• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN JUMLAH SEL MAST DENGAN TAMPILAN EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA CUTANEOUS SQUAMOUS CELL CARCINOMA TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN JUMLAH SEL MAST DENGAN TAMPILAN EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA CUTANEOUS SQUAMOUS CELL CARCINOMA TESIS"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN JUMLAH SEL MAST DENGAN TAMPILAN EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA CUTANEOUS SQUAMOUS CELL CARCINOMA

TESIS

Disusun Oleh :

EDI KERINA SEMBIRING NIM : 117108003

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

HUBUNGAN JUMLAH SEL MAST DENGAN TAMPILAN EKSPRESI VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) PADA CUTANEOUS SQUAMOUS CELL CARCINOMA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis Patologi Anatomik Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

EDI KERINA SEMBIRING NIM : 117108003

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Penelitian : Hubungan Jumlah Sel Mast Dengan Tampilan Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Nama : Edi Kerina Sembiring NIM : 117108003

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

dr. H. Delyuzar,M.Ked(PA),Sp.PA(K) dr. H. Soekimin, SpPA(K) NIP. 196302191990031001 NIP. 194809011980031002

Ketua Program Studi Ketua Departemen Patologi Anatomi FK USU Patologi Anatomi FK USU

dr. H. Delyuzar,M.Ked(PA),Sp.PA(K) dr. T. Ibnu Alferraly,M.Ked.PA,Sp.PA NIP. 196302191990031001 NIP. 196202121989111001

(4)

HASIL PENELITIAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS PATOLOGI ANATOMIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Judul Penelitian : Hubungan Jumlah Sel Mast Dengan Tampilan Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Nama : Edi Kerina Sembiring NIM : 117108003

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU

Jangka Waktu : 6 (enam) bulan

Lokasi Penelitian : Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan Pembimbing : 1. dr. Delyuzar, M.Ked(PA), Sp.PA(K)

2. dr. Soekimin, Sp.PA (K)

(5)

LEMBAR PANITIAN UJIAN

Judul Penelitian : Hubungan Jumlah Sel Mast Dengan Tampilan Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Nama : Edi Kerina Sembiring NIM : 117108003

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU

Diuji pada

Hari/Tanggal : Jumat / 21 April 2017

Pembimbing : 1. dr. Delyuzar, M.Ked(PA), Sp.PA(K) 2. dr. Soekimin, Sp.PA (K)

Penguji : 1. dr. Joko S. Lukito, Sp.PA (K)

2. dr. T. Ibnu Alferraly, M.Ked(PA), Sp.PA, D. Bioet

(6)

PERNYATAAN

Hubungan Jumlah Sel Mast Dengan Tampilan Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam rujukan ini.

Medan, April 2017

Yang membuat pernyataan,

NIM: 117108003 dr. Edi Kerina Sembiring

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmatNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian Magister yang berjudul “Hubungan Jumlah Sel Mast Dengan Tampilan Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada Cutaneous Squamous Cell Carcinoma”. Tesis ini adalah salah satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar keahlian dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

• Rektor Universitas Sumatera utara, Prof. DR. Rungtung Sitepu, SH.Mhum dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

• Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, DR. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

• Pembimbing I (dr. H. Delyuzar, M.Ked(PA), Sp.PA(K)) dan Pembimbing II (dr.

H. Soekimin, Sp.PA(K)) yang penuh perhatian dan kesabaran telah

(8)

mengorbankan waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian tesis ini.

• Penguji I (dr. H. Joko S. Lukito, Sp.PA(K)) dan penguji II (dr. T. Ibnu Alferraly, M.Ked(PA), Sp.PA, D. Bioet) yang telah bersedia menguji, mengoreksi dan memberikan saran-saran pada penulisan tesis ini.

• Kepala Instalasi Laboratorum Terpadu, Kepala Instalasi dan staf Patologi Anatomik RSUP Haji Adam Malik Medan, dr. Jamaluddin Pane, Sp.PA, dr. H.

Sutoyo Eliandi, M.Ked(PA), Sp.PA, dr. Lely Hartanti, M.Ked(PA), Sp.PA, dr.

Sumondang M. Pardede, Sp.PA, dan dr. Stephan Udjung, Sp.PA yang telah memberikan tempat dan mengizinkan penulis untuk mengambil sampel data penelitian ini.

• Dosen Pembimbing Akademik, dr. T. Ibnu Alferraly, M.Ked(PA), Sp.PA, D.Bioet atas bimbingan dan masukan-masukan selama penulis menjalankan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

• Kedua orang tua, Ayahanda Tatapen Sembiring dan Ibunda Martha br Barus, yang telah membesarkan, mendidik dan senantiasa mendoakan dengan penuh kasih sayang yang tulus. Juga tak terlupakan abanganda Yohanes Sembiring, Suranta Sembiring, Putra Jaya Sembiring, Perananta Sembiring yang telah mendorong penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(9)

• Adik tercinta, Devi Permatasari Ginting, beserta keluarga atas cinta, kasih sayang, pengertian, pengorbanan, kesabaran, serta doa yang tulus yang diberikan kepada penulis.

• Keluarga besar penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa dan dukungannya.

• Teman-teman PPDS di Departemen Patologi Anatomik atas semangat, dukungan dan persahabatannnya selama ini.

• Pegawai di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, M. Husin Kurniawan, Mas Sumitro, Yusni Abdillah, Kak Nafiah, Sartika Ningsih atas bantuannya selama ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih perlu mendapatkan koreksi dan masukan untuk kesempurnaannya. Segala masukan dan saran akan penulis terima dengan besar hati. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Penulis,

NIM: 117108003 Edi Kerina Sembiring

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN …...……… i

HASIL PENELITIAN ... ii

LEMBAR PANITIA UJIAN... iii

PERNYATAAN ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI ……….. viii

DAFTAR TABEL ………... xi

DAFTAR GAMBAR……….. xii

DAFTAR SINGKATAN ……… xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang …….………. 1

1.2. Perumusan Masalah ……….. 3

1.3. Hipotesa... 3

1.3. Tujuan Penelitian ……….. 4

1.3.1. Tujuan Umum ……… 4

1.3.2. Tujuan Khusus ……… 4

1.4. Manfaat Penelitian………. 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 6

2.1. Anatomi dan Histologi Kulit…….……….………... 6

2.1.1. Epidermis…...………... 6

2.1.2. Dermis………... 10

2.1.3. Subkutan………... 11

2.2. Epidemiologi Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 11

2.3. Etiologi dan Faktor Risiko Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 14

2.4. Klasifikasi Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 16

2.5. Gambaran Klinis Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 22

2.6. Prognosis Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 23

2.7. Sel Mast ………... 24

2.8. Sel Mast dan Angiogenesis... 31

2.9. Imunohistokimia 2.9.1. CD 117... 34

2.9.2. VEGF... 35

2.10. Kerangka Teori... 36

BAB III. METODE PENELITIAN ……… 37

3.1. Jenis Penelitian ……… 37

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian……….. 37

(11)

3.2.1. Tempat Penelitian ………. 37

3.2.2. Waktu Penelitian ……….. 37

3.3. Populasi, Sampel, dan Besar Sampel ……….. 37

3.3.1. Populasi Penelitian ……… 38

3.3.2. Sampel Penelitian ………. 38

3.3.3. Besar Sampel ……… 38

3.3.4. Pengambilan Sampel... 38

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ……….. 39

3.4.1. Kriteria Inklusi ……….……… 39

3.4.2. Kriteria Eksklusi ……….………. 39

3.5. Variabel Penelitian ………..……… 39

3.5.1. Variabel Bebas... 39

3.5.2. Variabel Tergantung... 39

3.6. Kerangka Operasional Penelitian ……… 40

3.7 .Definisi Operasional.... ………. 40

3.8. Alat dan Bahan ……….. 41

3.8.1. Alat... 41

3.8.2. Bahan... 42

3.9. Cara Kerja ………... 43

3.10. Analisa Data... 43

3.11. Jadwal Penelitian... 44

3.12. Ethical Clearance... 44

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 45

4.1. HASIL PENELITIAN... 45

4.1.1. Distribusi penderita Cutaneous Squamous Cell Carcinoma Berdasarkan usia penderita... 45

4.1.2. Distribusi penderita Cutaneous Squamous Cell Carcinoma Berdasarkan jenis kelamin penderita... 46

4.1.3 Distribusi penderita Cutaneous Squamous Cell Carcinoma Berdasarkan lokasi massa tumor... 47

4.1.4. Distribusi jumlah sel mast dengan pewarnaan Imunohistokimia CD117 pada penderita Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 48

