam
[image:32.595.139.514.242.558.2]gerhana bulan. Terkait pemilihan subyek penelitian dapat dilihat pada
[image:33.595.131.521.186.566.2]
22
Table 1.1
Pemilihan Subyek Penelitian
No Generasi Muda
(15 tahun – 30 tahun)
Generasi Tua
(55 tahun ke atas) Status
1 Ibu Suratmi Masyarakat
2 Rus Midah Masyarakat
3 Mang Mus Masyarakat
4 Faizah Siswa
5 Abah Mang Yeri Tokoh Agama
6 Ningrati Mahasiswa
7 Tutik Siswa
8 Nur Jannah Masyarakat
9 Tohari Masyarakat
10 Bu Munaji Masyarakat
11 Bu Mani’a Masyarakat
12 Bu Denan Masyarakat
13 Bu Misriyah Masyarakat
14 Sahruji Guru
4. Tahap-tahap Penelitian
Tahap dalam penelitian ada dua, yakni tahap pra lapangan dan
tahap pekerjaan lapangan. Dalam tahap pra lapangan memiliki penguraian
tersendiri, begi juga dengan tahap pekerjaan lapangan.
a. Tahap Pra Lapangan
1. Menyusun Rancangan Penelitian
Tahap ini, peneliti membuat usulan penelitian atau proposal
penelitian yang sebelumnya didiskusikan dengan dosen pembimbing dan
beberapa dosen lain serta mahasiswa. Pembuatan proposal ini berlangsung
sekitar satu bulan melalui diskusi yang terus-menerus dengan beberapa
23
2. Memilih lapangan penelitian
Peneliti memilih di dusun Pengalangan Desa Macajah Tanjungbumi
Bangkalan.
3. Mengurus Perizinan
Mengurus perizinan dalam melakukan penelitian ini dilakukan di
balai desa Macajah Kecamatan Tanjungbumi Bangkalan
4. Menjajaki dan Menilai Lapangan
Tahap ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang tradisi
yang dilakukan masyarakat dusun Pengalangan desa Macajah
Tanjungbumi Bangkalan mengenai mitologi gerhana bulan (bulan
gerring). Agar peneliti lebih siap terjun ke lapangan.
5. Memilih dan Memanfaatkan Informan
Tahap ini peneliti memilih seorang informan yang ingin diteliti
seperti generasi muda yang berkisar umur 15 tahun - 30 tahun dan generasi
tua yang berumur 30 tahun ke atas. Kemudian memanfaatkan informan
tersebut untuk melancarkan penelitian.
6. Menyiapkan Perlengkapan Penelitian
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan segala sesuatu atau
kebutuhanyang akan dipergunakan dalam penelitian ini
7. Persoalan Etika Penelitian
Persoalan etika akan timbul apabila peneliti tidak mengindahkan
nila-nilai masyarakat dan pribadi tersebut, dan tidak mengindahkan
24
diri serta membaca baju adat, kebiasaan, dan kebudayaannya, kemudian
untuk sementara ia menerima seluruh nilai dan norma sosial yang ada
dalam masyarakat latar penelitiannya, dan meninggalkan budayanya
sendiri.
Peneliti mengusahakan diri untuk menahan diri, menahan emosi,
dan perasaan terhadap hal-hal yang pertama kali dilihatnya sebagai sesuatu
yang aneh, menggelikan, tidak masuk akal, dan sebagainya. Peneliti
hendaknya jangan memberikan reaksi yang mencolok dan yang tidak
mengenakkan bagi orang-orang yang diperhatikan, sebaliknya ia
hendaknya menyatakan kekagumannya. Peneliti hendaknya menanamkan
kesadaran dalam dirinya bahwa pada latar penelitiannya terdapat banyak
segi nilai, kebiasaan, adat, kebudayaan yang berbeda dengan latar
belakangnya dan dia bersedia menerimanya25.
