Pustaka
Syiah
35
Dosa kedua puluh sembilan, yang diklasifikasikan sebagai dosa besar adalah
“membantu orang-orang zalim”. Fadhl bin Syadzan telah meriwayatkan dari Imam Ali Ridha as bahwa beliau berkata mengenai dosa-dosa besar: “Dan menolong orang-orang zalim serta condong terhadap mereka.”
Dalam riwayat Amasy dari Imam Ja’far Shadiq as disebutkan kalimat berikut, “Tidak menolong orang yang dizalimi merupakan dosa besar.” Dengan kata lain, menolong orang-orang zalim juga merupakan dosa besar.
Imam Musa bin Ja’far as mengatakan, “Berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas para pelaku kezaliman dan berusaha mencapai tujuan-tujuan jahat mereka dan menolong mereka sama dengan kekufuran dan secara sadar condong terhadap mereka merupakan dosa besar dan pantas masuk neraka.” (Wasail al-Syi’ah)
Demikian pula Rasulullah saw bersabda, “Pada malam Mikraj, aku melihat tulisan berikut di atas pintu-pintu neraka, ‘Janganlah menjadi penolong orang-orang zalim.’”
(Wasail al-Syi’ah)
Artinya, jika seseorang tidak ingin masuk neraka, dia seharusnya menjauhkan diri dari bekerja sama dengan orang-orang zalim. Selain itu, dosa ini merupakan dosa yang dijanjikan azab oleh Allah Swt dalam al-Quran.
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Hud [11]:113)
Menurut Tafsir Minhaj al-Shadiqin, “janganlah kamu cenderung” bermakna kita tidak boleh memiliki kecenderungan sedikit pun terhadap orang-orang zalim.
Karenanya, kita tidak boleh memperlakukan mereka dengan hormat dan tidak boleh bergaul bebas dengan mereka serta tidak mengungkapkan cinta kita terhadap mereka. Kita tidak boleh serakah dengan hadiah-hadiah mereka, kita tidak boleh memuji mereka dan mematuhi perintah-perintah mereka. Apabila demikian larangan-larangan tentang orang-orang zalim, jelaslah bahwa tidak halal untuk menolong mereka dan bekerja sama dengan mereka dalam kezaliman.
Pustaka
Syiah
36
Rasulullah saw bersabda, “Orang yang mendoakan umur panjang terhadap seorang yang zalim seolah-olah dia ingin menentang Allah di muka bumi.” (Minhaj al-Shadiqin)
Ada peristiwa menarik dalam kitab Raudhat al-Jannah mengenai penulis kitab Maqasid al-Ahkam, Sayid Muhammad. Pernah Sayid dan guru mulia lainnya, Syekh, merencanakan ziarah ke makam Imam Ali Ridha as di Masyhad. Namun ketika mereka mengetahui bahwa Syah Abbas Shafawi sedang berada di Masyhad, mereka memutuskan untuk membatalkan ziarah mereka.
Demikian pula tentang biografi Sayid Bahrul Ulum, disebutkan bahwa ketika gubernur provinsi Syustaran berperilaku dengan sangat hormat terhadapnya, dia berkata, “Sebelum aku dapat menumbuhkan kesukaan terhadapnya dan berada di bawah celaan dari ayat al-Quran, aku segera berlalu dari tempat itu.” Karenanya, dia pindah dari Dezful dan menetap di Irak untuk sisa hidupnya.
Apabila kita mengkaji biografi dari beberapa ulama, kita menyadari bahwa mereka menjauhkan diri dengan keras dari bertemu, bergaul atau berkomunikasi dengan orang-orang yang zalim, sehingga tidak akan ada kesempatan sedikit pun bagi mereka untuk berteman dengan mereka dan menolong mereka dalam aktivitas-aktivitas mereka.
Muhaddits Jazairi menulis dalam kitab Fawaidh al-Rizvia6 bahwa ada seseorang yang melakukan kesalahan besar di hadapan Syah Abbas Shafawi. Untuk meluputkan diri dari kemurkaannya, dia mencari perlindungan di Masyhad. Kemudian dia mendekati almarhum Mulla Ahmad (Muqaddas Ardabili) dan memintanya untuk menulis surat kepada Syah agar Syah mau memaafkan kesalahannya. Muqaddas Ardabili menulis sebagai berikut.
