SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Jurusan Akuntansi
Diajukan Oleh: Endah K. Setiawati 0613010050/FE/EA
Kepada
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
Assalamualaikum Wr.Wb
Memanjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tugas penyusunan usulan penelitian yang berjudul : “Perbedaan Rasio Keuangan Daerah Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah (Studi Kasus Di Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung) “, dapat terselesaikan dengan lancar.
Adapun maksud penyusunan usulan penelitian ini adalah untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Tentunya dalam proses penulisan usulan penulis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam hal ini secara khusus peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, M.P selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Dr. Dhani Ichsanuddin Nur, MM selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Drs. Ec. Saiful Anwar, Msi selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
5. Prof. Dr. H. Soeparlan Pranoto, MM, AK selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah sabar memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis demi sempurnanya penyusunan usulan penelitian ini.
6. Seluruh staf pengajar dan karyawan di lingkungan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, khususnya segenap Dosen Jurusan Akuntansi yang telah membekali peneliti pengetahuan-pengetahuan yang sangat berguna dan berharga.
7. Kepala BPS Kab. Tulungagung, Kepala DPPKAD Kab. Tulungagung, Kepala BAPPEDA Kab. Tulungagung dan seluruh staf serta karyawan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung yang telah mengizinkan peneliti melakukan penelitian serta memberikan keterangan dan data yang berkenaan dengan usulan penelitian ini.
8. Secara khusus dengan rasa hormat menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Ayah dan Ibu beserta seluruh anggota keluarga besarku yang telah memberikan banyak dorongan, semangat serta doa restu, baik secara moril maupun materiil.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa usulan penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna kesempurnaan usulan penelitian ini.
iv
Akhir kata semoga usulan penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak demi kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi khususnya. Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Surabaya, Maret 2010
HALAMAN JUDUL ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
ABSTRAKSI... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang Masalah ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 5
1.3.Tujuan Penelitian ... 6
1.4.Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN MODEL ... 8
2.1.Hasil-Hasil Penelitian Terakhir ... 8
2.2.Kajian Teori ... 14
2.2.1. Anggaran ... 14
2.2.1.1. Pengertian Anggaran ... 14
2.2.1.2. Fungsi dan Tipe Anggaran ... 14
2.2.1.3. Pedoman dan Penyusunan Anggaran ... 16
2.2.1.4. Siklus Anggaran ... 18
2.2.2.2. Mekanisme Perencanaan Anggaran
Daerah ... 20 2.2.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) ... 21 2.2.3.1. Pengertian Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) ... 21 2.2.3.2. Struktur Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) ... 22 2.2.4. Keuangan Daerah ... 31
2.2.4.1. Pengertian dan Ruang Lingkup
Keuangan Daerah ... 31 2.2.4.2. Undang-Undang Pelaksanaan
Keuangan Daerah ... 32 2.2.5. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ... 35 2.2.5.1. Pengertian Kinerja Keuangan ... 35 2.2.5.2. Analisa Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah ... 36 2.2.6. Kinerja Keuangan Daerah ... 39 2.2.7. Analisis Rasio Keuangan Pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ... 41 2.2.7.1. Jenis Analisis Rasio Keuangan ... 41
2.2.8.2. Dalih Penyelenggaraan Otonomi Daerah ... 46
2.2.8.3. Tujuan Otonomi Daerah ... 47
2.2.8.4. Pengaruh Kebijakan Otonomi Daerah ... 48
2.2.8.5. Arti Penting Desentralisasi ... 49
2.2.8.6. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ... 49
2.2.9. Teori Probabilitas ... 50
2.2.9.1. Teori Hubungan Pemberlukan Otonomi Daerah dan Teori Probabilitas ... 51
2.2.10.Teori Yang Melandasi Hubungan Antara Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dengan Anggaran Berbasis Kinerja... 52
2.3.Kerangka Pikir ... 53
2.4.Hipotesis ... 55
BAB III METODE PENELITIAN ... 57
3.1.Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 57
3.1.1. Definisi Operasional... 57
3.1.2. Pengukuran Variabel ... 57
3.2.Teknik Penentuan Sampel ... 59
3.3.Teknik Pengumpulan Data ... 60
3.4.Teknik Analisis dan Uji Hipotesis ... 62
3.4.1. Uji Normalitas ... 62
3.4.2. Teknik Analisis Paired Sample T-Test ... 62
3.4.3. Uji Hipotesis ... 63
BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 65
4.1. Deskriptif Objek Penelitian ... 65
4.1.1. Keadaan Geografis Kota Tulungagung ... 65
4.1.2. Pemerintahan ... 65
4.1.3. Penduduk ... 66
4.1.4. Tenaga Kerja... 66
4.1.5. Pertanian ... 67
4.1.6. Peternakan ... 67
4.1.7. Pendidikan ... 68
4.2. Deskrisi Hasil Penelitian ... 68
4.2.1. Rasio Kemandirian ... 68
4.2.2. Rasio Aktifitas ... 70
4.2.3. Rasio Pertumbuhan... 73
4.3. Analisis dan Uji Hipotesis ... 74
4.3.1. Uji Normalitas ... 74
4.3.2. Analisis Paired Sample t Test (Uji Beda Rata-Rata Untuk Dua Sampel Berpasangan)... 75
kinerja ... 76
4.3.2.2. Perbedaan Rasio Aktivitas Sebelum dan Sesudah Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja ... 77
4.3.2.3. Perbedaan Rasio Pertumbuhan Sebelum dan Sesudah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja ... 80
4.4. Pembahasan Hasil Penelitian ... 81
4.4.1. Implikasi Hasil Penelitian... 81
4.4.2. Perbedaan Penelitian Sekarang dengan Penelitian Terdahulu... 83
4.4.3. Keterbatasan Penelitian ... 84
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 85
5.1. Kesimpulan ... 85
5.2. Saran ... 86 DAFTAR PUSTAKA
Gambar 2.1 : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ... 24 Gambar 2.2 : Laporan Surplus atau Defisit Anggaran... 41 Gambar 2.3 :Kerangka Pikir ... 55
xi
