• Tidak ada hasil yang ditemukan

Panduan Penyusunan RAD Pengurangan Emisi GRK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Panduan Penyusunan RAD Pengurangan Emisi GRK"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e

2011

(2)

2 | P a g e

Bab 1 Pendahuluan ... 7

1.1 Tanggapan Indonesia terhadap Perubahan Iklim ... 7

1.2 Peran Mitigasi pada Tingkat Daerah ... 7

1.3 RAN-GRK ... 8

1.4 Tujuan dan Kerangka Panduan ... 8

Bab 2 Institusi dan Kebijakan ... 10

2.1 Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Mengenai Perubahan Iklim ... 10

2.2 Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca ... 10

2.2.1 Kebijakan Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca ... 11

2.2.2 Kebijakan Terkait Sektor Kehutanan... 14

2.2.3 Kebijakan Terkait Sektor Pertanian ... 16

2.2.4 Kebijakan Terkait Sektor Industri ... 17

2.2.5 Kebijakan Terkait Sektor Energi dan Transportasi ... 18

2.2.6 Kebijakan Terkait Sektor Pengelolaan Sampah ... 18

2.3 Peran Institusi dan Kewenangannya ... 19

2.3.1 Kerangka Institusi Nasional ... 19

2.4 Pra Kondisi Institusi: Penyesuaian Kegiatan Antar Jenjang Kepemerintahan ... 24

Bab 3 Baseline, Skenario dan Opsi Mitigasi ... 25

3.1 Baseline Secara Umum ... 25

3.2 Skenario Mitigasi ... 28

3.2.1 Sektor Kehutanan dan Pertanian ... 29

3.2.2 Sektor Energi... 27

3.2.3 Sektor Transportasi ... 39

3.2.4 Sektor Industri ... 42

3.2.5 Sektor Waste ... 44

3.3 Pemilihan Opsi Mitigasi ... 50

Bab 4 Mekanisme Pendanaan Kegiatan Pengurangan Emisi GRK ... 52

4.1 Kebijakan Pendanaan ... 52

4.2 Perhitungan Biaya Mitigasi ... 54

Bab 5 Substansi RAD GRK ... 65

5.1 Muatan RAD GRK ... 65

5.2 Tujuan, Kebijakan dan Strategi Dalam RAD GRK ... 65

(3)

3 | P a g e

5.4 Penetapan RAD GRK ... 67

5.5 Arahan RAD GRK ... 67

5.6 Ketentuan Penyusunan RAD GRK ... 67

5.7 Format Penyajian RAD GRK ... 67

5.8 Masa Berlaku RAD GRK dan Penyampaian RAD-GRK ... 68

Bab 6 Proses Dan Prosedur Penyusunan RAD-GRK ... 69

6.1 Tahap Persiapan ... 70

6.2 Tahap Pengumpulan Data ... 72

6.3 Tahap Analisis ... 74

6.4 Tahap Rumusan Rencana Aksi ... 78

6.5 Tahap Penetapan ... 80

(4)

4 | P a g e

Draft- Ringkasan Eksekutif

Sesuai amanat Pemerintah Republik Indonesia kepada Pemerintah Daerah yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) pada tahun 2010, khususnya pasal 8 ayat 1, yang meminta Pemerintah Provinsi untuk menyusun Rencana Aksi Daerah dalam upaya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca yang terjadi di daerah (dokumen perencanaan RAD GRK).

Pada dasarnya, kedua dokumen ini, yaitu RAN dan RAD GRK dibutuhkan oleh kedua tingkat pemerintahan: Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemerintah Provinsi) beserta dengan para pemangku kepentingan terkait (stakeholders) untuk melaksanakan dan mengawasi kegiatan-kegiatan mitigasi emisi gas rumah kaca baik di tingkat nasional maupun ditingkat lokal dalam kurun waktu 10 tahun ke depan (2010-2020) dalam upaya mencapai target nasional pengurangan emisi sebesar 26% (dengan sumberdaya sendiri) dan tambahan target sebesar 15 % (dengan bantuan sumberdaya internasional untuk mencapai target nasional sebesar 41%) dari tingkat acuan emisi (emission baseline) yang diproyeksikan akan terjadi pada tahun 2020.

Penyusunan dokumen RAD GRK akan mengacu pada proses dan substansi sektoral yang terdapat di dalam dokumen RAN GRK (top-down approach) , selain juga akan mempertimbangkan karakteristik dan potensi emisi daerah, kewenangan administrasi dan sektoral daerah , serta prioritas pembangunan daerah (bottom-up). Dalam proses ini akan terjadi interaksi aktif antara lembaga teknis/kelompok kerja nasional dengan dinas teknis/kelompok kerja lokal dan dengan lembaga-lembaga internasional dalam bentuk Seminar/Lokakarya , Rapat dan Bimbingan Teknis. Waktu yang tersedia untuk menyusun rencana aksi daerah ini adalah satu tahun sejak diterbitkannya Peraturan Presiden.

Oleh karena itu, buku panduan penyusunan RAD GRK ini bertujuan untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada para mitra/kelompok kerja daerah ( Bappeda di tingkat provinsi) untuk membuat rencana usulan-usulan aksi mitigasi daerah yang terdiri dari beberapa kegiatan sektoral yang berpotensi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (proposed potential mitigation actions) berdasarkan pada skenario-skenario mitigasi yang telah dibuat untuk beberapa sektor sektor terkait (mitigation scenarios establishment), misalnya dari sektor kehutanan, pertanian dan persampahan sesuai dengan karakteristik dan kewenangan yang dimiliki daerah. Usulan-usulan ini harus disertai (dilengkapi) dengan informasi tentang tingkat acuan/referensi emisi yang didasarkan pada skenario kegiatan sektoral yang berjalan normal, seperti biasa , dan tanpa intervensi kebijakan (Business as Usual Baseline) sampai dengan tahun 2020. Kemudian, pada akhir periode penyusunan RAD GRK, usulan-usulan ini harus diserahkan ke pemerintah pusat (melalui Bappenas) untuk diproses (diseleksi) lebih lanjut

Rencana usulan-usulan aksi mitigasi yang terpilih dari berbagai daerah (provinsi) akan digabung ke dalam masing-masing sektor/sub-sektor tingkat nasional (merging and selection) untuk diberikan nilai peringkat oleh Koordinator Nasional/Bappenas (dimulai dari yang termudah dan termurah untuk dilaksanakan). Hasil pemeringkatan akan menempatkan usulan-usulan tersebut ke dalam ke-2 kelompok target: apakah akan berkontribusi untuk pencapaian target nasional 26% atau untuk mencapai target 41%.

(5)

5 | P a g e

menyusun dokumen RAD GRK). Paragraf-paragraf berikut ini menjelaskan ringkasan dari setiap bab yang terdapat di dalam buku ini.

Bab I menjelaskan tentang tanggapan resmi Pemerintah Republik Indonesia terhadap masalah perubahan iklim, informasi tentang RAN GRK, dan perlunya menyertakan Pemerintah Daerah (Provinsi) dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan mitigasi emisi gas rumah kaca (RAD GRK). Tujuan dan kerangka buku panduan RAD GRK juga dijelaskan dengan ringkas.

Bab II menjelaskan mengenai kebijakan-kebijakan nasional dan sektoral yang sudah ada pada saat ini yang terkait dengan (dan mendukung) penyusunan rencana dan pelaksanaan RAD GRK di daerah.. Pada bab ini juga dijelaskan peran dan kewenangan administratif dan teknis yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi dan lembaga-lembaga sektoral daerah dalam upaya mempersiapkan dokumen RAD GRK dan dalam tahap implementasinya untuk beberapa sektor terkait, yang mengacu pada dokumen perencanaan nasional RAN-GRK dalam upaya membangun keterpaduan dan kesesuaian program/kegiatan mitigasi antar jenjang pemerintahan.

Bab III menfokuskan pada materi-materi teknis yang sangat mendasar dan penting dalam merencanakan dan membuat usulan-kegiatan kegiatan sektoral yang dapat mereduksi emisi GRK di daerah, yaitu: 1) penetapan acuan/referensi emisi berdasarkan pada kondisi bisnis yang berjalan normal, seperti biasa, dan tanpa intervensi kebijakan (Business as usual baseline) untuk beberapa sektor yang relevan dan potensial di suatu daerah dalam kurun waktu yang panjang sampai dengan tahun 2020, 2) pembuatan skenario-skenario mitigasi untuk beberapa sektor terkait/terpilih (mitigation scenario establishment) berdasarkan asumsi-asumsi yang sahih , dan 3) membuat usulan-usulan kegiatan mitigasi sektoral yang berpotensi untuk menurunkan emisi GRK di daerah tersebut (proposed mitigation actions development) berikut dengan perhitungan biaya mitigasi yang dibutuhkan (a batement cost estimation). Untuk lebih memahami materi-materi ini, Pemerintah melalui kelompok –kelompok kerja sektoral yang ada di Bappenas (selaku Kordinator Nasional) akan memberikan penjelasan dan bimbingan teknis yang diperlukan kepada kelompok-kelompok kerja yang ada di Pemerintah Provinsi

Terkait materi no 1 dan 2 di atas, yaitu untuk metodologi ,data dan informasi yang diperlukan serta proses penetapannya bisa dikumpulkan dan dikelola oleh kelompok kerja nasional (top-down approach)

atau bisa juga dikumpulkan dan dilakukan oleh kelompok kerja Pemerintah Provinsi (bottom-up approach) atau gabungan keduanya (mixed approach) tergantung pada tingkat kesulitan yang dihadapi dan tingkat keakuratan hasil yang diinginkan (tier principle). Sedangkan, materi yang ke-3, dapat dibuat oleh pemerintah daerah berdasarkan perkiraan potensi reduksi emisi sektoral yang ditunjang oleh karakteristik , kewenangan , dan prioritas daerah. Hasilnya diusulkan ke pemerintah pusat untuk digabungkan dan diseleksi lebih lanjut (merging and selection) dalam upaya mencapai target reduksi emisi nasional.