“Pendiri kerajaan memperoleh melalui permintaan, Abbas! Ketahuilah, walaupun orang ini pada mulanya adalah seorang yang zalim, namun dia sekarang orang yang dizalimi. Jadi, maafkanlah kesalahannya. Aku berharap Allah akan mengampuni sebagian kesalahan-kesalahanmu.”
6 Sebagian judul buku tidak ditransliterasi ke dalam bahasa Inggris yang tepat dari bahasa Urdu atau Parsinya, sehingga penerjemah kesulitan mengidentifikasi judul buku yang dimaksud. Karenanya, sebagian judul buku ditulis sebagaimana teks aslinya—penerj.
Pustaka
Syiah
37
Tertanda: Dari hamba raja Wilayah, Ahmad Ardabili.
Syah menjawab suratnya:
“Anda telah berterima kasih terhadapku karena memerintahkan hal-hal yang Anda tulis (dalam suratmu). Janganlah engkau mengabaikan aku dalam doa-doamu.”
Tertanda: Anjing dari Rumah Ali, Abbas.
Dikutip dari Tarikh Bahir-e bahwa Khwaja Nizham al-Mulk, Perdana Menteri dari Malik Syah Seljuq, sangat memikirkan akhirat dan hari kiamat. Dia selalu takut pada hal ini. Selama masa jabatan perdana menterinya, dia menjadi pendukung orang yang tidak berdaya, pelindung para intelektual, dan tabah dalam mematuhi kewajiban agama. Dia memikirkan untuk memperoleh sertifikat dari para ulama dan intelektual, dengan mengesahkan akhlaknya yang mulia, sehingga dokumen itu dapat disimpan di dalam kain kafannya pada waktu penguburan. Dia berharap untuk meraih keselamatan melalui ini. Dia membuat konsep sebuah sertifikat dan mengirimnya kepada berbagai ulama dan intelektual untuk tanda tangan mereka.
Ketika itu sampai di Bagdad dan dipresentasikan di hadapan guru yang mulia dari Madrasah Nizhamiyah, Syekh Abu Ishaq, dia menulis, “Aku bersaksi bahwa Syekh Nizham al-Mulk adalah (orang zalim) yang sedikit lebih baik di antara orang-orang yang zalim.”
Ketika Khwaja membaca pernyataan Abu Ishaq, dia menangis dan berkata, “Apa pun yang Abu Ishaq tulis adalah benar.”
Tidak ada keraguan, menolong orang-orang zalim bagaimanapun juga haram dan termasuk dosa besar. Terdapat hukum Islam untuk setiap jenis orang yang zalim dan cara-cara menolong orang yang zalim dan wajib untuk mengetahui hukum dan aturan ini.
Jenis-Jenis Orang Zalim
Kata Arab zhulm bagi kezaliman dan ketidakadilan mengandung makna tidak memedulikan firman-firman Allah dan juga menentang apa pun yang sesuai dengan akal dan logika. Ada dua jenis kezaliman seperti itu:
Pustaka
Syiah
38
(1) Melampaui batas-batas hukum agama sama dengan kemusyrikan. Allah Swt berfirman,
… sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (QS. Luqman [31]:13)
(2) Mendustakan ayat-ayat Allah juga merupakan kezaliman sebagaimana dinyatakan dalam Kitabullah,
... Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah [2]:254)
Singkatnya, kita dapat mengatakan bahwa seluruh hukum agama yang harus kita ikuti menurut akal atau perintah agama harus dipatuhi secara totalitas. Tidak menerimanya atau tidak mengimaninya adalah sejenis kezaliman. Terlepas dari ini, tidak menerima perintah Allah atau tidak mengamalkannya atau mengabaikan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah, seperti mengabaikan suatu perbuatan wajib atau melakukan perbuatan haram, semuanya ini merupakan kezaliman.
