• Tidak ada hasil yang ditemukan

CYBER CRIME DALAM BENTUK PHISING DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "CYBER CRIME DALAM BENTUK PHISING DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF HUKUM

PIDANA ISLAM

SKRIPSI

Oleh :

Zainal Arifin Al Hakim

NIM. C73212081

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Siyasah Jinayah

Surabaya

(2)

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF

HUKUM PIDANA ISLAM

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Syariah dan Hukum

Oleh

Zainal Arifin Al Hakim

NIM. C73212081

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Siyasah Jinayah

Surabaya

(3)
(4)
(5)
(6)

iv

pertanyaan bagaimana cara melakukan kejahatan cyber crime dalam bentuk phising, bagaimana ketentuan hukum terhadap kejahatan cyber crime dalam bentuk phising menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap kejahatan cyber crime dalam bentuk phising menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Data penelitian dihimpun melalui telaah kepustakaan (Selected Bibliografie Technique), selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analisis, dengan pola pikir deduktif.

Penelitian ini menghasilkan tiga hal. Pertama, cara yang digunakan dalam melakukan kejahatan cyber crime dalam bentuk phising yaitu: a) Man in the middle; b) URL Obfuscation; c) Gambar yang menyesatkan; d) Malware Based Phising; dan e) Search Engine Phising. Kedua, bahwasanya pelaku cyber crime dalam bentuk phising menurut Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dikenakan Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1). Ketiga, tinjauan hukum pidana Islam terhadap cyber crime dalam bentuk phising menurut Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu sanksi hukum terhadap kejahatan phising dalam Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1) telah sesuai dengan hukum pidana Islam, karena dalam hukum pidana Islam pihak yang berwenang melaksanakan hukuman ta’zi>r adalah ulil amri, dan telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam jari>mah ta’zi>r.

(7)

vii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN... iii

ABSTRAK... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TRANSLITERASI... ix

MOTTO... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Identifikasi Masalah... 14

C. Batasan Masalah... 15

D. Rumusan Masalah... 15

E. Kajian Pustaka... 16

F. Tujuan Penelitian... 19

G. Kegunaan Hasil Penelitian... 19

H. Definisi Operasional... 20

I. Metode Penelitian... 21

J. Sistematika Pembahasan... 23

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP JARIMAH TA’ZIR... 25

A. Pengertian Jarimah Ta’zir... 25

B. Unsur-Unsur Jarimah Ta’zir... 27

C. Macam-Macam JarimahTa’zir... 32

D. Hukuman Jarimah Ta’zir... 38

BAB III CYBER CRIME DALAM BENTUK PHISING DAN SANKSI HUKUMNYA... 58

A. Pengertian Cyber Crime... 58

B. Cyber Crime dalam Bentuk Phising…... 59

(8)

viii

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik... 73

BAB IV ANALISIS TERHADAP CYBER CRIME DALAM BENTUK PHISING DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM... 82

A. Analisis Cara Melakukan Kejahatan Cyber Crime dalam Bentuk Phising... 82

B. Analisis Ketentuan Hukum Terhadap Cyber Crime dalam Bentuk Phising Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik... 83

C. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Cyber Crime dalam Bentuk Phising dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ... 85

BAB V PENUTUP... 93

A. Kesimpulan... 93

B. Saran... 94 DAFTAR PUSTAKA

(9)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini teknologi informasi dan komunikasi telah mengalami

perkembangan yang begitu pesat di dunia, terutama di Indonesia yang tidak

mau ketinggalan dalam hal pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan

komunikasi, ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang menggunakan

alat komunikasi dan teknologi seperti handphone, personal computer,

smartphone, internet dan banyak sekali macam-macamnya. Di mana kemajuan

teknologi ini telah membantu masyarakat dalam berkomunikasi dan

memudahkan pekerjaan menjadi lebih sederhana, sehingga hampir seluruh

bidang kehidupan manusia menggunakan teknologi.

Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku

masyarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu,

perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa

batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan

berlangsung demikian cepat.1

Satu hal yang menarik adalah bahwa proses globalisasi dimulai oleh

kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Memang awal kehidupan ini

sebenarnya adalah komunikasi. Makhluk hidup, khususnya manusia tidak

sanggup bertahan hidup tanpa komunikasi. Bahkan para ahli komunikasi

1 Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Refika

(10)

menekankan, bahwa dalam peradaban kontemporer berkomunikasi merupakan

kebutuhan yang paling mendasar bagi makhluk manusia yang melebihi

kebutuhan fisik untuk makan dan untuk berlindung dari panas matahari dan

hawa dingin.2

Dalam hal ini, internet sebagai media komunikasi yang paling

berkembang saat ini, di mana internet saling menghubungkan jutaan manusia

di seluruh dunia, tanpa mereka mengetahui keberadaan lawan komunikasinya.

Informasi dapat dikirim dalam berbagai bentuk seperti suara, gambar, teks,

data, maupun kombinasinya.3

Menurut Sutarman, internet merupakan hubungan antar berbagai

jenis komputer dan jaringan di dunia yang berbeda sistem operasi maupun

aplikasinya, di mana hubungan tersebut memanfaatkan kemajuan media

komunikasi (telepon dan satelit) yang menggunakan protokol standar dalam

berkomunikasi, yaitu protokol TCP/IP.4

Saat ini para pengguna internet hampir seluruh lapisan masyarakat

menggunakannya, terutama negara-negara yang telah maju sebagai media

komunikasi yang begitu luas. Dunia internet ini biasa disebut dengan dunia

maya, atau dunia siber (cyber space).

2 Andi Abdul Muis, Indonesia di Era Dunia Maya Teknologi Informasi dalam Dunia Tanpa Batas,

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2001), 3.

(11)

Cyber space dipandang sebagai sebuah dunia komunikasi yang

berbasis komputer. Dalam hal ini, cyber space dianggap sebagai realitas baru

dalam kehidupan manusia yang dalam bahasa sehari-hari dikenal internet.5

Adanya cyber space ini mengakibatkan dunia nyata menjadi tanpa

batas (borderless), karena kemajuan dari teknologi informasi dan komunikasi

ini menyebabkan mudahnya pengguna internet dalam mendapatkan segala

informasi dari manapun yang ada di dalam internet (cyber space). Sehingga

cyber space ini seperti mata pisau ganda, di samping memberikan kemudahan

dalam mendapatkan informasi, dapat juga sebagai aksi dalam perbuatan

melawan hukum.

Sebagaimana lazimnya internet yang menjadi alat dalam media

komunikasi yang bersifat netral, jika internet digunakan dalam hal kebaikan

maka internet dapat menjadi manfaat yang baik bagi manusia, namun ketika

internet digunakan dalam hal kejahatan dengan maksud untuk merugikan

orang lain, maka internet bisa menjadi alat dalam perbuatan kejahatan

tersebut, sehingga internet memiliki sisi positif maupun sisi negatif

tergantung pengguna internetnya.

Kemajuan teknologi informasi (internet) dan segala bentuk manfaat

di dalamnya membawa konsekuensi negatif tersendiri di mana semakin

mudahnya para penjahat untuk melakukan aksinya yang semakin merisaukan

masyarakat. Penyalahgunaan yang terjadi dalam cyber space inilah yang

5 Maskun, Kejahatan Siber (Cyber crime) Suatu Pengantar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2013),

(12)

kemudian dikenal dengan cyber crime atau dalam literatur lain digunakan

istilah computer crime.6

Namun perbedaan antara cyber crime dengan computer crime adalah

dari objeknya computer crime hanyalah perbuatan melawan hukum dengan

alat yang berupa komputer sebagai sarana dan juga objek dalam melakukan

perbuatannya itu, di mana perbuatannya merugikan orang lain. Sedangkan

cyber crime adalah sama seperti computer crime, hanya saja dalam cyber

crime dibutuhkan perangkat telekomunikasi berupa internet.

