• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diterjemahkan dari Greater Sins karya A.H. Dasteghib terbitan Islamic Study Circle, P.O. Box No. 5011, Mumbai (India)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Diterjemahkan dari Greater Sins karya A.H. Dasteghib terbitan Islamic Study Circle, P.O. Box No. 5011, Mumbai (India)"

Copied!
387
0
0

Teks penuh

(1)

Pustaka

Syiah

(2)

1 50 Dosa Besar Penghancur Amal: Buku Kedua

Diterjemahkan dari Greater Sins karya A.H. Dasteghib terbitan Islamic Study Circle, P.O. Box No. 5011, Mumbai 400009 (India)

Penerjemah Inggris : Syed Athar Husain S.H. Rizvi

Penerjemah Indonesia : A. A. Gaos, R. Hikmat Danaatmaja, Ali Yahya, & Ety Triana

Penyunting : Handoko & Ety Triana Pembaca Pruf : Abimanyu

Hak terjemahan dilindungi undang-undang All rights reserved

Dilarang memperbanyak tanpa seizin penerbit Cetakan I, Oktober 2013/Zulhijjah 1434

Diterbitkan oleh:

Citra (Anggota IKAPI)

Jl. Buncit Raya Kav.35 Pejaten Jakarta 12510

Telp.021-799 6767 Faks.(021) 799 6777 e-mail : [email protected] facebook : penerbit citra

rancang isi : khalid sitaba

rancang kulit : [email protected] ISBN 978-979-26-0729-1 (no.jil.lengkap) 978-979-26-0731-4 (jil.2)

Pustaka

Syiah

(3)

2 SEKAPUR SIRIH

Keutamaan ilmu moral dan akhlak terbukti dari sabda Rasulullah saw ketika Baginda saw mengandarkan tujuan pengutusannya. Beliau bersabda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”

Almarhum Sayid Abdul-Husain Dasteghib termasuk salah satu pengajar ilmu akhlak yang populer di negerinya. Sejumlah karya telah dihasilkan olehnya seperti Gunahane Kabira (buku yang sedang Anda baca ini), Qalb_e Saleem, Ma’ad, dan Barzakh. Karya-karyanya mencakup berbagai persoalan akhlak dan moralitas yang acapkali dirujukkannya kepada hadis-hadis. Agar hadis-hadis tersebut dapat tetap

“hidup dan dipakai” kami sarankan pembaca untuk merujuknya kepada pendapat para ahli fikih yang mumpuni, terutama mereka yang masih hidup.

Sayid Dasteghib sendiri secara gamblang memerikan fenomena dosa, penggolongan dosa, dan keniscayaan menghindari dosa. Dia memaparkan lima puluh jenis dosa besar. Mengingat ketebalannya, akhirnya penerbit membagi buku ini menjadi dua jilid. Pada jilid pertama, penulis membahas 30 dosa besar—dimulai dari dosa “Syirik”

hingga dosa “Tidak Menolong Orang yang Terzalimi”. Sementara, dalam jilid kedua (buku ini), penulis menguraikan 20 dosa besar mulai dari “Merampas Hak Orang Lain” hingga “Tidak Menghormati Tanah Makam Imam Husain as”.

Akhirnya, setelah memerikan secara gamblang perihal dosa-dosa besar, Sayid Dasteghib menutup buku kedua ini dengan permasalahan tobat. Ini seperti memberi isyarat bagi muslim yang melakukan dosa, segeralah melakukan pertobatan. Karena, salah satu tanda dari mereka yang bertakwa adalah kesegeraan mereka dalam bertobat.

Semoga penerbitan buku ini mampu memotivasi kaum muslim untuk menjauhi berbagai dosa dan maksiat sebagai kunci menuju kedekatan kepada Tuhan.

Jakarta, Zulkaidah 1434/September 2013

Pustaka

Syiah

(4)

3 DOSA BESAR KEDUA PULUH ENAM

Merampas Hak Orang Lain atau Tidak Memenuhi Hak

Dosa besar kedua puluh enam adalah tidak memenuhi hak orang lain, tanpa alasan yang sah. Jika seseorang yang memiliki hak atas seseorang dan menuntut haknya, namun orang yang memiliki kewajiban tersebut tidak memenuhi hak itu, meskipun dia mampu melakukannya, maka orang ini telah melakukan dosa besar. Tidak memenuhi hak-hak [dianggap] sebagai dosa besar sesuai dengan nas (al-Quran dan hadis). Hadis yang seringkali dikutip dari Amasy dari Imam Ja’far Shadiq as dan hadis Imam Ali Ridha as sebagaimana diriwayatkan oleh Fadhl bin Syadzan juga memasukkannya dalam daftar dosa-dosa besar.

Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Barangsiapa yang tidak memenuhi hak-hak seorang mukmin (dan tidak membayar apa yang dia berutang kepadanya), pada hari kiamat, Allah akan membuatnya berdiri selama lima ratus tahun dan darah atau keringatnya mengucur melalui tubuhnya. Penyeru Allah akan menyeru, ‘Inilah si zalim yang tidak memenuhi hak Allah’. Kemudian setelah diingatkan selama empat puluh hari lainnya, maka akan diperintahkan baginya untuk dilemparkan ke dalam api neraka (orang- orang yang mengingatkannya itu adalah orang-orang mukmin ataupun para nabi).”

Sebuah penjelasan tentang hadis ini oleh Allamah Majlisi menyatakan bahwa jika kezaliman si pelaku dosa itu sifatnya tidak terlalu serius, keringat akan mengalir dari tubuhnya dan jika kezalimannya bersifat serius, darah yang akan mengalir darinya.

(Mir’at al-‘Uqul, halaman 361)

Allamah Majlisi selanjutnya mengatakan, “Hadis ini membuktikan bahwa hak seorang mukmin adalah hak Allah. Allah telah memerintahkan untuk mengembalikan hak seorang mukmin. Tidak mematuhi perintah ini sama saja seperti merampas hak Allah.”

Hadis itu selanjutnya menyatakan, “Pada hari kiamat seorang penyeru akan menyeru, ‘Di manakah orang-orang yang menzalimi dan menyiksa para wali Allah?’

Sebagian orang akan bangkit. Mereka tidak akan memiliki daging apa pun di wajah- wajah mereka. Akan dikatakan, ‘Inilah orang-orang yang menyiksa orang-orang

Pustaka

Syiah

(5)

4

mukmin, memendam kebencian terhadap mereka, memperlakukan mereka dengan kasar disebabkan keimanan mereka.’”

Akan diperintahkan bahwa mereka dilemparkan ke dalam neraka. Selanjutnya, Imam Ja’far Shadiq as bersumpah dengan nama Allah Swt dan mengatakan bahwa orang- orang ini memiliki keimanan yang sama seperti orang-orang mukmin, namun mereka tidak menghormati hak-hak mereka dan juga membeberkan rahasia-rahasia dari orang-orang mukmin. (Wasail al-Syi’ah)

Imam Ja’far Shadiq as juga menyatakan, “Seorang mukmin yang memiliki sesuatu dan mukmin lain membutuhkannya; jika mukmin pertama tidak memenuhi kebutuhan mukmin yang miskin itu, niscaya dia tidak akan pernah mencicipi makanan surga dan tidak akan meminum rahiq al-makhtum (minuman surga).”

(Bihâr al-Anwar)

Tuntutan untuk Memenuhi Hak-Hak pada Hari Kiamat

Imam Ali Zainal Abidin as mengatakan, “Pada hari kiamat seseorang akan diikat tangannya dan umat manusia di Mahsyar akan diberi tahu bahwa setiap orang yang memiliki klaim atasnya dapat mengambil haknya.” (Layali al-Akhbâr)

Pada hari kiamat, ini adalah perkara paling sulit yang dihadapi. Setiap orang akan menghindari pertemuan dengan kerabat dan teman-temannya dan akan selalu berada dalam ketakutan terhadap tuntutan-tuntutan yang mungkin mereka layangkan terhadapnya. Barangkali inilah kesulitan besar untuk melarikan diri yang disinggung dalam ayat al-Quran berikut.

pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. (QS. Abasa [80]:34-36)

Kemiskinan yang Sesungguhnya

Rasulullah saw bertanya kepada para pengikut beliau, “Tahukah kalian siapakah orang miskin yang sesungguhnya?”

“Orang yang tidak memiliki uang, harta atau kekayaan,” jawab mereka.

Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada orang miskin di dalam umatku kecuali orang yang mendirikan salat, melaksanakan puasa, membayar zakat, melaksanakan ibadah

Pustaka

Syiah

(6)

5

haji, namun pada hari kiamat, seseorang akan datang, yang hartanya telah dia rampas, yang darahnya telah dia tumpahkan, dan orang lain yang telah dia pukul.

Kemudian amalan-amalan baik orang ini akan dialihkan kepada orang-orang yang memiliki hak-hak atasnya. Jika amalan-amalan baiknya habis sebelum seluruh hak dipenuhi, dosa-dosa dari orang-orang yang memiliki hak-hak atasnya akan ditambahkan kepada dosa-dosanya. Lalu dia akan dilemparkan ke dalam neraka.”

Tidak Membayar Utang dan Melanggar Hak

Apa pun yang diutang oleh seseorang adalah utang yang dibuat olehnya yang seharusnya dilunasi. Jumlah total uang yang dipinjam harus dibayar sesuai dengan jadwal pembayaran yang disepakati. Hal yang sama berlaku bagi suatu barang yang dijual tetapi tidak diserahkan. Penjual wajib menyerahkan barangnya kepada si pembeli tepat pada waktunya. Demikian pula orang yang telah menyewa sesuatu maka dia bertanggung jawab untuk mengembalikannya. Seorang suami berutang kepada istrinya hingga dia membayar maharnya. Suami juga bertanggung jawab untuk membiayai istrinya. Hukum-hukum jaminan ini banyak dan terdapat dalam kitab-kitab fikih. Kami hanya akan membahas topik-topik yang relevan dengan tujuan kami.

