• Tidak ada hasil yang ditemukan

GLYCATED ALBUMIN SEBAGAI PENANDA KONTROL GLIKEMIK PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "GLYCATED ALBUMIN SEBAGAI PENANDA KONTROL GLIKEMIK PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

GLYCATED ALBUMIN

SEBAGAI PENANDA KONTROL

GLIKEMIK PADA PENDERITA DIABETES MELITUS

TIPE 2

ANSELMUS AKE

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

1

TESIS

GLYCATED ALBUMIN

SEBAGAI PENANDA

KONTROL GLIKEMIK PADA PENDERITA DIABETES

MELITUS TIPE 2

ANSELMUS AKE NIM 1014048106

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

GLYCATED ALBUMIN

SEBAGAI PENANDA

KONTROL GLIKEMIK PADA PENDERITA DIABETES

MELITUS TIPE 2

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Combined Degree,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

ANSELMUS AKE NIM 1014048106

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 7 April 2016

…77

Pembimbing I,

Dr.dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD, FINASIM NIP. 19700627 200312 2 001

Pembimbing II,

Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, Sp.PD-KGH NIP. 19560707 198211 1 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih,MSc,SpGK NIP. 19580521 198503 1 002

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

(5)

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 7 April 20167………..

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No : 1328/UN14.4/HK/2016,Tanggal 29 Maret 2016……

…………

Ketua : Dr. dr. Made Ratna Saraswati, Sp.PD-KEMD, FINASIM

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, Sp.PD-KGH

2. Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada, Sp.BIOK

3. Prof. Dr. dr. A.A Gede Budhiarta, Sp.PD-KEMD

(6)
(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan

Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena hanya atas

kurnia-Nya / asung wara nugraha-kurnia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih

yang sebesar- besarnya kepada Dr. dr. Made Ratna Saraswati,

SpPD-KEMD,FINASIM sebagai pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah

memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti

program magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih

sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana,

SpPD-KGH sebagai pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah

memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof.

Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, FINASIM atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program

Magister di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat Prof. Dr. dr. A.A.

Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

menjadi mahasiswa Program S2 pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT,

M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan

kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program magister. Pada kesempatan

(8)

Ilmu Penyakit Dalam, Prof. Dr. dr. IDN. Wibawa SpPD-KGEH dan Dr. dr. I Ketut

Suega SpPD-KHOM selaku Kepala Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam RSUP

Sanglah Denpasar. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para

penguji, yaitu Prof. dr. Nyoman Agus Bagiada Sp.BIOK, Prof. Dr. dr. A.A Gede

Budhiarta SpPD-KEMD dan Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si, yang telah

memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat

terwujud seperti ini.

Pada kesempatan ini ijinkan juga penulis mengucapkan terima kasih dan

penghormatan yang tulus kepada Prof. Dr. dr Tjok Raka Putra, SpPD-KR, sebagai

mantan Kepala Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah dan

Prof. Dr. dr Ketut Suwitra, SpPD-KGH sebagai mantan Ketua Program Studi Ilmu

Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah yang pada masanya telah memberi

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan spesialisasi. Penulis juga

memberikan ucapan yang sama kepada Prof. Dr. dr. IDN Wibawa, SpPD-KGEH

sebagai pembimbing akademik penulis atas arahan dan bimbingan selama

mengikuti pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus

disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis,

mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima

kasih kepada kedua orang tua, Bpk. Gaspar Wala dan Ny. Bernadetha Goo serta

kedua mertua penulis, Bpk. Vinsensius Ura Sima (Alm) dan Ny. Elisabeth Aphia

serta semua anggota keluarga yang telah memberikan motivasi dan nasehat kepada

(9)

Restiana Sima, serta ananda Maria Gracela Sima Wea tersayang, yang dengan

penuh pengorbanan telah sabar menunggu dan memberikan dukungan kepada

penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih pada

rekan residen seperjuangan: angkatan Juli 2010 (dr. Adhy, dr. Baskoro, dr, Oscar,

dr. Ria, dr. Siswadi, dr. Riastana & dr. Hendrata), dr. Petrus Irianto, dr. Andi

Manaek, dr. Jarwa, dr. Sang Bagus, dr. Mayura, dr. Yohanes Satrio serta

teman-teman lainnya, terimakasih atas motivasi dan persahabatan yang kalian berikan

selama ini. Juga kepada paramedis, staf tata usaha Bagian /SMF Ilmu Penyakit

Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah atas segala bantuan serta kerjasama yang baik

selama menjalani pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu

melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan

dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.

Denpasar, 20 Februari 2016

(10)

ABSTRAK

GLYCATED ALBUMIN SEBAGAI PENANDA KONTROL GLIKEMIK PADA

PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia. Kontrol glikemik merupakan salah satu hal penting dalam pengelolaan pasien DM yang secara skematik dapat digambarkan sebagai ‘triad glukosa’, dengan komponen Hemoglobin Adult 1C (HbA1C), kadar glukosa puasa, dan kadar glukosa 2 jam postprandial (2JPP).

Glycated albumin (GA) merupakan indeks kontrol glikemik yang relatif baru yang merupakan bentuk formasi ikatan antara molekul-molekul albumin dan glukosa melalui reaksi oksidasi non-enzimatik. GA merupakan indeks kontrol glikemik yang tidak dipengaruhi oleh gangguan metabolisme hemoglobin dan mencerminkan status glukosa darah yang lebih pendek dibandingkan HbA1C, yakni 2-4 minggu sebelumnya. Sebagai parameter yang relatif baru, GA memiliki beberapa keuntungan sehingga menjadi pemeriksaan yang menjanjikan bagi dokter maupun pasien sebagai penanda kontrol glikemik jangka menengah pada pasien diabetes melitus.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah GA dapat digunakan sebagai penanda kontrol glikemik pada penderita DM tipe 2 (DMT2) dengan mencari sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), dan nilai duga negatif (NDN) dari GA. Selain itu, pada penelitian ini akan dikaji korelasi antara GA dengan HbA1C, glukosa puasa dan glukosa 2JPP pada penderita DMT2.

Penelitian ini merupakan uji diagnostik, studi potong lintang, dilaksanakan di RSUP Sanglah dari Desember 2015 hingga Februari 2016 dengan menggunakan 59 pasien DMT2 sebagai sampel. Kontrol glikemik ditentukan dengan pemeriksaan HbA1C, glukosa puasa dan glukosa 2JPP (baku emas). Kadar HbA1C dikategorikan terkontrol bila <7%, kadar glukosa puasa dikategorikan terkontrol bila <100 mg/dL dan kadar glukosa 2JPP dikategorikan terkontrol bila <140 mg/dL. GA darah merupakan uji baru, dikategorikan terkontrol menggunakan nilai batas yang ditentukan dengan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC).

Dari 59 subjek penelitian terdiri dari 31 orang laki-laki dan 28 orang perempuan. Hasil area under ROC curve GA adalah 0,9135 (91,35%). Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan 5 cut off point GA dimana 2 cut off point sebagai batas yang menunjukkan kemampuan GA dalam hal skrining yakni ≥18,7% dan ≥19%, 2 cut off point sebagai batas yang menunjukkan kemampuan GA dalam hal diagnostik yakni ≥21,4% dan 22,4%, dan 1 cut off point optimal yang menunjukkan kemampuan GA yang berimbang yakni 20,4%. Hasil uji diagnostik dengan menggunakan tabel silang 2x2 pada cut off point GA ≥18,7% didapatkan sensitivitas 94,7%, spesifisitas 76,2%, NDP 87,8% dan NDN 88,9%. Pada cut off point GA ≥19% didapatkan sensitivitas 89,5%, spesifisitas 81%, NDP 89,5% dan NDN 81%. Pada cut off point GA ≥20,4% didapatkan sensitivitas 81,6%, spesifisitas 85,7%, NDP 91,2% dan NDN 72%. Pada cut off point GA ≥21,4% didapatkan sensitivitas 76,3%, spesifisitas 90,5%, NDP 93,5% dan NDN 67,9%. Pada cut off point GA ≥22,4% didapatkan sensitivitas 63,2%, spesifisitas 95,2%, NDP 96% dan NDN 58,8%. Dengan uji korelasi Spearman, didapatkan hubungan positif kuat antara GA dengan HbA1C ( r = 0,842 dengan nilai p <0,001), GA dengan glukosa puasa ( r = 0,779 dengan nilai p <0,001) dan GA dengan glukosa 2JPP ( r = 0,714 dengan nilai p <0,001).

