• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP KASUS WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BUILD OPERATE AND TRANSFER (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 676 K/PDT/2010).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP KASUS WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BUILD OPERATE AND TRANSFER (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 676 K/PDT/2010)."

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

i

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN

BUILD

OPERATE AND TRANSFER

(STUDI KASUS PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NOMOR NO. 676

K/PDT/2010)”.

ANAK AGUNG AYU INTAN PUSPADEWI NIM. 1203005012

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

K/PDT/2010)”.

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

ANAK AGUNG AYU INTAN PUSPADEWI NIM. 1203005012

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

PADA TANGGAL 22 DESEMBER 2015

Pembimbing I

Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH. NIP. 195503061 98403 1 003

Pembimbing II

(4)

iv

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Nomor 200/UN14.1.11.1/PP.05.02/2016 Tanggal 21 Januari 2016

Ketua : Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH ( ……….)

Sekretaris : I Nyoman Darmadha, SH.,MH ( ...)

Anggota : 1. Dr. I Ketut Westra, SH.,MH (………...)

2. Suatra Putrawan, SH.,MH (………….…..)

(5)

v

Puji syukur saya panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Kasus Wanprestasi Dalam Perjanjian Build Operate And Transfer (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor no. 676 K/Pdt/2010)”. Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Berhasilnya penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan, fasilitas serta bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(6)

vi

6. Bapak I Nyoman Darmadha, SH.,MH., Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam penyusunan skripsi ini.

7. Bapak Suatra Putrawan, SH.,MH., Dosen Pembimbing Akademik yang telah mendidik, mengarahkan dan memberi masukan-masukan selama masa perkuliahan.

8. Segenap Bapak/Ibu Dosen/Asisten Dosen yang telah mendidik dan membekali ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan.

9. Segenap Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam mengurus segala keperluan administrasi baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi ini.

10.Segenap Staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam mencari segala literatur yang bersangkutan terhadap penulisan skripsi ini.

(7)

vii

Kresna Suarbawa, Anak Agung Ayu Wulan Aprilia Putri, Anak Agung Ayu Kusuma Dewi, Anak Agung Ayu Dwi Ratna Sari, Anak Agung Ngurah Siwanandha Putra, Anak Agung Ade Wichasena Perbawa, Anak Agung Ayu Chomalea Dewi dan segenap keluarga Jero Sekarmukti yang telah memotifasi dan mendoakan saya selama penulisan skripsi ini.

13.Untuk sahabat penulis I Dewa Ayu Inten Sri Damayanti, Luh Putu Yeyen Karista Putri, Nyoman Putri Purnama Santhi, Ni Made Ayu Pasek Dwilaksmi, Ni Kadek Ayu Purnama Dewi, Komang Alit Adnya Sari Dewi, Dewi Lestari, Putu Kevin Saputra, Aris Wirdiatara, Taka, Leona Laksmi Suryadi, Sabo, Maria Margaretha, Bayu serta teman-teman AMP dan teman-teman kelas A serta seluruh teman-teman angkatan 2012 yang selalu memberikan dorongan dan semangat selama perkuliahan dan membantu dalam penyusunan skripsi ini.

(8)

viii

16.Untuk orang terkasih yang selalu membantu dan memotivasi dengan kesabarannya Ida Bagus Gede Angga Juniarta, SH.

17.Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, atas dorongan morilnya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, akhir kata penulis harapkan, semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum di Indonesia pada umumnya dan pembaca khususnya.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Denpasar, 22 Desember 2015

(9)

ix

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 22 Desember 2015

Yang menyatakan

(10)

x

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.4.1 Tujuan umum ... 6

1.4.2 Tujuan khusus ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.5.1 Manfaat teoritis ... 7

1.5.2 Manfaat praktis ... 7

1.6 Landasan Teoritis ... 7

(11)

xi

1.7.1 Jenis Penelitian ... 12

1.7.2 Jenis Pendekatan ... 12

1.7.3 Sumber Bahan Hukum ... 13

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 15

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, BUILD OPERATE, TRANSFER, DAN WANPRESTASI 2.1 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ... 18

2.1.1 Pengertian Perjanjian ... 18

2.1.2 Subjek Dan Objek Perjanjian ... 20

2.1.3 Syarat Sahnya Perjanjian ... 26

2.1.4 Unsur-Unsur Perjanjian ... 31

2.1.5 Asas-Asas Dalam Perjanjian ... 32

2.2 Tinjauan Umum Tentang Build Operate and Transfer ... 34

2.2.2 Pengertian Build, Operate, And Transfer ... 34

2.2.3 Keuntungan Dan Kerugian Buil, Operate, And Transfer ... 39

2.2.3 Risiko Yang Ditimbulkan Dalam Build Operate Transfer ... 42

2.2.4 Asas-asas dalam Buil, Operate, And Transfer ... 43

2.3 Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi ... 44

(12)

xii

BAB III Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 676 K/Pdt/2010 dalam Kasus Wanprestasi Berdasarkan Perjanjian Build Operate And Transfer (BOT) antara PT. (PERSERO) Pelabuhan Indonesia I Dengan PT. Indoterminal Belawan Perkasa

3.1 Kasus Posisi Perkara Gugatan antara PT. (PERSERO) Pelabuhan

Indonesia I dengan PT. Indoterminal Belawan Perkasa ... 50

3.1.1 Gugatan PT. Indoterminal Belawan Perkasa Sebagai Penggugat ... 52

3.1.2 Jawaban PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I Sebagai Tergugat... 54

3.1.3 Putusan Pengadilan Negri Medan ... 56

3.1.4 Putusan Pengadilan Tinggi Medan ... 59

3.1.5 Putusan Mahkamah Agung... 63

3.2 Perjanjian Antara PT. Indoterminal Belawan Perkasa Dengan PT. (PERSERO) Pelabuhan Indonesia I sah menurut hukum ... 65

(13)

xiii

4.1 Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Build Operate And Transfer (BOT) Antara PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I dengan PT Indoterminal Belawan Perkasa ... 79 4.2 Akibat Hukum Wanprestasi Berdasarkan Perjanjian Build Operate And

Transfer (BOT) Antara PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I dengan PT Indoterminal Belawan Perkasa ... 86 BAB V PENUTUP

(14)

xiv

dilakukan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I dengan PT. Indoterminal Belawan Perkasa telah disepakati kedua belah pihak. Isi perjanjian yang telah disepakati dalam perjanjian BOT, yaitu PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I memiliki prestasi untuk menyediakan tanah yang akan dibangun instalasi terminal minyak kelapa sawit, sedangkan PT. Indoterminal Belawan Perkasa berkewajiban untuk membangun instalasi terminal minyak kelapa sawit dan setelah jangka waktu perjanjian berakhir maka PT. Indoterminal Belawan Perkasa berkewajiban untuk mengembalikan tanah beserta bangunan membangun instalasi terminal minyak kelapa sawit kepada PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I setelah berakhirnya jangka waktu yang telah disepakati. Jangka waktu perjanjian BOT ini selama 13 tahun. Didalam pelaksanaannya, PT. Indoterminal Belawan Perkasa wanprestasi karena terlambat untuk mengembalikan tanah beserta bangunan instalasi terminal minyak kelapa sawit kepada PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I.

