• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3. Analisis Data. melakukan modernisasi terhadap sistem pendidikan di Jepang pada zaman Meiji. Untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 3. Analisis Data. melakukan modernisasi terhadap sistem pendidikan di Jepang pada zaman Meiji. Untuk"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 3

Analisis Data

Dalam bab ini penulis akan menganalisis alasan Fukuzawa Yukichi dalam melakukan modernisasi terhadap sistem pendidikan di Jepang pada zaman Meiji. Untuk tujuan tersebut maka penulis akan menjelaskan keadaan sistem pendidikan pada zaman Meiji terlebih dahulu. Penelitian akan dilanjutkan sampai pada analisis beberapa faktor yang melatarbelakangi Fukuzawa Yukichi ingin melakukan modernisasi terhadap sistem pendidikan Jepang di zaman Meiji. Penulis akan menjabarkan penelitiannya sebagai berikut.

3.1 Analisis Latar Belakang Fukuzawa Yukichi Dalam Melakukan Modernisasi Pendidikan Jepang Pada Zaman Meiji

Untuk mengetahui latar belakang Fukuzawa Yukichi dalam melakukan modernisasi pendidikan Jepang pada zaman Meiji, penulis memutuskan untuk mengulas terlebih dahulu gambaran keadaan pendidikan Jepang pada zaman Meiji. Sebab untuk mengetahui alasan Fukuzawa dalam melakukan perubahan dalam sistem pendidikan zaman Meiji, penulis merasakan pentingnya mengetahui situasi yang memicu Fukuzawa dalam melakukan langkah-langkah modernisasinya. Selain itu penulis juga akan memaparkan sekilas mengenai latar belakang kehidupan Fukuzawa Yukichi yang membentuk pandangan-pandangan dia tentang suatu sistem pendidikan yang modern.

(2)

3.1.1 Kondisi Pendidikan Jepang Pada Zaman Meiji

Sistem pendidikan modern Jepang sebenarnya pernah diusahakan oleh pemerintah Meiji pada tahun 1872 melalui Fundamental Code of Education atau dalam bahasa Indonesianya disebut Undang-Undang Pendidikan. Seperti layaknya sistem pendidikan di negara-negara lain pada saat itu, Pemerintah Meiji mengadopsi sistem pendidikan dari Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa seperti Jerman, Inggris, Perancis, dan lainnya (Aso dan Amano, 1972:1).

Undang-Undang Pendidikan tersebut berisikan tentang rencana-rencana pemerintah Meiji yang ambisius yaitu rencana pendirian 53760 Sekolah Dasar di seluruh negeri untuk mewujudkan suatu sistem pendidikan dasar wajib yang modern untuk anak-anak yang berusia enam sampai empat belas tahun. Selain itu juga terdapat rencana pendirian 256 Sekolah Tingkat Menengah dan delapan universitas. Semua itu dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam pendidikan untuk semua rakyat Jepang dan jika semua itu dapat terwujud maka pemerintah dapat menseleksi dan mengembangkan orang-orang yang berbakat. Tetapi, semua rencana tersebut gagal dan tidak dapat diwujudkan sepenuhnya. Ada beberapa hal yang menyebabkan rencana-rencana tersebut gagal diwujudkan.

Pertama, pemerintah Meiji yang baru terbentuk setelah Reformasi Meiji belum mempunyai dana yang cukup untuk merealisasikan rencana-rencana tersebut dalam waktu singkat. Pemerintah tak hanya kekurangan fasilitas dan perlengkapan pendidikan, namun juga kekurangan tenaga pengajar dan materi yang harus diajarkan. Sebagian besar biaya pendidikan harus ditanggung oleh rakyat yang tinggal di daerah dimana sekolah dasar didirikan. Kedua, materi yang diajarkan pada saat itu benar-benar

(3)

diimpor langsung dari Eropa dan Amerika Serikat sehingga banyak yang menganggap bahwa materi tersebut tidak bermanfaat bagi kehidupan sebagian besar masyarakat pada saat itu. Hal ini pun memberikan masalah tersendiri bagi pemerintah karena penolakan masyarakat terhadap Undang-Undang Pendidikan yang ingin diterapkan oleh pemerintah Meiji. (Aso dan Amano, 1972:1-2)

Bahkan pada tahun 1878 atau tepatnya enam tahun setelah Undang-Undang Pendidikan tersebut dicanangkan, tingkat kehadiran murid disekolah di seluruh negeri hanya mencapai 41.3 persen dengan didalamnya sebanyak enam prefektur melaporkan bahwa tingkat kehadiran murid disekolah diprefektur mereka bahkan tidak mencapai 30 persen. (Aso dan Amano, 1972:2)

Sebuah catatan pada saat itu menuliskan bahwa tingkat pengetahuan seorang anak yang meninggalkan sekolah dasar sebelum waktunya lulus pun terkadang masih kalah dengan pada saat sewaktu Jepang masih menggunakan sistem Terakoya secara luas. Biaya pendidikan yang harus dibayar pada waktu itu telalu tinggi sehingga tidak sesuai dengan penghasilan rakyat pada saat itu. (Aso dan Amano, 1972:2)

Meskipun zaman Meiji diwarnai dengan kegagalan penerapan Undang-Undang Pendidikan, namun di zaman ini pula momentum modernisasi Jepang di bidang pendidikan dimulai dan pada nantinya akan berpengaruh besar terhadap pendidikan Jepang dimasa yang akan mendatang. Disini penulis ingin mengungkapkan bahwa pencanangan Undang-Undang Pendidikan pada tahun 1872 sampai dengan masa terbentuknya sistem pendidikan yang tersentralisasi pada tahun 1886 memegang sebuah peranan penting dalam modernisasi pendidikan di Jepang karena masa ini dapat disebut sebagai tahap pertama sebelum Jepang “tinggal landas” menuju tahap selanjutnya.

(4)

Pada periode ini, berbagai usaha dilakukan oleh pemerintah dengan memadukan warisan-warisan dalam bidang pendidikan pada zaman Edo dengan pengaruh baru dari peradaban Barat melalui berbagai proses eksperimental. Menurut Aso dan Amano (1972:3-7), berikut ini adalah empat buah hal yang dapat dipandang sebagai warisan pendidikan dari zaman sebelum Meiji yaitu zaman Edo.

a. Karakteristik Bahasa Jepang

Bahasa Jepang memiliki dua jenis huruf yang dipergunakan dalam menulis yaitu huruf kanji dan huruf kana. Kedua huruf ini mulai dipergunakan secara luas di seluruh Jepang sejak zaman dimana Jepang dibagi menjadi 300 daerah feodal atau dikenal dengan jaman Sengoku.

Huruf kanji merupakan sebuah perwujudan dari suatu makna sedangkan kana merupakan perwujuan dari simbol-simbol fonetik. Meskipun sistem penulisan ini sulit untuk dimengerti oleh orang asing, namun dengan menggunakan huruf kanji atau huruf kana, seseorang dapat mengekspresikan apa yang ia ingin tulis dalam berbagai cara. Misalnya seseorang dapat menulis dengan menggunakan huruf kana apabila ia tidak mengerti huruf kanji. Sedangkan untuk menerjemahkan istilah asing, akan lebih mudah menggunakan huruf Kanji yang mewakili ide-ide yang akan diekspresikan.

Karakteristik pertama dari bahasa Jepang yaitu huruf kana, memberikan kontribusi besar dalam mengurangi persentase buta huruf dalam waktu singkat dan berperan sebagai instrumen penting dalam penyebaran pendidikan umum di Jepang.

(5)

Huruf kanji sebagai karakteristik kedua dari bahasa Jepang memungkinkan penerjemahan istilah-istilah asing menjadi lebih mudah karena huruf kanji mewakili makna-makna tertentu. Jadi, sebuah istilah asing dapat lebih mudah diterjemahkan menggunakan dua atau tiga buah huruf kanji yang dapat mewakili arti dari istilah asing tersebut. Hal ini memungkinkan ilmu pengetahuan dan teknologi asing dapat diperkenalkan dengan mudah pada kaum-kaum elit pada saat itu yang telah menerima pendidikan huruf kanji pada zaman sebelum Restorasi Meiji.

b. Konsep Potensi Perubahan Manusia dalam Budaya Jepang

Konsep ini menjelaskan bahwa setiap orang dapat berubah menjadi apapun yang ia inginkan sesuai dengan kekuatan yang ia miliki. Nakae Toju, seorang ilmuwan Konfusianisme, pada awal zaman Edo mempunyai pemikiran bahwa “pendidikan akan membuat seseorang menjadi suci”. Maksud dari pemikiran itu adalah bahwa seseorang dapat menjadi orang yang bijak apabila ia terpelajar. Konsep yang serupa dengan konsep ini memang terdapat di negara-negara Barat maupun di China, namun di Jepang konsep ini berkembang lebih kuat dibandingkan dengan di negara-negara tersebut. (Aso dan Amano, 1972:4)

c. Warisan Sistem Pendidikan dari Zaman Edo

Pada akhir zaman Edo memang belum ada sistem sekolah modern di Jepang, namun pendidikan pada masa itu sendiri sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Di Edo (sekarang Tokyo), Pemerintahan Keshogunan Tokugawa sudah memiliki institusi pendidikan yang berada dibawah kontrol

(6)

langsung dari keshogunan, sementara di tiap-tiap daerah, pemimpin daerah mendirikan sekolahnya masing-masing untuk mendidik rakyat seperti yang gogaku (sekolah daerah) dan terakoya. Terakoya adalah sejenis sekolah yang mengajarkan pendidikan-pendidikan dasar dan peraturan moral bagi kaum non-samurai agar dapat beradaptasi dengan lingkungan yang sangat feodalistik pada saat itu. (Aso dan Amano, 1972:4-5)

