• Tidak ada hasil yang ditemukan

I PENDAHULUAN II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I PENDAHULUAN II LANDASAN TEORI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Salah satu observasi yang berguna dalam bidang komputasi di tahun 1970 adalah observasi terhadap permasalahan relaksasi Lagrange. Josep Louis Lagrange merupakan tokoh ahli ilmu sains dan astronomi dari Italia yang menemukan masalah relaksasi Lagrange. Josep Louis Lagrange lahir pada tahun 1736 di kota Turin, Italia. Kontribusi yang telah diberikan oleh Josep Louis Lagrange pada bidang ilmu matematik, di antaranya analisis teori bilangan dan mekanika celestial.

Relaksasi Lagrange merupakan suatu metode yang banyak digunakan dalam aplikasi pemrograman matematik. Fisher (2004) mengemukakan, bahwa pada tahun 1955 metode Lagrange digunakan pada permasalahan optimisasi diskret yaitu capital

budgeting oleh Lorie Savage. Pendekatan

relaksasi Lagrange oleh Held dan Karp di tahun 1970 berlandaskan pada masalah minimum spanning tree untuk menyelesaikan kasus traveling salesman problem. Selain itu, Fisher dan Shapiro di tahun 1973 menyelesaikan permasalahan penjadwalan dan masalah integer programming (IP) dengan metode relaksasi Lagrange. Sejak itu, daftar pengaplikasian relaksasi Lagrange terus

lokasi, penugasan, pemartisian, knapsack, pendistribusian produk dalam skala besar, rute kendaraan dan perancangan sistem perakitan (lihat Fisher 2004).

Pada karya ilmiah ini akan dibahas penyelesaian integer programming dengan metode relaksasi Lagrange, dengan rujukan utama adalah Fisher ML (1985). Ada beberapa metode yang telah dikembangkan untuk mencari solusi pengali Lagrange dari permasalahan relaksasi Lagrange pada model

integer programming, di antaranya metode

subgradien dan metode branch and bound (Fisher 1985). Pada pembahasan ini, solusi pengali Lagrange dari permasalahan relaksasi Lagrange ditentukan dengan menggunakan pendekatan metode subgradien.

1.2 Tujuan

Tujuan dari karya ilmiah ini meliputi: 1. memformulasikan relaksasi Lagrange dari

suatu integer programming (IP);

2. menyelesaikan masalah relaksasi Lagrange dengan metode subgradien;

3. membandingkan penyelesaian IP dengan relaksasi Lagrange dan penyelesaian IP dengan pemrograman linear relaksasi.

II LANDASAN TEORI

Untuk memahami masalah relaksasi

Lagrange dalam karya ilmiah ini diperlukan beberapa pengertian / konsep berikut ini. 2.1 Pemrograman Linear

Salah satu konsep dasar yang harus dipahami terkait konsep pemrograman linear di antaranya adalah fungsi linear dan pertidaksamaan linear.

Definisi 1 (Fungsi Linear)

Misalkan menyatakan

suatu fungsi dalam variabel-variabel . Fungsi

dikatakan linear jika dan hanya jika untuk suatu himpunan konstanta ,

.

(Winston 2004) Sebagai contoh,

merupakan fungsi linear, sedangkan bukan fungsi linear. Jika fungsi linear dan ! sembarang bilangan, maka

! merupakan persamaan linear.

Definisi 2 (Pertidaksamaan Linear)

Untuk sembarang fungsi linear dan sembarang bilangan !,

pertidaksamaan " ! dan

# ! adalah pertidaksamaan linear.

(Winston 2004) Pemrograman linear (PL) atau linear

programming adalah suatu masalah optimisasi

yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

a) Tujuan masalah tersebut adalah

memaksimumkan atau meminimumkan suatu fungsi linear dari sejumlah variabel keputusan. Fungsi yang akan dimaksimumkan atau diminimumkan ini disebut fungsi objektif.

b) Nilai variabel-variabel keputusannya harus memenuhi suatu himpunan kendala. Setiap

(2)

kendala harus berupa persamaan linear atau pertidaksamaan linear.

c) Ada pembatasan tanda untuk setiap variabel dalam masalah ini. Untuk sembarang variabel $ pembatasan tanda menentukan $ harus taknegatif %# & atau tidak dibatasi tandanya (unrestricted

in sign).

