• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan Mobilitas Cerdas. Skripsi. Oleh: Gary Ekatama Bangun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan Mobilitas Cerdas. Skripsi. Oleh: Gary Ekatama Bangun"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan Mobilitas Cerdas

Skripsi

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara Program Studi Ilmu Administrasi Publik

Oleh:

Gary Ekatama Bangun 140903131

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

(2)

ABSTRAK

Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan Mobilitas Cerdas memiliki permasalahan seperti kurangnya kepatuhan masyarakat dalam berlalu lintas, kemacetan lalu lintas yang masih terjadi, jumlah kendaraan yang terus bertambah, moda angkutan yang umum yang sudah tidak layak jalan, oknum supir angkutan umum yang tidak tertib. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan 1. Kebijakan ini bertujuan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat di bidang lalu lintas dan transportasi serta efisiensi dengan memperbaiki manajemen pelayanan transportasi umum, koordinasi instansi terkait berjalan baik namun sumber daya yang disediakan belum memadai. 2. Kecenderungan instansi yang terkait sudah cukup baik sesuai dengan tugas pokok, namun masih belum dapat dikatakan maksimal.

Adapun bentuk penelitian yang penulis gunakan untuk menghimpun data dan informasi untuk membahas hipotesis kerja ataupun yang menjadi fokus penelitian ini adalah bentuk deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Dalam penelitian ini terkait dengan Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan Mobilitas Cerdas, maka penulis menyimpulkan bahwa instansi terkait sudah melakukan upaya mewujudkan mobilitas cerdas sesuai dengan konsep yang dijelaskan namun belum dikatakan berhasil mewujudkan mobilitas cerdas. Didasarkan pada indikator isi kebijakan dan konteks implementasi

Kata kunci: Jakarta Smart City, implementasi kebijakan, mobilitas cerdas

(3)

ABSTRACT

The implementation of the Jakarta Smart City Policy in Realizing Smart Mobility has problems such as the lack of community compliance in traffic, traffic congestion that still occurs, the number of vehicles that continue to grow, public transportation modes that are not roadworthy, unscrupulous public transport drivers. This study uses a descriptive approach. The results of this study indicate 1. This policy aims to accommodate the interests of the community in the field of traffic and transportation and efficiency by improving the management of public transportation services, coordination of relevant agencies runs well but the resources provided are inadequate. 2. The tendency of the relevant agencies is good enough in accordance with the main tasks, but still cannot be said to be maximal.

The form of research that the author uses to collect data and information to discuss the work hypothesis or the focus of this study is a qualitative descriptive form. Data collection techniques used were interviews, observation, and documentation.

In this study related to the Implementation of the Smart City Jakarta Policy in Realizing Smart Mobility, the authors conclude that the relevant agencies have made efforts to realize smart mobility in accordance with the concepts described but have not been said to succeed in achieving smart mobility.

Based on policy content indicators and implementation context.

Keywords: Jakarta Smart City, policy implementation, smart mobility

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala pujian yang patut disematkan kepada-Nya yang mengizinkan Saya untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan Mobilitas Cerdas”. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Strata Satu (S1) di Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu- Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Saya menyadari bahwsanya tanpa bantuan, arahan, dan diskusi dengan berbagai pihak mulai dari masa perkuliahan sampai dengan penulisan skripsi ini sangatlah mustahil untuk Saya selesaikan. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Tunggul Sihombing, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Asima Yanti Siahaan, MA. Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Tunggul Sihombing, MA. Selaku dosen pembimbing untuk setiap nasihat, arahan serta waktu yang diberikan untuk membantu dan membimbing saya dalam proses penulisan skripsi ini.

(5)

5. Staf Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu, pembangunan iklim pendidikan, dan cara pandang selama mengikuti perkuliahan sampai akhir penulisan skripsi ini.

6. Elly Yunika, S.Sos, MM. Selaku orang tua penulis yang tiada hentinya memberikan dukungan moril dan materil kepada saya untuk mengenyam pendidikan sampai dengan ke tingkat pendidikan tinggi meskipun terkadang terasa menyebalkan dan memantik perdebatan kusir. Terima kasih Ma, doa yang terucap serta materi yang Mama keluarkan sungguh sangat membantuku untuk sampai ke tahap ini. Semoga Tuhan selalu menyertai kita dalam kebaikan.

7. dr. Datten Bangun, M.Sc, Sp.FK. Selaku orang tua penulis yang banyak memberikan arahan serta nasihat semenjak penulis menginjakkan kaki di Kota Medan ini sampai dengan waktu penulisan skripsi.

8. Kepada sahabat sekolahku, Yohannes Unggul Sagala, S.H, Fiarusraynal, S.H, Erwin Rozario, S.Kom dan Ario Kristianta, terutama Yohannes Unggul, teman sekelasku sejak MOS sampai dengan lulus SMA dan bersama-sama berkuliah di USU, semoga kesuksesan menyertai kita semua dan sampai jumpa dalam momen-momen absurd yang berikutnya.

9.

Merantau Squad Jakarta, Deddy Hutapea, Muhammad Reza Falefi, Muhammad Rahmanto (Ian), Fajar Aprianta, Putri Ancilia, dan Cindy Priscilla Hutagaol. Terima kasih atas pengalaman Praktik Kuliah Lapangan yang sangat mengesankan di Jakarta, sukses selalu untuk kita semua.

(6)

10.

Sahabat-sahabat nongkrong ku, Agung Kurnia Purnama Ritonga, Tony Adam, Bang Jan dan Gian Sojuaon. Tanpa kehadiran kalian di sini, entah dengan siapa saya akan berbagi cerita dan nongkrong asik.

11.

Seluruh Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik FISIP USU.

12.

Seluruh keluarga besar.

13.

Seluruh pihak yang telah berpartisipasi dan mendukung saya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Medan, Januari 2019 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL... x

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

BAB II ... 11

TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Kebijakan Publik ... 11

2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik ... 11

2.1.2 Ciri-Ciri Kebijakan ... 12

2.1.3 Proses Kebijakan Publik ... 13

2.1.4 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik ... 16

2.1.5 Model Implementasi Kebijakan ... 17

2.2 Konsep Smart City ... 21

2.3 Konsep Smart Mobility ... 25

2.4 Hipotesis Kerja ... 27

BAB III ... 29

METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Bentuk Penelitian... 29

3.2 Lokasi Penelitian ... 30

3.3 Informan Penelitian ... 30

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 36

3.5 Teknik Analisis Data ... 37

3.6 Teknik Keabsahan Data ... 38

BAB IV ... 40

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1. Kebijakan Jakarta Smart City ... 40

4.2. Smart Mobility dalam Kebijakan Jakarta Smart City ... 42

(8)

4.3. Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan

Mobilitas Cerdas ... 44

4.3.1 Isi Kebijakan (Content of Policy) ... 46

4.3.1.1. Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan ... Mobilitas Cerdas Berkaitan Dengan Kepentingan yang Dipengaruhi ... 46

4.3.1.2. Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan ... Mobilitas Cerdas Berkaitan Dengan Jenis Manfaat yang Akan Dihasilkan ... 52

4.3.1.3. Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan ... Mobilitas Cerdas Berkaitan Dengan Derajat Perubahan Yang Diinginkan ... 58

4.3.1.4. Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan ... Mobilitas Cerdas Berkaitan Dengan Kedudukan Pengambil Keputusan ... 65

4.3.1.5. Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan ... Mobilitas Cerdas Berkaitan Dengan Pelaksana Program... 69