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Dalam tahap pekerjaan lapangan ini, peneliti perlu mempersiapkan
beberapa hal berikut:
a) Memahami Latar Penelitian dan Persiapan diri
Tahap ini selain mempersiapkan diri, peneliti harus memahami
latar penelitian agar dapat menentukan model pengumpulan datanya.
b) Memasuki Lapangan
Pada saat sudah masuk ke lapangan peneliti menjalin hubungan
yang baik dan akrab dengan subyek penelitian dengan menggunakan tutur
25
25
bahasa yang baik. serta bergaul dengan mereka dan tetap menjaga etika
pergulan dan norma-norma yang berlaku di dalam lapangan penelitian
tersebut.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
observasi, wawancara dan dokumentasi. Observasi dilakukan untuk melihat
langsung keadaan lapangan yang sebenarnya.
Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee)
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu26. Interview yang dilakukan
peneliti memiliki pedoman wawancara namun peneliti tidak membatasi
informan untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya, dan juga
pedoman wawancara tersebut hanya sebagai bahan dasar atau bahan acuan
untuk melakukan wawancara, ketika wawancara berlangsung, peneliti akan
memberikan pertanyaan sesuai kondisi dan kebutuhan sebab wawancara
yang dilakukan merupakan wawancara terarah. Hal ini bertujuan agar
peneliti mendapatkan informasi secara mendalam terkait objek yang diteliti.
Dokumentasi yakni data yang diperoleh dari hasil penelitian, baik itu
berupa catatan dan foto-foto serta artikel-artikel yang sesuai dengan fakta
dan kejadian dari penelitian
26
26
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis
data kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan
dengan jelas bekerja dengan data, mengoordinasisasikan data,
memilaj-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintetsiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari dan memutuskan apa yang diceritakan kepada orang lain.
Analisis data memiliki proses sebagai berikut:
a) Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode
agar sumber datanya tetap dapat ditelususri
b) Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, menintesiskan,
membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya
c) Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna,
mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat
temuan-temuan umum27
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk melakukan pemekrisaan keabsahan data dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan teknik trianggulasi data. Trianggulasi adalah
teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Dari luar
data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap
data itu. Teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan ialah
27
27
pemeriksaan melalui sumber lainnya28. Teknik ini dilakukan dengan cara
menanyakan kembali pertanyaan-pertanyaan terkait informasi yang
diperoleh, selain itu juga dengan cara mengajukan pertanyaan kepada
informan yang berbeda sebagai bahan pembanding antara informan satu
dengan informan yang lainnya. Teknik ini digunakan agar data yang
diperoleh peneliti memiliki informasi yang akurat.
H. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan memberikan sedikit penjabaran mengani sub bab
dan isi dari penelitian yang dilakukan, mulai dari BAB I PEMBAHASAN
hingga BAB IV PENUTUP. Berikut pemaparan singkatnya:
1. BAB I PENDAHULUAN
Pada bab I pendahuluan ini, peneliti mencantumkan latar belakang
penelitian yang kemudian disambung dengan rumusah masalaha serta
memaparkan tujuan dan manfaat dari penelitian. Selain itu, terdapat juga
penelitian terdahulu, definisi konsep untuk memaparkan pendefinisian dari
fokus judul penelitian, kerangka teoretik pemaparan terkait teori yang
digunakan dalam penelitian ini, serta metodelogi penelitian.
2. BAB II KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER
Bab ini membahas mengenai gambaran dan penjelasan dari teori
konstruksi sosial Peter L. Berger, teori konstruksi sosial ini dijadikan
sebagai alat untuk menganalisis temuan penelitian yang di paparkan pada
bab III.
28
28
3. BAB III PANDANGAN GENERASI MUDA DAN TUA MENGENAI FENOMENA MITOS GERHANA BULAN (BULAN GERRING) Di Dusun Pengalangan Desa Macajah Tanjungbumi Bangkalan
Penyajian data dan analisis data ini memaparkan data-data yang
diperoleh dari hasil penelitian yang kemudian akan dianalisis dengan teori
yang konstruksi sosial dengan hasil temuan pada penelitian. Data yang
telah dianalisis akan dipaparkan secara tertulis, baik data primer maupun
data sekunder, yang juga akan disertakan gambar-gambar dan table dari
hasil penelitian.