Penelitian hukum ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris, menggunakan pendekatan kasus dengan melakukan studi kasus terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 676/K/Pdt/2010 dan menggunakan menggunakan pendekatan perundang-undangan.

Perjanjian BOT yang dilakukan antara PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I dengan PT. Indoterminal Belawan Perkasa sah berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya Perjanjian. Sedangkan mengenai keterlambatan pengembalian tanah beserta bangunan instalasi terminal minyak kelapa sawit, maka PT. Indoterminal Belawan Perkasa berkewajiban untuk mengembalikan tanah beserta bangunan instalasi terminal minyak kelapa sawit kepada PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I, dan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I berkewajiban membayar bunga 1% yang menjadi hak PT. Indoterminal Belawan Perkasa.

(15)

xv

Pelabuhan Indonesia I PT. Indoterminal Belawan Perkasa has been agreed by both parties. The agreement that has been agreed in the BOT agreement, namely PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I have achievements to provide land to be built of palm oil terminal installation, while PT. Indoterminal Belawan Perkasa is obliged to build a palm oil terminal installation and after the term of the agreement expires, PT. Indoterminal Belawan Mighty obliged to restore land and buildings to build palm oil terminal installations to PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I. BOT agreement period is for 13 years. In the implementation, PT. Indoterminal Belawan Perkasa too late to restore the land and building installations palm oil terminal to the PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I.

Legal research is shaped by using empirical juridical approach to the case by conducting a case study on the Supreme Court Decision Number 676 / K / Pdt / 2010, this study also menggubnakan approach to legislation and legal concept analysis approach.

BOT agreement made between PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I PT. Mighty Belawan Indoterminal valid under the terms of Article 1320 of the Civil Code on the validity of the Agreement. As for the delay in the return of land and building installations palm oil terminal, PT. Indoterminal Belawan Mighty obliged to return the land and building installations palm oil terminal to the PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I, and PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I shall pay interest of 1% is rightfully PT. Indoterminal Belawan Perkasa.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur mempunyai tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, merata baik materil maupun spiritual.

Pembangunan tidak hanya dilakukan di berbagai bidang tertentu saja, tapi pada berbagai bidang yang meliputi segala aspek kehidupan, yaitu pembangunan dibidang politik, ekonomi, sumber daya alam, sumber daya manusia, budaya, pertahanan dan keamanan. Maka sebagai suatu negara berkembang perlu adanya suatu pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum (infrastruktur) dari berbagai aspek kehidupan.

Melakukan pengadaan infrastruktur itu dibutuhkan dana yang sangat besar, yang akan terasa berat apabila hanya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Daerah (APBN dan APBD). Melihat keterbatasan pemerintah melalui APBN maupun APBD dalam penyediaan dana untuk pembangunan infrastruktur ini, maka dituntut adanya model-model baru pembiayaan proyek pembangunan.

(17)

Build Operate Transfer (BOT) mulai dikenal sebagai perjanjian kerja sama dalam proyek-proyek infrastruktur.1

BOT merupakan suatu konsep yang mana proyek dibangun atas biaya sepenuhnya perusahaan swasta atau kerja sama dengan BUMN dan setelah dibangun dioperasikan oleh kontraktor dan setelah tahapan pengoperasian selesai, sebagaimana ditentukan dalam perjanjian BOT, kemudian dilakukan pengalihan proyek tersebut pada pemerintah selaku pemilik proyek.

Perjanjian pembangunan dengan sistem BOT tidak lain adalah sebuah kontrak atau perjanjian antara pemilik proyek (Pemerintah) dengan pihak lain sebagai operator atau pelaksana proyek. Dalam hal ini pemilik proyek memberikan hak pada operator atau pelaksana untuk membangun sebuah sarana dan prasarana umum serta mengoperasikannya untuk selama jangka waktu tertentu dan mengambil seluruh atau sebagian keuntungan dan pada akhir masa kontrak harus mengembalikan proyek tersebut pada pemilik proyek.2

Perjanjian yang dibuat dalam BOT merupakan suatu pengikat antara para pihak untuk melakukan kerja sama yang menimbulkan hubungan hukum. Isi perjanjian BOT terdapat prestasi yang telah disepakati, yang dimana salah satu pihak berhak atas prestasi dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi.

Kerja sama ini menjadi alternatif solusi kerja sama yang saling menguntungkan, BOT dilakukan dalam jangka waktu yang lama bahkan nyaris dalam jangka waktu satu generasi sehingga perlu dikaji lebih mendalam

1 Budi Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (Build Operate Transfer), Genta Press, Yogyakarta, h. 12.

(18)

keuntungan dan kerugian yang akan muncul dikemudian hari. Juga berkaca dari permasalahan-permasalahan yang timbul dengan menggunakan sistem kerja sama ini.

Penelusuran tentang kerja sama ini dapat dilihat dari proses awal dilakukannya kerja sama hingga pada tahap pelaksanaan. Dengan melihat perjanjian terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban perlu dikaji apakah terlaksana dengan semestinya yaitu sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Bentuk perjanjian BOT ini tidak diatur secara rinci dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun tetap memiliki dasar hukum yaitu dalam Pasal 1 angka 14 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah menyebutkan bangun guna serah adalah

Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.

Kenyataannya juga sebuah proyek BOT tentunya tidak seindah dan semudah yang telah dijelaskan diatas. Permasalahan demi permasalahan dapat saja muncul dalam pelaksanaan proyek. Untuk itu perlu dirancang sedemikian rupa agar proyek BOT dapat berjalan sesuai rencana serta memberikan keuntungan pada para pihak yang terkait.