4.1.5. Distribusi jumlah sel mast dengan pewarnaan imunohistokimia CD117 berdasarkan jenis kelamin penderita Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 48

4.1.6. Distribusi jumlah sel mast dengan pewarnaan Imunohistokimia CD117 berdasarkan jenis kelamin penderita Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 49

4.1.7. Distribusi jumlah sel mast dengan pewarnaan imunohistokimia CD117 berdasarkan lokasi massa tumor penderita Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 50

(12)

4.1.8. Distribusi tampilan ekspresi VEGF pada Cutaneous

Squamous Cell Carcinoma... 51

4.1.9. Tabulasi silang antara tampilan ekspresi VEGF dan jumlah sel mast pada Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 52

4.2. Pembahasan... 53

BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN... 58

5.1. Simpulan ... 58

5.2. Saran... 59

Lampiran 1. Protokol pulasan Imunohistokimia CD117... 66

Lampiran 2. Protokol pulasan Imunohistokimia VEGF... 68

Lampiran 3. Master Data... 70

Lampiran 4. Jumlah Sel Mast dengan pewarnaan CD117... 71

Lampiran 5. Tampilan Ekspresi VEGF pada Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 72

Lampiran 6. Surat Persetujuan Komisi Etik... 73

Lampiran 7. Surat Izin Pengambilan data dari RSUP HAM... 74

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Penelitian-penelitian dengan peningkatan jumlah sel

mast berhubungan dengan prognosis yang buruk... ... 30 Tabel 3.1. Waktu pelaksanaan penelitian... 43 Tabel 4.1. Distribusi penderita Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Berdasarkan usia penderita... 46 Tabel 4.2. Distribusi penderita Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Berdasarkan jenis kelamin penderita... 47 Tabel 4.3. Distribusi penderita Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Berdasarkan lokasi massa tumor... 47 Tabel 4.4. Distribusi jumlah sel mast dengan pewarnaan imunohistokimia

CD117 pada penderita Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 48 Tabel 4.5. Distribusi jumlah sel mast dengan pewarnaan imunohistokimia

CD117 berdasarkan jenis kelamin penderita Cutaneous

Squamous Cell Carcinoma... 49 Tabel 4.6. Distribusi jumlah sel mast dengan pewarnaan imunohistokimia

CD117 berdasarkan jenis kelamin penderita Cutaneous

Squamous Cell Carcinoma... 50 Tabel 4.7. Distribusi jumlah sel mast dengan pewarnaan imunohistokmia

CD117 berdasarkan lokasi massa tumor penderita Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 51

Tabel 4.8. Distribusi tampilan ekspresi VEGF pada Cutaneous

Squamous Cell Carcinoma... 52 Tabel 4.9. Tabulasi silang antara tampilan ekspresi VEGF dan jumlah

sel mast pada Cutaneous Squamous Cell Carcinoma... 53

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Stratum Basalis menunjukkan keratinosit pigmen-laden

dan melanosit bervakuola ……….. 6

Gambar 2.2. Stratum granulosum dengan keratinosit yang penuh dengan granul keratohialin. Stratum spinosum dengan sitoplasma yang eusinofilik ……… 7

Gambar 2.3. Stratum korneum yang menunjukkan gambaran basket-wave orthokeratosis ………... 8

Gambar 2.4. Epidermis yang menunjukkan maturasi keratinosit yang normal ………... 9

Gambar 2.5. Acantholytic squamous cell carcinoma ……… 16

Gambar 2.6. Spindle-cell squamous cell carcinoma ………... 18

Gambar 2.7. Verrucous squamous cell carcinoma……… 19

Gambar 2.8. Pseudovascular squamous cell carcinoma……… 20

Gambar 2.9. Adenosquamous carcinoma………. 21

Gambar 2.10. Sel mast merupakan komponen jaringan ikat longgar yang sering berada dekat pembuluh darah kecil... 23

Gambar 2.11. Peransel mast dalam perkembangan dan penyebaran keganasan kulit... 25

Gambar 2.12. Akumulasi sel mast pada perifer basal cell carcinoma ………... 27

Gambar 2.13. Sel mast pada dermis dormal dan Urticaria pigmentosa... 28

Gambar 2.14. . Jumlah sel mast pada well dan moderate differentiated cutaneous squamous cell carcinoma... 29

Gambar 2.15. Peningkatan kadar serum faktor angiogenik dari 125 pasien melanoma... 31

(15)

DAFTAR SINGKATAN

CANSA = Cancer Association of South Africa CDNK2A = Cyclin-Dependent Kinase Inhibitor 2A CK = Cyto Keratin

DNA = Deoxyribonucleic Acid

IKKK = Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin KA = Keratosis Aktinik

Kg = Kilo gram

KKNM = Kanker Kulit Non Melanoma MM = Melanoma Malignant

PAS = Periodic Acid–Schiff PTCH = Protein Patched Homolog 1 PTEN = Phosphatase and Tensin Homolog RSCM = Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo RS.H = Rumah Sakit Haji

RSKD = Rumah Sakit Kanker Dharmais SCC = Squamous Cell Carcinoma USU = Universitas Sumatera Utara UVR = Ultraviolet Radiation

VEGF = Vascular Endothelial Growth Factor WHO = World Health Organization

(16)

ABSTRAK

Hubungan Jumlah Sel Mast Dengan Tampilan Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Edi Kerina Sembiring

Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan , Delyuzar, Soekimin

Abstrak

Latar Belakang: Kanker kulit non melanositik tersering adalah basalioma diikuti squamous cell carcinoma. Squamous cell carcinoma merupakan keganasan epitel skuamus. Sel mast merangsang neovaskularisasi dan angiogenesis pada beberapa tumor. Salah satu faktor utama angiogenesis pada squamous cell carcinoma adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF).

Metode: 30 blok parafin dengan diagnosis cutaeous squamous cell carcinoma di warnai dengan CD117 dan VEGF. Sel mast dihitung dari akumulasi terbanyak satu lapangan pandang pada pembesaran 200x, diberi skor <15 sel atau ≥ 15 sel. Ekspresi VEGF berdasarkan penjumlahan intensitas pewarnaan dan persentase sel yang terpulas positif.

Hasil: Jumlah Sel mast ≥ 15 sel sebanyak 7 kasus (23,3%). Ekspresi VEGF terekspresi positif pada 30 kasus (100%). Uji kesesuian Fischer’s Exact Test memiliki nilai yang tidak signifikan (p>0,05)

Kesimpulan: Tidak terdapat kesesuaian hubungan jumlah sel mast dengan ekspresi VEGF dari p-value, namun kemungkinan terdapat hubungan belum dapat disingkirkan.

Kata Kunci: cutaneous squamous cell carcinoma, sel mast, VEGF

(17)

Correlation Number of Mast Cells with Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) in Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Edi Kerina Sembiring

Anatomical Pathology Department Faculty of Medicine Universitas Sumatera Utara Medan , Delyuzar, Soekimin

Abstract

Background: The most common non-melanocytic skin cancer are basalioma and squamous cell carcinoma. Squamous cell carcinoma is a malignancy of squamous epithelium. Mast cells stimulate neovascularization and angiogenesis in multiple tumors. One of the main factors of angiogenesis in squamous cell carcinoma is the Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF).

Method: Formalin-fixed paraffin-embedded sections from 30 cutaneous squamous cell carcinoma were obtained. Mast cells are calculated from the accumulated most of the field of view at 200x magnification, by a score of <15 cells or ≥ 15 cells.

VEGF expression is based on the sum of staining intensity and percentage of positive cells smeared.

Results: The number of mast cells ≥ 15 cells were 7 cases (23.3%). Expressed VEGF positive expression in 30 cases (100%). Suitability test Fischer's Exact Test has value not significant (p> 0.05).

Conclusions: There is no conformance relationship number of mast cells with VEGF expression of p-value, but it is likely there is a relationship can not be ruled out.

Keywords: cutaneous squamous cell carcinoma, Mast Cell, VEGF

(18)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Penyakit kanker kulit dewasa ini cenderung mengalami peningkatan kasus terutama di kawasan Amerika, Australia dan Inggris. Berdasarkan beberapa penelitian, orang-orang kulit putih lebih banyak menderita kanker kulit. Hal tersebut diprediksikan sebagai akibat seringnya terkena (banyak terpajan) cahaya matahari.