Tabel 4.1 : Data Rasio Kemandirian Sebelum Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja ... 69 Tabel 4.2 : Data Rasio Kemandirian Sesudah Pemberlakuan Anggaran
Berbasis Kinerja ... 69 Tabel 4.3 : Data Rasio Belanja Rutin Sebelum Pemberlakuan Anggaran
Berbasis Kinerja ... 70 Tabel 4.4 : Data Rasio Belanja Rutin Sesudah Pemberlakuan Anggaran
Berbasis Kinerja ... 71 Tabel 4.5 : Data Rasio Belanja Pembangunan Sebelum Pemberlakuan
Anggaran Berbasis Kinerja ... 72 Tabel 4.6 : Data Rasio Belanja Pembangunan Sesudah Pemberlakuan
Anggaran Berbasis Kinerja ... 72 Tabel 4.7 : Data Rasio Pertumbuhan Sebelum Pemberlakuan Anggaran
Berbasis Kinerja ... 73 Tabel 4.8 : Data Rasio Pertumbuhan Sesudah Pemberlakuan Anggaran
Berbasis Kinerja ... 74 Tabel 4.9 : Hasil Uji Normalitas... 75 Tabel 4.10 : Hasil Uji t Rasio Belanja Rutin dan Rasio Belanja
Oleh
Endah K. Setiawati ABSTRAK
Anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja keuangan Pemerintah Kota Tulungagung sebelum dan sesudah otonomi pasti mengalami perbedaan, karena sebelum otonomi kekayaan daerah Kota Tulungagung dikelola atau diatur oleh pemerintah sedangkan setelah terjadi otonomi daerah secara otomatis kekayaan daerah Kota Tulungagung diatur sendiri. Tujuan untuk menemukan bukti empiris perbedaan tingkat kemandirian keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung antara sebelum dan sesudah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja, untuk menemukan bukti empiris perbedaan tingkat Aktifitas PAD Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung antara sebelum dan sesudah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja, dan untuk menentukan bukti empiris perbedaan tingkat Pertumbuhan PAD Pemerintah Daerah kabupaten Tulungagung antara sebelum dan sesudah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja
Populasi penelitian ini adalah keseluruhan laporan keuangan Pemerintah Daerah Kota Tulungagung di Propinsi Jawa Timur sebelum dan sesudah diberlakukannya anggaran berbasis kinerja sedangkan sampelnya menggunakan laporan keuangan daerah Tingkat II Kota Tulungagung yaitu tahun anggaran 1998/1999 sampai 2003/2004 dengan menggunakan teknik purposive sampling. Untuk menjawab perumusan, tujuan dan hipotesis penelitian maka analisis yang digunakan adalah analisis Paired Sample t Test.
Berdasarkan hasil analisis Paired Sample t Test, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung dalam bentuk kemandirian keuangan daerah antara sebelum dan sesudah diberlakukannya anggaran berbasis kinerja, tidak terdapat perbedaan kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung dalam bentuk aktivitas keuangan daerah antara sebelum dan sesudah diberlakukannya anggaran berbasis kinerja dan tidak terdapat perbedaan kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung dalam bentuk pertumbuhan keuangan daerah antara sebelum dan sesudah diberlakukannya anggaran berbasis kinerja.
By
Endah K. Setiawati ABSTRACT
Budget performance is basically a system of local budget preparation and management-oriented results or performance achievements. Tulungagung City Government financial performance before and after decentralization must be having a difference, because before the autonomy of regional wealth Tulungagung City managed or regulated by the government while regional autonomy after the property is automatically set itself Tulungagung City area. Aim to find empirical evidence of differences in the level of financial independence Tulungagung District Government between before and after application of performance-based budget, to find empirical evidence of differences in activity levels of PAD District Government Tulungagung between before and after application of performance-based budget, and to determine differences in the level of empirical evidence local government revenue growth of this tourism between before and after application of performance-based budget
The population of this study is the overall financial statement Municipal Tulungagung in East Java province before and after the introduction of performance-based budget while the sample using the second level of local government financial reports Tulungagung City is the fiscal year 1998/1999 to 2003/2004 using the purposive sampling technique. To answer the formulation, research objectives and hypotheses used in the analysis is the analysis of Paired Sample t Test.
Based on analysis of Paired Sample t Test, we can conclude that there is no difference in financial performance Tulungagung District Government in the form of regional financial independence between before and after the introduction of
performance-based budgets, there was no difference in financial performance Tulungagung District Government in the form of regional financial activity between before and after the introduction of performance-based budget and there was no difference in financial performance Tulungagung District Government in the form of financial growth in the region between before and after the introduction of
performance-based budget.
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan undang nomor 25 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 33 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dengan system pemerintahan desentralisasi sudah mulai efektif dilaksanakan sejak 1 januari 2001. Undang-undang tersebut merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya.
Sebenarnya pertimbangan mendasar terselenggaranya Otonomi Daerah (Otoda) adalah perkembangan kondisi di dalam negeri yang mengindikasikan bahwa rakyat menghendaki keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Selain itu keadaan luar negeri yang juga menunjukkan bahwa semakin maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap negara, termasuk daya saing pemerintah daerahnya.
kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun karakteristik di daerah masing-masing. Hal ini ditempuh melalui peningkatan hak dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengelola rumah tangganya sendiri. (Bastian 2006).