Setiap terakoya biasanya terdiri dari seorang guru dan 30 murid dan diurus dengan biaya sekolah yang hanya sedikit yang dikumpulkan dari murid-murid. Sedangkan sekolah yang dikontrol langsung dibawah keshogunan Tokugawa dan klan-klan feodal mulai memperkenalkan ilmu pengetahuan barat, khususnya di bidang ilmu pengobatan dan ilmu militer. Beberapa dari sekolah-sekolah tersebut (yang berada dibawah pengawasan langsung) mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi barat sampai tingkat yang cukup tinggi. Salah satu contohnya adalah “Igakujo” (Sekolah Farmasi) dan “Kaiseijo” (Sekolah pengetahuan barat) yang berada langsung dibawah pengawasan Keshogunan Tokugawa. Kedua sekolah tersebut nantinya akan digabung menjadi Universitas Tokyo. (Aso dan Amano, 1972:5)

Dengan adanya warisan sistem pendidikan ini, pendidikan modern di Jepang tetap mampu mempertahankan beberapa nilai yang mereka anggap penting. Hanya dua tahun setelah dicanangkannya Undang-Undang Pendidikan, jumlah sekolah dasar sudah mencapai lebih dari 20.000, sedangkan tingkat kehadiran di sekolah mencapai 32.3 persen. Ini dapat

(7)

dicapai dengan perlahan-lahan mengubah terakoya diberbagai daerah menjadi sekolah modern. (Aso dan Amano, 1972:5)

d. Kelas “Shizoku”

Pendidikan di sekolah-sekolah yang berada dibawah pengawasan langsung klan-klan feodal di daerah dan yang berada di bawah pengawasan langsung Keshogunan Tokugawa seperti disebutkan di poin sebelumnya adalah dikhususkan untuk rakyat yang berasal dari kelas shizoku (kelas samurai) yang jumlahnya hanya mencapai dua persen dari seluruh populasi penduduk Jepang.

Kelas samurai ini mendapatkan pelatihan sistematik khusus dan ditempatkan di berbagai bidang sesuai dengan keahliannya seperti di bidang tata negara, keuangan, pendidikan, dan berbagai bidang lainnya. Namun, setelah Restorasi Meiji, kelas Shizoku kehilangan hak-hak istimewanya karena terjadi beberapa reformasi yang dilakukan oleh pemerintah Meiji. Sebagai imbasnya, kelas samurai harus mempertahankan diri mereka dengan mengisi lapangan-lapangan kerja modern dengan mengandalkan pengetahuan mereka yang telah mereka kembangkan melalui pendidikan intensif yang sebelumnya pernah mereka terima. Misalnya di bidang pendidikan, orang-orang mantan kelas samurai yang menjadi guru pada tahun 1883 mencapai 73 persen untuk sekolah menengah dan 40 persen untuk sekolah dasar.

(8)

Kelas Shizoku menaruh perhatian tinggi pada pendidikan dan sangat termotivasi untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi. Mereka menganggap bahwa pendidikan modern dari barat adalah sebuah senjata utama mereka untuk dapat mengisi lowongan kerja dan agar dapat dipandang dalam masyarakat. (Aso dan Amano, 1972:5-6)

Sebagai hasilnya, mereka yang dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi sebagian besar berasal dari kelas Shizoku. Sebagai contoh, pada murid-murid yang mengikuti kursus ujian masuk Universitas Kekaisaran Tokyo pada tahun 1878, anak-anak yang berasal dari kelas Shizoku mencapai 81.8 persen. Sementara, diantara para lulusan Sekolah Pertanian Sapporo (nantinya Universitas Hokkaido) pada tahun 1885 dan Sekolah Perdagangan Tokyo (Universitas Hitotsubashi), mereka yang berasal dari keluarga kelas Shizoku jumlahnya mencapai 75.7 persen dan 52.6 persen. (Aso dan Amano, 1972:7)

Menurut Fukuzawa, pemerintah telah melakukan banyak kesalahan sejak tahun 1881, dan salah satu kesalahan pemerintah yang paling parah adalah di bidang pendidikan. Kesalahan yang dimaksud oleh Fukuzawa adalah tindakan pemerintah menghidupkan lagi cara pandang dan pemikiran lama yang menurut Fukuzawa sudah tidak pantas lagi digunakan. Pemerintah memerintahkan agar buku-buku pelajaran etika untuk digunakan kembali sebagai buku teks, dan yang paling parah pemerintah memerintahkan untuk tidak melanjutkan lagi pelajaran bahasa Inggris. Pemerintah menghidupkan kembali cara belajar gaya lama dimana dalam sekolah yang diajarkan

(9)

adalah pendidikan moral Konfusius, seperti kesetiaan terhadap atasan, kepatuhan pada orang tua, dan patriotisme yang ekstrim.

Menurut analisa penulis, sikap pemerintah Jepang dalam mengadopsi sistem pendidikan dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dapat dikategorikan sebagai sebuah usaha untuk mengakulturasikan kebudayaan dari luar Jepang kedalam kebudayaan Jepang. Penulis mengkategorikan sikap pemerintah sebagai sebuah usaha akulturasi karena pemerintah Jepang, seperti yang dikritik oleh Fukuzawa, tidak berencana untuk menghilangkan ajaran tradisional Konfusianisme dari kurikulum pendidikan yang baru. Rencana pemerintah tersebut akhirnya diwujudkan melalui Dekrit Kekaisaran Mengenai Pendidikan seperti yang akan dijelaskan selanjutnya.

Penulis juga menganalisa sikap pemerintah Meiji dalam menetapkan Undang-Undang Pendidikan pada tahun 1872 sebagai sebuah usaha untuk mewujudkan konsep pendidikan egalitarian seperti yang telah penulis paparkan pada bab 2. Dengan adanya rencana membuka sekolah dasar dan sekolah menengah dan universitas dalam jumlah yang cukup banyak, pemerintah Meiji berusaha menyediakan pendidikan yang memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk berkembang tanpa memandang perbedaan kelas dan jenis kelamin.

3.1.2 Dekrit Kekaisaran Mengenai Pendidikan (Kyouiku Chokugo 教育勅語)

Menurut Koyama (2004), The Imperial Rescript on Education atau yang dalam bahasa Indonesianya diartikan sebagai Dekrit Kekaisaran mengenai Pendidikan, adalah sebuah dokumen paling kontroversial dalam sejarah Jepang. Era modernisasi Jepang dalam bidang pendidikan seperti telah dituliskan diatas, dimulai sejak tahun 1872

(10)

dengan diumumkannya Undang-Undang Pendidikan yang berisi tentang rencana pemerintah Meiji untuk membentuk sebuah sistem sekolah yang mencontoh dari sistem sekolah yang ada di negara-negara barat. Setelah diterapkannya Undang-Undang tersebut kedalam dunia pendidikan Jepang, pendidikan moral berdasarkan ajaran-ajaran Konfusius dari negara China yang semula diterapkan dalam pendidikan Jepang zaman feodal mulai didominasi oleh kurikulum dan ilmu pengetahuan baru yang diimpor dari Barat. Berbagai diskusi di bidang politik dan bidang pendidikan pada saat itu nampak didominasi oleh pemikiran-pemikiran barat. Hal ini menyebabkan terjadinya sebuah kebimbangan sosial mengenai pendidikan moral di sekolah dan kebijakan-kebijakan negara sebelumnya yang lebih banyak didominasi oleh pandangan Konfusianisme. Banyak tokoh pada saat itu yang mengeluarkan pendapat mereka dalam bentuk tulisan singkat. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Kato Hiroyuki dengan tulisannnya Tokuiku Hohoron mengenai arah pendidikan moral, Fukuzawa Yukichi dengan tulisannya Tokuiku Ikan mengenai perlunya sebuah pemikiran baru untuk berhadapan dengan zaman modern, Nose Sakae dengan tulisannya Tokuiku Chinteiron mengenai pendidikan moral yang seharusnya berdasarkan pada teori-teori etika. Beberapa dari pendapat para tokoh-tokoh negara pada saat itu tidak mendukung pentingnya penekanan pendidikan moral di sekolah-sekolah. Namun, ada juga pendapat dari beberapa tokoh lain yang tidak mendukung pentingnya sebuah penekanan atau kekhususan pendidikan moral di sekolah-sekolah, antara lain Naito Chiso dengan tulisannya Kokutai Hakki mengenai pentingnya peran rumah tangga Kekaisaran dalam menentukan dasar kebijakan pendidikan moral, Motoda Nagazane dengan tulisannya Kokkyoron mengenai perlunya mempertahankan pendidikan moral berdasarkan pada ajaran-ajaran leluhur.

(11)

Pro dan kontra mengenai pendidikan moral yang terjadi di antara tokoh-tokoh berpengaruh tersebut menyebabkan para tokoh pendidikan di tiap-tiap prefektur menjadi rancu terhadap sistem pendidikan yang sedang berlaku. Untuk menindaki kerancuan tersebut, pemerintah-pemerintah di tiap-tiap prefektur mengajukan sebuah proposal kepada otoritas pendidikan di pusat untuk mengeluarkan sebuah kebijakan yang mengatur mengenai pendidikan secara terpusat.