(19)

pengelolaan terminal minyak kelapa sawit di pelabuhan belawan. Kelapa sawit merupakan komuditas yang potensial dipasarkan di dalam perekonomian dunia.

Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup potensial di dunia dalam menghasilkan komuditas ini, dalam hal ini untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kelancaran pelabuhan bongkar muat, maka antara PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I dengan PT Indoterminal Belawan Perkasa bermaksud membangun instalasi pemuatan terminal minyak kelapa sawit di pelabuhan belawan yang menggunakan kerja sama dengan sistem BOT dalam kesepakatan bersama No. A.I.1289/PPI.PP.72 tertanggal 8 Maret 1993.

Seiring dengan berjalannya pembangunan dan pengelolaan instalasi pemuatan minyak kelapa sawit di Pelabuhan Belawan, PT Indoterminal Belawan Perkasa tidak menjalankan prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian BOT. maka perbuatan tersebut dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian BOT antara PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I dengan PT Indoterminal Belawan Perkasa.

(20)

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut;

1. Apakah perjanjian yang dilakukan antara PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I dengan PT. Indoterminal Belawan Perkasa sah menurut hukum ?

2. Bagaimanakah akibat hukum wanprestasi dalam Perjanjian Build Operate and Transfer antara PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia I dengan PT Indoterminal Belawan Perkasa?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah dalam penulisan skripsi ini untuk mendapat uraian lebih terarah perlu kiranya diadakan pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang dikemukakan. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut diatas, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

(21)

2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup pembahasannya mengenai akibat hukum dari wanprestasi dalam Perjanjian Build Operate and

Transfer antara PT. Pelabuhan Indonesia I dengan PT Indoterminal Belawan Perkasa.

1.4 Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut;

1.4.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah untuk dapat memahami tentang perjanjian Build Operate And Transfer (BOT) yang dilakukan antara pemerintah dengan pihak swasta untuk membangun infrastruktur umum. 1.4.2 Tujuan Khusus

tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui dan mendeskripsikan secara lebih mendalam mengenai perjanjian pembangunan dan pengelolaan terminal minyak kelapa sawit di Pelabuhan Belawan yang dilakukan PT. Pelabuhan Indonesia I dengan PT Indoterminal Belawan Perkasa sah menurut hukum.

2. Mengetahui dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang akibat hukum dari wanprestasi dalam Perjanjian Build Operate and

(22)

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi untuk menyelasaikan permasalahan dibidang hukum.

2. Penelitian ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan, pengalaman dan dokumentasi ilmiah.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Menambah wawasan dan cakrawala dalam kaitannya dengan pengaturan mengenai perjanjian Build Operate And Transfer (BOT) serta akibat hukum apabila terjadinya wanprestasi dalam perjanjian Build Operate And Transfer (BOT).

2. Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung dalam penelitian ini.

1.6 Landasan Teoritis

Landasan teoritis Untuk membahas permasalahan yang telah dipaparkan skripsi ini secara lebih mendalam, perlu kiranya dikemukakan teori, konsep, landasan-landasan terhadap permasalahan tersebut yang didasarkan pada literatur

(23)

1.6.1 Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum yang dimaksud dalam teori ini untuk setiap perbuatan hukum dilakukan oleh pihak kreditor dan debitor dapat menjamin kepastian hukum bagi para pihak apabila terjadi suatu wanprestasi.

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.3

1.6.2 Teori Perjanjian

Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

Membuat suatu perjanjian harus memperhatikan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu syarat sahnya perjanjian, yaitu:

(24)

1. Adanya kata sepakat

2. Kecakapan dalm membuat perjanjian 3. Hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menjelaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, perjanjian yang dibuat oleh para pihak ditentukan isinya oleh para pihak dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan, ketertiban umum dan kesusilaan, selain itu, ketentuan ini memiliki suatu kekuatan mengikat karena perjanjian yang dibuat memiliki kekuatan mengikat layaknya sebagai suatu undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Itikad baik dalam suatu perjanjian sangat penting sebab dengan adanya itikad baik maka para pihak akan melaksanakan perjanjian sebagaimana yang telah disepakati hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Menurut teori lama yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan kata sepakat untuk memberikan akibat hukum. dari definisi ini telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (timbul/lenyapnya hak dan kewajiban).4

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan

(25)

kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Adapun tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru :

1. Tahap Pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan 2. Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak

antara para pihak

3. Tahap Post Contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.5 1.6.3 Teori Build Operate And Transfer (BOT)

Menurut Clifford W. Garstang, menyebutkan BOT adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana kontraktor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga kontraktor harus menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Kontraktor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai penggantian atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.6

BOT dapat dimaknai sebagai teknik untuk mengembangkan proyek-proyek infrastruktur dengan menggunakan inisiatif dan pendanaan dari pihak swasta. Seperti proyek-proyek infrastruktur meliputi beragam fasilitas yang berfungsi utama untuk melayani kebutuhan masyarakat, untuk memberikan pelayanan sosial dan mempromosikan kegiatan ekonomi di sektor swasta. Adapun 3 ciri proyek BOT, yaitu:

5Ibid.

(26)

1. Pembangunan (build)

Pemilik proyek sebagai pemberi hak pengelolaan memberikan kuasanya pada pemegang hak (kontraktor) untuk membangun sebuah proyek dengan dananya sendiri. Desain dan spesifikasi bangunan umumnya merupakan usulan pemegang hak pengelolaan yang harus mendapat persetujuan dari pemilik proyek.

2. Pengoprasian (operate)

Merupakan masa atau tenggang waktu yang diberikan pemilik proyek pada pemegang hak untuk selama jangka waktu tertentu mengoperasikan dan mengelola proyek tersebut untuk diambil manfaat ekonominya. Bersamaan dengan itu pemegang hak berkewajiban melakukan pemeliharaan terhadap proyek tersebut. Pada masa ini pemilik proyek dapat juga menikmati sebagai hasil sesuai dengan perjanian jika ada.