Pinjaman untuk Masa Tertentu dan Pinjaman Tanpa Batas Waktu

Pinjaman terdiri dari dua jenis. Pertama, pinjaman yang tidak terikat oleh batas waktu atau ketika tanggal pembayaran sudah habis waktunya. Jenis pinjaman kedua memiliki waktu tertentu untuk dilunasi. Kreditur tidak dapat menuntut benda yang dipinjamkan sebelum tanggal jatuh tempo. Jika orang yang meminjam meninggal dunia, seluruh utang yang diambil olehnya menjadi jatuh tempo dengan serta merta.

Sebagai contoh, jika seseorang meminjam sesuatu untuk setahun, namun dia meninggal dunia sebelum akhir tahun, maka ahli warisnya harus segera membayar pinjamannya. Tidak ada alasan bahwa waktu pembayaran belum tiba. Namun jika kreditur meninggal dunia, ahli warisnya tidak memiliki hak untuk menuntut pinjaman itu sebelum waktunya.

Wajib untuk Melunasi Utang

Pustaka

Syiah

(7)

6

Jika waktu pembayaran jatuh tempo atau jika kreditur menuntut kembali pinjamannya, debitur wajib untuk segera melunasi. Pinjaman harus dilunasi meskipun debitur harus menjual banyak barang miliknya atau meskipun dia harus menjual barang-barangnya kurang dari harga pasar. Namun jika dia terpaksa menjual dengan harga rendah, tidak wajib bagi debitur untuk menjual barang-barang itu. Jika debitur tidak memiliki apa pun seperti permadani, pakaian, barang-barang rumah tangga, toko dan sebagainya yang dapat dia jual dan melunasi pinjamannya, dia harus mengambil pekerjaan yang cocok untuk posisinya. Namun bagaimanapun juga, dia memiliki kewajiban untuk menyelesaikan utangnya.

Kelalaian dan kelambanan berkenaan dengan pelunasan pinjaman sama sekali haram dan merupakan dosa besar. Jika debitur hanya memiliki barang-barang yang diperlukan untuk kehidupannya, seperti sebuah rumah sederhana, permadani, pakaian dan sebagainya, tidak perlu baginya untuk menjual semua itu untuk melunasi pinjamannya. Kreditur tidak dapat memaksa debitur untuk menjual barang- barang ini. Namun, jika debitur ingin menjualnya dengan persetujuannya sendiri, dia dapat melakukan demikian, dan kreditur dibolehkan untuk menerima [pembayaran]

pinjaman tersebut. Namun diharapkan agar kreditur memberi tempo bagi debitur hingga pada waktu Allah menjadikannya mampu melunasi utang-utangnya.

Diriwayatkan oleh Utsman bin Ziyad, “Aku memberi tahu Imam Shadiq as bahwa seseorang berutang uang kepadaku dan ingin menjual tempat tinggalnya untuk membayarku.” Ketika mendengar ini, Imam as berkata tiga kali, “Aku memohon perlindungan Allah bagimu.” (Bahwa engkau menyebabkan orang miskin ini untuk mengorbankan tempat tinggalnya demi membayar utang-utangnya).

Beberapa hadis serupa telah tercatat dalam kitab-kitab hadis. Diriwayatkan bahwa seorang sahabat terkenal dari Imam Musa Kazhim as dan Imam Ridha as, bernama Muhammad bin Abi Umair, berdagang kain. Kebetulan dia mengalami kerugian yang mendorongnya ke jurang kemiskinan. Salah seorang debiturnya berutang kepadanya 10.000 dirham. Ketika dia mengetahui kesengsaraan sahabat tersebut, dia menjual rumahnya dan memberi uang untuk melunasi jumlah uang yang dia berutang kepadanya. Muhammad bin Umair bertanya apakah dia telah menerima uang 10.000 dirham sebagai warisan. Ketika dia menjawab tidak, dia bertanya apakah dia telah

Pustaka

Syiah

(8)

7

menerimanya sebagai hadiah dari seseorang. Lagi-lagi dia menjawab, “Tidak, tetapi aku telah menjual rumah yang aku tempati agar aku dapat melunasi utangku kepadamu.”

Muhammad bin Umair meriwayatkan suatu perkataan dari Imam Ja’far Shadiq as yang melarang seorang kreditur untuk memaksa debiturnya agar menjual rumahnya dan berkata, “Demi Allah, sekarang ini aku membutuhkan setiap dirham namun aku tidak dapat mengambil satu dirham dari ini.”

Sebenarnya Muhammad bin Umair adalah seorang kaya yang memiliki aset-aset seharga di atas 500.000 dirham. Kondisi kemiskinannya sekarang disebabkan kedekatannya dengan Imam Musa Kazhim as. Karena inilah dia dibui selama empat tahun dan dihukum cambuk tanpa belas kasihan. Sang khalifah tiran menyita apa pun yang dia miliki. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya atas orang-orang yang dizalimi seperti itu. Fakta yang tak terbantahkan adalah bahwa jika seseorang merampas hak-hak orang lain, setiap hari yang dia lalui membuatnya menanggung dosa yang sama dengan mengumpulkan ethesher (10% pajak yang dikumpulkan atas perintah penguasa tiran).

Imam Muhamamd Baqir as berkata, “Seorang syahid di jalan Allah dibebaskan dari setiap dosa kecuali atas utang yang tidak dibayar; yang tidak memiliki pengganti.

Melunasi utang merupakan keharusan; atau kreditur dapat membatalkannya. (jika tidak, si syahid akan ditanya mengenai utang-utangnya).” (Wasail al-Syi’ah, bab 4, jilid 13, halaman 83)

Selain itu, Imam as menyatakan, “Segera setelah tetes darah pertama dari seorang syahid tumpah, seluruh dosanya diampuni. Kecuali atas utang yang tidak dibayar, yang tidak dimaafkan. Pengampunan utangnya dapat diraih hanya dengan melunasinya.“ (Wasail al-Syi’ah, bab 4, jilid 13, halaman 85)

Gawatnya semua ini dapat dipastikan dari peristiwa ketika seseorang dari Anshar meninggal dunia. Dia meninggalkan utang sebesar dua dinar yang belum dibayar.

Rasulullah saw menolak untuk memimpin salat jenazahnya hingga kerabatnya mengambil alih tanggung jawab untuk melunasi utang si mayat.

Pustaka

Syiah

(9)

8

Ketika Muawiyah bin Wahab bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq as mengenai hadis ini, beliau menjawab, “Ini hadis sahih dan ucapan Rasulullah menyampaikan makna yang sama bahwa manusia seharusnya mengambil pelajaran darinya dan memahami seriusnya utang. Mereka tidak boleh menganggapnya sepele dan harus menjadikannya alasan untuk melunasi utang-utang mereka.” (Wasail al-Syi’ah)

Rasulullah saw, Imam Ali, Imam Hasan, dan Imam Husain semuanya memiliki utang ketika mereka meninggalkan dunia ini. Namun mereka menunjuk ahli waris mereka yang melunasi utang-utang mereka setelah wafatnya mereka. Hadis ini mengandung makna bahwa tidak dilarang untuk berutang namun mengabaikan atau menunda pembayaran utang adalah haram. Bahkan tidak bijak untuk bepergian (untuk ibadah haji) ke Mekkah dan Madinah tanpa lebih dahulu menyelesaikan utang-utangnya.

Abu Sumaniyah bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as mengenai ini, “Aku ingin pergi dan bermukim di Mekkah atau Madinah tetapi aku memiliki utang kepada beberapa orang di sini.” Imam as menjawab, “Pulanglah! Pertama-tama bayarlah utang-utangmu. Jangan sampai engkau mati dalam kondisi ini dan bertemu Tuhanmu padahal engkau dalam keadaan berutang. Karena seorang mukmin tidak pernah melakukan pengkhianatan (menyalahgunakan amanat).” (Al-Kafi, jilid 5, halaman 94) Tidak Melunasi Utang adalah Pengkhianatan Bagi Semua

Hadis di atas benar-benar menjelaskan bahwa tidak memenuhi hak seseorang atau menunda pelunasan utang sama dengan pengkhianatan. Karenanya, seluruh hadis yang tercatat pada bab tentang khianat sama-sama dapat diterapkan di sini dan hadis-hadis Rasulullah saw melukiskan pengkhianatan sebagai sejenis kezaliman.

Rasulullah saw menyatakan, “Seorang muslim yang walaupun mampu [namun]

menunda pelunasan utang, dia telah melakukan kezaliman terhadap seluruh muslim.” (Wasail al-Syi’ah, jilid 13, halaman 97)

Tidak membayar utang merupakan kezaliman terhadap krediturnya. Sesungguhnya perbuatan demikian merupakan kezaliman terhadap kaum muslim umumnya.

Demikian ini terjadi karena ketika melihat bahwa orang ini mampu tetapi dia tidak membayar utangnya, maka orang lain yang mampu meminjamkan uang akan tidak mau untuk melakukan demikian, karena takut mengalami nasib yang sama.

Pustaka

Syiah

(10)

9

Meminjamkan uang merupakan perbuatan yang patut dipuji dan siapa pun yang berusaha menghalanginya, sesungguhnya dia telah menzalimi seluruh muslim.

Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Semoga Allah mengutuk orang yang menutup pintu perbuatan baik. Itulah orang yang tidak berterima kasih kepada orang yang telah melakukan perbuatan baik terhadapnya. Karenanya, pelaku kebaikan menahan diri dari melakukan perbuatan menolong yang sama terhadap seseorang lain di kemudian hari.” (Bihâr al- Anwar; Wasail al-Syi’ah)

Tentu saja, meminjamkan adalah perbuatan kebaikan. Tidak melunasi atau menyebabkan penundaan yang tidak semestinya dalam pelunasan berarti tidak menghargai pertolongan yang diberikan ini. Selain itu dapat mengakibatkan kreditur tidak mau lagi meminjamkan uangnya kepada seseorang lainnya di kemudian hari.

Cara Meminjamkan dan Meminjam

Hadis-hadis sahih sangat menekankan pada pahala yang dijanjikan bagi orang yang meminjamkan. Di sisi lain, orang-orang yang menghindari perbuatan baik ini telah disediakan azab pedih bagi mereka. Adakalanya mustahab (dianjurkan) untuk meminjamkan dan makruh untuk tidak meminjamkan.

Secara umum, adalah makruh untuk meminjam namun jika kebutuhan untuk melakukan demikian benar-benar mendesak, maka sifat makruhnya itu gugur.

Besarnya makruh secara langsung sebanding dengan kegawatan aktual situasinya.

Sesungguhnya dalam beberapa kondisi, adalah wajib untuk meminjam. Sebagai contoh, adalah wajib meminjam demi menyelamatkan kehidupan atau kehormatan seseorang. Jika seseorang mengetahui bahwa dia tidak akan mampu melunasi pinjamannya, sikap hati-hati menuntut agar ia seharusnya menahan diri dari meminjam kecuali jika ia sangat membutuhkan.

Ganjaran Bagi Orang yang Meminjamkan dan Azab Bagi Orang yang Tidak Mau Meminjamkan

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang meminjamkan kepada saudara mukminnya dan memberinya tempo hingga dia mampu melunasinya, maka uang yang telah dia pinjamkan dianggap sebagai zakat dan para malaikat mendoakannya

Pustaka

Syiah

(11)

10

dan memohon rahmat Allah baginya hingga uang ini dikembalikan.” (Wasail al-Syi’ah bab 6, jilid 13, halaman 86)

Beliau juga berkata, “Jika seseorang meminjamkan kepada saudara muslimnya, itu untuk kebaikannya sendiri. Setiap dirham yang dia pinjamkan akan membuatnya pantas untuk menerima ganjaran sebesar Bukit Uhud (yang berada di Mekkah) dan Gurun Sinai. Jika dia bersikap toleran dalam menagih utangnya, niscaya dia akan melintasi jembatan Shirath seperti kilat menyambar. Jika seorang saudara muslim menceritakan kesusahannya di hadapan seseorang dan orang ini tidak meminjamkannya uang apa pun, surga akan tertolak untuknya pada hari pembalasan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Wasail al-Syi’ah)

Wajib untuk Berniat Membayar Utang

Barangsiapa yang belum mampu melunasi utangnya harus berniat membayarnya segera setelah dia mampu melakukannya. Niat ini harus dia prioritaskan terlebih dahulu. Sesungguhnya niat untuk membayar seharusnya sudah ada sejak awal.

Seseorang yang mengambil pinjaman tanpa memiliki niat untuk membayarnya dianggap sebagai seorang pencuri.

Berikut ini adalah hadis-hadis dari Imam Ja’far Shadiq as mengenai niat seseorang yang mengambil pinjaman.

“Barangsiapa yang mengambil pinjaman tapi tidak peduli untuk membayarnya, dia adalah seorang pencuri.” (Wasail al-Syi’ah, bab tentang Tijarah)

Imam Ja’far Shadiq as juga bersabda, “Ada tiga jenis pencuri, pertama adalah orang yang tidak membayar zakat; kedua adalah orang yang tidak menganggap mahar harus dibayarkan kepada istri sebagai utang wajib dan ketiga adalah orang yang mengambil pinjaman tapi dia tidak berniat untuk melunasinya.”

Imam yang mulia as selanjutnya berkata, “Jika debitur berniat melunasi pinjamannya, Allah Swt akan menunjuk dua malaikat untuk menolongnya hingga pinjaman itu dilunasi. Namun jika dia tidak memedulikan niat ini, dia tidak akan memperoleh keberkahan-keberkahan dari Allah.” (Wasail al-Syi’ah)

Debitur yang Tidak Mampu Harus Diberi Tenggang Waktu

Pustaka

Syiah

(12)

11

Walaupun dibolehkan bagi debitur untuk menjual barang-barang miliknya yang tidak penting untuk melunasi utang-utangnya, kreditur menurut kewajiban Ilahi tidak boleh menyebabkan kesulitan yang tidak semestinya bagi si debitur. Kreditur seharusnya memberi tempo hingga si debitur dapat melunasi utang-utangnya dengan mudah. Berdasarkan kondisi-kondisi ini, jika dia memaafkan pinjamannya seluruhnya, dia akan dianggap sebagai sedekah yang akan berada di sisi Allah sebagai amanatnya dan dia akan terus memperoleh manfaat darinya untuk selamanya.

Allah Swt berfirman dalam al-Quran,

Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS.. al-Baqarah [2]:280)

Dua poin penting dapat diambil dari ayat al-Quran yang dikutip di atas. Pertama, wajib untuk memberi tempo kepada seorang debitur yang tidak mampu untuk membayar pinjamannya. Kedua, lebih patut dipuji bagi seorang kreditur untuk sama sekali memaafkan pinjaman yang dia berikan.

Sejumlah hadis telah menyebutkan dua poin ini.

Rasulullah saw bersabda, “Debiturmu tidak diperbolehkan untuk menunda membayar pinjaman jika dia mampu untuk membayarnya. Sebagaimana pula engkau tidak diperbolehkan untuk menekannya secara tidak pantas apabila engkau mengetahui bahwa dia tidak mampu untuk segera membayarmu.” (Wasail al-Syi’ah) Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Janganlah menyerang saudara muslimmu dengan tuntutan membayar utang apabila engkau mengetahui bahwa dia tidak mampu membayarnya. Sebab datuk kami yang mulia Rasulullah saw telah bersabda bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menyerang saudara muslimnya. Jika seorang kreditur memberi tempo kepada si peminjam, dia memenuhi syarat untuk menerima naungan (dan lindungan) Allah pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya.” (Wasail al-Syi’ah)

Maksudnya bahwa pada hari kiamat orang seperti itu akan menerima anugerah khusus dari Allah Swt. Imam as juga berkata, “Jika seseorang ingin agar dia diberi

Pustaka

Syiah

(13)

12

perlindungan di bawah naungan Allah pada hari ketika tidak akan ada naungan lain, dia seharusnya memberi tempo kepada debiturnya dan tidak harus menuntutnya untuk segera membayar utangnya, atau seharusnya dia sama sekali memaafkan pinjamannya.” (Wasail al-Syi’ah)

Imam Muhammad Baqir as berkata, “Ada orang-orang yang akan berada di bawah Arasy pada hari kiamat dalam keadaan wajah-wajah mereka berkilauan cahaya, pakaian dan kursi-kursi tempat mereka duduk pun gemerlap bercahaya. Lalu seorang penyeru akan menyeru, ‘Inilah orang-orang yang melakukan kebaikan terhadap orang-orang mukmin dan memberi tempo kepada debitur yang tidak mampu hingga waktu dia mampu melunasi utangnya.’” (Wasail al-Syi’ah)

Setiap Hari Pemberian Tempo Menghasilkan Pahala Sedekah

Ulama Syi’ah terpercaya, Syekh Kulayni ra, telah mencatat bahwa Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Suatu hari Rasulullah saw menaiki mimbar dan setelah mengagungkan Allah dan memuji para nabi as, beliau berkata, ‘Orang-orang yang hadir berkewajiban untuk menyampaikan (apa yang aku katakan kini) kepada orang-orang yang tidak hadir (di majelis ini)’.

Kemudian Rasulullah saw bersabda, ‘Jika seseorang memberi tempo kepada debiturnya yang tidak berdaya maka hingga waktu dia menerima pinjamannya Allah mencatatnya sebagai pahala sedekah dalam catatan amalan-amalannya.’” (Wasail al-Syi’ah)

Untuk setiap hari dari masa tenggang yang dia berikan kepada debiturnya, dia menerima ganjaran Ilahi yang sama dengan membelanjakan pinjaman sebagai sedekah. Beberapa hadis tentang masalah ini dapat dikutip, namun hadis-hadis yang disebutkan seharusnya mencukupi. Harus diingat bahwa menghindari atau menunda pembayaran khumus dan zakat juga dianggap sebagai tidak mengembalikan hak-hak.

Tidak membayar zakat juga merupakan dosa besar menurut aturan-aturan al-Quran dan hadis. Kita akan membahasnya pada bab tersendiri.

Allah Akan Mengampuni

Jika seseorang mati sebelum dia membayar utangnya dan kreditur tidak diberi ganti rugi atas utang tersebut dari barang-barang yang ditinggalkan olehnya, di mana

Pustaka

Syiah

(14)

13

kreditur tidak memaafkan utangnya dan asalkan debitur tidak lalai untuk membayarnya, dan pinjaman tersebut tidak digunakan untuk tujuan haram serta orang tersebut selalu berniat untuk membayar tetapi tidak mampu untuk berbuat demikian, maka berdasarkan kondisi ini, menurut hadis, Allah Swt dengan rahmat- Nya akan mengganti kerugian kreditur tersebut pada hari kiamat.

