• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA & LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA & LANDASAN TEORI"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA & LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Kekuasaan Kehakiman

Montesquieu 14 menegaskan bahwa kebebasan tidak tercapai jika kekuasaan kehakiman tidak terpisah dari legislatif dan eksekutif, jika kekuasaan untuk mengadili bergabung dengan legislatif maka kekuasaan akan sewenang- wenang terhadap kehidupan dan kebebasan rakyat, sedangkan jika kekuasaan untuk mengadili bergabung dengan eksekutif, maka ada kemungkinan hakim melakukan penindasan dan kekerasan.

“there is no liberty if the judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be then legislator. Were it joined to the executive power, the judge might behave with violence and oppression.”

Sebuah artikel 15 yang berjudul “Kekuasaan Kehakiman Harus Merdeka dari Berbagai Aspek” menunjukan Indepedensi kekuasaan kehakiman harus dijamin oleh Negara. Bentuk jaminan kepastian hukum diberikan oleh negara dengan mengatur kekuasan kehakiman di dalam sekumpulan aturan yang menetapkan serta mengatur tatanan pemerintahan dan dapat menggambarkan seluruh sistem pemerintahan suatu negara, oleh Wheare K.C disebut dengan konstitusi 16. Maka dari itu, kekusaan kehakiman di Indonesia tercantum

14 Charles de Secondat Montesquieu et al., The Spirit of the Laws, Cambridge Texts in the History of Political Thought (Cambridge ; New York: Cambridge University Press, 1989).

15 www.komisiyudisial.go.id, “Kekuasaan Kehakiman Harus Merdeka Dari Berbagai Aspek,”

2020, https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/794/kekuasaan-kehakiman- harus-merdeka-dari-berbagai-aspek.

16 Kenneth C. Wheare, Modern Constitutions, 2. ed, Oxford Paperbacks University Series 11 (London u.a: Oxford Univ. Pr, 1971).

(2)

dalam UUD 1945 bab IX tentang kekuasaan kehakiman 17. Selain itu, di dalam Pasal 1 angka 1 Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa :

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”

Kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dilakukan oleh MA serta badan peradilan di bawahnya (lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara) dan oleh MK, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan 18. Kewenangan mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang- Undang terhadap Undang- Undang dan kewenangan lainnya yang di atur oleh Undang- Undang di jalankan oleh MA 19 . Sedangkan MK memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum 20.

Menurut pemikiran Bagir Manan 21, tujuan yang ingin dicapai dengan adanya kekuasaan kehakiman yang independen adalah; pertama, kekuasaan

17 Achmad Edi Subiyanto, “Mendesain Kewenangan Kekuasaan Kehakiman Setelah Perubahan UUD 1945,” Jurnal Konstitusi 9, no. 4 (December 9, 2012): 20.

18 Zulkarnain Ridlwan, “Penegakan Hukum dan Keadilan: Perspektif Wewenang dan Tanggung Jawab Presiden terhadap Sistem Peradilan,” repository.lppm.unila, 2019,

http://repository.lppm.unila.ac.id/15942/1/Penegakan%20Hukum%20dan%20Keadilan%

20Perspektif%20Wewenang%20dan%20Tanggung%20Jawab%20Presiden%20terhadap%

20Sistem%20Peradilan.pdf.

19 www.mahkamahagung.go.id, “Mahkamah Agung Republik Indonesia,” 2020, https://www.mahkamahagung.go.id/id/tugas-pokok-dan-fungsi.

20 “Kedudukan Dan Kewenangan | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,” 2020, https://mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=3.

21 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas, LPPM, Universitas Islam Bandung, 1995).

(3)

kehakiman diperlukan untuk melindungi dan menjamin kebebasan individu, sebagai bagian dari system pembagian atau pemisahan kekuasaan diantara badan- badan penyelenggara negara; kedua, guna mencegah penyelenggara pemerintahan bertindak menindas dan sewenang- wenang, diperlukan kekuasaan kehakiman yang merdeka; ketiga, untuk menilai keabsahan suatu peraturan perundang- undangan diperlukan kekuasaan kehakiman yang merdeka sehingga system hukum dapat dijalankan dengan baik.

2. Mahkamah Agung

Mahkamah Agung diatur dalam Undang- Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Di bawah payung hukum tersebut, kewenangan MA untuk melakukan proses judicial review ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, yaitu :“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang- undangan dibawah Undang- Undang terhadap Undang- Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang

diberikan oleh Undang-Undang”. Sebuah webpage

(www.mahkamahagung.go.id) yang berjudul “Tugas Pokok dan Fungsi”

menunjukan pembagian fungsi MA.

Fungsi MA yang Pertama adalah Fungsi Peradilan, Melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali, MA sebagai Pengadilan tertinggi, mempunyai tugas membina keseragaman dalam penerapan hukum agar semua peraturan di wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar 22. MA mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir dalam perihal seluruh sengketa tentang kewenangan mengadili, peninjauan kembali putusan pengadilan yang in kracht van

22 Laurensius Arliman Simbolon, Lembaga-Lembaga Negara : (Didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ) (Yogyakarta: Deepublish, 2016).

(4)

gewijde 23, sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muantannya oleh kapal perang RI (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang- Undang MA No 14 Tahun 1985), berwenang menilai/menguji secara materiil peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang 24

Kedua, Fungsi Pengawasan, Pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan dilakukan oleh MA di semua lingkungan MA dengan berpedoman pada Azaz peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan 25 Pengawasan juga dilakukan terhadap kegiatan pengadilan dan tingkah para hakim dan perbuatan pejabat pegadilan dalam menjalanjakan tugas menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan hakim 26 dan Pengawasan terhadap penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan 27

Ketiga, Fungsi Mengatur, Demi kelancaran penyelenggara peradilan, MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan Peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang- Undang tentang MA 28. MA dapat membuat

23 Dudu Duswara Machmudin, “Optimalisasi Peran Hakim Agung dalam Penyelesaian Perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali,” Jurnal Konstitusi 12, no. 2 (May 20, 2016): 373, https://doi.org/10.31078/jk1229.

24 Maftuh Effendi and Tri Cahya Indra Permana, “USULAN RUMUSAN HUKUM ACARA (IUS CONSTITUENDUM) PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH AGUNG,” Jurnal Media Hukum 25, no. 1 (2018), https://doi.org/10.18196/jmh.2018.0099.31-39.

25 Ismail Rumadan, “PROBLEMATIKA PELAKSANAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN (Dalam Konteks Pelaksanaan Fungsi Check and Balances System),” Jurnal Hukum dan Peradilan 3, no.

3 (November 28, 2014): 243, https://doi.org/10.25216/JHP.3.3.2014.243-252.

26 Irianto Sulistyowati, Widodo Dwi Putro, and Fajri Nursyamsi, Problematika Hakim Dalam Ranah Hukum, Pengadilan, Dan Masyarakat Di Indonesia: Studi Sosio-Legal (Jakarta Pusat:

Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017),

https://www.komisiyudisial.go.id/assets/uploads/files/Problematika-Hakim-dalam-Ranah- Hukum-Pengadilan-Masyarakat-di-Indonesia.pdf.

27 Kevin Angkouw, “FUNGSI MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI PENGAWAS INTERNAL TUGAS HAKIM DALAM PROSES PERADILAN” 2, no. 2 (2014): 10.

28 Basuki Rekso Wibowo, “PEMBENAHAN ADMINISTRASI PERADILAN,” 2012, 183.

(5)

peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang- Undang 29.