3. Penyerahan kembali (transfer)

Pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak pengelolaan dan fisik proyek pada pemilik proyek setelah masa konsensi selesai tanpa syarat. Pembebanan biaya penyerahan umumnya telah ditentukan dalam perjanjian mengenai siapa yang menganggungnya.7

(27)

1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian

Dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian Yuridis empiris. Dipilihnya jenis penelitian yuridis, karena dalam penulisan skripsi ini menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian Build Operate and Trnasfer (BOT), sedangkan penelitian empiris, karena dalam membahas permasalahan penelitian ini menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara memadukan bahan-bahan hukum yaitu dengan melihat bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat, serta melihat hukum secara nyata, dan mengetahui mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi.

1.7.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conseptual Approach) dan pendekatan kasus (the case approach),

Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini. 8 Selanjutnya dilanjutkan dengan menganalisis permasalahan yang ada sesuai dengan kosep – konsep hukum yang ada.

Pendekatan yang terakhir adalah pendekatan kasus yang dilakukan dengan cara melakukan kajian terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang

(28)

dihadapi, dengan melihat kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Maka penulis menggunakan studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 676 K/Pdt/2010 mengenai Perjanjian Build Operate and Transfer yang dilakukan PT. Pelabuhan Indonesia I dengan PT Indoterminal Belawan Perkasa sebagai lapangan untuk dilakukannya penelitian.

1.7.3 Sumber Bahan Hukum/Data

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan tiga sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tersier.

1) Sumber bahan hukum primer

Sumber data hukum primer berasal dari penelitian lapangan yang diperoleh langsung dari sumber di lapangan. Dalam penulisan ini penulis menggunakan penelitian dengan pendekatan kasus dengan menganalisis Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 676 K/Pdt/2010. Maka sumber dilapangan yang digunakan terdapat dalam putusan Mahkamah Agung Nomor No. 676 K/Pdt/2010.

2) Sumber bahan hukum sekunder

(29)

diperoleh dari internet. Peraturan perundang-undangan yang digunakan antara lain:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Poko-Pokok Agraria

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

4. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara

5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perbendaharaan Negara

8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

(30)

11.keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No. 470/KMK.01/1994 tentang tata cara penghapusan dan pemanfaatan barang milik/kekayaan negara

12.Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No. 248/KMK.04/1995 tentang perlakuan pajak penghasilan terhadap pihak-pihak yang melakukan kerjasama dalam bentuk perjanjian bangun guna serah (Buil, Operate, And Transfer/ BOT)

3) Sumber bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus besar bahasa Indonesia, kamus istilah computer, ensiklopedia hukum dan internet.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum/Data

(31)

konsep-konsep yang berkaitan dengan permasalahan atau isu hukum pada tulisan ini.9

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif analisis dengan menggunakan metode evaluatif, metode sistematis, metode interprestatif dan metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan.

Metode evaluatif adalah penelitian yang bertujuan mengumpulkan informasi tentang apa yang terjadi yang merupakan kondisi nyata mengenai keterlaksanaan rencana yang memerlukan evaluasi.

Metode sistematis adalah segala usaha menguraikan dan merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya.

Metode interprestatif adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.Karena suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

(32)
(33)

2.1 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau contract (Inggris).1 Perjanjian sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan

Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Perjanjian dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum.

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak berarti para pihak yang bersepakat memiliki suatu hubungan hukum untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Hubungan hukum ini sering disebut sebagai perikatan. Perikatan didefinisikan sebagai suatu hubungan hukum yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.2

1 Salim, op.cit, H.160.

(34)

yang mengandung janji-janji atau sanggupan yang diucapkan atau ditulis.3

Perjanjian dapat dilakukan secara lisan dan secara tertulis. Perjanjian lisan biasanya dilakukan oleh masyarakat adat untuk ikatan hukum yang sederhana. Sedangkan perjanjian tertulis biasanya dilakukan oleh masyarakat yang modern, berkaitan dnegan bisnis yang hubungan hukumnya kompleks. Perjanjian tertulis ini yang hubungan hukumnya kompleks disebut dengan kontrak. Namun tidak semua perjanjian tertulis diberikan judul kontrak, tergantung kepada kesepakatan para pihak, sifat, materi perjanjian dan kelaziman dalam penggunaan istilah untuk perjanjian itu.4 Adapun beberapa pandangan para Sarjana mengenai perjanjian adalah:

Rutten menyatakan bahwa

“perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan-peraturan yang ada, tergantung dari persesuaian kehendak dua orang atau lebih orang-orang yang ditunjukkan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.”5

3 R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h.1

(35)

Subekti menyatakan bahwa, “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan sesuatu.”7

2.1.2 Subjek Dan Objek Perjanjian

Pihak-pihak dalam perjanjian adalah sebagai berikut: a. Antara orang dengan orang

b. Antara orang dengan badan usaha berbadan hukum c. Antara orang dengan badan usaha bukan badan hukum8

Apabila perjanjian dibuat antara orang dengan orang, maka orang-orang yang bertindak sebagai pihak-pihak harus cakap bertindak menurut hukum yaitu orang dewasa yang cakap melakukan perbuatan hukum yang telah berusia 21 tahun dan berakal sehat. Sedangkan tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

6Ibid.

7 R. Subekti, loc.cit.

(36)

dan hukum lainnya, maupun akta pendirian badan usaha itu sendiri.

Menurut Sri Soedewi Masjchoen bahwa badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan, yaitu berwujud himpunan, dan harta kekayaan yang disendirikian untuk tujuan tertentu dan dikenal dengan yayasan.9

Selanjutnya Salim HS berpendapat bahwa:

“badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan

(arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban, berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa unsur-unsur badan hukum, antara lain:

1. Mempunyai perkumpulan 2. Mempunyai tujuan tertentu 3. Mempunyai harta kekayaan

4. Mempunyai hak dan kewajiban, dan

5. Mempunyai hak untuk menggugat dan digugat.”10

Adanya badan hukum disamping manusia tunggal adalah suatu realita yang timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat. manusia selain mempunyai kepentingan perseorangan juga mempunyai kepentingan bersama dan tujuan bersama yang harus diperjuangkan bersama pula, Karena itu mereka berkumpul mempersatukan diri dengan membentuk suatu organisasi dan memilih pengurusnya untuk mewakili mereka. Mereka juga memasukan harta kekayaan masing-masing menjadi milik bersama,

(37)

dalam kesatuan kerjasama tersebut dianggap perlu sebagai kesatuan yang baru, yang mempunyai hak-hak dan kewajiban anggota-anggotanya serta dapat bertindak hukum sendiri sebagaimana halnya manusia sebagai subjek hukum. Badan hukum memiliki hak dan kewajiban, serta dapat pula mengadakan hubungan hukum baik antara badan hukum dengan orang manusia sehingga badan hukum dapat mengadakan perjanjian-perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa dan segala macam perbuatan dilapangan harta kekayaan.11

Badan hukum merupakan badan-badan perkumpulan yakni orang-orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak hukum atau dapat dikatakan melakukan perbuatan hukum seperti manusia.