Muhammad bin Basyir datang kepada Imam Ja’far Shadiq as dan memberi tahu beliau bahwa dia berutang seribu dinar kepada Syahab. Dia meminta Imam as untuk membujuk Syahab agar memberinya tempo hingga musim haji. Maka Imam as memanggil Syahab dan berkata, “Engkau mengetahui bahwa Muhammad bin Basyir termasuk di antara para pengikut kami. Dia berutang kepadamu seribu dinar. Uang ini tidak dibelanjakan olehnya untuk kepentingan dirinya. Sebaliknya, itu tetap sebagai utang terhadap beberapa orang dan dia harus menanggung kerugiannya.

Aku ingin agar engkau membatalkan seribu dinarmu.”

Kemudian Imam as berkata, “Barangkali engkau mendapat kesan bahwa perbuatan- perbuatan baiknya akan diberikan kepadamu sebagai ganti pinjamanmu?”

Syahab berkata, “Ya, aku mendapat kesan ini.” Imam as berkata kepadanya, “Allah Swt itu Maha Penyayang dan Mahaadil. Jika seseorang, demi mendekatkan diri kepada Allah, menyembah-Nya pada malam-malam musim dingin dan berpuasa pada siang-siang musim panas, tawaf mengelilingi Ka’bah, kemudian apakah engkau mengira setelah semua ini Allah akan mengambil perbuatan-perbuatan baiknya dan memberikannya kepadamu? Tidaklah demikian, rahmat-Nya jauh melebihinya.

Dengan kemurahan-Nya Dia memberi imbalan perbuatan baik seorang mukmin.”

Setelah mendengarkan kata-kata ini, Syahab mengatakan bahwa dia telah memaafkan pinjamannya untuk selamanya.

Debitur yang Perbuatan Baiknya Diberikan kepada Kreditur

Jika debitur bersalah dalam hal lamban membayar utangnya, atau jika dia telah menjadikan pinjaman tersebut untuk tujuan haram, atau jika dia menunda pembayaran meskipun dia mampu untuk membayarnya, dan jika setelah kematiannya utangnya belum dibayar dan kreditur tidak memaafkannya, maka pada hari kiamat perbuatan baiknya sama dengan jumlah pinjaman yang akan diberikan

Pustaka

Syiah

(15)

14

kepada kreditur dan jika perbuatan baiknya sudah tidak ada lagi atau tidak cukup untuk menutupi jumlah pinjaman itu, maka dosa-dosa dari catatan perbuatan kreditur akan dialihkan ke catatan debitur yang bersalah itu.

Sebagian riwayat telah melukiskan fenomena ini dalam kata-kata yang jelas.

Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Waktu yang paling sulit pada hari kiamat adalah ketika orang-orang yang memenuhi syarat untuk menerima khumus dan zakat akan bangkit dan mengepung orang yang tidak membayarnya. Mereka akan mengadu kepada Allah bahwa orang ini tidak membayar uang yang semestinya bagi mereka dari khumus dan zakat. Maka Allah akan mengalihkan perbuatan-perbuatan baik orang itu dan memberikannya kepada orang-orang yang memenuhi syarat (untuk menerima zakat dan khumus).”

Imam Ja’far Shadiq as juga mengatakan bahwa pada hari kiamat, seorang kreditur akan mengadukan debiturnya. Jika debitur tersebut memiliki perbuatan baik, niscaya itu akan diberikan kepada krediturnya dan jika tidak ada perbuatan baik untuk maksud ini, niscaya dosa-dosa si kreditur akan ditambahkan dalam catatan perbuatan si debitur.

Sangat jelaslah dari berbagai hadis tersebut bahwa jika seseorang mati sebelum memenuhi hak-hak dari orang lain atasnya, dia tidak akan meraih keselamatan hingga hak-hak itu dikembalikan kepada pemiliknya atau pemiliknya memaafkannya, atau hingga perbuatan-perbuatan baiknya diberikan kepada orang yang memiliki hak atasnya atau jika tidak ada perbuatan-perbuatan baik untuk maksud ini, maka dosa- dosa dari orang yang memiliki hak atasnya itu dialihkan ke catatan perbuatan debitur. Atau, pada akhirnya, sampai Ahlulbait as memberi syafaat kepadanya.

Jumlah Kompensasi

Berapa banyak tepatnya perbuatan baik yang akan diperlukan untuk memberi kompensasi terhadap utang yang belum dibayarkan merupakan persoalan yang diketahui oleh Allah dan Rasulullah saw. Kita tidak memiliki pengetahuan apa pun tentangnya dan tidak perlu bagi kita untuk mengetahuinya. Namun, beberapa hadis menyebutkan beberapa ekuivalensi. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis, Rasulullah

Pustaka

Syiah

(16)

15

saw bersabda bahwa sebagai penggganti dari setiap dirham 600 salat dari debitur akan dibayarkan kepada kreditur. (Layali al-Akhbâr)

Dan jika 1/6 dirham terbuat dari perak, tujuh ratus salat yang diterima dari debitur akan dialihkan kepada pemiliknya yang sah. (Setiap dirham perak itu sama dengan berat 18 gram biji-bijian). Dengan demikian, orang yang meninggalkan dunia ini, padahal dia masih berutang, niscaya dia akan berada dalam kondisi yang sangat sulit.

Setiap orang harus secara khusus membayar utangnya sesegera mungkin. Jika seseorang tidak mampu membayar utang-utangnya, dia harus membangun hubungan dengan Ahlulbait as dan memohon syafaat mereka untuk memperoleh ampunan dari kreditur.

Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada yang lebih serius setelah dosa-dosa besar daripada fakta bahwa seseorang mati sementara dia berutang kepada manusia dan tidak ada (yang dapat dijual) untuk melunasi utangnya.” (Mustadrak al-Wasail) Selain itu, Rasulullah saw menyampaikan kepada para sahabat beliau setelah melaksanakan salat pada suatu hari, “Si fulan yang syahid masih menunggu di luar surga. Dia tidak dapat memasukinya karena dia masih berutang tiga dirham kepada seorang Yahudi.”

Bersegera Membayar Utang itu Mustahab (Dianjurkan)

Telah sangat jelas bahwa tidak membayar utang, atau tidak mengembalikan hak-hak adalah haram hukumnya dan termasuk dosa besar. Bergantung pada tuntutan kreditur dan kemampuan debitur, adalah wajib untuk membayar utang sesegera mungkin. Begitu banyak ganjaran Allah yang dijanjikan untuk ini.

Allamah Nuri mengutip dalam kitabnya, Dâr al-Salâm, sebuah peristiwa dari kitab Nûr al-‘Uyûn. Dia menulis bahwa Sayid Hasymi, seorang ulama saleh dan terkenal, mengatakan bahwa dia telah menerima seratus dinar sebagai pinjaman dari seorang Yahudi dan berjanji untuk mengembalikannya dalam waktu dua puluh hari. “Aku mengembalikan separuh dari jumlah itu kepadanya dan kemudian tidak melihatnya selama beberapa hari. Orang-orang mengatakan kepadaku bahwa dia telah pergi ke Bagdad. Pada suatu malam, aku bermimpi bahwa terjadi hari kiamat. Aku dipanggil bersama beberapa orang lain untuk mempertanggung jawabkan perbuatanku. Allah,

Pustaka

Syiah

(17)

16

dengan rahmat-Nya yang tak terhingga, membolehkan aku untuk masuk surga. Aku memutuskan untuk menyeberangi jembatan shirath sesegera mungkin. Namun, jeritan dari neraka membuatku ketakutan. Ketika aku sedang menyeberangi jembatan itu, tiba-tiba Yahudi yang memberiku pinjaman melompat dari bawah neraka, ditelan kobaran api dan menghalangi jalanku dan berkata, ‘Berikan aku 50 dinar dan aku akan membiarkanmu pergi’. Aku mengemukakan kepadanya bahwa aku selalu mencarinya untuk melunasi utangku tetapi tidak berhasil menemukannya.

Dia berkata, ‘Engkau benar, tetapi sebelum engkau melunasi utangmu engkau tidak akan dapat melintasi jembatan shirath ini’. Aku berkata, ‘Aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan’. Sebagai ganti utangku kepadanya dia memintaku untuk membolehkannya meletakkan sebuah jari di atas tubuhku. Aku memberinya izin dan dia meletakkan jarinya di atas dadaku. Ketika jarinya menyentuh dadaku, aku menjerit karena luar biasa panasnya dan terbangun dari mimpiku. Tempat di mana si Yahudi itu menyentuh dadaku juga terbakar.” Setelah ini ia membuka dadanya kepada hadirin dan mereka melihat bahwa terdapat luka yang mengerikan di atasnya. Dia mengatakan bahwa dia masih mengobatinya, namun tampaknya tidak sembuh. Ketika para hadirin mendengarkan semua ini, mereka mulai meratap keras.

Juga diriwayatkan pada jilid 17 dari Bihâr al-Anwar bahwa Syahid Awwal mengutip Ahmad bin Abil Jawzi bahwa dia berkata, “Adalah keinginanku untuk melihat Abu Sulaiman Durrani, yang dianggap sebagai seorang saleh dan bertakwa kepada Allah.

Demikianlah, aku melihatnya dalam mimpi setelah setahun kematiannya. Aku bertanya tentang bagaimana Allah memperlakukannya. Dia berkata, ‘Wahai Ahmad!

Ketika aku melewati Baabu Shaghir pada suatu hari, aku melihat seekor unta bermuatan jerami dan rumput, aku memetik sepotong ranting dari situ dan tidak ingat apakah aku mencungkil gigi dengannya atau membuangnya tepat seperti itu.

Namun setahun berlalu dan aku masih disibukkan dalam mempertanggung jawabkan ranting itu.”