Adapun misi utama undang nomor 22 tahun 1999 jo undang-undang nomor 32 tahun 2004 dan undang-undang-undang-undang nomor 25 tahun 1999 jo undang-undang nomor 33 tahun 2004 tersebut bukan hanya keinginan untuk melimpahkan kewenangan pembangunan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah efisiensi dan efektifitas sumber daya keuangan, untuk itu diperlukan suatu laporan keuangan yang handal dan dapat dipercaya agar dapat menggambarkan sumber daya keuangan daerah berikut dengan analisis prestasi pengelolaan sumber daya keuangan daerah itu sendiri (Bastian 2001:6). Hal tersebut sesuai dengan ciri penting dari suatu daerah otonom yang mampu menyelenggarakan otonomi daerahnya yaitu terletak pada strategi sumber daya manusia (SDM) dan kemampuan di bidang keuangan daerah (Soedjono 2000).
sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik (good governance).
Proses penyusunan anggaran sektor publik umumnya disesuaikan dengan peraturan lembaga yang lebih tinggi. Sejalan dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, lahirlah tiga paket perundang-undangan, yaitu UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yang telah membuat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengaturan keuangan, khususnya Perencanaan dan Anggaran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Kemudian, saat ini keluar peraturan baru yaitu PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang akan menggantikan Kepmendagri nomor 29 tahun 2002.
Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pasal 17 ayat 2, yaitu dalam menyusun arah dan kebijakan umum APBD diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat, berpedoman pada rencana strategis daerah dan dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan daerah, serta pokok-pokok kebijakan nasioanal dibidang keuangan daerah.
Sejalan dengan yang diamanatkan dalam undangundang nomor 17 tahun 2003 tentang perimbangan keuangan negara akan pula diterapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik agar penggunaan anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya oleh masyarakat (Abimanyu 2005).
Undang-Undang Nomor 17 menetapkan bahwa APBD disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai, untuk mendukung kebijakan ini perlu dibangun suatu sistem yang dapat menyediakan data dan informasi untuk menyusun APBD dengan pendekatan kinerja. Anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja.
(Roesman dan Dendis 2005). Dan pada tahun 2006 Permendagri 13/2006 sudah akan mulai efektif dilaksanakan.
Kinerja keuangan Pemerintah Kota Tulungagung sebelum dan sesudah otonomi pasti mengalami perbedaan, karena sebelum otonomi kekayaan daerah Kota Tulungagung dikelola atau diatur oleh pemerintah sedangkan setelah terjadi otonomi daerah secara otomatis kekayaan daerah Kota Tulungagung diatur sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian berkaitan dengan “Perbedaan Rasio Keuangan Daerah Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah (Studi Kasus Di Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung) “.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dalam penelitian ini peneliti mengemukakan beberapa rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan tingkat kemandirian keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung antara sebelum dan sesudah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja?
3. Apakah terdapat perbedaan tingkat Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung antara sebelum dan sesudah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menemukan bukti empiris perbedaan tingkat kemandirian keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung antara sebelum dan sesudah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja
2. Untuk menemukan bukti empiris perbedaan tingkat Aktifitas PAD Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung antara sebelum dan sesudah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Bagi Peneliti
Untuk menemukan bukti empiris tentang perbedaan kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung antara sebelum dan sesudah pemberlakuan anggaran berbasis kinerja.
2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung
Sebagai tambahan bahan referensi dalam menganalisis kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung sebelum dan sesudah diberlakukannya anggaran berbasis kinerja.
3. Bagi Akademisi
a. Memperluas jaringan kerjasama dengan lembaga dan instansi lain yang terkait.
b. Sebagai bahan referensi dan bacaan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
8 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL
2.1. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian yang terkait dengan analisa kinerja keuangan
pemerintah daerah pada era otonomi daerah juga telah banyak dilakukan.
Beberapa penelitian tersebut meskipun dengan permasalahan/tema yang
hampir sama, tetapi hasilnya relatif berbeda.
1. Widodo (2001)
Dengan judul: “Analisis Ratio Keuangan pada APBD Kabupaten
Boyolali”
Permasalahan yang diteliti apakah ada keterbatasan penyajian laporan
keuangan pada lembaga Pemda yang cakupannya berbeda dengan
lembaga komersial serta bagaimana menelii rasio keuangan APBD
apabila APBD disusun berdasarkan pendekatan kinerja pada Kabupaten
Boyolali.
Metode yang digunakan yaitu menggunakan analis ratio keuangan pada
APBD dengan cara membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode
dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Sedangkan data yang digunakan diperoleh dari APBD Kabupaten
2. Bambang Hariyadi (2002), Simposium Nasional Akuntansi V
Judul: “Analisis Pengaruh Fiscal Stress terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menghadapi Pelaksanaan Otonomi
Daerah (suatu kajian empiris di Provinsi Jawa Timur).
Permasalahan yang muncul adalah:
a. Apakah dengan adanya fiscal stress tersebut akan secara langsung mempengaruhi kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
menghadapi pelaksanaan Otonomi Daerah?
b. Apakah dengan adanya fiscall stress tingkat kesiapan pemerintah Kabupaten/Kota dalam menghadapi pelaksanaan Otonomi Daerah
semakin rendah dibandingkan periode anggaran sebelum terjadinya
fiscal stress? Hipotesis :
a. Pada periode sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia ternyata
tingkat kemampuan pembiayaan daerah dan melanda anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) relative lebih besar
dibandingkan sesudah krisis
b. Dengan terjadinya krisis pemerintah Kabupaten/Kota ternyata
mampu meningkatkan mobilitasi pembiyaannya.
c. Krisis ekonomi tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat motivasi
untuk terus meningkatkan pendapatan asli daerahnya (PAD) dan
d. Dengan terjadinya krisis ekonomi yang melanda, terbukti
berpengaruh terhadap tingkat desentralisasi fiscal yang dimiliki oleh
pemerintah Kabupaten/Kota bias dibuktikan dari nilai desentralisasi
fiscalnya yang semakin menurun setelah krisis ekonomi. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kewenangan dan tanggung jawab yang
diberikan pemerintah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan
pembangunan tingkatannya semakin menurun.