Dengan demikian badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya, oleh karena itu badan hukum dapat bertindak dengan perantara-perantara pengurus-pengurusnya. Badan hukum dikategorikan sebagai subjek hukum sama dengan manusia disebabkan karena:

1. Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri 2. Sebagai pendukung hak dan kewajiban

3. Dapat digugat dan menggugat di muka pengadilan

(38)

berjiwa dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: 1. Badan hukum publik

Badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya, maka badan hukum publik merupakan badan hukum negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan oleh pemerintah atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, seperti Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah tingkat I dan II, Bank Indonesia, dan Perusahaan Negara.

Perusahaan Milik Negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Badan Usaha Milik Negara bentuknya ada dua macam, yaitu Persero dan Perum.

(39)

BUMN).

2. Badan hukum privat

Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang didalam badan hukum itu. badan hukum privat merupakan badan hukum swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu yakni keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain menurut hukum yang berlaku secara sah, seperti perseroan terbatas, koperasi, yayasan, dan badan amal.

Badan usaha tidak berbadan hukum. perkumpulan sosial kemasyarakatan, maka yang berhak mewakili perkumpulan itu adalah pihak yang ditunjuk oleh anggaran dasar atau anggaran rumah tangganya.12

Sedangkan mengenai objek perjanjian menurut Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan bahwa, pokok perjanjian adalah barang yang dapat diperdagangkan. Barang yang dapat diperdagangkan ini mengandung pengertian luas, karena yang dapat diperdagangkan bukan hanya barang yang tampak oleh mata namun juga yang tidak tampak oleh mata. objek dari perjanjian adalah barang dan jasa. Jasa

(40)

bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud. Melakukan suatu perbuatan tertentu atau tidak melakukan suatu perbuatan.14

Tanah sebagai benda yang tidak bergerak yang mempunyai nilai strategis dan ekonomis, karena tanah mempunyai fungsi penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanah yang ada diseluruh wilayah Republik Indonesia adalah tanah yang harus dipergunakan, diusahakan, dimanfaatkan, dipelihara, dilindungi, dan dikelola sebaik-baiknya dan dapat mewujudkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.

Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perusahaan swasta dan masyarakat pada umumnya tidak terlepas dari kebutuhan akan tanah, disebabkan kegiatan yang dilakukannya pada umumnya berada diatas tanah. Tanah dapat dipergunakan untuk keperluan mendirikan bangunan. Kebutuhan akan tanah ini terus meningkat dari tahun ke tahun seiring pesatnya pembangunan. Dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Pengertian tanah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Poko-Pokok Agraria dinyatakan sebagai berikut:

(41)

permukaan bumi.

Tanah yang dikuasai oleh pemerintah kabupaten/kota masih ada yang berupa tanah kosong yang tidak mempunyai nilai ekonomis atau nilai ekonomisnya rendah bagi pemerintah kabupaten/kota. Maka agar tanah kososng ini dapat bernilai ekonomis maka pemerintah mendayagunakan atau mengoptimalkan tanah kosong ini dalam bentuk melaksanakan kerjasama dengan perusahaan swasta. Tanah tersebut diberikan kepada pihak swasta untuk mendirikan bangunan gedung diatas tanah yang dikuasai oleh pemerintah.16 2.1.3 Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian mempunyai kekuatan hukum apabila perjanjian tersebut dibuat sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (1) menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dbuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berkaitan dengan hal ini, maka suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi empat syarat yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu ;

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Mengandung arti bahwa antara para pihak dalam perjanjian telah ada persesuaian kehendak masing-masing.

15 Supriadi, 2009, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, h.3

(42)

sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Sebelum ada persetujuan biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negotiation), yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya sehingga tercapai persetujuan yang mantap.17

Sepakat merupakan salah satu syarat yang amat penting dalam sahnya suatu perjanjian. Sepakat ditandai dengan adanya penawaran dan penerimaan dengan cara tertulis, lisan, diam-diam, dan simbol-simbol tertentu. Kesepakatan dengan cara tertulis dapat dilakukan dengan akta otentik maupun akta dibawah tangan.

Akta dibawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta ini dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Akta dibawah tangan dimana para pihak menandatangani kontrak itu diatas materai (tanpa keterlibatan pejabat umum)

2. Akta dibawah tangan yang didaftar oleh notaris/pejabat yang berwenang 3. Akta dibawah tangan dan dilegalisasi oleh notaris/pejabat yang berwenang.18

17 Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad II), h.89

(43)

Kesepakatan secara lisan banyak terjadi dalam pergaulan masyarakat sederhana. Misalnya saat berbelanja di pasar. Kesepakatan secara diam-diam juga banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari saat berbelanja di swalayan dengan mengambil barang menyerahkan kepada kasir dan membayar barangnya. kesepakatan menggunakan simbol juga banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari yaitu saat kita berbelanja di warung untuk membeli rokok maka dengan menempel dua jari di mulut merupakan simbol untuk membeli rokok.19

Kesepakatan sesungguhnya merupakan inti dari perjanjian. Kapan kesepakatan itu terjadi merupakan pertanyaan yang sangat penting. Karena kapan kesepakatan itu terjadi sebagai saat lahirnya perjanjian, ada berbagai teori untuk kapan lahirnya perjanjian, yaitu:

1. Teori Kehendak

Menurut teori ini, pada hakekatnya yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah kehendak. Suatu penerapan konsekuan dari teori ini adalah bahwa kalau terjadi perbedaan atau pertentangan antara pernyataan dengan kehendaknya maka tidak terjadi perjanjian. Teori ini akan menghadapi kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.

(44)

terjadi pertentangan antara kehendak dengan pernyataan, maka perjanjian dianggap terjadi seperti yang dituangkan dalam keterangan atau pernyataan.