Ayat al-Quran di bawah ini juga mendukung fakta tersebut:

“Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan

Pustaka

Syiah

(18)

17

mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Luqman [31]:16)

Dengan demikian, orang yang telah melakukan kebaikan sekecil apa pun niscaya dia akan melihatnya dan orang yang melakukan kejahatan sekecil apa pun niscaya dia akan melihatnya pada hari kiamat.

Dalam surat kepada Muhammad bin Abu Bakar, Imam Ali as berkata, “Wahai makhluk Allah! Ketahuilah, Allah Yang Maha Pengasih akan meminta pertanggung jawabanmu tentang setiap perbuatan kecil dan besar yang kamu lakukan.”

Ayat berikut ini merupakan dalil yang mencukupi untuk ini:

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS.. al- Zalzalah [99]:7-8)

Disebutkan dalam Bihâr al-Anwar bahwa Sayid Hasan bin Sayid Ali Isfahani mengatakan,

“Pada waktu ayahku wafat, aku sedang belajar di Najaf Asyraf. Tanggung jawab ayahku jatuh pada beberapa saudaraku. Aku tidak mengetahui fakta ini. Tujuh bulan setelah meninggalnya ayahku, ibuku juga meninggal dunia di Isfahan. Jenazah ibuku dibawa ke Najaf Asyraf. Pada salah satu dari malam- malam itu, aku melihat ayahku dalam mimpi. Aku bertanya kepadanya bahwa dia telah wafat di Isfahan, maka bagaimana dia mencapai Najaf. Ia berkata,

‘Ya! Meskipun aku wafat di Isfahan, aku diberi tempat di Najaf.’ Aku bertanya apakah ibuku juga bersamanya. Ayahku menjawab, ‘Ibumu juga di Najaf tetapi di rumah yang berbeda.’ Jadi, aku menduga bahwa ibuku tidak diberikan kedudukan yang sama dengan ayahku. Aku bertanya lagi kepada ayahku tentang bagaimana keadaannya. Dia mengatakan bahwa walaupun sebelumnya dia berada dalam penderitaan berat namun kini dengan rahmat Allah dia berada dalam keadaan menyenangkan. Aku heran bahwa bagaimana seorang yang saleh dan religius seperti ayahku dapat merasakan penderitaan. Dia mengatakan bahwa itu disebabkan fakta bahwa dia

Pustaka

Syiah

(19)

18

berutang kepada Haj Raza bin Babaju alias Naalband. ‘Walaupun dia telah menuntut pembayaran, aku tidak mampu untuk melunasinya. Aku menderita siksaan karena tidak bisa melunasi utang ini.’ Tiba-tiba aku terbangun. Aku menulis surat kepada saudaraku, ahli waris dari ayahku dan memberitahukannya tentang mimpiku agar dia melakukan penyelidikan apakah ayahku berutang sejumlah uang kepada orang seperti itu. Saudaraku membalas surat bahwa dia telah menelusuri seluruh buku rekening namun tidak dapat menemukan seorang kreditur dengan nama itu. Lagi-lagi aku menulis surat kepada saudaraku untuk menemukan orang ini dan bertanya kepadanya langsung apakah dia memiliki piutang terhadap almarhum ayahku. Saudaraku menjawab setelah beberapa waktu dan mengatakan bahwa dia telah menemukan orang itu dan bertanya kepadanya tentang utang ayahku. Dikatakan bahwa ayahku berutang kepadanya 18 tuman tetapi selain Allah tidak ada orang yang mengetahui tentang itu. Dia mengatakan bahwa setelah meninggalnya ayah, dia mendatangi saudaraku dan bertanya kepadanya apakah namanya tertera dalam daftar para kreditur ayahku.

Ketika saudaraku memberitahkannya bahwa itu tidak ada, dia menjadi terusik tentang bagaimana ayahku tidak mencatat namanya di antara para kreditur.

Karena dia tidak memiliki bukti apa pun, maka dia tidak melihat jalan apa pun untuk memperoleh uangnya. Ketika mendengar ini, saudaraku memberinya jumlah utang yang belum dibayarkan. Namun dia menolak untuk menerimanya. Dia mengatakan bahwa dia telah memaafkan uang pinjaman almarhum ayahku.”

Imam Muhammad Baqir as berkata, “Kezaliman itu ada tiga jenis. Pertama, kezaliman yang Allah tidak akan ampuni; kedua, yang Dia akan ampuni dan ketiga, kezaliman yang akan Dia ‘persoalkan’. Kezaliman yang Allah tidak akan pernah ampuni adalah syirik. Kezaliman yang Allah ampuni adalah kezaliman yang seseorang lakukan atas dirinya dan itu merupakan dosa di antara orang itu dan Allah. Kezaliman yang Allah ‘persoalkan’ adalah kezaliman yang seseorang lakukan dengan tidak membayar utang-utangnya.” (Wasail al-Syi’ah)

Pustaka

Syiah

(20)

19

Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang mampu memuaskan (menyenangkan) para krediturnya, niscaya dia akan masuk surga tanpa penundaan hisabnya. Dia akan berada di Taman, bersama Ismail as bin Ibrahim as.” (Mustadrak)

Rasulullah saw juga bersabda, “Utang yang dikembalikan oleh debitur lebih utama dibandingkan dengan ibadah seribu tahun dan memerdekakan seribu budak serta melaksanakan haji dan umrah seribu kali.” (Mustadrak)

Beliau juga bersabda, “Jika seseorang mengembalikan satu dirham kepada pemiliknya yang sah, Allah Swt akan menyelamatkannya dari api neraka dan untuk setiap daniq (1/6 dirham) dia akan mendapat pahala seorang nabi dan untuk setiap dirham dia akan mendapat sebuah istana dari mutiara merah (di surga).”

(Mustadrak)

Rasulullah saw juga bersabda, “Mengembalikan hak kepada pemilliknya itu lebih baik dibandingkan dengan berpuasa di siang hari dan melaksanakan salat tahajud. Jika seseorang mengembalikan utang, niscaya satu malaikat menyeru dari bawah Arasy,

‘Wahai hamba Allah! Sejak saat engkau melakukan perbuatan baik ini, Allah telah mengampuni seluruh dosamu yang lalu.’”

Memenuhi Hak-Hak Manusia

Ketika seseorang memiliki sesuatu, sesuatu itu bisa berupa salah satu dari dua keadaan. Keadaan pertama adalah orang itu mengetahui bahwa apa pun yang dia miliki bukan sepenuhnya miliknya, melainkan sebagian darinya adalah milik orang lain. Keadaan kedua adalah bahwa seseorang berutang kepada orang lain, namun orang ini tidak memiliki barang atau properti riil yang berada dalam kepemilikan orang yang memberi utang tadi. Sebagai contoh, barang yang dia pinjam itu sudah dihabiskan tetapi dia masih berutang kepada orang yang telah meminjamkan barang itu. Demikian pula terdapat berbagai jenis jaminan dan pemeliharaan wajib yang menjadi tanggung jawab seseorang, karenanya harus diberi perhatian besar.

Keadaan pertama meliputi empat kategori.

a) Mengetahui jumlah dan pemiliknya.

Apabila diketahui bahwa jumlah tertentu dari suatu barang secara sah milik si fulan, maka wajib mengembalikan jumlah yang sama tersebut kepada orang yang

Pustaka

Syiah

(21)

20

memilikinya. Seandainya dia meninggal dunia, wajib mengembalikan kepada ahli warisnya.

b) Apabila jumlahnya diketahui tetapi tidak mengetahui pemiliknya.

Jika jumlah tepatnya utang diketahui tetapi terdapat keraguan mengenai dari siapakah ini diutang sedemikian rupa hingga seseorang merasa jumlah tersebut secara sah milik salah satu dari tiga atau lima orang, maka atas dasar kehati-hatian adalah perlu untuk membayar ke semua orang tersebut. Jika tidak mungkin untuk membayar ke mereka semua, maka ada tiga aturan: 1. Harus dipilih di antara mereka dan salah seorang dari mereka diberikan barang itu. 2. Barang itu seharusnya sama rata dibagikan di antara semua yang mungkin menjadi pemiliknya. 3. Jika keraguan itu berkenaan dengan seratus orang lebih atau jika pemiliknya sama sekali tidak diketahui, maka sebagai tindakan pencegahan, dengan izin marja taklid, barang- barang ini seharusnya diberikan sebagai sedekah. (Setiap orang harus mengikuti marja taklid-nya sendiri dalam hal ini).

c) Apabila jumlahnya tidak diketahui tetapi pemiliknya ada

Dalam kondisi bahwa seseorang mengetahui bahwa dia berutang salah satu barang yang berada dalam kepemilikannya kepada seorang tertentu, namun tidak mengetahui jumlah pasti yang dia berutang, maka wajib atasnya untuk memberikan minimal sepertiga dari barang-barang itu kepada pemiliknya. Sebagai tindakan pencegahan, dia seharusnya memberikan sesuatu yang lebih [berharga] dan memuaskan pemiliknya.

d) Apabila pemilik dan jumlah pasti tidak diketahui

Seseorang mengetahui bahwa dia berutang suatu barang yang dia miliki kepada seseorang. Haram baginya untuk menggunakan barang-barang ini, namun dia tidak mengetahui jumlah pasti dari barang yang diharamkan baginya dan tidak mengetahui pemiliknya yang sah. Dia mungkin menganggap beberapa orang sebagai yang mungkin menjadi para pemiliknya namun dia tidak mengetahui tentang berapa banyak darinya yang menjadi milik mereka. Dalam kondisi ini, wajib atasnya untuk membayarkan khumus (1/5) dari total barang itu. Setelah ini, sisa dari barang atau

Pustaka

Syiah

(22)

21

properti itu menjadi diperbolehkan sama sekali. (Untuk penjelasan detailnya silakan merujuk ke bagian khumus dalam kitab-kitab fikih praktis).