Pemeriksaan GA darah dapat digunakan sebagai modalitas diagnostik dalam menilai kontrol glikemik pada penderita DMT2 khususnya pada penderita dimana HbA1C, glukosa puasa, atau glukosa 2JPP sulit digunakan.

(11)

ABSTRACT

GLYCATED ALBUMIN AS A GLYCEMIC CONTROL MARKER IN TYPE 2 DIABETES MELLITUS PATIENTS

Diabetes mellitus (DM) is a chronic metabolic disorders characterized by hyperglycemia conditions. Glycemic control is one amongst the important factor in management of DM patients, which schematically, can be described as 'glucose triad', consist of Hemoglobin Adult 1C (HbA1C), fasting glucose levels, and two-hour after meal glucose levels.

Glycated albumin (GA) as a relatively new index of glycemic control, is a formed bond between molecules of albumin and glucose through non - enzymatic oxidation reactions. GA is a marker glycemic control that are not affected by metabolic disorders of hemoglobin and reflects the status of blood glucose in 2-4 weeks duration, which is shorter than HbA1C. As a relatively new parameter, GA has several advantages, placing it as a promising parameter for doctors and patients as a marker of medium-term glycemic control in patients with diabetes mellitus.

The purpose of this study is to determine whether GA can be used as a marker of glycemic control in patients with type 2 DM (DMT2) by determining the sensitivity, spesificity, Positive Predictive Value (PPV), and Negative Predictive Value (NPV) of GA. In addition, this study will assessed the correlation between GA with HbA1C, fasting glucose levels, and 2HAM glucose levels in DMT2 patients.

This study is a diagnostic, cross-sectional study, conducted in Sanglah General Hospital from December 2015 to February 2016 with 59 DMT2 patients as subjects. Glycemic control was determined with HbA1C, fasting glucose levels, and two-hour after meal glucose levels (gold standard). HbA1C levels are categorized controlled when < 7%, fasting glucose levels categorized controlled when < 100 mg/dL and two-hour after meal glucose levels were categorized controlled when < 140 mg/dL. GA blood levels, as a new test, categorized controlled using the limit values specified by the Receiver Operating Characteristic (ROC) curve.

From the 59 DMT2 subjects, consists of 31 were men and 28 were women. GA ‘area under the ROC curve’ results is 0.9135 (91.35%). This study found 5 GA’s cut off points, two of them shown GA’s ability as a screening tool, which were ≥18.7% and ≥19.2%, two cut off points that reflected GA’s ability as a diagnostic tool ≥21.4% and 22.4%, and 1 optimal cut off point that showed GA’s equity, which was 20,4%. The diagnostic test using the 2x2 cross table at cut off point of 18.7%, obtained a sensitivity of 94.7%, a specificity of 76.2%, PPV of 87.8%, and a NPV of 88.9%. At cut off point of ≥19%, obtained a sensitivity of 89.5%, a specificity of 81%, PPV of 89.5%, and a NPV of 81%. At cut off point of ≥20.4%, obtained a sensitivity of 81.6%, a specificity of 85.7%, PPV of 91.2%, and a NPV of 72%.%. At cut off point of ≥21.4%, obtained a sensitivity of 76.3%, a specificity of 90.5%, PPV of 93.5%, and a NPV of 67.9%. At cut off point of ≥22.4%, obtained a sensitivity of 63.2%, a specificity of 95.2%, PPV of 96%, and a NPV of 58.8%. Spearman correlation test found a positive and strong corellation between GA and HbA1C (r=0.842;p <0.001), GA and fasting glucose levels (r=0.779;p <0.001), and GA and two-hour after meal glucose levels (r=0.714;p <0.001).

GA blood levels can be used as a diagnostic tool in assessing glycemic control in DMT2 patients, especially in whom with HbA1C levels, fasting glucose levels, or two-hour after meal glucose levels are limited.

Keywords: DMT2, HbA1C, fasting glucose levels, 2HAM glucose levels, GA, glycemic

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ... xvii

(13)

2.5Hemoglobin Terglikasi (HbA1C) ... 13

2.5.1Definisi ... 13

2.5.2HbA1C sebagai parameter kontrol DM ... 14

2.5.3Kelebihan dan kekurangan pemeriksaan HbA1C ... 16

2.6 Albumin Terglikasi / GlycatedAlbumin (GA) ... 17

2.6.1 Metabolisme Albumin ... 17

2.6.2 Proses glikasi albumin ... 18

2.6.3 Manfaat GA ... 20

2.6.3.1Pemantauan perubahan kadar glukosa darah ... 20

2.6.3.2 Pemantauan kadar glukosa darah pada pasien ... 21

2.6.3.3 Pemantauan kadar glukosa darah pada kehamilan ... 22

2.6.3.4 Pemantauan hiperglikemia postprandial ... 23

2.6.4 GA sebagai penanda kontrol glikemik pada penderita DM... ... 24

2.6.5 Kondisi yang mempengaruhi hasil GA ... 26

2.6.5.1 Sirosis hati ... 26

2.6.5.2 Gangguan metabolisme albumin. ... 26

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS.. ... 28

3.1 Kerangka Berpikir ... 28

4.5.1 Identifikasi variabel ... 33

4.5.2 Klasifikasi variabel ... 33

4.5.3 Definisi operasional variabel ... 33

(14)

4.7 Prosedur Penelitian ... 37

4.8 Analisis Data ... 38

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... .... 40

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... .... 51

DAFTAR PUSTAKA ... .... 53

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM ... 10

Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Subyek Penelitian ... 41

Tabel 5.2 Uji Diagnostik (cut off pointGA ≥17,8%) ... 43

Tabel 5.3 Uji Diagnostik (cut off pointGA ≥19%) ... 44

Tabel 5.4 Uji Diagnostik (cut off pointGA ≥20,4%) ... 45

Tabel 5.5 Uji Diagnostik (cut off pointGA ≥20,4%) ... 46

Tabel 5.6 Uji Diagnostik (cut off pointGA ≥20,4%) ... 46

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Triad Glukosa ... 12

Gambar 2.2 Proses Glikasi Hemoglobin ... 14

Gambar 2.3 Struktur Albumin ... 18

Gambar 2.4 Proses Glikasi Albumin ... 19

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian... 29

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian... 30

Gambar 4.2 Alur Penelitian ... 38

Gambar 5.1 Kurva ROC Kemampuan GA ... 43

(17)

DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH

ADA : American Diabetes Association

AACE : American Association College of Endocrinologists

ADVANCE : Action in Diabetes and Vascular Disease: Preterax and

Diamicron Modified Release Controlled Evaluation

ACCORD : Action to Control Cardiovascular Risk in Diabetes

AGE : Advanced Glycated End products

BCP : Bromocresolpurple

DCCT : Diabetes Control and Complication Trial

DepKes : Departemen Kesehatan

DM : Diabetes Melitus

DMT1 : Diabetes Melitus Tipe 1

DMT2 : Diabetes Melitus Tipe 2

HPLC : Ion-Exchange High-Performance Liquid Chromatography

IDF : International Diabetes Federation

IFG : Impair Fasting Glucose

IGT : Impair Glucose Tolerance

KAOD : Ketoamine Oxidase

(18)