(6)

6 | P a g e

Bab V mejabarkan tentang format dan substansi dari dokumen RAD GRK yang harus disusun oleh Pemerintah Provinsi. Deskripsi untuk setiap bab juga dijabarkan dengan ringkas dan jelas, sehingga tim penyusun RAD GRK di daerah akan lebih memahaminya dan dapat langsung menyusun dokumen perencanaan ini.

(7)

7 | P a g e

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Tanggapan Indonesia terhadap Perubahan Iklim

Perubahan iklim adalah perubahan yang terjadi pada iklim baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang mempengaruhi komposisi dan konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfir secara global dan juga mengakibatkan variasi iklim alami dalam periode waktu tertentu. Menurut IPCC 2006, perubahan iklim berakibat pada perubahan siklus alam, secara khusus perubahan pada temperatur, permukaan air laut, presipitasi dan juga meningkatkan kejadian-kejadian yang terkait dengan bencana (perubahan ekstrim). Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan suhu sebesar antara 0.20 – 0.60 Celsius pada skala global (Prasad et al. 2009, 30).

Jumlah emisi CO2 di Indonesia tergolong tinggi, yaitu 1,55 ton karbon (5,67 ton CO2– eq) per kapita. Angka ini dapat mencapai sebesar 3,22 ton karbon per kapita pada tahun 2050 mengikuti pertumbuhan penduduk dan peningkatan PDRM jika tidak dilakukan mitigasi atau kegiatan berjalan seperti biasanya (business as usual). Pada sektor-sektor yang memproduksi emisi CO2 yang tinggi.1. Pemerintah Indonesia telah mengusulkan untuk mengurangi emisi GRK sampai menjadi 26% pada tahun 2020 (Kesepakatan Internasional Copenhagen, 2009). Sebagaimana perubahan iklim telah menjadi sebuah agenda nasional, akan diperlukan dukungan yang besar dari provinsi-provinsi dan sektor-sektor untuk mencapai target pengurangan emisi. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten akan memainkan peran yang penting karena terdapat aktivitas-aktivitas yang memproduksi emisi dan berlokasi di daerah atau dibawah kewenangan daerah. Sejalan dengan itu, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten dapat memproduksi kebijakan atau rencana aksi daerah untuk mendukung proses pengurangan emisi ini.

1.2 Peran Mitigasi pada Tingkat Daerah

Pemerintah daerah dapat berperan serta dalam pengurangan emisi GRK dalam konteks pembangunan berkelanjutan di daerah mereka. Ini dapat dicapai melalui perencanaan strategis, pembuatan konsensus dan peran koordinasi. Pemerintah daerah dapat mendorong keterlibatan publik dan swasta untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap dampak perubahan iklim. Untuk dapat mengurangi emisi pada tingkat lokal, penting bagi pemerintah lokal untuk memiliki Rencana Aksi Daerah-Gas Rumah Kaca atau disingkat RAD-GRK. Setiap provinsi yang membuat RAD-GRK dapat merumuskan kegiatan pengurangan emisi GRK sampai dengan tahun 2020.

1

(8)

8 | P a g e Untuk mendukung pelaksanaan RAN GRK, pemerintah daerah perlu merumuskan kegiatan pada setiap sektor. Panduan RAD-GRK ini akan membantu pemerintah daerah untuk melakukan penyusunan kegiatan pengurangan emisi GRK di tingkat provinsi. Pada akhirnya apabila usulan yang terdapat pada RAD GRK tidak terpilih untuk masuk ke dalam NAMAs, usulan – usulan tersebut masih dapat bersifat proaktif dalam turut membangun rencana pembangunan di daerah. Lebih lanjut, usulan – usulan tersebut dapat dikaitkan dengan prinsip – prinsip sustainable development.

1.3 RAN-GRK

Rencana Aksi Nasional penurunan emisi Gas Rumah Kaca dikembangkan untuk mencapai target nasional, target sektoral, acuan dan aksi prioritas untuk mitigasi perubahan iklim semua sektor yang memproduksi emisi. RAN-GRK berfungsi sebagai sebuah panduan kebijakan pemerintah pusat pada tahun 2010-2020 dan sektor-sektor yang terkait untuk mengurangi emisi sebanyak 26% dan 41% jika mendapat bantuan internasional. RAN GRK terdiri atas kegiatan-kegiatan inti dan kegiatan-kegiatan pendukung untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan target pada setiap sektor. Sektor-sektor utama pada RAN GRK adalah kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, dan pengelolaan sampah. Pembangunan berkelanjutan di tingkat regional tidak dapat dicapai jika emisi-emisi yang diakibatkan oleh perubahan iklim tidak diatasi secara tepat.

RAN-GRK menganjurkan perlunya untuk membuat RAD-GRK sebagai dokumen kerja yang menjadi dasar untuk pemerintah daerah, masyarakat dan swasta untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas langsung dan tidak langsung yang bermaksud untuk mengurangi emisi GRK pada kurun waktu 2010-2020 dan mengacu kepada rencana pembangunan daearah. Sebagaimana telah disebutkan, pasal 2 dan ayat 2 RAN-GRK mengamanatkan bahwa RAN-GRK adalah dasar bagi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan sektor bisnis di dalam merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi RAD-GRK.

1.4 Tujuan dan Kerangka Panduan

Tujuan dari panduan ini adalah untuk menyediakan acuan yang mudah dipahami untuk menyusun rencana aksi, membuat sebuah strategi untuk mengurangi emisi, untuk memformulasikan cara mitigasi dan mengidentifikasi institusi kunci/organisasi dan sumber daya keuangan bagi provinsi-provinsi untuk melakukan dan menghitung emisi yang diproduksi setiap provinsi.

(9)

9 | P a g e kegiatan RAD-GRK. Bab 5 menjelaskan format RAD-GRK untuk provinsi. Bab 6.menjelaskan proses dan prosedur penyusunan RAD-GRK.

Gambar 1.1 Kerangka Panduan RAD-GRK

Kajian Kebijakan dan Institusi (Bab 2)

Kajian Mekanisme Pendanaan Kegiatan RAD-GRK (Bab 4)

Proses dan Prosedur Penyusunan RAD-GRK (Bab 6) Substansi RAD-GRK (Bab 5)

Pendahuluan (Bab 1)

(10)

10 | P a g e

Bab 2 Institusi dan Kebijakan

Bab ini akan membahas mengenai isu-isu kebijakan yang mendukung penyusunan dan pelaksanaan RAD GRK.

2.1 Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Mengenai Perubahan Iklim

Pemerintah Republik Indonesia (Pemerintah RI) telah menghasilkan beberapa peraturan dan kebijakan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa dokumen utama antara lain: Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN – GRK) dan Indonesia Climate Change Sektoral Roadmap (ICCSR). RAN GRK adalah dokumen perencanaan jangka panjang yang mengatur usaha – usaha pengurangan emisi gas rumah kaca yang terkait dengan substansi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RAN GRK merupakan acuan utama bagi aktor pembangunan di tingkat nasional, provinsi, dan kota/kabupaten dalam perencanaan, implementasi, monitor, dan evaluasi pengurangan emisi gas rumah kaca. Proses legalisasi RAN GRK dibuat melalui Peraturan Presiden.

RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk menyusun rencana aksi pengurangan emisi untuk tingkat provinsi, yang selanjutnya disebut dengan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK). Substansi pada RAN GRK merupakan dasar bagi setiap provinsi dalam mengembangkan RAD GRK sesuai dengan kemampuan serta keterkaitannya terhadap kebijakan pembangunan masing – masing provinsi. Dengan demikian, RAD GRK kemudian akan ditetapkan melalui Peraturan Gubernur. Penyusunan RAD GRK diharapkan merupakan proses bottom-up yang menggambarkan bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap provinsi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, sesuai dengan kapasitas masing – masing. Lebih lanjut, setiap Pemerintah Provinsi perlu menghitung besar emisi gas rumah kaca masing – masing, target pengurangan, dan jenis sektor yang akan dikurangi emisinya.

2.2 Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

(11)

11 | P a g e nasional maupun berbagai skenario penurunan emisi dari emisi per sektornya. Salah satu pertimbangan utama agar program-program mitigasi dapat dikategorikan dalam program NAMAs adalah program-program yang berbiaya murah (least cost principle).

Kedudukan program-program mitigasi dalam dokumen RAD dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari program-program NAMAs, jika program-program tersebut mengacu kepada Nasional baseline. Selanjutnya, jika dari aspek biaya program-program dari RAD ada yang termasuk dalam kategori biaya yang lebih murah, maka dapat diusulkan masuk dalam program-program NAMAs. Selanjutnya biaya yang akan dikeluarkan untuk melakukan program-program-program-program tersebut dapat bersumber atau mendapat insentif dari pemerintah pusat.