4.3.1.6. Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan .. Mobilitas Cerdas Berkaitan Dengan Sumber Daya yang Disediakan ... 73

4.3.2 Konteks Implementasi ... 80

4.3.2.1. Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Meweujudkan . Mobilitas Cerdas Berkaitan dengan Kekuasaan, Kepentingan, dan Strategi Aktor yang Terlibat... 81

4.3.2.2. Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan ... Mobilitas Cerdas berkaitan dengan Karakteristik Lembaga dan Penguasa. ... 87

4.3.2.3. Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan ... Mobilitas Cerdas berkaitan dengan Kepatuhan dan Daya Tanggap ... 93

BAB V ... 99

KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

5.1 Kesimpulan ... 99

5.1.1. Kepentingan yang Dipengaruhi... 100

5.1.2. Jenis Manfaat yang Akan Dihasilkan ... 100

5.1.3. Derajat Perubahan Yang Diinginkan ... 100

5.1.4. Kedudukan Pengambil Keputusan ... 100

5.1.5. Pelaksana Program ... 101

5.1.6. Sumber Daya yang Disediakan ... 101

5.1.7. Kekuasaan, Kepentingan, dan Strategi Aktor yang Terlibat ... 102

5.1.8. Karakteristik Lembaga dan Penguasa. ... 102

5.1.9. Kepatuhan dan Daya Tanggap ... 103

(9)

5.2 Saran ... 103

5.2.1. Kepentingan Yang Dipengaruhi ... 104

5.2.2. Jenis Manfaat Yang Diperoleh ... 104

5.2.3. Derajat Perubahan Yang Diinginkan ... 104

5.2.4. Kedudukan Pengambil Keputusan ... 104

5.2.5. Pelaksana Program ... 105

5.2.6. Sumber Daya Yang Disediakan ... 105

5.2.7. Kekuasaan, Kepentingan, dan Strategi Aktor yang Terlibat ... 105

5.2.8. Karakteristik Lembaga dan Penguasa. ... 106

5.2.9. Kepatuhan Dan Daya Tanggap ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 107

Lampiran……….1

Wawancara Variabel Isi Kebijakan………..1

Observasi Variabel Isi Kebijakan………...9

Dokumentasi Variabel Isi Kebijakan………...10

Wawancara Variabel Konteks Implementasi………..22

Observasi Variabel Konteks Implementasi……….26

 Dokumentasi Variabel Kontes Implementasi ………27

(10)

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 2.1 Implementation as a Political and Administration Process Merilee S. Grindle..20

Gambar 3.1 Model Interaktif Miles dan Huberman 1994 ... 39

Gambar 4.1 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 306 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola Jakarta SmartCity ...47

Gambar 4.2 Tampilan Aplikasi Pelaporan Qlue ……...49

Gambar 4.3 Tampilan Aplikasi Trafi (Transjakarta Application)………..50

Gambar 4.4 Kondisi Armada Transjakarta dan Angkutan OK OTrip ……….54

Gambar 4.5 Pergub Nomor 33 Tahun 2017 Tentang Standar Pelayanan Minimal Layanan Angkutan Umum Transjakarta ………..60

Gambar 4.6 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ………....61

Gambar 4.7 Supir dan Alat Pembayaran OK OTRIP ………..62

Gambar 4.8 Harga Jasa Layanan Angkutan OK OTRIP………...67

Gambar 4.9 Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 78 Tahun 2018 Tentang Tim Pelaksana Program OK OTRIP ………..70

Gambar 4.10 APBD Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2018 ………....74

Gambar 4.11 Data Mengenai Inventaris UP Jakarta Smart City ……...………75

Gambar 4.12 Ruang Kendali UP Jakarta Smart City ……….………76

Gambar 4.13 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 97Tahun 2018 Tentang Tarif Terintegrasi Angkutan Penumpang Umum Dalam Sistem Bus Rapid Transit ………77

Gambar 4.14 Kriteria Pemilihan dan Penetapan Trayek………...83

Gambar 4.15 Slogan di Armada Transjakarta ………..92

Gambar 4.16 Kegiatan di UP Jakarta Smart City ……….………....95

Gambar 4.17 Angkutan OK OTRIP Yang Telah Mendapatkan Label ……….97

Gambar 4.18 Rambu Yang Telah Dipasang di Trayek OK OTRIP ……….98

(11)

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 1.1 Peringkat Smart City Global ... .3 Tabel 3.1 Matriks Informan Penelitian ... 31

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota merupakan sebuah tempat yang menjadi pusat kegiatan masyarakat yang memiliki perkembangan yang cepat. Mulai dari kegiatan ekonomi, sosial, tempat tinggal dan lain sebagainya. Kegiatan yang kompleks di sebuah kota merupakan hal yang biasa terjadi. Dari kegiatan-kegiatan itu pula biasanya akan timbul berbagai gejala yang mengarah kepada terjadinya masalah-masalah, seperti keamanan, kebersihan, transportasi dan lain sebagainya.

Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Sebagai ibu kota Republik Indonesia yang menjadi pusat ekonomi dan pemerintahan memiliki permasalahan yang serupa dengan kota-kota metropolitan dunia seperti masalah urbanisasi, kemiskinan, ketimpangan sosial, penyediaan fasilitas umum, perumahan, tata ruang , listrik, transportasi massal, kemacetan dan polusi udara.(http://bisnis.liputan6.com/read/3019187/)

Untuk itulah Jakarta membutuhkan sebuah stimulan yang efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di dalamnya, mengingat Jakarta merupakan Ibukota Republik Indonesia yang menjadi pusat bisnis dan pemerintahan saat ini dimana banyak orang dari semua kalangan yang memiliki kepentingannya di dalam kota tersebut.

Di zaman modern seperti ini, muncul sebuah konsep yang bernama Smart City atau Kota Pintar. Sebuah kota dikatakan Smart apabila kota tersebut benar- benar dapat mengetahui keadaan kota di dalamnya, memahami permasalahan tersebut secara lebih mendalam, hingga mampu melakukan aksi terhadap

(13)

permasalahan tersebut. Sedangkan dalam buku Pengenalan dan Pengembangan Smart City

Kota cerdas didefinisikan sebagai sebuah konsep pengembangan dan pengelolaan kota dengan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk menghubungkan, memonitor, dan mengendalikan berbagai sumber daya yang ada di dalam kota dengan lebih efektif dan efisien untuk memaksimalkan pelayanan kepada warganya serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan.

(http://smartcity.wg.ugm.ac.id/?p=5958)

Cukup banyak kota-kota di dunia yang telah berhasil menerapkan konsep Smart City di kotanya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan lembaga penelitian Juniper Research pada tahun 2017 yang berfokus pada empat aspek Smart City yaitu mobilitas, kesehatan, keselamatan publik serta produktivitas, diurutkan 20 kota di berbagai negara yang paling berhasil menerapkan Smart City

(http://www.straitstimes.com), yaitu:

(14)

Tabel 1.1: Peringkat Smart City Global

Rank Global City Country

1 Singapore Singapore

2 London United Kingdom

3 New York United States

4 San Fransisco United States

5 Chicago United States

6 Seoul South Korea

7 Berlin Germany

8 Tokyo Japan

9 Barcelona Spain

10 Melbourne Australia

11 Dubai United Arab Emirates

12 Portland United States

13 Nice France

14 San Diego United States

15 Rio de Janeiro Brazil

16 Mexico City Mexico

17 Wuxi China

18 Yinchuan China

19 Bhubaneswar India

20 Hangzou China

Sumber: Juniper Research, Straits Times Graphics, 2017

Sebagai negara tetangga Indonesia, Singapura berhasil meraih peringkat satu negara yang berhasil menerapkan konsep Smart City berdasarkan hasi riset di atas.