Proposal tersebut diterima dan diperdebatkan dalam Kabinet sebelum akhirnya disampaikan pada Kaisar Meiji. Kaisar Meiji memerintahkan Menteri Pendidikan Enomoto Takeaki untuk mengkompilasikan sekumpulan peribahasa yang dapat digunakan sebagai dasar pendidikan moral untuk masyarakat. Setelah kebijakan tersebut telah rampung, Kaisar memutuskan untuk mendeklarasikan kumpulan peribahasa tersebut menjadi sebuah Dekrit Kekaisaran. Setelah melalui berbagai revisi dalam draft tersebut oleh Motoda Nagazane dan Inoue Kowashi maka pada tahun 1879 diumumkanlah Dekrit Kaisar mengenai Pendidikan atau dalam bahasa Jepangnya disebut (Kyouiku Chokugo 教育勅語)

Sesuai dengan Kyouiku Chokugo教育勅語 dalam Kan-chan’s Cyber Archive (2004), berikut adalah kutipan isi dari Dekrit Kekaisaran mengenai Pendidikan dan terjemahannya yang sesuai dengan Arrington (1999):

教育勅語 朕惟フニ我カ皇祖皇宗國ヲ肇ムルコト宏遠ニ德ヲ樹ツルコト深厚ナリ 我カ臣民克ク忠ニ克ク孝ニ億兆心ヲ一ニシテ世世厥ノ美ヲ濟セルハ此 レ我カ國體ノ精華ニシテ教育ノ淵源亦實ニ此ニ存ス爾臣民父母ニ孝ニ 兄弟ニ友ニ夫婦相和シ朋友相信シ恭儉己レヲ持シ博愛衆ニ及ホシ學ヲ 修メ業ヲ習ヒ以テ智能ヲ啓發シ德器ヲ成就シ進テ公益ヲ廣メ世務ヲ開 キ常ニ國憲ヲ重シ國法ニ遵ヒ一旦緩急アレハ義勇公ニ奉シ以テ天壤無 窮ノ皇運ヲ扶翼スヘシ是ノ如キハ獨リ朕カ忠良ノ臣民タルノミナラス

(12)

又以テ爾祖先ノ遺風ヲ顯彰スルニ足ラン 斯ノ道ハ實ニ我カ皇祖皇宗ノ遺訓ニシテ子孫臣民ノ倶ニ遵守スヘキ所 之ヲ古今ニ通シテ謬ラス之ヲ中外ニ施シテ悖ラス朕爾臣民ト倶ニ拳々 服膺シテ咸其德ヲ一ニセンコトヲ庶幾フ 明治二十三年十月三十日 御名御璽 Artinya:

Dekrit Kekaisaran Mengenai Pendidikan

Leluhur kita telah membangun bangsa kita dengan fondasi yang kuat dan abadi dan didalamnya telah ditanamkan dengan erat nilai-nilai moral. Rakyat kita yang telah hidup di jalan kesetiaan dan kasih sayang telah menggambarkan keindahan dari nilai-nilai tersebut. Inilah kebanggaan dari kepribadian paling dasar bangsa kita, dan disini pula terletak dasar dari pendidikan kita. Karena itu ketahuilah rakyat kami, kalian harus hormat terhadap orang tua, bersikap penuh kasih sayang pada saudaramu, bersikaplah rukun antara suami dengan istri, jalinlah persahabatan sejati antar teman, hiduplah dalam kesederhanaan dan bersikaplah rendah diri, kembangkan kebaikanmu kepada orang lain, kejarlah ilmu pengetahuan dan kembangkan senimu. Jika semua itu sudah terlaksana, kembangkan bakat dan kemampuanmu dan sempurnakan kekuatan moralmu. Jalankan peranmu untuk kepentingan umum dan kembangkan sikap persatuan. Hormat selalu pada Undang-Undang Dasar dan ketahuilah hukum-hukum yang berlaku. Jika negara berada dalam keadaan darurat, berjuanglah dengan berani untuk bangsamu, pertahankan kejayaan tahta kekaisaran kita yang mulia bagaikan surga dan bumi. Dengan demikian, kalian tidak hanya akan menjadi rakyat kami yang setia dan baik, tetapi juga kalian telah menjadi teladan akan ajaran dari para pendahulu kalian.

Jalan yang akan menjadi pedoman kita mulai dari sekarang ini adalah cara pengajaran yang telah diwariskan dari para leluhur kita yang mulia, dan jalan ini akan tetap dilestarikan oleh generasi selanjutnya, tak akan lekang oleh waktu dan akan selalu menjadi sebuah kebenaran dalam segala hal.

Adalah harapan kami dengan menempatkan jalan itu kedalam hati kami dengan segala kemuliaan bersama dengan kalian para rakyat kami, dan dengan demikian kita akan hidup dalam nilai-nilai moral yang sama.

Meiji Tahun ke-23 Bulan ke-10 Hari ke- 30 Stempel Kekaisaran

(13)

Tujuan utama dari Dekrit Kekaisaran mengenai Pendidikan tersebut sebenarnya adalah membangun semangat cinta tanah air dan rasa hormat terhadap tradisi Kekaisaran. Namun sejak ditetapkannya Dekrit tersebut, berbagai pendapat yang berlawanan dengan isi dari Dekrit tersebut beresiko dianggap sebagai sebuah bentuk pengkhianatan terhadap negara.

Fukuzawa berpendapat bahwa Dekrit Kekaisaran mengenai Pendidikan tersebut tidak akan memberikan hasil yang optimal dalam perbaikan sistem pendidikan di Jepang. Dalam surat balasannya kepada Nakamura Ritsuen, tersirat pandangan Fukuzawa bahwa ia menghargai adanya pendidikan moral berdasarkan ajaran Konfusianisme seperti yang menjadi isi dari Dekrit Kekaisaran tersebut. Namun ia berpendapat bahwa ajaran Konfusianisme tidak dapat diturunkan melalui pendidikan formal seperti di sekolah sebagaimana disarankan oleh Nakamura Ritsuen dalam suratnya yang meminta Fukuzawa agar turut serta berperan aktif dalam mensukseskan pendidikan moral dalam pendidikan Jepang.

Melalui surat balasannya tersebut ia merasa bahwa penerapan doktrinasi pendidikan moral dalam pendidikan Jepang tidak akan memberikan hasil positif apapun terhadap perbaikan sistem pendidikan Jepang. Ia berpendapat bahwa pendidikan moral yang mengajarkan hubungan antara murid dengan guru, orang tua dengan anak, atasan dengan bawahan hanya dapat diajarkan melalui teladan seorang guru yang juga telah memahami arti dari ajaran Konfusianisme. Ia berpendapat bahwa ajaran Konfusianisme tidak dapat didoktrinkan seperti pelajaran lainnya melainkan harus diajarkan melalui

(14)

perbuatan dan perilaku seorang guru yang berkualitas baik dalam moral ataupun pengetahuannya.

Menurut analisa penulis, Dekrit Kekaisaran Mengenai Pendidikan adalah salah satu gambaran dari konsep pendidikan pada zaman Meiji seperti yang telah penulis paparkan pada bab 2, yaitu konsep kontribusi terhadap negara dan masyarakat. Dengan mengeluarkan Dekrit Kekaisaran Mengenai Pendidikan, pemerintah Meiji berniat untuk menekankan pendidikan yang berdasarkan pada pengembangan terhadap kepribadian dan nilai-nilai masyarakat Jepang dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan skill.

3.1.3 Latar Belakang Fukuzawa Yukichi

Fukuzawa Yukichi lahir di Nakatsu, Kyushu pada tahun 1835. Sejak muda ia selalu ingin meninggalkan kampung halamannya karena ia merasa tidak leluasa dengan peraturan masyarakat feodal yang mengharuskan setiap orang harus menghormati orang yang status sosialnya lebih tinggi meskipun umurnya sebaya. Fukuzawa bahkan harus bersikap merendahkan diri di hadapan teman mainnya. Ayah Yukichi, Fukuzawa Hyakusuke adalah seorang pejabat pemerintahan dengan jabatan rendah dan meninggal dalam usia yang cukup muda.

Saudaranya Sannosuke melanjutkan jabatan ayahnya dan meninggal juga dalam usia yang lebih muda dari ayahnya. Pada tahun 1855, Fukuzawa masuk ke sekolah milik seorang bernama Ogata Koan di Osaka untuk mempelajari Bahasa Belanda. Ia merasa puas dengan kehidupan disana karena ia tidak lagi terikat oleh peraturan feodal. Di dalam lingkungan sekolahnya, kekayaan, jabatan dan status sosial tidak berlaku. Hanya kemampuan dan ilmu pengetahuan yang menentukan status dan reputasi

(15)

seseorang. Pada tahun 1858, Fukuzawa diperintahkan oleh klannya, untk pergi ke Edo untuk mengajarkan Bahasa Belanda pada pegawai-pegawai klan di kantor cabang Edo. Disinilah karir Fukuzawa dalam bidang pendidikan dimulai.

Sebuah sekolah yang sangat kecil yang awalnya ia dirikan di rumahnya akan berkembang menjadi Keio Gijuku dan nantinya akan berkembang menjadi Universitas Keio. Beberapa tahun kemudian Fukuzawa ditugaskan untuk pergi keluar negeri. Dua kali ke Amerika pada tahun 1860 dan 1867 dan sekali ke Eropa pada tahun 1862. Kontak personalnya dengan berbagai pemikir di Barat dan melalui pengetahuan yang ia dapatkan melalui berbagai buku yang ia dapatkan di Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat ia mendapatkan dasar-dasar dari pandangannya akan kebebasan dan berbagai filosofi pendidikan dari barat. (Nakayama, 1985:viii)

3.1.4 Pandangan-Pandangan Fukuzawa Yukichi Terhadap Pendidikan

Fukuzawa berpendapat bahwa pembelajaran adalah kunci menuju kemerdekaan. Ini berarti kemerdekaan adalah tujuannya dan pembelajaran adalah sebuah alat untuk mendapatkan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Ia membedakan pembelajaran menjadi dua kategori, yakni pembelajaran “sejati” (jitsugaku 実学) dan pembelajaran “palsu” (kyogaku 虚学).