2.2.1 Kebijakan Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

Dokumen ICCSR, Yellow Book, dan RAN GRK memberikan pengayaan kepada setiap bentuk produk perencanaan pembangunan. Dalam hal ini mengikuti tatanan yang diatur di dalam UU 25/2004 mengenai Sistem Pembangunan Nasional. UU 25/2004 tersebut membagi produk perencanaan pembangunan ke dalam 3 jenis : a) perencanaan jangka panjang – Rencana Pembangunan Jangka Panjang (Nasional / Daerah), b) perencanaan jangka menengah – Rencana Pembangunan Jangka Menengah (Nasional / Daerah) / Rencana Strategis K/L, serta c) rencana tahunan – Rencana Kerja Pembangunan / Rencana Kerja K/L.

Dengan demikian, pada dasarnya belum terdapat keterkaitan langsung antara dokumen kebijakan yang memperkaya Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam hal perubahan iklim maupun dari Undang – undang mengenai lingkungan hidup kepada penyusunan RAD GRK. Ketentuan langsung yang mengamanatkan penyusun RAD – GRK terdapat pada RAN GRK, yang juga berarti bahwa RAN GRK adalah acuan penyusunan dan substansi RAD GRK. Namun demikian, RAD GRK yang diusulkan Pemerintah Daerah juga berfungsi sebagai bahan untuk mengkaji ulang target dan aksi pada RAN GRK2.

Dokumen kebijakan pada tingkat nasional memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan penyusunan RAD – GRK pada tingkat Provinsi (Gambar 1). Lebih lanjut, ini merupakan kombinasi dari hubungan Dokumen ICCSR dengan Sistem Pembangunan Nasional serta Dokumen RAN GRK dengan Sistem Pembangunan Nasional3. Kombinasi tersebut menjelaskan bagaimana keterkaitan Dokumen ICCSR, RAN GRK, dan RAD GRK yang dihasilkan oleh Pemerintah Provinsi. RAD GRK tentu perlu disusun karena merupakan ketentuan langsung yang diatur di dalam Peraturan Presiden mengenai RAN GRK, kemudian Gambar 1 menjelaskan bahwa substansi peta jalan (Roadmap) pengurangan emisi pada setiap sektor di dalam ICCSR pada dasarnya dapat diadopsi (dijadikan pertimbangan) oleh Pemerintah Provinsi untuk menentukan aksi mitigasi.

2

Draft RAN GRK, Pasal 4 ayat 3, Pasal 5, dan Pasal 8 ayat 4

3

(12)

12 | P a g e Gambar 2.1 Kerangka Keterkaitan Dokumen/Kebijakan Nasional-Daerah dengan RAD

GRK

Indonesia Climate Change Sektoral Roadmap (ICCSR)

ICCSR dipublikasikan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional pada Maret 2010. Dokumen ICCSR diharapkan dapat memberikan panduan pedoman yang detail dan sebagai alat untuk mengarustuamakan perubahan iklim di dalam setiap sektor ataupun lintas sektor pembangunan. Dokumen ICCSR bertujuan untuk mengatur target nasional, target sektoral, capaian dan prioritas aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim4. Ruang lingkup ICCSR merupakan kombinasi roadmap untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Pedoman inisiatif terkait mitigasi emisi gasr rumah kaca yang disediakan di dalam ICCSR setidaknya meliputi lima hal :

1. Inventori emisi CO2 yang akan direvisi serta penyesuaiannya pada 2015.

2. Penyediaan panduan kebijakan untuk pengurangan emisi gas rumah kaca dari proyeksi scenario business as usual sebesar 26% pada tahun 2020 menggunakan sumberdaya nasional serta 41% dengan dukungan internasional.

4

(13)

13 | P a g e 3. Implementasi mitigasi yang mendukung pencapaian agenda pembangunan nasional 2025. 4. Peningkatan energi alternatif.

5. Adopsi low-carbon development bagi seluruh sektor yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca.

Secara konseptual peta jalan untuk mengadopsi usaha mitigasi terhadap sistem pembangunan yang disediakan oleh dokumen ICCSR meliputi5 :

a. Penentuan sektor mitigasi. b. Penguatan basis ilmiah. c. Status emisi (inventori).

d. Penentuan potensi reduksi emisi gas rumah kaca. e. Rekomendasi strategi mitigasi.

f. Integrasi ke dalam sistem pembangunan nasional.

Formulasi prioritas mitigasi diharapkan berasal dari studi terkini mengenai inventori emisi (Inventori Gas Rumah kaca nasional), ICCSR juga memberi catatan bahwa hal ini sangat mungkin untuk diperbaharui sesuai perkembangan lebih lanjut pada konteks nasional maupun internasional6. Adapun pada dokumen ICCSR, sektor mitigasi emisi gas rumah kaca dibagi atas sektor transportasi, kehutanan, industri, energi, dan pengelolaan persampahan.

Dalam pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap sektor, dokumen ICCSR mengklasifikasikannya ke dalam tiga kategori sebagai berikut:

1) Dalam pengaturan aktivitas mitigasi pada setiap sektor, dokumen ICCSR mengklasifikasikannya ke dalam tiga kategori Kategori 1 Manajemen Data, Informasi, dan Pengetahuan ;

2) Kategori 2 Perencanaan dan Kebijakan, Peraturan, dan Pengembangan Institusi; 3) Kategori 3 Implementasi, Kontrol, dan Evaluasi.

Penyusunan strategi dan aktivitias mitigasi pada setiap sektor di dalam ICCSR setidaknya meliputi penjelasan mengenai kegiatan, instansi terkait, lokasi kegiatan, serta waktu pelaksanaan. Kerangka waktu pelaksaan yang disusun terbagi ke dalam kurun waktu 2010 – 2029.

“Yellow Book” National Development Planning: Indonesia’s Response to Climate Change

Dokumen Yellow Book dipublikasikan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Dokumen ini dimaksudkan untuk menjembatani isu sektoral dan lintas sektoral yang sensitif terhadap perubahan iklim dan juga hubungannya dengan dokumen perencanaan pembangunan nasional. Dokumen ini juga bertindak untuk mempertajam dan melengkapi susbtansi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014. Secara umum maksud penyusunan dokumen ini meliputi : 1) integrasi program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan sistem perencanaan pembangunan, 2) menyajikan prioritas sektoral dan lintas sektoral

5

ICCSR, 2010, Bappenas, p.6

6

(14)

14 | P a g e atas perubahan iklim di dalam kerangkan pembangunan berkelanjutan, 3) memberikan gambaran mekanisme pembiayaan dan institusi untuk mengimplementasikan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, 4) memberikan gambaran kerjasama di dalam kerangka perubahan iklim7.

Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK)

RAN GRK adalah dokumen kerja yang menyediakan landasan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat serta pelaku ekonomi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dalam periode 2010-2020 yang sesuai dengan target pembangunan nasional. RAN GRK merupakan acuan utama bagi aktor pembangunan di tingkat nasional, provinsi, dan kota/kabupaten dalam perencanaan, implementasi, monitor, dan evaluasi pengurangan emisi gas rumah kaca. Proses legalisasi RAN GRK dibuat melalui Peraturan Presiden.

RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk menyusun rencana aksi pengurangan emisi untuk tingkat provinsi, yang selanjutnya disebut dengan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK)8. Substansi pada RAN GRK merupakan dasar bagi setiap provinsi dalam mengembangkan RAD GRK sesuai dengan kemampuan serta keterkaitannya terhadap kebijakan pembangunan masing – masing provinsi. Dengan demikian, RAD GRK kemudian akan ditetapkan melalui Peraturan Gubernur. Penyusunan RAD GRK diharapkan merupakan proses bottom-up yang menggambarkan bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap provinsi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, sesuai dengan kapasitas masing – masing. Lebih lanjut, setiap Pemerintah Provinsi perlu menghitung besar emisi gas rumah kaca masing – masing, target pengurangan, dan jenis sektor yang akan dikurangi emisinya. Namun demikian, Pemerintah Provinsi juga tetap harus memastikan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca di daerahnya tetap berkontribusi terhadap target pengurangan di tingkat nasional.

2.2.2 Kebijakan Terkait Sektor Kehutanan

Rencana Jangka Panjang Kementerian Kehutanan (2006 – 2025) telah mengidentifikasi beberapa strategi yang secara tidak langsung berkaitan dengan sumber emisi (kebakaran hutan, konservasi hutan, dan manajemen hutan bakau). Setidaknya terdapat tiga strategi utama yang terkait dengan hal tersebut:

1) SFM – Strategi Mitigasi Hutan, 2) RED – Strategi Mitigasi Hutan, dan 3) Jenis tanaman – Strategi Mitigasi Hutan

Strategi tersebut didukung dengan beberapa program seperti program riset dan pengembangan hutan, perencanaan makro hutan, stabilisasi area hutan, dan program manajemen pendukung dan teknis. Lebih lanjut, terdapat pula dua peraturan menteri; yakni Peraturan Menteri 68/2008 mengenai penyelenggaraan pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan dan

7Yellow Book: Indonesia‟s Response to

Climate Change, 2010, Bappenas, p.3

8

(15)

15 | P a g e Peraturan Menteri 39/2009 mengenai Tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Beberapa peraturan terkait sektor kehutanan juga berasal dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Di dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca, sektor kehutanan memiliki potensi yang besar dalam upaya penurunan emisi GRK, diantaranya yaitu pengelolaan hutan yang berkelanjutan dari hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan lindung, serta pembatasan konversi lahan hutan menjadi non-hutan dan degradasi kualitas hutan, pengelolaan hutan pada lahan gambut dan pencegahan kebakaran hutan. Arah kebijakan untuk penurunan emisi GRK di bidang kehutanan di arahkan untuk mensinergikan program-program bidang kehutanan seperti;

1. Mensinergikan kebijakan, perencanaan, dan program para pemangku kepentingan di bidang kehutanan.

2. Mempertajam kebijakan dan langkah-langkah pengurangan emisi karbon dari bidang kehutanan yang secara efektif dapat menyelesaikan masalah penyebab deforestasi dan degradasi hutan.

3. Mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan.

4. Merevitalisasi ekosistem hutan yang terdegradasi dengan pelibatan masyarakat.

5. Menekan laju deforestasi dari berbagai gangguan seperti penebangan liar, kebakaran hutan, konversi hutan untuk kepentingan non-hutan.

6. Mengembangkan hutan tanaman untuk pemenuhan permintaan hasil hutan kayu untuk keperluan industri kehutanan.

Secara umum, Indonesia mengejar strategi ganda untuk upaya mitigasi pada sektor kehutanan, yang mencerminkan dua fungsi utama hutan dalam konteks perubahan iklim, yaitu sebagai sumber karbon dan penyerap karbon. Melindungi hutan yang ada akan menjaga stok karbon dan kapasitas penyerapan, reboisasi dan rehabilitasi hutan akan meningkatkan kapasitas hutan sebagai penyerap karbon, sedangkan deforestasi dan degradasi hutan akan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Maka strategi sebagai bentuk mitigasi dapat diringkasi sebagai berikut:

1. SFM – Strategi Mitigasi Hutan 1, peningkatan stok karbon hutan dan menghindari emisi terkait dengan degradasi dan deforestasi yang tidak terencana.

2. RED – Strategi Mitigasi Hutan 2, mengurangi jumlah emisi melalui manajemen konversi lahan hutan.

3. Perkebunan – Strategi Mitigasi Hutan 3 - Meningkatkan kapasitas penyerapan karbon melalui promosi perkebunan di lahan tutupan non hutan.

(16)

16 | P a g e Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan tahun 2010-2014 disusun berdasarkan kondisi saat ini dan permasalahan serta isu-isu strategis dalam pembangunan kehutanan ke depan. Berdasarkan arah kebijakan dan strategi pembangunan nasional mengenai peningkatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan, Kementerian Kehutanan memiliki visi yang tertuang di dalam Renstra Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, yaitu “Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan”. Guna mewujudkan visi tersebut ditetapkan beberapa misi Kementerian Kehutanan, dengan arah kebijakan prioritas pembangunan pada;

1. Pemantapan kawasan hutan.

2. Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung daerah aliran sungai (DAS). 3. Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan.

4. Konservasi keanekaragaman hayati.

5. Revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan. 6. Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan.

7. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan. 8. Penguatan kelembagaan kehutanan.

2.2.3 Kebijakan Terkait Sektor Pertanian

Hubungan antara kegiatan pertanian dengan emisi gas rumah kaca pada dasarnya berasal dari fungsi penanaman dan perubahan guna lahan sebagai akibat dari kegiatan pertanian. Beberapa peraturan telah diterbitkan terkait dengan hal ini, diantaranya Peraturan Menteri Pertanian 50/2007, 47/2006, 26/2007, 14/2009, dan lainnya. Peraturan – peraturan terkini memperketat ketentuan untuk penggunaan lahan gambut bagi perkebunan tertentu, misalnya sawit, tidak hanya mempertimbangkan kedalaman rawa gambut (< 3m), tetapi juga komposisi tanah di bawah gambut, kematangan gambut, dan kesuburan lahan gambut; dengan demikian akan mempengaruhi jumlah emisi gas rumah kaca.

Pada RAN-GRK, Kebijakan pembangunan pertanian diarahkan untuk meminimalisasi dampak negatif dari perubahan iklim dan berkontribusi dalam penurunan emisi GRK, yang dilakukan melalui (i) mensinergikan dan mengintegrasikan kebijakan, perencanaan, dan program pada seluruh pemangku kepentingan di bidang pertanian seperti, dengan Kementerian Pekerjaan Umum (misalnya untuk ketersediaan air dan infrastruktur), Kementerian Kehutanan (misalnya untuk REDD+), dan Pemerintah Daerah.

Dalam ICCSR, kebijakan pada sektor pertanian secara umum adalah meminimalisasi dampak negatif dari fenomena alam tersebut agar sasaran pembangunan pertanian tetap dapat dicapai. Kebijakan juga diarahkan untuk meningkatkan peran sektor pertanian, terutama subsektor perkebunan dan subsektor pertanian di lahan gambut, dalam menurunkan emisi GRK. Secara rinci kebijakan yang akan ditempuh adalah:

(17)

17 | P a g e 2. Meningkatkan kemampuan sektor pertanian untuk beradaptasi dengan perubahan iklim,

termasuk didalamnya membangun sistem asuransi perubahan iklim.

3. Merakit dan menerapkan teknologi tepat guna dalam memitigasi emisi GRK, dan

4. Meningkatkan kinerja penelitian dan pengembangan di bidang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Pada RENSTRA Departemen Pertanian 2010-2014 terdapat persiapan terhadap antisipasi dari perubahan iklim diperlukan analisis tentang kerentanan dampak perubahan iklim, inventarisasi dan delineasi wilayah yang terkena dampak, serta penyusunan road map rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan lingkungan. Selain itu, perlu diciptakan dan disiapkan berbagai teknologi adaptif baik untuk adaptasi maupun mitigasi, seperti varietas unggul, teknologi pengelolaan lahan dan air, pemupukan serta paket-paket teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dan sebagainya.

2.2.4 Kebijakan Terkait Sektor Industri

Terkait dengan emisi yang dihasilkan dari sektor industri, beberapa peraturan dari Menteri Industri dan Lingkungan Hidup telah diterbitkan. Secara umum peraturan tersebut biasanya dikembangkan untuk industri – industri tertentu; sebagai contoh industri kertas, besi dan baja, pupuk, dan sebagainya. Dengan demikian, Pemerintah Provinsi harus mengidentifikasi industri terkait di area masing–masing.

Dalam Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca, sektor yang menjadi salah satu penyumbang emisi Gas Rumah Kaca terbesar yaitu sektor industri. Emisi dari sektor industri berasal dari 3 sumber, yaitu dari penggunaan energi, proses produksi, dan limbah. Kebijakan bidang industri dalam rangka mendukung mitigasi perubahan iklim dilakukan dengan mengarahkan agar sektor industri besar seperti semen, baja, pulp dan kertas, tekstil, dan lain-lain dapat melakukan program penurunan emisi GRK secara bertahap melalui 3 program yaitu;

1. Melakukan efisiensi energi dengan menggunakan teknologi mesin yang lebih efisien 2. Menggunakan bahan bakar alternatif.

3. Melakukan efisiensi dalam proses produksi.

Dalam ICCSR, maksud dan tujuan dari dibuatnya roadmap sektor industri adalah untuk memperkirakan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan industri dengan penekanan khusus pada industri semen, untuk menghitung besarnya potensi pengurangan dari sektor industri, selanjutnya sebagai pertimbangan dalam menentukan rencana pembangunan ekonomi nasional. Dalam ICCSR, potensi mitigasi yang dapat dilakukan terkait mitigasi secara teknis, diantaranya yaitu;

1. Efisiensi energi – mengurangi konsumsi energi seperti pencahayaan, efisiensi motor, AC, dan bahan bakar dalam mesin.

(18)

18 | P a g e 3. Pencampuran bahan – untuk industri semen misalnya menggunakan bahan pengganti

klinker termasuk menggunakan bahan daur ulang. 2.2.5 Kebijakan Terkait Sektor Energi dan Transportasi

Di sektor energi, beberapa dokumen dan peraturan nasional telah diterbitkan yang terkait dengan pengurangan emisi gas rumah kaca; Masterplan Energi Nasional, Blueprint Energi Nasional, Kebijakan Nasional Energi, Perpres 2/2008, dan sebagainya. Potensi penghematan energi, diverisifikasi energi, dan elastisitas energi yang ditargetkan pada dokumen – dokumen tersebut akan berimplikasi terhadap jumlah emisi yang dihasilkan. Di sisi lain, Menteri Keuangan juga telah menerbitkan beberapa peraturan yang dapat berimplikasi terhadap investasi di bidang energi.

Dalam RAN-GRK arahan kebijakannya berupa komitmen efisiensi dalam pemanfaatan energi diterapkan pada seluruh sektor pengguna energi, yakni sektor transportasi, industri, rumah tangga, dan komersial.

Dalam ICCSR arahan kebijakannya dijelaskan bahwa emisi gas rumah kaca yang diperoleh dari sektor energi harus dikelola karena sektor ini sangat penting untuk pembangunan perekonomian Indonesia, baik untuk ekspor produktif / tukar pendapatan (valas) asing dan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.

Dalam Renstra Kementerian ESDM 2010-2014 memiliki salah satu arahan kebijakannya berupa meningkatkan kesadaram masyarakat melalui diversifikasi dan konservasi energy dalam rangka untuk mengurangi gas rumah kaca.

Untuk sektor transportasi Kementerian Lingkungan Hidup telah mengesahkan beberapa peraturan terkait transportasi; sebagai contoh standar emisi untuk kendaraan baru dan lama. Pemerintah Provinsi juga perlu mempersiapakn regulasi dan dokumen lebih detail untuk mitigasi emisi yang sesuai dengan strategi avoid/reduce shift improve yang tertulis di dalam ICCSR. Sedangkan pada RAN-GRK pendekatan pengurangan emisi dilakukan dengan beberapa pendekatan seperti trip demand management, shifting, improvement dan green transport.