4. BAB IV PENUTUP
Pada umumnya bab penutup merupakan bab yang memaparkan
kesimpulan dari suatu pembahasan. Dalam bab ini, selain kesimpulan dari
permasalahan penelitian ini, peneliti juga akan memberikan rekomendasi
BAB II
TEORI KONSTRUKSI SOSIAL
A. Alam sebagai Objek-Subjek
Mitos dikenal oleh masyarakat merupakan suatu cerita rakyat yang
memiliki larangan-larangan di dalamnya dan harus dipatuhi oleh individu sebagai
suatu aturan yang sudah disepakati bersama. Banyak sekali mitos yang
berkembang ditengah-tengah masyarakat pada wilayah tertentu. Masyarakat di
setiap wilayah memiliki perbedaan dalam menanggapi mitos yang berkembang
dan terkadang, mitos tidak hanya sebagai cerita rakyat yang ditelan
mentah-mentah oleh masyarakat. Mitos-mitos yang berkembang dapat menghasilkan
suatu tradisi yang menjadi sautu kewajiban bagi masyarakat untuk melakukan
tradisi tersebut. Mitos yang menghasilkan tradisi dapat dilihat di salah satu
wilayah berada di Madura, yakni Dusun Pengalangan Desa Macajah Kecamatan
Tanjungbumi Kabupaten Bangkalan.
Didusun tersebut memiliki beragam mitos yang menghasilkan suatu tradisi
yang diwarisi oleh nenek moyang dan tetap dipertahankan hingga saat ini. Seperti
mitos (bhuju’) atau dalam bahasa Indonesia makam nenek moyang, mitos sumur
(tantoh) yang dikenal masyarakat sebagai sumur yang sering digunakan bidadari
untuk mandi, mitos gerhana bulan (bulan gerring), dan lain sebagainya.
Mite atau mitos yang menjadi akan di teliti di Dusun Pengalangan Desa
30
dipengaruhi oleh fenomena alam yakni gerhana bulan (bulan gerring). Tentunya
fenomena tersebut sudah melalui proses pemaknaan dari individu di dalam
masyarakat.
Sebagaimana diungkapkan oleh Berger dan Luckman, bahwa terdapat momen
eksternalisasi, objektivasi, dan inetrnalisasi. Alam sebagai subjek memberikan
gambaran bahwa alam adalah sebuah internal, yaitu proses memasukkan alam
sebagai bagian dari manusia, sehingga manusia dan alam sebagai sesama subjek.
Alam menjadi dunia subjek bagi manusia. Tetapi disisi lain, muncul pandangan
bahwa alam dunia objek yang terpisah dari manusia. Oleh karena itu, terdapat
penempatan manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek. Bertolak dari
keduanya lalu muncul pandangan bahwa alam adalah dunia subjek-objek atau
yang dikenal sebagai momen eksternalisasi2. Proses momen yang jelasakan
Berger dan Luckman dikenal dengan dialektika atau konstruksi sosial.
B. Realitas Sosial, Konstruksi Sosial dalam Pandangan Paradigma Definisi Sosial dan Konstruktivisme
“Ritzer menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam paradigma
definisi sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang
kreatif dari realitas sosialnya”.
Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma,
kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemua itu tercakup dalam
fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan dalam struktur dan pranata sosial.
Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas
2
31
kontrol struktur dan pranata sosialnya di mana individu berasal. Manusia secara
aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respon-respon terhadap stimulus
dalam dunia kognitifnya. Karena itu, paradigma definisi sosial lebih tertarik
terhadap apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang proses sosial, terutama
para pengikut interaksi simbolis. Dalam proses sosial, individu manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia
sosialnya3.
“Ritzer mengatakan bahwa, pandangan yang menempatkan individu
adalah manusia bebas dalam hubungan antara individu dengan masyarakat merupakan pandangan liberal ekstrim, namun pengaruh aliran ini telah
menyebar luas dalam paradigma definisi sosial”.
Ada pengakuan yang luas terhadap eksistensi individu dalam dunia sosialnya,
bahwa individu menjadi „panglima’ dalam dunia sosialnya yang dikonstruksi
berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah manusia korban fakta sosial, namun
mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dan mengkontruksi dunia
sosialnya. Akhirnya, dalam pendangan paradigma definisi sosial, realitas adalah
hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuasaan konstruk sosial terhadap dunia
sosial di sekelilingnya.