Pembelajaran sejati adalah pembelajaran yang dapat membantu orang mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan. Menurut Fukuzawa seseorang telah menjalankan pembelajaran “sejati” (jitsugaku 実学) apabila ilmu pengetahuan yang diterima dapat diterapkan secara nyata dan berguna bagi perkembangan dan kemajuan

(16)

diri sendiri dan bagi negara. Pembelajaran gaya barat termasuk ke dalam jenis pembelajaran sejati.

Sedangkan pembelajaran palsu adalah pembelajaran yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan skill tapi menekan orang agar menjadi pengikut yang berguna bagi bangsanya ataupun tuannya. Fukuzawa memasukkan Konfusianisme dalam kategori pembelajaran palsu. Fukuzawa menganggap bahwa pembelajaran palsu sebagai sejenis pelatihan (kunren 訓練) sedangkan pembelajaran sejati sebagai pendidikan (kyoiku 教育).

Pada tahun 1880, Fukuzawa sering kali menyerukan pendapatnya tentang urutan sistematik (seisoku 正則) dalam pendidikan. Ia berpendapat bahwa materi-materi pendidikan harus diajarkan dalam urutan yang tepat agar siswa yang baru belajar mengerti dan dapat berasimilasi dengan peradaban modern. Ia berpendapat bahwa urutan yang tepat adalah dimulai dari pelajaran Matematika dan Fisika yang menurut Fukuzawa adalah sebagai dasar dari semua pendidikan dan pemikiran modern. Lalu selanjutnya diikuti dengan Kimia, Geografi, Sejarah, Sosiologi, Etika, Sastra, dan subjek-subjek lainnya. Ia telah mendesain urutan tersebut sedemikian rupa sehingga urutan pembelajaran tersebut dapat digunakan oleh siapapun yang ingin mempelajari kebudayaan modern.

Mengenai pendidikan tinggi atau pendidikan di universitas, Fukuzawa menganggap bahwa pendidikan tinggi hanya diperuntukkan bagi orang-orang berbakat yang mempunyai keinginan kuat dalam bekerja demi kemerdekaan negara. Dengan kata lain, ia menganggap bahwa pendidikan dasar adalah untuk kemerdekaan setiap individu sedangkan pendidikan tinggi adalah untuk kemerdekaan negara.

(17)

Menurut penulis, pandangan Fukuzawa mengenai pembelajaran “sejati” (jitsugaku 実学) dan pembelajaran “palsu” (kyogaku 虚学), urutan sistematik (seisoku 正則), dan pendapatnya yang menekankan pada pendidikan dasar dibanding pendidikan tinggi adalah usahanya untuk menjadikan pendidikan Jepang berdasarkan pada pendekatan praktis dan pragmatik dan juga berprioritas terhadap pendidikan dasar.

Menurut analisa penulis, Fukuzawa mengharuskan adanya sebuah urutan sistematik (seisoku 正則) dalam pendidikan dasar adalah agar dalam melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seseorang telah memahami ilmu-ilmu dasar yang dibutuhkan. Dengan adanya urutan sistematik yang sedemikian rupa, maka diharapkan seseorang dapat menerapkan subjek-subjek yang telah ia pelajari secara nyata untuk pengembangan dan kemajuan diri sendiri dan negara. Dengan demikian, Fukuzawa telah berperan serta dalam menjadikan sistem pendidikan di Jepang yang berdasarkan pada pendekatan praktis dan pragmatik dan juga berprioritas pada pendidikan dasar seperti yang telah dipaparkan pada bab 2.

3.2 Analisis Terhadap Usaha Yang Dilakukan Oleh Fukuzawa Yukichi Untuk Modernisasi Pendidikan Jepang Pada Zaman Meiji

Dalam usahanya merubah sistem pendidikan Jepang pada zaman Meiji dan pemikiran tradisional masyarakat pada saat itu menjadi pemikiran modern, Fukuzawa banyak menciptakan karya-karya tulis yang isinya tidak lain adalah ajakan dan seruan Fukuzawa agar masyarakat mau mempelajari kebudayaan Barat sebagai sebuah jalan untuk menuju modernisasi. Fukuzawa berpendapat bahwa masyarakat Jepang telah begitu lama hidup dalam tradisi dan tekanan zaman feodal sehingga masyarakat Jepang dari

(18)

level tertinggi dalam pemerintahan sampai level terendah dalam masyarakat biasa mengalami sebuah penyakit yang sama yaitu kehilangan kemampuan individual dan semangat mereka. Menurutnya, satu-satunya obat untuk menghilang penyakit tersebut adalah dengan memperkenalkan kebudayaan Barat dan cara berpikir ala barat yang menggunakan penalaran ilmiah.

Karya-karya tulis Fukuzawa yang terkenal antara lain adalah sebagi berikut: 1) Keadaan di Barat (Seiyou Jijou 西洋事情) yang diterbitkan tahun 1866

2) Majukan Pendidikan (Gakumon no Susume 学問のすすめ, 1872) 3) Teori Peradaban(Bunmeiron no Gairyaku 文 明 論之概略, 1875)

4) Prakata untuk Buku Bimbingan Penulisan (Keimou Tenarai no Fumi Jo, 啓蒙手習之文序

けいもうてならいこれぶんじょ

, 1871)

5) Buku Ilmu Fisika Bergambar (Kyuuri Zukai, 1868)

6) Negara-negara di Seluruh Dunia (Sekai Kunizukushi, 1869)

dan beberapa tulisan dan artikel kecil lainnya yang berisi tentang pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan seperti Tata Moral Fukuzawa (Shuushin Youryou 修身要領, 1900) yang diperuntukkan bagi kalangan Universitas Keio, surat balasannya kepada Nakamura Ritsuen yang berisi tentang pemikiran Fukuzawa mengenai pendidikan moral (Surat Balasan kepada Pak Guru Nakamura Ritsuen, 中村栗園先生に答, 1878), Tulisan Yang Tertinggal di Nakatsu (Nakatsu Ryuubetsu no Sho 中 津 留 別 之 書, 1878), serta berbagai karya tulis lainnya yang tak dapat penulis sebutkan disini.

Selain itu Fukuzawa menerbitkan surat kabar yang ia dirikan sendiri bernama Jijishimpo, Minkan Zasshi. Fukuzawa juga aktif dalam memberikan pidato-pidato kepada

(19)

masyarakat ataupun para siswa di Keio Gijuku dan dalam pidatonya tersebut Fukuzawa banyak menyatakan tujuannya dalam memajukan kebudayaan Jepang melalui pendidikan. Pidato-pidato Fukuzawa tersebut antara lain adalah pidatonya pada saat peresmian Keio Gijuku tahun 1868 dan pidatonya pada mengenai tujuan pendidikan di Keio Gijuku pada tahun 1885.

Selain menciptakan karya-karya tulis, Fukuzawa juga mendirikan sebuah sekolah kecil yang ia beri nama Keio Gijuku. Pendirian sekolah ini merupakan sebuah perwujudan nyata aspirasi Fukuzawa terhadap pendidikan di Jepang pada saat itu. Sistem pengajaran dan pembelajaran didalam sekolah itu pun diadaptasikan dari sistem sekolah-sekolah di barat sehingga berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya pada saat itu. Sekolah ini nantinya akan berkembang menjadi Universitas Keio yang merupakan institusi pendidikan tinggi swasta paling pertama yang pernah berdiri di Jepang.

Penulis menganalisis bahwa dengan menerbitkan buku-buku hasil karyanya dan mendirikan sekolah Keio Gijuku, Fukuzawa telah berusaha untuk mengubah kebudayaan masyarakat Jepang yang tradisional menjadi modern. Usaha tersebut dilakukan secara bertahap. Fukuzawa menyadari bahwa sebuah perubahan yang drastis hanya akan membawa pada sebuah kegagalan atau kontradiksi kebudayaan seperti yang telah penulis kutip pada bab 2 melalui penjelasan oleh Bey (1990:36). Karena itu Fukuzawa melakukan langkah-langkah modernisasinya dalam beberapa tahap, dan karena Fukuzawa adalah orang yang telah lama berkecimpung di dunia pendidikan, ia menyadari pentingnya menyebarkan ilmu pengetahuan dan filosofi barat melalui dunia pendidikan.

(20)

Seperti yang telah dijelaskan pada bab 2 bahwa perubahan kebudayaan meliputi tiga tahap atau proses yang disebut dengan difusi, akulturasi dan asimilasi. Fukuzawa melakukan langkah-langkah modernisasinya dengan mencoba mendifusikan terlebih dahulu ilmu pengetahuan barat kepada masyarakat Jepang. Dalam usahanya mendifusikan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, Fukuzawa menerbitkan bukunya yang pertama berjudul Keadaan di Barat (Seiyou Jijou 西洋事情). Dalam buku ini, Fukuzawa memperkenalkan sistem pendidikan, pemerintahan, perekonomian, dan sosial di negara-negara Barat kepada masyarakat Jepang yang pada saat itu sama sekali tidak mempunyai gambaran apapun mengenai kebudayaan-kebudayaan di negara-negara Barat. Pengetahuan masyarakat Jepang akan kebudayaan Barat hanya sebatas pada ilmu-ilmu yang berhubungan dengan pengobatan. Dengan menerbitkan Keadaan di Barat (Seiyou Jijou 西洋事情), Fukuzawa mencoba menjadikan momen tersebut menjadi titik awal bagi semua orang Jepang termasuk pegawai pemerintahan dalam mengembangkan pengetahuannya tentang masyarakat barat dan beradaptasi dengan kebudayaan baru.