(Winston 2004) Solusi PL mempunyai bentuk standar seperti yang didefinisikan sebagai berikut. Definisi 3 (Bentuk Standar PL)

Pemrograman linear min ' ()*

terhadap +* , (2.1) * # -

dikatakan PL dalam bentuk standar, dengan * dan ( vektor-vektor berukuran , vektor , berukuran . dan + matriks berukuran . / yang disebut sebagai matriks kendala, dengan . " .

(Nash & Sofer 1996) Sebagai catatan, yang dimaksud dengan vektor berukuran adalah vektor yang memiliki dimensi (ukuran) / .

Solusi Pemrograman Linear

Suatu masalah PL dapat diselesaikan dalam berbagai teknik, salah satunya adalah metode simpleks. Metode ini dapat menghasilkan satu solusi optimum bagi masalah PL dan telah dikembangkan oleh Dantzig sejak tahun 1947, dan dalam pengembangannya merupakan metode yang paling umum digunakan untuk menyelesaikan PL. Metode ini berupa metode iteratif untuk menyelesaikan PL berbentuk standar.

Pada masalah PL (2.1), vektor * yang memenuhi kendala +* , disebut solusi PL (2.1). Misalkan matriks + dapat dinyatakan sebagai + 0 1 , dengan 0 adalah matriks taksingular berukuran . / . yang elemennya berupa koefisien variabel basis dan

1 merupakan matriks berukuran . / 2 .

yang elemen-elemennya berupa koefisien variabel nonbasis pada matriks kendala. Dalam hal ini matriks 0 disebut matriks basis PL (2.1).

Misalkan * dapat dinyatakan sebagai vektor * 3*1*04, dengan *0 adalah vektor basis dan *1 adalah vektor variabel nonbasis, maka +* , dapat dinyatakan sebagai

+* 0 1 36754

0*0 1*1 ,. (2.2) Karena matriks 0 adalah matriks taksingular, maka0 memiliki invers, sehingga dari (2.2) *0 dapat dinyatakan sebagai

*0 028, 2 0281*1

.

(2.3) Definisi 4 (Solusi Basis)

Solusi dari suatu PL disebut solusi basis jika memenuhi syarat berikut:

i. solusi tersebut memenuhi kendala pada PL;

ii. kolom-kolom dari matriks kendala yang berpadanan dengan komponen taknol dari solusi tersebut adalah bebas linear.

(Nash & Sofer 1996)

Menurut Garfinkel & Nemhauser (1972), solusi dari suatu PL disebut solusi basis jika memenuhi *0 028,, *1 -.

Definisi 5 (Solusi Basis Fisibel)

Vektor * disebut solusi basis fisibel jika * merupakan solusi basis dan * # -.

(Nash & Sofer 1996) Ilustrasi solusi basis dan solusi basis fisibel diberikan pada Contoh 1.

Contoh 1

Misalkan diberikan PL (2.4) berikut: min 9 2 2

terhadap 2 :

2 (2.4) ; <

: <# &, maka dari PL (2.4) diperoleh

+ =22 & & & & & & &> dan , =: <>

.

Misalkan dipilih *0 : < ? dan *1 ?, maka matriks basisnya adalah

0 =& & && & & >

@

Nilai vektor variabel nonbasis ditentukan dengan vektor nol sehingga *1 & &A. Dengan menggunakan matriks basis di atas, maka diperoleh

*0 0B8, : < A (2.5)

(3)

Solusi (2.5) merupakan solusi basis, karena memenuhi kendala pada PL (2.4) dan kolom-kolom pada matriks kendala yang berpadanan dengan komponen taknol dari (2.5) yaitu 0, bebas linear (kolom yang satu bukan merupakan kelipatan dari kolom yang lain). Solusi (2.5) juga merupakan solusi basis fisibel, karena nilai-nilai variabelnya lebih dari atau sama dengan nol.

PL (2.1) dapat dinyatakan dalam bentuk *0 dan *1 sebagai berikut:

min ' (0)*0 (1)*1

terhadap 0*0 1*1 , (2.6) * # -,

dengan (0 vektor koefisien variabel basis pada fungsi objektif dan (1 vektor koefisien variabel nonbasis pada fungsi objektif. Jika persamaan (2.3) disubstitusikan pada fungsi objektif PL (2.6), maka diperoleh

9 (0) 0B8, 2 0B81*1 (1)*1 (0)0B8, C(1)2 (0)0B81D*1. Hal yang juga penting dalam konsep pemrograman linear adalah daerah fisibel dan solusi optimum yang didefinisikan sebagai berikut.