Pengertian antara kejahatan komputer (computer crime) atau

kejahatan dunia maya (cyber crime) secara universal adalah upaya memasuki

dan atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa izin

dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan

atau tanpa kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan

tersebut.7

Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang

berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi (internet) dalam beberapa

literatur dan prakteknya dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:8

1. Unauthorized access to computer system and service, yaitu kejahatan

yang dilakukan ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak

6 Ibid., 47.

7 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi,

(Bandung: PT Refika Aditama, 2009),8.

(13)

sah, tanpa izin, atau tanpa pengetahuan dari pemilik sistem jaringan

komputer yang dimasukinya.

2. Illegal contents, yaitu kejahatan dengan memasukkan data atau

informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis,

dan dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.

3. Data forgery, yaitu kejahatan dengan memalsukan data pada

dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless

document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada

dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi

“salah ketik” yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku. 4. Cyber espionage, yaitu kejahatan yang memanfaatkan jaringan

internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain,

dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network

system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap

saingan bisnis yang dokumen ataupun data-data pentingnya

tersimpan dalam suatu sistem komputerisasi.

5. Cyber sabotage and extortion, yaitu kejahatan yang dilakukan

dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap

suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang

tersambung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan

dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer atau suatu

program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem

(14)

sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki

oleh pelaku.

6. Offence against intellectual property, yaitu kejahatan yang ditujukan

terhadap hak kekayaan intelektual yang dimiliki seseorang di internet.

Sebagai contoh adalah peniruan tampilan web page suatu situs milik

orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di internet yang

ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.

7. Infringements of privacy, yaitu kejahatan yang ditujukan terhadap

informasi yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia.

Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi

seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan

secara komputerisasi, yang apabila diketahui oleh orang lain, maka

dapat merugikan orang secara materiil maupun imateriil, seperti

nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, keterangan tentang cacat atau

penyakit tersembunyi, dan sebagainya.

Di berbagai literatur, cyber crime dideteksi dari dua sudut pandang,

yaitu:9

1. Kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai fasilitas:

pembajakan, pornografi, pemalsuan/pencurian kartu kredit, penipuan

lewat email (fraud), email spam, perjudian online, pencurian account

internet, terorisme, isu sara, situs yang menyesatkan, dan sebagainya.

(15)

2. Kejahatan yang menjadikan sistem teknologi informasi sebagai

sasaran: pencurian data pribadi, pembuatan/penyebaran virus

komputer, pembobolan/pembajakan situs, cyberwar, denial of

Service (DOS), kejahatan berhubungan dengan nama domain, dan

sebagainya.

Cyber crime adalah jenis tindak pidana yang sulit dideteksi. Tidak

seperti kejahatan konvensional biasa, korban kejahatan pada umumnya tidak

menyadari bahwa ia telah menjadi korban, umumnya mereka tidak

melaporkan karena beranggapan bahwa hukum yang ada belum menjerat

pelaku, kurangnya pengetahuan aparat hukum mengenai perkembangan

teknologi sehingga kurang dapat mengantisipasi perkembangan kejahatan ini,

juga karena menganggap pembuktian telah terjadi kejahatan di depan

pengadilan sangatlah sulit.10

Cyber crime dalam kategori infringements of privacy pernah terjadi

di Indonesia, yaitu tindak kejahatan penipuan dengan menggunakan email

palsu atau situs website palsu yang bertujuan untuk mengelabui user sehingga

pelaku bisa mendapatkan data pribadi user seperti username, PIN, nomor

rekening bank, atau nomor kartu kredit secara tidak sah. Kejahatan seperti ini

dikenal dengan istilah phising.

Phising adalah tindakan memperoleh informasi pribadi seperti user

ID, PIN, nomor rekening bank, atau nomor kartu kredit anda secara tidak sah.

10 Niniek Suparni, Cyberspace Problematika dan Antisipasi Pengaturannya, (Jakarta:Sinar Grafika,

(16)

Informasi ini kemudian akan dimanfaatkan oleh pihak penipu untuk

mengakses rekening, melakukan penipuan kartu kredit, atau memandu

nasabah untuk melakukan transfer ke rekening tertentu dengan iming-iming

hadiah.11

Dalam hal cyber crime dalam bentuk phising ini pernah terjadi di

Indonesia, yaitu kasus perusakan fasilitas Internet Banking Bank Central Asia

(BCA) pada situs www.klikbca.com dengan cara melahirkan lima nama situs

pelesetan yang mirip situs aslinya, adapun nama situs pelesetan yang dibuat

hacker yaitu kilkbca.com, wwwklikbca.com, clikbca.com, klickbca.com dan

klikbac.com. sehingga apabila nasabah yang menggunakan fasilitas Internet

Banking BCA salah mengetik nama situsnya (klikbca.com) seperti lima nama

situs pelesetan tersebut, yang terjadi adalah nasabah akan dibawa pada situs

palsu buatan hacker tadi, selanjutnya si nasabah pun tak bisa bertransaksi,

sementara Personal Identification Number (PIN) milik nasabah terekam di

situs palsu tersebut.12

Kasus cyber crime dalam bentuk phising yang terbaru adalah

pencurian yang dilakukan oleh seorang hacker yang berasal dari Ukraina,

hacker tersebut berhasil mengambil uang senilai 130 miliar rupiah dari 300

rekening nasabah bank di Indonesia.13 Di mana hacker tersebut melakukan

11 Vyctoria, Bongkar Rahasia E-Banking Security dengan Teknik Hacking dan Carding,

(Yogyakarta:CV Andi Offset, 2013), 122.

12Majalah Tempo, “Rubrik Teknologi Informasi”, (24 Juni 2001) dikutip dari Dikdik M. Arief

Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law..., 88.

13Idr, “HackerSedot Rp 130 Miliar dari Rekening 300 Nasabah”, Jawa Pos, (14 April 2015), hlm

(17)

kejahatannya dengan cara memanipulasi website internet banking, sehingga

pengguna aplikasi yang login pada website internet banking palsu ini,

transaksi yang dilakukan oleh nasabah tidak sesuai dengan yang diinginkan

oleh nasabah, melainkan diarahkan kepada rekening orang lain yang telah

bekerja sama dengan hacker, karena hacker berasal dari luar negeri sehingga

tidak dapat membuka rekening Indonesia.

Untuk mendapatkan korbannya, banyak cara digunakan dan hal ini

biasanya terus berkembang sesuai dengan perkembangan yang ada di dalam

dunia internet. Beberapa metode yang populer digunakan adalah:14

1. Email / SPAM

Media yang paling favorit digunakan untuk mencari korban adalah

email. Email dipilih karena murah dan mudah untuk digunakan.

Pelaku bisa mengirimkan jutaan email setiap harinya tanpa perlu

mengeluarkan biaya yang cukup besar. Bahkan pelaku phising juga

suka menggunakan server-server bajakan untuk melakukan aksinya.

2. Web-based Delivery

Pelaku phising juga memanfaatkan website dalam melakukan

aksinya. Pelaku biasanya membuat website yang mirip dengan

website-website terkenal untuk mengelabui korbannya. Membuat

website yang mirip dengan website perusahaan besar sangatlah

mudah untuk dilakukan karena pelaku hanya perlu membuat tampilan

yang sama, tanpa perlu membuat fungsi atau fasilitas yang sama

(18)

karena tujuannya adalah agar korban memasukkan username dan

password di dalamnya kemudian korban akan dibawa ke situs asli

agar tidak curiga.

3. IRC / Instant Messaging

Media chatting yang banyak digunakan juga menjadi sasaran pelaku

phising untuk mengirimkan alamat-alamat yang menjebak kepada

korbannya. Biasanya pelaku mengirimkan link ini secara acak namun

ada juga yang melakukan pendekatan terlebih dahulu sebelum

mengirimkan informasi situs palsu ini.