Singapura sendiri telah memiliki 1600 aplikasi sistem kota cerdas menyangkut pelayanan publik, kesehatan, transportasi, kebersihan, keamanan, dan pendidikan (https://properti.kompas.com/read/2015/05/07/155130921/). Untuk aspek transportasi sendiri, Singapura telah memanfaatkan teknologi dalam mengatasi permasalahan transportasi di negara tersebut, salah satunya dengan yang diterapkan pada moda transportasi bus, yaitu dengan menggunakan sensor pada setiap bus untuk memantau layanan bus, seperti memantau data kecepatan kendaraan dan jumlah penumpang yang ada di dalamnya serta fitur-fitur seperti Wi-Fi, peta interaktif, dan e-book untuk membuat perjalanan sedikit lebih menyenangkan. (https://www.gemalto.com/review/)

Hal ini merupakan satu langkah baik pemanfaatan teknologi untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, terutama di bidang transportasi. Berbagai fasilitas

(15)

yang disediakan di dalam angkutan publik juga dapat menarik minat masyakat untuk menggunakan angkutan publik ketimbang angkutan pribadi.

Di Indonesia sendiri konsep ini terbilang masih baru, karena konsep ini baru mulai diterapkan di beberapa kota besar di Indonesia karena diyakini dapat menyelesaikan berbagai macam masalah yang ada di perkotaan seperti kemacetan, keamanan warga, pelayanan publik dan penumpukan sampah. Selain untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di perkotaan, konsep ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memberikan kritikan, memberi masukan serta mengawasi kegiatan birokrasi pemerintah.

Konsep kota cerdas ini mementingkan sebuah tatanan kota yang memudahkan masyarakatnya untuk mendapatkan informasi secara cepat dan tepat.

Adapun 6 aspek smart city diantaranya: Smart Governance, Smart People, Smart Living, Smart Mobility, Smart Economy, dan Smart Environment. Beberapa kota yang telah menerapkan konsep Smart City ini adalah Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang.

Untuk Kota Jakarta sendiri sebagai ibu kota dari Republik Indonesia telah menerapkan konsep Smart City pada bulan Desember 2014 silam yang tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Jakarta No. 280 Tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola Jakarta Smart City yang kemudian di revisi menjadi Pergub No. 306 Tahun 2016. Sejak direncanakan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2013-2017, kebijakan Smart City ini termasuk dalam misi pertama. Jakarta Smart City

(16)

dibangun melalui 6 aspek di dalam Smart City. ( http://interactive.smartcity.jakarta.go.id/)

Dalam penerapannya, program ini dinilai masih belum maksimal, terbukti

dengan masih minimnya ketertiban masyarakat

(http://www.rmol.co/read/2015/05/07/201719/), padahal salah satu pilar Smart City yaitu Smart People adalah dengan ditunjukkannya sikap tertib masyarakat.

Salah satunya seperti pelanggaran yang kerap terjadi, yaitu penerobosan jalur Transjakarta (https://otomotif.kompas.com/read/2017/11/29/170200415/), selain membahayakan pengendara, pelanggaran ini juga menyebabkan perjalanan Transjakarta menjadi terhambat. Tentunya sikap masyarakat yang tidak tertib ini akan berpengaruh pada aspek-aspek yang lain dan akan membuat penerapan program ini menjadi terhambat

Aspek lain yang belum terpenuhi dan menjadi salah satu masalah yang sangat vital adalah Smart Mobility. Aspek ini memiliki enam tujuan, yaitu mengurangi polusi, mengurangi kemacetan lalu lintas, meningkatkan keamanan publik, mengurangi polusi suara, mempercepat waktu tempuh, dan mengurangi biaya perjalanan (C. Benevolo et al. 2016). Secara umum selain mengintegrasikan sistem transporasi dengan teknologi digital (ICT), aspek ini merupakan sebuah sistem pergerakan untuk mencapai tujuan, dalam hal ini transportasi dengan pergerakan sesedikit mungkin, hambatan serendah mungkin dengan waktu tempuh sesingkat mungkin. Jakarta merupakan kota dengan kepadatan lalu lintas paling tinggi di Indonesia dan peringkat ketiga di dunia setelah Bangkok dan

Mexico dengan tingkat kemacetan mencapai 58%.

(https://www.tomtom.com/en_gb/trafficindex/)

(17)

Salah satu bentuk Smart Mobility di Jakarta diwujudkan melalui beroperasinya Transjakarta, yang telah beroperasi mulai tahun 2004 silam.

Setidaknya sampai tahun ini, telah ada 13 koridor TransJakarta yang telah beroperasi, ditambah lagi dengan bus-bus pengumpan dan angkutan terintegrasi dari lokasi yang cukup jauh dengan lokasi halte busway serta bus-bus dari luar Jakarta yang terintegrasi dengan Transjakarta. Dalam penelitian Lail (2017), smart mobility dalam kebijakan Jakarta Smart City menyimpulkan bahwa Jakarta telah dikatakan baik dan berhasil dalam menerapkan Smart Mobility di konsep Jakarta Smart City, dilihat dari banyaknya akses masyarakat untuk menggunakan moda transportasi, kerjasama dengan pihak ketiga, dan pembangunan beberapa infrastruktur transportasi. Namun penelitian ini hendak melihat implementasi kebijakan Jakarta Smart City dalam mewujudkan mobilitas cerdas di lapangan, dikarenakan kemacetan parah yang masih terjadi di jalan-jalan di kota Jakarta yang disebabkan karena jumlah kendaraan yang meningkat, ketaatan masyarakat yang kurang, serta imbas dari pembangunan infrastruktur.

Dengan adanya Bus Transjakarta, diharapkan dapat mengurangi jumlah pengguna kendaraan pribadi dan kemacetan parah yang kerap terjadi di Jakarta saat jam-jam sibuk serta memotong waktu tempuh yang biasanya panjang / lama karena kemacetan yang parah. Namun setelah beroperasinya Transjakarta, angka kemacetan di Jakarta tetap meningkat setiap tahunnya, bahkan pada tahun 2017 menurut perhitungan Bappenas, tercatat Jakarta merugi Rp. 67,5 Triliun karena kemacetan yang terjadi (https://news.detik.com/berita/d-3753185/). Selain kerugian waktu dan materil, tingkat polusi udara di Jakarta juga kian memprihatinkan. Data WHO pada 2016 mencatatkan Jakarta bersama dengan

(18)

Bandung termasuk dalam sepuluh kota dengan pencemaran udara terburuk di Asia Tenggara. (https://news.okezone.com/read/2017/08/26/338/1763545/)

Transjakarta sendiri yang memiliki jalur khusus dan diharapkan terbebas dari macet dan kendaraan-kendaraan lain pun ternyata berbeda dari yang diharapkan, seperti yang salah satunya terjadi di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan dan Jalur Pinang Ranti-Pluit. Perjalanan Transjakarta menjadi terhambat karena adanya proyek pekerjaan underpass serta jalur Transjakarta yang tidak steril dari kendaraan-kendaraan yang lain karena separator yang rusak

disebabkan oleh proyek-proyek pembangunan.