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

T3 : Triiodothyronine

T4 : Tiroxin

TSH : Thyroid Stimulating Hormone

TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral

UKPDS : United Kingdom Prospective Diabetes Study

WHO : World Health Organization

2JPP : 2 Jam Post Prandial

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Keterangan Kelaikan Etik ... 58

Lampiran 2 : Surat Ijin Penelitian. ... 59

Lampiran 3 : Rencana dan Jadwal Penelitian ... 60

Lampiran 4 : Anggaran Penelitian.. ... 61

Lampiran 5 : Informed Consent ... 62

Lampiran 6 : Formulir Persetujuan ... 64

Lampiran 7 : Formulir Pengumpulan Data ... 65

Lampiran 8 : Prosedur Pemeriksaan GA (GA-L REAGENT) ... 68

Lampiran 9 : Prosedur Pemeriksaan HbA1C ... 70

Lampiran 10 : Hasil Penelitian ... 71

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu diantara penyakit degeneratif

dan merupakan suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi

hiperglikemia (ADA, 2010). Prevalensi DM terus meningkat dari tahun ke tahun. Di

tahun 2012 diperkirakan 371 juta jiwa penduduk dunia (8,3%) menderita DM (IDF,

2012). Berdasarkan studi epidemiologi terbaru, Indonesia telah memasuki epidemi

diabetes melitus (PERKENI, 2011). World Health Organization (WHO)

memprediksi peningkatan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada

tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO,

International Diabetes Federation (IDF) memprediksi peningkatan penderita DM

dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (IDF, 2005;

PERKENI, 2011). Di Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar

(RISKESDAS) oleh Departemen Kesehatan (DepKes) pada tahun 2007, prevalensi

DM mencapai 5,7% (PERKENI, 2011). Di Bali juga didapatkan prevalensi DM

yang cukup tinggi yakni mencapai 5,9% (Suastika, 2008). Hasil riset kesehatan

dasar (RISKESDAS) oleh Departemen Kesehatan (DepKes) pada tahun 2013,

prevalensi DM mencapai 6,9%.

Kontrol glikemik merupakan salah satu hal penting dalam evaluasi pasien DM

karena berhubungan dengan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskuler akibat

DM yang akan atau telah terjadi. Buruknya kontrol glikemik pada pasien DM akan

(21)

2010). Kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2) secara

skematik dapat digambarkan sebagai ‘triad glukosa’, dengan komponen

Hemoglobin Adult 1C (HbA1C), kadar glukosa puasa, dan kadar glukosa 2 jam

postprandial (2JPP). Saat ini, meskipun masih ada perdebatan namun tampaknya

penilaian kontrol glikemik terbaik ditentukan oleh ketiga komponen tersebut

(Monnier & Colette, 2009).

HbA1C merupakan zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan

hemoglobin, melalui reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N-terminal valine

pada rantai beta hemoglobin A (Mahajan & Mishra, 2011).HbA1C telah digunakan

secara luas sebagai indikator kontrol glikemik, karena mencerminkan konsentrasi

glukosa darah 3 bulan sebelum pemeriksaan dan tidak dipengaruhi oleh diet

sebelum pengambilan sampel darah (Schneider et al., 2003; ADA, 2012). Saat ini,

ada dua nilai HbA1C yang digunakan untuk menilai diabetes yang terkontrol yaitu

7% oleh American Diabetes Association (ADA) yang juga diadopsi oleh PERKENI

dan 6,5% oleh the American Association College of Endocrinologists (AACE) dan

IDF.

Studi yang dilakukan oleh McCance et al. tahun 1994 dalam menilai

kompilkasi mikrovaskular yakni kejadian retinopati pada pasien diabetes

mendapatkan cut off point optimum HbA1C adalah ≥7% dengan nilai sensitivitas

78% dan spesifisitas 85%. Cut off point glukosa puasa adalah ≥7,2 mmol/L (126

mg/dL) dengan nilai sensitivitas 81% dan spesifisitas 80%, sedangkan cut off point

optimum dari glukosa 2JPP adalah ≥13.0 mmol/L (234 mg/dL) dengan sensitivitas

(22)

Penelitian Action in Diabetes and Vascular Disease: Preterax and Diamicron

Modified Release Controlled Evaluation (ADVANCE) menunjukkan sedikit

keuntungan bertahap pada mikrovaskular outcome dengan HbA1C mendekati

normal; untuk pasien tanpa risiko hipoglikemi atau efek samping lain, kadar

HbA1C yang diharapkan adalah <7%. Sebaliknya penelitian Action to Control

Cardiovascular Risk in Diabetes (ACCORD) menunjukkan bahwa target HbA1C

yang tidak terlampau ketat dari <7% lebih dianjurkan pada pasien yang mendapat

terapi obat hipoglikemik seperti sulfonilurea dan/ atau insulin yang dapat

mengakibatkan hipoglikemi (Monnier & Colette, 2009).

Meskipun saat ini HbA1C secara luas telah digunakan sebagai penanda

kontrol glikemik, namun HbA1C tidak mencerminkan perubahan glikemia dalam

periode yang relatif singkat, dan akurasinya dikatakan menurun jika disertai dengan

abnormalitas metabolisme hemoglobin seperti anemia dan pada pasien penyakit

ginjal kronis (PGK) tahap akhir atau end stage ranal disease (ESRD) (Peacock et

al., 2008).

Tujuan pemeriksaan glukosa darah untuk mengetahui apakah sasaran terapi

telah tercapai dan untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai

sasaran terapi. Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar

glukosa darah puasa, glukosa 2JPP, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara

berkala sesuai dengan kebutuhan (PERKENI, 2011). Meskipun demikian,

pemeriksaan kadar glukosa sangat berfluktuasi dan hasilnya dapat dipengaruhi oleh

stres, penundaan pemeriksaan serum, merokok serta aktifitas sebelum uji

(23)

Glycated albumin (GA) merupakan bentuk formasi ikatan antara

molekul-molekul albumin dan glukosa melalui reaksi oksidasi non-enzimatik. GA

merupakan indeks kontrol glikemik yang tidak dipengaruhi oleh gangguan

metabolisme hemoglobin. Selain itu, GA mencerminkan status glukosa darah yang

lebih pendek dibandingkan HbA1C, yakni 2-4 minggu sebelumnya. GA tidak

dipengaruhi oleh kadar protein serum, karena GA menghitung rasio antara kadar

albumin glikat dengan total albumin serum (Koga & Kasayama, 2010). Glukosa

berikatan kuat dengan albumin serum pada 4 situs residu lisin, dan reaksi glikasi

terjadi 10 kali lipat lebih cepat dibandingkan glikasi pada hemoglobin. Karena itu,

GA dapat lebih menangkap fluktuasi dan perubahan status glikemik lebih cepat dan

nyata dibandingkan HbA1C (Yoshiuchi et al., 2008).