4. Trojan

Pelaku phising, terkadang juga menipu korbannya agar menginstall

trojan dan memanfaatkan trojan tersebut untuk mengelabui

korbannya. Trojan memungkinkan pengontrolan secara penuh

komputer korban sehingga korban bisa dialihkan ke situs yang telah

disediakan jebakan.

Dalam hal cyber crime dalam bentuk phising seperti kasus-kasus di

atas tadi, bentuk kejahatan tersebut adalah penipuan dengan menggunakan

komputer sebagai alat dalam melakukan aksi kejahatannya.

Membahas masalah aturan hukum cyber crime yang ada di Indonesia,

saat ini telah ada aturan perundang-undangan yang mengatur khusus tentang

cyber crime yaitu Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik. Adapun perbuatan phising ini secara implisit diatur

(19)

Salah satu Pasal undang-undang tersebut di Bab XI tentang

ketentuan pidana, Pasal 45 ayat (2) menyebutkan “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2)

dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1

miliar rupiah”.

Dalam hukum pidana Islam, pelaku tindak pidana (jari>mah) dihukum

sesuai dengan adanya aturan, karena ada kaidah bahwa “tidak ada jari>mah (tindak kejahatan) dan tidak ada hukuman tanpa adanya nas} (aturan)” kaidah ini seperti asas legalitas yang ada dalam KUHP Pasal 1 ayat (1). 15

Dalam Alquran juga dijelaskan mengenai asas legalitas ini, dalam

surat al-Qashash ayat 59:

اَمَو

َ ق ۡ ُم َ ُبَر َن ََ

ىَرُ ۡلٱ

ۡ ق ۡيَ َع ْا ُ ۡ َي مٗ ُسَر اَ قكمُث ٓ قِ َ َعۡبَي ىََح

قِق ۡ ُم اىن

ُك اَمَو ۚاَنق َياَء

ىَرُ ۡلٱ

َن ُمق َظ اَ ُ ۡه

َ

ثَو

ٗقإ

ى

٩

Artinya: Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.

Hukuman dalam hukum pidana Islam bila ditinjau dari segi terdapat

atau tidak terdapat nas}nya dalam Alquran dan Hadis, dapat dibagi menjadi

dua:16

15 A. Djazuli, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jina>ya>h), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 52.

16 A. Djazuli, Fiqh Jina>ya>h (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT

(20)

1. Hukuman yang ada nas}nya, yaitu h}udu>d, qis}a>s}, dan kafa>rat. Misalnya,

hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pembunuh, dan orang yang

mendhihar istrinya.

2. Hukuman yang tidak ada nas}nya, hukuman ini disebut dengan

hukuman ta’zi>r, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, saksi palsu dan melanggar aturan lalu lintas.

Cyber crime dalam bentuk phising ini adalah identik dengan

perbuatan penipuan tradisional, hanya yang membedakan adalah phising

menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi dalam melakukan

kejahatannya. Sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak ada nas} yang

menjelaskan hukuman bagi kejahatan phising tersebut.

Perbuatan phising yang identik dengan penipuan tersebut jika

dikaitkan dengan pencurian adalah serupa tetapi tidak sama dengan

pencurian.17 Adapun persamaan kedua perbuatan tersebut yaitu pengambilan

harta milik orang lain serta memiliki itikad jahat untuk memiliki barang

tersebut. Sedangkan perbedaannya yaitu penipuan dalam pengambilan harta

tersebut tidak diambil secara diam-diam, sedangkan dalam unsur pencurian

harus dengan cara diam-diam. Karena penipuan tersebut mengambil hak orang

lain secara licik dengan cara menipu korbannya agar memberikan hartanya

kepada pelaku secara tidak disadarinya, sehingga orang lain tersebut

menderita kerugian.

(21)

Abdul Qadir Audah menjelaskan bahwa sesungguhnya unsur penting

dalam jari>mah pencurian adalah mengambil (sesuatu) dengan cara

sembunyi-sembunyi, sedangkan mengambil (sesuatu) bukan dari tempat

penyimpanannya tidak perlu sembunyi-sembunyi sehingga unsur terpenting

dalam pencurian tidak terealisasi apabila tidak dapat diambil dari tempat

penyimpanannya.18 Sehingga apabila salah satu syarat atau rukun tidak

terpenuhi maka hukuman potong tangan harus dibatalkan dan dialihkan

kepada hukum ta’zi>r.

Dalam tindakan phising, cara mengambil hak orang lain dengan

mengelabui user, sehingga pelaku phising bisa mendapatkan data pribadi user

tersebut seperti PIN, nomor rekening, nomor kartu kredit dan sebagainya

karena user menjadi korban penipuan. Sehingga tindakan phising berbeda

dengan pencurian, yang mana dalam pencurian harus mengambil secara

diam-diam harta seseorang di dalam tempat penyimpanannya.

Dari berbagai pemaparan di atas, penulis ingin mengkaji terhadap

perspektif hukum pidana Islam mengenai sanksi hukum dalam

Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

terhadap pelaku cyber crime dalam bentuk phising. Karena perbuatan phising

ini tidak hanya merugikan individu saja, melainkan juga merugikan

masyarakat umum dikarenakan banyak yang tidak mengetahui pola kejahatan

seperti ini.

(22)

B. Identifikasi Masalah

Dalam hal mengenai perspektif hukum pidana Islam, masalah tindak

pidana cyber crime masih bersifat umum, oleh karena itu yang menjadi

perhatian dalam penulisan skripsi ini adalah yang berkaitan dengan cyber

crime dalam bentuk phising.

Adapun identifikasi masalah yang ada dalam latar belakang masalah

adalah sebagai berikut:

1. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mengakibatkan dunia

menjadi tanpa batas (borderless).

2. Penyalahgunaan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi

(internet) mengakibatkan munculnya kejahatan baru, yaitu cyber

crime.

3. Bermacam-macam bentuk cyber crime yang erat dengan penggunaan

teknologi.

4. Cyber crime adalah jenis tindak pidana yang sulit untuk dideteksi.

5. Masyarakat beranggapan bahwa hukum yang ada belum mampu

menjerat pelaku cyber crime dan juga umumnya masyarakat tidak

melaporkan kejahatan cyber crime.

6. Kurangnya pengetahuan aparat hukum mengenai perkembangan

teknologi, sehingga penegak hukum kesulitan dalam hal pembuktian.

7. Kasus cyber crime dalam bentuk phising terjadi di Indonesia.

8. Berbagai teknik melakukan kejahatan cyber crime dalam bentuk

(23)

9. Aturan hukum untuk cyber crime yaitu Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

10.Dalam hukum pidana Islam, tidak ada nas} Alquran dan Hadis yang

menjelaskan sanksi kejahatan cyber crime dalam bentuk phising.

C. Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Cara melakukan kejahatan cyber crime dalam bentuk phising.

2. Ketentuan hukum terhadap kejahatan cyber crime dalam bentuk

phising Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

3. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap kejahatan cyber crime dalam

bentuk phising menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dalam penulisan skripsi ini

penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana cara melakukan kejahatan cyber crime dalam bentuk

phising ?

2. Bagaimana ketentuan hukum terhadap kejahatan cyber crime dalam

bentuk phising menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

(24)

3. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap kejahatan cyber

crime dalam bentuk phising menurut Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini pada intinya untuk mendapatkan gambaran dari

hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian yang pernah dilakukan

sebelumnya, sehingga tidak terjadi duplikasi dari penelitian yang ada.

Sudah ada beberapa buku yang menjelaskan permasalahan cyber

crime, di antaranya:

1. “Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar”, karangan Maskun.

2. “Cyberlaw Aspek Hukum Teknologi Informasi”, karangan Dikdik M.

Arief Mansur dan Elisatris Gulton.

3. “Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia”, karangan Ahmad M. Ramli.

4. “Indonesia di Era Dunia Maya Teknologi Informasi dalam Dunia

Tanpa Batas”, karangan Andi Abdul Muis.