“Dunia sosial itu dimaksud sebagai mana yang disebut oleh George
Simmel bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang
menurut kesan kita bahwa realitas itu „ada’ dalam diri sendiri dan hokum yang
menguasainya”4
Relitas sosial itu „ada’ dilihat dari subyektivitas „ada’ itu sendiri dari dan
dunia objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu tidak hanya dilihat sebagai
3
Burhan Bungin,Konstruksi Sosial Media Massa,(Jakarta: Perdana Media Group,2008),11
4
32
„kedirian’-nya, namun juga dilihat dari mana „kedirian’ itu berada, bagaimana ia
menerima dan mengaktualisasikan dirinya serta bagaimana pula lingkungan
menerimanya. Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa
kehadiran individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas
sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan
secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara
obyektif. Individu mengkonstruksikan realitas sosial, dan mengkonstruksinya
dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu
lain dalam institusi sosialnya5.
C. Memahami Konstrukai Sosial sebagai Teori dan Pendekatan dalam Paradigma Konstruktivisme
Istilah konstruksi sosial atas realitas (Sosial Construction of reality),
menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. berger dan Thomas Luckman
menjelaskan konstruksi sosial atas realitas melalui “The Sosial Constrution of
Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge”(1966). Ia menggambarkan
proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan
secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara
subjektif. Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang di mulai
dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut von Glasersfeld, pengertian
konstruktif kognitif munsul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang
secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri,
5
33
sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai
oleh Giambatissta Vico, seorang epistimolog dari italia, ia adalah cikal bakal
konstruktivisme.
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates
menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide.
Dan gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan
istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esesnsi, dan sebagainya. Dan
ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus
dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar
pengetahuan adalah fakta. Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan
ucapannya „Cogoto, ergo sum’ atau „saya berfikir karena itu saya ada’. Kata-kata
Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan
gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini6.
“Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum
Sapientia’ mengungkapkan filsafatnya dengan berkata „Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Dia menjelaskan bahawa „mengetahui’ berarti „mengetahui bagaimana membuat sesuatu’. Manusia adalah suatu ciptaan tertinggi, sesorang itu baru mengetahui sesuatu jika dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan ssajalah yang dapat mengerti alam raya ini, karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara itu orang hanya
dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya”.
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme:pertama, konstruktivisme
radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu
tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal
6
34
mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai sesuatu
kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksikan suatu realitas
ontologi obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman
seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang
mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif. Karena itu
konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan
lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu.
Kedua: realism hipotesis, pengetahuan adalah hipotesis dari struktur
realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.
Ketiga: Konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme
dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Kemudian
pengetahuan individu sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek
dalam dirinya sendiri. Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan di
mana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk
menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu
dengan lingkungannya atau orang disekitarnya. Individu kemudia membangun
sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur
pengetahuan yang telah ada sebelumnya, yang oleh Piaget disebut dengan
skema/skemata. Dan konstruktivisme inilah yang oleh Berger dan Luckman
disebut dengan konstrukti sosial.
“Berger dan luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan
memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas
35
kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik”7.
“Berger dan Luckman mengatakan, institusi masyarakat tercipta
dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia”.
Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif,
namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui
proses interaksi. Objektivasi baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang
yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada
tingkat generalisasi yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna
simbolis universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi
legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai
bidang kehidupannya.