Beberapa studi pernah melaporkan nilai rujukan GA antara lain oleh

Tominaga et al (1999) pada populasi orang Jepang adalah 12,3-16,9%. Penelitian

oleh Kohjuma et al (2011) mendapatkan nilai rujukan GA pada populasi Amerika

adalah 11,9-15,8%. Penelitian sebelumnya mengenai validitas GA dalam hal

memprediksi DM telah dikerjakan meskipun kemampuan GA dalam hal ini masih

dipertanyakan. Uji validasi oleh Ma et al (2010) pada populasi Cina didapatkan cut

offpoint GA adalah 17,1% dengan nilai sensitivitas 76,82% (CI: 73,64-79,79%) dan

spesifisitas 76,89% (CI: 74,42-79,23). Penelitian lain oleh Yang et al (2012)

didapatkan cut off point dari GA 15,7% dengan nilai sensitivitas 73,3% (CI:

73,64-79,79%) dan spesifisitas 80,1% (CI: 74,42-79,23). Oleh Roohk & Zaidi (2008),

target kendali glikemik yang diukur dengan parameter GA yang dianggap terkontrol

adalah <20%, dengan nilai normalnya adalah 11-16%. Studi oleh Pu et al (2007),

predective values dari GA dan HbA1C dalam menilai penyakit jantung koroner

(24)

(ROC) curve GA adalah 0,620 (62%) lebih baik dibanding HbA1C (54,3%) dengan

cut off point GA ≥19% (Pu et al, 2007). Sebagai parameter yang relatif baru, GA

memiliki beberapa keuntungan sehingga menjadi pemeriksaan yang menjanjikan

bagi dokter maupun pasien sebagai penanda kontrol glikemik pada pasien diabetes

melitus (Yoshiuchi et al., 2008).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah GA dapat digunakan

sebagai penanda kontrol glikemik penderita DMT2 dengan melakukan pemeriksaan

GA dibandingkan dengan pemeriksaan HbA1C, glukosa puasa dan glukosa 2JPP.

Hal ini dapat diketahui dengan mencari nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga

positif (NDP) dan nilai duga negatif (NDN) dari GA sebagai penanda kontrol

glikemik pada penderita DMT2. Selain itu, pada penelitian ini akan dikaji korelasi

antara GA dengan HbA1C, glukosa puasa dan glukosa 2JPP pada penderita DMT2.

Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan parameter baru untuk penanda

kontrol glikemik pada penderita DMT2.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut diatas, dapat

disusun rumusan masalah sebagai berikut:

Apakah GA dapat digunakan sebagai penanda kontrol glikemik pada penderita

DMT2 dan apakah terdapat korelasi antara GA dengan HbA1C, glukosa puasa dan

glukosa 2JPP pada penderita DMT2 ?, dengan mengetahui :

1. Bagaimana nilai sensitivitas GA sebagai penanda kontrol glikemik penderita

DMT2 ?

2. Bagaimana nilai spesifisitas GA sebagai penanda kontrol glikemik penderita

(25)

3. Bagaimana nilai duga positif GA sebagai penanda kontrol glikemik penderita

DMT2 ?

4. Bagaimana nilai duga negatif GA sebagai penanda kontrol glikemik penderita

DMT2 ?

5. Bagaimana korelasi antara GA dengan HbA1C, GA dengan glukosa puasa dan

GA dengan glukosa 2JPP pada penderita DMT2 ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk membuktikan bahwa GA dapat digunakan sebagai penanda kontrol

glikemik pada penderita DMT2 dan untuk mengetahui korelasi antara GA dengan

HbA1C, GA dengan glukosa puasa dan GA dengan glukosa 2JPP pada penderita

DMT2.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mencari nilai sensitivitas GA sebagai penanda kontrol glikemik penderita

DMT2.

2. Untuk mencari nilai spesifisitas GA sebagai penanda kontrol glikemik penderita

DMT2.

3. Untuk mencari nilai duga positif GA sebagai penanda kontrol glikemik

penderita DMT2.

4. Untuk mencari nilai duga negatif GA sebagai penanda kontrol glikemik

penderita DMT2.

5. Untuk mencari korelasi antara GA dengan HbA1C, GA dengan glukosa puasa

(26)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1Manfaat akademik

Hasil penelitian ini memberi informasi nilai sensitivitas, spesifisitas, NDP dan

NDN dari GA sebagai penanda kontrol glikemik pada penderita DMT2. Selain itu,

penelitian ini memberi informasi korelasi antara GA dengan HbA1C, GA dengan

glukosa puasa dan GA dengan glukosa 2JPP pada penderita DMT2. Informasi ini

dapat digunakan sebagai data dasar untuk penanda kontrol glikemik oleh para

dokter dalam penatalaksanaan DMT2.

1.4.2Manfaat praktis

1. Bila terbukti bahwa nilai sensitivitas, spesifisitas, NDP dan NDN dari GA

sebagai penanda kontrol glikemik cukup baik dibanding HbA1C, glukosa puasa

dan 2JPP maka GA bisa dipergunakan sebagai alternatif diagnostik penanda

kontrol glikemik penderita DMT2 khususnya pada penderita dimana HbA1C,

glukosa puasa, atau glukosa 2JPP sulit digunakan.

2. Bila terdapat korelasi antara GA dengan HbA1C, GA dengan glukosa puasa dan

GA dengan glukosa 2JPP pada penderita DMT2, diharapkan pemeriksaan GA

(27)

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan

kondisi hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, aktifitas insulin atau

keduanya (ADA, 2010). Hiperglikemia kronis dihubungkan dengan kerusakan,

disfungsi dan kegagalan organ-organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung

dan pembuluh darah (PERKENI, 2011).

2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi DM terus meningkat dari tahun ke tahun. Total penduduk dengan

DM di seluruh dunia diperkirakan akan bertambah dari 171 juta pada tahun 2000

menjadi 366 juta penduduk pada tahun 2030 (Wild et al., 2004). Di tahun 2012

diperkirakan 371 juta jiwa penduduk dunia (8,3%) menderita DM (IDF, 2012).

Pertumbuhan populasi penduduk, perubahan gaya hidup, penuaan dan

meningkatnya prevalensi kegemukan akan meningkatkan prevalensi DM (Wild et

al., 2004; Braunwald et al., 2005).

Berdasarkan studi epidemiologi terbaru, Indonesia telah memasuki epidemi

diabetes melitus. World Health Organization (WHO) memprediksi peningkatan

jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar

21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes

Federation (IDF) memprediksi peningkatan penderita DM dari 7,0 juta pada tahun

2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (IDF, 2005; PERKENI, 2011). Di

(28)

Indonesia berdasarkan hasil RISKESDAS oleh DepKes pada tahun 2007, prevalensi

DM mencapai 5,7% (PERKENI, 2011). Di Bali juga didapatkan prevalensi DM

yang cukup tinggi yakni mencapai 5,9% (Suastika, 2008). Hasil riset kesehatan

dasar (RISKESDAS) oleh Departemen Kesehatan (DepKes) pada tahun 2013,

prevalensi DM mencapai 6,9%. Perubahan gaya hidup dan urbanisasi nampaknya

merupakan penyebab penting masalah ini, dan terus menerus meningkat pada

milenium baru ini (PERKENI, 2011).

2.1.3 Diagnosis DM

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita DM. Kecurigaan adanya

DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia,

polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

Keluhan lain dapat berupa: sering lelah dan lemas, kesemutan, gatal, mata kabur,

dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (PERKENI, 2011).

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu jika keluhan klasik

ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup

untuk menegakkan diagnosis DM. Cara kedua yaitu pemeriksaan glukosa plasma

puasa ≥126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Yang ketiga adalah dengan tes

toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram glukosa

lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,

namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk

dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena

membutuhkan persiapan khusus (PERKENI, 2011). American Diabetes Association

(29)

(HbA1C) dapat mendiagnosis DM selain sebagai kontrol glikemik pasien DM. Cut

off point HbA1C dalam mendiagnosis DM berdasarkan kadar glukosa puasa 7

mmol/l atau 126 mg/dL pada populasi high risk Indigenous dimana data

dikumpulkan dari Aboriginal and Torres Strait Islander communities di Australia

dan Canadian First Nations community (n=431) adalah 7.0% dengan sensitivitas

plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa

memperhatikan waktu makan terakhir

ATAU

2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa

diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

ATAU

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang

dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g

glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

2.2 Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2)

Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan tipe DM dengan persentase

terbesar, yaitu 90-95%. Tipe ini sebelumnya juga dikenal sebagai

non-insulin-dependent diabetes (NIDDM) atau DM onset dewasa. Risiko akan meningkat

sejalan dengan umur, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik. Penyakit ini lebih

sering ditemukan pada wanita dengan riwayat diabetes melitus gestasional dan

(30)

DMT2 yang juga disebut diabetes melitus tidak tergantung insulin atau

NIDDM, disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan target terhadap efek

metabolik insulin, penurunan sensitivitas terhadap insulin ini disebut sebagai

resistensi insulin. DMT2 dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi insulin plasma

(hiperinsulinemia). Hal ini terjadi sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pankreas

terhadap penurunan sensitivitas jaringan terhadap efek metabolik insulin.