Keempat, Fungsi Nasehat, Nasihat- nasihat atau pertimbangan- pertimbangan dalam bidang hukum dapat diberikan oleh MA kepada Lembaga Tinggi Negara 30. MA memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi 31. MA diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada presiden selaku kepala negara (Pasal 14 ayat (1) UUD 1945). MA berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang- Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 38 Undang- Undang MA No. 14 Tahun 1985).

Kelima, Fungsi Administratif, Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, dibawah kekuasaan MA dan MA berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan. Keenam, Fungsi Lain-lain, berdasar pasal 2 ayat (2) Undang- Undang No 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985, MA dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasakan Undang- Undang.

3. Mahkamah konstitusi

Pengujian konstitusional dilakukan oleh suatu organ atau Mahkamah di luar lembaga legislatif 32. Tahun 1803 tercatat pertama kali praktik peninjauan konstitusional dilakukan di Amerika oleh Supreme Court

29 Vica J E Saija, “PERATURAN MAHKAMAH AGUNG DAN PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA,”

2014, 14.

30 Sadjijono Sadjijono, “KEKUASAAN NEGARA MENURUT UUD 1945 (ANALISA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA),” Perspektif 10, no. 4 (October 30, 2005): 318, https://doi.org/10.30742/perspektif.v10i4.195.

31 Melza Diana, “Pertimbangan Atau Nasihat Hukum MA,” 2019, https://www.pa-

gedongtataan.go.id/peraturan-dan-kebijakan/pertimbangan-atau-nasihat-hukum-ma.html.

32 L. Garlicki, “Constitutional Courts versus Supreme Courts,” International Journal of

Constitutional Law 5, no. 1 (January 1, 2007): 44–68, https://doi.org/10.1093/icon/mol044.

(6)

(Mahkamah Agung) meskipun di dalam Konstitusi Amerika Serikat tidak dikenal adanya pengujian konstitusional 33,. Setelah lebih dari satu abad, pada tahun 1920 gagasan pengujian konstitusional oleh organ yang mempunyai kewenangan dalam konstitusi, lebih jelas dikemukakan oleh Hans Kelsen 34 bahwa lebih efektif jika ada suatu lembaga atau badan di luar lembaga legislatif yang ditugaskan oleh konstitusi untuk menguji konstitusional maupun inkontitusional suatu produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif dan tidak memberlakukan produk hukum tersebut jika dinyatakan inkonstitusional 35. Konstitusi Austria merupakan konstitusi pertama yang mengadopsi gagasan Kelsen tentang pembentukan badan yang memastikan bahwa hukum- hukum yang ditetapkan telah sejalan dengan konstitusi 36. Institusi tersebut diberi nama Verfassungsgerichtshof atau lebih populer dengan sebutan Mahkamah Konstitusi 37.

Terbentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berawal dari hasil studi banding ke dua puluh satu negara pada tahun 2000 38 dan dikemukakan pada masa sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI 39. Ide tentang dibentuknya Mahkamah Konstitusi (Constitutiona Court) kemudian diadopsi oleh Pemerintah Republik Indonesia 40 dan dituangkan ke dalam Pasal 24 ayat 2 (2), Pasal 24C dan Pasal 7B Undang- Undang Dasar

33 www.uscourts.gov, “About the Supreme Court,” United States Courts, 2020,

http://www.uscourts.gov/about-federal-courts/educational-resources/about-educational- outreach/activity-resources/about.

34 Nathan J. Brown and Julian G. Waller, “Constitutional Courts and Political Uncertainty:

Constitutional Ruptures and the Rule of Judges,” International Journal of Constitutional Law 14, no. 4 (October 2016): 817–50, https://doi.org/10.1093/icon/mow060.

35 Hans Kelsen, General Theory of Norms (Oxford [England] : New York: Clarendon Press ; Oxford University Press, 1991).

36 Herbert Hausmaninger, The Austrian Legal System, 4th ed (Wien: Manz, 2011).

37 www.vfgh.gv.at, “Startseite - Der Österreichische Verfassungsgerichtshof,” 2020, https://www.vfgh.gv.at/index.de.html.

38 Johansyah Johansyah, “KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945,” Solusi 17, no. 2 (May 1, 2019):

94–105, https://doi.org/10.36546/solusi.v17i2.167.

39 Fatmawati Fatmawati, “CATATAN SINGKAT MENGENAl KEDUDUKAN MPR SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945,” Jurnal Hukum & Pembangunan 39, no. 4 (December 3, 2009): 491, https://doi.org/10.21143/jhp.vol39.no4.291.

40 Romi Librayanto et al., “Penataan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Memperkuat Independensi Kekuasaan Kehakiman,” 2019, 24.

(7)

1945 pada 9 November 2001 41 . Lebih lanjut pemerintah kemudian membentuk dan mengesahkan Undang- Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 42 serta ditindak lanjuti oleh Keputusan Presiden No.

147/ M Tahun 2003 guna melantik hakim konstitusi untuk pertama kalinya 43 sekaligus menjadi negara ke tujuh puluh delapan yang menggunakan gagasan Kelsen tentang Mahkamah Konstitusi 44.

Berkembangnya konsep serta teori ketatanegaraan membuat kehadiran Mahkamah Konstitusi menjadi sangat penting 45 untuk menjaga jalannya konstitusionalisme serta berlakunya prinsip check and balance dalam rangka terciptanya pemerintahan yang bertanggung jawab sesuai dengan Konstitusi

46. Dengan adanya prinsip check and balance, maka diharapkan dapat terciptanya keseimbangan antar lembaga negara dalam menyelenggarakan fungsinya 47. Namun, hal ini tidaklah mudah untuk diwujudkan. Alexander Hamilton, salah seorang pakar konstitusi, menegaskan bahwa eksekutif memiliki kekuasaan memaksa sedangkan legislatif memiliki anggaran, lain halnya dengan yudikatif yang hanya sebatas menilai dan tidak memiliki daya paksa dan pada akhirnya harus bergantung pada bantuan badan eksekutif. 48.

41 Muhammad Fauzan, “KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES

IMPEACHMENT PRESIDEN MENURUT SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA,”

Jurnal Dinamika Hukum 11, no. 1 (February 1, 2011), https://doi.org/10.20884/1.jdh.2011.11.1.66.

42 Mariyadi Faqih, “Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Final dan Mengikat” 7 (2010): 22.

43 Sutiyoso, “Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.”

44 Saldi Isra, “TITIK SINGGUNG WEWENANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN MAHKAMAH KONSTITUSI,” Jurnal Hukum dan Peradilan 4, no. 1 (March 31, 2015): 17,

https://doi.org/10.25216/JHP.4.1.2015.17-30.

45 Nanang Sri Darmadi, “KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA,” Jurnal Hukum 28, no. 2 (May 17, 2020):

1088, https://doi.org/10.26532/jh.v28i2.9783.

46 Sunarto Sunarto, “PRINSIP CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA,” MASALAH-MASALAH HUKUM 45, no. 2 (April 19, 2016): 157,

https://doi.org/10.14710/mmh.45.2.2016.157-163.

47 Ivana Eka Kusuma Wardani, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mengawal Prinsip Checks and Balances Terhadap Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia,” Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi 2, no. 2 (December 13, 2019): 239–52,

https://doi.org/10.24090/volksgeist.v2i2.2883.

48 Alexander Hamilton, “The Avalon Project : Federalist No 78,” 1788, https://avalon.law.yale.edu/18th_century/fed78.asp.

(8)

Guna menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi dibekali kewenangan yang tertulis di dalam UUD 1945 49. Tidak ada institusi atau organ yang dapat mempermasalahkan ataupun menggugurkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam menilai konstitusional ataupun sengketa antar lembaga yang kewenangannya ditentukan oleh UUD 1945 50. Di sisi lain, kewenangan yang limitatif pada Mahkamah Konstitusi di dalam UUD 1945 dimaksudkan agar Mahkamah Konstitusi tidak mengeluarkan putusan yang keluar dari kewenangannya 51.

Kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD 1945 tertuang di dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) 52. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji Undang- Undang terhadap Konstitusi 53, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang tertuang di dalam konstitusi 54, memutus pembubaran partai politik 55, memutus perselisihan hasil pemilihan umum 56 serta diberikan tugas untuk mengeluarkan putusan

49 Dinoroy M Aritonang, “PERANAN DAN PROBLEMATIKA MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) DALAM MENJALANKAN FUNGSI DAN KEWENANGANNYA,” Jurnal Ilmu Administrasi 10, no. 3 (2013): 17.

50 Budi Suhariyanto, “Masalah Eksekutabilitas Putusan Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung,” Jurnal Konstitusi 13, no. 1 (May 20, 2016): 171,

https://doi.org/10.31078/jk1318.

51 Tanto Lailam, “Pro-Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Undang- Undang yang Mengatur Eksistensinya,” Jurnal Konstitusi 12, no. 4 (May 20, 2016): 795, https://doi.org/10.31078/jk1247.

52 M. Asro, “KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945,” ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan 11, no. 2 (June 13, 2019): 151–64, https://doi.org/10.15575/adliya.v11i2.4857.

53 Galuh Candra Purnamasari, “KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

MELAKUKAN JUDICIAL REVIEW TERHADAP UNDANG-UNDANG RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL,” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 1 (March 21, 2018): 1–16, https://doi.org/10.24246/jrh.2017.v2.i1.p1-16.

54 Sri Hastuti Puspitasari, “PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN KONSTITUSIONAL LEMBAGA NEGARA SEBAGAI SALAH SATU KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI,”

JURNAL HUKUM IUS QUIA IUSTUM 21, no. 3 (July 2014): 402–25, https://doi.org/10.20885/iustum.vol21.iss3.art4.

55 Herdianto H Lalenoh, “KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUSKAN PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DITINJAU DARI PASAL 24C AYAT (1) UUD 1945,” Lex Administratum 6, no. 4 (2018): 6.

56 Abdurrachman Satrio, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization 0f Politics,” Jurnal Konstitusi 12, no. 1 (May 20, 2016):

117, https://doi.org/10.31078/jk1217.

(9)

atas pendapat DPR mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945 57.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian konstitusional undang- undang dapat dilakukan dari segi formil atapun materiil. Perlu diketahui bahwa pengujian Undang- Undang terhadap konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi tidak terbatas pada bentuk Konstsitusi tertulis dan terkodifikasi seperti Undang- Undang Dasar 1945 saja. Indonesia mengenal adanya bentuk Konstitusi yang tertulis maupun tidak tertulis.

Seperti halnya di Inggris misalnya, sebagai bentuk negara monarki kontitusional, Inggris bahkan tidak mempunyai konstitusi yang ditulis dan dibukukan dalam satu bentuk khusus 58. Seperti yang diuraikan di dalam penjelasan Undang- Undang Dasar 1945 yang asli bahwa UUD ialah sebagian dari konstitusi yang tertulis, dalam konteks ini, Konstitusi dipahami tidak terbatas pada apa yang tertulis di dalam UUD 1945 saja. Hal ini juga menegaskan bahwa Indonesia juga mengenal bentuk konstitusi yang tidak tertulis, yaitu suatu nilai yang ada di sendi- sendi kehidupan dalam praktik ketatanegaraan 59.

Alat ukur pengujian atau penilaian konstitusional suatu Undang- Undang yang ditegaskan di dalam buku “Hukum Acara Pengujian Undang- Undang” ialah : (i) Konstitusi tertulis atau Undang- Undang Dasar; (ii) naskah tertulis yang masih mempunyai hubungan dengan Undang- Undang Dasar, contohnya risalah- risalah, keputusan dan ketetapan MPR, Undang- Undang tertentu, peraturan tata tertib, dan lain sebagainya; (iii) Praktik kebiasaan penyelenggaraan bernegara yang hidup tercermin dari nilai- nilai konstitusi; (iv) Perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap hidup menjadi kebiasaan dalam kesadaran kognitif masyarakat cerminan dari peri

57 Lisdhani Hamdan Siregar, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia” 9 (2012): 25.

58 Anthony W. Bradley and K. D. Ewing, Constitutional and Administrative Law, 14. ed (Harlow: Pearson Longman, 2007).

59 Susanto Polamolo, “‘Nalar Fenomenologi’; Mahkamah Konstitusi dalam Pusaran

Kekuasaan dan Bahaya Krisis Weltanschauung,” Jurnal Konstitusi 11, no. 2 (May 20, 2016):

212–32, https://doi.org/10.31078/jk%x.

(10)

kehidupan berbangsa dan bernegara 60. Hasil dari uji konstitusional suatu undang- undang ialah dalam bentuk putusan Mahkamah Konstitusi 61. Penjelasan Pasal 10 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kontitusi dinyatakan dengan tegas bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifal final dan mencakup pula kekuatan hukumnya mengikat (binding) 62. Berdasarkan ketentuan tersebut maka Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat (final and bindang) harus dipatuhi dan dilakasanakan oleh siapapun (erga omnes) 63.

Putusan MK jika dilihat dari amar putusannya bersifat declaratoir constitutif. Menurut Edwin Borchard bersifat declaratoir vonnis artinya putusan yang tidak memuat perintah paksaan dan hanya menyatakan suatu keadaan hukum 64. Hal tersebut tercermin pada amar putusan pengujian Undang- Undang yang menyatakan bahwa materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari Undang- Undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan bersifar contitutif dapat diartikan bahwa putusan hakim untuk meniadakan suatu keadaan hukum dan/atau mengadakan suatu hukum yang baru 65.

4. Peraturan Perundang-undangan

Peraturan pembentukan perundang-undangan diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

60 Jimly Asshiddiqie, Hukum acara pengujian undang-undang (Jakarta: Kerjasama Konstitusi Press dengan PT Syaamil Cipta Media, 2006).

61 Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, and Mohammad Mahrus Ali, “Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)” 10 (2013): 34.

62 Meirina Fajarwati, “TINDAK LANJUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROGRAM LEGISLASI NASIONAL” 22, no. 3 (2017): 10.

63 Fadzlun Budi Sulistyo Nugroho, “SIFAT KEBERLAKUAN ASAS ERGA OMNES DAN IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI,” Gorontalo Law Review 2, no. 2 (October 30, 2019): 95, https://doi.org/10.32662/golrev.v2i2.739.

64 Edwin M Borchard, “THE DECLARATORY JUDGMENT-A NEEDED PROCEDURAL REFORM,”

YALE LAW JOURNAL XXVIII, no. 1 (1918): 32.

65 Maruarar Siahaan and Bisariyadi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Republik Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Konstitusi Press, 2005).

(11)

undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019. Peraturan perundang-undangan dibentuk atau ditetapkan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga negara dalam bentuk peraturan yang tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dengan melalui prosedur peraturan perundang- undangan.

Peraturan perundang-undangan Di Indonesia memiliki berbagai macam jenis dan berjenjang tingkatannya, meliputi:

a) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Ketetapan Majelis Perusyawaratan Rakyat;

c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang d) Peraturan Pemerintah;

e) Peraturan Presiden

f) Peraturan Daerah Provinsi; dan g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Selain jenis peraturan Perundang-undangan diatas, peraturan yang keberadaannya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan, diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU pembentukan peraturan Perundang-undangan. Yaitu, peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang- Undang atau Pemerintah atas perintah Undang- Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

5. Constitutional review

(12)

Secara umum, Judicial review dipahami sebagai upaya hukum untuk menguji atau menggugat norma hukum melalui peradilan 66. Lebih lanjut, menurut W.J Waluchow 67, judicial review didefinisikan sebagai bentuk praktik dari proses yang dilakukan oleh pengadilan guna meninjau kembali undang-undang atau tindakan resmi pemerintah lainnya demi menentukan konstitusionalnya, atau mungkin kewajaran, rasionalitas, atau kompatibilitasnya dengan prinsip-prinsip dasar keadilan.