Dalam kondisi kedua, sesuatu diutangkan oleh seseorang tapi tidak dalam bentuk barang atau properti yang nyata dan jelas. Ada empat persoalan tentang jenis ini:

1) Jika jumlah pasti dan pemilik yang sah diketahui, tanpa ragu jumlah itu harus dikembalikan kepada pemiliknya.

2) Jika jumlah pasti diketahui tetapi tidak diketahui pemiliknya siapa, dan ada keraguan di antara beberapa orang terpilih bahwa itu dapat menjadi milik seseorang dari mereka. Dalam hal ini wajib untuk memenuhi masing-masing dari mereka dengan cara yang dijelaskan dalam aturan-aturan mengenai barang-barang yang nyata dan jelas. Namun jika terdapat keraguan di antara sejumlah besar orang, nilai barang dari barang itu harus diberikan kepada kadi

1

atau diberikan sebagai sedekah dengan izinnya atas nama pemiliknya yang sah.

3) Jika nilainya tidak diketahui tetapi orang yang memberi utang diketahui, maka kewajiban dari orang yang berutang adalah mengembalikan jumlah minimum yang diduga dan juga membujuk pemiliknya untuk membatalkan sisa darinya.

4) Apabila jumlahnya tidak pasti dan pemiliknya tidak diketahui, maka hukum menyatakan bahwa harus dibuat suatu estimasi dan rata-rata dari jumlah minimum dan maksimum yang dibayarkan sebagai sedekah setelah adanya izin dari kadi.[]

DOSA BESAR KEDUA PULUH TUJUH Menghindari Jihad

Menurut al-Quran dan hadis, melarikan diri dari jihad merupakan dosa besar. Ini adalah dosa besar kedua puluh tujuh. Ayat berikut dari surah al-Anfal cukup jelas.

Ayat ini berkenaan dengan melarikan diri dari sebuah konfrontasi dengan orang- orang kafir ketika mereka kurang dari dua kali jumlah kaum muslim.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di

1 Mungkin yang dimaksud adalah marja taklid sesuai dengan konteks sebelumnya—peny.

Pustaka

Syiah

(23)

22

waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya (QS. al-Anfal [8]:15- 16)

Amirul Mukminin Ali as berkata, “Orang-orang yang melarikan diri dari medan perang seharusnya mengetahui bahwa mereka telah membuat murka Allah dan telah membawa diri mereka menuju kehancuran karena melarikan diri dari peperangan menyebabkan kemurkaan Allah. Orang yang melarikan diri dari jihad pasti akan menghadapi bencana-bencana dan kemunduran abadi dan perbuatan melarikan diri itu tidak akan dapat mencegah kematian, dan kehidupannya tidak dapat diperpanjang. Yakni, jika tiba saat kematiannya, perbuatan melarikan diri itu tidak akan menunda kematiannya. Dia akan mati karena suatu sebab lainnya. Di sisi lain, jika saat kematiannya belum tiba dan dia berpartisipasi dalam jihad dia tidak akan mati. Maka itu, lebih baik bagi seseorang untuk menggadaikan hidupnya kepada Allah daripada hidup dalam kemurkaan Allah, degradasi dan kehinaan.”

Jihad yang Diprakarsai dan Jihad untuk Membela Diri Jihad itu ada dua jenis:

(1) Jihad yang diprakarsai.

(2) Jihad untuk membela diri.

Jenis pertama adalah apabila kaum muslim melakukan perang melawan kaum kafir untuk mengajak mereka kepada Islam atau untuk menegakkan keadilan. Namun, izin Rasulullah saw, para Imam as atau wakil-wakil khusus mereka menjadi prasyarat yang diperlukan dari jihad jenis ini. Karena periode sekarang ini merupakan periode kegaiban besar, maka jenis jihad ini diharamkan.

Jihad untuk membela diri, sebagaimana terkandung dalam namanya, berkenaan dengan kondisi apabila orang-orang kafir menyerang wilayah-wilayah muslim untuk menghilangkan warisan Islam atau untuk merampas harta dan kehormatan kaum

Pustaka

Syiah

(24)

23

muslim. Di bawah kondisi-kondisi demikian, adalah wajib kifayah

2

untuk melakukan jihad dan menolak serangan mereka. Untuk jihad jenis ini izin segera dari Imam as atau wakil khususnya menjadi tidak diperlukan.

Ada perbedaan pendapat mengenai melarikan diri dari medan perang. Sebagian ulama berpendapat bahwa itu hanya berkenaan dengan peperangan yang dilancarkan terhadap orang-orang kafir di bawah perintah Imam as atau wakil khususnya. (Sebagai contoh, pengecualian dari memandikan jenazah dan mengafani bagi seorang syahid juga berkenaan dengan jihad ini). Para ulama lainnya berpendapat bahwa keputusan hukum tersebut berlaku bagi kedua jenis jihad tersebut. Orang-orang yang ingin mengkaji persoalan ini secara detail dapat merujuk kepada buku-buku tentang jihad atau buku-buku fikih.

Ketika membahas larangan melarikan diri dari medan perang, maka sangat layak untuk membahas ketabahan Amirul Mukminin Ali as di medan perang. Peristiwa- peristiwa seperti itu telah dimasukkan dalam pembahasan yang memuji keutamaan Imam Ali as. Kitab-kitab sejarah Syi'ah dan Sunni tidak menyebutkan satu contoh pun ketika Imam Ali as mundur dari peperangan. Bahkan dalam Perang Uhud, beliau adalah satu-satunya orang yang tidak melarikan diri. Pada jilid ke-9 dari Bihâr al- Anwar, pada bab berjudul “Keberanian”, tercatat sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, mengenai Imam Ali as. Empat dari orang-orang yang lari dari Perang Uhud kembali dan mendatangi Rasulullah saw lagi. Mereka adalah Abu Dujanah, Miqdad, Thalhah dan Mushaib. Setelah itu, sisa dari kaum Anshar kembali. Dengan demikian, orang- orang inilah yang telah melarikan diri dari Rasulullah saw. Seluruh sahabat telah meninggalkan Rasulullah saw sendirian di medan perang, kecuali Imam Ali as. Imam Ali as bertempur di tengah-tengah kaum musyrik untuk membela Islam dan Rasulullah saw.

Pada Perang Ahzab, Rasulullah saw menganugerahi Imam Ali as gelar “penyerang yang hebat” dan “orang yang tidak pernah mundur”. Maksudnya, orang yang menyerang para musuh dengan sangat hebat dan tidak mundur satu inci pun. Tiada keraguan bahwa Imam Ali as dianugerahi seluruh kualitas ini. Sementara, sejarah

2 Wajib atau fardu kifayah bermakna bahwa jika sebagian orang berdiri untuk memenuhi suatu kewajiban, maka orang lainnya tidak perlu.

Pustaka

Syiah

(25)

24

merupakan saksi bahwa para sahabat lain telah melarikan diri dari sejumlah medan perang seperti Uhud, Khaibar, Hunain dan Dzatu Salasil.[]

DOSA BESAR KEDUA PULUH DELAPAN Menjadi A’rab Setelah Hijrah

Dosa kedua puluh delapan, yang dinamakan sebagai dosa besar, adalah menjadi A’rab (Badui, Gipsi dan sebagainya) setelah hijrah.

Tercatat dalam Ushul al-Kafi di bawah bab tentang dosa-dosa besar, bahwa menurut Shahih Ibnu Mahbub, ketika dia menulis surat kepada Imam Musa bin Ja’far as, beliau menjawab bahwa dosa ini termasuk di antara dosa-dosa besar. Selain itu, Muhammad bin Muslim telah mengutip Imam Ja’far Shadiq as dan menyatakan bahwa beliau telah memasukkan dosa ini sebagai dosa-dosa besar. Kitab Ali as juga memasukkan dosa ini dalam daftar dosa-dosa besar.

Imam Ja’far Shadiq as mengatakan, “Menjadi A’rab setelah hijrah dan kemusyrikan itu (dosa) satu dan sama.” (Ushul al-Kafi, bab tentang dosa-dosa besar)

Apa yang Dimaksud dengan “Menjadi A’rab Setelah Hijrah”?

A’rab bermakna bangsa Arab pengembara atau Badui yang sangat jahil tentang agama dan ritual-ritual yang berhubungan dengan keimanan. Hijrah maksudnya perpindahan bangsa Arab gurun ini ke pusat muslim, masuk Islamnya mereka di tangan Rasulullah saw atau wasi beliau, ketundukan mereka sebagai konsekuensinya terhadap keimanan, serta ketundukan mereka terhadap aturan dan regulasi agama.

Menjadi A’rab setelah hijrah adalah kondisi ketika seorang Badui gurun, sebelum memperoleh pengetahuan agama yang diperlukan, berbalik mundur ke cara-cara jahilnya.

Pada periode awal Islam, adalah wajib atas mereka untuk berhijrah kepada Rasulullah saw demi mempelajari apa pun yang diperlukan untuk menjadi seorang muslim. Demikian pula diharamkan bagi kaum muslim untuk tinggal di wilayah mayoritas orang-orang kafir; wilayah yang tidak mungkin bagi mereka untuk melaksanakan salat, berpuasa dan melaksanakan kewajiban-kewajiban agama lainnya.

Pustaka

Syiah

(26)

25

“Mengapa Kamu Tidak Berhijrah?”