Penurunan sensitivitas insulin mengganggu penggunaan dan penyimpanan

karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan merangsang

peningkatan sekresi insulin sebagai upaya kompensasi (Guyton, 2008).

Gejala klasik dari DMT2 adalah terjadi peningkatan frekuensi buang air kecil

(polyuria), rasa haus (polydipsia), rasa lapar (polyphagia), penglihatan kabur, dan

lemas. Gejala tersebut merupakan manifestasi dari kondisi hiperglikemi. Akan

tetapi pasien DMT2 biasanya mengalami gejala hiperglikemi insidental dan

seringkali tidak memiliki gejala yang signifikan sebelum munculnya komplikasi

(PERKENI, 2011).

Seiring dengan peningkatan usia (umur 40 tahun), kejadian obesitas (obesitas

sentral) dan kurangnya aktivitas fisik maka risiko perkembangan diabetes juga akan

meningkat (Leahy, 2005). Faktor lain yang dapat meningkatkan kejadian DMT2

adalah faktor genetik, penyakit vaskular, dislipidemia, riwayat menderita DM

gestasional dan adanya riwayat kegagalan toleransi glukosa impair fasting glucose

(IFG) / impair glucose tolerance (IGT).

(31)

Salah satu hal penting dalam evaluasi pasien DM adalah kontrol glikemik

karena berhubungan dengan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskuler akibat

DM yang akan atau telah terjadi (Lehman & Krumholz, 2009 ; Montori & Balsells,

2009). Studi UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) menyatakan bahwa

komplikasi mikrovaskular dapat diturunkan dengan kontrol glikemik yang baik

dengan menggunakan obat anti diabetes. Rekomendasi lain menyatakan bahwa

terapi penurunan kadar gula darah secara baik dan tepat mendekati nilai normal

dapat menurunkan komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular (Skyler, 2004;

Stolar, 2010; WHO, 2011).

Pentingnya kontrol glikemik dalam managemen DM karena hal ini dapat

mengetahui efektivitas dari terapi yang telah dilakukan dan kepatuhan dalam

berobat (Skyler, 2004; Qaseem et al., 2007). Kontrol glikemik pada pasien DM

dapat memprediksi komplikasi yang telah dan akan terjadi dan memperkirakan

prognosis dari pasien DM. Selain itu juga dapat dipakai sebagai pegangan dalam

penyesuaian diet, latihan jasmani dan obat-obatan untuk mencapai kadar glukosa

senormal mungkin sehingga terhindar dari hiperglikemia maupun hipoglikemia

(PERKENI, 2011). Kontrol glikemik pada pasien DMT2 secara skematik dapat

digambarkan sebagai ‘triad glukosa’, dengan komponen HbA1C, kadar glukosa

puasa, dan kadar glukosa 2JPP (Monnier & Colette, 2009).

(32)

Gambar 2.1

Triad glukosa (Monnier & Colette, 2009)

2.4 Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah

Glukosa darah adalah sumber utama energi untuk sel-sel tubuh. Umumnya

tingkat gula darah bertahan pada batas-batas yang sempit sepanjang hari: 4-8

mmol/l (70-150 mg/dl). Tingkat ini meningkat setelah makan dan biasanya berada

pada level terendah pada pagi hari sebelum makan. Tingkat gula darah diatur

melalui umpan balik negatif untuk mempertahankan keseimbangan di dalam tubuh.

Tujuan pemeriksaan glukosa darah untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah

tercapai dan untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran

terapi. Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa

darah puasa, glukosa 2JPP, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala

sesuai dengan kebutuhan (PERKENI, 2011). Meskipun demikian, pemeriksaan

kadar glukosa sangat berfluktuasi dan hasilnya dapat dipengaruhi oleh stres,

penundaan pemeriksaan serum, merokok serta aktifitas sebelum uji laboratorium

dilakukan.

2.5 Hemoglobin Terglikasi (HbA1C)

2.5.1 Definisi

Hemoglobin terglikasi (HbA1C) merupakan zat yang terbentuk dari reaksi

kimia antara glukosa dan hemoglobin, melalui reaksi non-enzimatik antara glukosa

dengan N-terminal valine pada rantai beta hemoglobin A. Glukosa membentuk

ikatan aldimine dengan N H2- dari valine dalam rantai beta, basa Schiff yang

dihasilkan bersifat tidak stabil,kemudian melalui suatu penyusunan ulang(Amadori

(33)

& Mishra, 2011). HbA1C yang lebih dikenal dengan hemoglobin glikat adalah

salah satu fraksi hemoglobin di dalam tubuh manusia yang berikatan dengan

glukosa secara non enzimatik. HbA1C terbentuk dari protein dalam sel darah merah

atau disebut juga hemoglobin yang bereaksi dengan glukosa sehingga disebut

hemoglobin terglikasi. Ketika kadar glukosa dalam darah tinggi (hiperglikemi),

molekul-molekul glukosa dalam darah semakin banyak yang berikatan dengan

hemoglobin dan menyebabkan peningkatan dari HbA1C. Usia HbA1C mengikuti

usia dari sel darah merah yaitu 120 hari (Nathan et al., 2008).

Gambar 2.2

Proses glikasi hemoglobin (Jones, 2013)

2.5.2 HbA1C sebagai parameter kontrol DM

Hemoglobin terglikasi telah digunakan secara luas sebagai indikator kontrol

glikemik, karena mencerminkan konsentrasi glukosa darah 3 bulan sebelum

pemeriksaan dan tidak dipengaruhi oleh diet sebelum pengambilan sampel darah.

(Schneider et al., 2003; ADA, 2012). Kontrol glikemik pada pasien DMT2 secara

skematik dapat digambarkan sebagai ‘triad glukosa’, dengan komponen HbA1C,

kadar glukosa puasa, dan kadar glukosa postprandial. Saat ini, meskipun masih ada

perdebatan namun tampaknya penilaian kontrol glikemik terbaik ditentukan oleh

(34)

Pada sebuah analisis set data dari Diabetes Control and Complication Trial

(DCCT), dilaporkan hubungan lebih baik terhadap HbA1C didapatkan dari

konsentrasi glukosa setelah makan siang dan rata-rata kadar glukosa per hari

(Rohlfing et al., 2002). Studi lain lagi melaporkan apabila pasien dibagi menjadi 5

kelompok menurut kuintil HbA1C, glukosa postprandial memberikan kontribusi

terbesar (70%) pada kuintil HbA1C yang lebih rendah pada pasien dengan kontrol

diabetes baik hingga sedang. Sebaliknya, glukosa puasa tampaknya menjadi

kontributor utama kadar glukosa sepanjang hari pada pasien diabetes tidak

terkontrol (HbA1C >8,4%) (Monnier et al., 2003) Untuk pasien dengan kadar

HbA1C antara 7,3 dan 8,4%, kontribusi glukosa puasa dan postprandial adalah

sama (Rohlfing et al., 2002).