“Judicial review is a practice whereby courts are sometimes called upon to review a law or some other official act of government (e.g. the decision of an administrative agency such as a state or provincial labour relations board) to determine its constitutionality, or perhaps its reasonableness, rationality, or its compatibility with fundamental principles of justice.”

Praktik judicial review dilakukan pertama kali pada tahun 1803 melalui putusan Supreme Court di Amerika serikat dalam perkara Marbury versus Madison 68. Pada masa itu, di dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, ketentuan judicial review tidak tercantum. Atas keberanian John Marshal 69 yang juga didukung 4 Hakim Agung lainnya, kemudian Supreme Court Amerika Serikat membuat putusan yang menyatakan pengadilan mempunyai kewenangan untuk membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.

Judicial review sebagai mekanisme untuk melakukan kontrol terhadap norma hukum (norm control mechanism) dilakukan dengan menguji hasil dari proses pengambilan keputusan hukum. Selama ini, dikenal tiga macam norma hukum yang dapat diuji yaitu : (i) Keputusan normatif yang bersifat dan berisi pengaturan (regeling), (ii) keputusan normatif yang bersifat dan berisi penetapan administrative (beschikking), dan (iii) keputusan normatif yang bersifat dan berisi penghakiman (judgement) atau yang biasa disebut

66 Doreen Lustig and J H H Weiler, “Judicial Review in the Contemporary world—

Retrospective and Prospective,” International Journal of Constitutional Law 16, no. 2 (June 15, 2018): 315–72, https://doi.org/10.1093/icon/moy057.

67 Waluchow, “Judicial Review.”

68 Robert F Nagel, “Marbury v. Madison and Modern Judicial Review” 38 (2003): 24.

69 R. Kent Newmyer, John Marshall and the Heroic Age of the Supreme Court, Southern Biography Series (Baton Rouge: Louisiana State University Press, 2001).

(13)

vonis 70. Ketiga norma hukum tersebut memiliki sifat yang berbeda, regeling memiliki sifat general and abstract norms, sedangkan vonnis dan beschikking memiliki sifat individual and concrete norms 71.

Bangsa Amerika Serikat melalui supreme court( Mahkamah Agung) adalah yang pertama kali melakukan Proses judicial review atas Undang- Undang yang dibuat oleh konggres (regeling) terhadap konstitusi 72. Konsep Judicial review yang dilakukan oleh Amerika Serikat inilah yang juga melatar belakangi negara- negara Eropa penganut civil law system untuk mengembangkan konsep tersebut. Austria kemudian menjadi salah satu Negara yang menerapkan adanya system pengujian undang- undang terhadap konstitusi dan proses tersebut dilakukan oleh badan kenegaraan yang berdiri secara terpisah dari pengadilan biasa 73. Hans Kelsen yang mendesain proses judicial review bagi Austria dengan pola Mahkamah Konstitusi tersebut memandang bahwa konstitusi harus ditempatkan sebagai norma hukum yang lebih superior dari pada undang- undang sehingga perlu adanya badan khusus yang mengawasi undang- undang serta membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan konstitusi yang ada 74.

Di Indonesia, proses pengujian Undang-Undang, baik dari segi formil maupun materiil mengenai konstitusionalnya disebut Pengujian Konstitusional Undang- Undang 75. Pengujian konstitusional berbeda dengan pengujian legalitas, dimana pengujian kontitusionalitas dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi 76, sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengujian

70 Jimly Asshiddiqie, Hukum acara pengujian undang-undang (Jakarta: Kerjasama Konstitusi Press dengan PT Syaamil Cipta Media, 2006).

71 Hans Kelsen, GENERAL THEORY OF LAW AND STATE, vol. 1 (Oxford [England] : New York:

London Geoffrey Cumberlege ; Oxford University Press, 1949).

72 Christopher Wolfe, The Rise of Modern Judicial Review: From Constitutional Interpretation to Judge-Made Law (Lanham, Md.: Rowman & Littlefield, 1994),

http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&AN=

1133192.

73 Garlicki, “Constitutional Courts versus Supreme Courts.”

74 Ali Acar, “EUROPEAN UNIVERSITY INSTITUTE,” European University Institute Department of Law, 2014, 315.

75 Mohammad Mahrus Ali, “Konstitusionalitas dan Legalitas Norma dalam Pengujian Undang- Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945,” Jurnal Konstitusi 12, no. 1 (May 20, 2016):

172, https://doi.org/10.31078/jk12110.

76 Asshiddiqie, Hukum acara pengujian undang-undang, 2006.

(14)

legalitas 77. Dalam melakukan uji legalitas, Mahkamah Agung menggunakan Undang- Undang sebagai alat ukur untuk menilai dan menjalankan proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang 78 . Pengujian Konstitusional Undang- Undang terhadap UUD 1945 dilakukan oleh MK didasarkan pada Pasal 24C UUD 1945.

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang- Undang Dasar…” dan diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dalam undang-undang No. 24 Tahun 2003 dimana MK mempunyai kewenangan menguji undang- undang terhadap UUD 1945. Di Indonesia, proses constitutional review pertama kali dilakukan oleh MK untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945. Didalam proses tersebut MK melakukan proses pengujian Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 79. di dalam putusan tersebut MK tidak dapat menerima permohonan pemohon.

Namun, di dalam putusan tersebut MK mengkesampingkan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 24 tahun 2003, dimana Undang- Undang tersebut membatasi kewenangan MK menguji terhadap Undang- Undang pasca perubahan UUD 1945 80.

77 Taufiqurrahman Syahuri, “PENGKAJIAN KONSTITUSI TENTANG PROBLEMATIKA

PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN” (Jakarta: BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI, 2014),

https://www.bphn.go.id/data/documents/lap.akhir_pengkajian_konstitusi_pengujian_uu.pd f.

78 Arie Satio Rantjoko, “HAK UJI MATERIIL OLEH MAHKAMAH AGUNG UNTUK MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DIBAWAH UNDANG-UNDANG DI INDONESIA” 3, no.

1 (2014): 16.

79 “Perintisan Dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,” 2020, https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11769.

80 Zendy Wulan Ayu W.P and Haidar Adam, “PUTUSAN ULTRA PETITA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG,”

Yuridika 29, no. 2 (May 13, 2014), https://doi.org/10.20473/ydk.v29i2.365.

(15)

B. Landasan Teori

1. Teori Norma Dasar menurut Hans Kelsen

Teori norma dasar yang dikemukakan oleh Hans Kelsen 81 menjadi dasar untuk memahami bagaimana seperangkat norma dapat dikatakan berada dalam sebuah sistem hukum yang sama. Bagi Kelsen, sistem hukum terdiri dari sekumpulan norma- norma yang saling terkait dengan cara tertentu dan norma- norma tersebut memang pantas berada di dalam sistem hukum yang sama. Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai sistem hukum dan kaitannya dengan norma dasar, terdapat 2 aksioma yang digunakan oleh Kelsen.

Pertama, Kelsen berpendapat bahwa di dalam sebuah sistem hukum, akan terbentuk hubungan di mana sebuah hukum (baik secara langsung maupun tidak langsung) mengesahkan hukum yang lainnya. . Kedua, semua hukum di dalam sebuah sistem hukum disahkan (baik secara langsung maupun tidak langsung) oleh sebuah hukum. Aksioma kedua inilah yang menjadi dasar pemikiran Kelsen tentang adanya norma dasar di setiap sistem hukum.