Karenanya Allah Swt berfirman,
…Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah [2]:229)
Ini juga berlaku bagi kezaliman terhadap diri sendiri. Dalam hal ini, Allah Swt berfirman,
…Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. (QS. Fathir [35]:39)
Berbagai jenis kezaliman meliputi menghina, berbuat kejam, merendahkan martabat atau memenjarakan seseorang; juga melakukan gibah atau salah menuduh seseorang atau menyakiti seseorang secara fisik. Bentuk kezaliman lain adalah merampas harta seseorang atau memperolehnya tanpa izin pemiliknya, atau tidak mengembalikan hak-hak kepada pemiliknya dan sebagainya. Cara lain merampas hak adalah dengan kekerasan menempati suatu kedudukan yang disediakan bagi orang lain. Contoh tertinggi dari kezaliman seperti itu dilakukan oleh para penguasa tiran Bani Umayah dan Bani Abbasiyah ketika mereka merampas kedudukan wilayah yang
Pustaka
Syiah
39
jelas-jelas milik Ahlulbait as. Contoh lain adalah kezaliman dari seorang hakim zalim yang mengambil alih kursi kadi.
Kezaliman itu meliputi dua kategori. Dalam kategori pertama adalah para penguasa tiran dan para raja lalim, yang bagi mereka melakukan kezaliman merupakan praktik yang normal. Dalam kategori kedua adalah orang-orang yang sesekali mungkin melakukan kezaliman kepada seseorang yang lain. Kita akan mengkaji segala jenis kezaliman ini dalam empat subtopik.
Menolong Si Zalim dalam Kezaliman
Bagaimanapun, menolong seorang zalim dengan cara apa pun adalah haram. Sebagai contoh, menyerahkan sebuah tongkat kepada seseorang agar dia dapat memukul seorang yang tidak bersalah, atau menolong dengan cara apa pun untuk memenjarakannya atau membunuhnya.
Ulama terkenal, Syekh Anshari, menulis dalam kitab Makasib bahwa larangan bekerja sama dengan para pelaku kezaliman ditegaskan oleh empat sumber rujukan yang seluruhnya diperlukan untuk membuktikan hukum-hukum Islam, yaitu al-Quran, akal, Sunah dan Ijma’.
Logika: Akal mendiktekan bahwa tidak ada perbedaan di antara pelaku kezaliman yang sesungguhnya dan orang yang menolongnya. Keduanya sama-sama bertanggung jawab atas perbuatan zalim tersebut. Mungkin saja jika tidak ada orang yang menolong pelaku kezaliman tersebut, maka dia tidak dapat melakukan kezaliman. Karenanya secara logika, haram untuk menolong seorang pelaku kezaliman.
Ijmak: Merujuk pada kitab-kitab fikih, menegaskan bahwa seluruh fukaha bersepakat bulat dalam pendapat mereka, bahwa menolong pelaku kezaliman adalah haram.
Al-Quran: Ayat al-Quran menyatakan, Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim… cukup untuk membuktikan haramnya menolong orang-orang yang zalim. Karena jika sedikit saja kecenderungan terhadap orang-orang zalim itu diharamkan, lantas bagaimana mungkin menolong mereka dibolehkan. Karena menolong mereka merupakan bentuk terbesar dari kecenderungan terhadap mereka.
Pustaka
Syiah
40 Selain itu, Allah Swt berfirman,
… dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya…
(QS. al-Maidah [5]:2)
Hadis-Hadis Ahlulbait as tentang Menolong Orang-Orang Zalim
Sejumlah hadis telah sampai kepada kita terkait dengan masalah ini. Syekh Anshari juga telah mencatat hadis dari Rasulullah saw dalam kitabnya.
“Jika seseorang dengan sadar menolong seorang zalim, dia telah murtad dari Islam.” (Majmu’ah Warâm)
Tentu saja suatu perbuatan yang menjadikan seseorang murtad dari Islam pastilah suatu dosa yang mengakibatkan kehancurannya.
Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Ketika terjadi kiamat, seorang penyeru akan berseru,
‘Di manakah pelaku kezaliman, para penolong orang zalim dan mereka yang menyukai orang zalim?’ Sedemikian beratnya hingga jika seseorang hanya mendatangkan pena dan tinta bagi si zalim untuk menulis perintah kezaliman; semua orang ini akan dikerangkeng dalam sebuah kurungan besi dan dilemparkan ke dalam neraka.” (Wasail al-Syi’ah)
Rasulullah saw bersabda, “Jika seseorang hanya mendatangkan sebuah tongkat untuk raja tiran agar dia dapat memukul orang yang dizalimi, Allah akan mengubah tongkat itu menjadi seekor ular, panjangnya tujuh puluh ribu yard7 dan menempatkan ular itu di dalam neraka (untuk menyiksanya).” (Wasail al-Syi’ah)
“Orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan para pelaku kezaliman dan menolong mereka dalam kezaliman, pada saat kematiannya, malaikat maut menyampaikan berita kepadanya bahwa Allah mengutuknya dan dia akan masuk neraka; dan neraka adalah tempat kediaman yang buruk. Orang yang menuntun seorang yang zalim akan dianggap setingkat dengan Haman (menterinya Firaun). Dan hukuman terhadap orang-orang yang menolong seorang yang zalim dan para pelaku kezaliman akan lebih berat daripada hukuman para penghuni neraka lainnya. Jika
7 1 yard=0,9144 m. 70.000 yard=64.008 m atau kurang lebih 64 km—peny.