“Pendek kata, Berger dan Luckman mengatakan, terjadi dialektika
antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui proses eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi”8
Masyarakat adalah suatu gejala dialektik, yaitu suatu hasil manusia dan
tidak lain dari pada hasil manusia, tetapi terus-menerus mempengaruhi kembali
penghasilnya. Masyarakat adalah produk manusia. Ia tidak memiliki adanya selain
yang diberikan oleh aktivitas dan kesadaran manusia. Tidak ada kenyataan sosial
lepas dari manusia. Tetapi dapat dikatakan pula bahwa manusia adalah hasil
masyarakat. Biografi setiap idnividu adalah suatu episode dalam sejarah
masyarakat yang mendahalui dan melestarikannya. Masyarakat sudah ada
sebelum individu dilahirkan dan tetap ada sesudah individu mati. Di dalam
7
Burhan Bungin,Konstruksi Sosial Media Massa,(Jakarta: Perdana Media Group,2008),14-15
8
36
masyarakatlah dan sebagai hasil proses sosial, individu menjadi seorang pribadi,
memiliki dan mempertahankan suatu identitas, menjelaskan berbagai perencanaan
dalam hidupnya. Manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakat. Dengan melihat
relasi manusia dan masyarakat secara dialektiks, Berger memberikan alternative
terhadapt determinisme yang menganggap indvidu semata-mata dibentuk oleh
struktur sosial dan tidak mempunyai peran dalam pembentukan struktur sosial. Ia
menolak kausalitas sepihak. Dengan pandangannya ini, Berger ingin
memperlihatkan bahwa manusia dapat mengubah struktur sosial. Namun manusia
pun akan selalu dipengaruhi bahkan dibentuk oleh institusi sosialnya9.
D. Gagasan Berger dan Luckman tentang Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi
Hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektika
antara diri (self) dengan dunia sosiokultural berlangsung dalam proses tiga momen
simultan. Eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai
produk manusia. Eksternalisasi adalah bagian penting dalam kehidupan individu
dan menjadi bagian dari dunia sosiokulturalnya. Dengan kata lain, ekternalisasi
terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalam satu pola interaksi antara individu
dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Maksud dari proses ini adalah
ketika sebuah produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam
masyarakat yang setiap saat untuk dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial
itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar.
Seperti yang dimaksud dengan ekternalisasi Berger dan Luckman, bahwa
9
37
produk sosial dari eksternalisasi manusia mempunyai suatu sifat sui generasi
dibandingkan dengan konteks organisme dan konteks lingkungannya, maka
penting ditekankan bahwa ekternalisasi itu sebuah keharusan antropologis yang
berakar dalam perlengkapan biologis manusia. Keberadaan manusia tak mungkin
berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak.
Manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas.
Dengan demikian, tahap ekternalisasi ini berlangsung ketika produk sosial tercipta
di dalam masyarakat, kemudia individu mengeksternalisasikan (penyesuaian diri)
ke dalam dunia sosiokulturalnya sebagai bagian dari produk manusia10.
Eksternalisasi merupakan proses awal dalam konstruksi sosial. Dalam
momen ini, sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia
menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia sosio-kulturalnya
dan kemudian tindakannya juga disesuaikan dengan dunia sosio-kulturalnya. Pada
momen ini, terkadang dijumpai orang yang mampu beradaptasi dan juga ada juga
yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan penolakan tergantung dari
mampu atau tidaknya individu untuk menyesuaikan dengan dunia sosio-kultural
tersebut11.
Eksternalisasi merupakan suatu pencurahan kedirian manusia secara
terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya dan juga
merupakan suatu keharusan antropologis. Manusia menurut pengetahuan empiris
kita, tidak bisa dibayangkan terpisah dari pencurahan dirinya terus-menerus ke
10
Burhan Bungin,Sosiologi Komunkasi,(Jakarta: Kencana Perdana Media Group,2006), 193-198
11
38
dalam dunia yang di tempatinya. Kedirian manusia bagaimanapun tidak bisa
dibayangkan tetap tinggal diam di dalam lingkup dirinya sendiri, dalam suatu
lingkup tertutup, dan kemudian bergerak keluar untuk mengekspresikan diri
dalam dunia sekelilingnya. Kedirian manusia itu esensinya melakukan
eksternalisasi dan ini sudah sejak permulaan12.
Objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia subjektif yang
dilembagakan atau mengalami proses institusional. Realitas sosial seakan-akan
berada di luar diri mnusia. Ia menjadi realitas objektif. Karena objektif, sepertinya
ada dua realitas, yaitu realita diri yang subjektif dan realita lainnya yang berada di
luar diri yang objektif. Dua realitas itu membentuk jaringan interaksi
intersubjektif melalui proses pelembagaan institusional. Pelembagaan atau
institusional, yaitu proses untuk membangun kesadaran menjadi tindakan. Di
dalam proses pelembagaan tersebut, nilai-nilai yang menjadi pedoman dalam
interpretasi terhadap tindakan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan, sehingga
apa yang disadari adalah apa yang dilakukan, selain pelembagaan, proses
objektivasi juga memiliki istilah yang disebut Habitus. Habitualisasi atau
pembiasaan, yaitu proses di mana tindakan rasional bertujuan itu telah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak dibutuhkan lagi berbagai penafsiran
terhadap tindakan, karena tindakan tersebut telah menjadi bagian dari system
kognitif dan system evaluatifnya. Peta kesadarannya telah menerima dan system
evaluasi yang berasal dari system nilai juga telah menjadi bagian di dalam seluruh
mechanism kehidupannya. Dengan demikian, ketika suatu tindakan telah menjadi
12
39
suatu yang habitual, maka telah menjadi tindakan yang mekanis, yang mesti
dilakukan begitu saja13. Tahap objektivasi produk sosial, terjadi dalam dunia
intersubjektif masyarakat yang dilembagakan.
“Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses
institusional, sedangkan individu oleh Berger dan Luckman, dikatakan memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain sebagai suatu unsur dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka dimana mereka dapat dipahami secara langsung”.
Dengan demikian, individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial,
baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini berlangsung tanpa harus
mereka saling bertemu. Artinya, objektivasi itu bisa terjadi melalui penyebaran
opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui opini
masyarakat tentang produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka
antarindividu dan pencipta produk sosial itu. Masyarakat pada kenyataannya,
berada sebagai kenyataan objektif maupun subjektif, dengan demikian setiap
penafsiran terhadap suatu masyarakat haruslah mencakup kedua kenyataan ini,
yang oleh Berger dan Luckman, dimaksud dengan proses dialektika yang
berlangsung terus-menerus dan terdiri dari tiga momen; ekternalisasi, objetivasi,
dan internalisasi. Berger dan Luckman juga mengatakan, sejauh yang menyangkut
fenomena masyarakat, momen-momen itu tidak dapat dipikirkan sebagai sesuatu
yang berlangsung dalam suatu urutan waktu. Yang benar adalah masyarakat dan
setiap bagian darinya secara serentak dikarakterisasi oleh ketiga momen itu,
sehingga setiap analisis yang hanya melihat salah satu dari ketiga momen itu
13
40
adalah tidak memadai. Hal itu juga berlaku bagi anggota masyarakat secara
individual, yang secara serentak mengeksternalisasikan keberadaannya sendiri ke
dalam dunia sosial dan menginternalisasikan keberadaannya sebagai suatu
kenyataan objektif. Dengan kata lain, berada dalam masyarakat berarti
berpartisipasi dalam dialektika itu14.
Obyektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu (baik fisis
maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya
semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal tehadap, dan lain
dari, para produser itu sendiri. Objektivitas pemaksa dari masyarakat terlihat jelas
dalam produser-produser kontrol sosial, yaitu dalam prosedur-prosedur yang
khusus dimaksudkan untuk “memasyarakatkan kembali” individu-individu atau
kelompok-kelompok pembangkang. Lembaga-lembaga politik dan hukum bisa
memberikan contoh jelas mengenai hal ini. Namun harus dimengerti bahwa
obyektivitas pemaksa yang sama itu, juga mencirikan masyarakat sebagai
keseluruhan dan terdapat dalam semua lembaga sosial, termasuk
lembaga-lembaga yang didirikan berdasarkan konsensus. Obyektivitas masyarakat
mencakup semua unsur pembentukannya. Lembaga-lembaga, peran-peran, dan
identitas-identitas itu eksis sebagai fenomena-fenomena nyata secara obyektif
dalam dunia sosial, meskipun semua itu tidak lain adalah produksi-produksi
14
41
manusia15. Hal terpenting dalam obyektivasi adalah pembuatan signifikasi, yakni
pembuatan tanda-tanda oleh manusia.
“Berger dan Luckman mengatakan bahwa, sebuah tanda (sign)
dapat dibedakan dari obyektivasi-obyektivasi lainnya, karena tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks bagi pemaknaan subyektif. Dengan demikian, maka obyektivasi juga dapat digunakan sebag