Di Indonesia, penderita kanker kulit terbilang sangat sedikit dibandingkan ke-3 negara tersebut, namun demikian kanker kulit perlu dipahami karena selain menyebabkan kecacatan dapat juga menyebabkan kematian.1

Secara garis besar keganasan kulit dapat dikelompokkan menjadi keratinositik dan melanositik. Tumor keratinositik merupakan jenis yang paling sering, sekitar 90% dari seluruh keganasan di kulit. Diantara jenis keganasan pada kelompok keratinositik, basal cell carcinoma dan squamous cell carcinoma merupakan dua jenis tersering. Malignant melanoma merupakan jenis keganasan dari kelompok tumor melanositik yang paling sering dijumpai.2

Di Amerika, sekitar 800.000 orang menghidapi kanker kulit setiap tahun dan 75% adalah basal cell carcinoma. Squamous cell carcinoma didapati pada 200.000 orang Amerika setiap tahun. Malignant melanoma adalah yang paling jarang dijumpai dari antara ketiga diagnosis, tetapi menyebabkan paling banyak kematian.

(19)

Menurut WHO, sebanyak 160.000 orang menderita malignant melanoma setiap tahun dan sebanyak 48.000 kematian dilaporkan setiap tahun.2

Berdasarkan data Badan Registrasi Kanker tahun 2005 di Indonesia, keganasan kulit berada pada peringkat ke-4 (6.21%) dari seluruh jenis keganasan berdasarkan lokasi pada pria dan wanita. Berdasarkan data dari 13 pusat patologi di Indonesia jenis tahun 1989, 39,93% dari seluruh keganasan pada organ kulit, adalah basal cell carcinoma dengan lokasi aling sering berada di daerah leher, 39.57%

adalah squamous cell carcinoma dengan lokasi paling banyak di daerah kepala dan leher adalah 11.44% adalah malignant melanoma dengan lokasi tersering di daerah kepala.1,3

Di Jakarta, pada tahun 2000-2009, Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) melaporkan 261 kasus basal cell carcinoma, dikuti dengan 69 kasus squamous cell carcinoma, dan 22 kasus malignant melanoma. Berlainan dengan data sebelumnya, Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) selama tahun 2005-2007 mencatat bahwa kanker kulit non melanositik yang tersering adalah squamous cell carcinoma diikuti oleh basal cell carcinoma dan malignant melanoma. Hal ini dapat dimengerti karena RSKD merupakan salah satu RS rujukan kanker sehingga kasus yang diterima adalah kasus rujukan, telah dilakukan tindakan sebelumnya tapi tidak berhasil atau kanker rekuren, misalnya squamous cell carcinoma, melanoma dll. Adapun basal cell carcinoma adalah kanker kulit yang jarang bermetastasis sehingga sebagian besar kasus masih dapat ditangani oleh dokter kulit maupun dokter bedah yang lain.4

(20)

Squamous cell carcinoma sering mengenai daerah kulit yang terpapar matahari, dimana lebih sering mengenai laki-laki dengan usia lanjut di atas 60 tahun.

Insidensi squamous cell carcinoma adalah 1 berbanding 1000 penduduk Amerika Serikat.5

Sel mast merangsang neovaskularisasi pada beberapa tumor. Pertumbuhan dan metastasis tumor tergantung pada kemampuannya untuk memperoleh pasokan darah yang baru.6

Sel mast mengandung berbagai faktor angiogenik seperti histamin, heparin, transforming growth factor-β (TGF- β), TNF-α, IL-8, fibroblast growth factor-2 (FGF-2) dan vascular endothelial growth factor (VEGF).7

VEGF mengikat dua tipe III reseptor tirosin kinase pada sel endotel vaskular, Flt-1 dan KDR / Flk-1. In vivo, VEGF meningkatkan permeabilitas mikrovaskular dan angiogenesis, dan VEGF dianggap sebagai faktor angiogenesis tumor.

Menghambat fungsi VEGF dapat menghambat angiogenesis dan menekan pertumbuhan tumor in vivo, dan baru-baru ini dilaporkan bahwa penghambatan antibodi reseptor Flk-1 VEGF dapat mencegah invasi malignant human keratinocyte xenotransplants.8,9

I.2. Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana hubungan jumlah sel mast dan ekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) pada cutaneous squamous cell carcinoma.

(21)

I.3. Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan jumlah sel mast terhadap tampilan ekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) pada cutaneous squamous cell carcinoma.

I.4. Tujuan Penelitian I.4.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan jumlah sel mast dan ekpresi vascular endothelial growth factor (VEGF) pada cutaneous squamous cell carcinoma.

I.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk menilai jumlah sel mast dengan pewarnaan imunohistokimia CD117 (c-kit) pada cutaneous squamous cell carcinoma.

2. Untuk menilai ekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) pada cutaneous squamous cell carcinoma.

I.5. Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan informasi atau data awal untuk penelitian selanjutnya dalam menilai hubungan jumlah sel mast dengan faktor-faktor imunosupresi, degrafasi matriks ekstraselular dan mitogenesis cutaneous squamous cell carcinoma.

2. Dapat membantu informasi atau data awal mengenai hubungan jumlah sel mast dan ekspresi VEGF dengan terapi selektif inhibitor CD117.

(22)

3. Dapat membantu informasi atau data awal mengenai hubungan jumlah sel mast dan ekspresi VEGF sehingga dapat mencegah invasi sel tumor.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Kulit

Kulit merupakan organ kompleks yang menutupi seluruh permukaan tubuh.

Pada seorang individu dengan berat sekitar 70 kg, berat kulit sekitar 5 kg (15% dari total berat badan orang dewasa) dan menutupi area permukaan seluas 2 m2. Oleh sebab itu, kulit merupakan organ terbesar pada tubuh manusia.Kulit mempunyai beberapa fungsi vital yaitu sebagai permeabilitas barier, proteksi terhadap patogen, termoregulasi, sensasi, proteksi ultraviolet, regenerasi, dan penampilan fisik. Secara garis besar kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis (subkutis). Struktur kulit menunjukkan variasi regional dalam hal ketebalan (bervariasi antara1–4 mm), distribusi adneksa kulit serta kepadatan melanosit. Secara embrionik epidermis dan adneksanya berasal dari ektodermal sedangkan dermis dan hipodermis berasal dari mesodermal.10,11

2.1.1. Epidermis

Epidermis merupakan suatu epitel tatah berlapis yang memperbaharui dirinya sendiri secara berkesinambungan. Epidermis terdiri dari berbagai tipe sel, mayoritas sel (90–95%) ialah keratinosit. Sel ini akan bergerak secara progresif dari membrana basalis menuju permukaan kulit, membentuk beberapa lapisan yang berbatas tegas selama proses perpindahan ini. Berdasarkan morfologi sederhana, epidermis dapat

(24)

dibagi menjadi 4 lapisan yang berbeda yaitu stratum basal atau stratum germinativum, stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum korneum. Pada beberapa bagian tubuh misalnya regio palmoplantar, lapisan tambahan yaitu stratum lusidum dapat terlihat diantara lapisan granular dan korneum. 5–10% sel – sel epidermal merupakan sel non keratinosit yaitu sel langerhans, melanosit, dan sel merkels. Epidermis memiliki ketebalan rata-rata 100 mum, tetapi hal ini bervariasi sesuai dengan area tubuh (50 mum pada kelopak mata sampai 1 mm pada telapak tangan dan kaki).11,12

Gambar 2.1. Stratum basalis menunjukkan keratinosit pigmen-laden dan melanosit bervakuola.12

Tepat diatasnya terdapat keratinosit epibasal yang membesar yang membentuk stratum spinosum atau prickle cell layer. Bentuk, struktur dan komponen subselular dari sel spinosum berhubungan dengan posisi sel ini pada mid epidermis.

Sel pada stratum spinosum bagian suprabasal berbentuk polihedral dengan nukleus yang berbentuk bulat dengan ketebalan sekitar lima sampai dengan sepuluh lapis.

Sejalan dengan diferensiasi dan pergerakannya ke bagian atas, sel menjadi lebih

(25)

pipih dan membentuk organel yang disebut granul lamellar. Sel–sel ini dipisahkan oleh ruangan yang dilalui oleh jembatan interseluler. Sel pada stratum spinosum juga terdiri dari kumparan filamen keratin berukuran besar di sekitar nukleus.10,11

Gambar 2.2. Stratum granulosum dengan keratinosit yang penuh dengan granul keratohialin. Stratum spinosum dengan sitoplasma yang eusinofilik.12

Stratum granulosum merupakan tempat pembentukan sejumlah komponen struktural yang akan membentuk barrier epidermal. Pada stratum granulosum, sel–

sel berbentuk pipih, berukuran 25 nm serta tersusun secara paralel terhadap permukaan kulit. Sel–sel ini berisi granul keratohialin intraselular yang sangat basofili, berbentuk iregular, panjang sekitar 2 nm dan tersusun secara acak. Granul keratohialin terutama terdiri dari profilaggrin, filamin keratin, dan loricrin.

Sitoplasma pada sel–sel dari bagian atas lapisan spinosum dan granulosum juga terdiri dari granul berlamella yang berukuran lebih kecil yaitu sekitar 100–300 nm, yang disebut juga granul lamellar atau Odland bodies. Sejumlah sel ini terdapat pada bagian teratas dari lapisan spinosum dan bermigrasi menuju bagian perifer sel pada saat sampai di lapisan granulosum. Mereka mengeluarkan komponen lipid ke dalam

(26)

ruang interseluler, yang berperan penting pada fungsi barrier dan kohesi interseluler pada stratum korneum.10,11

Ketebalan stratum granulosum pada kulit normal umumnya proporsional dengan ketebalan pada stratum korneum, sekitar 1–3 lapisan sel pada area dimana lapisan korneumnya tipis namun dapat mencapai 10 lapis pada daerah dengan lapisan tanduk yang tebal misalnya telapak tangan dan telapak kaki.10

Gambar 2.3. Stratum korneum yang menunjukkan gambaran basket-wave orthokeratosis. 12

Lapisan paling luar dari epidermis adalah stratum korneum dimana sel–

selnya telah mengalami diferensiasi sempurna yang ditandai dengan hilangnya nukleus serta organel sitoplasmik sehingga disebut korneosit. Korneosit berbentuk heksagonal dengan diameter sekitar 30–40 nm serta tersusun atas matriks keratin yang padat berfilamen. Lapisan ini berfungsi sebagai proteksi mekanik kulit, barrier terhadap kehilangan air dan permeasi substansi yang bersifat larut dari lingkungan.11

(27)

Gambar 2.4. Epidermis yang menunjukkan maturasi keratinosit yang normal.12

2.1.2. Dermis

Dermis adalah jaringan ikat yang menunjang epidermis dan mengikatnya pada jaringan subkutan (hipodermis). Dermis terdiri dari dua lapisan dengan batas yang tidak nyata stratum papilar di sebelah luar dan stratum retikular yang lebih dalam.12,13

Stratum papilare tipis dan terdiri atas jaringan ikat longgar,fibroblast dan sel jaringan ikat lainnya terdapat di stratum ini seperti sel mast dan makrofag. Stratum papilar tipis terdiri atas jaringan ikat longgar,fibroblast dan sel jaringan ikat lainnya.

Leukosit yang keluar dari pembuluh darah juga dijumpai.Stratum papilar disebut demikian karena stratum ini merupakan bagian utama dari papila dermis.Dari lapisan ini,serabut kolagen khusus menyelip ke lamina basalis dan meluas ke dalam dermis.

Serabut kolagen tersebut mengikat dermis pada epidermis yang disebut serabut penambat.12,13

(28)

Stratum retikular lebih tebal yang terdiri atas jaringan ikat padat tidak teratur (terutama kolagen tipe I) dan oleh karena itu memiliki lebih banyak serat dan lebih sedikit sel daripada stratum papilar.12,13

Dermis kaya dengan jaring-jaring pembuluh darah dan limfe. Didaerah kulit tertentu, darah dapat langsung mengalir dari arteri kedalam vena melalui anastomosis atau pirau arteriovenosa. Hal ini berperan penting pada pengaturan suhu. Selain itu kulit juga mengandung beberapa turunan epidermis yaitu folikel rambut,kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan serabut saraf.12,13

2.1.3. Subkutan

Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi Subkutis atau hipodermis adalah untuk melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber.1

2.2. Epidemiologi Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Di seluruh dunia kanker kulit yang tersering adalah basal cell carcinoma, squamous cell carcinoma dan malignant melanoma. Basal cell carcinoma dan squamous cell carcinoma umumnya disebut sebagai kanker kulit non melanoma

(29)

(KKNM). Di Indonesia data registrasi kanker pathological based (berbasis patologi) sudah ada, tapi yang hospital based (berbasis rumah sakit) maupun population based (berbasis populasi) khususnya kanker kulit masih belum lengkap. Hal tersebut mengakibatkan data epidemiologi kanker kulit di Indonesia masih kurang termasuk provinsi sumatera utara, sementara negara lain telah mempublikasikan datanya secara nasional.4

Denmark menunjukkan bahwa sejak tahun 1978 sampai 2007 terdapat kecenderungan peningkatan insidens KKNM. Didapatkan bahwa insidens basal cell carcinoma lebih tinggi dari squamous cell carcinoma. Lebih jauh lagi, ternyata peningkatan tersebut berlangsung cepat pada perempuan muda Denmark, bahkan basal cell carcinoma perempuan meningkat melampaui insidens pria.Di Amerika, menurut data National Cancer Institute, basal cell carcinoma merupakan yang terbanyak di antara dua kanker KKNM yaitu lebih kurang tiga perempatnya. Insidens basal cell carcinoma meningkat di beberapa daerah, tetapi tidak di seluruh Amerika.

Secara keseluruhan insidens dinyatakan meningkat dalam beberapa tahun. Dengan adanya data ini, Amerika melakukan pencarian dan biopsi lesi kulit. Di Jepang, keganasan kulit yang meningkat insidensnya adalah squamous cell carcinoma, basal cell carcinoma, dan malignant melanoma. Berdasarkan data dari 94 sentra, basal cell carcinoma paling tinggi yaitu sekitar 50%, diikuti oleh squamous cell carcinoma (31%) dan malignant melanoma (21%). Jumlah kasus masing-masing kanker juga meningkat setiap tahunnya. Antara tahun 1987 dan 2001 terdapat kenaikan 1,5 kali

(30)

pada basal cell carcinoma serta 1,7 kali pada squamous cell carcinoma dan malignant melanoma.4

Data dari The Cancer Association of South Africa (CANSA) memperlihatkan bahwa pada tahun 2000-2001 kanker yang paling sering terjadi adalah kanker kulit yang terdiri atas basal cell carcinoma, squamous cell carcinoma, dan malignant melanoma. Insidens kanker kulit di Afrika Selatan nomor dua setelah Australia.

Dilaporkan 20.000 kasus baru dan lebih dari 700 kematian yang diakibatkannya setiap tahun. Sementara itu, kanker kulit di Australia masih merupakan kanker kulit tertinggi di seluruh dunia. Seperti negara lain basal cell carcinoma lebih banyak dari squamous cell carcinoma, dan melanoma. Pada tahun 2002 insidens basal cell carcinoma 1337/100.000 penduduk, squamous cell carcinoma 616/100.000 penduduk dan malignant melanoma 45/100.000 penduduk.5

Di Jakarta, pada tahun 2000-2009, Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) melaporkan 261 kasus basal cell carcinoma, dikuti dengan 69 squamous cell carcinoma, dan 22 malignant melanoma.6 Berlainan dengan data sebelumnya, Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) selama tahun 2005-2007 mencatat bahwa KKNM yang tersering adalah squamous cell carcinomadan melanoma.7 Hal ini dapat dimengerti karena RSKD merupakan salah satu rumah sakit rujukan kanker sehingga kasus yang diterima adalah kasus rujukan, telah dilakukan tindakan sebelumnya tapi tidak berhasil atau kanker rekuren, misalnya squamous cell carcinoma, malignant melanoma, dll. Adapun basal cell carcinoma adalah kanker kulit yang jarang

(31)

bermetastasis sehingga sebagian besar kasus masih dapat ditangani oleh dokter kulit maupun dokter bedah yang lain.4

2.3. Etiologi dan Faktor Risiko Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Paparan terhadap stressor pemicu kanker dan respon tubuh terhadap paparan itu (respon host) merangsang pembentukan squamous cell carcinoma. Berikut adalah beberapa faktor predisposisi pada squamous cell carcinoma:14

1. Lesi Prekursor. Sebagian besar squamous cell carcinoma berkembang dari lesi prekursor, seperti keratosis aktinik (KA) dan squamous cell carcinomain situ (Bowen’s disease), prekursor pada squamous cell carcinoma yang umum dijumpai yang terlihat sebagai akibat dari paparan sinar matahari yang berlebihan secara langsung.14,15

2. Paparan radiasi sinar matahari. Paparan ultraviolet radiation (UVR) yang kronis, misalnya tanning beds, terapi UV, atau paparan sinar matahari kumulatif seumur hidup, merupakan faktor penting terhadap perkembangan squamous cell carcinoma. UVR diketahui sebagai mutagen yang mampu menginduksi kerusakan DNA yang menyebabkan perubahan keratinosit. UVR juga telah terbukti mengubah respon imun kulit, sehingga kulit menjadi rentan terhadap pembentukan tumor.14,16,17 Terapi sinar UV yang digunakan pada psoriasis juga merupakan predisposisi terhadap perkembangan squamous cell carcinoma. Mutasi pada TP53 sebagian besar berkaitan

(32)

dengan pasien squamous cell carcinoma yang mendapat terapi sinar UV sebelumnya, seperti yang diperlihatkan pada gambar.14,15,17

3. Radiasi ionisasi. Ada hubungan erat antara karsinoma sel skuamous dengan keterpaparan pada radiasi ionisasi. Dalam sebuah survei terhadap pasien squamous cell carcinoma, hubungan dengan terapi radiasi hanya ditemukan pada pasien yang kulitnya mungkin menderita luka bakar karena sinar matahari.14,16,17

4. Karsinogen lingkungan. Banyak karsinogen yang terdapat pada pekerjaan dan lingkungan, seperti arsenik dan hidrokarbon aromatik, memicu perkembangan squamous cell carcinoma.14

5. Imunosupresi. Imunosupresi kronis bisa menyebabkan peningkatan squamous cell carcinoma, terutama di tempat yang terpapar sinar matahari. Peningkatan squamous cell carcinoma 18 kali lipat dilaporkan pada pasien transplantasi ginjal yang mendapat terapi imunosupresif jangka panjang.14,16

6. Jaringan parut dan penyakit yang mendasari. Dalam sejarahnya, squamous cell carcinoma terkait dengan jaringan parut luka bakar dan ulkus kronis, tetapi hubungan demikian jarang ditemukan saat sekarang ini.14

7. Faktor-faktor panas. Keterpaparan panas jangka panjang bisa menyebabkan karsinoma sel skuamos. Peranan radiasi panas dalam perkembangan kanker kulit sudah lama diakui di banyak negara, di mana sering terjadi pada yang melakukan penempatan abu panas di bawah pakaian untuk menjaga kehangatan di musim dingin.14

(33)

8. Genodermatosis. Berbagai penyakit turunan memicu perkembangan squamous cell carcinoma. Pasien dengan albinisme okulokutan terutama mengembangkan squamous cell carcinoma di usia dini. Xeroderma pigmentosum, suatu gangguan perbaikan DNA, juga mempunyai karakteristik perkembangan dini squamous cell carcinoma.14,16

2.4.2. Klasifikasi Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Squamous cell carcinoma terdiri dari sarang-sarang dan lembaran sel epitel skuamosa yang berasal dari epidermis dan meluas hingga dermis dengan jarak yang bervariasi. Sitoplasma banyak dan eosinofilik, inti besar dan kadang-kadang vesikuler, dijumpai intercellular bridge dan keratinisasi sentral atau mutiara tanduk tergantung dari differensiasi tumor. Derajat anaplasia dari tumor sering digunakan untuk menentukan grade tumor. Penilaian grade yang sering digunakan adalah well, moderately, dan poorly. Kebanyakan squamous cell carcinoma berasal dari dari solar keratoses, dan biasanya dijumpai pada pinggiran dari tumor invasif.5

Adapun subtipe dari squamous cell carcinoma adalah:

o Acantholytic squamous cell carcinoma

Acantholytic squamous cell carcinoma merupakan varian histologis dari squamous cell carcinoma yang disebabkan hilangnya atau longgarnya intercellular bridge yang mengakibatkan akantolisis. Tumor ini dapat dijumpai baik pada intraepidermal (in-situ) atau invasive squamous cell carcinoma. Varian acantholytic berkisar 2 hingga 4 persen dari total

(34)

cutaneous squamous cell carcinoma. Lesi invasif biasanya menunjukkan penebalan dan ulserasi dari epitel. Pada pembesaran kecil, akan dijumpai epidermis yang menipis dan datar, epidermis yang normal atau hiperplasia dengan atau tanpa pulau-pulau tumor yang asimetris atau yang menginfiltrasi dermis. Pada pembesaran menengah, akantolisis suprabasilar dan intratumoral akan jelas terlihat. Zona akantolisis akan menghasil rongga intra-epidermal yang besar. Zona akantolisis dapat memanjang ke bawah hingga kestruktur folikel dan membentuk gambaran kelenjar. Fokus akantolisis juga dapat membentuk gambaran pseudovascular menyerupai angiosarcoma (pseudovascular squamous cell carcinoma). Pada pembesaran tinggi, ciri khas keganasan skuamosa dapat dijumpai seperti dyskeratosis, keratinocytic atypia, termasuk peningkatan N/C ratio, inti hiperkromatik, dan peningkatan mitosis normal dan abnormal.5

Gambar 2.5. Acantholytic squamous cell carcinoma.5

(35)

o Spindle-cell squamous cell carcinoma

Spindle cell SCC, yang juga dikenal sebagai SCC sarkomatoid, adalah varian yang jarang. Kondisi ini hampir selalu terjadi di bagian-bagian kulit dengan tingkat keterpaparan sinar matahari yang tinggi, seperti kepala, leher, dada dan anggota gerak atas, tetapi bisa juga terjadi pada pasien dengan riwayat keterpaparan radiasi sebelumnya. Kasus spindle cell SCC yang muncul di tempat radiasi sebelumnya cenderung menunjukkan masa perjalanan yang sangat agresif, sementara yang tidak terkait dengan radiasi cenderung tidak lebih agresif daripada SCC konvensional.5

Secara histopatologi, spindle cell SCC mungkin hampir seluruhnya terdiri dari sel-sel spindel atipikal yang tersusun dengan pola bergelung, atau bisa mempunyai kombinasi sel-sel spindel dan sel-sel SCC yang lebih konvensional, sering berhubungan dengan AK. Akan tetapi, berbeda dengan SCC konvensional, sel-sel tumor akan secara tunggal menginfiltrasi dermis tanpa pembentukan sarang-sarang atau tali-tali. Hubungan dengan epidermis di atasnya bisa bervariasi. Sel-sel raksasa pleomorfik yang aneh, dan juga elemen-elemen heterolog dengan banyak gambaran mitotik bisa diidentifikasi, sering dengan infiltrasi dalam ke dermis, subkutis, fasia, otot dan bahkan kadang-kadang tulang. Akan tetapi, stroma tidak akan bersifat desmoplastik secara signifikan. Dengan ketiadaan mutiara keratin dan hubungan dengan epidermis, spindle cell SCC bisa sulit dibedakan dari kondisi seperti atypical fibroxanthoma, spindle cell melanoma atau spindle

(36)

cell sarcoma. Penggunaan pulasan immunohistokimia bisa terbukti sangat berguna untuk diagnosis. Spindle cell SCC akan terpulas positif untuk cytokeratin berat-molekul-tinggi seperti CK5/6. Spindle cell SCC juga terpulas secara bervariasi untuk vimentin.5

Gambar 2.6. Spindle-cell squamous cell carcinoma.18

o Verrucous squamous cell carcinoma

Verrucous carcinoma adalah bentuk squamous cell carcinoma yang mencakup beberapa entitas klinik, yang semuanya memiliki ciri-ciri tumor eksofitik yang tumbuh lambat dengan tampilan mirip kembang kol yang berkembang di tempat iritasi kronis. Verrucous squamous cell carcinoma merupakan varian langka dari well differentiated squamous cell carcinoma dengan tingkat potensi keganasan yang rendah. Dalam semua kasus proliferasi epitel tipe well differentiated mudah dijumpai. Epitel skuamosa menunjukkan pola pertumbuhan eksofitik dan endofitik, lebih kepada

(37)

mendorong margin daripada destruksi dan infiltrasi. Sel tumor menunjukkan atipia yang minimal dan mitosis yang sangat sedikit. Dijumpainya neutrofil merupakan petunjuk diagnostik yang penting, mereka dapat membentuk abses intraepidermal yang kecil. Sinus-sinus dapat berisi sel-sel inflamasi dan debris-debris keratin. Tidak dijumpai fokus-fokus yang sering terdapat pada squamous cell carcinoma.5

Gambar 2.7. Verrucous squamous cell carcinoma5

o Pseudovascular squamous cell carcinoma

Pseudovascular squamous cell carcinoma merupakan varian yang agresif dari squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya akantolisis yang memberikan gambaran seperti angiosarcoma. Dijumpai adanya barisan sel- sel tumor yang membentuk area poligonal atau bahkan datar. Eritrosit dapat dijumpai pada rongga pseudovascular. Pemeriksaan immunohistokimia dibutuhkan untuk membedakannya dengan angiosarkoma. Pseudovascular SCC dapat positif pada satu atau lebih antibodi monoklonal. Positif pada cytokeratin dan negatif pada CD31 dan antigen faktor VIII.5

(38)

Gambar 2.8. Pseudovascular squamous cell carcinoma. A,B. Tumor yang membentuk struktur seperti pembuluh darah yang di lapisi oleh selapis sel-sel tumor. C,D. Tumor dengan

pembuluh darah yang dilatasi dan kongesti.5

o Adenosquamous Carcinoma

Adenosquamous carcinoma merupakan varian langka dari squamous cell carcinoma yang berasal dari sel pluripoten yang berkaitan dengan acrosyringia, ditandai adanya formasi kelenjar penghasil musin. Tumor dari barisan-barisan, kolom-kolom, dan untaian-untaian sel-sel skuamous yang diskeratosi dan atipik, menyatu dengan struktur kelenjar dengan epitel penghasil musin yang dapat dilihat dengan pewarnaan PAS, mucicarmine dan alcian blue pada pH 2.5. Musin ini resisten terhadap hialuronidase dan sensitif terhadap sialidase. Intracytoplasmic neolumina mengandung sekresi musin targetoid. Sel-sel tumor positif terhadap cytokeratin dan epithelial membrane antigen, sedangkan sel-sel yang membentuk struktur formasi kelenjar positif terhadap carcinoembryonic antigen. Mungkin ada kaitan antara sel-sel tumor dengan acrosyringia serta invasi perineural.5

A B

C D

(39)

Gambar 2.9. Adenosquamous carcinoma.5

3.4. Gambaran Klinis Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Predileksi karsinoma sel skuamous sering terjadi pada daerah kulit yang terpapar sinar matahari dan membran mukosa, namun dapat pula terjadi pada setiap bagian tubuh. Pada orang kulit putih lebih sering dijumpai pada daerah muka dan ekstremitas, sedangkan pada orang kulit berwarna gelap di daerah tropis lebih banyak pada ekstremitas bawah, badan, dan dapat pula dijumpai bibir bawah serta punggung tangan.5

Gambaran klinis squamous cell carcinoma bervariasi, dapat berupa :

Nodul berwarna seperti kulit normal, permukaannya halus tanpa krusta atau ulkus dengan tepi yang berbatasan kurang jelas.

Nodul kemerahan dengan permukaan yang papilomatosa atau verukosa yang menyerupai bunga kol.

(40)

Ulkus dengan krusta pada permukaannya, tepi meninggi, berwarna kuning kemerahan. Dalam perjalanan penyakitnya, lesi akan meluas dan mengadakan metastasis ke kelenjar limfe regional atau ke organ-organ dalam.

Squamous cell carcinoma yang timbul dari kulit normal (de novo) lebih sering mengadakan invasi yang cepat dan terjadi metastasis, dibandingkan lesi yang timbul dari keratosis aktinik.5

2.6. Prognosis Cutaneous Squamous Cell Carcinoma

Ciri-ciri histopatologi unik yang ditemukan pada lesi SCC tertentu sangat penting dalam memprediksi potensi ganasnya. Akan tetapi, ada beberapa ciri penting lainnya yang mungkin mempunyai nilai prognostik yang sama jika bukan lebih besar dan harus dinilai sewaktu menilai risiko tumor. Ini meliputi ukuran tumor dan kedalaman invasi, tingkat differensiasi, lokasi anatomik, invasi perineural dan perivaskular dan immunosupresi. Ini bukanlah variabel-variabel yang selalu saling bebas di mana subtipe-subtipe histologis SCC tertentu terkait erat dengan rangkaian spesifik ciri-ciri prognostik sekunder. 17,18,19,20

Ukuran dan kedalaman invasi mungkin merupakan faktor paling penting dari kemungkinan kekambuhan dan metastasis tumor. Sebagai ketentuan luas, tumor yang berukuran lebih kecil dari 2 cm jarang bermetastasis dan tidak mungkin kambuh, sementara yang berukuran lebih besar dari 2 cm menimbulkan ancaman metastasis dan kekambuhan yang signifikan.17

(41)

Tingkat diferensiasi histologis, dan juga tempat anatomik lesi, juga akan memegang peranan dalam penilaian dan prognosis SCC. Tumor yang poorly differentiated, akan tiga kali lebih besar kemungkinannya bermetastasis, dan dua kali lebih mungkin kambuh bila dibandingkan dengan tumor yang well differentiated.17, 21

2.7. Sel Mast

Sel mast merupakan sel jaringan ikat berbentuk bulat sampai lonjong, berdiameter 20-30 µm, yang sitoplasmanya dipenuhi granul sekretori basofilik. Inti bulatnya yang agak kecil terletak di tengah dan dapat ditutupi granul sitoplasmanya, hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.10.22

Gambar 2.10. Sel mast merupakan komponen jaringan ikat longgar, yang sering berada dekat pembuluh darah kecil (BV).22

Granul sekretori sel mast berdiameter 0,3-2,0 µm. Bagian dalamnya tampak heterogen, dan bersifat padat-elektron. Fungsi utama sel mast adalah pelepasan setempat banyak zat bioaktif dengan peran pada respons inflamatorik, imunitas bawaan dan perbaikan jaringan.22

(42)

Granul sel mast bersifat metakromasia karena banyak mengandung radikal asam dalam glikosaminoglikan tersulfasinya, yaitu granul ini dapat mengubah warna beberapa anilin basa (misalnya biru toluidin) dari biru menjadi ungu atau merah.

Granula tersebut tidak dapat tertahan kuat dengan fiksatif umum sehingga sel mast sering sulit diidentifikasi. Granula sel mast mengandung berbagai jenis senyawa yang memperkuat aspek lain respons peradangan setempat.22

Sel mast terdapat di banyak jaringan ikat, tetapi umumnya banyak berada dekat pembuluh darah kecil di kulit dan mesentrium (sel mast perivaskular) dan di mukosa yang melapisi saluran cerna dan saluran napas (sel mast mukosa). Ukuran rerata dan kandungan granul kedua populasi sel tersebut agak berbeda.22

Sel mast berasal dari sel progenitor sumsum tulang. Sel progenitor ini beredar dalam darah, menembus dinding venula dan kapiler, dan masuk ke dalam jaringan ikat, tempat sel tersebut berproliferasi dan berdiferensiasi. Meskipun sel progenitor ini memiliki banyak persamaan dengan leukosit basofil, kedua jenis tersebut berasal dari sel punca yang berbeda.22

Sebagian daftar molekul penting yang dilepaskan dari granula ini mencakup:

• Heparin,suatu glikosaminoglikan tersulfasi yang bekerja setempat sebagai antikoagulan.

• Histamin, yang meningkatkan permeabilitas vaskular dan kontraksi otot polos.

• Protease serin, yang mengaktifkan berbagai mediator inflamasi.

• Eosinofil dan faktor kemotaktik neutrofil yang menarik leukosit tersebut.

• Leukotrien C4, D4, dan E4 yang juga memicu kontraksi otot polos.

(43)

Pelepasan mediator kimia yang disimpan dalam kebanyakan sel mast menimbulkan reaksi alergi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas cepat, berakibat pembentukan imunoglobulin kelas IgE (antibodi) oleh sel plasma. IgE terikat erat pada permukaan sel mast. Pemaparan kedua terhadap antigen tersebut berakibat terikatnya antigen pada IgE di sel mast. Kejadian ini memicu pelepasan granul-granul sel mast, yang akan membebaskan histamin, leukotrien, dan heparin.22

Efek dari mediator sel mast pada pengembangan dan penyebaran keganasan kulit dimediasi melalui beberapa jalur, termasuk imunosupresi, peningkatan angiogenesis, gangguan matriks ekstraselular dan promosi mitosis sel tumor, seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.11 .23

(44)

Gambar 2.11. Peran sel mast dalam perkembangan dan penyebaran keganasan kulit. UV-B, ultraviolet-B; SCF, stem cell factor; IL, interleukin;

TNF-a, tumor necrosis factor-a; VEGF, vascular endothelial growth factor;

ECs, endothelial cells; TGF-b, transforming growth factor-b; FGF-2, fibroblast growth factor-2.23

Akumulasi sel-sel mast pada tumor manusia awalnya dilaporkan oleh Paul Ehrlich. Hingga saat ini ada beberapa penelitian berkaitan dengan tumor-associated mast cells (TAMCs) dalam kaitannya sebagai pro-tumorigenesis dan anti- tumorigenesis, seperti pada lesi keganasan oral, karsinoma gaster, kolon, hati, payudara, endometrium, serviks, prostat, limfoma hodgkin, basal cell carcinoma dan lesi melanositik pada kulit.24

Sel mast telah diamati menumpuk di sekitar batas keganasan kulit.

Peningkatan jumlah dari sel mast dari beberapa jenis tumor tidak bergantung pada infiltrasi sel-sel radang. Cohen et al. menemukan bahwa derajat inflamasi karsinoma sel peribasal tidak berkaitan dengan peningkatan jumlah sel mast. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.12.23

(45)

Gambar 2.12. Akumulasi sel mast pada perifer basal cell carcinoma ditunjukkan oleh panah (Pewarnaan toluidine blue, 400x).23

Penelitan histopatologi pada basal cell carcinoma dan squamous cell carcinoma telah menunjukkan bahwa kepadatan sel mast terutama tinggi pada varian yang lebih agresif. Serta, kepadatan sel mast dan pembuluh darah kecil meningkat pada melanoma dibandingkan dengan nevus jinak dan melanoma in situ.23

Menurut Janssens A S et al., distribusi sel mast pada kulit normal paling banyak dijumpai pada lengan bawah dan kaki, dan paling sedikit dijumpai pada daerah proksimal. Distribusi sel mast yang ditemukan pada kulit normal berkisar antara 78-108 sel/mm2 berdasarkan teknik morphometric counting technique. Selain pada kasus keganasan kulit, peningkatan jumlah sel mast juga dapat dijumpai pada kasus cutaneous mastocytosis dan urticaria pigmentosa, hal ini ditunjukkan pada Gambar 2.13 .25

(46)

Gambar 2.13. A. Sel mast pada dermis dormal dalam jumlah sedikit berbentuk oval dan spindel. B.

Urticaria pigmentosa, infiltrasi sel mast pada dermis dengan pewarnaan CD 117 (pembesaran

300x).25

Penelitian jumlah sel mast pada cutaneous squamous cell carcinoma relatif sedikit. Menurut Parizi A C et al., peningkatan jumlah sel mast pada cutaneous squamous cell carcinoma berpengaruh pada perkembangan dan invasi jaringan, tetapi tidak terhadap diferensiasi sel, hal ini ditampilkan pada Gambar 2.14. Jumlah rerata sel mast yang ditemukan adalah 115,5 sel/mm2 pada cutaneous squamous cell carcinoma dan 53,9 sel/mm2 pada oral squamous cell carcinoma. Jumlah sel mast lebih banyak pada perempuan, tetapi penyebab utama masih dalam perdebatan.

Ultraviolet B diyakini dapat meningkatkan jumlah sel mast pada paparan jangka lama.26

A B

(47)

Gambar 2.14. A. Jumlah sel mast > 201 sel/mm2 pada well differentiated cutaneous squamous cell carcinoma. B. Jumlah sel mast 100-200 sel/mm2 pada moderately-differentiated cutaneous squamous cell carcinoma.26

Meskipun peningkatan jumlah sel mast pada tumor mulut dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada beberapa penelitian, tetapi pada beberapa penelitan esophageal SCC, payudara dan kolorektal dikaitkan dengan prognosis yang baik.2 Beberapa penelitian yang mengaitkan peningkatan jumlah sel mast dengan prognosis buruk dapat dilihat pada Tabel 2.1. 27

B A

(48)

Tabel 2.1. Penelitian-penelitian dengan peningkatan jumlah sel mast berhubungan dengan prognosis yang buruk.27

Menurut Attramadal C G et al., penurunan jumlah sel mast pada oral squamous cell carcioma berhubungan dengan prognosis yang buruk. Penurunan jumlah sel mast di jumpai pada tumor-tumor invasif dan pasien yang mengalami rekurensi tumor.28

2.8. Sel Mast dan Angiogenesis

Sel mast merangsang neovaskularisasi pada beberapa tumor. Pertumbuhan dan metastasis tumor tergantung pada kemampuannya untuk memperoleh pasokan darah yang baru. 6

(49)

Angiogenesis tumor membutuhkan kombinasi dari faktor angiogenik dan stromal remodeling oleh enzim proteolitik. Proteolisis dari matriks ekstraselular tidak hanya memfasilitasi migrasi sel endotel, tetapi juga melepaskan beberapa faktor angiogenesis. Bukti bahwa intensitas angiogenesis pada tumor bisa memprediksi kemungkinan metastasis dilaporkan pertama kali pada melanoma kulit. Jumlah sel mast peritumoral berkorelasi kuat dengan microvascular density, perkembangan dan prognosis melanoma.23

Sel mast mengandung berbagai faktor angiogenik seperti histamin, heparin, transforming growth factor-β (TGF- β), TNF-α, IL-8, fibroblast growth factor-2 (FGF-2) dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Ugurel et al. menunjukkan peningkatan signifikan kadar serum FGF-2, VEGF dan IL-8 pada pasien melanoma bila dibandingkan dengan pasien yang sehat, hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.15.

Selanjutnya, tingkat serum dari faktor-faktor ini berkorelasi positif dengan stadium penyakit dan beban tumor, dan mempengaruhi pertumbuhan tumor.23

Gambar 2.15. peningkatan kadar serum faktor angiogenik dari 125 pasien melanoma.23

(50)

Sel mast pada melanoma kulit dan basal cell carcinoma adalah sumber utama dari VEGF. VEGF merupakan salah satu faktor angiogenik yang paling berpengaruh memberikan kontribusi untuk neovaskularisasi dengan mempromosikan mitosis sel endotel dan merangsang hipermeabilitas pada pembuluh darah kecil, menyebabkan ekstravasasi faktor proangiogenic lainnya ke dalam matriks ekstraselular. Sel tumor dan sel stroma pada gilirannya mensekresikan sitokin seperti TGF-a dan platelet- derived growth factor, yang mempengaruhi ekspresi VEGF.23

Heparin merupakan proteoglikan yang dominan dalam sel mast, memiliki bersifat mitogenik untuk sel endotel. Heparin juga merangsang migrasi sel endotel kapiler. Efek antikoagulannya mencegah trombus-trombus kecil pada pembuluh darah baru yang membantu penyebaran metastasis.23

Sel mast juga memproduksi IL-8, yang menunjukkan aktivitas angiogenik kuat baik pada in vitro dan in vivo. Ekspresi IL-8 meningkat pada melanoma yang mengalami metastasis. IL-8 mengeluarkan aktivitas angiogenik melalui induksi matriks metalloproteinase 2, sehingga memfasilitasi migrasi sel endotel melalui stroma dan menyebabkan metastasis tumor. IL-8 juga telah terlibat dalam angiogenesis tumor pada basal cell carcinoma. Beberapa mediator sel mast lainnya seperti histamin, FGF, dan TNF-α juga berpengaruh dalam angiogenesis tumor, tetapi pengaruh angiogenesisnya dalam keganasan kulit belum diteliti.23

Hingga saat ini, masih belum dijumpai adanya penelitian yang meneliti hubungan jumlah sel mast terhadap angiogenesis cutaneous squamous cell carcinoma.

(51)

Penelitian mengenai hubungan jumlah sel mast terhadap angiogenesis squamus cell carcinoma telah di teliti pada oral, servik, esofagus, dan paru dimana terdapat korelasi positif antara peningkatan jumlah sel mast dengan meningkatnya angiogenesis tumor.29-36

Ekspresi kuat VEGF dan peningkatan jumlah sel mast pada cutaneous squamous cell carcinoma dapat mengacu pada dijumpainya metastasis cutaneous squamous cell carcinoma dan peran inhibitor CD 117 sebagai obat terapeutik potensial pada cutaneous squamous cell carcinoma.37 Hal ini tentunya tidak terlepas dari peran sel mast dalam tumorigenesis lainnya sepertinya imunosupresi, degradasi matriks ekstraselular dan mitogenesis. Oleh sebab itu, penelitian ini merupakan data awal dalam penelitian berikutnya mengenai peran jumlah sel mast terhadap imunosupresi, degradasi matriks ekstraselular dan mitogenesis cutaneous squamous cell carcinoma.23

2.9. Imunohistokimia 2.9.1. CD 117

Beberapa penelitian menggunakan teknik yang berbeda dalam menghitung jumlah sel mast dengan pewarnaan imunohistokimia CD117. Janssens A S et al.

menghitung sel mast menggunakan teknik morphometric point counting. Sepuluh gambar dari berbagai lapisan dermal yang berbeda diambil menggunakan Zeiss Axioplan microscope. Empat gambar diambil dari stratum papillaris, tiga gambar dari pertengahan stratu retikularis, dan tiga gambar dari dasar stratum retikularis. Setiap

(52)

gambar dibuat sebuah graticule sebanyak 100 buah dengan ukuran 0,22 x 0,22 mm (0,0484 mm2) dibawah pembesaran 400x. Penjumlahan dari sepuluh gambar dari lapisan dermal dianggap sebagai jumlah sel mast per mm2.25

Freitas V S et al. menghitung jumlah sel mast pada 10 lapangan pandang mikroskop cahaya. Lima lapangan pandang pada perbatasan epitel dengan jaringan ikat dan lima lapangan pandang pada lamina propria retikular. Jumlah sel mast didapat dari penjumlahan sepuluh lapangan pandang dengan pembesaran 400x.38

Attramadal C G et al. menghitung jumlah sel mast pada stroma tumor. Skor dihitung berdasarkan jumlah sel mast pada satu lapangan pandang dengan pembesaran 200x, setelah didapat daerah yang memiliki akumulasi jumlah sel mast terbanyak.39

2.9.2. VEGF

Pembentukan pembuluh darah baru pada umumnya dianggap penting untuk tumor untuk tumbuh melampaui ukuran minimal, memberikan oksigenasi dan perfusi nutrisi serta pembuangan produk limbah. Cutaneous squamous cell carcinoma merupakan tumor ganas dari keratinosit epidermis dengan pola pertumbuhan yang merusak dan memiliki kemampuan untuk bermetastasis, ditandai dengan stroma kaya vaskularisasi dan telah terbukti sangat mengungkapkan faktor angiogenik faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), juga dikenal sebagai faktor permeabilitas pembuluh darah. VEGF adalah homodimerik, glikoprotein pengikat heparin pada empat isoform dari 121, 165, 189, dan 201 asam amino.VEGF

(53)

mengikat dua tipe III reseptor tirosin kinase pada sel endotel vaskular, Flt-1 dan KDR / Flk-1.40

Pada penelitian In vivo, VEGF meningkatkan permeabilitas mikrovaskular dan angiogenesis, dan VEGF dianggap sebagai faktor angiogenesis tumor.

Menghambat fungsi VEGF dapat menghambat angiogenesis dan menekan pertumbuhan tumor in vivo, dan baru-baru ini dilaporkan bahwa penghambatan antibodi reseptor Flk-1 VEGF dapat mencegah invasi malignant human keratinocyte xenotransplants. Namun, pertanyaannya tetap tak terjawab apakah ekspresi VEGF itu sendiri sudah cukup untuk menginduksi invasi tumor.41

2.10. Kerangka Teori

Stimulasi, Mitogenesis, kemotaksis sel mast

Perkembangan dan invasi cutaneous squamous cell carcinoma

VEGF Ultraviolet

• Imunosupresi

• Angiogenesis

• Degradasi matriks ekstraselular

• Mitogenesis

(54)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dimana setiap sampel hanya diperiksa sekali dan hanya pada satu saat.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik di Medan

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 5 (lima) bulan, terhitung mulai bulan Desember 2016 sampai dengan bulan April 2017 yang meliputi studi kepustakaan, pengumpulan data, pengolahan data dan penulisan laporan penelitian.

3.3. Subjek Penelitian 3.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan kulit yang didiagnosis sebagai cutaneous squamous cell carcinoma.

(55)

3.3.2. Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan kulit yang didiagnosis sebagai cutaneous squammous cell carcinoma yang memenuhi kriteria inklusi.

3.3.3. Besar Sampel

Besar sampel pada penelitian ini adalah dihitung dengan melihat proporsi yang digunakan berdasarkan.hasil penelitian Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2000-2009. Dengan tingkat kemaknaan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah 0,05 dan interval kepercayaan 95%. Dari tabel diperoleh Zα = 1,96 dan besar sampe dihitung dengan menggunakan rumus:

Berdasarkan rumus tersebut, diperoleh besar sampel untuk pewarnaan CD 117 dan VEGF adalah:

n = = 27,3 sampel

Sehingga besar sampel yang digunakan untuk 27,3 sampel  30 sampel. 30 sampel untuk pewarnaan CD 117 dan 30 sampel untuk pewarnaan VEGF.

Zα / 2 . p . q n =

d2

Keterangan :

• n = jumlah sampel

• p = proporsi penelitian

• q = 100% - p

• d = tingkat kesalahan 15%

(1,96)2 x 0,2x 0,8 (0,15)2

(56)

3.4. Kriteria Penelitian 3.4.1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua blok parafin yang berasal dari jaringan kulit yang didiagnosis sebagai cutaneous squamous cell carcinoma yang adekuat, dan memiliki struktur epidermis dan dermis.

3.4.2. Kriteria Eksklusi

Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah semua blok parafin yang rusak atau hilang sehingga tidak dapat diproses ulang untuk dilakukan pewarnaan imunohistokimia CD 117 (c-kit) dan VEGF.

3.5. Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini adalah:

a. Variabel tergantung (dependent) adalah jumlah sel mast dengan pewarnaan imunohistokimia CD 117 (c-kit).

b. Variabel tidak tergantung (independent adalah ekspresi imunohistokimia VEGF.

(57)

3.6. Kerangka Operasional

3.7. Definisi Operasional

1. Cutaneous squamous cell carcinoma adalah tumor keratinositik ganas terdiri dari sarang-sarang dan lembaran sel epitel skuamosa yang berasal dari epidermis dan meluas hingga dermis dengan jarak yang bervariasi. Sitoplasma banyak dan eosinofilik, inti besar dan kadang-kadang vesikuler, dijumpai intercellular bridge dan keratinisasi sentral atau mutiara tanduk tergantung dari differensiasi tumor.5 2. Sel mast merupakan sel jaringan ikat berbentuk bulat sampai lonjong,

berdiameter 20-30 µm, yang sitoplasmanya dipenuhi granul sekretori basofilik.

Slide dan blok parafin cutaneous squamous cell carcinoma yang adekuat dan representatif

Data rekam medis yang berasal dari jaringan kulit di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yanng didiagnosis secara

histopatologi sebagai cutaneous squamous cell carcinoma

Review ulang bersama pembimbing dan menentukan diagnosa cutaneous squamous cell carcinoma

Pemotongan ulang blok parafin

Jumlah sel mast dengan pewarnaan

CD 117

Imunohistokimia VEGF

Gambar

Gambar 2.4. Epidermis yang menunjukkan maturasi keratinosit yang normal. 12
Gambar 2.5. Acantholytic squamous cell carcinoma. 5
Gambar 2.6. Spindle-cell squamous cell carcinoma. 18
Gambar 2.7. Verrucous squamous cell carcinoma 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jurnal yang diperlukan untuk pendirian Firma tersebut ( menggunakan buku baru).. Soal Akuntansi Firma; Winarto, M.Pd. Laba atau rugi persekutuan dibagi dengan ketentuan sebagai

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi sayyang pattu’du’ merupakan pertunjukkan tradisional pada masyarakat Mandar yang diselenggarakan untuk mengapresiasi seorang anak

Pada penelitian ini, semen portland komposit dibuat dengan menggunakan bahan baku berupa klinker dan gypsum yang berasal dari penambangan Pabrik Semen Baturaja serta

Pengembangan Sistem Informasi Karya Ilmiah Mahasiswa Berbasis Web di Perpustakaan Universitas Pendidikan Ganesha, Jurnal Sains dan Teknologi Vol.. Perancangan dan

Lebih tepatnya, jika x adalah titik pada bidang yang tidak di G , yaitu bukan simpul dari G atau titik di beberapa sisi G , maka didefinisikan muka G mengandung x yang

Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan melalui dua siklus, dan setiap siklus dilaksanakan dengan tahap perencanaan,

Pemeriksaan aktivitas antioksidan dilakukan terhadap fraksi n-heksan, diklorometan, dan metanol, yang masing-masing ditimbang 1 mg, kemudian dilarutkan dalam 1

8 Pengasahan batu akik harus memakai APD dalam bekerja 9 Meskipun bekerja singkat anda tetap memakai APD 10 Pemakaian APD sangat bermanfaat dalam proses. pengasahan batu akik