Pustaka
Syiah
41
seseorang menggunjing tentang saudara mukminnya kepada penguasa, dan meskipun saudara muslimnya tidak menderita kerugian apa pun darinya, seluruh amalan orang yang menggunjing itu akan terhapus. Namun, jika si muslim itu mengalami penindasan di tangan penguasa, orang yang menggunjingnya akan ditempatkan oleh Allah di bagian neraka tempat Haman akan disiksa.” (Wasail al-Syi’ah)
Memuji Pelaku Kezaliman Juga Haram
Memuji pelaku kezaliman sehingga kekuasaan dan otoritasnya dapat bertambah, atau dia mungkin terdorong untuk menjadi lebih berani, juga haram hukumnya. Ini ditegaskan oleh argumen-argumen yang telah disebutkan, dan juga dalil-dalil yang menyangkut larangan perbuatan jahat (nahi mungkar).
Syekh Anshari secara khusus khusus meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah saw,
“Barangsiapa yang menunjukkan penghormatan kepada seorang kaya dan karena serakah terhadap hartanya menganggapnya orang kaya itu baik, Allah Swt menjadi murka kepadanya dan akan menempatkannya di dalam kurungan api di bagian neraka paling rendah di mana Qarun disiksa di situ.” (Wasail al-Syi’ah)
Hadis ini berlaku bagi segala jenis manusia, namun jika orang yang dipuji itu adalah seorang yang zalim, orang yang memujinya pantas menerima hukuman berat.
Rasulullah saw bersabda, “Jika seseorang memuji seorang penguasa tiran atau menghinakan dirinya karena serakah (terhadap hadiah-hadiahnya), dia akan masuk neraka bersamanya (penguasa itu).” (Wasail al-Syi’ah)
Hadis Nabi lainnya menyatakan, “Bilamana seorang pelaku dosa dipuji, langit menjadi bergetar dan kemurkaan Allah meliputi orang yang memuji itu.” (Safinat al-Bihâr)
Kita Tidak Boleh Menerima Penghormatan Apa Pun dari Para Pelaku Kezaliman Cara paling lazim dalam hal menolong para pelaku kezaliman adalah menerima suatu posisi atau kedudukan dari mereka, terutama jika posisi itu menjadi penyebab bagi jenis kezaliman apa pun. Sebagai contoh, posisi mendukung hukum dan perintah.
Jika seseorang memikul tugas demikian dari para pelaku kezaliman dan sebagai akibatnya melampiaskan penindasan atas orang-orang yang tidak bersalah,
Pustaka
Syiah
42
pengangkatan demikian dan penerimaan posisi demikian merupakan dosa besar. Jika sebagai akibatnya orang-orang tak bersalah mengalami penderitaan, pelaku perbuatan semacam ini pasti akan menerima hukuman berat dari Allah Swt.
Ada satu hadis yang sangat terkenal dari Imam Ja’far Shadiq as dan dikutip di sini dari kitab Tuhaf al-‘Uqul. Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Posisi haram adalah posisi seorang penguasa zalim dan posisi-posisi mereka yang sibuk dalam tugas-tugas yang dipercayakan oleh para tiran. Karenanya haram menjalankan tugas dari posisi ini.
Orang yang mengambil posisi ini akan menjadi tersangkut dalam azab Allah. Apakah pekerjaan itu signifikan atau tidak penting, upaya apa pun untuk menolong pelaku kezaliman merupakan dosa besar. Sebab menerima suatu posisi dari seorang yang zalim akan mengakibatkan terinjaknya hak-hak, manifestasi kezaliman, serta meluasnya kerusakan dan kekacauan, kehancuran kitab-kitab samawi, pembunuhan para nabi, penghancuran masjid-masjid dan interpolasi hukum-hukum agama.