5. “Cyberlaw, Tidak Perlu Takut”, karangan Merry Magdalena dan Maswigrantoro Roes Setiyadi.

6. “Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi

Pengaturan dan Celah Hukumnya”, karangan Budi Suhariyanto.

(25)

8. “Cyberspace Problematika dan Antisipasi Pengaturannya”, karangan Niniek Suparni.

Adapun penelitian dari beberapa mahasiswa UIN Sunan Ampel

Surabaya yang berkaitan dengan cyber crime adalah sebagai berikut:

Skripsi yang disusun oleh Khuzaimatus Sholikha yang berjudul

“Hacking Komputer dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam” membahas bagaimana perspektif hukum pidana dan hukum Islam terhadap

hacking komputer, kesimpulannya adalah hacking komputer yang merupakan

akses atau memasuki suatu sistem komputer tanpa izin dari pemiliknya dapat

mengakibatkan kerugian kepada pengguna internet maupun pemilik situs

komputer. dalam penelitian tersebut hacking komputer dijerat dengan Pasal

22 jo. 40 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 dengan ketentuan pidana yang

diatur dalam Pasal 50 jo. Pasal 56 UU No. 36 Tahun 1999 tentang

Telekomunikasi. Sedangkan dalam hukum pidana Islam dikenai hukuman

ta’zi>r karena sanksinya bukan ditentukan oleh Alquran dan Hadis melainkan

ditentukan oleh Ulil Amri.

Skripsi selanjutnya berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam

Terh}adap Cyber Crime dalam Bentuk Spam” yang disusun oleh Muchammad Nashir, dalam penelitiannya membahas bagaimana tinjauan hukum Islam dan

sanksi hukum terhadap cyber crime dalam bentuk spam, kesimpulan dari

penelitian tersebut bahwa yang dimaksud spam adalah pengiriman berita

elektronik untuk menampilkan berita iklan dan keperluan lainnya yang

(26)

cyber crime dalam bentuk spam ini dijerat dengan Pasal 35 jo. Pasal 51 ayat

(1) UU ITE No. 11 Tahun 2008. Sedangkan sanksi pidana ditinjau dari hukum

Islam maka dapat dikategorikan kepada ta’zi>r atas pelanggaran-pelanggaran.

Skripsi yang ketiga adalah milik Sylviani yang berjudul “Studi

Komparasi Hukum Pidana Islam dan KUHP Pasal 362 tentang Tindak Pidana

Carding”. Dalam penelitian tersebut menjelaskan mengenai carding dan sanksi hukumnya menurut hukum pidana Islam dan KUHP. Bahwa yang

dimaksud carding adalah aktivitas jual beli melalui internet yang sistem

pembayarannya dengan menggunakan kartu kredit orang lain. Sedangkan

sanksi hukumnya menurut hukum pidana Islam, tindakan carding disamakan

dengan sariqah karena unsur-unsur yang ada pada sariqah terdapat pula pada

carding. Lalu dalam KUHP, tindak pidana carding disamakan dengan

pencurian pokok atau pencurian biasa karena unsur-unsur yang terdapat pada

pencurian juga terdapat pada carding dan dikenakan Pasal 362 KUHP.

Dari kajian pustaka di atas, yang membedakan dengan penulisan

skripsi ini adalah membahas bagaimana pandangan hukum pidana Islam

terhadap sanksi hukum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap tindakan cyber crime dalam

bentuk phising. Di mana phising ini adalah penipuan dengan menggunakan

website palsu yang menyerupai aslinya dengan tujuan mendapatkan data

pribadi dari korbannya seperti username, PIN, nomor kartu kredit, password

(27)

F. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi, meliputi hal-hal

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui cara melakukan kejahatan cyber crime dalam

bentuk phising.

2. Untuk mengetahui ketentuan hukum terhadap kejahatan cyber crime

dalam bentuk phising menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

3. Untuk mengetahui perspektif hukum pidana Islam terhadap

kejahatan cyber crime dalam bentuk phising menurut

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.

G. Kegunaan Hasil Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini dapat diharapkan mempunyai

nilai kegunaan baik dari segi teoretis maupun praktis sebagai berikut:

1. Dari segi teoretis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang

teknologi informasi dan hukum yang berkaitan dengan

kejahatan dunia maya (cyber crime) dalam bentuk phising.

2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat menambah

pemahaman masyarakat terhadap kejahatan dunia maya

(28)

itu, diharapkan dapat menjadi pertimbangan hukum bagi para

penegak hukum ketika ada perkara cyber crime dalam bentuk

phising, sehingga dapat menjamin pelaku cyber crime

mendapat hukuman yang semestinya.

H. Definisi Operasional

Untuk memperjelas dan menghindari terjadinya

kesalahpahaman dalam menafsirkan kata-kata yang ada dalam

pembahasan penulisan skripsi, maka penulis memandang perlu untuk

memberikan penjelasan dalam memahami judul “Cyber Crime dalam Bentuk Phising dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Menurut Perspektif

Hukum Pidana Islam”. Adapun yang dimaksud dengan:

1. Hukum Pidana Islam adalah terjemahan dari kata fikih jina>ya>h, dalam

skripsi ini menjelaskan khusus kepada jari>mah ta’zi>r, yaitu jari>mah yang diancam dengan hukuman ta’zi>r (istilah untuk hukuman atas jari>mah - jari>mah yang hukumannya belum ditentukan oleh shara’). 2. Cyber crime adalah tindak kriminal yang dilakukan dengan

menggunakan teknologi komputer sebagai alat kejahatan utama, di

mana kejahatan ini memanfaatkan perkembangan teknologi

komputer khususnya internet.19

19 Roniamardi, “definisi cybercrime++”, dalam

(29)

3. Phising (Password Harvesting Fishing) adalah tindakan penipuan

yang menggunakan email palsu atau situs website palsu yang

bertujuan untuk mengelabui user sehingga pelaku bisa mendapatkan

data pribadi user tersebut seperti PIN, nomor rekening, nomor kartu

kredit dan sebagainya.20

I. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan adalah data yang terkait dengan

tindak pidana cyber crime dalam bentuk phising,

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik dan hukum pidana Islam beserta ketentuan-ketentuan

pidananya.

2. Sumber Data

Penulisan skripsi ini merupakan hasil dari kajian pustaka.

Oleh sebab itu data yang digunakan adalah:

a. Sumber data primer, yaitu Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Sumber data sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh

dari kitab-kitab atau bahan bacaan lain yang memiliki

keterkaitan dengan bahan skripsi, yaitu fikih jina>ya>h dari

Ahmad Djazuli, CEH (Certified Ethical Hacker) 400%

(30)

Illegal, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya. Dan buku-buku lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

c. Sumber data tersier (penunjang), yaitu bahan hukum yang menunjang dengan pembahasan skripsi, yaitu koran Jawa Pos dan sumber dari internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah telaah kepustakaan (Selected Bibliografie

Technique) yaitu metode pengumpulan data dengan cara

mempelajari, memahami buku-buku, peraturan

perundang-undangan serta karya tulis ilmiah lainnya yang berhubungan

dengan tindak pidana cyber crime dalam bentuk phising.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teknik deskriptif analisis, yaitu teknik analisis dengan

cara menjabarkan data sesuai apa adanya, dalam penelitian ini

adalah tindak pidana cyber crime dalam bentuk phising dan

menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, selanjutnya di analisis

dengan hukum pidana Islam, menggunakan pola pikir deduktif,

(31)

yaitu hukum pidana Islam, lalu ditarik kepada fakta-fakta

tentang cyber crime dalam bentuk phising menurut

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik, selanjutnya ditarik kepada kesimpulan yang bersifat

khusus menurut hukum pidana Islam.

J. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi 5 (lima) bab secara

sistematis, yaitu:

Bab I tentang Pendahuluan yang terdiri dari, Latar Belakang,

Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan

Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode

Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab II tentang landasan teori yang berisi tentang tinjauan umum

terhadap jari>mah ta’zi>r yang memuat pengertian jari>mah ta’zi>r, unsur-unsur jari>mah ta’zi>r, macam-macam jari>mah ta’zi>r dan hukuman jari>mah ta’zi>r.

Bab III tentang cyber crime dalam bentuk phising dan sanksi

hukumnya. Dalam bab ini akan menerangkan tentang pengertian cyber crime,

cyber crime dalam bentuk phising, metode dan teknik serangan phising,

contoh kasus cyber crime dalam bentuk phising di Indonesia, dan cyber crime

dalam bentuk phising dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

(32)

Bab IV tentang analisis terhadap cyber crime dalam bentuk phising

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik perspektif hukum pidana Islam, memuat tentang analisis

cara melakukan kejahatan cyber crime dalam bentuk phising, analisis

ketentuan hukum terhadap cyber crime dalam bentuk phising dalam

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

dan analisis hukum pidana Islam terhadap cyber crime dalam bentuk phising

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.

(33)

25 A. Pengertian Jari>mah Ta’zi>r

Ta’zi>r menurut bahasa berasal dari kata ‘azzara yang mempunyai persamaan kata dengan mana’a wa radda yang artinya mencegah dan menolak; addaba yang artinya mendidik; az}z}ama wa waqqara yang artinya

mengagunkan dan menghormati; dan a’a>na wa qawwa> wa nas}ara yang artinya membantunya, menguatkan dan menolong.1

Dari keempat pengertian di atas, yang lebih relevan adalah pengertian

addaba (mendidik) dan mana’a wa radda (mencegah dan menolak)2 karena

ta’zi>r juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan

ta’zi>r karena hukuman tersebut sebenarnya untuk mencegah dan menghalangi

orang yang berbuat jari>mah3 tersebut untuk tidak mengulangi kejahatannya

lagi dan memberikan efek jera.4

Kata ta’zi>r lebih populer digunakan untuk menunjukkan arti memberi pelajaran dan sanksi hukuman selain hukuman h}ad. Sedangkan menurut shara’,

ta’zi>r adalah hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk kemaksiatan

atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman h}ad dan tidak pula

kafa>rat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah seperti makan pada siang hari

1 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 248. 2 Ibid.

3 Jarimah (tindak pidana) adalah segala larangan shara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau

meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukum h}ad atau ta’zi>r. (Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah. 11.)

4 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT

(34)

pada bulan Ramadan tanpa ada uzur, meninggalkan salat menurut jumhur

ulama, riba. Maupun kejahatan adami>, seperti mencuri dengan jumlah curian

yang belum mencapai nisab pencurian, pencurian tanpa mengandung unsur

al-hirzu (harta yang dicuri tidak pada tempat penyimpanan yang semestinya),

korupsi, pencemaran dan tuduhan selain zina dan sebagainya.5

Dalam hal ini Imam al-Mawardi menjelaskan bahwa ta’zi>r (sanksi disiplin) adalah menjatuhkan ta’zi>r terhadap dosa-dosa yang di dalamnya tidak terdapat h}udu>d6 (hukuman shar’i).7

adapun perbedaan antara jari>mah h}udu>d dan jari>mah ta’zi>r adalah sebagai berikut:8

1. Dalam jari>mah h}udu>d, tidak ada pemaafan, baik oleh perorangan

maupun ulil amri (pemerintah). Bila seseorang telah melakukan

jari>mah h}udu>d dan terbukti di depan pengadilan, maka hakim hanya

bisa menjatuhkan sanksi yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam

jari>mah ta’zi>r, kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan maupun oleh ulil amri, bila hal itu lebih maslahat.

2. Dalam jari>mah ta’zi>r hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi dan tempat

5 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, (Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), jilid 7, (Jakarta: Gema Insani,

2007), 523.

6 Hudud (hukuman shar’i) adalah zawajir (pencegahan-pencegahan) yang disiapkan Allah untuk

menghalangi terjadinya kasus pelanggaran terhadap sesuatu yang dilarang Allah dan meninggalkan (tidak mengerjakan) apa yang diperintahkan-Nya untuk dikerjakan. (Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. 362.)

(35)

kejahatan. Sedangkan dalam jari>mah h}udu>d yang diperhatikan oleh

hakim hanyalah kejahatan material.

3. Pembuktian jari>mah h}udu>d dan qis}a>s} harus dengan sanksi atau

pengakuan, sedangkan pembuktian jari>mah ta’zi>r sangat luas kemungkinannya.

4. Hukuman h}ad maupun qis}a>s} tidak dapat dikenakan kepada anak kecil,

karena syarat menjatuhkan h}ad si pelaku harus sudah balig,

sedangkan ta’zi>r itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil itu boleh.

B. Unsur-Unsur Jari>mah Ta’zi>r

Suatu perbuatan dianggap jari>mah apabila unsur-unsurnya telah

terpenuhi. Unsur-unsur ini dibagi menjadi dua, yaitu unsur umum dan unsur

khusus. Unsur umum adalah unsur yang dianggap sebagai tindak pidana

berlaku pada semua jari>mah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk

masing-masing jari>mah dan berbeda antara jari>mah yang satu dengan yang

lain.9

Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk

jari>mah itu ada tiga macam, yaitu:10

9 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam:Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2004), 27.

(36)

1. Unsur formal, yaitu adanya nas} (ketentuan) yang melarang perbuatan

dan mengancamnya dengan hukuman. Contohnya dalam surah

al-Maidah: 38

ُ قِرا َسلٱَو

َُُو

ُِرا َسلٱ

ُ َق

َُُف

ُ آ ع َطۡقٱ

ُ

َُ ِ مُ

ٰٗ َكَنُاَ َسَكُاَ ِبَُۢء

ا

ٓاَزَجُاَ َيِدۡيَأ

ُهَِلٱ

َُُو

ٱ

ُ َل

ُ

ُٞميِكَحٌُزيِزَع

٨

ُ

ُ

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

2. Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jari>mah,

baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat

(negatif). Contohnya dalam jari>mah zina unsur materiilnya adalah

perbuatan yang merusak keturunan, dalam jari>mah qadhaf unsur

materiilnya adalah perkataan yang berisi tuduhan zina.

3. Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni

orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana

yang dilakukannya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tindak pidana yang

tidak ditentukan sanksinya oleh Alquran maupun Hadis disebut sebagai

jari>mah ta’zi>r. Contohnya tidak melaksanakan amanah, menggelapkan harta, menghina orang, menghina agama, menjadi saksi palsu, dan suap.11

(37)

Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam hukuman ta’zi>r diberlakukan terhadap setiap bentuk kejahatan yang tidak ada ancaman hukuman h}ad dan

kewajiban membayar kafa>rat di dalamnya, baik itu berupa tindakan

pelanggaran terhadap hak Allah SWT maupun pelanggaran terhadap hak

individu (adami>).12

Adapun menurut Ahmad Wardi Muslich bahwa jari>mah ta’zi>r terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman h}ad maupun

kafa>rat. Pada intinya, jari>mah ta’zi>r ialah perbuatan maksiat.13

Menurut Ibnul Qayyim perbuatan maksiat ini dibagi menjadi tiga,

yaitu:14

1. Perbuatan maksiat yang pelakunya diancam dengan hukuman h}ad

tanpa ada kewajiban membayar kafa>rat, seperti pencurian,

menenggak minuman keras, zina dan qadhaf. Sehingga dengan

adanya hukuman h}ad tersebut, maka hukuman ta’zi>r sudah tidak diperlukan lagi.

2. Perbuatan maksiat yang pelakunya hanya terkena kewajiban

membayar kafa>rat saja, tidak sampai terkena hukuman h}ad, seperti

melakukan koitus (persetubuhan) di siang hari bulan Ramadan

menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, kebalikan dari pendapat ulama Hanafiyyah dan Malikiyah, juga seperti melakukan koitus

pada saat berihram.