Kadar HbA1C memberikan informasi yang berguna pada kontribusi

postprandial hiperglikemi dan basal hiperglikemi pada pasien DMT2. Karena

glukosa postprandial adalah kontributor utama pada pasien dengan kadar HbA1C

6,5%-7,5%, maka logis untuk menurunkan glukosa postprandial mencapai kadar

HbA1C di bawah 6,5%. Sebaliknya, pada pasien dengan kadar HbA1C di atas

7,5%, hiperglikemi basal menjadi yang utama, sehingga terapi perbaikan kontrol

glikemik sebaiknya dimulai dengan obat yang bekerja menurunkan hiperglikemia

basal dan interprandial. Saat ini, ada dua nilai HbA1C yang digunakan untuk

menilai diabetes yang terkontrol yaitu: 7% oleh ADA dan 6,5% oleh AACE dan

IDF (Monnier & Colette, 2009).

Penelitian ADVANCE menunjukkan sedikit keuntungan bertahap pada

(35)

risiko hipoglikemi atau efek samping lain, kadar HbA1C yang diharapkan adalah

<7% (Monnier & Colette, 2009). Sebaliknya penelitian ACCORD menunjukkan

bahwa target HbA1C yang tidak terlampau ketat dari <7% lebih dianjurkan pada

pasien yang mendapat terapi obat hipoglikemik seperti sulfonilurea dan/ atau insulin

yang dapat mengakibatkan hipoglikemi. Rekomendasi lebih fleksibel sebaiknya

diaplikasikan kepada pasien dengan harapan hidup rendah atau dengan komplikasi

mikro dan makrovaskuler yang sudah lanjut (Monnier & Colette, 2009).

Studi yang dilakukan oleh McCance et al. tahun 1994 dalam menilai

kompilkasi mikrovaskular yakni kejadian retinopati pada pasien diabetes

mendapatkan cut off point optimum HbA1C adalah ≥7% dengan nilai sensitivitas

78% dan spesifisitas 85%. Cut off point glukosa puasa adalah ≥7,2 mmol/L (126

mg/dL) dengan nilai sensitivitas 81% dan spesifisitas 80%, sedangkan cut off point

optimum dari glukosa 2JPP adalah ≥13.0 mmol/L (234 mg/dL) dengan sensitivitas

88% dan spesifisitas 81% (WHO, 2011).

2.5.3Kelebihan dan kekurangan pemeriksaan HbA1C

Tidak ada tes diagnostik klinis yang sempurna. Untuk penggunaan klinis, tes

yang ideal adalah akurat, spesifik, terstandardisasi, mudah dilakukan dan tidak

mahal. Keuntungan dalam melakukan pemeriksaan HbA1C dalam mendiagosis DM

antara lain tidak diperlukan puasa sehingga nyaman untuk pasien, hasil yang stabil

untuk memantau kondisi hiperglikemik selama tiga bulan yang lalu tanpa

dipengaruhi kondisi stres dan sakit. Selain itu, HbA1C dapat digunakan sebagai tes

saring bagi seseorang dengan risiko tinggi terkena DM (Gillett, 2009; Kilpatrick et

(36)

Pada beberapa keadaan, HbA1C tidak dapat mencerminkan kontrol glukosa

darah. Hal ini penting diketahui karena dapat menyebabkan under- atau over

treatment. Meskipun saat ini HbA1C secara luas telah digunakan sebagai penanda

kontrol glikemik, namun HbA1C tidak mencerminkan perubahan glikemia dalam

periode yang relatif singkat, dan akurasinya dikatakan menurun jika disertai dengan

abnormalitas metabolisme hemoglobin seperti anemia dan pada pasien penyakit

ginjal kronis (PGK) tahap akhir atau end stage ranal disease (ESRD) (Peacock et

al., 2008; Nitin, 2010; Son et al., 2013; WHO, 2011).

2.6Albumin Terglikasi / GlycatedAlbumin (GA)

2.6.1 Metabolisme albumin

Dalam tubuh manusia dewasa albumin disintesa oleh hati sekitar 100-200

mikrogram per gram jaringan hati per hari. Albumin didistribusikan secara vaskuler

dalam plasma dan secara ekstravaskuler dalam kulit, otot, dan beberapa jaringan

lain. Sintesa albumin dalam sel hati dilakukan dalam dua tempat, pertama pada

polisom bebas dimana dibentuk albumin untuk keperluan intravaskuler. Kedua,

poliribosom yang berkaitan dengan retikulum endoplasma dimana dibentuk albumin

untuk didistribusikan ke seluruh tubuh (Kim & Lee, 2012).

Sintesa albumin dipengaruhi beberapa faktor, yaitu nutrisi terutama asam

amino, hormon dan adanya suatu penyakit. Asam amino yang dapat merangsang

terjadinya sintesa albumin adalah triptofan, arginin, ornitin, lisin, fenilalanin,

treonin dan prolin. Sedangkan hormon yang dapat merangsang sintesa albumin

adalah tiroid, hormon pertumbuhan, insulin, adrenokortikotropik, testosteron, dan

korteks adrenal. Adapun yang dapat menghambat sintesa albumin adalah alkohol

(37)

pada seseorang penderita penyakit hati kronis, ginjal, dan kekurangan gizi seperti

kwashiorkor (Kim & Lee, 2012).

2.6.2 Proses glikasi albumin

Albumin adalah salah satu protein plasma yang telah diketahui paling

lama dan merupakan komponen terbesar dari protein plasma, mewakili lebih dari

80% molekul total dan 60% konsentrasi protein plasma total (Roohk & Zaidi,

2008). Konsentrasi normal albumin adalah 35-50 g/l, yang membuatnya menjadi

protein paling banyak dalam plasma dengan berbagai fungsi fisiologis (Evans,

2002). Secara struktural, albumin terbuat dari 585 asam amino dan mengandung 35

residu sistein penting (kecuali Cys-34) yang membentuk jembatan disulfida yang

berkontribusi terhadap struktur protein tersier secara keseluruhan (Kim & Lee,

2012).

Gambar 2.3

Struktur albumin (Kim & Lee, 2012)

Glikasi (kadang disebut glikosilasi nonenzimatik) merupakan proses

sederhana dimana kelebihan molekul gula seperti fruktosa atau glukosa,

menempelkan dirinya sendiri dengan molekul protein atau lipid yang normal dalam

darah tanpa intervensi enzimatik (Kim & Lee, 2012). Monosakarida memiliki

(38)

memiliki sekitar 10 kali aktivitas glikasi glukosa. Kekhawatiran mengenai glikasi

pada diabetes muncul dari fakta bahwa gula tereduksi berpotensi untuk

menginduksi glikasi dan mengganggu fungsi sejumlah protein. Karena semua

protein rentan terhadap glikasi, gangguan ini dapat menimbulkan efek yang

menonjol. Produk glikasi dapat diklasifikasikan menjadi produk awal dan produk

tahap lanjut. Awalnya, basa Schiff yang reversibel dan tidak stabil dibentuk dari

ikatan glukosa atau derivatnya dengan grup albumin yang memiliki amin bebas

(glikasi reversibel, glikasi 1-2 minggu), menyebabkan pembentukan residu

fruktosamin yang stabil (ketoamin) melalui dibuangnya air. Pengaturan ulang

senyawa ini akhirnya menghasilkan senyawa amadori yang ireversibel (glikasi

ireversibel, glikasi 6-8 minggu). Ini merupakan proses glikasi awal dan juga dikenal

sebagai reaksi Maillard. Modifikasi tahap lanjut pada produk glikasi tahap awal ini

(aduksi Amadori), seperti pengaturan ulang, oksidasi, polimerisasi, dan

pembelahan, menghasilkan konjugat ireversibel yang disebut advanced glycated

end products (AGE). Produk AGE dianggap sebagai penanda berbagai penyakit

seperti arteriosklerosis, gagal ginjal, penyakit alzheimer, atau diabetes, dan juga

mengalami peningkatan selama proses penuaan (Koga & Kasayama, 2010 ;Kim &

(39)

Gambar 2.4

Proses glikasi albumin (Kim & Lee, 2012)