Kesimpulan:
a. Fiscal stress yang disebabkan karena pengaruh krisis ekonomi yang melanda Indonesia khususnya telah membawa pengaruh
yang besar terhadap kinerja keuangan Kabupaten/Kota di daerah
provinsi Jawa Timur. Pengaruh fiscal stress berupa ketidak stabilan kinerja keuangan yang dimiliki oleh seluruh pemerintah
Kabupaten/Kota selama sebelum sampai sesudah terjadinya
fiscal stresstersebut
b. Ketidakstabilan kinerja keuangan ini berdampak tehadap
kesiapan pemerintah Kabupaten/Kota dalam menghadapi
pelaksanaan ekonomi daerah yang menuntut kemampuan kinerja
keuangan pemerintahan Kabupaten/Kota untuk lebih mandiri.
Bila kinerja keuangan relative tidak stabil, maka diperlukan
kesiapan pemerintah kabupaten/Kota dalam melaksanakan
3. Nur Indrawati (2003)
Judul: “Perbedaan Kinerja Keuangan Pemerintah daerah Sebelum dan
Sesudah Otonomi Daerah pada Propinsi Jawa Timur”
Permasalahan:
a. Bagaimana kinerja keuangan Pemda sebelum dan sesudah otonomi
daerah di Propinsi jawa Timur?
b. Apakah ada perbedaan antara kinerja keuangan Pemda sebelum dan
sesudah otonomi daerah di Propinsi Jawa Timur?
Hipotesis:
a. Terdapat perbedaan rasio kemandirian antara sebelum dan sesudah
otonomi daerah.
b. Terdapat perbedaan rasio keserasian antara sebelum dan sesudah
otonomi daerah.
c. Terdapat perbedaan rasio pertumbuhan antara sebelum dan sesudah
otonomi daerah.
Metode yang digunakan adalah menggunakan analisis uji bedaa dua
rata-rata berpasangan sedangkan data yang digunakan adalah data laporan
realisasi APBD Pemda Tingakt II Propinsi Jawa Timur tahun Anggaran
1999-2000
Hasil dan Kesimpulan
Menunjukkan bahwa dari tiga rasio kinerja keuangan yang diteliti hanya
satu rasio kinerja keuangan yang memiliki perbedaan berarti sebelum
pertumbuhan sebelum dan sesudah otonomi memiliki kebenaran teruji
kebenarannya, sementara hipotesis yang lain tidak teruji kebenarannya.
4. Andika Sutrawan (2003)
Judul: “Perbedaan Anggaran Pendapatan Pemerintah Daerah Sebelun
dan Sesudah Pelaksanaan Otonomi daerah tahun 1999 di Propinsi Jawa
Timur”.
Permasalahan:
a. Apakah terdapat perbedaan proporsi PAD terhadap total penerimaan
pendapatan sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah?
b. Apakah terdapat perbedaan proporsi pajak daerah terhadap total PAD
sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah?
c. Apakah terdapat perbedaan proporsi retsibusi daerah terhadap total
PAD sebelum dan sesudah otonomi daerah?
Hipotesis:
Diduga terjadinya perbedaan proporsi PAD terhadap total penerimaan
pendapatan, proporsi pajak daerah terhadap total PAD, dan proporsi.
5. Priyastiwi (2005)
Judul: “Analisis Rasio Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan
Sesudah Otonomi”.
Permasalahan:
1) Apakah ada perbedaan antara rasio kemandirian Pemda sebelum dan
2) Apakah ada perbedaan antara rasio Pajak daerah terhadap PAD
Pemda sebelum dan sesudah otonom.
3) Apakah ada perbedaan antara rasio Retribusi Daerah terhadap PAD
Pemerintah daerah sebelum dan sesudah otonom.
4) Apakah ada perbedaan antara Rasio Belanja rutin terhadap APBD
Pemerintah Daerah sebelum dan sesudah otonom.
Hipotesis:
1) Ada perbedaan Rasio Kemandirian Pemerintah Daerah sebelum dan
sesudah otonom.
2) Ada perbedaan Rasio Pajak daerah terhadap PAD Pemerintah Daerah
sebelum dan sesudah otonom.
3) Ada perbedaan antara Rasio Retribusi Daerah terhadap PAD
Pemerintah Daerah sebelum dan sesudah otonom.
4) Ada perbedaan antara Rasio Belanja Rutin terhadap APBD
Pemerintah Daerah sebelum dan sesudah otonom.
Metode yang digunakan adalah menggunakan analisis uji beda dua
rata-rata berpasangan,sedangkan data yang digunakan adalah dengan data
Laporan Rasio Realisasi APBD.
Hasil dan Kesimpulan
Menunjukkan bahwa dari hasil kemandirian, rasio pajak daerah, rasio
retribusi daerah dan rasio belanja rutin setelah diteliti terdapat kenaikan
2.2. Kajian Teori 2.2.1. Anggaran
2.2.1.1. Pengertian Anggaran
Dalam organisasi sektor publik adanya anggaran sebagai
managerial plan for action sangat penting untuk memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi. Menurut Mardiasmo (2002:61) anggaran merupakan
pernyataan mengenai estimasi kinerjayang hendak dicapai selama periode
waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuranfinansial.
Menurut Bastian (2006 :164) yang mengutip dari National Committee on Governmental Accounting (NCGA), yaitu rencana operasi keuangan yang mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan, dan
sumber pendapatan yang diharapkan untuk membiayainya dalam periode
waktu tertentu.