Tercatat dalam Tafsir Minhaj al-Shadiqin bahwa ada beberapa orang di antara kaum muslim, seperti Qais bin Walid, yang lahiriahnya muslim dan telah mengucapkan ikrar lâ ilaha illallah tetapi sekalipun demikian dan mereka mampu, mereka tidak menyertai kaum muslim dalam hijrahnya dari Mekkah ke Madinah. Ketika kaum Quraisy Mekkah berbaris untuk menyerang kaum muslim dalam Perang Badar, orang-orang ini bergabung bersama kaum Quraisy tersebut dan pada akhirnya terbunuh di tangan kaum muslim. Sebuah ayat al-Quran diwahyukan menyangkut peristiwa ini:

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab, "Adalah kami orang- orang yang tertindas di negeri (Mekkah)." Para malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS. al-Nisa [4]:97)

Ayat di atas memperjelas fakta bahwa kewajiban seorang muslimlah untuk meninggalkan tempat di mana dia tidak dapat melaksanakan ajaran agamanya dan ritual-ritualnya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang berhijrah dari suatu tempat ke tempat lain untuk kepentingan agama, meskipun hanya sejauh jarak satu bentangan (tangan), Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Di dalam surga itu dia ditemani oleh Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad saw.” (Minhaj al-Shadiqin)

kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan ataupun anak- anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. al-Nisa [4]:98-99)

Diriwayatkan dari Akrama bahwa banyak orang Mekkah yang memeluk Islam tidak mampu untuk berhijrah ke Madinah, namun ketika ayat al-Quran yang menyesalkan orang-orang demikian diwahyukan, mereka menjadi sadar akan hal tersebut. Salah

Pustaka

Syiah

(27)

26

seorang dari mereka, Junda bin Zumrah, berkata kepada anak-anaknya, “Meskipun aku telah menjadi sangat tua dan sakit, demi Allah aku tidak termasuk di antara orang-orang tidak berdaya yang terhalang untuk berhijrah. Aku masih memiliki kekuatan yang tersisa dan aku juga mengetahui jalan menuju Madinah. Aku takut bahwa jika aku mati secara tiba-tiba, tidak berhijrahnya aku akan merupakan cacat atas keimananku yang sempurna. Karenanya, kalian semua angkatlah tempat tidur di mana aku tidur di atasnya dan bawalah aku keluar menuju Madinah.”

Demikianlah, anak-anaknya mengangkat tempat tidur itu dan membawanya keluar, namun mereka hanya mencapai jarak pendek ketika tanda-tanda kematiannya menjadi nyata. Junda bin Zumrah menaruh tangan kanannya di atas tangan kirinya dan berkata, “Ya Allah! Tangan ini adalah untuk-Mu dan ini untuk Rasul-Mu. Aku berjanji setia kepada-Mu demi apa-apa yang Rasul-Mu telah janjikan.”

Setelah itu, rohnya keluar dari tubuhnya. Ketika berita kematiannya sampai ke Madinah, beberapa sahabat menyatakan, “Akan lebih baik jika Junda bin Zumrah sampai di Madinah. Di jalan ini dia telah memperoleh hijrah yang benar.”

Allah Swt mewahyukan ayat berikut atas kejadian tersebut,

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Nisa [4]:100)

Menjadi A’rab Setelah Wafatnya Rasulullah saw

Pada masa hidup Rasulullah saw, wajib atas setiap orang untuk berhijrah kepada beliau untuk mendapatkan pengajaran dalam agama dan keimanan. Seandainya dia hidup di tengah-tengah kaum kafir di mana dia tidak dapat melaksanakan kewajiban- kewajiban salat dan puasa, maka mutlak lebih penting untuk hijrah.

Pustaka

Syiah

(28)

27

Tidak berhijrah dan kembali ke nomadisme ditetapkan sebagai dosa besar dan Allah Swt telah menjanjikan api neraka bagi orang-orang semacam ini.

Setelah wafatnya Rasulullah saw, adalah wajib untuk beralih kepada para Imam as dan memperoleh pengetahuan iman yang wajib dan pasal-pasal tentang perbuatan Islam. Selain itu, yang paling esensial adalah mencapai makrifat Imam as, yakni wajib untuk memiliki pengetahuan tentang Imamnya dan juga mempelajari masalah keimanan dan perbuatan. Haram juga untuk berbalik mundur kepada penyembahan berhala setelah menerima Islam. Tetap menjauhkan diri dari Imam as, sekalipun setelah mengenal kedudukan mereka, adalah haram. Syekh Shaduq meriwayatkan dari Hudzaifah bin Manshur bahwa dia telah memberitakan dari Imam Ja’far Shadiq as yang berkata, “Menjadi A’rab setelah hijrah adalah mengenal Imam as kemudian menjauh darinya.” (Ma’ani al-Akhbâr)

Karena era sekarang ini adalah era kegaiban Imam Zaman as, maka aturan-aturan yang sama berlaku bagi kita.

Perlu untuk Hijrah kepada Ahli Fikih

Hijrah itu wajib terhadap dua jenis manusia. Jenis pertama adalah orang-orang yang benar-benar jahil tentang aturan-aturan agama. Jika tidak ada ulama agama di wilayah tempat tinggal mereka, yang bisa mereka jadikan rujukan untuk persoalan- persoalan agama mereka, maka wajib bagi mereka untuk berpindah ke suatu tempat di mana mereka memiliki akses kepada para ulama untuk menyelesaikan persoalan- persoalan mereka.

Jenis kedua adalah kaum muslim yang hidup di tengah-tengah kaum kafir, dan disebabkan penindasan dari orang-orang kafir ini, mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban agama mereka. Wajib atas kaum muslim ini untuk berhijrah ke suatu wilayah di mana terdapat kebebasan untuk mengamalkan agama mereka. Para fukaha Syi’ah telah menjelaskan persoalan ini dengan jelas.

Perintah untuk Hijrah adalah Selamanya

Rasulullah saw telah mengatakan kepada kita, “Hijrah itu wajib hingga pintu-pintu tobat tertutup. Pintu-pintu tobat tidak akan tertutup hingga matahari terbit dari barat.” (Yakni, perintah untuk hijrah itu akan berlaku hingga hari kiamat). (Masalik)

Pustaka

Syiah

(29)

28

Amirul Mukminin Ali as mengatakan, “Perintah untuk hijrah ditetapkan hingga Allah menuntut ketaatan dari penduduk bumi sebagaimana halnya perintah itu pertama kali diumumkan pada masa Rasulullah saw.”

Artinya, hijrah akan tetap menjadi tugas wajib hingga saatnya tugas-tugas agama lainnya yang menjadi tetap wajib atas manusia.

“Mereka Tidak Dapat Hijrah dari Mekkah”

Dalam kitab Masalik, Syahid Tsani

3

menulis bahwa Rasulullah saw menjelaskan makna dari hadis tentang hijrah dengan mengatakan bahwa hadis ini secara khusus berkenaan dengan hijrah dari Mekkah. Karenanya, ketika Mekkah dibebaskan dari dominasi kaum kafir, maka tidak ada kebutuhan bagi kaum muslim untuk berhijrah ke tempat lain. Perintah tersebut berlaku hanya kepada kaum muslim yang tidak dapat melaksanakan kewajiban agama mereka. Menurut sebagian ulama, setelah penaklukkan Mekkah, tidak ada keutamaan dalam hijrah dari Mekkah, sebagaimana terdapat keutamaan yang lebih besar dalam jihad dan perjuangan untuk Islam sebelum penaklukkan tersebut.

…Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu … (QS. al-Hadid [57]:10)

Untuk memahami maksud ayat ini, marilah kita mengkaji poin-poin berikut.

Hijrah yang Wajib, Sunah dan Mubah Ulama terkenal, Allamah Hilli, menulis dalam kitabnya, Mumtahi, bahwa ada tiga

jenis hijrah, yaitu wajib, sunah dan mubah (dibolehkan).

Hijrah Wajib

Hijrah itu wajib atas seorang muslim (yang tidak terkendala oleh usia lanjut atau penyakit) yang hidup di tengah-tengah kaum kafir yang di dalamnya dia tidak dapat mengungkapkan bahwa dia adalah seorang muslim, dan dia tidak dapat melaksanakan kewajiban agamanya.

3 Zainuddin Jabal Amili.

Pustaka

Syiah

(30)

29 Hijrah Mustahab

Bagi kaum muslim yang hidup di antara kaum kafir tetapi yang memiliki kebebasan sempurna untuk mengamalkan keimanannya, disunahkan untuk berhijrah ke wilayah lain, jika mereka mampu melakukan demikian. Namun, jika mereka memiliki alasan yang sah, hijrah adalah mubah (dibolehkan) bagi mereka; hijrah ini bukan disunahkan.

Tidak Ada Hijrah dari Wilayah-Wilayah Ahlusunnah

Menurut Syarah Lum’ah dan Jami’ al-Maqasid, Syahid Awwal

4

mengatakan, “Wajib bagi seorang muslim untuk hijrah jika dia hidup di tengah-tengah kaum kafir dan tidak dapat mengikuti Islam atau melaksanakan kewajiban agamanya. Sama halnya dengan seorang Syi'ah yang hidup di antara Ahlusunnah dan tidak dapat melaksanakan ritual-ritual Syi'ah diharuskan untuk hijrah ke wilayah-wilayah yang dihuni oleh kaum Syi'ah.”

Namun pandangan ini, yang disandarkan kepada Muhammad bin Makki (Syahid Awwal) tidak sesuai dengan prinsip umum Islam. Karena jika seorang Syi'ah hidup di tengah-tengah kaum Sunni, dia tidak perlu meninggalkan kewajiban agamanya (menurut mazhabnya). Dia dapat melakukan taqiyah dan melaksanakan ritual-ritual Syi'ahnya. Dia dapat melaksanakan amaliah Islami dalam cara yang sama sebagaimana kaum Sunni jika dia mencemaskan nyawa atau hartanya. Kami tidak memiliki suatu hadis yang mendorong orang-orang seperti itu untuk hijrah ke wilayah lain. Di sisi lain, para Imam as telah berkali- kali menekankan untuk melakukan taqiyah di bawah kondisi-kondisi seperti itu.