Pada Renstra Kementerian Perhubungan 2010-2014 telah terdapat strategi untuk mengarusutamakan isu perubahan iklim kedalam perencanaan pembangunan nasional, termasuk koordinasi, sinergi, monitoringdan evaluasi merupakan tantangan dalam memitigasi dan beradaptasi terhadap setiap perubahan iklim.

2.2.6 Kebijakan Terkait Sektor Pengelolaan Sampah

(19)

19 | P a g e Pada RAN-GRK terdapat Kebijakan pengelolaan limbah sampah dalam rangka mitigasi perubahan iklim dilakukan dengan pengelolaan sampah dengan penerapan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle), fasilitasi prasarana pengumpulan/pengangkutan sampah, pembangunan/ peningkatan Tempat Pemrosesan akhir (TPA) sampah menjadi sanitary landfill dan juga pengembangan TPA yang terpadu dengan teknologi pemanfaatan GRK untuk energi.

Dalam ICCSR, kebijakan pengelolaan sampah ke depan sekurangnya harus menerapkan dua kebijakan utama. Kebijakan pertama adalah pengurangan (reduce) sampah di sumber sebanyak mungkin, digunakan kembali (reuse) dan didaur ulang (recycle) (3R) sebelum diangkut ke TPA. Kebijakan kedua yaitu pengelolaan sampah harus dilakukan dengan mengintegrasikan partisipasi masyarakat. Dua kebijakan ini digunakan sebagai prinsip dasar pengelolaan sampah sebagaimana yang dideskripsikan di dalam undang-undang pengelolaan sampah. Sementara itu, partisipasi aktif masyarakat dalam program 3R sampah padat dimulai dari tingkat perumahan dengan mengubah kebiasaan masyarakat menjadi lebih bersih dan sehat. Partisipasi industri juga akan dilakukan dengan melaksanakan EPR (Extended Producer Responsibility) yaitu prinsip untuk produsen dan importir sampah B3.

Pada Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum 2010-2014 arahan kebijakannya berupa pengelolaan persampahan dikelola secara lebih efektif dan efisien melalui pola BLU (Badan Layanan Umum) ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Dalam 5 (lima) tahun ke depan Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum) merencanakan untuk terus mendorong berbagai alternatif pembiayaan untuk investasi pembangunan infrastruktur, termasukpola-pola KPS, yang salah satunya pengelolaan persampahan.

2.3 Peran Institusi dan Kewenangannya

Penyiapan institusi untuk RAD GRK pada tingkat provinsi juga perlu diawali dengan inventarisasi kewenangan pada setiap sektor yang terkait dengan emisi gas rumah kaca. Panduan ini memberikan gambaran kewenangan yang dapat dan tidak dapat dilakukan lembaga di tingkat provinsi dan kabupaten/kota pada sektor terkait emisi GRK dengan mengacu kepada kegiatan yang ada di dalam RAN-GRK dan berdasarkan kerangka kelembagaan yang ada (UU 32/2004, dan PP 38/2007).

2.3.1 Kerangka Institusi Nasional

(20)

20 | P a g e Perlu dipahami bahwa RAN GRK mengatur pembagian kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca ke dalam beberapa bidang yang pada Dokumen RAN PI ataupun ICCSR diklasifikasikan sebagai sektor dan juga terdapat beberapa perbedaan di dalamnya. Pembagian ini kemudian perlu diselaraskan dengan pengaturan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar susunan pemerintahan, sebagaiman diatur di dalam PP 38/2007. Berikut ialah tabel komparasi sektor / bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca :

Tabel 2.1 Komparasi Pembagian Sektor – Bidang – Urusan Pemerintahan terkait Kegiatan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

ICCSR RAN GRK PP 38 / 2007*

1) Sektor Transportasi 2) Sektor Kehutanan 3) Sektor Industri 4) Sektor Energi 5) Sektor Pengelolaan

Persampahan

1) Bidang Kehutanan dan Pengelolaan Lahan Gambut 2) Bidang Pertanian

3) Bidang Energi dan Transportasi 4) Bidang Industri

5) Bidang Pengelolaan Limbah

1) Pekerjaan umum 2) Perumahan 3) Penataan ruang

4) Perencanaan pembangunan 5) Perhubungan

6) Lingkungan hidup

7) Pertanian dan ketahanan pangan 8) Kehutanan

9) Energi dan sumber daya mineral 10) Perindustrian

* keterangan : PP 38/2007 mendefinisikan bahwa terdapat 31 urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar susunan pemerintahan, daftar di atas hanya mena mpilkan yang berkaitan dengan pembagian pada PP 38/2007, ICCSR, dan Draft RAN GRK.

Kegiatan – kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca yang tercantum di dalam RAN GRK ataupun RAD GRK nantinya pada akhirnya akan memiliki keterkaitan dengan kewenangan dan juga urusan kepemerintahan yang diemban oleh masing – masing lembaga. Oleh karenanya, ketentuan di dalam UU 32/2004 mengenai Pemerintah Daerah dan juga PP 38/2007 mengenai Pembagian urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota merupakan acuan dalam penentuan lembaga penanggungjawab maupun pelaksana kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca. Padanan pembagian bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca pada RAN GRK dengan urusan pemerintahan pada PP 38/2007 menunjukkan bahwa seluruh bidang berada pada urusan pemerintahan yang dibagi persama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan9. Gambar 2 memperlihatkan keterkaitan antara bidang kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca dengan pembagian urusan pemerintahan. Pada gambar tersebut juga diindikasikan klasifikasi urusan pemerintahan yang sifatnya wajib maupun pilihan bagi Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota bergantung kepada karakteristik wilayah masing – masing. Urusan wajib ialah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berkaitan dengan pelayanan dasar10. Adapun urusan pilihan

9

Lihat PP 38/2007 pasal 2

10

(21)

21 | P a g e adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan11.

Tabel 2.2 Keterkaitan Bidang Pengurangan Emisi GRK pada RAN dengan Pembagian Urusan Pemerintahan

Bidang

Pembagian Urusan Pemerintah (PP 37 Tahun 2008)

Urusan Wajib Urusan Pilihan

P

Pengelolaan Limbah √ √

Kehutanan dan Pengelolaan Lahan Gambut √ √ √ √

Pertanian √ √ √

Energi dan Transportasi √ √ √ √

Industri √ √

Sumber : Disarikan dari PP 38 Tahun 2007

Dalam pembagian urusan pemerintahan, baik urusan wajib maupun urusan pilihan, pada umumnya terdapat beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan; yakni eksternalitas, akuntabilitias, dan efisiensi dengan memperhatikan hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan12. Pada praktiknya, pembagian urusan pemerintahan ini sifatnya akan sangat konktektual dan sangat dimungkinkan untuk terjadi perbedaan antara suatu periode ke periode lainnya maupun antar daerah. Oleh karenanya pada pengaturan teknis untuk setiap bidang urusan pemerintahan perlu dilakukan dengan melihat pengaturan yang dilakukan melalui kementerian/lembaga pemerintahan non departemen yang membidangi urusan pemerintah tersebut.

Secara umum Pemerintah Pusat melalui Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen memiliki kewenangan untuk menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk pelaksanaan urusan wajib dan pilihan. NSPK tersebut kemudian berfungsi sebagai pedoman bagi

11

PP 38/2007, pasal 7, ayat 3

12

(22)

22 | P a g e Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan setiap urusan wajib serta pilihan tersebut. Tabel 2 di bawah memberikan ilustrasi pembagian kewenangan bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, serta Pemerintah Kota/Kabupaten berdasarkan PP 38/2007. Hal tersebut merupakan kerangka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang juga melingkupi kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca.

Tabel 2.3 Kerangka Pembagian Urusan Pemerintahan

Pemerintah Pusat

a) Penyelenggaraan sendiri urusan pemerintahan

b) Pelimpahan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi

c) Penugasan sebagian urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan asas tugas pembantuan.

Pemerintah Provinsi

a) Penyelenggaraan sendiri urusan pemerintahan tingkat Provinsi

b) Penugasan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan

Pemerintah Kabupaten/Kota

a) Penyelenggaraan sendiri urusan pemerintahan tingkat Kabupaten/Kota

b) Penugasan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan

RAD GRK, sebagai bagian tidak terpisahkan upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang direncanakan di dalam RAN GRK, perlu dilaksanakan dalam kerangka institusi yang sesuai dan telah ditetapkan sebelumnya. Kerangka institusi nasional yang berperan dalam mendukung pelaksanaan RAN GRK telah ditetapkan dengan melibatkan beberapa komponen sebagai berikut:

Tabel 2.4 Kerangka Institusi Pendukung Pelaksanaan RAN GRK

Institusi Tugas / Peran

Kementerian Koordinator Perekonomian

a) Melakukan koordinasi pelaksanaan dan pemantauan RAN GRK dengan melibatkan para Menteri dan Gubernur yang terkait dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

b) Melaporkan pelaksanaan RAN GRK yang terintegrasi kepada Presiden paling sedikit 1 tahun sekali.

Kementerian Perencanaan

Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas

a) Mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RAN-GRK yang terintegrasi b) Melaporkan hasil evaluasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian

c) Menyusun pedoman RAD-GRK yang akan diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional penurunan emisi GRK.