(https://megapolitan.kompas.com/read/2018/03/21/07481431/)

Berbagai permasalahan di bidang mobilitas dan transportasi, seperti kepadatan yang kerap terjadi di sarana transportasi di jam-jam tertentu, tidak tepatnya waktu keberangkatan, moda transportasi yang sudah tidak layak jalan, oknum supir yang tidak taat peraturan, kemacetan serta kepadatan yang terjadi di jalanan karena pembangunan infrastruktur, pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi yang terus membludak di Jakarta hingga 12% setahun (http://otomotif.liputan6.com/read/2992556/) menjadi faktor penambah kepadatan lalu lalu lintas Jakarta dikarenakan besaran ruas jalan yang tidak bertambah.

Selain itu, Kebijakan Jakarta Smart City yang dibuat pada masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta periode sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama dan dilanjutkan oleh kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta yang baru, Anies Baswedan yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berbeda, seperti menerapkan sistem pembayaran elektronik OK OTRIP untuk angkutan umum,

(19)

menutup Jalan Jatibaru Tanah Abang, mencabut larangan sepeda motor untuk memasuki jalan Sudirman-Thamrin, dan menghidupkan kembali moda transportasi becak di wilayah DKI Jakarta.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian berjudul

“Implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan Mobilitas Cerdas.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah Bagaimana implementasi kebijakan Jakarta Smart City dalam Mewujudkan Mobilitas Cerdas?

1.3 Tujuan Penelitian

Setiap penelitian memiliki tujuan/sasaran yang hendak dicapai, adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Konten/isi kebijakan

1. Untuk mengetahui kepentingan yang dipengaruhi dengan adanya kebijakan Jakarta Smart City dalam mewujudkan mobilitas cerdas.

2. Untuk mengetahui manfaat yang dihasilkan terkait implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam mewujudkan mobilitas cerdas 3. Untuk mengetahui sejauhmana jangkauan perubahan yang

diinginkan dari implementasi kebijakan Jakarta Smart City dalam mewujudkan mobilitas cerdas.

4. Untuk mengetahui kedudukan pengambil keputusan implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam mewujudkan mobilitas cerdas.

(20)

5. Untuk mendeskripsikan pelaksana program/kebijakan Jakarta Smart City dalam mewujudkan mobilitas cerdas.

6. Untuk mendeskripsikan sumber daya yang tersedia dalam proses implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam mewujudkan mobilitas cerdas.

b. Konteks Implementasi

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat dalam implementasi Kebijakan Jakarta Smart City dalam mewujudkan mobilitas cerdas.

2. Untuk mendeskripsikan karakteristik lembaga dan penguasa dalam implementasi kebijakan Jakarta Smart City dalam mewujudkan mobilitas cerdas.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat mencapai beberapa manfaat diantaranya untuk:

1. Secara Akademis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi di masa yang akan datang khususnya mengenai penerapan kebijakan publik yang dapat mewujudkan konsep Smart City dalam kehidupan perkotaan kota secara umum dan secara spesifik dalam aspek Smart Mobility

2. Secara Praktis

Penelitian ini dapat menjadi masukan maupun bahan pertimbangan bagi Pemerintah Provinsi DKI dalam mewujudkan aspek-aspek Smart City dalam proses pelayanan maupun kebijakan publik yang pada gilirannya dapat

(21)

memenuhi kebutuhan masyarakat di era modern, terutama dalam aspek Smart Mobility, agar terwujudnya mobilitas cerdas di Provinsi DKI Jakarta.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Publik

Kebijakan publik merupakan sebuah hal penting dalam kehidupan bernegara. Melalui kebijakan publik, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah mendapatkan legitimasi, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam kehidupan bernegara/masyarakat. Kebijakan publik sangat berpengaruh terhadap pembentukan suatu tatanan kehidupan di dalam sebuah negara/daerah.

2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan publik dalam definisi yang mashur dari Dye adalah whatever govenrments choose to do or not to do. Maknanya menyatakan bahwa apapun kegiatan pemerintah baik langsung ataupun tidak langsung merupakan sebuah kebijakan (Indiahono 2009:17). Pengertian ini kemudian dikembangkan dan diperbaharui oleh ilmuwan-ilmuwan kebijakan publik sebagai penyempurnaan (Tangkilisan 2003:1).

Wilson (dalam Wahab 2014:13) mendefinisikan kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan, tujuan-tujuan, dan pernyataan-pernyataan pemerintah mengenai masalah-masalah tertentu, langkah yang telah/sedang diambil (atau gagal diambil) untuk diimplementasikan, dan penjelasan- penjelasan yang diberikan oleh mereka mengenai apa yang telah terjadi (atau tidak terjadi).

Edward dan Sharkansky (dalam Kusumanegara 2010:4) menyatakan bahwa kebijakan Publik adalah apa yang dikatakan dan dilakukan pemerintah, mencakup: tujuan-tujuan, maksud program pemerintah, dan peraturan. James E. Anderson (dalam Tangkilisan 2003:2) memberikan definisi kebijakan

(23)

publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah : a. kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai

tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;

b. kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;

c. kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan;

d. kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;

e. kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Sedangkan menurut Woll (dalam Tangkilisan 2003:2) kebijakan publik merupakan aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah yang terjadi di dalam masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Dari beberapa definisi yang telah dipaparkan, dapat diketahui bahwa kebijakan publik merupakan sekumpulan konsep-konsep, peraturan-peraturan dan langkah-langkah yang dibuat oleh lembaga/pejabat pemerintah yang mempengaruhi kehidupan masyarakat yang memiliki tujuan dan maksud ke arah yang lebih baik dalam rangka memecahkan suatu permasalahan yang terjadi di publik/masyarakat didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

2.1.2 Ciri-Ciri Kebijakan

Menurut Suharno (2010: 22), ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan. Ciri-ciri kebijakan publik antara lain:

a. Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan

(24)

kebetulan. Kebijakan-kebijakan publik dalam system politik modern merupakan suatu tindakan yang direncanakan.

b. Kebijakan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri. Kebijakan tidak cukup mencakup keputusan untuk membuat undang-undang dalam bidang tertentu, melainkan diikuti pula dengan keputusan-keputusan yang bersangkut paut dengan implementasi dan pemaksaan pemberlakuan.

c. Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang tertentu.

d. Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, munkin pula negatif, kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah dimana justru campur tangan pemerintah diperlukan.

Dari ciri-ciri kebijakan di atas dapat diketahui bahwa setiap kebijakan harus memiliki tujuan, yaitu untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di dalam masyarakat. Secara nyata kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus memiliki manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat, tidak hanya ada sebagai formalitas belaka. Sebuah kebijakan juga harus memiliki sinergitas dengan kebijakan yang lain dan disusun berdasarkan hukum yang berlaku, agar setiap pihak pelaksana memiliki wewenang untuk menjamin terlaksananya sebuah kebijakan.

2.1.3 Proses Kebijakan Publik

Proses kebijakan publik secara umum dapat dipahami dalam kebijakan publik adalah formulasi kebijakan (termasuk identifikasi masalah kebijakan), implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Tahapan pada kebijakan publik ini memberikan gambaran umum alur pembuatan kebijakan publik.

Andreson, dkk (dalam Tilaar dan Nugroho 2008:186) proses kebijakan melalui tahap tahap yang dijelaskan sebagai berikut:

(25)

a. Agenda Kebijakan (Policy Agenda): Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah?

b.Formulasi kebijakan (Formulation): Bagaimana mengembangkan pilihan- pilihan atau alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?

c. Penentuan kebijakan (Adoption): Bagaimana alternatif ditetapkan?