Dukungan terhadap Pandangan Syahid Awwal

Sebagian ulama mendukung pandangan Muhammad bin Makki yang menyatakan hadis berikut dari Imam Ja’far Shadiq as sebagaimana dikutip oleh Muhammad bin Muslim yang diminta untuk menjelaskan perintah Islami bagi seseorang yang pada waktu perjalanan sampai di suatu tempat, di mana tidak ada batu ataupun pasir;

seluruh arealnya ditutupi dengan salju dan orang itu menjadi mujnib (sperma keluar darinya dan dia harus melakukan mandi wajib untuk salat). Bagaimana dia dapat

4 Muhammad bin Makki.

Pustaka

Syiah

(31)

30

melakukan tayamum (pengganti mandi) dalam ketiadaan tanah atau batu? Imam as menjawab, “Dia boleh melakukan tayamum dengan salju ini dan melaksanakan salat.

Aku rasa tidak pantas baginya untuk pergi lagi ke tempat seperti itu di mana dia dapat kehilangan keimanannya.”

Menurut orang-orang yang mendukung pandangan tersebut, karena Imam as telah melarang para pengikut beliau untuk pergi ke suatu tempat yang mustahil untuk melaksanakan mandi dan wudu, larangan juga berlaku bagi suatu tempat yang mustahil untuk melakukan wudu dan mandi menurut tata cara Syi'ah.

Namun, ini bukan argumen yang memadai karena hadis tersebut melarang pergi ke suatu tempat ketika seseorang yakin tidak dapat melakukan beberapa amalan wajib.

Di sisi lain, ini hanyalah kemungkinan bahwa di wilayah Ahlusunnah, seorang Syi'ah akan terpaksa melakukan taqiyah. Di samping itu, meskipun seorang Syi'ah melakukan taqiyah dan melaksanakan amalan-amalan wajib seperti Ahlusunnah, amalan-amalannya dianggap benar. Lebih dari itu, jika memang tidak ada pengekangan, mungkin saja disunahkan baginya untuk hijrah dari wilayah Ahlusunnah. Namun, jika dia tidak dapat mengungkapkan kecintaannya pada Ahlulbait as, tentu saja disunahkan baginya untuk hijrah.

Berdakwah di Wilayah Kaum Kafir

Samad mengatakan bahwa dia mengatakan kepada Imam Ja’far Shadiq as bahwa dia akan bepergian ke suatu wilayah yang dihuni oleh kaum musyrik dan bahwa dia akan menetap di sana selama beberapa waktu. Beberapa orang mukmin memberitahukannya agar sebaiknya dia tidak bepergian ke sana karena jika dia mati di tempat itu, dia akan dianggap termasuk di antara kaum musyrik tersebut. Imam as bertanya kepadanya, apakah dia dapat menyebarkan wilayah Ahlulbait dan mengajak orang banyak kepada kebenaran di tempat itu?

Samad berkata, “Ya, Tuanku, di sana terdapat kebebasan total berekspresi dan beragama. Orang-orang di sana mau menerima kebenaran.” Lalu Imam as bertanya apakah kebebasan seperti itu mungkin ada di wilayah Islam.

Pustaka

Syiah

(32)

31

Samad menjawab, “Tidak! Sebaliknya, kita harus melakukan taqiyah ketat, dan tidak ada seorang pun dari kami yang bisa berani menyebut nama-nama salah seorang dari kalian (para Imam as).”

Imam as berkata kepadanya, “Jika kematian mendatangimu di tempat seperti itu, engkau akan dianggap termasuk umat yang bertauhid. [maksudnya, dia akan sama dengan suatu masyarakat tauhid; seperti Nabi Ibrahim as]. Cahaya keimanan akan memancar dari wajahmu.” (Wasail al-Syi’ah)

Allamah Majlisi ra menulis dalam Syarh al-Kafi bahwa mungkin saja bahwasanya kata A’rab bermakna menjadi seorang pengembara lagi atau meninggalkan hijrah setelah perintah hijrah diwahyukan. Seperti haramnya riba yang menjadi berlaku hanya setelah perintah Allah diwahyukan. Meskipun demikian, sejak periode awal, tidak mau hijrah tanpa alasan yang sah atau hijrah dan kemudian kembali ke kehidupan nomaden, keduanya merupakan dosa besar dan dijanjikan api neraka oleh Allah Swt.

Pandangan Al-Quran tentang Nomadisme dan Kemurtadan

Kami telah menyebutkan di awal pembahasan bahwa Badui secara khusus berlaku bagi bangsa Arab gurun yang jauh dari pusat Islam dan tidak mempelajari aturan dan regulasi Islam, dan mereka tidak dapat mengingat dan mengikuti ajaran keimanan.

Sehubungan dengan ini, ayat berikut diwahyukan dalam al-Quran:

Orang-orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. al- Taubah [9]:97)

Allah Yang Mahakuasa juga berfirman,

Di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah), sebagi suatu kerugian, dan dia menanti-nanti marabahaya menimpamu, merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.. al-Taubah [9]:98) Di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan

Pustaka

Syiah

(33)

32

Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan memasukan mereka ke dalam rahmat (surga)Nya; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.. al-Taubah [9]:99)

Tidak Mengetahui Amaliah Islami adalah Sejenis Nomadisme

Dua ayat di atas, yang mengecam keras para Badui kafir, jelas mengenai fakta bahwa para Badui itu pantas mendapat kecaman bukan karena mereka menjadi penghuni gurun. Hal ini disebabkan kejahilan mereka tentang amaliah-amaliah dan ajaran Islam. Bagi para Badui yang mengikuti agama Islam, al-Quran telah memuji mereka dalam ayat ketiga di atas. Mereka telah dijanjikan rahmat Allah.

Atas dasar ini, orang-orang yang tidak mau mempelajari aturan dan hukum Islam dan orang-orang yang menjauhkan diri dari pusat-pusat ilmu agama sesungguhnya termasuk kelompok kaum nomaden. Ayat yang mengecam orang-orang Arab gurun juga berlaku bagi mereka meskipun mereka hidup di kota-kota.

Imam Ja’far Shadiq as menyatakan, “Pelajarilah hukum-hukum agama. Orang-orang yang tidak belajar tentang hukum-hukum agama adalah kaum nomaden.

Sebagaimana Allah Yang Mahakuasa berfirman dalam kitab-Nya, Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

5

” (Bihâr al- Anwar, Kitab ‘Aql)

Dengan demikian, orang yang tidak berusaha untuk belajar tentang agama dan ajaran keimanan adalah seorang penghuni gurun (Badui). Imam as juga berkata kepada para pengikut beliau, “Ilmu tentang agama Allah itu wajib atas kalian.

Janganlah kalian menjadi seorang Badui. Karena jika kalian tidak mau memahami amalan agama, Allah tidak akan memandangnya dengan pandangan rahmat pada hari kiamat dan Dia tidak akan menyucikan amalan itu.” (Syahid Tsani)

5 QS. al-Taubah [9]:122—peny.

Pustaka

Syiah

(34)

33

Orang yang Belajar Tetapi Tidak mengamalkannya juga Seorang Badui

Muhaddits Faidh menulis dalam al-Wâfi bahwa mungkin saja pernyataan di atas juga berlaku bagi orang-orang yang belajar tentang ritual dan amalan Islam tetapi tidak mengamalkannya. Dia juga mengutip hadis dari Imam Ja’far Shadiq as untuk membuktikan hal ini.

Allamah Majlisi ra menyatakan dalam Syarh al-Kafi bahwa beberapa ulama berpendapat, menjadi nomaden pada masa sekarang ini berlaku bagi orang-orang yang setelah memperoleh ajaran agama, tidak mengamalkannya dan menjauhkan diri dari ilmu Islam.

Amirul Mukminin Ali as mengatakan, “Seseorang mengatakan bahwa dia telah hijrah, padahal sesungguhnya dia tidak hijrah. Karena seorang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan dosa-dosa dan bahkan tidak mendekatinya. Seseorang mengatakan bahwa dia telah berperang di jalan Allah tetapi sesungguhnya dia tidak berperang di jalan Allah, karena jihad adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa dan perang melawan musuh di dalam diri kita sendiri. Sementara banyak orang keluar untuk berperang bukan untuk ketaatan dan mencari rida Allah. Motif mereka hanya untuk meraih popularitas sehingga orang-orang dapat memuji keberanian dan ketidakgentaran mereka.” (Bihâr al- Anwar, jilid 15)

Padang Kejahilan dan Kelalaian

Dari ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis dan tulisan-tulisan para ulama, kita dapat menyimpulkan bahwa nomadisme mengandung makna kondisi seseorang yang jahil dan tidak mengetahui keagungan Allah Yang Mahakuasa, yang bisa diketahui manusia dan kebahagiaan abadi yang dapat dicapai seseorang, dan bahkan dia sama sekali tenggelam dalam keinginan-keinginan dunia yang fana ini. Dia tidak memedulikan kebajikan dan tidak menjauhkan diri dari melakukan dosa atau kejahatan. Dia tidak peduli untuk memperoleh ilmu (makrifat), dia tidak memerhatikan perbuatan-perbuatan baik, yang akan membuatnya meraih ganjaran abadi di akhirat. Itu tentu saja akan mencegah seseorang dari keselamatan dan kebahagiaan abadi.

Pustaka

Syiah

Referensi

Dokumen terkait