Kementerian Lingkungan Hidup

a) Mengkoordinasikan inventarisasi GRK yang dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dan melaporkan hasil inventarisasi GRK tersebut kepada Menteri Koordinator Perekonomian.

b) Menyusun pedoman dan metodologi MRV (Measurable Reportable Verifiable Kementerian Dalam

Negeri

(23)

23 | P a g e

Kementerian / Lembaga a) Melaksanakan RAN-GRK dan inventarisasi GRK pada Kementerian/Lembaga masing-masing.

b) Memantau pelaksanaan RAN-GRK secara berkala.

c) Melaporkan pelaksanaan kegiatan RAN-GRK yang telah terverifikasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan

Nasional/Kepala Bappenas, dan Menteri Lingkungan Hidup secara berkala, minimal satu tahun sekali.

Gubernur / Pemerintah Provinsi

a) Menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang mengacu pada RAN-GRK dan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat.

b) Menetapkan RAD GRK melalui Peraturan Gubernur

c) Menyampaikan RAD-GRK kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas untuk diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional penurunan emisi GRK.

Sumber: RAN GRK, 2010

(Diadaptasikan dari: Kementerian Lingkungan Hidup, 2009)

Gambar 2.2 Proses Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca dan Institusi

(24)

24 | P a g e 2.4 Pra Kondisi Institusi: Penyesuaian Kegiatan Antar Jenjang Kepemerintahan

Langkah berikutnya dan penting untuk dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dalam memahami pra kondisi kerangka institusi yang ada ialah menyesuaikan kegiatan antar jenjang di dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Hal ini penting dilakukan agar kegiatan yang bersifat sangat lokal di dalam provinsi tetap berkontribusi terhadap pengurangan emisi di tingkat nasional. Berikut ini ialah dua prinsip di dalam penyesuaian kegiatan antar jenjang kepemerintahan:

a) Konsistensi dan Keterpaduan terhadap Kepentingan Nasional

Panduan ini memberikan arahan agar Pemerintah Provinsi sangat memacu inisiatif lokal dalam pengurangan emisi, namun demikian dokumen dan agenda pada tingkat nasional harus tetap dipandang sebagai acuan utama. Dengan demikian target pengurangan emisi gas rumah kaca nasional (26% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan dunia internasional) tetap harus diacu oleh Pemerintah Provinsi, baik dalam kepentingan terhadap pengendalian maupun evaluasi.

b) Keterpaduan dengan Agenda Pembangunan di Tingkat Provinsi

Pada umumnya usaha untuk mengintegrasikan target maupun kebijakan nasional di tingkat daerah akan menghadapi tantangan bahwa daerah telah memiliki agenda dan prioritas pembangunannya masing – masing. Dalam konteks ini, pengurangan emisi gas rumah kaca tidak dapat dipisahkan dari rencana pembangunan provinsi yang telah ada sebelumnya.

Sejalan dengan kedua prinsip di atas, berikut ialah langkah – langkah di dalam menyesuaikan kepentingan antar jenjang kepemerintahan di dalam pengurangan emisi GRK:

1) Kajian terhadap target, kebijakan, program, dan aksi pada tingkat nasional yang berhubungan langsung dengan sumber emisi gas rumah kaca yang terdapat di provinsi. 2) Kajian dan inventarisasi terhadap rencana pembangunan provinsi yang didefinisikan di

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

3) Kajian dan pemahaman terhadap hasil dari penelitian tingkat emisi gas rumah kaca daerah dan rekomendasi target penurunannya.

4) Kajian terhadap kesesuaian dan keterhubungan antara rencana pembangunan daerah dan prioritas lokasi pengurangan emisi gas rumah kaca yang didefinisikan pada rencana nasional

5) Identifikasi kebutuhan tindakan provinsi yang berdasarkan kepada arahan dari rencana nasional yang belum tercantum di dalam rencana pembangunan provinsi.

(25)

25 | P a g e

Bab 3 Baseline, Skenario dan Opsi Mitigasi

3.1 Baseline Secara Umum

Baseline adalah sebuah referensi untuk mengukur kuantitas yang terukur dimana hasil alternative dapat diukur dan pengurangan emisi merupakan selisih antara baseline dan kinerja nyata. Baseline yang berhubungan dengan perubahan iklim merupakan tindakan atau skenario tanpa kebijakan intervensi atau tindakan yang dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim.

Secara umum baseline dapat diinterpretasikan sebagai: 1. Skenario tanpa intervensi

2. Bukan merupakan ekstrapolasi sederhana dari tren saat ini, tetapi lebih merupakan evolusi masa depan dari tindakan.

3. Tidak dianggap sebagai prediksi apa yang akan terdi di masa depan

4. Simulasi jangka panjang diperlukan dan harus memasukkan ketidakpastian (uncertainty) yang mungkin terjadi dalam evolusi sistem dan termasuk didalamnya hambatan-hambatan utama.

Skenario baseline dapat didefinisikan sebagai skenario yang memungkinkan dan memberikan penjelasan konsisten mengenai bagaimana sistem dapat berevolusi di masa depan tanpa kebijakan mitigasi GRK.

mengukur dampak sektoral target = baseline – kinerja Gambar 3.1 Skenario Emisi

Terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan baseline:

1. Kasus efisiensi ekonomi: mengasumsikan alokasi sumber daya yang sempurna: mitigasi pasti ada implikasi pada kerugian ekonomi.

2. Kasus Business as usual: lanjutan dari tren saat ini. Emissions

Baseline with own action.

Baseline with support. Actual Performance

BAU

(26)

26 | P a g e 3. Kasus yang sangat mungkin terjadi (Most likely): pasar dan institusi tidak

diasumsikan berperilaku sempurna. Dapat memiliki implikasi pada opsi mitigasi “no

regrets”.

• Contoh nyata dari ekonomi yang tidak efisien, khususnya dalam sektor seperti energy dan transportasi di OECD dan Negara berkembangan (kesenjangan efisiensi).

• “Efficiency gap” terjadi karena distorsi pasar dan hambatan atau alas an sosial, politik dan budaya.

• Plausible baselines dapat dianggap“most likely ca se”: sejauhmana persistensi dari

“efficiency gap”, pada tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dan potensi pertukaran

capat dari saham teknologi.

Baseline dapat merefleksikan pengembangan business-as-usual (BAU) yang tergantung pada jenis emisi sektoral/target, atau dapat merefleksikan scenario, seperti tindakan yang akan dilakukan.

Evolusi dari kegiatan yang mempengaruhi sumber-sumber GRK terdiri dari: 1. Trend makro-ekonomi dan demografis

2. Pergeseran struktur di ekonomi 3. Proyeksi inti dari kegiatan emisi GRK

4. Evolusi teknologi dan prakteknya, termasuk efek saturation dan kemungkinan adopsi dari teknologi yang efisien yang mempengaruhi emisi GRK.

(27)

27 | P a g e Gambar 3.2 Aksi Mitigasi Berdasarkan Sektor

Berdasarkan kewenangan yang dimiliki (administrative) dan pelibatan dalam proses penyusunan BAU/Baseline serta opsi mitigasi (kemampuan teknis), maka dapat dilakukan pembagian sektor. Pembagian sektor merupakan pembagian peran pemerintah pusat dan daerah (provinsi) dalam penyusunan BAU dan opsi mitigasi atau disebut juga dengan menu sektoral. Berdasarkan karakteristik-karakteristik ini terdapat tiga kategori yaitu:

1. Sektor Campuran (Mixed sektor)

Sektor campuran adalah sektor yang sulit dibagi kewenangannya antara pusat dan daerah. Pusat memiliki otoritas pada sektor ini, tetapi pada tahap implementasi, bantuan dari daerah untuk mewujudkan pelaksanaan kebijakan akan sangat besar. Karena itu, sektor ini melibatkan koordinasi bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam kegiatan pengurangan emisi. Dalam kategori sektor campuran adalah sektor kehutanan, lahan gambut dan pertanian. Pemerintah pusat atau kelompok kerja nasional (National working group) yang dikoordinasi oleh Bappenas akan membuat nasional BAU/Baseline dan kemudian mendistribusikan hasil BAU tersebut ke provinsi-provinsi (misalnya Papua, Kaltim) (berkoordinasi dengan Bappeda dan dinas kehutanan) sehingga Provinsi-provinsi dapat membuat BAU masing-masing. Pemerintah pusat akan memberikan bimbingan teknis dan arahan menyangkut penyusunan BAU dan opsi mitigasi. Pemerintah daerah dan pusat (kelompok kerja dan Bappenda/dinas) dapat membuat usulan opsi mitigasi untuk setiap provinsi. Usulan-usulan pemerintah provinsi digabung (aggregated) oleh kelompok kerja nasional untuk menjadi rencana tindak mitigasi nasional (NAMAs).

Waktu Tn

T1

T0

Sektor 1

Sektor 2

Sektor 3

Sektor 4

Sektor -

Sektor 6

Aksi Mitigasi Setiap Sektor Baseline

Multi sektoral tren masa lalu

dan keadaan emisi saat ini

Emisi Gas Rumah Kaca

(28)

28 | P a g e 2. Sektor Tertutup (Isolated sektor)

Sektor ini disebut sektor tertutup karena pada sektor ini pemerintah provinsi memiliki kewenangan penuh untuk menangani penyusunan BAU dan opsi mitigasi dimana secara administratif dan teknis sektor ini merupakan kewenangan penuh daerah, yang termasuk ke dalam sektor tertutup adalah sektor persampahan. Provinsi (Bappeda dan dinas terkait ) perlu menentukan metodologi BAU dan opsi mitigasi berdasarkan dokumen yang disusun oleh nasional. Masing-masing provinsi akan menyerahkan BAU dan opsi mitigasi itu diserahkan ke kelompok kerja nasional untuk diseleksi dan bilamana terpilih dapat dijadikan satu menjadi National BAU dan usulan opsi mitigasi.