Definisi 6 (Daerah Fisibel)

Daerah fisibel suatu PL adalah himpunan semua titik yang memenuhi semua kendala dan pembatasan tanda pada PL tersebut.

(Winston 2004) Definisi 7 (Solusi Optimum)

Pada masalah maksimisasi, solusi optimum suatu PL adalah suatu titik dalam daerah fisibel dengan nilai fungsi objektif terbesar. Pada masalah minimisasi, solusi optimum suatu PL adalah suatu titik dalam daerah fisibel dengan nilai fungsi objektif terkecil. (Winston 2004) 2.2 Fungsi Konveks dan Fungsi Konkaf Sebelum membahas fungsi konveks dan fungsi konkaf, terlebih dahulu akan dibahas himpunan konveks yang didefinisikan sebagai berikut.

Definisi 8 (Himpunan Konveks)

Misalkan S menyatakan himpunan titik. Himpunan S adalah himpunan konveks jika segmen garis yang menghubungkan sembarang titik-titik dalam S seluruhnya termuat dalam S, atau dengan perkataan lain

himpunan E F G dikatakan himpunan konveks jika untuk setiap *8 *H I E berlaku

*8 2 *HI E,

dengan I J& K@

(Winston 2004) Ilustrasi himpunan konveks dan bukan himpunan konveks diberikan pada gambar di bawah ini.

Gambar 1 Ilustrasi himpunan konveks dan bukan himpunan konveks.

Pada Gambar 1, lingkaran (i) dan persegi panjang (ii) merupakan himpunan konveks, sedangkan bidang (iii) dan cincin (iv) bukan himpunan konveks.

Konsep fungsi konveks dan fungsi konkaf yang digunakan pada karya ilmiah ini meliputi definisi-definisi berikut ini.

Definisi 9 (Fungsi Konveks)

Misalkan L E M G, dengan E himpunan konveks yang takkosong di G . Fungsi dikatakan konveks di E jika

*8 2 *H " *8 2 *H untuk setiap *8 *HI E dan untuk setiap

I J& K@

(Peressini et al. 1988) Ilustrasi:

Gambar 2 Ilustrasi fungsi konveks. Definisi 10 (Fungsi Konkaf )

Misalkan L E M G, dengan E himpunan konveks yang takkosong di G . Fungsi dikatakan konkaf di E jika

(i) (ii)

(iii) (iv)

(4)

*8 2 *H # *8 2 *H untuk setiap *8 *HI E dan untuk setiap

I J& K@

(Peressini et al. 1988) Ilustrasi:

Gambar 3 Ilustrasi fungsi konkaf.

Berikut ini disampaikan cara memeriksa kekonkafan dan kekonveksan suatu fungsi dengan menggunakan fungsi turunan keduanya.

Teorema 1

Jika terdiferensialkan dua kali pada N, maka fungsi konkaf pada N jika dan hanya jika OO " & untuk setiap I N. Jika

OO P & untuk setiap I N, maka dikatakan fungsi konkaf sempurna (strictly

concave).

(Peressini et al. 1988) Sebagai catatan, teorema ini juga berlaku untuk fungsi konveks dengan mengganti tanda pertaksamaan ”"” pada fungsi turunan keduanya dengan ”#”, sedangkan untuk konveks sempurna dengan mengganti tanda pertaksamaan ”P” dengan ”Q”.

Ilustrasi dari Teorema 1 diberikan pada Contoh 2 & 3 berikut ini.

Contoh 2

Misalkan diberikan fungsi

2 ,

maka OO 2 P & untuk setiap bilangan real . Jadi, fungsi ini konkaf sempurna (strictly concave).

Contoh 3

Misalkan diberikan fungsi , maka OO # & untuk setiap bilangan real . Jadi, merupakan fungsi konveks.

Berikut ini disampaikan cara memeriksa kekonkafan dan kekonveksan suatu fungsi banyak variabel dengan menggunakan matriks Hesse. Teorema 2 digunakan untuk memeriksa kedefinitan matriks Hesse,

sedangkan Teorema 3 untuk memeriksa kekonkafan atau kekonveksan suatu fungsi. Sebelum membahas Teorema 2 & 3, terlebih dahulu akan disampaikan mengenai matriks simetrik dan minor utama yang didefinisikan sebagai berikut.

Definisi 11 (Matriks Simetrik)

Suatu matriks + berorde / disebut simetrik jika +A +.