2.2.1.2. Fungsi Dan Tipe Anggaran
Mardiasmo (2002:63), mengungkapkan ada beberapa fungsi utama
dari adanya anggaran sektor publik, yaitu:
1. Anggaran sebagai alat perencanaan (Planning Tool) 2. Anggaran sebagai alat pengedalian (Control Tool) 3. Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal (Fiscal Tool) 4. Anggaran sebagai alat politk (Political Tool)
6. Anggaran sebagai alat penilaian kinerja (Performance Measurement Tool)
7. Anggaran sebagai alat motivasi (Motivation Tool)
8. Anggaran sebagai alat menciptakan ruang publik (Publik Sphere)
Adapun tipe dari anggaran menurut Bastian (2006:166) adalah sebagai
berikut:
1. Line Item Budgeting
Line Item Budgeting adalah penyusunan anggaran yang didasarkan
pada dan dari mana dana berasal (pos-pos penerimaan) dan untuk apa
dana tersebut digunakan (pos-pos pengeluaran). Jenis anggaran ini
relatif dianggap paling tua dan banyak mengandung kelemahan atau
sering disebut traditional budgeting.
2. Planning Programming Budgeting System (PPBS)
Planning Programming Budgeting System adalah suatu proses
perencanaan, pembuatan program, dan penganggaran, serta di
dalamnya terkandung identifikasi tujuan organisasi atas permasalahan
yang mungkin timbul.
3. Zero Based Budgeting (ZBB)
Zero Based Budgeting merupakan sistem anggaran yang didasarkan
pada perkiraan kegiatan, bukan pada apa yang telah dilakukan di masa
4. Performance Budgeting
Performance Budgeting adalah sistem penganggaran yang berorientasi
pada output organisasi dan berkaitan erat dengan Visi, Misi dan Rencana StrategisOrganisasi.
5. Medium Term Budgeting Framework (MTBF)
Medium Term Budgeting Framework adalah suatu kerangka strategi
kebijakan pemerintah tentang anggaran belanja untuk departemen dan
lembaga pemerintah non departemen, dan kerangka tersebut
memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada departemen
untuk penetapan alokasi dan penggunaan sumber dana pembangunan.
2.2.1.3. Pedoman dan Penyusunan Anggaran
Berdasarkan pada hakekat dari anggaran daerah tersebut diatas,
maka penyusunan APBD hendaknya mengacu pada norma dan prinsip
anggaran sebagai berikut: (Abdul Halim, 2001).
a. Keadilan Anggaran
Keadilan merupakan salah satu misi utama yang diemban pemerintah
daerah dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang
berkaitan dengan pengelolaan anggaran daerah. Hal tersebut
mengharuskan pemerintah daerah untuk merasionalkan pengeluaran
atau belanja secara adil untuk dapat dinikmati hasilnya secara
b. Efisiensi dan efektifitas anggaran
Hal perlu diperhatikan dalam prinsip ini adalah bagaimana
memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat menghasilkan
perbaikan pelayanan kesejahteraan yang maxsimal guna kepentingan
masyarakat. Secara umum, kelemahan yang sangat menonjol dari
anggaran selama ini adalah keterbatasan daerah untuk
mengembangkan instrument teknis perencanaan anggaran yang
berorientasi pada kinerja.
c. Disiplin anggaran
Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten
APBD adalah rencana pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah untuk satu tahun anggaran
tertentu yang ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda). Bila terdapat
kegiatan baru yang harus dilaksanakan dan sebelum tersedia kredit
anggarannya, maka perubahan APBD dapat dipercepat dengan
memanfaatkan dengan memanfaatkan pengeluaran.
d. Akuntanbilitas dan trasparasi anggaran
APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas tentang tujuan,
sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu
kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Selain itu setiap dana yang
2.2.1.4. Siklus Anggaran
Prinsip-prinsip pokok siklus anggaran perlu diketahui dan dikuasai
dengan baik oleh penyelenggaraan pemerintahan. Siklus anggaran terdiri
atas empat tahap, yaitu : (Mardiasmo, 2002 : 70)
1) Tahap Persiapan dan Penyusunan Anggaran (Budget Preparation) Pada tahap persiapan dan penyusunan anggaran dilakukan taksiran
pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Terkait
dengan masalah tersebut, yang perlu diperhatikan adalah sebelum
menyetujui taksiran pengeluaran, hendaknya terlebih dahulu dilakukan
penaksiran pendapatan secara akurat. Selain itu, harus disadari adanya
masalah yang cukup berbahaya jika anggaran pendapatan diestimasi
pada saat bersamaan dengan pembuatan keputusan tentang anggaran
pengeluaran.
2) Tahap Ratifikasi Anggaran
Tahap berikutnya adalah budget ratification. Tahap ini merupakan tahap yang melibatkan proses poliik yang cukup rumit dan cukup
berat. Pimpinan eksklusif (kepala daerah) dituntut tidak hanya
memiliki “managerial skill” namun juga harus memiliki “political skill”, “salesmanship”, dan “coalition building” yang memadai. Integritas dan kesiapan mental yang toinggi dari eksklusif sangat
penting dalam tahap ini. Hal tersebut penting karena dalam tahap ii
dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala
pertanyaan-pertanyaan dan bantahan-bantahan dari pihak legeslatif.
3) Tahap Pelaksanaan Anggaran (Budget Implementation)
Setelah anggaran disetujui oleh legeslatif, tahap berikutnya adalah
pelaksanaan anggaran. Dalam tahap ini, hal penting yang harus
diperhatikan oleh menejer keuangan public adalah memiliki system
(informasi) akuntansi dan system pengendalian manajemen. Manajer
keuangan public dalam hal ini bertanggung jawab untuk menciptakan
system akuntansi yang memadai dan handal untuk perencanaan dan
pengendalian anggaran yang telah disepakati, dan bahkan dapat
diandalkan untuk tahap penyusunan anggaran periode berikutnya.
Sistem akuntansi yang digunakan hendaknya juga mendukung
pengendalian anggaran.
4) Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran
Tahap akhir dari siklus anggaran adalah pelaporan dan evaluasi
anggaran. Tahap persiapan, ratifikasi, dan implementasi anggaran
terkait dengan aspek operasional anggaran, sedangkan tahap pelaporan
dan evaluasi terkait dengan aspek akuntanbilitas. Apabila pada tahap
implementasi telah didukung dengan system akuntansi dan system
pengendalian manajemen yang baik, maka pada tahap pelaporan dan
2.2.2. Anggaran Kinerja
2.2.2.1. Pengertian Anggaran Kinerja
Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam era otonomi
daerah disusun dengan pendekatan kinerja, artinya sistem anggaran yang
mengutamakan pencapaian hasil kinerja atau keluaran (output) dari perencanaan alokasi biaya yang telah ditetapkan. dengan demikian
diharapkan penyusunan dan pengalokasian anggaran dapat lebih
disesuaikan dengan skala prioritas dan preferensi daerah yang
bersangkutan (Mariana 2005).
2.2.2.2. Mekanisme Perencanaan Anggaran Daerah
Persiapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(RAPBD), pemerintah daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) menyusun arah dan kebijakan umum yang disepakati
sebagai pedoman dalam penyusunan APBD. Adapun mekanisme
penyusunan APBD menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29
tahun 2002 adalah sebagai berikut:
1. Untuk menyiapkan RAPBD pemerintah daerah bersama-sama DPRD
menyusun arah dan kebijakan umum APBD, atas dasar:
a. Rencana tahunan daerah yang dimuat dalam rencana strategi
b. Penjaringan aspirasi masyarakat untuk mengidentifikasi
perkembangan kebutuhan dan keinginan masyarakat
c. Data historis mengenai pencapaian kinerja pelayanan pada
tahun-tahun anggaran sebelumnya
d. Konsep awal arah dan kebijakan umum APBD juga disusun
berdasarkan pokok-pokok pikiran APBD
e. Pokok-pokok kebijakan pengelolaan keuangan daerah dari
pemerintah atasan
f. Melibatkan masyarakat pemerhati/tenaga ahli penyusunan konsep
arah dan kebijakan umum APBD
2. Pemerintah daerah dan DPRD membahas konsep arah dan kebijakan
umum APBD sehingga diperoleh kesepakatan antara kedua belah
pihak
3. Hasil kesepakatan dituangkan dalam nota kesepakatan yang
ditandatangani bersama antara pemerintah daerah dan DPRD
2.2.3. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD)
2.2.3.1. Pengertian Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Halim (2006:16) yang mengutip dari Mamesah (1995:20)
berpendapat bahwa:
“APBD berdasarkan pasal 64 ayat (2) undang-undang nomor 5 tahun 1974
dapat diartikan sebagai rencana operasional keuangan pemerintah daerah,
setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah
dalam 1 tahun anggaran tertentu, dan dipihak lain menggambarkan
perkiraan penerimaam dan sumber-sumber penerimaan daerah guna
menutupi pengeluaran-pengeluaran dimaksud” .
Berdasarkan definisi diatas maka unsur-unsur yang terdapat dalam APBD
adalah:
1. Rencana kegiatan suatu daerah
2. Adanya sumber penerimaan untuk menutupi pengeluaran pemerintah
daerah
3. Jenis kegiatan dan proyek dalam bentuk angka
4. Adanya periode anggaran biasanya 1 tahun
Sedangkan definisi APBD menurut Peraturan Menteri Dalam
Negeri nomor 13 tahun 2006, tentang pedoman pengelolaan keuangan
daerah, yaitu rencana keuangan tahunan pemerintah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan
dengan peraturan daerah.
2.2.3.2. Struktur Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD)
Di era pasca reformasi bentuk APBD mengalami
perubahan-perubahan mendasar, yang didasarkan pada peraturan-peraturan, terutama
undang nomor 22 tahun 1999, tentang pemerintah daerah,
undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara
tentang tata cara pertanggungjawaban kepala daerah, (Halim 2001:18).
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 struktur
APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah,
belanja daerah, dan pembiayaan daerah.
Pada Gambar 2.1 di bawah ditunjukkan perkiraan struktur APBD
berdasarkan peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002, tentang
pengelolaan dan pertangungjawaban keuangan daerah (Halim 2001:19). Supaya lebih jelas berikut ini adalah penjelasan dari komponen-komponen
struktur APBD tersebut, yaitu:
A. Pendapatan
Pendapatan adalah semua penerimaan daerah dalam bentuk
peningkatan aktiva atau penurunan utang dari berbagai sumber dalam
periode tahun anggaran bersangkutan (Halim 2001:64). sedangkan
Rosjidi (2001:85) mengungkapakan , sama halnya dengan APBN,
anggaran pendapatan daerah, dibagi ke dalam (2) dua kelompok
sumber penerimaan, yaitu:
1. Rencana penerimaan rutin
2. Rencana penerimaan pembangunan
Baik anggaran penerimaan rutin maupun anggaran penerimaan
pembangunan bersumber dari:
1. Pendapatan asli daerah
2. Dana perimbangan
3. Pinjaman daerah
Propinsi/kabupaten/kota ..
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH Tahun Anggaran:...
PENDAPATAN Rp ...
Pendapatan Asli Daerah Rp ...
a. Pajak Daerah Rp …..
b. Retribusi Daerah Rp ...
c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Pengelolaan Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan Rp ...
2. Belanja Operasi, Pemeliharaan sarana,
dan Prasarana Publik Rp …..
Pembayaran utang pokok yang jatuh tempo Rp ….. Transfer ke dana cadangan Rp …..
Penyertaan Modal Rp …..
Sisa lebih anggaran tahun lalu Rp …..
Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2003,
tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan
keuangan daerah serta tata cara penyusunan anggaran pendapatan dan
belanja daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan
perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), pendapatan
dirinci menurut kelompok pendapatan yang meliputi:
a. Pendapatan asli daerah (PAD)
b. Dana perimbangan
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut Halim (2001:64) PAD merupakan semua penerimaan
daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok PAD
dipisahkan menjadi empat jenis, yaitu:
a. Pajak daerah
b. Retribusi daerah
c. Bagian laba usaha daerah
d. lain-lain PAD
2. Dana Perimbangan
Menurut Halim (2001:65), dana perimbangan merupakan dana
yang bersumber dari penerimaan anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai
1. Bagi hasil pajak, terdiri atas pajak bumi dan bangunann (PBB), bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan, pajak penghasilan 21
2. Bagi hasil bukan pajak, terdiri atas provisi sumber daya hutan (PSDH),
pemberian hak atas tanah negara, landrent, dan penerimaan dari iuran
eksplorasi
3. Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
4. Dana Alokasi Khusus (DAK)
DAK adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada
daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu.
5. Dana darurat, terdiri atas dana kontigensi
3. Lain-Lain Pendapatan Yang Sah
Lain-lain pendapatan yang sah adalah hibah (grant), dan dana darurat untuk keperluan mendesak, misalnya bencana alam nasional
yang tidak bisa ditanggulangi oleh daerah.
Pada Rosjidi (2001:87) ada satu lagi sumber-sumber penerimaan
daerah yaitu pinjaman daerah. Pinjaman daerah adalah penerimaan yang
diperoleh daerah bersumber dari pinjaman dalam negeri maupun luar
negeri. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek
B. Belanja
Belanja daerah menurut kepmendagri nomor 29 tahun 2002
yaitu semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran
tertentu yang menjadi beban daerah. Belanja daerah terdiri dari:
1. Belanja aparatur daerah
2. Bagian belanja pelayanan public
Masing-masing bagian belanja tersebut dirinsci menurut
belanja yang meliputi:
1. Belanja Administrasi Umum (BAU)
BAU adalah semua pengeluaran pemerintah daerah yang tidak
berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau pelayanan
publik (Halim 2001:69). Kelompok BAU terdiri dari 4 jenis, yaitu: a. Belanja pegawai
b. Belanja barang
c. Belanja perjalanan dinas
d. Biaya Pemeliharaan
2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan (Sarana dan Prasarana Publik)
Belanja ini merupakan semua pengeluaran pemerintah
daerah yang berhubungan dengan aktivitas/pelayanan publik
a. Belanja pegawai
Merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk
orang/personel yang berhubungan dengan aktivitas/dengan kata
lain merupakan belanja pegawai yang bersifat variabel, yang
meliputi:
1. Honoraraium
2. Upah lembur
3. Upah paket
4. Insentif
b. Belanja barang dan jasa
Merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk penyediaan
barang dan jasa yang berhubungan langsung dengan pelayanan
publik, yang meliputi:
1. Biaya sewa
2. Biaya bahan percontohan (hewan dan tanaman)
c. Belanja perjalanan dinas
Merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk biaya
perjalanan pegawai yang berhubungan langsung dengan
pelayanan publik, yang meliputi:
1. Biaya perjalanan dinas dalam daerah
d. Belanja pemeliharaan
Merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk pemeliharaan
barang daerah yang mempunyai hubungan langsung dengan
pelayanan publik
3. Belanja Modal
Merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang manfaatnya
melebihi 1 (satu) tahun anggaran dan akan menambah
aset/kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja
yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan, (Halim
2001:72). Belanja modal meliputi:
1. Belanja publik
Yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung
oleh masyarakat umum, seperti: pembangunan jembatan &
jalan raya.
2. Belanja aparatur
Yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati
oleh masyarakat, tetapi diarasakan secara langsung oleh
aparatur.
Selain ketiga belanja diatas terdapat 2 (dua) belanja lagi, yaitu:
1. Belanja transfer
Merupakan pengalihan uang dari pemerintah daerah kepada pihak
ketiga tanpa adanya harapan untuk mendapatkan pengembalian
Kelompok ini terdiri dari pembayaran dan angsuran pinjaman, dana
bantuan, dan dana cadangan.
2. Belanja tak tersangka
Merupakan pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
membayar kegiatan-kegiatan tak terduga dan kejadian-kejadian luar
biasa.
C. Pembiayaan
Pembiayaan menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor
29 tahun 2002, tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan
pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan anggaran
pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan
daerah dan penyusunan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD), dirinci menurut sumber pembiayaan yang merupakan
penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Pembiyaan ini antara lain
meliputi:
1. Penerimaan daerah
a. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu
b. Transfer dari dana cadangan
c. Penerimaan pinjaman dan obligasi
d. Hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan
2. Pengeluaran daerah
b. Penyertaaan modal
c. Pembayaran utang pokok yang jatuh tempo
d. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun berjalan
2.2.4. Keuangan Daerah
2.2.4.1. Pengertian Dan Ruang Lingkup Keuangan Daerah
Sejak masa reformasi masalah keuangan daerah merupakan
masalah yang banyak dibicarakan dalam konteks sektor publik. Halim
(2001:19) yang mengutip dari memeseh (1995), mengartikan keuangan
daerah sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang,
demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat
dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara
atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai
ketentuan/peraturan perundang-undangan yang berlaku .
Sedangkan pengertian keuangan daerah menurut Keputusan
Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 tentang pedoman
pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah serta
tata cara penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah,
pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang
yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam
kerangka anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Adapun ruang lingkup dari keuangan daerah menurut Halim
(2001:20) ada 2 (dua) yaitu:
1. Keuangan daerah yang dikelola langsung, meliputi:
a. Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
b. Barang-barang inventaris milik daerah
2. Kekayaan daerah yang dipisahkan, meliputi:
a. Badan usaha milik daerah (BUMD)
Keuangan daerah dikelola melalui manajemen keuangan
daerah. Adapun arti dari keuangan daerah sendiri yaitu
pengorganisasian dan pengelolaan sumber-sumber daya/kekayaan
yang ada pada suatu daerah untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki daerah tersebut, Halim (2001:20). Sedangkan alat
untuk melaksanakan manajemen keuangan daerah yaitu tata usaha
daerah yang terdiri dari tata usaha umum dan tata usaha keuangan
yang sekarang lebih dikenal dengan akuntansi keuangan daerah.