Karenanya haram bekerja dengan mereka. Kecuali apabila adanya kondisi ketidakberdayaan sama sekali, seperti ketika dibolehkan untuk meminum darah dan memakan daging mayat.” (Tuhaf al-‘Uqul)
Imam Ja’far Shadiq as juga berkata, “Orang-orang yang menerima suatu tugas dari para pelaku kezaliman; hukuman minimum bagi mereka pada hari kiamat adalah bahwa Allah akan menjadikan mereka berdiri di dekat api neraka hingga Dia selesai melakukan hisab manusia seluruhnya. Setelah itu Dia akan memutuskan tentang mereka.“
Pada bagian terakhir dari kitab Dâr al-Salâm terdapat suatu peristiwa mengenai Sayid Muhammad Ali Iraqi. Dia adalah salah seorang yang memiliki kehormatan melihat Imam Zaman as. Dia bercerita:
“Pada masa mudaku, aku tinggal di desaku di Irak. Nama dari tempat itu adalah Karharud. Pada hari-hari itu seseorang yang aku kenal nama dan garis keturunannya meninggal dunia dan dikuburkan di pemakaman seberang rumah kami. Selama empat puluh hari, pada saat matahari terbenam, api muncul dari kuburnya, lengkingan dan jeritan suara terdengar. Pada salah satu dari malam-malam itu lengkingan suara si mayat itu menjadi lebih hebat dan aku sangat cemas. Aku menjadi begitu ketakutan hingga aku gemetar
Pustaka
Syiah
43
luar biasa seolah-olah hukuman itu menimpa diriku; sedemikian hebatnya hingga aku pada akhirnya mulai kehilangan kesadaran. Ketika teman-temanku mengetahui tentang kondisiku, mereka datang dan membawaku ke rumah mereka dan aku tinggal di sana hingga aku kembali pulih. Kemudian aku menjadi tahu bahwa si mayat itu bekerja di pengadilan lokal. Pada suatu hari, dia meminta pajak dari seorang sayid yang tidak mampu membayar.
Orang ini menahan sayid itu dan menguncinya di salah satu ruangannya. Dia menggantung sayid itu dari loteng rumahnya untuk beberapa waktu.
Disebabkan perbuatan-perbuatan ini, dia disiksa setelah kematiannya.”
Peristiwa serupa lainnya diceritakan oleh seorang yang terpercaya bahwa beberapa waktu lalu ada seseorang yang bernama Aqa Muhammad Ali. Dia adalah seorang penyalur parfum. Dalam beberapa hal, dia berhubungan dengan pengadilan hukum.
Dia mengumumkan suatu perintah yang melarang semua orang berdagang jenis parfum apa pun. Pada masa itu seorang sayid memiliki parfum dan dia menjualnya ke pedagang lain. Ketika tiran ini mengetahui tentang hal ini, dia menemui sayid tadi di pasar, mencaci makinya secara berlebihan dan bahkan menamparnya. Merespon ini, sayid itu berkata, “Para datukku akan membalasmu untuk ini.” Ketika si tiran mendengar ini, dia berbalik dan memerintahkan budaknya untuk menangkap sayid tersebut. Kemudian dia memukul sayid dengan sebuah tongkat sambil berkata,
“Pergi dan beritahukan datukmu untuk memotong tanganku.” Hari berikutnya, si zalim ini menderita demam tinggi dan tangannya mulai merasakan sakit luar biasa sepanjang malam. Pada hari ketiga, tangannya menjadi sangat bengkak dan nanah mulai mengalir darinya. Pada hari keempat, para dokter ahli bedah mengamputasi tangannya sedemikian rupa hingga hanya sedikit dari tangannya yang tersisa. Dia mati pada hari ketujuh.
Karenanya perlu diketahui bahwa menerima suatu tugas atau posisi dari seorang zalim atau seorang tiran merupakan pertolongan besar bagi manusia zalim itu.
Mustahil bagi orang yang menerima tugas-tugas semacam ini untuk berlaku adil dan tidak melakukan kekerasan.
Disebutkan dalam Shahih Daud bin Zarbi bahwa salah seorang pengikut Imam Ali Zainal Abidin as meminta Imam as untuk merekomendasikannya kepada penguasa
Pustaka
Syiah
44
Madinah, Daud bin Ali, untuk jabatan dalam posisi pemerintahan. Imam Ali Zainal Abidin as menjawab, “Aku tidak akan pernah melakukan hal semacam itu.”