Keberadaan sebuah norma dasar di dalam sistem hukum digunakan untuk memenuhi kebutuhan logis yang mendasari logika keterkaitan antara satu hukum dan hukum lainnya yang ada di dalam sistem hukum tersebut.

Tentunya, keberadaan norma dasar harus diakui dan sah untuk dapat disebut sebagai sebuah norma dasar. Selain itu, dapat dipastikan bahwa isi dari norma dasar yang dianut oleh sebuah sistem hukum dan sistem hukum yang lainnya tidaklah sama. Sebuah norma dikatakan sebagai norma dasar bukan karena bagaimana susunan isinya, namun sebuah norma dikatakan sebagai norma dasar biasanya karena memiliki kesamaan karakteristik struktur, posisi yang istimewa di dalam sistem hukum dan memiliki fungsi yang sama. Norma dasar dari sebuah sistem hukum biasanya berasal dari kesadaran hukum dan berupa hukum non-positif yang mengesahkan semua hukum konstitusional dasar dan keberadaannya tidak bergantung pada lembaga yang menghasilkan produk hukum. Norma dasar menjadi penting untuk memastikan bahwa relasi logis antar norma hukum di dalam sebuah sistem hukum telah membentuk

81 Joseph Raz, “KELSEN’S THEORY OF THE BASIC NORM,” THE AMERICAN JOURNAL OF JURISPRUDENCE 19, no. 1 (1974): 18.

(16)

rantai validitas yang tepat dan menjamin keabsahan setiap norma hukum yang ada di dalamnya. Untuk menjelaskannya lebih lanjut, Kelsen mengemukakan aksioma ketiga yang berisi gagasan tentang penggambaran norma dasar sebagai norma hukum yang seharusnya merupakan bentuk ideal dan bukan berasal dari tindakan manusia. Hal ini dikarenakan tindakan manusia biasanya merupakan bagian dari realita dan bagi Kelsen, terdapat kesenjangan antara realita dengan bentuk ideal. karenanya, norma dasar bukanlah merupakan turunan dari realita. Norma hukum inilah yang akan mengesahkan tindakan yang diambil oleh masyarakat dan inilah yang disebut sebagai bentuk validitas objektif.

Prinsip dikotomi dari jenjang antara realita dan bentuk ideal ini kemudian menyebabkan perlu adanya otonomi dari norma hukum yang disahkan oleh adanya rantai validitas. Setiap norma hukum di dalam sebuah sistem hukum, pasti disahkan oleh hukum lain yang telah ada sebelumnya dan begitu seterusnya hingga merujuk pada adanya hukum non-positif yang mengesahkan hukum- hukum tersebut. Rantai validitas yang terbentuk inilah yang kemudian berkembang menjadi dasar dari normativitas dan keabsahan dari sebuah hukum. Konsep norma dasar ini membentuk normativitas hukum yang objektif dan bebas nilai. Fungsi ini dapat ditemukan dalam upaya untuk membuktikan keabsahan objektif dalam tatanan hukum positif.

2. Teori Sistem Hukum menurut Joseph A. Raz

Teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Joseph Raz adalah teori hukum model institusional 82. Lebih lanjut, sifat dari sistem hukum yang dijelaskan oleh Raz memiliki peran khusus untuk menjelaskan tentang keberadaan, identitas dan struktur dari sistem hukum. Selain itu, Raz menekankan bahwa terdapat perbedaan definisi antara sebuah hukum dan norma hukum yang penting untuk memahami sistem hukum secara keseluruhan. Baginya, sebuah hukum merupakan unit- unit dasar dari sebuah

82 Pablo E. Navarro, “Normative Systems and Legal Positivism,” in Essays in Legal Philosophy, by Eugenio Bulygin, ed. Carlos Bernal et al. (Oxford University Press, 2015), 1–21,

https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780198729365.003.0001.

(17)

sistem hukum. Dengan kata lain, jika kita melihat lebih jauh ke dalam struktur sebuah sistem hukum, maka kita akan menemukan sekumpulan hukum- hukum yang membentuknya. Sedangkan bagi Raz, norma hukum dimaknai sebagai sebuah hukum atau aturan yang mengarahkan perilaku manusia dengan memaksakan tugas atau memberikan kekuasaan.

Dalam memaknai sistem hukum, Raz memandang bahwa unit dasar dari sistem hukum bukanlah norma hukum, melainkan adanya entitas kelas heterogen dari hukum. Namun disisi lain, Raz menekankan bahwa setiap sistem hukum juga mengandung norma hukum, di mana setiap hukum yang ada di dalam sistem hukum akan memiliki relasi internal dengan norma- norma. Relasi tersebut dibangun sejauh hukum dapat mempengaruhi keberadaan dan penerapan norma- norma hukum tersebut. Dengan demikian, untuk menganalisa struktur dari sebuah sistem hukum, tidaklah cukup hanya melihat bagaimana hubungan antar norma namun juga harus mempertimbangkan relasi antar hukum yang berlaku. Relasi tersebut akan menentukan struktur operasi dari sistem hukum yang dilihat dari hubungan antara hukuman dan pengaturannya.

Untuk melakukan analisa terhadap struktur sistem hukum yang memadai, Raz mempertimbangkan 3 aspek yang harus diperhatikan; pertama, pengorganisaian materi hukum yang ada pada unit- unit dasar. Adanya identifikasi terhadap unit- unit dasar ini nantinya akan mengarahkan kita untuk melihat bagaimana hubungan dari hukum- hukum pada unit dasar terbentuk. Kedua, sistem operasi dari sistem hukum yang menentukan bagaimana hukum mengatur perilaku masyarakat. Terakhir adalah aspek karakteristik dasar dari sistem hukum tersebut (sifat normatif, koaktif dan melembaga).

Identifikasi terkait dengan sifat dari teori hukum harus sangatlah general dan abstrak agar dapat digunakan untuk melihat semua jenis sistem hukum. Dengan demikian, sifat yang mengandung nilai- nilai karakteristik kekhususan haruslah diabaikan karena sifat ini hanya berlaku di dalam konteks kondisi sosial, ekonomi dan budaya tertentu bagi sebagian sistem hukum saja. Selanjutnya, dalam melakukan analisa terkait dengan teori sistem

(18)

hukum, Raz akan banyak memandang sistem hukum sebagai sebuah sistem normatif yang terinstitusionalisasi 83. Analisa seperti itu adalah bagian dari analisa filsafat hukum.

Sistem- sistem normatif merupakan sistem hukum yang telah ada karena perannya dalam mengatur perilaku individu dan organisasi sosial di masyarakat. Perbedaan antara sistem hukum dengan sistem normatif lainnya terletak pada eksistensi atau keberadaannya. Ketika kita melihat sistem hukum sebagai sebuah sistem perundang- undangan, kita tidak hanya melihat isinya saja namun kita harus melihat apakah aturan tersebut berlaku karena sebuah sistem hukum hanya diakui keberadaannya ketika sistem tersebut berlaku di masyarakat. Karakteristik tersebut memang bukanlah satu- satunya unsur pembentuk sistem hukum, seperti halnya sistem hukum juga mungkin akan memuat beberapa nilai moral hukum sebagai bentuk turunan dari hukum- hukum di dalamnya. Nilai moral tersebut muncul ketika hukum di dalam sistem tersebut menjalankan peran tertentu.