3. Teori Kepercayaan

Menurut teori ini tidak semua keterangan atau pernyataan yang menyebabkan terjadinya perjanjian, tetapi hanyalah keterangan atau pernyataan yang menimbulkan kepercayaan bahwa hal itu memang sungguh-sungguh dikehendaki.20

b. Kecakapan untuk membuat perikatan

Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum karena kecakapan bertindak dapat melahirkan perjanjian yang sah. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum, dalam KUH Perdata Pasal 1330 disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian.

1. Orang yang belum dewasa, yang ditentukan dalam Pasal 330 KUHPerdata adalah mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

(45)

3. Orang Perempuan dalam hal tertentu dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang.21 orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya.

Akan tetapi hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu adalah pokok perjanjian karena merupakan objek perjanjian dan prestasi yang harus dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau setidaknya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus jelas, ditentukan jenisnya ataupun jumlahnya. Keharusan mengenai suatu hal tertentu artinya apa

(46)

Kausa yang halal dalam perjanjian yaitu isi dari perjanjian itu sendiri. Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan defenisi dengan jelas tentang causa yang halal. Dalam KUHPerdata dijelaskan bahwa sebab yang halal adalah :

1. Bukan tanpa sebab 2. Bukan sebab yang palsu 3. Bukan sebab yang terlarang

Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu sebab terlarang apabila dilarang oleh Undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Rumusan Pasal 1337 sesungguhnya tidak memberikan batasan yang pasti tentang makna sebab terlarang maka apabila tidak terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian itu batal demi hukum. Hal ini berarti dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian dilakukan dan tujuan para pihak tersebut dalam melahirkan persetujuan adalah gagal. Hal suatu syarat subtyektif, jadi syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian ini dapat dibatalkan. Jadi, perjanjian yang telah dibuat akan tetap berlaku selama tidak ada pembatalan dari para pihak.23

(47)

Perjanjian dibuat berdasarkan pada unsur-unsur pokok. Salah satu unsur pokok tidak ada, maka perjanjian menjadi timpang, dan perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai akibat hukum. unsur esensialia dari suatu perjanjian mewujudkan bentuk utuh dari suatu perjanjian, jika hal itu tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima.24

b. Unsur Naturalia

Unsur yang sudah diatur dalam undang-undang dan berlaku untuk setiap perjanjian, apabila para pihak tidak mengaturnya.25

c. Unsur Aksidentalia

Suatu peristiwa yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang nanti ada atau tidak ada peristiwa mana menjadi unsur aksidentalia mengikat para pihak.26 2.1.5 Asas-Asas Dalam Perjanjian

Menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan berbagai asas umum yang merupakan pedoman atau patokan serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat, sehingga pada

24 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.35. 25 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, loc.cit.

(48)

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata, yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas

yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

3. Menentukan isi perjanjia, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan 4. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.27

Asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang.

b. Asas Konsensualitas

Asas konsensualitas memperlihatkan kepada kita semua, bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, segara setelah orang-orang tersebut mencapai

(49)

1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu syarat-syarat perjanjian yang salah satunya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.28

c. Asas Personalitas

Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan: “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri’.

Dari rumusan tersebut pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh subjek hukum pribadi hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.29

d. Asas Pacta Sunt Servada

Asas Pacta Sunt Servada disebut juga dengan asas kepastian hukum, asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas Pacta Sunt Servada dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.30

28 Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.48.

29 Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjadja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Perdasa, Jakarta. h.14.

(50)

merupakan istilah yang baru dalam kegiatan ekonomi indonesia. Walaupun jika melihat sejarahnya konsep BOT sebenarnya merupakan konsep yang sudah memiliki umur yang cukup tua yaitu sekitar 300 sebelum masehi dilakukan di kota Eretria yunani (Athena).

Pada hakekatnya konsep BOT yang diterapkan pada proyek infrastruktur pemerintah, merupakan suatu konsep yang mana proyek dibangun atas biaya sepenuhnya perusahaan swasta, beberapa perusahaan swasta bekerjasama dengan BUMN dan setelah dibangun dioperasikan oleh kontraktor dan setelah tahap pengoperasian selesai, sebagaimana ditentukan dalam perjanjian BOT, kemudian pengalihan proyek tersebut pada pemerintah selaku pemilik proyek.31

Adapun beberapa pendapat sarjana mengenai pengertian BOT. Menurut Clifford. W Garstang menyebutkan bahwa

“BOT adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang

mana kontraktor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga kontraktor harus menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Kontraktor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai penggantian atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.”32

Menurut Neal Bieker dan Cassie Boggs,

“bahwa bentuk kerjasama BOT dapat dilakukan jika pemerintah atau

badan usaha milik pemerintah mengadakan suatu perjanjian dengan suatu perusahaan 18ector swasta dimana perusahaan tersebut tersedia untuk

(51)

proyek sebelum fasilitas atau proyek tersebut diserahkan kembali kepada

pemerintah diakhiri masa konsesi.”33

Pengertian perjanjian Bangun Guna Serah dapat pula dirujuk menurut Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No. 248/KMK.04/1995 tentang perlakuan pajak penghasilan terhadap pihak-pihak yang melakukan kerjasama dalam bentuk perjanjian bangun guna serah (Buil, Operate, And Transfer/ BOT), yang menyebutkan bahwa:

BOT adalah bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, dimana pihak investor diberikan hak untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian Buil, Operate, And Transfer/ BOT, dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa bangun guna serah berakhir.

Menurut keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia No. 470/KMK.01/1994 tentang tata cara penghapusan dan pemanfaatan barang milik/kekayaan negara, yang menentukan perjanjian Bangun Guna Serah (Buil, Operate, And Transfer/ BOT) adalah:

Pemanfaatan barang/milik kekayaan negara berupa tanah oleh pihak lain, dengan cara pihak lain tersebut membangun bangunan atau sarana lain, berikut fasilitasnya diatas tanah tersebut, serta mendayagunakannya dalam jangka waktu tertentu, untuk kemudian meyerahkannya kembali tanah, bangunan dan atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut beserta pendayagunaannya kepada departemen/lembaga yang bersangkutan selalu berakhirnya jangka waktu yang disepakati.

(52)

Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunannya dan/atau saran berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 14 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Menyebutkan:

Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.