Ketika mendengar ini, dia mengira bahwa Imam as tidak sudi untuk merekomendasikannya karena beliau mungkin khawatir bahwa kezaliman akan disebabkan olehnya. Maka dia mendekati Imam as dan mulai berjanji dan bersumpah bahwa dia tidak akan pernah melakukan jenis perbuatan zalim apa pun dan mengatakan bahwa dia tidak akan melakukan apa pun kecuali menolong orang banyak. Imam as memandang ke langit dan mulai menangis. Kemudian beliau mengatakan bahwa pergi ke langit adalah lebih mudah. Tampaknya Imam as bermaksud mengatakan bahwa segera setelah seseorang menerima tugas dari seorang yang zalim, mustahil baginya untuk tidak melakukan kezaliman.
Kapan Dibolehkan untuk Menerima Posisi di Bawah Kekuasaan?
Ada dua situasi yang dibolehkan untuk menerima tugas dalam melayani para pelaku kezaliman. Bahkan dalam beberapa hal, wajib melakukan demikian. Menjadi dibolehkan apabila seseorang terpaksa menerimanya atau jika dia mempraktikkan taqiyah. Maksudnya, jika dia menolak, nyawa, harta atau kehormatannya akan berada dalam bahaya. Dibolehkannya menerima jabatan di bawah para tiran dinyatakan dalam banyak riwayat.
Rasulullah saw bersabda, “Umatku tidak akan ditanya untuk apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya.” (Khasail)
Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Tidak ada yang Allah tidak bolehkan bagi orang yang tidak berdaya.”
Imam Ali Ridha as, dalam kitab Wasail al-Syi’ah, mengatakan bahwa beliau menerima sebagai putra mahkota Ma’mun di bawah ancaman dan taqiyah. Ketika Imam Ja’far Shadiq as ditanya tentang bekerja untuk seorang penguasa tiran, beliau menjawab, “Itu tidak dibolehkan, kecuali apabila seseorang tidak dapat memperoleh penghidupan dari sarana lainnya atau jika hidupnya berada dalam bahaya dan hidupnya tergantung pada menerima pekerjaan dari seorang tiran. Dalam kasus itu dibolehkan. Namun, jika dia menerima imbalan dari seorang tiran, dia harus membayar khumus darinya.” (Wasail al-Syi’ah)
Pustaka
Syiah
45
Jabatan-jabatan semacam ini dibolehkan apabila pekerjaannya hanya menyangkut memelihara perdamaian serta menegakkan hukum dan ketertiban seperti posisi-posisi dalam militer, yang tujuannya adalah untuk mempertahankan perbatasan negeri-negeri muslim, menangani kesejahteraan orang-orang beriman dan umat manusia yang tertindas, dan mengembalikan hak-hak mereka yang dirampas.
Menerima layanan di bawah para tiran dibolehkan dalam kondisi-kondisi ini asalkan seseorang memiliki niat yang teguh untuk bertindak secara adil. Jika niatnya adalah untuk menolong kaum Syi'ah, khususnya, itu patut dipuji. Ziyad bin Abi Salmah mengatakan bahwa dia pergi untuk menemui Imam Musa Kazhim as. Imam as bertanya kepadanya apakah dia bekerja pada pemerintah. Dia menjawab, “Ya.”
Imam as bertanya, “Mengapa?”
Dia menjawab, “Aku seorang pemurah dan suka menolong orang-orang miskin maka aku tidak dapat meninggalkan pekerjaan ini. Terlepas dari ini, aku memiliki keluarga dan anak-anak dan aku tidak memiliki sarana penghidupan lainnya.”
Imam as berkata, “Wahai Ziyad! Jika aku dibawa ke puncak bukit yang tinggi dan dijatuhkan darinya dan tubuhku berserakan menjadi berkeping-keping, itu lebih aku sukai daripada melakukan suatu pekerjaan bagi orang-orang ini atau bahkan untuk
Imam as berkata, “Wahai Ziyad! Jika aku dibawa ke puncak bukit yang tinggi dan dijatuhkan darinya dan tubuhku berserakan menjadi berkeping-keping, itu lebih aku sukai daripada melakukan suatu pekerjaan bagi orang-orang ini atau bahkan untuk