Sebagai sebuah sistem normatif yang terlembagakan, sistem hukum haruslah memiliki institusi yang dibentuk untuk menjalankan fungsinya. Para filsuf hukum sepakat untuk mengkategorikannya ke dalam 2 (dua) jenis institusi, yaitu; institusi pembuat norma, seperti majlis konstitusi, parlemen, dll dan institusi penegak norma, seperti mahkamah, pengadilan, kepolisian, dll. Bagi Raz, institusi pembuat norma bukan lagi sebuah bagian penting dalam sistem hukum modern. Menurutnya, institusi penegak norma-lah yang lebih utama bagi seluruh sistem hukum. Untuk mengetahui institusi mana saja yang termasuk ke dalam bagian dari institusi penegak norma, Raz lebih memilih untuk melihat dari segi norma yang membentuknya. Dalam mengenali identitas sebuah institusi, kita dapat merujuk pada norma yang dibuat untuk memberikan kekuasaan pada institusi tersebut. lebih jauh, identitas yang melekat kepada institusi tersebut seharusnya dilihat bukan hanya dari segi tugas dan fungsi yang melekat namun juga bagaimana cara mereka menjalankan fungsinya.

83 J. Raz, “THE INSTITUTIONAL NATURE OF LAW1,” The Modern Law Review 38, no. 5 (September 1975): 489–503, https://doi.org/10.1111/j.1468-2230.1975.tb01426.x.

(19)

Segala upaya yang dilakukan oleh pejabat publik untuk melaksanakan suatu tugas maupun mengatur sesuatu merupakan bentuk penegakan hukum.

Di sini, Raz memberikan penekanan bahwa upaya penegakan hukum hanya dapat dilakukan oleh pejabat publik. Mengingat bahwa institusi penegak norma ini ada di dalam semua jenis sistem hukum, maka indentifikasi terhadap institusi tersebut menjadi penting untuk ditegaskan. Secara umum, institusi penegak norma adalah institusi yang tidak memiliki kewenangan untuk membuat suatu norma namun secara fisik, institusi tersebut memiliki kewenangan untuk mengaplikasikannya.

Di dalam sistem hukum modern, Raz berpandangan bahwa selain institusi penegak norma, terdapat pula bentuk institusi yang dapat mengkombinasikan pembentukan norma dan mengaplikasikan norma sebagai bagian dari institusi penegak norma. Raz menyebut institusi tersebut sebagai primary- institution. Dalam menjalankan fungsinya, primary- institution lebih menyoroti tentang penentuan kekuasaan atas situasi normatif menurut norma yang sudah ada seperti halnya badan peradilan. Mahkamah dan pengadilan memiliki kekuasaan untuk menentukan hak dan kewajiban seorang individu.

Bukan hanya karena badan peradilan dilengkapi dengan fasilitas untuk melakukan penyelidikan terhadap fakta dan menentukan hukum yang berlaku atasnya namun badan peradilan juga memiliki kekuasaan untuk menentukan situasi hukum seseorang. Sistem hukum tidak hanya dilihat dari adanya norma yang memiliki kewenangan penerapan yang bersifat binding, namun sistem hukum haruslah memiliki norma yang memberikan kekuasaan kepada institusi untuk mengeluarkan keputusan yang bersifat binding. Hal inilah yang membuat keputusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan memiliki sifat binding atau mengikat.

Sebuah norma yang telah dibuat akan tetap memiliki sifat binding meskipun norma tersebut mengandung isi yang sama dengan norma yang telah ada sebelumnya. Norma baru tersebut kelak mungkin dapat menjadi dasar dalam pengambilan keputusan setelah norma yang lama tidak lagi berlaku. Sehingga, bagi Raz, norma tersebut tetap memiliki sifat binding

(20)

meskipun tidak merubah hak maupun kewajiban seseorang. Namun kenyataan ini tidak menutup kemungkinan bahwa sifat binding dari keputusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan dapat juga keliru. Kekeliruan ini dapat menyangkut kesalahan dalam mengaplikasikan norma. Namun demikian, keputusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan tersebut tetaplah bersifat binding.

Setiap putusan dan aturan yang ada di dalam sistem hukum akan mempengaruhi situasi hukum seluruh subjek hukumnya tanpa kecuali.

Karakteristik ini kemudian dijelaskan oleh Raz ke dalam 3 sifat yang menjadi karakteristik dari sistem hukum, meliputi:

a) Sistem hukum bersifat komprehensif

Sifat pertama yang membedakan sistem hukum dengan sistem normatif yang terlembagakan lainnya adalah kemampuan sistem hukum untuk menjangkau semua subyek hukumnya secara menyeluruh. Secara umum, sistem normatif yang terlembagakan akan juga memiliki institusi- institusi pendukung yang mungkin sama dengan apa yang dimiliki oleh sistem hukum.

Namun tidak semua sistem normatif yang terlembagakan adalah sebuah sistem hukum. Salah satu sifat karakteristik yang membedakan antara sistem hukum dan sistem normatif lainnya adalah jangkauan dari produk hukum maupun aturan yang dimilikinya.

Sistem normatif yang terlembagakan biasanya memiliki lingkup subyek hukum yang terbatas sehingga sistem normatif tersebut hanya berlaku di dalam lingkungannya tersebut. Batasan subyek hukum dari sebuah sistem normatif yang satu dengan yang lainnya tentu berbeda. Ruang lingkup dan subyek hukum dari sistem normatif tersebut hanya akan mempengaruhi lingkungan dan tindakan dari subyek hukum yang sesuai dengan tujuan mereka saja. Misalkan saja seperti klub olahraga, partai politik, universitas, organisasi kemasyarakatan yang terlembagakan dan memiliki sistem normatif yang beroperasi sesuai dengan visi dan visi misi yang digunakan untuk mengatur anggotanya.

(21)

Lain halnya dengan sistem hukum. Di dalam lingkungan sistem hukum, dimungkinkan adanya sistem normatif lain yang berlaku (seperti sistem normatif universitas, klub olahraga, organisasi masyarakat, dll) namun sistem tersebut belum tentu adalah sistem hukum. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sistem normatif lain hanya akan mengatur tindakan maupun perilaku anggotanya saja, namun sistem hukum akan memiliki kewenangan untuk mengatur seluruh kelompok masyarakat yang ada di dalam lingkungannya. Adanya batasan kelompok- kelompok kecil di dalam sistem hukum tidak akan membatasinya untuk mengatur tindakan mereka. Yang harus diperhatikan adalah karakteristik ini dapat dimiliki oleh sistem hukum namun tidak harus dipenuhi. Dalam arti, sistem hukum memiliki kewenangan untuk mengatur seluruh perilaku subyek hukumnya namun bukan berarti mengharuskan sebuah sistem hukum untuk secara lengkap memiliki semua jenis peraturan yang mengatur semua aspek tersebut.

Dalam mengatur perilaku dari subyek hukumnya, sistem hukum tidak selalu memuat norma yang secara langsung mengatur tentang hal tersebut.

Pengaturan terhadap sebuah tindakan mungkin diatur secara tidak langsung, misalnya saja jika terdapat sebuah norma yang berisi tentang kewenangan untuk membentuk dan mengundangkan norma lain yang ketika norma baru tersebut diundangkan maka norma tersebut akan mengatur tentang tindakan yang dimaksudkan. Selain itu, untuk mengatur tentang sebuah perilaku, hukum hanya perlu memuat tentang izin untuk melakukan tindakan tersebut.

seperti halnya jika konstitusi telah mengamanatkan tentang kebebasan dan hal tersebut tidak mungkin diubah, maka tidak lagi perlu ada aturan lain yang mengatur tentang hal tersebut.

b) Sistem hukum memiliki sifat supremasi

Sifat supremasi yang dimiliki oleh sistem hukum berarti bahwa sistem hukum adalah yang tertinggi di dalam lingkungan tersebut. sifat ini terkait dengan kondisi pada sifat sebelumnya. supremasi menegaskan bahwa sistem hukum memiliki otoritas untuk mengatur seluruh pengaturan dan penerapan sistem normatif lain yang subyek hukumnya berada pada lingkungan sistem

(22)

hukum tersebut. keberadaan sistem normatif lain di dalam lingkungan sebuah sistem hukum sangat dipengaruhi oleh bagaimana aturan di dalam sistem hukum tersebut mengizinkan operasional dari lembaga normatif dijalankan.