Tahap asimilasi yang paling nyata dalam usaha Fukuzawa memodernisasikan ilmu pengetahuan barat terlihat dalam sistem manajemen dan pendidikan yang diterapkan dalam Keio Gijuku yang didirikan oleh Fukuzawa. Pada saat itu hubungan antara guru dengan murid di sekolah-sekolah Jepang bersifat vertikal, yakni murid harus selalu tunduk terhadap perkataan dan pendapat guru. Di dalam Keio Gijuku ia tidak menerapkan sistem sekolah dan hubungan antar guru dengan murid seperti yang diterapkan pada sekolah-sekolah di Jepang pada zaman itu. Ia cenderung menerapkan hubungan antar sesama pelajar dalam Keio Gijuku. Dikatakan bahwa Fukuzawa mengambil model sekolah-sekolah umum di Inggris sebagai pedoman dalam mendirikan Keio Gijuku dan

(21)

dalam penerapan sistem manajemen sekolahnya. Dengan kata lain Fukuzawa mencoba menjadikan Keio Gijuku sebagai sebuah sekolah dengan manajemen dan metode pembelajaran yang sama dengan sekolah-sekolah umum di Inggris.

Menurut analisis penulis, difusi yang diusahakan oleh Fukuzawa melalui penulisan karya-karya tulis dan pendirian Keio Gijuku adalah sebuah bentuk difusi dengan tipe penyebaran penetration pasifique, yaitu masuknya kebudayaan asing dengan cara damai tanpa kekerasan dan paksaan.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab 2 bahwa oleh Soekanto (1990:383), modernisasi diartikan sebagai proses perubahan yang mengarah pada pembentukan tipe-tipe sistem sosial, ekonomi, dan politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad 17-19.

Dalam hal ini, Fukuzawa memiliki pandangan serupa bahwa modernisasi hanya dapat terjadi apabila masyarakat Jepang mau mempelajari dan mempraktekkan ilmu pengetahuan Barat. Fukuzawa percaya bahwa semua peradaban dan kebudayaan yang ada diseluruh dunia termasuk Jepang pada akhirnya ditakdirkan untuk berkembang melalui kebudayaan Barat. (Nakayama, 1985:xii)

Pandangan tradisional Jepang sebagian besar didominasi oleh ajaran Konfusianisme yang mengajarkan hubungan baik antara orang tua dengan anak, atasan dengan bawahan, dan berbagai ajaran yang menekankan pada hubungan antar sesama. Negara Jepang telah menyadari bahwa mereka telah tertinggal dalam teknologi dan ilmu pengetahuan baik dalam segi militer maupun pendidikan. Fukuzawa yang juga menyadari hal itu berusaha agar Jepang dapat kembali mensejajarkan posisi mereka di dunia internasional, atau jika mungkin, melebihi negara-negara barat lainnya. Untuk itu

(22)

Fukuzawa berpendapat bahwa ajaran Konfusianisme tidak lagi sesuai dengan kebutuhan negara untuk berkembang. Karena itu Fukuzawa sangat menyarankan agar masyarakat Jepang termasuk mereka yang berada di pemerintahan mau meninggalkan ajaran Konfusianisme dan mulai mempelajari ilmu pengetahuan dan filosofi Barat.

Penulis menganalisis bahwa pendapat Fukuzawa sesuai dengan konsep modernisasi menurut Bey (1990:35). Beliau berpendapat bahwa modernisasi dalam makna keseluruhannya menunjuk kepada proses perubahan yang mencakup sedikitnya tiga dimensi. Dimensi pertama menunjuk kepada perubahan atau penyesuaian dari nilai-nilai pokok suatu masyarakat dalam menanggapi tuntutan zaman. Dimensi kedua berupa transformasi maupun penerapan nilai-nilai baru itu ke dalam kehidupan politik, ekonomi maupun kebudayaan masyarakat bersangkutan, sedangkan dimensi ketiga menunjuk kepada aspek-aspek teknologi. Dimensi pertama merupakan nilai-nilai hidup yang menjadi landasan bagi ketahanan maupun kelestarian masyarakat yang sedang mengalami perubahan.

Penulis menganalisis bahwa pandangan Fukuzawa yang menganggap nilai-nilai hidup yang ditawarkan oleh ilmu pengetahuan dan filosofi barat adalah yang paling sesuai dengan tuntutan zaman Meiji sesuai dengan dimensi pertama . Fukuzawa pun berpendapat bahwa sebelum maju ke tingkat modernisasi yang lebih tinggi, ilmu pengetahuan Barat yang bersifat fundamental harus terlebih dahulu disebarluaskan melalui institusi-institusi pendidikan pada zaman Meiji. Ia pun berpendapat bahwa sistem pendidikan dan sekolah pada zaman Meiji pun seharusnya dibuat berdasarkan sistem pendidikan dan sekolah yang telah mantap di negara-negara Barat.

(23)

Penulis menganalisis pendapat Fukuzawa tersebut sesuai dengan penjelasan Bey (1990:35) bahwa dimensi pertama bertindak sebagai tangan yang tidak kelihatan atau invisible hand yang mengarahkan dan menyinari dua dimensi lainnya. Menurut Bey (1990:35-36), suatu masyarakat yang menuju ke arah modernisasi harus menyelesaikan penyesuaian nilai pada dimensi pertama terlebih dahulu. Jika tidak maka akan terjadi sebuah kontradiksi kebudayaan.

Di bawah ini penulis akan menjabarkan peran-peran Fukuzawa melalui karya-karya tulisnya yang berhubungan dengan pandangannya terhadap modernisasi pendidikan di Jepang.

3.2.1 Keadaan di Barat (Seiyou Jijou 西洋事情)

Kontak pertama Fukuzawa dengan dunia Barat adalah pada tahun 1854 ketika ia mulai mempelajari Bahasa Belanda. Lima tahun kemudian ia bertemu dengan orang asing untuk pertama kalinya dan pada tahun 1860 ia pergi ke San Francisco dan pada tahun 1862 ke Eropa. Buku pertamanya, Keadaan di Barat atau yang dalam bahasa Inggrisnya disebut juga Keadaan di Barat (Seiyou Jijou 西洋事情) bagian pertama diterbitkan pada tahun 1866. Sebelum terbitnya Keadaan di Barat (Seiyou Jijou 西 洋 事 情), masyarakat Jepang sama sekali tidak mengetahui apapun tentang masyarakat Barat dan kebudayaannya karena ilmu pengetahuan yang masuk ke dalam Jepang saat itu hanya terbatas pada ilmu-ilmu yang berhubungan dengan pengobatan.

(24)

Keadaan di Barat (Seiyou Jijou 西洋事情) menjadi titik awal bagi semua orang Jepang termasuk pegawai pemerintahan dalam mengembangkan pengetahuannya tentang masyarakat barat dan beradaptasi dengan kebudayaan baru. Buku tersebut terjual dengan sangat laris. Bagian pertama sendiri terjual sebanyak 150.000 kopi dan jika digabungkan dengan edisi bajakannya, sudah terjual sebanyak 250.000 kopi. Jika dilihat dari minat baca masyarakat saat itu, jumlah tersebut termasuk sangat besar. Dengan uang yang ia dapatkan dari hasil penjualan buku tersebut, Fukuzawa dapat mendirikan sekolahnya sendiri yang ia sebut Keio Gijuku. Keadaan di Barat (Seiyou Jijou 西洋事情) ditulis dalam tiga bagian.

Bagian pertama berisi tentang penjelasan mengenai organisasi pemerintahan, perusahaan, sekolah, perpustakaan umum, surat kabar, gambaran mengenai pendidikan, sejarah, pemerintahan, ekonomi, dan militer di Amerika Serikat, Belanda, dan Inggris. Sebelum melanjutkan ke bagian kedua, Fukuzawa menulis sebuah bagian yang ia sebut bagian pengantar pada tahun 1867 yang berisi tentang struktur masyarakat dan filosofi kehidupan masyarakat di negara-negara Barat. Bagian kedua yang diterbitkan pada tahun 1870 berisi tentang ilmu politik di barat, termasuk pengertian hak dan kemerdekaan, dan berbagai informasi lainnya. Dalam bagian kedua ini juga diberikan penjelasan mengenai negara Rusia dan Perancis.

Fukuzawa menuangkan apa yang ia pelajari sewaktu berada di Amerika dan Eropa agar masyarakat Jepang dapat mempelajari kebudayaan dan masyarakat barat. Berikut adalah poin-poin yang dideskripsikan oleh Fukuzawa yang berhubungan dengan pendidikan di Barat dalam Keadaan di Barat (Seiyou Jijou 西洋事情):

(25)

2) Perpustakaan Umum

3) Sekolah untuk Tuna Wicara 4) Sekolah untuk Tuna Netra

5) Institusi pendidikan untuk orang yang mengalami keterbelakangan mental (idiot) 6) Museum 7) Pendidikan di Amerika-Serikat 8) Pendidikan di Belanda 9) Pendidikan di Inggris 10) Pendidikan di Rusia 11) Pendidikan di Perancis

Penulis menganalisis karya Fukuzawa yang satu ini sebagai upaya Fukuzawa dalam memulai sebuah langkah modernisasi. Dalam setiap perubahan budaya, diperlukan adanya suatu kontak dengan budaya dari luar yang akan digabungkan dengan budaya asal. Dalam hal ini budaya luar yang dimaksud adalah budaya barat dan budaya asal adalah budaya tradisional Jepang. Fukuzawa mencoba memperkenalkan kebudayaan barat melalui buku Keadaan di Barat (Seiyou Jijou 西洋事情) agar masyarakat Jepang dapat menyesuaikan nilai-nilai tradisional Konfusianisme dengan nilai-nilai budaya modern dari negara-negara barat.