Persyaratan atau kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan d.Implementasi (Implementation): Siapa yang terlibat dalam implementasi

kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?

e. Evaluasi (Evaluation): Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan?

Pakar yang lain, yaitu Dye (dalam Nugroho 2008:113) mengembangkan Linear Model of Policy Process (Model Linier Proses Kebijakan) dengan enam langkah. Pertama adalah untuk mengidentifikasi masalah kebijakan; kedua adalah untuk mengembangkan model penetapan agenda untuk perkembangan kebijakan;

ketiga adalah melaksanakan proses perumusan kebijakan; keempat adalah menemukan dasar hukum bagi kebijakan dengan melegitimasi kebijakan; kelima adalah tentang implementasi kebijakan; dan keenam adalah tentang evaluasi kebijakan pada implementasi dan kinerja kebijakan.

Menurut Winarno (2016:30) proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Proses tersebut terbagi ke dalam beberapa tahap sebagai berikut:

a. Tahap Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama

b. Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy

(26)

alternative/policy option) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

c. Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternative kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

d. Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternative pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan dari para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain mungkin ditentang oleh para pelaksana.

e. Tahap Evaluasi Kebijakan

Pada Tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

Dari berbagai penjelasan para pakar di atas mengenai proses kebijakan publik, dapat diketahui bahwa tiap tahap pada proses kebijakan publik saling berkaitan satu sama lain. Tahap yang pertama adalah penyusunan agenda kebijakan, yang di dalamnya dilakukan identifikasi/pengenalan terhadap masalah publik. Lalu tahap selanjutnya adalah formulasi kebijakan, setelah kebijakan diformulasikan masuk kepada tahap adopsi kebijakan, pada tahap ini akan dipilih

(27)

alternatif untuk memecahkan persoalan publik yang terjadi. Selanjutnya kebijakan yang telah dipilih dan disahkan masuk ke dalam tahap implementasi untuk mencapai tujuan awal, yaitu menyelesaikan masalah publik. Lalu pada tahap akhir adalah evaluasi, dimana sebuah kebijakan yang telah diimplementasikan dilihat dan dinilai dampaknya dalam memecahkan persoalan publik yang terjadi.

2.1.4 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Menurut Nakamura dan Smallwood (dalam Tangkilisan 2003:17) hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan kedalam keputusan- keputusan yang bersifat khusus. Jadi implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan dalam usaha menyelesaikan masalah publik yang terjadi. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program kepada tujuan kebijakan yang diinginkan.

Grindle (dalam Winarno 2016:135) memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Ripley dan Franklin (dalam Winarno 2016:134) berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata.

Dari beberapa pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan setelah suatu kebijakan disahkan,

(28)

dalam rangka mencapai tujuan untuk memecahkan persoalan publik. Oleh karena itu implementasi memiliki peran penting dalam proses kebijakan, tanpa implementasi sebuah kebijakan hanya akan menjadi sebuah konsep di atas kertas yang tidak akan berdampak bagi persoalan publik.

2.1.5 Model Implementasi Kebijakan

Merilee S. Grindle (dalam Nugroho 2014:221) mencatat bahwa keberhasilan implementasi kebijakan tergantung pada isi kebijakan dan konteks implementasinya, yang disebut sebagai derajat kemampuan implementasi. Dalam hal isi, terkait dengan kepentingan publik yang berusaha dipengaruhi oleh kebijakan; jenis keuntungan yang dihasilkan; derajat perubahan yang dimaksud, posisi pembuat kebijakan dan pengimplementasi kebijakan; serta sumber daya yang dihasilkan. Dalam hal konteks, ada tiga variabel utama yang harus diperhatikan: kekuatan, kepentingan aktor yang terlibat, karakter institusi dan tingkat kepatuhan.

Selanjutnya Grindle seperti yang dikutip oleh Anggara (2014:254) menjelaskan isi kebijakan dan konteks implementasi sebagai berikut:

a. Isi kebijakan

Isi kebijakan atau program akan berpengaruh pada tingkat keberhasilan implementasi. Kebijakan kontroversial, kebijakan yang dipandang tidak populis, kebijakan menghendaki perubahan besar, akan mendapat perlawanan baik dari kelompok sasaran, maupun dari implementornya yang merasa sulit melaksanakan kebijakan tersebut atau merasa dirugikan. Isi kebijakan yang dapat mempengaruhi implementasi menurut Grindle adalah sebagai berikut.

1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh adanya program

Apabila kebijakan tersebut tidak menimbulkan kerugian di salah satu pihak (misalnya, jenis kebijakan redistribution menurut kategori Ripley dan Lowie), implementasinya akan lebih mudah karena tidak menumbulkan perlawanan bagi yang kepentingannya dirugikan

2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan

(29)

Kebijakan yang memberikan manfaat kolektif atau pada banyak orang akan mudah diimplementasikan karena mendapat dukungan dari kelompok sasaran atau masyarakat.

3. Jangkauan perubahan yang diinginkan

Semakin luas dan besar perubahan yang diinginkan melalui kebijakan tersebut, akan semakin sulit pula dilaksanakan. Misalnya, kebijakan antikorupsi dan KKN yang telah berkali-kali dibuat oleh beberapa presiden RI dengan berbagai badan pemeriksa, tetapi menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia karena kebijakan tersebut menuntut banyak perubahan perilaku yang tidak dilaksanakan dengan konsekuen. Kredibilitas pesan kebijakan tidak terpenuhi karena isi kebijakan yang mengatur tentang adanya sanksi tidak dilakukan dengan konsisten 4. Kedudukan pengambil keputusan

Semakin tersebar kedudukan pengambil keputusan dalam kebijakan (baik secara geografis maupun organisatoris), akan semakin sulit pula implementasinya. Kasus demikian banyak terjadi pada kebijakan yang implementasinya melibatkan banyak instansi.

5. Pelaksana program

Ketika pelaksana program memiliki kemampuan dan dukungan yang dibutuhkan oleh kebijakan, tingkat keberhasilannya juga akan tinggi.

6. Sumber daya yang disediakan

Tersedianya sumber daya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan akan mempermudah pelaksanaannya. Sumber daya ini berupa tenaga kerja, keahlian, dana, sarana, dan lain-lain.

Secara singkat, variabel isi kebijakan berbicara tentang sejauhmana kepentingan kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh target group, sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, apakah letak sebuah program sudah tepat, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci, dan apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

b. Konteks Implementasi

Konteks implementasi juga akan berpengaruh pada tingkat keberhasilannya karena baik mudahnya kebijakan maupun dukungan kelompok sasaran, hasil implementasi tetap bergantung pada impelementornya.

Karakter dari pelaksana akan mempengaruhi tindakan pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan karena pelaksana adalah individu yang tidak mungkin bebas dari kepercayaan, aspirasi, dan kepentingan pribadi yang ingin dicapai.

(30)

Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan, terdapat suatu kemungkinan dari pelaksana untuk membelokkan sesuatu yang sudah ditentukan demi kepentingan pribadinya sehingga dapat menjauhkan tujuan dari kebijakan sebenarnya.

Konteks implementasi yang berpengaruh pada keberhasilan implementasi menurut Grindle adalah sebagai berikut.

1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat

Strategi, sumber dan posisi kekuasaan implementor akan menentukan tingkat keberhasilan kebijakan yang diimplementasikannya. Apabila suatu kekuasaan politik merasa berkepentingan atas suatu program, mereka akan menyusun strategi untuk memenangkan persaingan yang terjadi dalam implementasi sehingga mereka dapat menikmati output-nya.