Tentunya, aturan yang dimiliki oleh sistem normatif lain di dalam sistem hukum tidak akan bertentangan dengan nilai- nilai norma hukum yang termuat di dalam sistem hukum itu sendiri. karena inilah yang memungkinkan sistem hukum dan sistem normatif lain tersebut dapat berjalan berdampingan di dalam sebuah lingkungan yang sama. Namun bagaimana dengan sistem hukum yang satu dan yang lainnya? Apakah sebuah sistem hukum selalu memiliki nilai- nilai yang bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya? Di dalam bukunya yang berjudul „The Authority of Law‟, Raz menekankan bahwa jika ditelaah di dalam konteks hukum dan mengesampingkan faktanya, antara sistem hukum yang satu dan yang lainnya mungkin memiliki nilai- nilai yang hampir sama dan tidak memiliki nilai yang saling bertentangan sehingga dapat dijalankan di dalam sebuah lingkungan yang sama. Namun kondisi seperti ini tidak diizinkan dan tidak stabil.

Sebuah sistem hukum mungkin mengizinkan adanya sistem normatif lain yang berjalan di dalam lingkungannya namun mungkin tidak akan memberikan izin bagi adanya sistem hukum lain. Meski demikian, Raz menekankan bahwa dia tidak menutup kemungkinan bahwa pada kenyataannya, sebagian kecil dari sistem hukum terkadang juga mengakui adanya keabsahan ekstrateritori dari sistem hukum lainnya. Raz juga memberikan contoh terkait dengan keadaan di beberapa negara yang relatif stabil dengan adanya sistem hukum sekuler dan religius yang berjalan berdampingan, meski tentunya ada perbedaan tingkat kecocokan.

Pada akhirnya, Raz tetap menekankan bahwa sistem hukum memiliki sifat supremasi yang tidak dapat diabaikan. Sifat dari karakteristik inilah yang kemudian memberikan klaim bahwa sistem hukum memiliki otoritas tertinggi untuk mengatur subyek hukumnya. Secara tidak langsung, klaim tersebut memberikan batasan bahwa tidak mungkin bagi sebuah sistem

(23)

hukum untuk mengakui supremasi dari sistem hukum lain di dalam lingkungannya. Di dalam konteks hukum, bukanlah suatu hal yang ideal untuk memiliki lebih dari satu sistem yang tertinggi.

c) Sistem hukum bersifat terbuka

Keterbukaan sifat dari sistem hukum dilihat dari adanya norma yang memiliki kemampuan untuk mengikat norma lain yang sebenarnya tidak tergolong di dalam sistem hukum tersebut. keterbukaan ini menjadi jalan untuk mengakomodir dan mendukung bentuk kelompok sosial lain dengan menjunjung tinggi dan menegakkan kontrak, kesepakatan, aturan dan kebiasaan individu atau asosiasi dengan menerapkan aturan konflik hukum maupun hukum negara lain. Ketika sebuah sistem hukum mengadopsi norma lain, tentu sistem hukum tersebut bukanlah sistem hukum yang sedari awal menjalankan sanksi dari adanya aturan norma tersebut. dengan demikian, tindakan penegakan yang diperlukan dapat bersifat binding ketika melibatkan putusan pengadilan.

Adanya karakteristik keterbukaan sistem hukum ini membuat Raz memandang perlu adanya modifikasi kriteria untuk menentukan identitas norma yang ada di dalamnya. Perubahan ini dilakukan untuk membedakan antara norma asli dari sistem tersebut dan norma yang merupakan hasil adopsi dari sistem hukum milik kelompok sosial lainnya. Upaya ini penting untuk dilakukan, mengingat bahwa semua norma harus diterapkan oleh norm- applying institution sesuai dengan kekuasaannya, kecuali bagi norma yang merupakan hasil adopsi. Untuk itu, penentuan identitas norma asli dan norma yang diadopsi ke dalam sebuah sistem hanya dapat di dasarkan pada masalah formal dan teknis pembentukan norma tersebut.

Mengenali bagaimana sebuah norma dibentuk dan merunut dasar pemberi kekuatan binding-nya akan menunjukkan apakah norma tersebut merupakan bagian asli dari dalam sistem hukum. Selain itu, fungsi pembentukan dari sebuah norma juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi dari mana norma tersebut berasal. Jika sebuah norma

(24)

berfungsi untuk mengatur perilaku dari kelompok sosial lainnya maka norma tersebut bisa jadi merupakan norma yang diadopsi ke dalam sistem hukum.

Sistem hukum dianggap terbuka jika dan hanya jika sistem hukum tersebut mengadopsi norma yang berasal dari sistem normatif lain untuk di terapkan terhadap subyek hukum norma tersebut yang berada di dalam lingkungan berlakunya sistem hukum. Hal ini dilakukan untuk menghormati bagaimana kelompok sosial lain mengatur aktivitasnya, terlepas dari apakah norma- norma lain yang sama akan juga diadopsi. Proses tersebut akan berlaku untuk mengatur urusan yang terkait dengan aturan konflik hukum.

Selain itu, norma yang diadopsi haruslah dibuat dengan persetujuan subyek hukum mereka. Proses ini tentunya juga harus dibuat berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh sistem hukum (yang mengadopsi) yang mengizinkan setiap individu untuk mengatur urusan mereka sendiri.

pengadopsian norma ini biasanya dilakukan untuk mengakomodir kepentingan kontrak maupun peraturan perusahaan komersial.

Setiap proses yang dilakukan untuk mengadopsi norma yang berasal dari sistem normatif lainnya tersebut akan bermuara pada diterima atau tidaknya norma „alien‟ tersebut ke dalam sistem hukum yang berlaku. Jika sistem tersebut menerima dan mengakui norma hasil adopsi tersebut maka sistem tersebut tergolong sebagai sistem yang terbuka. Bagi Raz, semua sistem hukum adalah sistem yang terbuka. Mempertahankan dan mendorong penegakan norma dan organisasi lain adalah salah satu fungsi dari sistem hukum.

3. Konsep Logika Deontik menurut Eugenio Bulygin

Dalam pembahasan mengenai masalah- masalah yang terdapat di dalam sistem normatif, salah satu perdebatan yang sering timbul adalah tentang ada atau tidaknya relasi logis yang terjalin antar norma hukum yang membangun

(25)

sebuah sistem normative 84. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa di antara norma- norma tersebut tidaklah mungkin terdapat hubungan logis karena norma bukanlah entitas yang dapat berdiri dalam hubungan logis antara satu norma dengan norma yang lainnya. Lebih lanjut, yang dimungkinkan terjadi adalah adanya logika dari norm statement (pernyataan norma) terkait dengan keadaan benar atau salahnya norma yang terkandung di dalam sistem norma. Kemungkinan adanya relasi logis antar norma sangat bergantung pada karakter ontologisnya.

Jika dilihat secara konteks sosial, hubungan antar norma dan directive yang terbentuk terlihat seperti alogic namun jika dipahami melalui konten dari norma tersebut, beberapa penulis berpendapat bahwa hubungan logis masih mungkin dapat dibangun. Untuk melihat adanya logika di dalam tulisan normatif, sistem logika deontik formal digunakan untuk mempelajari sistem norma. Penjabaran konsep dari konsekuensi logis digunakan untuk menarik kesimpulan logis dari premis- premis tertentu. Sebuah kesimpulan logis tidak mungkin salah jika dan hanya jika premis- premisnya benar. Dari hubungan tersebut, kesimpulan yang di dapat adalah tentang keadaan benar atau salah.