Pada dasarnya BOT adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana kontraktor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga kontraktor harus menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya kontraktor diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.

(53)

mengembalikan proyek tersebut pada pemilik proyek. Apabila semuanya berjalan sesuai dengan rencana maka pada akhir masa kontrak, atau pada saat proyek tersebut harus dikembalikan pada pemerintah maka kontraktor telah mendapatkan kembali semua biaya yang telah dikeluarkannya ditambah dengan sejumlah keuntungan yang diharapkan dari proyek tersebut.34

Build Operate And Transfer merupakan salah stau jenis kerja sama pemerintah dengan pihak swasta dalam penyediaan . Dalam Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1998 Tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta Dalam Pembangunan Dan/Atau Pengelolaan Infrastruktur menyebutkan jenis perjanjian kerjasama yang meliputi dua kelompok perjanjian.

Jenis perjanjian kerjasama dalam pengelolaan infrastruktur, dibedakan dari segi:

a. Tariff, ongkos biaya, dan sewa, yang meliputi jenis perjanjian Build Operate And Transfer (BOT), Build Own Transfer (BOO) , Develop Operate Transfer (DOT), Rehabilitate Operate Transfer (ROT), Rehabilitate Operate Own (ROO)

b. Jadwal pembayaran amortisasi, yang meliputi jenis perjanjian Build Transfer, Build Lease And Transfer (BLT) dan Build Transfer And Operate (BTO).35

2.2.2 Keuntungan Dan Kerugian Buil, Operate, And Transfer/ BOT

Sepanjang segala sesuatunya berjalan sesuai rencana, maka semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung akan memperoleh keuntungan

34 Anita Kamilah, op.cit, h.116.

(54)

a. Dari sudut pemerintah

Beberapa keuntungan yang akan diperoleh oleh pemerintah dalam pembangunan proyek infrastrukturnya dengan sistem BOT, adalah :

1. Pemerintah dapat mengurangi penggunaan dan APBN/APBD dan mengurangi jumlah dana pinjaman dari pihak ketiga

2. Pembiayaan dengan sistem BOT akan menguntungkan secara financial maupun secara administrative, yaitu pemerintah tidak harus mengadakan studi kelayakan, proyek akan dibiayai dan dilaksanakan oleh dan atas risiko pihak lain dan dari mutu atau kualitas hasil pembangunan dapat dari mutu atau kualitas hasil pembangunan dapat dipertanggung-jawabkan.

3. Pada akhir masa pengelolaan maka segala bangunan dan fasilitas yang ada diserahkan kepada pemerintah, dan untuk menjaga agar bangunan beserta fasilitas pendukung yang diserahkan kepada pemerintah tersebut tetap dalam kondisi yang baik, pemerintah tetap membebani kewajiban kepada pihak investor untuk melakukan pemeliharaan maupun perbaikan-perbaikan selama masa BOT tersebut berlangsung. 4. Pemerintah dapat merealisasikan pengadaan infrastruktur yang sangat

(55)

beban utang bagi pemerintah.36 b. Dari sudut masyarakat/swasta

Pada dasarnya keuntungan yang akan didapat oleh pihak swasta atau masyarakat sebagai pemilik lahan, sama dengan keuntungan yang akan didapat oleh pihak pemerintah, karena kedua-duanya berkedudukan sama-sama sebagai partner pihak kontraktor atau pihak investor.

c. Dari sudur investor

Bagi investor, dengan proyek BOT akan terbuka peluang dna diberi kesempatan untuk memasuki bidang usaha yang semula hanya ditangani pemerintah atau BUMUN/BUMD. Investor dapat melakukan ekspansi usaha yang mempunyai prospek menguntungkan serta dapat memanfaatkan lahan strategis yang dimiliki pemerintah.37

2. Kerugian

Bagi pemerintah, proyek BOT tidak jarang berarti melepaskan monopoli dan menyerahkan pada swasta. Hal ini akan berarti pula melepaskan salah satu sumber pendapatan yang potensial mendatangkan keuntungan, melepaskan hak pengelolaan aset strategis dan memberikannya pada swasta untuk jangka waktu tertentu. Beberapa hal pemerintah masih sering diikutkan dalam masalah yang rumit (pembebasan tanah, pemindahan lokasi, dan sebagainya).

(56)

Kemungkinan pemerintah tidak mau menanggung risiko selama pelaksanaan proyek dan selama masa konsesi.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan perjanjian BOT memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak bagi pemerintah sebagai pemilik lahan juga bagi investor sebagai pihak yang memiliki dana. Bagi swasta (investor) dapat melakukan pembangunan untuk melakukan kegiatan usaha tanpa harus memiliki lahan/tanah. Bagi pemerintah yang memiliki lahan strategis yang akan memanfaatkannya memerlukan biaya yang sangat tinggi yang akan mengganggu penggunaan dan APBN/APBD, maka dalam jangka waktu pendek dengan menggunakan sistem BOT, pemerintah mendaptkan keuntungan selain akan mendapatkan pembiayaan atas pembangunan proyek, juga akan mendapatkan kompensasi atau royalty dari pengelolaan proyek tersebut. Dalam jangka panjang maka pemerintah mendapatkan bangunan beserta sarana dan prasarananya, maka perjanjian BOT ini dapat meningkatkan penerimaan keuangan pemerintah, baik pada saat pembangunan, pengoprasian dan pada saat penyerahan bangunan. 38

2.2.3 Risiko Yang Ditimbulkan Dalam Build Operate Transfer

Pelaksanaan perjanjian BOT sangat rentan dengan berbagai risiko, risiko-risiko yang mungkin timbul dalam proyek BOT, adalah :

(57)

dalam hukum yang merugikan proyek, kegagalan pembayaran negara.39 b. Risiko hukum

Risisko hukum dapat timbul dari berbagai kemungkinan, misalnya kemungkinan tidak dapat diterapkan atau tidak dapat dilaksanakannya kontrak-kontrak baik seluruhnya atau sebagianyang dibuat oleh para pihak.40 c. Risiko ekonomi