(38)

3. Perbuatan maksiat yang pelakunya tidak dikenakan ancaman

hukuman h}ad dan tidak pula terkena kewajiban membayar kafa>rat,

seperti mencium perempuan asing, mengonsumsi darah dan babi, dan

sebagainya. Bentuk kemaksiatan ketiga inilah pelaku dapat

dikenakan hukuman ta’zi>r.

Para ulama juga memberi contoh perbuatan maksiat yang pelakunya

tidak bisa dikenai ta’zi>r, seperti seseorang yang memotong jari sendiri. Pemotongan jari sekalipun milik sendiri itu jelas suatu maksiat, namun tidak

dapat dikenakan ta’zi>r kepada pelakunya sebab tidak mungkin dilaksanakan qis}a>s}. Sesungguhnya dalam kasus tersebut tidak ada halangan untuk

dilaksanakan ta’zi>r, karena pelaku telah menyia-nyiakan diri sendiri, padahal menjaga diri sendiri adalah wajib hukumnya.15

Adapun syarat supaya hukuman ta’zi>r bisa dijatuhkan adalah hanya syarat berakal saja. Oleh karena itu, hukuman ta’zi>r bisa dijatuhkan kepada setiap orang yang berakal yang melakukan suatu kejahatan yang tidak

memiliki ancaman hukuman h}ad, baik laki-laki maupun perempuan, muslim

maupun kafir, balig atau anak kecil yang sudah berakal (mumayyiz). Karena

mereka semua selain anak kecil adalah termasuk orang yang sudah memiliki

kelayakan dan kepatutan untuk dikenai hukuman. Adapun anak kecil yang

sudah mumayyiz, maka ia di ta’zi>r, namun bukan sebagai bentuk hukuman, akan tetapi sebagai bentuk mendidik dan memberi pelajaran.16

(39)

Wahbah az-Zuhaili yang mengutip dari Raddul Muhtaar memberikan

ketentuan dan kriteria dalam hukuman ta’zi>r yaitu setiap orang yang melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak (tanpa

alasan yang dibenarkan) baik dengan ucapan, perbuatan atau isyarat, baik

korbannya adalah seorang muslim maupun orang kafir.17

Sedangkan ruang lingkup dalam ta’zi>r yaitu sebagai berikut:18

1. Jari>mah h}udu>d atau qis}a>s} diyat yang terdapat syubhat dialihkan ke

sanksi ta’zi>r. Adapun mengenai syubhat, didasarkan atas hadis berikut:

تاحبشااب دودحْلا اوءرْدا

Artinya: Hindarkanlah h}ad, jika ada syubhat. (HR. AL-Baihaqi)

2. Jari>mah h}udu>d atau qis}a>s} diyat yang tidak memenuhi syarat akan

dijatuhi sanksi ta’zi>r. Contohnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan dan percobaan zina.

3. Jari>mah yang ditentukan Alquran dan Hadis, namun tidak ditentukan

sanksinya. Misalnya penghinaan, tidak melaksanakan amanah, saksi

palsu, riba, suap, dan pembalakan liar.

4. Jari>mah yang ditentukan ulil amri untuk kemaslahatan umat, seperti

penipuan, pencopetan, pornografi dan pornoaksi, penyelundupan,

pembajakan, human trafficking, dan sebagainya.

17 Ibid., 532.

(40)

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang

ada dalam jari>mah ta’zi>r adalah setiap bentuk kejahatan (maksiat) yang tidak ada ancaman hukuman h}ad dan kewajiban membayar kafa>rat di dalamnya,

perbuatan jari>mah h}udu>d atau qis}a>s} yang unsurnya tidak terpenuhi, dan

melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak

(meresahkan masyarakat umum).

C. Macam-Macam Jari>mah Ta’zi>r

Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dilihat dari hak

yang dilanggar dalam jari>mah ta’zi>r ada dua bagian, yaitu jari>mah ta’zi>r yang menyinggung hak Allah dan jari>mah ta’zi>r yang menyinggung hak individu (adami>).

Yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak Allah

adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Seperti

membuat kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian, perzinaan,

pemberontakan dan tidak taat kepada ulil amri. Sedangkan yang dimaksud

dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak individu adalah segala sesuatu

yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia, seperti tidak

membayar utang dan penghinaan.19

Akan tetapi, ada ulama yang membagi kedua jari>mah ini menjadi dua

bagian lagi, yakni jari>mah yang berkaitan dengan campur antara hak Allah dan

hak individu di mana yang dominan adalah hak Allah, seperti menuduh zina.

(41)

Dan campur antara hak Allah dan hak individu di mana yang dominan adalah

hak individu, seperti jari>mah pelukaan.20

Dari segi sifatnya, jari>mah ta’zi>r dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:21

1. Ta’zi>r karena melakukan perbuatan maksiat.

2. Ta’zi>r karena melakukan perbuatan yang membahayakan

kepentingan umum.

3. Ta’zi>r karena melakukan pelanggaran.

Jika dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zi>r juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:22

1. Jari>mah ta’zi>r yang berasal dari jari>mah-jari>mah h}udu>d atau qis}a>s}, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti

pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.

2. Jari>mah ta’zi>r yang jenisnya disebutkan dalam nas} shara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap, mengurangi

takaran dan timbangan.

3. Jari>mah ta’zi>r yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh shara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.

Adapun Abdul Aziz Amir membagi jari>mah ta’zi>r secara rinci kepada beberapa bagian, yaitu:

20 Ibid.

(42)

1. Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan pembunuhan

Dalam jari>mah pembunuhan itu diancam dengan hukuman

mati, dan bila qis}a>s}nya dimaafkan maka hukumannya adalah diyat

dan bila qis}a>s} dan diyatnya dimaafkan maka ulil amri berhak

menjatuhkan ta’zi>r bila hal itu dipandang lebih maslahat.23

Masalah lain yang diancam dengan ta’zi>r adalah percobaan pembunuhan, bila percobaan tersebut dapat dikategorikan ke dalam

perbuatan maksiat. Meskipun demikian, para ulama berbeda

pendapat tentang ketentuan ta’zi>rnya. Imam Malik dan Imam al-Laits berpendapat bahwa bila dalam kasus si pembunuh dimaafkan,

maka sanksinya adalah jilid seratus kali dan dipenjara selama satu

tahun. Itulah pendapat ahli Madinah yang berdasarkan riwayat dari

Umar.24

Pendapat yang mengatakan adanya ta’zi>r kepada pembunuh sengaja yang dimaafkan dari qis}a>s} dan diyat adalah aturan yang baik

dan membawa kemaslahatan. Karena pembunuhan itu tidak hanya

melanggar hak individu, melainkan juga melanggar hak masyarakat,

maka ta’zi>r itulah sebagai sanksi hak masyarakat. Jadi, sanksi ta’zi>r dapat dijatuhkan terhadap pembunuh di mana sanksi qis}a>s} tidak

dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi syarat.25

2. Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan pelukaan

23 Ibid., 256.

(43)

Menurut Imam Malik, hukuman ta’zi>r dapat digabungkan dengan qis}a>s} dalam jari>mah pelukaan, karena qis}a>s} merupakan hak

adami> (individu), sedangkan ta’zi>r sebagai imbalan atas hak masyarakat. Di samping itu ta’zi>r juga dapat dikenakan terhadap jari>mah pelukaan apabila qis}as{nya dimaafkan atau tidak bisa

dilaksanakan karena suatu sebab yang dibenarkan oleh shara’.26

Menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, ta’zi>r juga

dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan jari>mah pelukaan

dengan berulang-ulang (residivis), di samping dikenakan hukuman

qis}a>s}.27

3. Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak

Berkenaan dengan jari>mah ini yang terpenting adalah zina,

menuduh zina dan menghina orang. Di antara kasus perzinaan yang

diancam dengan ta’zi>r adalah perzinaan yang tidak memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi hukuman h}ad, atau terdapat syubhat dalam

pelakunya, perbuatannya atau tempatnya atau menzinai orang yang

telah meninggal.28

Termasuk jari>mah ta’zi>r adalah percobaan perzinaan/pemerkosaan dan perbuatan yang mendekati zina, seperti

mencium dan meraba-raba, meskipun demikian dengan tidak ada

26 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 256. 27 Ibid.