3.2.2 Pendirian Keio Gijuku (慶應義塾)

Dalam pembahasan mengenai latar belakang Fukuzawa Yukichi diatas telah disebutkan bahwa pada tahun 1858, Fukuzawa pernah diperintahkan oleh klannya, untuk pergi ke Edo untuk mengajarkan Bahasa Belanda pada pegawai-pegawai klan di kantor

(26)

cabang Edo. Disinilah karir Fukuzawa dalam bidang pendidikan dimulai. Fukuzawa telah menjadi guru sekolah selama sepuluh tahun tetapi selalu dalam sekolah yang dimiliki oleh klannya dimana ia harus tunduk pada semua peraturan yang ditetapkan oleh klannya tersebut.

Pada tahun 1868, karena terjadi berbagai permasalahan sosial yang berkaitan dengan Reformasi Meiji, minat klan Fukuzawa terhadap pendidikan telah pudar, sedangkan Fukuzawa pada saat itu sedang terinspirasi oleh visi dan misinya untuk mengantar masyarakat Jepang menuju sebuah era baru. Pada saat itu pula, ia mulai dapat meraih sukses dalam keuangannya melalui penjualan bukunya Keadaan di Barat (Seiyou Jijou 西洋事情) dan beberapa karya tulisnya yang lain. Karena itulah saat itu ia mendirikan sebuah sekolah dan menamakannya Keio Gijuku (慶應義塾).

Pada tahun 1868 pada saat peresmian sekolahnya, Fukuzawa membacakan pidato peresmian Keio Gijuku (Keio Gijuku no Ki慶應義塾之記) yang dapat dianggap sebagai sebuah deklarasi pendidikan menuju zaman modernisasi. Keio Gijuku memiliki sebuah sistem sekolah yang berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya saat itu. Sekolah-sekolah pada saat itu menerapkan metode pengajaran yang menjadikan guru sebagai pusat dari seluruh aktivitas belajar. Namun, di Keio Gijuku, tidak terdapat perbedaan antara murid dengan guru maupun guru dengan murid.

Fukuzawa mendirikan Keio Gijuku dengan mengadopsi model sekolah-sekolah di Inggris. Dalam bukunya Keadaan di Barat, Fukuzawa menjelaskan bahwa di Inggris, pemerintah tidak mengatur pendidikan melalui undang-undang. Oleh karena itu sekolah-sekolah di Inggris umumnya didirikan oleh swasta.

(27)

Fukuzawa berhasil menerapkan pandangannya untuk menjadikan sekolah sebagai sebuah institusi kerjasama seperti di perusahaan antara orang-orang yang ingin mempelajari ilmu pengetahuan Barat dimana setiap anggotanya merupakan sebuah individu yang memiliki kuasa untuk bertindak dan diakui oleh institusi tersebut. Ia ingin menjadikan sekolah sebagai sebuah wadah bagi orang-orang yang mempunyai tujuan sama dalam mengejar ilmu pengetahuan dan bersama berkontribusi terhadap kemajuan sekolah.

Dalam suratnya kepada seorang temannya bernama Yamaguchi Ryozo pada tanggal 10 April 1868, tersirat bahwa ia bangga dengan sekolahnya yang meskipun kecil namun mempraktekkan sebuah sistem manajemen yang berkualitas tinggi. Dalam suratnya tersebut ia menulis bahwa ia sendiri bukanlah kepala sekolah dan murid-murid disekolahnya bukanlah muridnya. Ia menyebut murid-murid di sekolahnya sebagai shachu (rekan sejawat) dan ia menyebut dirinya sendiri sebagai shatou (kepala rekan). Jika ada anggota baru yang masuk kedalam sekolah tersebut maka ia akan diperlakukan tidak seperti layaknya karyawan baru dalam perusahaan bukan sebagai murid baru, dan ia diharuskan berpartisipasi dalam memajukan perusahaan tersebut.

Sebagai biaya untuk perawatan dan pemeliharaan sekolah, para anggota baru harus membayar uang kontribusi dan sebaliknya para anggota lama harus memberikan kontribusi mereka dengan cara mengajar atau berpartisipasi dalam manajemen sekolah. Fukuzawa lebih memilih menggunakan kata “uang kontribusi” dibanding “uang sekolah” dengan tujuan agar nuansa institusi dalam sekolah tersebut dapat berkembang dan agar mereka yang belajar dan mengajar disekolah tersebut tetap memiliki pandangan bahwa

(28)

hubungan mereka bukanlah hubungan guru-murid melainkan hubungan antara teman sejawat yang bertujuan sama dalam mempelajari ilmu pengetahuan Barat.

Dalam pidatonya di hari peresmian Keio Gijuku, Fukuzawa mengatakan bahwa sesuatu yang membedakan ilmu pengetahuan barat dari ilmu pengetahuan lainnya adalah bahwa ilmu pengetahuan barat adalah sebuah ilmu yang lahir dari alam dan dibentuk berdasarkan logika yang sistematis. Ilmu pengetahuan barat mengajarkan tentang kemanusiaan dan mengatur keseimbangan antara manusia dengan alam. Fukuzawa berpendapat bahwa semua manusia dimuka bumi ini seharusnya mempelajari ilmu pengetahuan barat. Ia pun menyebut ilmu pengetahuan barat sebagai ilmu kebenaran yang paling dasar.

Untuk menyebarkan ilmu pengetahuan Barat, Fukuzawa berpendapat bahwa yang paling pertama dibutuhkan adalah sebuah sekolah dengan peraturan yang sama dengan peraturan sekolah-sekolah di negara-negara Barat. Karena itulah Fukuzawa mendirikan Keio Gijuku sebagai wadah bagi orang-orang yang ingin mempelajari ilmu pengetahuan barat tanpa memandang perbedaan status ataupun asal-usul.

Penulis menganalisis sistem manajemen sekolah Fukuzawa sebagai salah satu usahanya dalam memodernisasi sistem pendidikan Jepang karena Fukuzawa menerapkan sistem ini dengan berdasarkan pada model-model sekolah umum di Inggris. Di sini dapat dilihat terjadinya sebuah asimilasi antara unsur kebudayaan barat kedalam unsur-unsur kebudayaan Jepang yang menyebabkan sistem pendidikan tradisional Jepang yang menekankan pada hubungan guru-murid tidak digunakan dalam Keio Gijuku melainkan digunakan sebuah sistem baru yang diadopsi oleh Fukuzawa dari sistem pendidikan modern di sekolah-sekolah umum di Inggris.

(29)

Menurut analisis penulis, dengan didirikannya Keio Gijuku sebagai institusi pendidikan swasta pertama di Jepang, Fukuzawa sudah membuat sebuah terobosan dalam pendidikan Jepang pada zaman Meiji.

3.2.3 Majukan Pendidikan (Gakumon no Susume 学問のすすめ)

Diantara semua karya tulis Fukuzawa Yukichi, Majukan Pendidikan (Gakumon no Susume 学問のすすめ) atau yang dalam bahasa Inggrisnya lebih dikenal dengan nama Encouragement of Learning adalah salah satu buku yang paling terkenal. Berbeda dengan karya-karya sebelumnya termasuk Seiyou Jijo yang selama ini cenderung lebih bersifat mendeskripsikan keadaan-keadaan di Barat, Majukan Pendidikan (Gakumon no Susume 学問のすすめ) adalah karya Fukuzawa dimana untuk pertama kalinya ia menuangkan semua pandangannya terhadap pendidikan Jepang.

Salah satu alasan ia tidak menuangkan semua pandangannya pada karyanya sebelumnya adalah kekhawatirannya akan pandangan konservatif pemerintah yang pada saat itu terkenal dengan slogannya “Sonnou Joui尊王攘夷” yang berarti “Muliakan Kaisar, Usir orang Barbar”. Barbar dalam slogan tersebut bermakna orang asing. Namun ketika pemerintah mengeluarkan reformasi untuk menghapus klan-klan didaerah dan membentuk sistem pembagian daerah berdasarkan prefektur pada tahun 1871, Fukuzawa merasa waktu itu adalah saat yang cukup aman untuk mengutarakan pandangan dan pendapatnya kepada masyarakat. Majukan Pendidikan (Gakumon no Susume 学問のすすめ) adalah kumpulan dari tujuh belas essay yang ditulis oleh Fukuzawa Yukichi dan diterbitkan dari tahun 1872 sampai dengan 1876.

(30)

Essay pertamanya yang diterbitkan tahun 1872 adalah yang terlaris. Essay pertamanya diterbitkan dalam bentuk pamflet karena pada saat itu koran dan majalah belum menyebar secara luas. Kalimat pembuka dari Majukan Pendidikan (Gakumon no Susume 学問のすすめ) essay pertama adalah salah satu bagian yang paling terkenal dari bukunya tersebut. Kalimat pertamanya bertuliskan:

“Heaven never create one man above another nor a man below another. The difference between the wise and the foolish is made from whether a person has studied or not”

Artinya:

“Tuhan tidak pernah menciptakan seseorang diatas orang lain ataupun seseorang dibawah orang lain. Perbedaan antara orang yang bijak dan orang yang bodoh terletak pada apakah orang tersebut terpelajar atau tidak terpelajar.”

Dalam Gakumon no Susume Fukuzawa menjelaskan bahwa pendidikan yang diajarkan di sekolah seharusnya adalah pendidikan yang dapat diterapkan langsung dalam masyarakat. Pendidikan yang dapat diterapkan langsung dalam masyarakat disebut oleh Fukuzawa sebagai Jitsugaku 実学 atau oleh penulis diterjemahkan sebagai pembelajaran yang sesungguhnya. Dalam bukunya tersebut Fukuzawa berpendapat bahwa yang ada beberapa materi-materi dasar yang harus diajarkan kepada murid-murid disekolah terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke materi lainnya atau disebut juga dengan urutan sistematis (seisoku 正則).