2.6.3Manfaat GA

2.6.3.1Pemantauan perubahan kadar glukosa darah yang lebih cepat

Masa paruh albumin serum lebih pendek dibandingkan eritrosit. Hal tersebut

menyebabkan perubahan kadar GA lebih cepat ketika terjadi perubahan status

kontrol glukosa dalam waktu yang singkat. Perubahan yang singkat biasanya terjadi

karena ada faktor terapi luar, seperti pengobatan oral maupun injeksi insulin. Di sisi

lain, kadar GA juga lebih baik dibanding HbA1C ketika status glukosa darah

memburuk (terjadi peningkatan kadar glukosa) dalam waktu yang singkat. Dalam

kasus ini, GA menangkap sinyal kenaikan kadar glukosa lebih dini dibandingkan

HbA1C. HbA1C tetap normal atau terjadi sedikit peningkatan pada diagnosis

fulminan diabetes melitus tipe 1 (DMT1) dimana sel-sel β-pankreas rusak dengan

cepat, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa plasma dan ketoasidosis dalam

jangka sangat pendek. Pada kasus-kasus tersebut, GA merupakan parameter yang

lebih baik dibandingkan HbA1C karena lebih cepat menggambarkan perubahan

status glukosa darah yang disebabkan oleh efek pengobatan (Koga & Kasayama,

2010).

Perubahan status glikemik pada GA yang lebih cepat dibandingkan HbA1C,

dapat membantu dokter dalam memberikan dosis yang akan diberikan kepada

pasien yang sedang dalam pengobatan. Dengan respons yang lebih cepat pada

perubahan kadar glukosa dibandingkan HbA1C, GA dapat sangat bermanfaat pada

saat penyesuaian dosis untuk pasien dalam terapi. Takahashi et al, menemukan

(40)

HbA1C dengan pemberian terapi insulin intensif, walaupun pada akhirnya

persentase penurunan HbA1C dan GA akan sama pada minggu ke-16 setelah terapi.

Rasio GA/HbA1C sangat menurun pada 8 minggu terapi, dan berangsur naik dalam

8 minggu berikutnya. Dengan demikian, GA dapat dijadikan parameter pemantauan

yang lebih sensitif untuk mendeteksi perbaikan kontrol glikemik yang lebih dini

ketika memulai atau sedang dalam proses pengobatan. Hal ini menjelaskan bahwa

GA dapat menggambarkan efek pengobatan lebih baik, sehingga dokter dapat

memberikan penyesuaian dosis obat yang diberikan kepada pasien dengan lebih

efektif (Takahashi et al., 2007 ; Koga & Kasayama, 2010).

2.6.3.2Pemantauan kadar glukosa darah pada pasien dengan dialisis dan anemia

Telah diketahui jika pada kondisi pasien yang mengalami kerusakan ginjal

tingkat akhir yang mengharuskan pasien menjalani hemodialisis, umur dari eritrosit

menjadi lebih pendek. Hal ini menyebabkan penurunan kadar HbA1C (rendah

palsu) sehingga pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan HbA1C tidak dapat

dipakai dengan baik. Selama hemodialisis, uremia, kehilangan darah pada saat

pengobatan, dan pengambilan darah secara frekuentif dapat berkontribusi pada

pengurangan waktu paruh sel darah merah. Umur paruh eritrosit yang memendek

dan transfusi dapat menurunkan kadar HbA1C, yang berpotensial untuk membuat

penilaian kontrol glikemik tidak dapat digunakan. Studi menyebutkan bahwa kadar

HbA1C relatif lebih rendah pada pasien diabetes melitus dengan dialisis

dibandingkan dengan GA. Pada pasien PGK tahap akhir atau ESRD, kadar rendah

HbA1C berkorelasi dengan rendahnya kadar hemoglobin dan tingginya dosis terapi

(41)

mendorong pembentukan eritrosit dan meningkatkan kelangsungan hidup eritrosit.

Namun, pasien dialisis dengan kadar hemoglobin rendah dapat mengurangi

kelangsungan hidup eritrosit dan menurunkan waktu paruh hemoglobin yang tidak

dapat diatasi dengan pemberian dosis tinggi eritropoietin. Hal tersebut menunjukkan

bahwa GA dapat menjadi parameter yang lebih baik dibandingkan HbA1C pada

pasien hemodialisis (Peacock et al., 2008).

2.6.3.3Pemantauan kadar glukosa darah pada kehamilan

Kontrol glikemik pada wanita hamil dengan DM atau diabetes gestasional

menjadi sangat penting untuk menurunkan risiko terjadinya kematian janin, dan

penyulit maternal. Studi menunjukan terjadi penurunan kadar HbA1C pada

trimester kedua, dilanjutkan peningkatan yang cukup signifikan pada trimester

ketiga kehamilan. Dari trimester kedua ke trimester ketiga kehamilan, kadar HbA1C

meningkat dan kadar transferin jenuh serta feritin menurun, sedangkan GA tidak

menunjukkan perubahan yang signifikan (Hashimoto et al., 2010 ; Danese et al.,

2015).

Perubahan kadar HbA1C selama kehamilan diduga disebabkan karena

kekurangan zat besi. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar wanita hamil

mengalami kekurangan zat besi. Kadar transferin dan feritin ditemukan relatif lebih

rendah pada wanita hamil. Feritin merupakan protein penyimpan zat besi paling

utama dalam tubuh, sedangkan transferin adalah protein yang membawa besi dalam

(42)

dan feritin. Kenaikan HbA1C pada masa akhir kehamilan sangat dipengaruhi oleh

kekurangan zat besi (Hashimoto et al., 2010 ; Danese et al., 2015).

Korelasi terbalik antara HbA1C dan zat besi menyimpulkan bahwa kenaikan

HbA1c terjadi akibat dari kekurangan zat besi di trimester ketiga kehamilan, baik

wanita sehat maupun diabetes melitus. Hal ini menunjukkan bahwa HbA1C bukan

indeks kontrol yang baik untuk pemantauan kadar glukosa darah pada kehamilan.

Pada kasus ini, karena GA tidak terpengaruh oleh kekurangan zat besi dan dapat

merefleksikan perubahan jangka pendek rerata glukosa darah, GA dapat dijadikan

parameter yang lebih baik sebagai pemantauan kadar glukosa (Hashimoto et al.,

2010 ; Danese et al., 2015).

2.6.3.4Pemantauan hiperglikemia postprandial dan fluktuasi glukosa

Beberapa studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa hiperglikemia

postprandial menjadi faktor risiko penyakit kardiovaskular. Studi Funugata

menunjukkan bahwa glukosa plasma postprandial dalam tes toleransi glukosa

merupakan faktor risiko yang lebih kuat untuk kejadian kardiovaskular daripada

glukosa plasma puasa. Selain itu dilaporkan bahwa pemberian α-glucosidase

inhibitor acarbose untuk pasien dengan gangguan toleransi glukosa atau diabetes

melitus dikaitkan dengan pengurangan risiko kardiovaskular (Tominaga et al.,

1999).

Lanjutnya, GA dapat menangkap perubahan pada kadar glukosa

postprandial dibandingkan glukosa darah rerata dan HbA1C. Rasio GA/HbA1C

pada pasien DMT1 yang lebih besar dibandingkan DMT2 memperlihatkan bahwa

(43)

memiliki fluktuasi glukosa yang lebih tinggi dibandingkan DMT2. Berdasarkan

fenomena tersebut, pada pasien DMT1 dan DMT2 yang tidak menunjukkan

perbedaan pada kadar HbA1C, kadar GA signifikan lebih tinggi. Hal tersebut

menunjukkan bahwa GA mungkin lebih kuat mencerminkan kadar glukosa plasma

postprandial dan berbagai fluktuasi glukosa plasma dari HbA1C (Koga &

Kasayama, 2010).