3. Sektor Terbuka (Open sektor)

Sektor ini disebut sektor terbuka karena pada sektor ini penyusunan BAU dan opsi mitigasi sifatnya yang lintas daerah atau lebih tepat menjadi kewenangan pemerintah nasional, yang termasuk ke dalam sektor ini adalah sektor industri dan sektor transportasi . Pada sektor ini, Pemerintah provinsi memiliki keterbatasan dalam pelibatan penyusunan BAU dan opsi mitigasi. Peran daerah adalah penyediaan data-data yang diperlukan untuk menyusun BAU, pada tahap implementasi dan reporting. Contohnya yang langsung ditangani oleh pusat adalah sektor industri dan transportasi. Daerah tidak terlibat secara penuh atau terbatas keterlibatannya dalam proses penyiapan BAU dan opsi mitigasi, karena sudah ditangani langsung oleh nasional working group/sektor. Keterlibatan daerah pada sektor ini adalah dalam tahap implementasi dan

reporting saja, juga penyediaan data-data awal. 3.2 Skenario Mitigasi

Skenario mitigasi dapat didefinisikan untuk memenuhi target pengurangan emisi tertentu, untuk menilai dampak potensial dari kebijakan atau teknologi tertentu, atau untuk memenuhi tujuan lainnya. Perbandingan dari skenario mitigasi dan baseline harus memuat biaya bersih (net) dan dampak dari opsi mitigasi. Hasil perlu dinilai dengan memperhatikan kelayakan dan ketercapaian, karena hambatan pada implementasi dan instrumen kebijakan yang dapat digunakan, seperti pajak, standar atau program insentif. Baik untuk baseline dan skenario mitigasi, analis harus menilai dampak makro ekonomi, tujuan sosial (seperti pekerjaan) dan lingkungan daerah. Salah satu pendekatan adalah untuk mengintegrasikan penilaian bottom-up

dengan model makro ekonomi. Metode pengambilan keputusan memungkinkan pemilihan kriteria ganda.

Opsi mitigasi yang menarik telah diidentifikasi dan dampaknya dikelompokkan, selain itu analis harus menilai opsi kebijakan untuk mendorong adopsi. Dalam prakteknya, beberapa pertimbangan opsi kebijakan akan menjadi bagian dari skenario mitigasi. Skenario mitigasi dapat mengasumsikan bahwa kebijakan tertentu diimplementasikan agar membawa hasil tertentu. Hal ini berkisar dari standar efisiensi pada peralatan penguna akhir hingga kebijakan.

(29)

29 | P a g e terintegrasi sangat penting untuk mengembangkan akurasi dan konsistensi internal dalam menghitung biaya keseluruhan dan dampak emisi, karena dampak pengurangan emisi dapat terjadi karena melaksanakan opsi tertentu yang tergantung pada opsi lainnya dalam skenario. Contohnya, tingkat pengurangan dalam emisi GRK yang diasosiasikan dengan opsi yang menghemat listrik tergantung pada sumber listrik yang akan dihindari (contoh: batu bara, minyak, hidro, atau campuran)

Jenis-Jenis Tujuan Skenario Mitigasi

Terdapat beberapa jenis tujuan menyusun skenario mitigasi yaitu untuk mengetahui

1. CO2 emissions per unit dari penggunaan bbm (atau produksi) yang kemungkinan berubah karena teknologi baru dikenalkan.

2. Faktor-faktor emisi karena gas kemungkinan akan dipengaruhi oleh perubahan teknologi. 3. Target pengurangan emisi. Contohnya: 12.5% pengurangan emisi hingga 2015 dan

pengurangan emisi 25% untuk 2030, dari tingkat baseline. Alternatif digunakan untuk merinci pengurangan dari tingkat base year, untuk menghindari membuat jumlah pengurangan tergantung pada skenario baseline tertentu.

4. Identifikasi opsi pada biaya per ton pengurangan emisi. Pengurangan emisi diberikan dari hasil pencampuran teknologi yang merefleksikan tingkat pengurangan yang dapat dicapai pada biaya marginal tertentu.

5. No regret scena rio. Skenario ini merupakan varian yang biasa dari tujuan sebelumnya, dimana screening intinya zero cost per tonne of GHG reduced.

6. Opsi specifik atau paket opsi. Contoh dari jenis skenario ini misal skenario gas alam, skenario energy terbarukan atau skenario nuklir.

3.2.1 Sektor Kehutanan dan Pertanian

3.2.1.1Konsep Baseline dan Metodologi

Baseline untuk sektor berbasis lahan (land based), seperti sektor kehutanan dan sektor pertanian, pendekatannya dilakukan berdasarkan pada sejarah dari baseline dan disesuaikan dengan pertimbangan lain, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial kependudukan dan akan lebih baik lagi jika model ini juga mempertimbangkan dinamika tanah yang terencana dan tidak terencana. BAU dan skenario dibuat berdasarkan perkiraan tren emisi masa depan. Nilai tersebut sebaiknya tidak boleh terlalu rendah atau terlalu tinggi untuk menghindari dua resiko berikut, yaitu:

- Jika BAU terlalu rendah Indonesia akan kehilangan potensi manfaat, dan

- Jika BAU yang terlalu tinggi Indonesia bisa gagal untuk mematuhi prinsip, manfaat nyata untuk perubahan iklim, sehingga dapat dikritik dan tidak dapat diterima negara lain. Baseline akan ditetapkan melalui proses politik dan negosiasi, gabungan argumentasi secara ilmiah dan berbagai kebijakan. Untuk skenario BAU berbasis lahan, sejumlah parameter telah diusulkan oleh Departemen Kehutanan dan ke dalam strategi REDD + Nasional.

(30)

30 | P a g e 1) Mendefinisikan historis baseline (tahun dasar atau periode referensi) dan periode

komitmen Indonesia, yaitu 2010-2020 menurut RAN-GRK (2010); 2) Memilih pengurangan emisi kumulatif atau non kumulatif;

3) Mengidentifikasi gas yang akan diukur dalam sektor landbased (baik fokus pada emisi CO2 langsung atau juga termasuk gas lainnya seperti CH4, N2O , NOx dan CO),

4) Mengatur subjek BAU untuk ketersediaan data yang lebih baik. 3.2.1.2Tren Emisi

Emisi dari sektor berbasis lahan adalah meliputi emisi dari gambut, perubahan tata guna lahan dan kehutanan serta pertanian. Emisi sektor gambut saat ini mencapai 38% dari keseluruhan emisi di Indonesia (tahun?), dan sampai pada tahun 2030 akan tetap terus dominan apabila menggunakan skenario BAU. Skenario BAU memperkirakan emisi pada lahan gambut akan meningkat sampai dengan 20% dari 772 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 972 MtCO2e pada tahun 2030. Emisi dari gambut berasal dari pembakaran dan pembusukan lahan gambut. Pembakaran merupakan sumber utama emisi terkait gambut. Pada tahun 2005, pembakaran berkontribusi sebesar 472 MtCO2e, lebih dari 60 persen dari total emisi terkait lahan gambut. Pembusukan lahan gambut akibat pengeringan merupakan sumber terbesar kedua emisi terkait lahan gambut, memberikan tambahan 300 MtCO2e.

Perubahan tata guna lahan dan kehutanan (LULUCF) memiliki kontribusi terhadap emisi total di Indonesia sebanyak 35%, yaitu 745 MtCO2e pada tahun 2005 dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2030 walaupun emisi bersih terkait LULUCF tersebut menurun menjadi 570 MtCO2e. Emisi tersebut terutama disebabkan oleh deforestasi, perusakan hutan dan pembakaran hutan. Deforestasi disebabkan oleh konversi lahan untuk pertanian, budidaya kelapa sawit, dan perkebunan bubur kayu serta pembalakan liar. Deforestasi diperkirakan akan konstan yaitu 1,1 juta ha per tahun dan menghasilkan sekitar 750 MtCO2e emisi bruto. Untuk perusakan hutan akibat kegiatan pembalakan yang tidak lestari di hutan-hutan produksi Indonesia, rata-rata berkontribusi sebesar 250 MtCO2e emisi bruto per tahun apabila pembalakan tersebut tidak segera ditangani. Sedangkan untuk pembakaran hutan, diperkirakan memberikan kontribusi terhadap emisi sebesar 78 MtCO2e per tahun.

Selanjutnya untuk pertanian, merupakan sektor dengan emisi yang cukup tinggi di Indonesia. Pada tahun 2005 emisi dari pertanian mencapai 132 MtCO2e. Apabila menggunakan skenario BAU, pada tahun 2030 akan meningkat 25 % dari kondisi pada tahun 2005 menjadi 164 MtCO2e.

3.2.1.3Potensi Skenario Mitigasi

Langkah-langkah utama untuk menyiapkan skenario mitigasi untuk sektor landbased yaitu: 1) Rumit, ada klasifikasi lahan di Indonesia, kelas lahan untuk semua lahan, yang merupakan

(31)

31 | P a g e 2) Mengumpulkan peta, data daerah sesuai dengan kelas dan strata, faktor emisi dan penyerapan

yang berkaitan dengan kelas,

3) Mengidentifikasi pendorong perubahan penggunaan lahan dan kemungkinan perubahan yang disebabkan manusia dalam penyerapan karbon / emisi setiap kelas,

4) Memvalidasi pilihan asumsi terbaik di transisi tanah dan perubahan penyerapan / emisi setiap kelas,

5) Mengintegrasikan asumsi lainnya seperti pertumbuhan, perubahan penduduk dan tenaga kerja, permintaan makanan dan kayu,

6) Mendefinisikan setiap skenario serangkaian kegiatan,

7) Mengidentifikasi modal keuangan untuk kegiatan mitigasi dan antisipasi investasi berbagai kegiatan landbased.