(Leon 1998) Keterangan:

+A menyatakan transpos dari matriks +. Definisi 12 (Minor Utama)

Misalkan + matriks simetrik berukuran / . Minor utama (principal minor) ke-k dari +, dilambangkan dengan R , adalah determinan dari anak matriks + yang diperoleh dengan menghilangkan 2 baris dan 2 kolom terakhir dari matriks +.

(Peressini et al. 1988) Teorema 2

Misalkan + matriks simetrik berukuran / dan misalkan R adalah minor utama ke- dari matriks + untuk " " , maka 1. + definit positif jika dan hanya jika

R Q & untuk @

2. + definit negatif jika dan hanya jika

2 R Q & untuk @

3. jika R Q &, R Q & ..., R B Q &, R & maka + semidefinit positif.

4. jika 2 R Q & untuk 2 ,

dan R & maka + semidefinit negatif. (Peressini et al. 1988) Berikut ini diberikan contoh memeriksa kedefinitan matriks Hesse dari fungsi . Misalkan adalah fungsi dari variabel

(dituliskan dengan * ) dan mempunyai turunan parsial pertama dan kedua yang kontinu, maka gradien fungsi adalah

S * T U U U U V W * W W * W X W * W Y Z Z Z Z [

dan matriks Hesse dari fungsi adalah 2

(5)

\] * T U U U V ^_] * ^`a_ ^ _] * ^`a^`_ ^_] * ^`a^`b ^_] * ^`_^`a X ^_] * ^`b^`a ^_] * ^`__ X ^_] * ^`b^`_ c ^_] * ^`_^`b X ^_] * ^`b_ Y Z Z Z [ @ Contoh 4

Misalkan diberikan fungsi yang didefinisikan sebagai berikut:

* 2 ,

dengan * I G .

Gradien dan matriks Hesse fungsi adalah

S * d22 e dan

\] 322 22 4.

Dengan menggunakan minor utama dari \] yaitu

R 2 P & R f22 22 f &,

maka 2 R Q & dan R &. Menurut Teorema 2, maka \] semidefinit negatif. Teorema 3

Misalkan * mempunyai turunan parsial kedua yang kontinu pada suatu himpunan konveks buka g di G @ Jika

1. matriks Hesse \] * dari adalah semidefinit negatif pada g, maka * adalah fungsi konkaf pada g,

2. matriks Hesse \] * dari adalah definit negatif pada g, maka * adalah fungsi konkaf sempurna pada g@

(Peressini et al. 1988) Catatan:

1. Definisi Himpunan Buka

Himpunan h F G dikatakan terbuka di G jika * I h, terdapat bilangan i Q & sehingga j I G yang memenuhi k* 2 jk P i adalah juga anggota h.

(Bartle 1976) Sebagai catatan:

Di G , k k didefinisikan

sebagai l .

2. Teorema ini juga berlaku untuk fungsi konveks dengan mengganti ”negatif” pada kedefinitan matriks \] dengan ”positif”.

Contoh 5

Misalkan diberikan fungsi yang didefinisikan sebagai berikut

* 2 ,

dengan * I G .

Dari Contoh 4 diketahui bahwa matriks \] semidefinit negatif, dan menurut Teorema 3 maka merupakan fungsi konkaf.

Berikut ini diberikan hubungan kekonkafan fungsi dan turunannya untuk fungsi satu variabel.

Teorema 4

(Hubungan Kekonkafan dan Turunan) Jika fungsi terdiferensialkan pada selang N, maka merupakan fungsi konkaf pada N jika dan hanya jika garis singgung grafik fungsi selalu terletak di bawah atau pada grafik fungsi , dengan perkataan lain

" O 2 @

(Peressini et al. 1988) Ilustrasi:

Gambar 4 Ilustrasi fungsi konkaf pada Teorema 4.

Berikut ini diberikan hubungan antara fungsi linear sesepenggal dengan fungsi konkaf / konveks.

Definisi 13 (Fungsi Linear Sesepenggal) Fungsi linear sesepenggal (piecewise

linear) merupakan fungsi yang terdiri atas

sepenggal-sepenggal fungsi linear.

(Wikipedia 2009) Contoh 6 (Fungsi Linear Sesepenggal) Misalkan diberikan fungsi dengan

m : n " " n P

2 : n Q @o

Fungsi merupakan fungsi linear sesepenggal. Grafik fungsi diberikan pada gambar berikut ini.

p

p O 2

q

r

(6)

Gambar 5 Fungsi linear sesepenggal. Teorema 5

Misalkan L G M G, dengan * s tuvw xy

z

v* 2 {v|, maka adalah fungsi konkaf. Bukti: Misalkan *8 *HI G , *} *8 2 *H, dan C*~D zv ~ *~2 {v ~ untuk • , maka *} zv *}2 {v zv *8 2 *H 2 {v Czv *82 {v D 2 Czv *H2 {v D@ Karena * s tu%w xyzv* 2 {v|, maka zv *82 {v # zv *82 {v dan zv *H2 {v # zv *H2 {v , sehingga *} Czv *82 {v D 2 zv *H2 {v # Czv *82 {v D 2 zv *H2 {v *8 2 *H . Ini berarti *8 2 *H # *8 2 *H .

Jadi, * s tu%w xy

z

v* 2 {v| adalah fungsi konkaf.

(Nemhauser & Wolsey 1999) Contoh 7

(Fungsi Konkaf Linear Sesepenggal) Misalkan diberikan fungsi dengan

min€ 2; & •.

Menurut Teorema 5, merupakan fungsi konkaf. Fungsi juga merupakan fungsi linear sesepenggal. Jadi merupakan fungsi konkaf linear sesepenggal dengan

n P n " " 2; & n Q @o Grafik fungsi diberikan pada Gambar 6 yang ditandai dengan garis tebal.

Gambar 6 Fungsi konkaf linear sesepenggal. Teorema 6

Misalkan L G M G, dengan * s ƒ6%w xyzv* 2 {v|, maka adalah fungsi konveks.

(Nemhauser & Wolsey 1999) Pembuktian Teorema 6 serupa dengan Teorema 5 dengan mengganti tanda pertaksamaan.

Contoh 8

(Fungsi Konveks Linear Sesepenggal) Misalkan diberikan fungsi dengan

maxy & & „ : : …

& 2 | untuk suatu # &. Menurut Teorema 6, merupakan fungsi konveks. Fungsi juga merupakan fungsi linear sesepenggal. Jadi, merupakan fungsi konveks linear sesepenggal dengan

m

& 2& „ n & " Pn " " < & n Q <@

o

Grafik fungsi diberikan pada Gambar 7 yang ditandai dengan garis tebal.

Gambar 7 Fungsi konveks linear sesepenggal.

2 2 4 6 8 10 20 30 2 2 4 6 8 5 5 10 15 20 1 2 3 4 5 6 7 10 20 30 40 50 60 70 2< & : 2 : & & „ : : … & 2

(7)

2.3 Dualitas Pemrograman Linear

Menurut Nemhauser & Wolsey (1999), dualitas pemrograman linear berkaitan dengan sepasang masalah PL. Salah satu dari sepasang masalah PL ini disebut masalah primal dan lainnya masalah dual.

Masalah dual dan primal berkaitan erat sedemikian sehingga solusi optimum dari salah satu masalah akan secara otomatis menghasilkan solusi optimum bagi masalah lainnya. Masalah dual adalah sebuah masalah PL yang diturunkan dari masalah PL primal dengan mengikuti kaidah-kaidah berikut: 1. untuk setiap kendala pada masalah primal

terdapat suatu variabel masalah dual; 2. untuk setiap variabel masalah primal

terdapat suatu kendala masalah dual; 3. koefisien dari sebuah variabel pada

kendala masalah primal membentuk koefisien yang terdapat pada ruas kiri kendala masalah dual yang bersesuaian dan koefisien fungsi objektif dari variabel terkait menjadi ruas kanan kendala masalah dual.

(Taha 1996)

Secara ringkas, hubungan antara variabel keputusan dan kendala pada masalah primal dan masalah dual diberikan dalam tabel berikut.

Tabel 1 Hubungan antara variabel keputusan dan kendala pada masalah primal dan masalah dual PRIMAL DUAL Minimisasi Maksimisasi Kendala # !% # & Variabel " !% " & !% tandanya tidak dibatasi Variabel # & " % Kendala " & # $ tandanya tidak dibatasi $

Keterangan: !$ dan $ menyatakan suatu bilangan

Misalkan suatu masalah PL primal dinyatakan sebagai berikut:

min 9 ()*

terhadap +* # , (P) * # -,

maka dual dari masalah (P) adalah max † ,)

terhadap +)‡ " ( (D) ‡ # -,

dengan ( dan * vektor-vektor berukuran , dan ‡ vektor-vektor berukuran ., dan + matriks berukuran . / .

Contoh dualitas pemrograman linear diberikan sebagai berikut.

Contoh 9 (Dualitas Pemrograman Linear) Misalkan diberikan masalah primal sebagai berikut:

min 9 <

terhadap 2 #

2 " … (2.7) : 2 ˆ

# &, takterbatas, dan " &, maka dual dari masalah (2.7) adalah max † p …p ˆp

terhadap p p p " < 2p p :p

p 2 p 2 p # p # &, p " &, p takterbatas. 2.4 Integer Programming

Integer programming (IP) atau pemrograman integer adalah suatu pemrograman linear dengan variabel yang digunakan berupa bilangan bulat (integer). Model integer programming biasanya dipilih untuk permasalahan yang variabel-variabelnya tidak dimungkinkan bertipe bilangan tidak bulat, misalnya variabel yang menyatakan banyaknya orang. Solusi integer programming dapat diselesaikan dengan banyak cara, di antaranya dengan menggunakan grafik, metode eliminasi dan substitusi. Salah satu cara yang cukup efektif untuk menyelesaikan

integer programming adalah dengan mengaplikasikan algoritme branch and bound. Jika semua variabel harus berupa integer, maka masalah tersebut dinamakan pure

integer programming, dan jika hanya sebagian

yang harus berupa integer disebut mixed

integer programming. Jika IP dengan semua

variabelnya harus bernilai 0 atau 1, maka disebut 0-1 IP.

(Garfinkel & Nemhauser 1972) 2.5 Pemrograman Linear Relaksasi

Konsep pemrograman linear relaksasi atau PL-relaksasi diberikan dalam definisi berikut ini.

(8)

Definisi 14

(Pemrograman Linear Relaksasi)

Pemrograman linear relaksasi atau sering disebut PL-relaksasi merupakan suatu pemrograman linear yang diperoleh dari suatu IP dengan menghilangkan kendala integer pada setiap variabelnya.

Pada masalah maksimisasi, nilai optimum fungsi objektif PL-relaksasi lebih besar atau sama dengan nilai objektif IP, sedangkan untuk masalah minimisasi, nilai optimum fungsi objektif PL-relaksasi lebih kecil atau sama dengan nilai optimum fungsi objektif IP. (Winston 1995) Contoh 10 (Pemrograman PL-Relaksasi) Misalkan diberikan pemrograman integer sebagai berikut: max 9 … : terhadap " < & … " < (2.8) # & integer.

Jika kendala integer dihilangkan, maka PL-relaksasi dari masalah IP (2.8) yaitu

max 9 … : terhadap " < & … " < # &.

Solusi optimum PL-relaksasi adalah @ <, @ˆ<, dan 9 @< yang diperoleh dengan menggunakan software LINDO 6.1 (lihat Lampiran 1). Jadi batas atas nilai objektif IP (2.8) adalah 9 @<. Daerah yang diarsir pada Gambar 8 merupakan daerah fisibel PL-relaksasi masalah IP (2.8).

Gambar 8 Daerah fisibel untuk PL-relaksasi dari IP (2.8).

Keterangan:

= solusi optimum PL-relaksasi IP (2.8) = titik-titik fisibel bagi IP (2.8)

2.6 Metode Penalti

Metode penalti merupakan suatu metode untuk menemukan solusi hampiran dari masalah pemrograman berkendala.

Misalkan diberikan masalah minimisasi berkendala pertaksamaan

q m’%‰ tuts Šs ‹ƒu * Œ•Ž•ƒ•ƒ‘* " & ••u“ƒu$ .

•ƒu* I ”

@

o

Solusi masalah q dapat dihampiri dari solusi masalah takberkendala qO yaitu meminimumkan • * untuk * I ” , dengan • * diperoleh dari * dan kendala yang ada dengan cara sebagai berikut:

1. • * mengandung suku “penalti” yang akan menaikkan nilai • bila • melanggar kendala ’$ * " &.

2. minimizer dari • * (yaitu *–—) di dekat daerah kefisibelan dan *•— mendekati

minimizer dari masalah q .

(Peressini et al. 1988)

Fungsi objektif dari qO untuk menghampiri masalah q adalah

• * * ˜ ’%™

x %w

* dengan ’%™ * dinamakan fungsi penalti nilai mutlak dan disebut parameter penalti, atau

q * * ˜J’%™ * K

x %w

dengan J’%™ * K dinamakan fungsi penalti Courant-Beltrami asalkan dan ’ mempunyai turunan parsial pertama yang kontinu.

2.7 Metode Gradien

Metode gradien merupakan suatu metode untuk menemukan solusi hampiran dari masalah pemrograman takberkendala. Metode gradien ini terdiri dari beberapa metode di antaranya metode steepest descent dan metode

conjugate gradient. Pada pembahasan ini,

metode gradien yang digunakan adalah metode steepest descent. Konsep dari metode

steepest descent diberikan berikut ini.

Misalkan * adalah fungsi di G dengan turunan parsial pertama yang kontinu dan misalkan *š I G . Maka barisan steepest

descent ›* œ dengan titik awal *š untuk meminimumkan fungsi * didefinisikan sebagai

* ™ * 2 S C* D,

dengan adalah # & yang meminimumkan fungsi

• 3* 2 S C* D4.

(9)

2.8 Subgradien dan Subdiferensial

Berikut ini diberikan konsep subgradien dan subdiferensial yang didefinisikan sebagai berikut.

Definisi 15 (Subgradien)

Misalkan E himpunan konveks yang takkosong di G dan L G M G merupakan fungsi konkaf, maka vektor ž I G disebut subgradien dari di *— I G jika untuk semua * I G

* " *— ž * 2 *.

(Nemhauser & Wolsey 1999) Sebagai catatan, definisi ini juga berlaku untuk fungsi konveks dengan mengganti tanda pertaksamaan ”"” dengan ”#”.

Ilustrasi:

Gambar 9 Ilustrasi subgradien pada fungsi konkaf

Definisi 16 (Subdiferensial)

Subdiferensial dari di *— adalah himpunan semua subgradien dari di *— yang dinyatakan dengan W *—

y

žL * " *— ž * 2 ** I G

|

.

Jika W *— Ÿ , maka disebut tersubdiferensialkan di *—.

(Nemhauser & Wolsey 1999) Berikut ini diberikan contoh subgradien dari fungsi di G .

Contoh 11

Misalkan diberikan fungsi dengan

2 .

Akan ditentukan subgradien dari fungsi di titik — . Untuk setiap I G: 2 # & ¡ 2 # & ¡ 2 2 " & ¡ 2 " 2 ¡ 2 " 2 2 ¡ " 2 2 .

Jadi, ¢ 2 adalah subgradien dari 2 di — . Ini berarti

2 I W .

Berikut ini diberikan contoh subgradien dari fungsi di G .

Contoh 12

Misalkan diberikan fungsi sebagai berikut:

* 2

dengan* I G

@

Akan ditentukan subgradien dari di titik

3 4. Untuk setiap I G : 2J 2 K " & ¡ 2J 2 K " & ¡ 2J2 2 2 2 2 K " & ¡ 2 2 2 " & ¡ 2 " 2 2 2 2 2 ¡ 2 " 2 2 … 2 2 … 2 ¡ 2 " 2 32…2…4Ad 22 e.

Jadi, ž 2… 2…A adalah subgradien dari * 2 di 3 4. Ini berarti

2… 2… A I W £3 4¤.

Berikut ini diberikan cara lain untuk menentukan subgradien dari fungsi konveks atau konkaf yang terturunkan.

Teorema 7

Jika L G M G adalah fungsi konkaf dan terturunkan di *—, maka W *S *— adalah gradien yang merupakan satu-satunya

subgradien. Sebaliknya, jika adalah fungsi konkaf dan W *— yž|, maka terturunkan di *— dan ž S *@

(Boyd & Vandenberghe 2007) Sebagai catatan, teorema tersebut juga berlaku untuk fungsi konveks.

¢ 2 —

¢

(10)

Berikut ini diberikan contoh subgradien dari fungsi di G dengan fungsi terturunkan.

Contoh 13

Misalkan diberikan fungsi dengan 2 seperti pada Contoh 11. Dari Contoh 2 telah ditunjukkan bahwa adalah fungsi konkaf. Karena O 2 selalu ada untuk setiap I G, maka terturunkan di setiap I G. Menurut Teorema 7, ¢

O 2 adalah subgradien dari di

, dan merupakan satu-satunya subgradien dari di — .

Berikut ini diberikan contoh subgradien dari fungsi di G dengan fungsi yang terturunkan.