(44)

paksaan karena hukum Islam tidak memandangnya sebagai

pelanggaran terhadap hak individu. Akan tetapi juga, hal itu

dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak masyarakat, jelasnya

bukan delik aduan, melainkan delik biasa.29

Sedangkan penuduhan zina yang dikategorikan kepada

ta’zi>r adalah apabila orang yang dituduh itu bukan orang muh}s}an.

Kriteria muh}s}an menurut para ulama adalah berakal, balig, Islam, dan

iffah (bersih) dari zina. Dan termasuk juga kepada ta’zi>r yaitu penuduhan terhadap sekelompok orang yang sedang berkumpul

dengan tuduhan zina, tanpa menjelaskan orang yang dimaksud.

Demikian pula tuduhan dengan kinayah (sindiran), menurut pendapat

Imam Abu Hanifah termasuk kepada ta’zi>r, bukan h}udu>d.30

4. Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan harta

Jari>mah yang berkaitan dengan harta adalah jari>mah

pencurian dan perampokan. Apabila kedua jari>mah tersebut

syarat-syaratnya telah dipenuhi maka pelaku dikenakan hukuman h}ad.

Namun, apabila syarat untuk dikenakannya hukuman h}ad tidak

terpenuhi maka pelaku tidak dikenakan hukuman h}ad, melainkan

hukuman ta’zi>r. Jari>mah yang termasuk jenis ini antara lain seperti percobaan pencurian, pencopetan, pencurian yang tidak mencapai

batas nisab, melakukan penggelapan dan perjudian. Termasuk

29 Ibid., 181.

(45)

pencurian karena adanya syubhat, seperti pencurian oleh keluarga

dekat.31

Kasus perampokan dan gangguan keamanan yang tidak

memenuhi persyaratan hirabah juga termasuk jari>mah ta’zi>r, ada pula jari>mah ta’zi>r yang berupa gangguan atas stabilitas umat, seperti percobaan memecah belah umat, subversi, dan tidak taat kepada

pemerintah.32

5. Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan kemaslahatan individu

Jari>mah ta’zi>r yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain seperti saksi palsu, berbohong (tidak memberikan keterangan

yang benar) di depan sidang pengadilan, menyakiti hewan, melanggar

hak privacy orang lain (misalnya masuk rumah orang lain tanpa

izin).33

6. Jari>mah ta’zi>r yang berkaitan dengan keamanan umum

Jari>mah ta’zi>r yang termasuk dalam kelompok ini adalah sebagai berikut:34

a. Jari>mah yang mengganggu keamanan negara/pemerintah,

seperti spionase dan percobaan kudeta.

b. Suap.

31 Ibid.

32 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 184.

(46)

c. Tindakan melampaui batas dari pegawai/pejabat atau lalai

dalam menjalankan kewajiban, contohnya seperti penolakan

hakim untuk mengadili suatu perkara, atau

kesewenang-wenangan hakim dalam memutuskan perkara.

d. Pelayanan yang buruk dari aparatur pemerintah terhadap

masyarakat.

e. Melawan petugas pemerintah dan membangkang terhadap

peraturan, seperti melawan petugas pajak, penghinaan

terhadap pengadilan, dan menganiaya polisi.

f. Melepaskan narapidana dan menyembunyikan buronan

(penjahat).

g. Pemalsuan tanda tangan dan stempel.

h. Kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi, seperti

penimbunan bahan-bahan pokok, mengurangi timbangan

dan takaran, dan menaikkan harga dengan semena-mena.

D. Hukuman Jari>mah Ta’zi>r

Tujuan dari hukuman ta’zi>r atau sanksi ta’zi>r ialah sebagai preventif (sanksi ta’zi>r harus memberikan dampak positif bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama dengan terhukum) dan represif (sanksi ta’zi>r harus memberikan dampak positif bagi si terhukum sebagai efek jera agar

(47)

ta’zi>r memberikan dampak bagi terhukum untuk mengubah pola hidupnya untuk menjauhi perbuatan maksiat karena tidak senang terhadap kejahatan).35

Adapun macam-macam hukuman ta’zi>r cukup beragam, di antaranya adalah: Pertama sanksi ta’zi>r yang mengenai badan. Hukuman yang terpenting dalam hal ini adalah hukuman mati dan jilid; Kedua sanksi yang berkaitan

dengan kemerdekaan seseorang, sanksi yang terpenting dalam hal ini adalah

penjara dengan berbagai macamnya dan pengasingan; Ketiga sanksi ta’zi>r yang berkaitan dengan harta. Dalam hal ini yang terpenting di antaranya

adalah denda, penyitaan/perampasan dan penghancuran barang; Keempat

sanksi-sanksi lainnya yang ditentukan oleh ulil amri demi kemaslahatan

umum. 36

1. Hukuman ta’zi>r yang berkaitan dengan badan a. Hukuman mati

Dalam jari>mah ta’zi>r, hukuman mati diterapkan oleh para fukaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil

amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zi>r dalam jari>mah-jari>mah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati

apabila jari>mah tersebut berulang-ulang. Contohnya pencurian

yang berulang-ulang dan menghina Nabi Muhammad beberapa

kali yang dilakukan oleh kafir dhimmi walaupun setelah itu ia

masuk Islam.37

35 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 190. 36 Ibid., 192.

(48)

Selanjutnya kalangan Malikiyah dan sebagian Hanabilah

juga membolehkan hukuman mati sebagai sanksi ta’zi>r tertinggi. Sanksi ini diberlakukan bagi mata-mata (perbuatan spionase)

dan orang yang melakukan kerusakan di muka bumi. Demikian

juga dengan Syafi’iyah yang membolehkan hukuman mati,

dalam kasus homoseks. Selain itu hukuman mati juga boleh

diberlakukan dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang

menyimpang dari Alquran dan Sunnah.38

Adapun para fukaha juga mengatakan bahwa imam (ulil

amri) bisa mengambil kebijakan dengan menjatuhkan hukuman

mati terhadap seorang pencuri yang berulang kali melakukan

kejahatan pencurian (residivis) dan orang yang berulang kali

melakukan kejahatan pencekikan, karena ia berarti orang yang

berbuat kerusakan di muka bumi. Begitu juga dengan setiap

orang yang ancaman kejahatan dan kejelekannya tidak dapat

dicegah kecuali dibunuh, maka ia boleh dihukum mati sebagai

suatu kebijakan.39

Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan bahwa boleh

mengambil langkah kebijakan hukum dengan menjatuhkan

hukuman mati terhadap para residivis, pecandu minuman keras,

(49)

orang-orang yang mempropagandakan kerusakan dan kejelekan,

penjahat keamanan negara dan lain sebagainya.40

Sedangkan pendapat yang membolehkan hukuman mati

sebagai sanksi ta’zi>r tertinggi memiliki beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:41

1) Bila si terhukum adalah residivis, yang

hukuman-hukuman sebelumnya tidak memberi dampak apa-apa

baginya.

2) Harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya dampak

kemaslahatan bagi masyarakat serta pencegahan

kerusakan yang menyebar di muka bumi.