Materi dasar menurut Fukuzawa adalah huruf kana Jepang yang terdiri dari 47 huruf, korespondensi atau surat menyurat, tatabuku atau akunting, cara menggunakan alat sempoa, cara mengukur berat dan jarak. Baru setelah itu dilanjutkan ke tingkat pelajaran yang lebih tinggi seperti geografi Jepang dan dunia, fisika yaitu untuk mengetahui fungsi benda-benda dibumi, sejarah, ekonomi yaitu mempelajari manajemen di lingkup rumah

(31)

tangga, negara dan dunia, etika yaitu mempelajari perilaku manusia dan hubungan antara manusia dengan masyarakatnya.

Menurut analisis penulis, pendapat Fukuzawa akan perlunya menetapkan urutan sistematis (seisoku 正則) dalam pendidikan dasar di Jepang adalah sebuah bentuk usaha Fukuzawa dalam memajukan pendidikan Jepang pada saat itu. Kurikulum pendidikan pada zaman Meiji sebelum modernisasi lebih menekankan pada pemahaman bacaan tradisional dan penulisan puisi. Sedangkan kurikulum yang digunakan oleh Jepang setelah modernisasi memiliki banyak kemiripan dengan urutan sistematis yang disarankan oleh Fukuzawa.

Penulis menganalisis hal ini sebagai sebuah keberhasilan peran Fukuzawa dalam memajukan pendidikan Jepang zaman Meiji karena kurikulum yang sebelumnya menekankan pada pembacaan tradisional dan penulisan puisi dapat berubah menjadi kurikulum modern seperti yang disarankan Fukuzawa Yukichi melalui urutan sistematik (seisoku 正則).

Dalam bukunya ia juga mengkritik secara halus kurikulum tradisional sekolah-sekolah di Jepang yang menekankan pada pemahaman bacaan tradisional dan penulisan puisi sebagai ilmu yang tidak dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak seharusnya dijadikan sebagai materi dasar. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan Barat itu penting dan ia juga menyarankan agar murid-murid yang sudah dapat membaca kana agar membaca buku-buku dalam bahasa Barat, baik Inggris, Belanda, Jerman, ataupun Perancis.

(32)

Fukuzawa berpendapat bahwa jitsugaku dapat membantu seseorang mencapai kemandirian dan kemerdekaan secara individual dan pada nantinya akan berkontribusi terhadap kemerdekaan negara.

3.2.4 Teori Peradaban (Bunmeiron no Gairyaku 文 明 論之概略)

Teori Peradaban (Bunmeiron no Gairyaku 文 明 論之概略) atau yang dalam bahasa Inggrisnya lebih dikenal dengan nama Outline of Civilization dapat dikatakan sebagai satu-satunya karya Fukuzawa yang paling ilmiah. Karena itu karyanya ini tidak dapat dibaca dengan mudah dan harus dipahami secara sistematis. Isi dari buku ini adalah pembahasan Fukuzawa mengenai unsur-unsur peradaban dalam arti kata peradaban modern dan hubungannya dengan kemajuan negara Jepang. Dalam bukunya ia menulis bahwa pembahasan mengenai peradaban adalah pembahasan mengenai perkembangan pikiran manusia, namun bukan manusia secara individu melainkan pikiran manusia sebagai sebuah kelompok dalam sebuah wadah masyarakat yang lebih besar. Karena itu Fukuzawa menganggap bahwa pembahasan mengenai peradaban adalah pembahasan mengenai pemikiran sebuah kelompok.

Ia menjelaskan bahwa pendidikan pada zaman feodal Jepang hanya dimonopoli oleh pendeta-pendeta Buddha. Dan semua orang yang ingin mendapatkan pendidikan harus belajar langsung di kuil-kuil Buddha. Oleh karena itu mereka disebut dengan Terako yang secara harfiah berarti anak-anak kuil Buddha.

Menurut analisa penulis setelah membaca Teori Peradaban karya Fukuzawa yang telah diterjemahkan oleh Eiichi Kiyooka dalam Fukuzawa Yukichi on Education, Fukuzawa membedakan bahwa pendidikan di Barat bangkit dari kesadaran masyarakat biasa dan kaum-kaum terpelajar sedangkan di Jepang pendidikan dapat bangkit karena

(33)

adanya dari pemerintah. Ia juga menulis bahwa salah satu perbedaan lain antara ilmu Barat dan ilmu di Timur, dalam hal ini Jepang, terletak pada gaya pembelajaran yang diterapkan.

Di Barat gaya pembelajaran bersifat experimental, yakni dengan menerapkan secara langsung ilmu yang ada di kehidupan sehari-hari dan memilah-milah apakah ilmu tersebut layak digunakan sesuai dengan tuntutan zaman atau tidak. Sedangkan di Jepang gaya pembelajaran cenderung bersifat doktrinasi, yakni suatu ajaran diharuskan untuk dipahami tanpa memandang kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran yang dimaksud oleh Fukuzawa adalah ajaran Konfusianisme dan Mencius. Ia menganggap bahwa ilmu yang didapatkan di Barat telah melalui proses pencarian kebenaran yang dapat dibuktikan sedangkan ilmu yang didapatkan di Jepang hanyalah berbentuk sebuah penghormatan terhadap teori yang telah diturunkan secara turun temurun.

Dalam buku tersebut ia mengkritik bahwa para kaum terpelajar di Jepang terlalu terkekang oleh pemerintah dan tidak mau melakukan sebuah usaha agar terlepas dari kekangan tersebut. Ia berpendapat bahwa memang ada beberapa orang yang telah berusaha untuk lepas dari kekangan dari pemerintah namun itu semua tidak akan berhasil apabila mereka masih berada dibawah ajaran Konfusianisme karena sejak semula ajaran Konfusianisme-lah yang telah menyebabkan mereka dikekang oleh pemerintah. Ia berpendapat bahwa dengan ajaran Konfusianisme, para ilmuwan yang mayoritas terdiri dari kaum pendeta dan samurai dan para rakyat biasa menjadi tidak sensitif terhadap hal-hal yang terjadi diluar dunia mereka. Mereka diatur, menerima segala sesuatu apa adanya, dan patuh secara buta terhadap pemerintah dimana mereka menggantungkan

(34)

hidupnya. Dan Fukuzawa menganggap hal ini sebagai sisi paling negatif dari peradaban Jepang.

Fukuzawa sangat berhati-hati dalam membedakan antara kebajikan dan pengetahuan. Ia menerangkan bahwa kebajikan adalah moral seseorang sedangkan pengetahuan adalah tingkat intelektualitas seseorang yakni sejauh mana orang menyerap pendidikan.

Ia mengkategorikan materi-materi yang diajarkan di terakoya pada saat itu adalah ajaran moral. Ia menjelaskan bahwa ajaran yang para murid terima di terakoya memang ada yang dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari namun tidak bersifat ilmiah dan pada akhirnya yang diajarkan di terakoya hanya dapat dipraktekkan pada lingkup pribadi. Sedangkan ilmu-ilmu di Barat ia kategorikan sebagai ajaran moral sekaligus sebuah pengetahuan yang dapat dibuktikan kebenarannya.

Dalam pemikiran Fukuzawa, kebajikan dan pengetahuan masing-masing dapat dibagi menjadi dua bagian yakni yang bersifat publik dan yang bersifat pribadi. Menurut dia kebajikan pribadi hanya dapat diterima disekolah namun tidak mungkin dapat dipraktekkan di luar sekolah, atau jikalau bisapun hanya dapat dipraktekkan sebatas lingkup keluarga, contohnya adalah ajaran di Jepang yakni Konfusianisme. Sedangkan pengetahuan pribadi dapat dibaurkan dalam masyarakat dengan lebih mudah dan perlahan dapat diubah menjadi kecerdasan masyarakat. Ia menggambarkan bahwa ketika orang Jepang sedang berusaha untuk mengubah agar kebajikan pribadi menjadi kebajikan publik, orang-orang di Barat sudah mencapai taraf kecerdasan masyarakat. Karena itulah Fukuzawa selalu mengagungkan ajaran Barat dan mengkritisasi ajaran Konfusianisme di Jepang.

(35)

3.3 Analisis Peran Fukuzawa Yukichi Dalam Modernisasi Pendidikan Jepang Pada Zaman Meiji

Seorang tokoh dapat dikatakan berperan apabila usaha yang dilakukannya dapat memberikan sebuah pengaruh yang baik dan bersifat membangun pada masyarakat. Setelah menganalisis usaha-usaha yang telah dilakukan oleh Fukuzawa Yukichi dalam memajukan pendidikan Jepang zaman Meiji, pada poin ini penulis akan menganalisis pengaruh-pengaruh yang dihasilkan dari usaha-usaha yang telah dilakukan oleh Fukuzawa Yukichi dalam pendidikan Jepang zaman Meiji. Penulis akan menganalisis pengaruh dari Keio Gijuku yang didirikan oleh Fukuzawa Yukichi, dilanjutkan dengan menganalisis peran seorang lulusan dari Keio Gijuku yang cukup terkenal dikalangan pemerintahan Jepang yaitu Ozaki Yukio, setelah itu penulis akan menganalisis pengaruh dari buku-buku Fukuzawa Yukichi terhadap modernisasi pendidikan Jepang pada zaman Meiji.

3.3.1 Peran Keio Gijuku

Keio Gijuku didirikan oleh Fukuzawa Yukichi pada tahun 1858 dan menjadi institusi pendidikan swasta pertama di Jepang dan berkembang menjadi universitas swasta pertama di Jepang pada tahun 1890 dengan tiga buah fakultas yaitu fakultas Sastra, fakultas Hukum, dan fakultas Ekonomi.