Perdebatan timbul karena beberapa pendapat menyatakan bahwa konsep benar atau salah tidak dapat diterapkan pada norma dan tulisan normatif.

Abad ke 14 menjadi awal mulanya banyak pembahasan lebih mendalam mengenai logika deontik. Pembahasan ini berfokus pada konsep tentang kewajiban, pelarangan dan pemberian izin yang dikaikan dengan kebutuhan, kemungkinan dan kemustahilan. Pada awalnya, konsep memberikan izin hanya didefinisikan secara sederhana dengan tidak adanya larangan (kemungkinan normatif). Abad 17, pembahasan logika deontik berkembang melalui pernyataan dari Gotfried Wilhelm Leibniz yang membaginya ke dalam kategori: kewajiban (debitum), izin (licitum), larangan (illicitum), modalitas hukum (iuris modalia). Konsekuensi logis dari dictum „apa yang tidak dilarang berarti diizinkan‟ menjadi tautologi „apa yang tidak dilarang,

84 Risto Hilpinen, “Aspects of Eugenio Bulygin’s Norm Theory*,” in Essays in Legal Philosophy, by Eugenio Bulygin, ed. Carlos Bernal et al. (Oxford University Press, 2015), 22–36,

https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780198729365.003.0002.

(26)

tidak terlarang‟. Pernyataan ini menjadi dasar logika deontik yang lebih substantif.

Pembahasan susbtantif yang lebih mendalam tentang logika deontik membuat kita harus dapat membedakan antara „menurut sistem S, tindakan A diperbolehkan‟ dengan „tindakan A dilakukan bukan dalam kondisi bahwa tindakan A dilarang‟. Fokus yang menjadi tujuan pembahasan ini mengacu pada pemaknaan permissory norms. Untuk memudahkannya, maka di dalam permissory norms dapat kita temukan pemberian izin yang bersifat lemah dan kuat. Pemberian izin yang bersifat lemah diidentifikasi dengan tidak adanya larangan di dalam sistem hukum, sedangkan pemberian izin yang bersifat kuat adalah kondisi ketika di dalam sistem hukum tersebut terdapat norma yang memang memuat tentang hal pemberian izin tersebut (izin positif).

Selanjutnya, masalah yang timbul di dalam logika sitem normatif adalah permasalah mengenai adanya kesenjangan hukum atau legal gaps.

Kesenjangan hukum ini dapat memicu kondisi the silence of law di mana hukum tidak memberikan pernyataan lengkap terhadap pertanyaan hukum.

Legal gaps yang asli harus dibedakan dengan munculnya ketidakpastian yang disebabkan oleh ketidakjelasan konsep hukum dan keputusan hukum yang berlebihan. Sistem hukum dianggap memiliki kesenjangan hukum ketika tidak memberikan pernyataan apapun terhadap status normatif dari tindakan tertentu. Biasanya hal ini timbul karena tindakan tersebut tidak diatur di dalam sistem hukum. Contohnya adalah adanya legal gaps yang memicu the silence of law ketika adanya „izin positif‟ di dalam sistem hukum namun tidak ada norma pendukung yang menyatakan tentang apa yang harus dilakukan maupun apa yang mungkin boleh dilakukan oleh sebuah lembaga.

Logika deontik yang dikembangkan oleh Eugenio Bulygin kemudian berfokus kepada masalah permissory norms dimana terdapat kemungkinan munculnya kesenjangan hukum di sana. Jika logika deontik umum membahas tentang definisi sederhana dari „diizinkan‟ yang berarti tidak adanya larangan, Bulygin mencoba membedah dengan kondisi yang berbeda. Bagi Bulygin, tidak adanya larangan tidak sama dengan adanya pemberian izin di dalam sebuah sistem normatif. Untuk itu, di dalam premis yang dibuat oleh Bulygin,

(27)

P- operator dari logika deontik lebih merujuk pada „permissory‟ dibandingkan

„permission‟.

Menurut pandangan Bulygin, sebuah izin (a permission) bukan hanya timbul karena secara fakta, tidak ada larangan di dalam sistem normatif.

Bulygin membayangkan adanya permissory norms yang dinyatakan dengan logika yang tepat. Hal ini dibutuhkan untuk tetap mengakomodir adanya perbedaan antara izin yang bersifat lemah dan kuat (permissibility). Dengan mempertimbangkan preposisi normatif, kita dapat melihat adanya permasalahan antara permissory norms dengan kesenjangan hukum. Jika S adalah sistem hukum dan A adalah sebuah tindakan yang diharuskan (obligatory), maka :

(1) S: OA menjadi, (2) S: FA

Jika merujuk pada preposisi (1) dan (2) maka kita dapat mengandaikan bahwa menurut sistem S, tindakan A dilarang (Forbidden). Lain halnya ketika kita ingin melihat permissibility A terhadap S yang tidak dalam kondisi bahwa S melarang tindakan A;

(3) (S:FA)

dan jika untuk menyatakan bahwa A diizinkan di dalam S, maka : (4) S: FA

Dengan demikian maka tidak ada bedanya antara negasi eksternal maupun internal dari preposisi dengan bentuk seperti ini. Jika kita mengandaikan bentuk (3) sebagai sebuah permissibility lemah dan (4) sebagai bentuk permissibility kuat maka tidak ada bedanya diantara kedua bentuk tersebut sehingga tidak mungkin ada legal gaps. Jika tidak di dalam kasus di dalam S, tindakan A dilarang, maka menurut S, tindakan A diizinkan. Jika S adalah seperangkat norma dan (3) ekuivalen dengan (4), maka :

(5) (FA  S) (PA S)

dimana menurut standart logika deontik maka ekuivalen dengan :

(28)

(6) (O A S) O AS

Berpedoman pada standar preposisi logika deontik tersebut, Bulygin menekankan tentang adanya perbedaan konsep antara tidak adanya norma yang melarang dan adanya norma yang memberikan izin. Tindakan yang didukung oleh permissory norms dari sebuah sistem norma, dapat dibedakan dari tindakan yang tidak diatur. Dengan kata lain, izin positif yang ditunjukkan pada bagian kanan dari preposisi (5) dan (6) tidak mengikuti bentuk „ S tidak melarang A‟. jika A tidak diizinkan di dalam sistem (A diizinkan secara lemah), menambahkan PA kepada S akan merubah S dan tatanan normatifnya tanpa mengurangi norma kewajiban apapun. Hal ini dapat terlihat ketika mempertimbangkan tatanan normatif yang memiliki beberapa otoritas yang diatur secara hirarkis.

(29)

C. Kerangka Berpikir

Norma Dasar Pancasila Sistem Hukum/ Sistem Perundang- Undangan UUD 1945 Tap MPR UU / Perpu Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Perda Provinsi Perda Kabupaten/ Kota

Rantai keabsahan sesuai Tidak sesuai sahTidak sah ReviewPrimary Institution Mahkamah Agung Putusan

Primary Institution Mahkamah Konstitusi

Review Putusan

Referensi

Dokumen terkait

Semoga buku ini memberi manfaat yang besar bagi para mahasiswa, sejarawan dan pemerhati yang sedang mendalami sejarah bangsa Cina, terutama periode Klasik.. Konsep

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu.. 8.1.1

Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang- undangan dan/atau yang

Project : Embankment Rehabilitation and Dredging Work of West Banjir Canal and Upper Sunter Floodway of Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP/JEDI) – ICB Package

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui untuk memberikan ijin kepada pihak Program Studi Sistem Informasi Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas