• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

Provinsi Jawa Barat dibentuk dengan dasar hukum UU No. 11 Tahun 1950, dituangkan pada Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2010 tentang terbentuknya Pemerintah Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 19 Agustus ditetapkan menjadi Hari Jadi Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabarprov, 2018). Provinsi Jawa Barat adalah provinsi dengan penduduk terbesar di Indonesia, yakni 47.379.389 jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, 2018). Provinsi Jawa Barat memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi keempat di pulau jawa sebesar 5,29% setelah DKI Jakarta (6,22%) sebagai peringkat pertama, Banten (5,71%) sebagai peringkat kedua dan Jawa Timur (5,45%) sebagai peringkat ketiga (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2017). Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat (2018), provinsi Jawa Barat memiliki 27 kabupaten dan kota yang terdiri atas 18 kabupaten dan 9 kota dengan total kecamatan di Jawa Barat sebanyak 626 dan 5.962 desa yang terbagi dalam kabupaten dan kota. Provinsi Jawa Barat memiliki kontribusi yang cukup baik terhadap nasional sebesar 14,33% kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional, dimana 60% kontribusi tersebut dihasilkan dari sektor industri manufaktur (Jabarprov, 2017).

Pada tahun 2017, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat menurun sebesar 5,29% dibanding dengan tahun 2016 sebesar 5,69% apabila dibandingkan dengan skala nasional dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,07%, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat masih lebih tinggi (Bank Indonesia, 2018). Pertumbuhan ekonomi semakin baik karena adanya pengalokasian belanja modal yang baik pula. Hal ini dikarenakan alokasi belanja modal dilandaskan pada kebutuhan suatu daerah dalam membuat atau memperbaharui sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik (Sularso dan Restianto, 2011).

(2)

Kemandirian keuangan daerah merupakan kecakapan suatu daerah dalam membiayai sendiri baik aktivitas pemerintah, pembangunan, serta pelayanan untuk publik yang telah membayar pajak dan restribusi sebagai sumber penerimaan yang diperlukan daerah (Halim, 2012). Berikut tabel mengenai tingkat kemandrian keuangan daerah di pulau Jawa tahun 2017.

Tabel 1.1 Kemandirian Keuangan Daerah tahun 2017 di Pulau Jawa Daerah Pendapatan Daerah Pendapatan Asli Daerah Kemandirian Prov. DKI Jakarta 64.823.887.369.820 43.901.488.807.743 68% Prov. Jawa Barat 24.054.880.848.030 17.102.520.315.839 71%

Prov. Jawa Tengah 23.703.174.631.507 12.547.513.389.400 53% Prov. DI Yogyakarta 5.085.241.219.288 1.851.973.396.065 36% Prov. Jawa Timur 29.879.141.546.244 17.326.461.167.059 58%

Sumber: Badan Pusat Statistik (2017) (diolah)

Dalam penelitian ini, peneliti memilih provinsi Jawa Barat dikarenakan tingkat kemandirian Provinsi Jawa Barat pada tahun 2017 tertinggi di pulau Jawa yaitu sebesar 71%. Provinsi Jawa Barat juga memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar ketiga setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur pada tahun 2017.

1.2. Latar Belakang Penelitian

Menurut Standar Akuntansi Pemerintah Pernyataan No. 2 tentang Laporan Realisasi Anggaran pada PP Republik Indonesia No.71 tahun 2010, belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.71 tahun 2010, belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, aset tak berwujud. Belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik (Sularso dan Restianto, 2011). Menurut Indiyanti (2018) belanja daerah yang lebih ditekankan pada belanja modal oleh pemerintah dapat

(3)

mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Menurut penelitian Sularso dan Restianto (2011), belanja modal pada pemerintah daerah dipengaruhi oleh kinerja keuangan daerah. Selanjutnya, menurut penelitian Sularso dan Restianto (2011), menyatakan bahwa alokasi belanja modal pada saat penetapan besar kecilnya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah di pengaruhi oleh kinerja keuangan daerah salah satunya berupa ketergantungan keuangan daerah, kemandirian keuangan daerah, efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan derajat kontribusi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Menurut Mahsun (2014:141), kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam

strategic planning organisasi. Menurut Sularso dan Restianto (2011), kinerja

keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan, dimana analisis kinerja keuangan pada dasarnya menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga dapat menghasilkan posisi keuangan yang mengantikan realitas entitas dan potensi-potensi kinerja berkelanjutan. Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah peningkatan capaian dari suatu hasil kerja dibidang keuangan daerah yang meliputi anggaran dan realisasi PAD dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan dari satu periode anggaran (Syamsi, 1986:199; dalam Riswan, 2014). Menurut Halim (2012), salah satu alat untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah adalah dengan analisis rasio terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ada beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD, antara lain rasio derajat desentralisasi, ketergantungan keuangan, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas dan efisiensi, rasio keserasian,

debt service coverage ratio, dan rasio pertumbuhan (Sularso dan Restianto, 2011).

Hasil analisis rasio tersebut nantinya menjadi tolak ukur suatu daerah dalam pengelolaan keuangan daerahnya (Halim, 2012).

(4)

Derajat desentralisasi menunjukkan perbandingan antara jumlah pendapatan asli daerah dengan total penerimaan daerah, rasio ini menunjukkan derajat kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap total penerimaan daerah (Mahmudi, 2016:140). Rasio derajat desentralisasi menunjukan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelolah pendapatan, semakin tinggi PAD maka semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi (Daling, 2013). Apabila rasio desentralisasi fiskal mengalami peningkatan berarti kinerja keuangan daerah semakin baik, sehingga pengalokasian terhadap belanja modal daerah mengalami peningkatan (Indiyanti dan Rahyuda, 2018). Senada dengan hasil penelitian Arsa (2015), Praza (2016), dan Indiyanti (2018) menyatakan bahwa rasio derajat desentralisasi berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal. Berbeda dengan hasil penelitian Marlina et.al (2017) menyatakan bahwa rasio derajat desentralisasi berpengaruh negatif terhadap alokasi belanja modal.

Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan restribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah (Halim, 2004; dalam Putra, 2016). Mahmudi (2016:140) menyatakan rasio kemandirian keuangan daerah dihitung dengan cara membandingkan jumlah penerimaan Pendapatan Asli daerah dibagi dengan jumlah pendapatan transfer dari pemerintahan pusat dan provinsi serta pinjaman daerah, dimana semakin tinggi angka rasio ini menunjukkan pemerintah daerah semakin tinggi kemandirian keuangan daerahnya. Menurut Rosadi dan Suputra (2017), menyatakan bahwa suatu daerah yang dikatakan dapat meningkatkan tingkat kemandirian dapat meningkatkan jumlah belanja modal untuk pelayanan publik.

Tabel 1.2 merupakan hasil perhitungan Kemandirian Keuangan Daerah dan Alokasi Belanja Modal di kabupaten dan kota pada provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 27 kabupaten pada tahun 2014-2017:

(5)

Tabel 1.2 Kemandirian Keuangan Daerah dan Alokasi Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

No Daerah Tahun Kemandirian

Keuangan Daerah Belanja Modal

1 Kota Bandung 2014 53% 22% 2015 57% 25% 2016 61% 22% 2017 82% 17% 2 Kab. Bekasi 2014 65% 31% 2015 69% 28% 2016 72% 27% 2017 87% 20% 3 Kab. Bogor 2014 47% 25% 2015 50% 26% 2016 62% 24% 2017 77% 22%

Sumber: DJPK-data yang telah diolah (2018)

Pada tabel 1.2 menunjukan bahwa dari 27 kabupaten dan kota di Jawa Barat pada 2014-2017 yang telah di analisis (lihat lampiran 1), terdapat 1 kota dan 2 kabupaten yang memiliki tingkat kemandirian daerah tiap tahun meningkat. Pada daerah tersebut memiliki kategori kemandirian yang sedang atau tinggi namun alokasi belanja modal yang dimiliki mengalami penurunan. Dimana dengan kategori kemandirian yang sedang dan tinggi berarti Pemda dapat membiayai kegiatan pemerintahaannya sendiri dengan tingkat Pendapatan Asli Daerah yang besar. Tetapi dengan besarnya PAD yang ada, belanja modal yang dialokasikan oleh pemerintah justru kecil dan setiap tahunnya mengalami penurunan. Pada Permendagri No. 27 tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan APBD menyebutkan bahwa ketentuan mengenai besaran belanja modal ditetapkan sebesar 30% dari total belanja daerah. Selain kecilnya alokasi belanja modal yang dikeluarkan pemerintah, bahkan alokasi yang diberikan untuk belanja modal pun masih belum memenuhi standar yang telah ditetapkan. Dimana penerimaan yang ada dialokasikan ke belanja daerah selain belanja modal. Fenomena yang ada

(6)

bertolak belakang dengan teori stewardship, teori ini menyebutkan bahwa lebih berfokus pada hasil yang ingin dicapai tanpa usaha untuk lebih mementingkan dirinya sendiri melainkan untuk kepentingan organisasi atau publik (Bahri dan Anwar, 2018). Pemerintah selaku steward dengan fungsi pengelolaan sumber daya dan rakyat selaku principal pemilik sumber daya (Eksandy et.al, 2018). Pemerintah akan berusaha maksimal dalam menjalankan pemerintahan untuk mencapai tujuan pemerintah yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat (Eksandy et.al, 2018). Upaya pemerintah dalam mensejahterakan rakyat salah satunya dengan mengalokasikan pendapatan yang ada ke belanja modal. Hasil penelitian Sularso dan Restianto (2011), dan Marlina et.al (2017) menyatakan bahwa rasio kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal. Berbeda dengan hasil penelitian Rosadi (2017) dan Praza (2016), menyatakan bahwa kemandirian keuangan daerah berpengaruh negatif terhadap alokasi belanja modal. Selain itu menurut hasil penelitian Fitri (2014) dan Novianto (2015) menyatakan bahwa kemandirian keuangan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal.

Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya (Mardiasmo, 2018:168). Efektivitas PAD merupakan kemampuan pemerintah daerah dalam memobilisasi penerimaan PAD sesuai dengan yang ditargetkan (Mahmudi, 2018:141). Efektivitas PAD dapat diukur dengan rasio efektivitas PAD. Rasio efektivitas PAD dihitung dengan cara membandingkan realisasi penerimaan PAD dengan target penerimaan PAD (dianggarkan), semakin besar nilai rasio efektivitas maka semakin efektif kinerja pemerintah (Mahmudi, 2016). Beberapa hasil penelitian menyatakan ada perbedaan hasil dalam rasio efektivitas PAD. Menurut hasil penelitian Sularso (2011) dan Riswan (2014) menyatakan rasio efektivitas PAD berpengaruh positif terhadap belanja modal. Hasil penelitian Arsa (2015) menyatakan bahwa rasio efektivitas PAD berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal. Berbeda dengan hasil penelitian Praza (2016) bahwa rasio efektivitas PAD tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal.

(7)

Efisiensi adalah output tertentu dapat dicapai dengan sumber daya yang serendah-rendahnya (spending well) (Mardiasmo, 2018:165). Suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai hasil (output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan, jika nilai efisiensi tinggi maka jumlah belanja diindikasikan sangat tinggi (Mahmudi, 2010; dalam Fitri et al., 2014). Efisiensi keuangan daerah dapat diukur dengan rasio efisiensi keuangan daerah (Halim, 2007; 234-241; dalam Trianto, 2016). Rasio efisiensi keuangan daerah adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara output dan input atau realisasi pengeluaran daerah dengan realisasi penerimaan daerah sehingga semakin kecil rasio ini, maka semakin efisien, begitu pula sebaliknya (Halim, 2010; dalam Fitri, 2014). Menurut penelitian Martini dan Dwirandra (2015) semakin tinggi rasio efisiensi, pengeluaran daerah dalam hal ini belanja modal semakin menurun. Penggunaan keuangan daerah yang tidak efisien dengan angka rasio yang tinggi dapat disebabkan karena jumlah realisasi pengeluaran lebih besar daripada jumlah penerimaan itu sendiri, sehingga terjadi pemborosan untuk belanja daerah tetapi tidak digunakan secara maksimal untuk belanja modal (Martini dan Dwirandra, 2015). Terdapat perbedaan hasil penelitian pada pengaruh efisiensi keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal. Menurut hasil penelitian Riswan (2014) dan Fahd (2017) menyatakan rasio efisiensi keuangan daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal. Sedangkan menurut hasil penelitian Martini dan Dwirandra (2015) menyatakan bahwa efisiensi berpengaruh negatif signifikan terhadap alokasi belanja modal. Berbeda dengan hasil penelitian Fitri (2014) yang menunjukkan bahwa efisiensi keuangan daerah tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal.

Derajat kontribusi BUMD bermanfaat untuk mengetahui tingkat kontribusi perusahaan daerah dalam mendukung pendapatan daerah (Indiyanti, 2018). Rasio derajat kontribusi BUMD dihitung dengan cara membandingkan penerimaan daerah hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dengan total penerimaan PAD (Mahmudi, 2016:143). Menurut hasil penelitian Indiyanti (2018) bahwa derajat kontribusi BUMD memiliki pengaruh positif signifikan terhadap

(8)

alokasi belanja modal, dimana kontribusi BUMD menjadi suatu sumber dari pendapatan asli daerah, sehingga tingginya derajat kontribusi BUMD diharapkan mampu meningkatkan pendapatan daerahnya, sehingga dengan tingginya pendapatan daerah diharapakan mampu digunakan untuk memenuhi kebutuhan untuk kesejahteraan masyarakat khususnya untuk belanja modal. Serta menurut hasil penelitian Sularso dan Restianto (2011) dimana derajat kontribusi BUMD berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal. Berbeda dengan hasil penelitian Martini dan Dwirandra (2015) bahwa derajat kontribusi BUMD memiliki tidak berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal. Selain itu menurut hasil penelitian Praza (2016) bahwa derajat kontribusi BUMD memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap alokasi belanja modal.

Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas dan adanya inkonsistensi penelitian terdahulu. Peneliti ingin membutikan lebih dalam mengenai pengaruh kinerja keuangan berupa derajat desentralisasi, kemandirian keuangan daerah, efektivitas pendapatan asli daerah, efisiensi keuangan daerah, dan derajat kontribusi BUMD terhadap belanja daerah. Sehingga penulis akan melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Terhadap Belanja Modal Di Provinsi Jawa Barat (Studi Empiris pada Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Barat Tahun 2014-2017)”.

1.3. Perumusan Masalah

Menurut Standar Akuntansi Pemerintah Pernyataan No. 2 tentang Laporan Realisasi Anggaran pada PP Republik Indonesia No.71 tahun 2010, belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Alokasi belanja modal ini dilandaskan pada kebutuhan suatu daerah dalam membuat atau memperbaharui sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah peningkatan capaian dari suatu hasil kerja dibidang keuangan daerah yang meliputi anggaran dan realisasi PAD dengan menggunakan indikator keuangan

(9)

satu periode anggaran. Alokasi belanja modal pada saat penetapan besar kecilnya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah di pengaruhi oleh kinerja keuangan daerah salah satunya berupa ketergantungan keuangan daerah, kemandirian keuangan daerah, efektivitas PAD, dan derajat kontribusi BUMD.

Salah satu alat pengukur kinerja keuangan daerah adalah kemandirian keuangan daerah. Menurut Rosadi dan Suputra (2017), menyatakan bahwa suatu daerah yang dikatakan dapat meningkatkan tingkat kemandirian dapat meningkatkan jumlah belanja modal untuk pelayanan publik. Namun yang terjadi terdapat beberapa yang memiliki tingkat kemandirian daerah pada setiap tahunnya meningkat namun alokasi belanja modal yang dimiliki justru mengalami penurunan.

1.4. Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan penelitian yang muncul, berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana kinerja keuangan berupa derajat desentralisasi, kemandirian keuangan daerah, efektivitas PAD, efisiensi keuangan daerah, derajat kontribusi BUMD, dan belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat.

2. Bagaimana pengaruh kinerja keuangan berupa derajat desentralisasi, kemandirian keuangan daerah, efektivitas PAD, efisiensi keuangan daerah, dan derajat kontribusi BUMD secara simultan terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014-2017.

3. Bagaimana pengaruh kinerja keuangan berupa derajat desentralisasi secara parsial terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014-2017.

4. Bagaimana pengaruh kinerja keuangan berupa kemandirian keuangan daerah secara parsial terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014-2017.

(10)

5. Bagaimana pengaruh kinerja keuangan berupa efektivitas PAD secara parsial terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014-2017.

6. Bagaimana pengaruh kinerja keuangan berupa efisiensi keuangan daerah secara parsial terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014-2017.

7. Bagaimana pengaruh kinerja keuangan berupa derajat kontribusi BUMD secara parsial terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014-2017.

1.5. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian, berdasarkan pertanyaan yang telah dipaparkan di atas yaitu:

1. Untuk mengetahui kinerja keuangan berupa derajat desentralisasi, kemandirian keuangan daerah, efektivitas PAD, efisiensi keuangan daerah, derajat kontribusi BUMD, dan belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat.

2. Untuk mengetahui pengaruh kinerja keuangan berupa derajat desentralisasi, kemandirian keuangan daerah, efektivitas PAD, efisiensi keuangan daerah, dan derajat kontribusi BUMD secara simultan terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014-2017.

3. Untuk mengetahui pengaruh kinerja keuangan berupa derajat desentralisasi secara parsial terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014-2017.

4. Untuk mengetahui pengaruh kinerja keuangan berupa kemandirian keuangan daerah secara parsial terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014-2017.

5. Untuk mengetahui pengaruh kinerja keuangan berupa efektivitas PAD secara parsial terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014-2017.

(11)

6. Untuk mengetahui pengaruh kinerja keuangan berupa efisiensi keuangan daerah secara parsial terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014-2017.

7. Untuk mengetahui pengaruh kinerja keuangan berupa derajat kontribusi BUMD secara parsial terhadap belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014-2017.

1.6. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat terkait kinerja keuangan berupa derajat desentralisasi, kemandirian keuangan daerah, efektivitas pendapatan asli daerah, efisiensi keuangan daerah, derajat kontribusi BUMD, dan belanja modal pada kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat.

1.6.1. Aspek Teoritis

Pada aspek teoritis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan serta referensi/pandangan bagi penelitian selanjutnya terkait kinerja keuangan berupa derajat desentralisasi, kemandirian keuangan daerah, efektivitas PAD, efisiensi keuangan daerah, derajat kontribusi BUMD dan belanja modal.

1.6.2. Aspek Praktis

Pada aspek praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya:

a. Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran keadaan pertanggungjawaban kinerja keuangan pemerintah. Sehingga pemerintah mampu meningkatkan kinerja keuangan pemerintah serta efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan keuangan daerahnya.

b. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan wawasan untuk masyarakat tentang kinerja keuangan pemerintah sehingga masyarakat ikut

(12)

berkontribusi dalam melaksanakan pembangunan, sehingga daerah tesebut dalam pengelolaannya dapat berjalan dengan baik.

1.7. Ruang Lingkup Penelitian 1.7.1. Lokasi dan Objek Penelitian

Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah website Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. Objek penelitian ini adalah Provinsi Jawa Barat. Data penelitian ini diambil dari website resmi Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) dan Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (www.djpk.kemenkeu.go.id).

1.7.2. Waktu dan Periode Penelitian

Penelitian ini berfokus pada periode 2014 sampai dengan 2017 terkait Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat. Waktu yang diperlukan untuk melakukan proses penelitian ini selama 6 bulan yaitu September 2018-Februari 2019.

1.7.3. Variabel Penelitian

Variabel penelitian yang digunakan pada penelitian ini terdapat dua jenis yaitu, variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen terdiri atas belanja modal, serta untuk variabel independen terdiri atas kinerja keuangan berupa derajat desentralisasi, kemandirian keuangan daerah, efektivitas PAD, efisiensi keuangan daerah, dan derajat kontribusi BUMD.

1.8. Sistematika Penulisan Tugas Akhir

Pembahasan dalam penelitian ini akan dibagi dalam lima bab yang disusun untuk memberikan gambaran mengenai penelitian ini. Sistematika penulisan penelitian ini secara garis besar adalah sebagai berikut:

(13)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang gambaran umum objek penelitian, latar belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LINGKUP PENELITIAN

Bab ini berisi tentang teori-teori terkait dengan penelitian dengan memaparkan penelitian terdahulu, serta kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian atas dugaan sementara dari masalah penelitian sebagai pedoman pengujian data. BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang karakteristik penelitian, alat pengumpulan data, tahapan pelaksana penelitian, populasi dan sampel, pengumpulan data dan sumber data, teknis analisis data serta pengujian hipotesis.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan dari hasil penelitian, mencakup analisis deskriptif terhadap variabel penelitian, analisis statistik serta analisis pengaruh variabel.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran penelitian baik dari segi aspek teoritis maupun praktis.

Gambar

Tabel 1.1 Kemandirian Keuangan Daerah tahun 2017 di Pulau Jawa   Daerah  Pendapatan  Daerah  Pendapatan Asli Daerah  Kemandirian  Prov
Tabel 1.2 Kemandirian Keuangan Daerah dan Alokasi Belanja Modal  Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

Referensi

Dokumen terkait

Penunjuk ini harus mengarah ke bawah (dengan kemiringan) untuk mendapatkan aliran air buangan yang baik. Bagian dalam tegakan pompa yang mempunyai penahan/penyangga

Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan dukungan suami dengan inisiasi menyusu dini yang mana dukungan suami yang kurang baik mempunyai risiko mengalami ketidakberhasilan IMD 7

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah larutan asam perendaman yang baik untuk pembuatan fish glue dari tulang ikan tenggiri adalah jenis

Problem yang dihadapi para pengusaha kecil antara lain adalah kurangnya pengalaman, modal terbatas, keusangan alat/mesin ataun produk, kekeliruan pengelolaan (Cahyono dan

Pengalaman memasak di dalam hutan memang sangat mencabar dan menguji kesabaran kami dalam menyediakan makanan tengah hari kami masing- masing.Kami belajar

137 Hal ini dapat dimaknai bahwa penerapan istilah cabul baik yang diatur dalam Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Bentuk rancangan pre- experimental design ini memakai one group pretest- posttest design, yaitu jenis rancangan yang memakai pengukuran awal (pretest) dan

Sensor Rotary Encoder yang akan digunakan pada tugas akhir ini adalah Sensor Rotary Encoder produk dari Autonics dengan tipe E50S8-100-3-N-5 yang berfungsi untuk