Studi DCCT menunjukkan bahwa injeksi insulin intensif dapat mengurangi

risiko retinopati dibandingkan dengan insulin konvensional pada pasien DMT1,

bahkan pada keadaan dimana tidak ada perubahan kadar HbA1C. Injeksi insulin

intensif diduga dapat menurunkan fluktuasi dan perubahan kadar glukosa darah, dan

akan dapat menurunkan risiko kejadian mikroangiopati. Kadar glukosa postprandial

ditemukan menjadi prediktor yang lebih baik untuk retinopati diabetik

dibandingkan HbA1C pada DMT2. Kenaikan fluktuasi glikemik dan/atau

perubahan glukosa postprandial telah menunjukkan adanya kenaikan risiko pada

makroangiopati diabetik. GA sebagai parameter jangka pendek-menengah dapat

menagkap perubahan/fluktuasi glukosa plasma. Yoshiuchi et al menjelaskan bahwa

rasio GA/HbA1C lebih tinggi pada pasien DMT1 dibandingkan DMT2, dimana

terjadi fluktuasi kadar glukosa darah yang cukup tinggi pada pasien DMT1 (Koga &

Kasayama, 2010 ; Yoshiuchi et al., 2008). Studi DCCT menunjukkan bahwa secara

independen, GA dan HbA1C menjadi parameter yang baik untuk risiko

mikroangiopati. Korelasi paling kuat adalah ketika kadar GA dan HbA1C digabung

sebagai parameter, sehingga saling mendukung dari potensi masing-masing

(44)

5.2GA sebagai penanda kontrol glikemik pada penderita DM

Fruktosamin, GA, dan HbA1C, merupakan glycated protein non-enzimatik

yang digunakan sebagai penanda kontrol glikemik pasien diabetes. GA merupakan

bentuk formasi ikatan antara molekul-molekul albumin dan glukosa melalui reaksi

oksidasi non-enzimatik. Serupa dengan fruktosamin, GA merupakan indeks kontrol

glikemik yang tidak dipengaruhi oleh gangguan metabolisme hemoglobin. Selain

itu, GA mencerminkan status glukosa darah yang lebih pendek dibandingkan

HbA1C, yakni 2-4 minggu sebelumnya. GA tidak dipengaruhi oleh kadar protein

serum layaknya fruktosamin, karena GA menghitung rasio antara kadar albumin

glikat dengan total albumin serum (Koga & Kasayama, 2010). Glukosa berikatan

kuat dengan albumin serum pada 4 situs residu lisin, dan reaksi glikasi terjadi 10

kali lipat lebih cepat dibandingkan glikasi pada hemoglobin. Karena itu, GA dapat

lebih menangkap fluktuasi dan perubahan status glikemik lebih cepat dan nyata

dibandingkan HbA1C (Yoshiuchi et al., 2008).

GA menggambarkan kendali glikemik dalam jangka waktu yang lebih pendek,

namun GA tidak dipengaruhi oleh kadar albumin serum karena dihitung dari rasio

albumin serum total. Beberapa studi pernah melaporkan nilai rujukan GA antara

lain oleh Tominaga et al (1999) pada populasi orang Jepang adalah 12,3-16,9%.

Penelitian oleh Kohjuma et al (2011) mendapatkan nilai rujukan GA pada populasi

Amerika adalah 11,9-15,8%. Oleh Roohk & Zaidi (2008), target kendali glikemik

yang diukur dengan parameter GA adalah <20%, dengan nilai normalnya adalah

11-16%. Studi oleh Pu et al (2007), predective values dari GA dan HbA1C dalam

(45)

Receiver Operating Characteristic(ROC) curve GA adalah 0,620 (62%) lebih baik

dibanding HbA1C (54,3%) dengan cut off pointGA ≥19%.

Dalam 15-20 tahun terakhir, selain GA, banyak publikasi laporan yang

mendeskripsikan pemeriksaan penanda protein serum yakni fruktosamin (FA)

sebagai metode untuk menilai status glikemik dalam periode intermediet (2-4

minggu). Dinamakan fruktosamin karena kesamaan struktur kimianya dengan

fruktosa yang mengacu kepada jumlah semua ikatan ketoamin yang dihasilkan dari

glikasi protein serum dalam sirkulasi. Pemeriksaan cepat untuk FA dijabarkan oleh

Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1997, dan dilaporkan beberapa

studi klinis dengan berbagai hasil, namun jalur komersil yang berliku untuk

pemeriksaan ini membuat penyediaannya susah, dan saat ini sudah tidak lagi

tersedia sebagai pemeriksaan komersil cepat. (Edelman et al., 2000; Roohk & Zaidi,

2008).

2.6.5 Kondisi yang mempengaruhi hasil GA

2.6.5.1Sirosis hati

Hati merupakan organ vital yang penting untuk meregulasi kadar glukosa

plasma. Gangguan metabolik glukosa muncul secara frekuentif pada pasien dengan

penyakit hati kronik, seperti hepatitis kronik dan sirosis hati. Pada pasien dengan

penyakit hati kronik, sekitar 70-90% terdiagnosa memiliki gangguan toleransi

glukosa dan 30-60% diantaranya adalah pasien DM. Sangat penting untuk tetap

dapat mengontrol kadar glukosa darah pada pasien tersebut. HbA1C memiliki

korelasi yang rendah pada pasien penyakit hati kronik, karena umur eritrosit yang

memendek. Sebaliknya nilai GA dan fruktosamin lebih tinggi pada pasien tersebut,

(46)

sintesis albumin yang menurun. Sangat sulit untuk memantau kadar glukosa darah

pada pasien dengan penyakit hati kronik karena tidak ada parameter yang bekerja

dengan baik pada kondisi tersebut (Koga & Kasayama, 2010).

2.6.5.2Gangguan metabolisme albumin

GA menunjukkan nilai yang lebih rendah pada pasien dengan sindrom

nefrotik, hipertiroid dan pada pengobatan steroid seperti glukokortikoid dimana

dapat meningkatkan metabolisme albumin. Penurunan kadar GA pada kondisi

tersebut disebabkan karena memendeknya masa paruh albumin serum karena

peningkatan metabolisme serum albumin. Sedangkan GA menunjukkan nilai yang

lebih tinggi dibandingkan kadar glukosa plasma pada pasien dengan sirosis hati dan

Gambar

Gambar 2.2
Gambar 2.3

Referensi

Dokumen terkait

2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Diabetes Self Care Management ... 31 2.4 Hubungan Diabetes Self Care Management dengan Kontrol Glikemik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

kuantitas kalori pangan sekali konsumsi, dapat memperbaiki respons glikemik dan/atau menurunkan kadar glukosa darah pada siang atau sore hari dan menurunkan nafsu makan

Hal ini tidak sesuai dengan teori, disebabkan distribusi sampel penelitian sebagian besar memiliki kontrol glikemik yang buruk 38 penderita (60.3%), sehingga berkecenderungan

Hasil penghitungan korelasi Somers’d juga tidak menunjukkan hubungan atau korelasi yang signifikan antara kontrol glikemik pada pasien wanita DM tipe 2 dengan kejadian BAS

Beberapa peneliti mengaitkan capaian kontrol glikemik dengan kadar magnesium dalam serum dan menyimpulkan bahwa HbA1C yang buruk banyak terdapat pada pasien DM tipe 2 yang

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kontrol glikemik dengan profil serum kreatinin adalah keadaan kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia) pada pasien DM tipe

Penelitian dan data terkait faktor risiko terhadap status kontrol glikemik pada kehamilan dengan DM masih sangat jarang, sedangkan mema-hami faktor risiko status

Penelitian dan data terkait faktor risiko terhadap status kontrol glikemik pada kehamilan dengan DM masih sangat jarang, sedangkan mema-hami faktor risiko status