Contoh 14

Misalkan diberikan fungsi sebagai berikut:

* 2

dengan* I G seperti pada Contoh 12. Dari Contoh 5 telah ditunjukkan bahwa adalah fungsi konkaf. Karena

S * d22 e

selalu ada untuk setiap I G , maka terturunkan di setiap I G

.

Menurut Teorema 7,

ž S ¥3 4¦ d22 e 32…2…4

adalah satu-satunya subgradien dari di — 3 4.

Pada bagian ini akan dibahas subgradien untuk salah satu jenis fungsi linear sesepenggal.

Teorema 8

Jika diberikan fungsi L G M G dengan

* s tu%w xy

z

v* 2 {v|

dan N *— y$L *

z

v*2 {v|, maka zv adalah subgradien dari di *—, $ I N *@ Bukti: Jika $ I N *— , maka *zv*2 {v. Akan ditunjukkan *— zv * 2 *# * untuk $ I N *

.

*— zv * 2 *zv*2 {v zv* 2 zv*— zv* 2 {v# * C‹ƒŽ•uƒ * ƒ•ƒ§ƒ•s tu%w xy

z

v* 2 {v|D. Jadi — zv * 2 *— # * , * I G . Ini berarti zvI G merupakan subgradien dari di *—, $ I N *. Karena zvI G

merupakan subgradien dari di *—, maka zvI W *— .

(Nemhauser & Wolsey 1999)

Sebagai catatan, teorema ini juga berlaku untuk kasus * s ƒ6%w xy

z

v* 2 {v|, dan bukti pernyataan tersebut dilakukan dengan cara serupa dengan mengganti tanda pertaksamaan ”#” dengan ”"”.

Berikut ini diberikan contoh subgradien dari fungsi linear sesepenggal.

Contoh 15

Misalkan diberikan fungsi dengan

min 2; & •.

Akan ditentukan subgradien dan subdiferensial dari fungsi di titik — ,

, dan :.

Grafik fungsi diberikan pada Gambar 10 yang ditandai dengan garis tebal.

Gambar 10 Fungsi linear sesepenggal pada Contoh 15.

Pada fungsi ini, ¨ , ! &, ¨ , ! , dan ¨ 2;, ! &. Jika — ,

maka N — N y |. Menurut

Teorema 8, ¨ dan ¨ adalah subgradien dari di — sehingga subdiferensial dari di — adalah

W y |.

Jika — , maka NN y |. Menurut Teorema 8, ¨ dan ¨ 2; adalah subgradien dari di — sehingga subdiferensial dari di — adalah

W € 2;•.

Jika — :, maka NN : y |. Menurut Teorema 8, ¨ 2; adalah subgradien dari di — : sehingga subdiferensial dari di — : adalah W : €2;•. Perhatikan bahwa 2; adalah satu-satunya subgradien dari di — :.

2 2 4 6 8 5 5 10 15 20 2< &

Gambar

Gambar 1  Ilustrasi himpunan konveks dan            bukan himpunan konveks.
Gambar 4  Ilustrasi fungsi konkaf pada      Teorema 4.
Grafik  fungsi    diberikan  pada  Gambar  7  yang ditandai dengan garis tebal.
Gambar 10 Fungsi linear sesepenggal pada          Contoh 15.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai konstanta sebesar 0,13 yang berarti bahwa jika tidak ada keputusan investasi, keputusan pendanaan, dan kebijakan dividen, maka harga sebesar 0,13. Ini menunjukkan

18 Rencana Kerja Dinas Peternakan Kabupaten Subang Tahun 2015.doc Dengan potensi produksi yang relatif rendah sedangkan potensi pasar cukup tinggi khususnya untuk daerah

Pengalaman istri pasangan usia subur bukan pengguna implant yaitu tidak pernah mempunyai pengalaman dalam penggunaan implant karena informasi yang diperoleh tentang alkon implant

Untuk memperolehi keputusan akhir bagi mendapatkan perhubungan diantara ujian Proba JKR dan Ujian Penusukan Piawai, data-data yang telah dianalisis daripada ketiga-tiga tapak

Aggressive resistance Physical aggression Verbal aggression ‘Aggression’ Hallucinations Delusions Misidentifications ‘Psychosis’ Withdrawn Lack of interest

Bahwa Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) yang berbunyi, “Pemilihan umum

a. Meningkatkan produktivitas pendidikan dengan jalan : 1) Mempercepat laju belajar; 2) Membantu guru untuk menggunakan waktunya secara lebih baik; dan 3) Mengurangi beban