Risiko ekonomi terjadi karena perhitungan dari proyek didasarkan pada asumsi-asumsi yang tidak benar dan bias terhadap biaya implementasi proyek, keadaan pasar, atau pergerakan nilai mata uang yang tiba-tiba melonjak sehingga keadaan tersebut sangat menyulitkan bagi pihak investor untuk melanjut pelaksanaan perjanjian BOT.41

d. Risiko pasar dan pendapatan

Faktor pasar dan pendapatan ini adalah hilangnya pendapatan yang disebabkan oleh ketidakcukupan pendapatan langsung dari proyek kekurangannya pendapatan dari sumber lain yang berkaitan dengan proyek atau pembatasan oleh pemerintah dalam hal peningkatan tariff atau juga waktu penggunaan yang minim dari proyek pihak investor sebagai penerima konsesi dapat

39 Anita Kamilah, loc.cit.

40 Anita Kamilah, loc.cit.

(58)

diperhitungkan secara cermat dan dapat menjadi bahan negosiasi yang cukup alot diantara para pihak. Penganggulangannya atau penyelesaiannya umumnya dilakukan dengan jalan melakukan relokasi meminimalisasi risiko dan mengalokasikan risiko tersebut kepada pihak yang paling lazim dilakukan untuk merelokasikan risiko diantaranya adalah melalui penggunaan pranata asuransi atau pertanggungan sebagai pihak yang akan memberikan jaminan atau tanggungan jika risiko-risiko tersebut benar-benar terjadi pada perjanjian BOT.43 2.2.4 Asas-Asas dalam Buil, Operate, And Transfer/ BOT

Perjanjian BOT yang mereka buat pada asasnya menjalankan suatu "asas kerja-sama yang saling menguntungkan", dimana pemilik lahan yang semula hanya memiliki lahan (atau beserta bangunannya) saja setelah adanya kerjasama dengan Perjanjian BOT pada suatu saat akan memiliki bangunan (atau bangunan yang lebih baik dari bangunan semula). Begitu pula pihak Pemerintah yang semula hanya pemegang hak eksklusif saja yang bilamana akan mewujudkan fisik bangunannya tidak mempunyai dana yang cukup. Setelah adanya kerjasama dalam bentuk Perjanjian BOT diharapkan akan memiliki fisik bangunan. demikian pula bagi pihak investor dengan adanya kerjasama dalam Perjanjian BOT akan mendapat suatu keuntungan dari pengelolaannya.

42 Anita Kamilah, loc.cit.

(59)

Kemudian yang ketiga "asas musyawarah". Artinya jika timbul perselisihan antara pihak investor dengan pihak pemilik lahan pemegang hak eksklusif, baik saat membangun, mengoperasionalkan hasil bangunan serta hal-hal lainnya. mereka akan menyelesaikannya dengan cara mengadakan musyawarah. Apabila musyawarah itu tidak didapat, mereka akan menyerahkan penyelesaiannya pada keadilan putusan hakim. Demikian pula hal-hal yang belum atau kurang diatur di dalam Perjanjian BOT, kedua belah pihak sepakat untuk mengatur lebih lanjut dalam perjanjian tersendiri. Dengan demikian di dalam Perjanjian BOT paling tidak didasarkan atas 3 asas, yaitu asas kerjasama yang saling menguntungkan dan asas kepastian hukum serta asas musyawarah.

2.3 Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi 2.3.1 Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Pengertian yang umum mengenai wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali.44

(60)

a. Kesalahan debitor, baik karena kesengajaan yang dilakukan debitor maupun kelalaian

b. Karena keadaan memaksa, diluar kemampuan debitor, jadi debitor tidak bersalah.45

Untuk menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi, dalam hal ini ada 3 keadaan, yaitu:

a. Debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali

b. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru, dan

c. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat

Untuk mengetahui sejak kapan debitor dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasi. Menurut Pasal 1238 KUHPerdata debitor dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.

Ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut: debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini

(61)

telah ditetapkan ketentuan debitur dianggap bersalah jika satu kali sajapun dia melewati batas waktu yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong debitur tetap melaksanakan kewajiban. penegasan seperti ini perjanjian, tanpa peneguran kelalaian, dengan sendirinya debitur sudah berada dalam keadaan lalai bila dia tidak melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.46 untuk memperingatkan debitor untuk menjalankan prestasinya yaitu dengan cara memberikan peringatan tertulis, yang isinya bahwa debitor harus memenuhi prestasinya dalam waktu yang telah ditentukan jika dalam waktu itu debitor tidak memenuhinya, dibitor dinyatakan lalai atau wanprestasi. Peringatan tertulis tersebut dapat dilakukan secara resmi dan tidak resmi. Jika dilakukan secara resmi dilakukan di pengadilan yang disebut sommatie, sedangkan peringatan tidak resmi misalnya melalui surat tercatat, telegram, facsimile, atau disampaikan sendiri kepada debitor. Surat peringatan ini disebut ingebreke stelling.47

2.3.2 Bentuk-Bentuk Wanprestasi

Debitor juga dapat dikatakan melakukan wanprestasi apabila ia melanggar perjanjian dengan melakukan atau berbuat sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukannya. Wanprestasi seorang debitor dapat berupa empat macam, yaitu:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya

46 M Yahya Harahap, op.cit, h.62.

Referensi

Dokumen terkait

Pada perkara ini, pihak pemohon kasasi tidak dapat membuktikan adanya perjanjian antara Sulemang dengan Sagala Dg Rikong serta adanya izin dari Sulemang untuk

1507K/PDT/2010 dalam memutuskan perkara ini adalah tepat dikarenakan perjanjian sewa-menyewa yang dilakukan semasa hidup antara CF (penyewa/kakek dari para pemohon kasasi) dengan

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ ANALISIS PERBUATAN WANPRESTASI PIHAK PENYEWA DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN

Dan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara ini adalah menolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi (ahli waris dari penyewa) dan mereka

Ada beberapa permasalahan yang akan dibahas, yaitu faktor-faktor apa yang menyebabkan sebahagian ahli waris menguasai harta warisan, bagaimana tindakan hukum yang dilakukan ahli

Masalah lainnya yang penulis temukan yaitu tentang klausula Pasal 3 dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli dimana klausula tersebut menyatakan : “apabila pada tanggal yang

Dari putusan Mahkamah Agung tersebut yang menjadi permasalahan yang pertama yaitu mengenai ketidaksesuaian tindak pidana yang di dakwakan terhadap terdakwa dengan Pasal

kekurangannya.pendapatan dari sumber-sumber lain yang berkaitan dengan proyek atau pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini peningkatan tarif atau juga