BAU dan berbagai skenario strategi mitigasi dapat ditetapkan oleh multipihak dan proses bertingkat. Rencana aksi juga harus diformulasikan dalam bentuk kegiatan yang selaras dengan rencana pembangunan daerah dan dukungan teknis dan keuangan.

3.2.1.4Indikator Kunci

Tabel 3.1 Indikator Kunci Sektor Kehutanan dan Pertanian

3.2.1.5Biaya Mitigasi

Biaya dan Manfaat Pilihan Mitigasi perlu diperkirakan untuk mengevaluasi pilihan mitigasi, sehingga seperangkat kriteria harus disusun untuk setiap opsi. Evaluasi harus mencakup berbagai

Komponen yang diukur Jenis data

Pengurangan Emisi - Data kegiatan (ha)

- Faktor Emisi (tCO2/ha) atau (t CO2e/ha)

Pengurangan Biaya

- Peluang biaya: biaya investasi & biaya operasional - Perbedaan kegiatan landbased

- Biaya Transaksi

Indikator Pengembangan

- Pengentasan kemiskinan (jumlah orang / ha) - Pembuatan lowongan kerja

- Indeks Pembangunan Manusia

Keuangan

- Jumlah (Rp) - Aliran

- Bagaimana digunakan

Teknologi - Penerapan pupuk baru

- Metode baru pemanenan hutan

- Metode baru untuk pengelolaan gambut

Peningkatan Kapasitas : - Pengaturan kelembagaan dan penguatan kapasitas - Pengembangan sumber daya manusia

(32)

32 | P a g e kriteria, termasuk faktor lingkungan fisik, sosial-ekonomi, dan lainnya sehingga membuat perbandingan pilihan lengkap. Kriteria fisik seperti ketersediaan lahan, produktivitas biomassa, dan arus gas rumah kaca bersih untuk setiap opsi yang telah dijelaskan di atas. Dibawah ini ada beberapa evaluasi kriteria ekonomi yang disarankan.

A. Fisik Input dan Output

Meskipun kriteria fisik menentukan kapasitas dari berbagai opsi untuk mengurangi perubahan iklim, kriteria ekonomi adalah variabel keputusan penting dalam memilih opsi mitigasi. Pada bagian ini, dibahas pendekatan dan isu yang terlibat dalam menyusun kriteria ekonomi. Langkah pertama adalah mengidentifikasi dan menghitung semua input fisik yang diperlukan untuk melaksanakan setiap opsi yang meliputi operasi awal, manajemen, pemanenan (jika ada), dan lainnya ini harus mencakup perkiraan tanah, tenaga kerja, peralatan, dan bahan yang dibutuhkan untuk mendukung proyek atau pilihan sepanjang masa. Untuk opsi lahan intensif, berbagai kategori tanah harus diidentifikasi dan kesesuaian mereka untuk berbagai pilihan dinilai. Untuk semua pilihan, analis juga harus mengidentifikasi menghambat faktor-faktor seperti keahlian, teknologi, dan investasi modal karena ini dapat mempengaruhi biaya serta kemungkinan pelaksanaan opsi. Bersama dengan masukan fisik, kita harus memperkirakan output fisik dalam hal produk yang diinginkan seperti kayu, woodfuel, dan hasil pertanian (untuk opsi-opsi agroforestri) yang diharapkan dari setiap opsi mitigasi.

B. Satuan Biaya dan Manfaat

Manfaat

(33)

33 | P a g e memperoleh biaya per unit pada saat digunakan. Untuk setiap produk yang diinginkan (misalnya, kayu atau woodfuel), estimasi harga produk akan diperlukan. Data ini akan digunakan untuk menghitung biaya dan manfaat dari elemen moneter setiap opsi.

Biaya

Biaya penyimpanan karbon dari suatu opsi mitigasi termasuk nilai sekarang dari arus beban yang cukup untuk menutup perencanaan proyek, pengembangan, dan biaya sesekali dan berulang, dan nilai kini biaya peluang proyek. Untuk pengelolaan terus-menerus dari proyek hutan tertentu, manfaat yang dihasilkan selama putaran pertama mungkin cukup untuk menutupi operasi dan pengelolaan rotasi masa depan. Laporan 1990 IPCC Respon Strategi Perubahan Iklim mencatat bahwa menghentikan deforestasi adalah pilihan murah untuk mengurangi unit karbon atmosfer (IPCC, 1991).13 Laporan tersebut mengutip biaya regional tahunan rata-rata sekitar $ 8/tC untuk penghijauan tropis dan pengurangan deforestasi, dan sekitar $ 28/tC untuk reboisasi di negara-negara OECD non-AS. Biaya mendirikan perkebunan aforest, tidak termasuk biaya kesempatan dari tanah, diperkirakan berkisar dari $ 230 sampai $ 1000 per hektar dengan biaya rata-rata $ 400 per ha (IPCC, 2001) 14 ).

Kedua, komponen biaya lainnya seperti sewa tanah (biaya kesempatan), pemeliharaan, dan monitoring dan evaluasi, yang tidak dimasukkan dalam laporan IPCC sebelumnya, kini sedang ditangani (IPCC, 2001). 15 Evaluasi biaya kesempatan penting karena menangkap manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan lahan dengan tidak adanya pilihan mitigasi, mengingat luas lahan saat ini menggunakan pola. Biaya peluang dapat dievaluasi dengan menggunakan berbagai metode tergantung pada tanah yang bersangkutan dan kemungkinan memproduksi berbagai barang dan / atau jasa jika tidak digunakan untuk opsi yang diberikan. Pendekatan ini meliputi sewa tanah, harga tanah pasar, dan keuntungan bersih yang diperoleh dari pemanfaatan lahan alternatif. Dalam semua kasus ini, nilai-nilai dan manfaat tanah dari penggunaan alternatif harus disesuaikan untuk memperhitungkan ada distorsi harga yang signifikan karena subsidi, peraturan zonasi, dan lainnya. Selain penyimpanan karbon, menerapkan pilihan mitigasi akan menghasilkan manfaat moneter maupun non-moneter lainnya. Manfaat ini dapat diklasifikasikan sebagai manfaat langsung atau tidak langsung tergantung pada peran mereka dalam, dan tingkat, aktivitas ekonomi dan nilai-nilai hutan non moneter. Manfaat langsung dapat mencakup barang-barang seperti kayu bakar, kayu untuk kebutuhan usaha dan jasa seperti rekreasi. Manfaat tidak langsung dapat mencakup item seperti lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat, polusi udara dan pengendalian iklim mikro, perlindungan DAS, dan pengembangan infrastruktur sosial seperti sekolah, jalan, dan rumah sakit. Selain manfaat, hutan memiliki nilai yang berasal dari saham sebagai sumber daya. Nilai ini mungkin akan dipengaruhi oleh perhatian untuk generasi mendatang dan status sosial. Tidak ada konsensus saat ini pada nilai moneter mengurangi unit karbon atmosfer. Awal perkiraan biaya marjinal (termasuk pajak) menstabilkan emisi dari

13

Assessment of the Vulnerability of Coastal Areas to Sea Level Rise–A Common Methodology 1991

14

Climate Change 2001: Mitigation, IPCC

15

Gambar

Tabel 3.1  Indikator Kunci Sektor Kehutanan dan Pertanian
Tabel 3.2 Contoh Tabel Biaya Mitigasi untuk Sektor Kehutanan
Tabel 3.3 Kebijakan, Tindakan, Biaya Total, NPV,  Kumulatif CO2 Abatement dan Sistem Biaya Abatement Untuk Transportasi
Gambar 3.4  Tren Emisi CO2 di Sektor Sampah Untuk Daerah Perdesaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Usulan Rencana Kegiatan sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan Konreg PUPR 2016 guna penyusunan Rencana Kerja Kementerian PUPR Tahun 2017 yang selaras dengan arah kebijakan

Peragakan cara mengelompokkan materi peraturan zonasi penataan ruang, sektoral, produk perencanaan rencana, pada level nasional, propinsi dan lokal kabupaten/kota.. Peragakan

Bab ini berisi usulan belanja barang, pembangunan gedung dan Rencana Anggaran Biaya (RAB). Usulan belanja barang dan pembangunan gedungharus disusun sesuai dengan

Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang Cipta Karya sebagai rujukan dalam penyusunan kebijakan spasial dan kebijakan sektoral yang ada di setiap

Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang Cipta Karya sebagai.. rujukan dalam penyusunan kebijakan spasial dan kebijakan sektoral yang ada

Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang Cipta Karya sebagai rujukan dalam penyusunan kebijakan spasial dan kebijakan sektoral yang ada di setiap daerah

Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang Cipta Karya sebagai rujukan dalam penyusunan kebijakan spasial dan kebijakan sektoral yang ada di setiap

Rencana Program I nvestasi Jangka Menengah (RPI JM) Bidang Cipta Karya sebagai3. rujukan dalam penyusunan kebijakan spasial dan kebijakan sektoral yang ada