Kesimpulannya menurut para ulama hukuman mati itu

hanya diberikan bagi pelaku jari>mah yang berbahaya sekali, yang

berkaitan dengan jiwa, keamanan, dan ketertiban masyarakat

atau bila sanksi h}udu>d tidak lagi memberi pengaruh baginya.

b. Hukuman jilid (dera)

Hukuman cambuk (jilid/dera) cukup efektif dalam

memberikan efek jera terhadap pelaku jari>mah ta’zi>r. Hukuman ini dalam jari>mah h}udu>d telah jelas jumlahnya bagi pelaku

jari>mah zina ghairu muhs}an (zina yang dilakukan oleh orang

yang belum menikah) dan jari>mah qadhaf (menuduh orang

40 Ibid., 528.

(50)

berzina). Namun dalam jari>mah ta’zi>r, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan jumlah cambukan disesuaikan

dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan.42

Hukuman ini dikatakan efektif karena memiliki beberapa

keistimewaan dibandingkan hukuman lainnya, yaitu:43

1) Lebih menjerakan dan lebih memiliki daya represif,

karena dirasakan langsung secara fisik.

2) Bersifat fleksibel. Setiap jari>mah memiliki jumlah

cambukan yang berbeda-beda.

3) Berbiaya rendah. Tidak memerlukan dana besar dan

penerapannya sangat praktis.

4) Lebih murni dalam menerapkan prinsip bahwa sanksi ini

bersifat pribadi dan tidak sampai menelantarkan keluarga

terhukum. Apabila sanksi ini sudah dilaksanakan,

terhukum dapat langsung dilepaskan dan dapat

beraktivitas seperti biasanya.

Adapun cara pelaksanaan hukuman jilid masih

diperselisihkan oleh para fukaha. Menurut Hanafiyah, jilid

sebagai ta’zi>r harus dicambukkan lebih keras daripada jilid dalam h}ad agar dengan ta’zi>r orang yang terhukum akan menjadi jera di samping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had.

(51)

Alasan yang lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu

semakin menjerakan. Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah

menyamakan sifat jilid dalam ta’zir dengan sifat jilid dalam hudud.44

Menurut para fukaha contoh-contoh maksiat yang

dikenai sanksi ta’zir dengan jilid adalah:45

1) Pemalsuan stempel baitul mal pada zaman Umar bin

Khathab.

2) Percobaan perzinaan.

3) Pencuri yang tidak mencapai nisab (menurut al-Mawardi).

4) Kerusakan akhlak.

5) Orang yang membantu perampokan.

6) Jarimah-jarimah yang diancam dengan jilid sebagai had,

tetapi padanya terdapat syubhat.

7) Ulama Hanafiyah membagi stratifikasi manusia dalam

kaitannya dengan ta’zir menjadi empat bagian, yaitu: a) Ashraf al-Ashraf (orang yang paling mulia);

b) Al-Ashrat (mulia);

c) Al-Ausat} (pertengahan); dan

d) Al-Suflah (para pekerja kasar).

(52)

Para fukaha berbeda pendapat tentang jumlah maksimal

jilid yang dibenarkan dalam ta’zir. Menurut mazhab Imam

Syafi’i, jumlah maksimal jilid untuk orang merdeka ialah 39 kali

cambukan, agar jumlah cambukan tersebut lebih sedikit daripada

kasus meminum minuman keras. Sedangkan untuk budak

sebanyak 20 kali cambukan.46

Abu Hanifah berpendapat jumlah maksimal pada orang

merdeka dan budak ialah 39 kali cambukan. Menurut Abu Yusuf

jumlah maksimal pemukulan ialah 75 kali cambukan. Sedangkan

Imam Malik berpendapat jumlah maksimal tidak ada batasnya,

dan jumlahnya diperbolehkan melebihi jumlah pemukulan pada

hudud.47

Adapun alasan ulama Malikiyah membolehkan sanksi

ta’zir dengan di jilid melebihi had selama mengandung

kemaslahatan yaitu mereka berpedoman terhadap putusan Umar

bin Khaththab yang mencambuk Ma’an bin Zaidah 100 kali karena memalsukan stempel baitul mal.48

Kemudian pendapat ulama mengenai jumlah minimal

cambukan dalam jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:49

46 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam..., 392. 47 Ibid.

(53)

1) Ulama Hanafiyah. Batas terendah ta’zir harus mampu memberi dampak preventif dan represif.

2) Batas terendah satu kali cambukan.

3) Ibnu Qudamah. Batas terendah tidak dapat ditentukan,

diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai tindak pidana,

pelaku, waktu, dan pelaksanaannya.

4) Pendapat Ibnu Qudamah lebih baik, tetapi perlu

tambahan ketetapan hakim, tidak ada lagi perbedaan

pendapat.

Menurut Djazuli sesungguhnya sanksi jilid terhadap

pelaku jarimah ta’zir masih diberlakukan di beberapa negara sampai sekarang, baik secara resmi maupun tidak resmi, juga

waktu-waktu tertentu seperti peperangan. Hal ini menunjukkan

bahwa sanksi badan berupa jilid itu masih diakui efektivitasnya

untuk menjadikan terhukum jera.50

2. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang

Dalam sanksi jenis ini yang terpenting ada dua, yaitu

hukuman penjara dan hukuman buang (pengasingan).

a. Hukuman Penjara

Dalam bahasa Arab ada dua istilah untuk hukuman

penjara, yaitu al-h}absu dan al-sijnu yang keduanya

bermakna al-man’u, yaitu mencegah; menahan. Menurut

(54)

Ibnu Al-Qayyim, al-h}absu adalah menahan seseorang untuk

tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum, baik itu

di rumah, masjid, maupun tempat lain. Demikianlah yang

dimaksud dengan al-h}absu di masa Nabi dan Abu Bakar.

Akan tetapi setelah wilayah Islam bertambah luas pada masa

pemerintahan Umar, ia membeli rumah Syafwan bin

Umayyah dengan harga 4.000 dirham untuk dijadikan

penjara.51

Hukuman penjara ini dapat merupakan hukuman

pokok dan bisa juga sebagai hukuman tambahan dalam ta’zir yakni apabila hukuman pokok yang berupa jilid tidak

membawa dampak bagi terhukum.52

Alasan memperbolehkan hukuman penjara sebagai

ta’zir ialah karena Nabi Muhammad SAW pernah

memenjarakan beberapa orang di Madinah dalam tuntutan

pembunuhan. Juga tindakan Khalifah Utsman yang pernah

memenjarakan Dhabi’ ibn Al-Harits, salah satu pencuri dari

Bani Tamim, sampai ia mati dipenjara. Demikian pula

Khalifah Ali pernah memenjarakan Abdullah ibn Az-Zubair

di Mekah, ketika ia menolak untuk membaiat Ali.53

51 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 152. 52 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 206.

(55)

Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi kepada

dua bagian, yaitu:

1) Hukuman penjara yang dibatasi waktunya;

2) Hukuman penjara yang tidak dibatasi waktunya.

Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara

yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara

terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual

khamar, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci

Ramadan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur,

mengaliri ladang dengan air dari saluran tetangga tanpa izin,

caci mencaci antara dua orang yang berperkara di depan

sidang pengadilan, dan saksi palsu.54

Adapun tentang lamanya penjara para ulama berbeda

pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa lamanya

penjara ada

Referensi

Dokumen terkait

Penanggulangan ( cyber crime) dalam perspektif hukum pidana adalah bagaimana cara, proses, perbuatan menangani kejahatan mayantara ( cyber crime) dengan hukum pidana.

11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana

Data elektronik yang dimaksud menurut undang-undang tentang Informasi Transaksi Elektronik adalah alat bukti yang memiliki Informasi Elektronik atau Dokumen

Informasi dan atau dokumen elektronik dapat dianggap sebagai alat bukti elektronik selai memang ditentukan sebagai perluasan alat bukti pada hukum acara yang

UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer,

Maqhfirotul Latifah Putri, 2023: Jual beli followers instagram menurut undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik dan kompilasi

Dengan demikian, sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan menurut hukum pidana Islam tidak hanya terbatas pada sanksi yang terkandung dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap cyber crime hacker berdasarkan Undang-Undang Nomor 19