(36)

Sejak pendiriannya pada tahun 1858, sejarah Keio Gijuku selalu berkaitan dengan sejarah masa modern Jepang. Pandangan asli Fukuzawa tetap dipertahankan sampai pada Universitas Keio masa sekarang untuk mendukung pembangunan dan modernisasi di Jepang. Sejak pendiriannya sampai sekarang, Universitas Keio telah banyak menghasilkan orang-orang berkualitas sebagai pemimpin baik di bidang sosial maupun bidang ekonomi.

Lulusan Keio Gijuku yang terkenal di pemerintahan antara lain adalah Ozaki Yukio (Menteri Pendidikan Jepang tahun 1898 dan Menteri Kehakiman tahun 1914-1916), sedangkan yang terkenal di bidang ekonomi antara lain Tarisa Watanagase(Gubernur Bank of Thailand) dan Sommai Hoontrakoon (Menteri Keuangan Thailand tahun 1974). Selain itu Universitas Keio juga menjadi universitas swasta pertama yang mengirim muridnya ke luar negeri. Pada tahun 1899 Universitas Keio mengirim empat orang muridnya ke Jerman dan dua orang murid ke Amerika Serikat.

Keio Gijuku pada zaman Meiji telah mendapat reputasi sebagai salah satu sekolah terbaik di seluruh Jepang mengalahkan reputasi sekolah-sekolah negeri lainnya. Salah satu orang yang mengakui reputasi Keio adalah Ozaki Yukio. Berikut adalah kutipan dari autobiografi Ozaki Yukio yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Fujiko Hara:

“Keio was considered to be the best in Japan, enjoying a far higher reputation than any government school. I thought that if I was to pursue my education then I should have the best the country could offer”

Artinya:

“Keio diakui sebagai salah satu dari (sekolah-sekolah) yang terbaik di Jepang, dan mendapatkan reputasi yang jauh lebih tinggi dibanding dengan sekolah-sekolah negeri lainnya. Saya pikir bila saya ingin mengejar pendidikan saya

(37)

maka saya harus mendapatkan pendidikan dari (institusi) yang terbaik di negeri ini.”

Pada tahun 1867 sekitar 100 orang murid mendaftar di Keio Gijuku. Pada saat itu Fukuzawa aktif memberikan kuliah terlebih dalam bidang ekonomi dan politik. Tidak berapa lama kemudian, Fukuzawa merekrut beberapa orang profesor dari luar negeri yang memberikan pengalaman belajar yang sama sekali kepada para muridnya

Dua dekade berikutnya, Universitas Keio berkembang sampai menjadi seperti saat ini. Universitas Keio mulai memperluas bidang ajarannya dengan memperkenalkan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya seperti matematika, ekonomi, pengobatan, dan berbagai ilmu lainnya yang dapat membantu Jepang mengejar ketertinggalannya dari negara-negara Barat. Berbagai konsep baru pun mulai diperkenalkan oleh Universitas Keio dan Fukuzawa Yukichi bersama dengan teman-temannya memperkenalkan beberapa kosakata baru dalam bahasa Jepang untuk mempermudah pengertian suatu istilah pada orang-orang biasa di Jepang.

Salah satu contoh dari kosakata tersebut adalah enzetsu yang oleh Fukuzawa dan teman-temannya perkenalkan untuk menjelaskan arti speech dalam bahasa Inggris atau pidato dalam bahasa Indonesia. Usaha pertama untuk memberikan pidato-pidato dan debat-debat terbuka di Jepang dimulai pada tahun 1874 oleh Fukuzawa Yukichi dan murid-muridnya. Sampai pada saat itu usaha untuk mengadakan sebuah pidato ataupun debat terbuka masih merupakan hal yang asing di Jepang. Setahun kemudian yaitu pada tahun 1875 sebuah organisasi masyarakat yang mendukung kegiatan pidato dibentuk dan

(38)

pada tahun 1876 dibangunlah Aula Pidato Umum di kompleks kampus Universitas Keio di Mita bernama Mita Enzetsu-kan.

Selain itu Einstein dan Sartre pernah diundang untuk memberikan kuliah di Universitas Keio. Einstein memberikan kuliah mengenai teori relativitas umum di Aula Utama kampus Mita pada tahun 1922. Sedangkan Jean-Paul Sartre memberikan kuliahnya mengenai sastra pada tahun 20 September 1966. Kuliah oleh Einstein dimuat dalam surat kabar Universitas Keio edisi 21 November 1922 bernama Mita Shimbun. Mita Shimbun adalah surat kabar mahasiswa paling pertama yang diterbitkan di Jepang pada tahun 1917. Penulis melihat hal ini sebagai pengaruh baik dari Universitas Keio untuk kemajuan pendidikan Jepang karena kuliah-kuliah yang diberikan oleh orang-orang yang berpengaruh di dunia sains tersebut menggambarkan kualitas pendidikan yang telah dicapai oleh Jepang. Selain itu, penulis juga melihat pembentukan surat kabar Mita Shinbun oleh mahasiswa di Universitas Keio juga merupakan sebuah penerapan ajaran Fukuzawa Yukichi mengenai kebebasan dan metode organisasi di Barat oleh murid-muridnya.

Universitas Keio juga memberikan penghargaan-penghargaan doktoral tidak hanya untuk para lulusan Universitas Keio tetapi juga untuk orang-orang yang telah berjasa besar dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.

3.3.2 Ozaki Yukio

Ozaki Yukio adalah seorang negarawan dan politikus Jepang yang sangat berpengaruh karena sikapnya yang kontroversial. Ozaki berperan penting dalam membantu Jepang menemukan identitas kebangsaan dan membentuk sebuah dasar

(39)

kepemimpinan demokrasi pada zaman Meiji. Ozaki telah berperan aktif dalam Parlemen Jepang (Diet) sejak pembentukannya pada tahun 1890 sampai dengan tahun 1953. Ozaki pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dalam kabinet gabungan Okuma Shigenobu dan Itagaki Taisuke pada tahun 1898. Ozaki juga pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dalam kabinet Okuma Shigenobu pada tahun 1914 sampai dengan 1916. Ketika Ozaki menjabat sebagai Walikota Tokyo pada tahun 1903, ia terkenal dengan mengirimkan 3000 pohon sakura ke daerah Tidal Basin di Washington D.C. Amerika Serikat sebagai simbol persahabatan antara kedua negara.

Ozaki Yukio adalah salah satu lulusan Keio Gijuku yang belajar langsung dibawah ajaran Fukuzawa Yukichi ketika ia masih hidup. Dalam autobiografinya yang diterjemahkan oleh Fujiko Hara, tertulis bahwa Ozaki Yukio masuk ke Keio Gijuku pada tahun 1874 ketika ia berumur 14 tahun.

3.3.3 Penggunaan Buku-Buku Hasil Karya Fukuzawa Yukichi di Sekolah-Sekolah Jepang Pada Zaman Meiji

Buku-buku hasil karya Fukuzawa yang digunakan di sekolah-sekolah dasar di Jepang antara lain adalah:

1) Majukan Pendidikan (Gakumon no Susume 学問のすすめ, 1872),

2) Buku Bimbingan Penulisan (Keimou Tenarai no Fumi Jo, 啓蒙手習之文序, 1871),

3) Buku Ilmu Fisika Bergambar (Kyuuri Zukai, 1868), dan 4) Negara-negara di Seluruh Dunia (Sekai Kunizukushi, 1869)

(40)

Atas Dekrit dari Kementerian Pendidikan pada zaman Meiji, banyak sekolah dasar pada saat itu yang menjadikan buku Majukan Pendidikan (Gakumon no Susume 学問のすすめ) sebagai buku teks untuk anak-anak disekolah dasar. Sedangkan ketiga buku lainnya yang terbit sebelum tahun 1872 menjadi buku teks utama yang digunakan pada terakoya di Jepang sebelum Kementerian pendidikan dibentuk pada tahun 1872 (Kiyooka, 1985:43, 65-66).

Penulis menganalisis penggunaan buku-buku hasil karya Fukuzawa dalam dunia pendidikan Jepang khususnya pada zaman Meiji sebagai sebuah keberhasilan Fukuzawa dalam menghantarkan pandangan-pandangan modernisasinya. Fukuzawa percaya bahwa agar Jepang dapat mewujudkan modernisasi, maka yang paling penting adalah sebuah fondasi pendidikan yang kuat berdasarkan pada ilmu-ilmu pengetahuan terapan di Barat.

Referensi

Dokumen terkait

Ciri dan warna pada ornamen rumah Melayu lontiok menggambarkan kehidupan dan kepribadian sehari-hari masyarakat Melayu yang kental dengan adat istiadat yang harus

Kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa promosi penjualan (X 2 ) dengan keputusan konsumen dalam pembelian sepeda motor matic (Y) terdapat hubungan yang signifikan, hal ini dapat

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertumbuhan balita di Posyandu Teratai II Kedunglumbu Pasar Kliwon Surakarta didapatkan pertumbuhan

Selama hari kedua, Annemie Dillen dari Fakultas Teologi Leuven memulai pembicaraan berdasar pada struktur perayaan pembaptisan soal unsur-unsur spesifik dalam tradisi kristiani

Skripsi Merupakan Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.. PROGRAM STUDI KEHUTANAN

Pembagian tema pada umumnya ada dua jenis, yaitu tema mayor dan tema minor, namun penulis hanya fokus pada tema mayor karena tema mayor pada novel sangat terlihat dari awal,

Para aktor non negara melalui internet/ sosial media melakukan langkah-langkah edukatif dengan memberikan informasi yang bermanfaat dan menjelaskan berbagai fakta serta data

30 Saya bermusuhan dengan teman karena berebut pengaruh dari teman yang lain 31 Saya dan teman-teman saling percaya 32 Saya suka ikut tawuran warga antar desa 33