2. Karakteristik lembaga dan penguasa

Implementasi suatu program dapat menimbulkan konflik bagi yang kepentingannya dipengaruhi. Strategi penyelesaian konflik mengenai “siapa mendapat apa” (misalnya, penggusuran pasar tradisional menjadi supermarket) dapat menjadi petunjuk tidak langsung mengenai ciri-ciri penguasa atau lembaga yang menjadi implementor.

Penjelasan mengenai konteks implementasi di atas menjelaskan kepada kita mengenai keterlibatan pihak-pihak serta kepentingan di dalam sebuah kebijakan, bagaimana dukungan implementor terhadap sebuah kebijakan, sehingga mereka akan berusaha membuat strategi dalam menjamin keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Kecendrungan penguasa juga merupakan hal yang berpengaruh dalam keberhasilan implementasi, apabila kepentingan politik mereka tidak diuntungkan karena kebijakan tersebut, maka akan sulit bagi kebijakan tersebut untuk direalisasikan secara maksimal.

(31)

Gambar 2.1 : Implementation as a Political and Administration Process Merilee S. Grindle

Sumber: Anggara 2014:254

Penulis memilih untuk menggunakan model implementasi Grindle karena teori ini memuat variabel-variabel mengenai jangkauan perubahan dan derajat perubahan yang diinginkan dari implementasi sebuah kebijakan. Teori ini juga memuat variabel mengenai strategi aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan. Dalam hal implementasi kebijakan Jakarta Smart City dalam mewujudkan mobilitas cerdas, jangkauan perubahan, derajat perubahan dan strategi aktor yang terlibat dalam implementasi perlu diketahui dengan jelas untuk

Melaksanakan kebijakan dipengaruhi oleh:

(a) Isi Kebijakan:

1. Kepentingan yang

dipengaruhi oleh kebijakan 2. Tipe manfaat yang akan

dihasilkan

3. Derajat perubahan yang akan dihasilkan

4. Letak pengambil keputusan 5. Pelaksana Program 6. Sumber daya yang

dikerahkan (b) Konteks Implementasi

1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat

2. Karakteristik lembaga dan penguasa

3. Kepatuhan dan daya tanggap

Hasil Kebijakan

a. Dampak pada masyarakat, individu, dan kelompok b. Perubahan dan

penerimaan oleh masyarakat

Program aksi dan proyek individu yang didesain dan dibiayai

Program yang dijalankan seperti yang direncanakan

Tujuan yang ingin dicapai

Mengukur Keberhasilan

Tujuan Kebijakan

(32)

menunjang keberhasilan implementasi salah satu aspek smart city ini dalam rangka mewujudkan Jakarta, sebagai ibu kota Republik Indonesia menjadi sebuah kota cerdas yang mampu mengatasi masalah-masalah perkotaan yang terjadi di dalamnya. Selanjutnya adalah kecendrungan rezim/pemerintahan yang sedang berkuasa, kebijakan Jakarta Smart City dibuat ketika masa pemerintahan gubernur Basuki Tjahaja Purnama, seiring dengan periodisasi dan pergantian dengan gubernur yang baru beserta kebijakan-kebijakan yang baru terkait dengan mobilitas/transportasi, kecendrungan rezim ini harus menjadi variabel yang diketahui dengan jelas melalui penelitian ini.

2.2 Konsep Smart City

Smart City atau kota pintar merupakan topik yang penting akhir-akhir ini di seluruh dunia, penyebabnya adalah urbanisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia dalam jumlah besar dan akhirnya terjadi peningkatan jumlah penduduk di perkotaan. Populasi di perkotaan pada tahun 2014 menyumbang 54% dari total populasi global, meningkat dari 34% pada tahun 1960, dan terus tumbuh.

Diperkirakan pada tahun 2017, bahkan di negara yang kurang berkembang, mayoritas penduduk akan tinggal di daerah perkotaan (Global Health Observatory). Perhitungan menunjukkan bahwa jumlah urbanisasi akan terus meningkat seiring dengan proyeksi pertumbuhan jumlah penduduk global yang terus meningkat dan akan menambah 2,5 miliar orang ke populasi perkotaan pada 2050 dan hampir 90% peningkatan terjadi di Asia dan Afrika. (Dameri 2017:44).

Perkembangan internet dengan fitur World Wide Web-nya merupakan hal yang berpengaruh dalam perkembangan konsep Smart City ini di beberapa kota di negara maju. Awalnya penggunaan internet hanya terbatas pada akademisi dan pemerintahan, namun akhirnya perkembangannya begitu pesat sehingga mulai digunakan oleh banyak pihak dan berkembang menjadi media komunikasi dan transaksi massal yang mempengaruhi aspek kehidupan. (Coe et al.2001:2).

Konsep kota cerdas menjadi semakin popular dalam literatur ilmiah dan kebijakan internasional, yang menjadi fokus utama adalah peran teknologi dan sudah banyak

(33)

juga penelitian yang dilakukan terkait aspek modal manusia/pendidikan, modal sosial dan kepentingan lingkungan sebagai aspek penting untuk mendorong pertumbuhan perkotaan. (Nijkamp et al. 2009:48).

Smart city memiliki banyak definisi dari banyak penelitian yang telah dilakukan. Adapun salah satu definisinya yaitu, “A Smart City is a city well performing in a forward-looking way in these six characteristics, built on the

„smart‟ combination of endowments and activities of self-decisive, independent and aware citizens” (Giffinger et al. 2007:11). Definisi di atas menjelaskan bahwa Smart City merupakan kota yang berkinerja baik dan memiliki tujuan ke depan dalam ekonomi, masyarakat, pemerintahan, mobilitas, lingkungan, dan kehidupan, yang dibangun di atas kombinasi cerdas dari aktivitas warga yang mandiri dan memiliki kesadaran.

Berbeda dengan pernyataan sebelumnya, Hall (dalam Berardi et al.

2012:4) mendefinisikan smart city sebagai berikut,

“A city that monitors and integrates conditions of all of its critical infrastructures, including roads, bridges, tunnels, rails, subways, airports, seaports, communications, water, power, even major buildings, can better optimize its resources, plan its preventive maintenance activities, and monitor security aspects while maximizing services to its citizens”

Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa Smart City merupakan sebuah kota yang memantau dan mengintegrasikan semua infrastruktur fisik penting dalam rangka mengoptimalkan sumber daya, merencanakan kegiatan pemeliharaan, dan memantau aspek keamanan serta terus berusaha memaksimalkan layanan kepada warganya. Harrison mendefinisikan smart city yaitu, “A city connecting the physical infrastructure, the IT infrastructure, the

(34)

social infrastructure, and the business infrastructure to leverage the collective intelligence of the city” (Berardi et al. 2012:4). Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa Smart City sebagai kota yang menghubungkan infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, dan sosial dalam rangka meningkatkan kecerdasan kolektif kota.

Beberapa definisi mengenai smart city yang lain yaitu,

”….a city to be smart when investments in human and social capital and traditional (transport) and modern (ICT) communication infrastructure fuel sustainable economic growth and a high quality of life, with a wise management of natural resources, through participatory governance”

(Caragliu et al, 2011:50).

“A smart city is a well-defined geographical area, in which high technologies such as ICT , logistic, energy production, and so on, cooperate to create benefits for citizens in terms of well-being, inclusion and participation, environmental quality, intelligent development; it is governed by a well-defined pool of subjects, able to state the rules and policy for the city government and development” (Dameri 2017:7)

Kedua pernyataan di atas menjelaskan bahwa sebuah kota dikatakan pintar apabila investasi pada sumber daya manusia dan modal sosial serta infrasturktur komunikasi dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menjamin kehidupan yang berkualitas dengan sistem pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana melalui tata pemerintahan yang baik dan partisipatif agar bermanfaat bagi masyarakat banyak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan, keterbukaan dan partisipasi, kualitas lingkungan, dan kecerdasan pengembangan, dan tentu hal tersebut harus diatur oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang baik, berorientasi pada masyarakat dalam rangka pembangunan kota itu sendiri.

Dari beberapa pengertian mengenai Smart City di atas, dapat diketahui bahwa konsep Smart City merupakan konsep kota yang mengintegrasikan

(35)

teknologi informasi dengan infrastruktur fisik dan infrastruktur sosial dalam rangka pengelolaan sumber daya secara optimal. Melalui konsep ini memungkinkan pemerintah kota untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat dan infrastruktur dalam rangka memantau perkembangan kota, menyelesaikan masalah yang terjadi di perkotaan, dan untuk menjamin keberlangsungan hidup perkotaan yang berkualitas.

Adapun beberapa indikator Smart City diantaranya (Giffinger et al.

2007:11):

a. Smart Economy (ekonomi cerdas) mencakup faktor-faktor di sekitar daya saing ekonomi sebagai inovasi, kewirausahaan, merek dagang, produktivitas dan fleksibilitas pasar tenaga kerja serta integrasi dalam pasar internasional.

b.Smart People (masyarakat cerdas) tidak hanya berkaitan dengan tingkat kualifikasi atau pendidikan warga, tetapi juga oleh kualitas interaksi sosial mengenai integrasi dan kehidupan publik dan keterbukaan terhadap dunia

"luar"

c. Smart Governance (pemerintahan cerdas) meliputi faktor-faktor seperti partisipasi politik, kualitas pelayanan dan administrasi publik

d.Smart Mobility (pergerakan/mobilitas cerdas) merupakan ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi, serta sistem transportasi perkotaan yang ramah lingkungan. Aksesibilitas lokal maupun internasional merupakan faktor- faktornya

e. Smart Environment (lingkungan cerdas) yang berkaitan dengan isu-isu perlindungan lingkungan alami dan Smart Living (pola hidup yang pintar) yang berkaitan dengan aspek kualitas hidup masyarakat kota juga merupakan dua elemen yang tidak kalah penting.

Beberapa aspek/indikator smart city menunjukkan bahwa konsep ini berusaha mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kota dan masyarakatnya menuju ke arah yang lebih baik lagi dengan pemanfaatan teknologi, namun tidak hanya mengutamakan pemanfaatan teknologi, namun masyarakat juga dituntut untuk merubah pola perilaku menjadi masyarakat yang cerdas, sehingga dapat mewujudkan lingkungan dan pola hidup yang cerdas serta dapat memenuhi tuntutan-tuntutan pembangunan berkelanjutan.

(36)

2.3 Konsep Smart Mobility

Mobilitas/pergerakan merupakan salah satu fasilitas terpenting untuk mendukung fungsi kawasan perkotaan. Namun, mobilitas juga berdampak negatif dan menimbulkan permasalahan di kota seperti polusi, lalu lintas, kemacetan, waktu terbuang banyak, ongkos angkutan publik yang cukup mahal dan lain-lain.

Oleh karena itu, Smart Mobility merupakan salah satu aspek yang penting dalam Smart City, karena dapat menghasilkan manfaat yang tinggi untuk kualitas hidup hampir semua lapisan masyarakat di kota (Benevolo et al. 2016:13).

Mobilitas harus menjamin ketersediaan ruang untuk semua pengguna jalan (kendaraan bermotor dan pejalan kaki) dan juga harus sesuai dengan prinsip- prinsip pembangunan berkelanjutan, salah satunya memenuhi kepentingan publik dan privat. Beberapa manfaat implementasi konsep ini seperti yang diungkapkan oleh Balint (2017:283) yaitu,

“Other major benefits of the implementation of this concept consists in reducing the costs of traveling for freight and passengers, sustainable development of the existing and new infrastructure systems and most importantly it improved the environmental aspect that is connected to the transport infrastructures”

Dari pernyataan di atas dapat diketahui manfaat utama dari implementasi konsep Smart Mobility ini adalah mengurangi biaya perjalanan, dan yang terpenting adalah memperbaiki aspek lingkungan yang terhubung dengan infrastruktur transportasi. Pernyataan lain mengenai pentingnya manfaat dari Smart Mobility atau mobilitas cerdas yaitu,

“Mobility is one of the most important facilities to support the functioning of the urban area. However, transport produces several severe negative impacts and problems for the quality of life in cities, such as: pollution; traffic; street congestion; long time to cross the city and therefore a negative impact on work and life balance; high cost of public

(37)

local transport services; and so on. Therefore, Smart Mobility is one of the most promising topics in Smart City, as it could produce high benefits for the quality of life of almost all the city stakeholders.” (Benevolo et al.

2016:14).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa Smart Mobility merupakan salah satu aspek dalam Smart City, aspek ini berbicara mengenai teknologi informasi dan komunikasi dalam menunjang sistem transportasi di perkotaan untuk mengatasi dampak-dampak negatif yang terjadi akibat sistem transportasi. Aspek ini merupakan aspek penting karena memberikan banyak keuntungan hampir semua pihak yang ada di perkotaan. Penjelasan lainnya mengenai Smart Mobility yaitu,

“The topic regards for the first the role played by innovative technologies to both implement greener transport facilities and to collect and process data for a better management of transport systems.

However, the author outlines also that the better returns could be obtained, only if citizens are actively involved in smart mobility actions, thanks to their personal behaviours. Smart mobility is therefore not only a technological affair, but also a social and cultural approach.” (Dameri 2017:85)

Berdasarkan penjelasan di atas, Smart mobility atau mobilitas cerdas membahas mengenai penerapan teknologi dalam bidang transportasi untuk mencapai kedua tujuan, yaitu moda transportasi yang ramah lingkungan dan manajemen transportasi yang lebih baik. Namun, hasil yang lebih baik dapat diperoleh jika warga secara aktif terlibat dalam tindakan mobilitas cerdas, berkat perilaku pribadi mereka. Karena mobilitas cerdas bukan hanya mengenai penerapan teknologi, tetapi juga pendekatan sosial dan budaya. Mobilitas cerdas juga memiliki pengertian sistem pergerakan yang memungkinkan terjadinya pemenuhan kebutuhan dengan pergerakan seminim mungkin, hambatan serendah mungkin, dan waktu tempuh sesingkat mungkin (Muliarto. 2015:12).

(38)

Tujuan Mobilitas Cerdas diringkas dalam enam kategori berikut (Benevolo et al. 2016:15):

1. mengurangi polusi;

2. mengurangi kemacetan lalu lintas;

3. meningkatkan keselamatan orang;

4. mengurangi polusi suara;

5. meningkatkan kecepatan transfer;

6. mengurangi biaya transfer

Dari beberapa penjelasan mengenai Smart Mobility di atas, dapat diketahui bahwa aspek ini merupakan salah satu aspek penting dari konsep Smart City.

Aspek Smart Mobility ini membahas tentang terintegrasinya sistem teknologi informasi dengan infrastruktur transportasi untuk menciptakan sebuah Intelligent Transport System (Sistem Transportasi Pintar) yang memungkinkan pengumpulan dan pemrosesan data serta informasi dalam rangka mewujudkan manajemen sistem transportasi yang lebih baik lagi dan tersedianya sistem transportasi yang layak, mendukung dan efisien bagi semua kalangan masyarakat. Dilihat dari tujuan Smart Mobility dalam rangka mengurangi polusi, mengurangi kemacetan, meningkatkan keselamatan masyarakat, mengurangi polusi suara, mempercepat kecepatan transfer dan mengurangi biaya transfer, konsep ini juga bertujuan untuk membangun sebuah sistem transportasi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Aspek ini juga menuntut kesadaran msyarakat untuk merubah perilaku mereka dalam berlalu lintas menjadi lebih tertib, untuk dapat mewujudkan aspek mobilitas cerdas dengan lebih baik lagi.

2.4 Hipotesis Kerja

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas suatu masalah penelitian yang menyangkut perilaku, gejala, kejadian, kondisi, dan fakta sesuatu hal yang telah terjadi maupun untuk masa yang akan datang, dan harus diuji kebenarannya.

Hipotesis kerja atau hipotesis alternatif (Ha) cenderung untuk mempermudah

(39)

pekerjaan peneliti serta menjadi panduan dalam rangka memecahkan masalah penelitian. (Suprapto, 2013:58). Dalam penelitian kualitatif, hipotesis kerja tidak diuji namun diusulkan sebagai suatu panduan dalam proses analisis data, hipotesis kerja merupakan hipotesis yang sebenarnya, yang asli, yang bersumber dari kesimpulan teoretik. (Tatang, 2000:84).

Adapun hipotesis kerja yang dirumuskan oleh peneliti, yaitu implementasi kebijakan Jakarta Smart City dalam mewujudkan mobilitas cerdas meliputi konten atau isi kebijakan, yaitu kepentingan yang dipengaruhi dengan adanya program, manfaat yang dihasilkan, jangkauan perubahan yang diinginkan, kedudukan pengambilan keputusan, pelaksana program, dan sumber daya yang dibutuhkan serta konteks implementasi, yaitu kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat serta karakteristik lembaga dan penguasa.

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Bentuk Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan bentuk penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Melalui metode ini, penulis berusaha mendapatkan gambaran secara sistematis, faktual dan jelas mengenai fenomena-fenomena yang terjadi sehubungan dengan topik yang dibahas.

Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan dan melukiskan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta (Moleong. 2008:6).

Metode penelitian kualitatif atau biasa disebut metode penelitian naturalistik adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono. 2010).

Penelitian kualitatif memiliki karakteristik sebagai berikut (Sugiyono 2015:9):

a. Dilakukan pada kondisi yang alamiah, langsung ke sumber data dan peneliti adalah instrument kunci;

b. Penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar, sehingga tidak menekankan angka;

c. Penelitian kualitatif lebih menekankan pada proses daripada produk atau outcome;

d. Penelitian kualitatif melakukan analisis data secara induktif;

e. Penelitian kualitatif lebih menekankan makna (data dibalik yang teramati).

(41)

Penelitian ini berusaha untuk mendapatkan data mengenai implementasi kebijakan Jakarta Smart City dalam mewujudkan mobilitas cerdas meliputi aspek konten kebijakan, yaitu kepentingan yang terpengaruh, jenis manfaat yang akan dihasilkan, jangkauan perubahan yang diinginkan, kedudukan pengambil keputusan, pelaksana program, dan sumber daya yang ada serta konteks implementasi, yaitu kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat serta karakteristik lembaga dan penguasa.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini bertempat di Provinsi DKI Jakarta, secara spesifik di Kota Administratif Jakarta Selatan. Penulis memilih lokasi di Kota Jakarta Selatan dikarenakan, kemacetan cukup parah kerap terjadi di daerah ini, seperti di daerah Pancoran, Kuningan, Mampang, dan Duren Tiga. Hal ini disebabkan tingginya jumlah kendaraan yang melintas, tidak hanya dari Jakarta sendiri, tetapi juga dari kota-kota lain seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang serta adanya beberapa proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan di daerah ini. Selain itu di Jakarta Selatan juga terdapat beberapa titik rawan banjir saat hujan yang dapat mengakibatkan kemacetan lalu lintas.

3.3 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian yang dianggap penulis relevan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah Kepala Unit Pelaksana Jakarta Smart City, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Kepala Suku Dinas Perhubungan Jakarta Selatan, Pengamat Transportasi Jakarta, Masyarakat DKI Jakarta, serta dari pihak Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta.

(42)

Tabel 3.1: Matriks Informan Penelitian

No Status Informan

Informasi yang dibutuhkan Metode Instrumen Jumlah

1 Unit Pengelola Jakarta Smart City

a. Isi Kebijakan

1. Kepentingan yang dipengaruhi dengan adanya smart mobility dalam kebijakan Jakarta Smart City

2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan dengan adanya implementasi smart mobility dalam kebijakan Jakarta Smart City

3. Jangkauan perubahan yang diinginkan terkait dengan implementasi program smart mobility 4. Kedudukan Unit

Pelaksana Jakarta Smart City selaku pihak pelaksana Kebijakan Smart City dalam

WM PW 1

(43)

implementasi smart mobility

5. Kemampuan dan dukungan Unit Pelaksana Jakarta Smart City dalam implementasi smart mobility

6. Ketersediaan sumber daya dalam implementasi smart mobility

b. Konteks Implementasi 1. Kepentingan, kekuasaan

dan strategi dalam implementasi program smart mobility

2. Karakteristik lembaga dan penguasa

2 Dinas

Perhubungan Provinsi DKI Jakarta

a. Isi Kebijakan

1. Kepentingan yang dipengaruhi dengan adanya smart mobility dalam kebijakan Jakarta Smart City

2. Jenis manfaat yang akan

WM PW 1

Gambar

Tabel 1.1: Peringkat Smart City Global
Gambar 2.1  :   Implementation as a Political and Administration    Process Merilee  S
Tabel 3.1: Matriks Informan Penelitian
Gambar 3.1: Model Interaktif Miles dan Huberman 1994 (Usman 2011:88)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengimplementasian dimensi smart city secara holistik di beberapa kota di Indonesia berjalan cukup lambat, namun Provinsi Jakarta melakukan beberapa inovasi yang menjadi

Penelitian ini merupakan bagian dari implementasi kerjasama smart city melalui kemitraan sister city antara kota Bandung - Seoul dimana Pemerintah Kota Bandung dipandang sebagai

Berdasarkan pengamatan atau temuan dalam proses penelitian di lapangan.. didukung oleh sumber daya yang memadai. 4) Sejauh mana komunikasi Lembaga Binjai Smart City

Degan melihat permasalahan pada implementasi smart city di Negara Indonesia adalah melakukan perluasan pemanfaatan TIK dalam berbagai bidang layanan pemerintah,

Keywords: Training, Media Literacy, College Students, Smart City Abstrak - Konsep kota cerdas smart city yang menjadi isu besar di kota-kota besar di seluruh dunia mendorong peran

ix ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN SMART CITY PADA DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DI KOTA TANJUNGPINANG TAHUN 2019-2022 Oleh: Ega Pujianti 160563201016 ABSTRAK Gerakan

masyarakat dalam rangka mewujudkan Smart City belum pernah dilakukan.71Sosialisasi kepada masyarakat dalam Implementasi Peraturan Walikota Nomor 55 Tahun 2019 Tentang Sistem

Makalah ini membahas implementasi program Smart City di Kota Bandung, Indonesia, nhằm nâng cao hiệu quả và chất lượng cuộc