2.2.4.2. Undang-Undang Pelaksanaan Keuangan Daerah
Pada era reformasi, dalam manajemen keuangan daerah terdapat
reformasi pelaksanaan seiring dengan adanya otonomi daerah. Adapun
peraturan pelaksanaanya menurut Halim (2001:3) telah dikeluarkan oleh
undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan
undang-undang nomor 25 tahun 1999 jo undang-undang nomor 33 tahun
2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,
adalah sebagai berikut:
1. Peraturan pemerintah nomor 104 tahun 2000 tentang dana
perimbangan
2. Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah
3. Peraturan pemerintah nomor 107 tahun 2000 tentang pinjaman daerah
4. Peraturan pemerintah nomor 108 tahun 2000 tentang tata cara
pertanggungjawaban kepala daerah
5. Surat Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah tanggal 17
november 2000 nomor 903/235/SJ tentang pedoman umum
penyusunan dan pelaksanaan APBD tahun anggaran 2001
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, karakteristik
manajemen keuangan daerah pada era reformasi antara lain:
1. Pengertian daerah adalah propinsi dan kota atau kabupaten
2. Pengertian pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat
lainnya. Pemerintah daerah ini adalah badan eksekutif, sedangkan
badan legislatif di daerah adalah DPRD
3. Perhitungan APBD menjadi satu dengan pertanggungjawaban kepala
daerah (pasal 5 PP nomor 108 tahun 2000)
a. Laporan perhitungan APBD
b. Nota perhitungan APBD
c. Laporan aliran kas
d. Neraca daerah dilengkapi dengan kinerja berdasarkan tolak ukur
Renstra (pasal 38 PP nomor 105 tahun 2000)
5. Pinjaman APBD tidak lagi masuk dalam pos pendapatan (yang
menunjukkan hak pemerintah daerah), tetapi masuk dalam pos
penerimaan (yang belum tentu menjadi hak pemerintah daerah)
6. Masyarakat termasuk dalam unsur-unsur penyusunan APBD
disamping pemerintah daerah yang terdiri atas kepala daerah dan
DPRD
7. Indikator kinerja pemerintah daerah tidak hanya mencakup:
a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya
b. Perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya
c. Target dan presentase fisik proyek tetapi juga meliputi standar
pelayanan yang diharapkan
8. Laporan pertanggungjawaban daerah pada akhir tahun anggaran yang
bentuknya laporan perhitungan APBD dibahas oleh DPRD dan
mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan kepala daerah
apabila dua kali ditolak oleh DPRD
Dalam peraturan-peraturan diatas terutama peraturan pemerintah
anggaran daerah secara umum dari era pra reformasi ke era (pasca)
reformasi, yaitu:
1. Dari vertical accountability menjadi horizontal countability 2. Dari traditional budget menjadi performance budget
3. Dari pengendalian dan audit keuangan ke pengendalian dan audit
keuangan dan kinerja
4. Lebih menerapkan konsep value for money 5. Penerapan pusat pertanggungjawaban
6. Perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintah
2.2.5. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah 2.2.5.1. Pengertian Kinerja Keuangan
Dalam organisasi sektor publik, setelah adanya operasional
anggaran, langkah selanjutnya adalah pengukuran kinerja untuk menilai
prestasi, dan akuntabilitas organisasi dan manajer dalam menghasilkan
pelayanan pubilk yang lebih baik. Akuntabilitas yang merupakan salah
satu ciri dari terapan good governance bukan hanya sekedar kemampuan menunjukkan bagaimana menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah
dibelanjakan secara ekonomis, efisien, dan efektif (Mardiasmo
2002:121).
Ekonomis terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik
merupakan perbandingan output/input yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target yang telah ditetapkan. Sedangkan efektif merupakan
tingkat pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan,
yang merupakan perbandingan perbandingan outcome dengan output (Mardiasmo 2002:4).
Adapun arti dari penilaian kinerja menurut Vista (2002:28) yang
dikutip dari Mulyadi (1993:419), yaitu penentuan secara priodik
efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawan
berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya . Dan menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29
tahun 2002 tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan
pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan anggaran
pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah
dan penyusunan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD), bahwa tolak ukur kinerja merupakan komponen lainnya yang
harus dikembangkan untuk dasar pengukuran kinerja keuangan dalam
sistem anggaran kinerja.
2.2.5.2. Analisa Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Analisa keuangan menurut Halim (2001:127) merupakan sebuah
usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan
yang tersedia. Sedangkan pada pasal 4 PP nomor 58 tahun 2005 tentang
dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Berdasarkan penjelasan pasal 4 PP nomor 58 tahun 2005 yang
dimaksud dari efisien merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk
mencapai keluaran tertentu; ekonomis merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang rendah;
efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil;
transparan merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi
seluas-luasnya tentang keuangan daerah; sedangkan bertanggung jawab merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau satuan kerja untuk
mempertanggung jawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya
dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan
dituangkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang
baik secara langsung maupun tidak langsung memcerminkan kemampuan
pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas
dianalisis menggunakan analisa rasio keuangan terhadap APBD (Halim
2001:126).
Masih menurut Halim (2001:127) penggunaan analisis rasio pada
sektor publik, khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan,
sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama
dan kaidah pengukurannya. Adapun kinerja keuangan pemerintah daerah
itu sendiri diukur berdasarkan pada (Halim 2001:127):
1. Tingkat kemandirian keuangan daerah
Ukuran ini menunjukkan kemampuan keuangan pemerintah daerah
dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan
pelayanan kepada masyarakat , yang diukur dengan rasio Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap jumlah bantuan pemerintah
pusat/propinsi dan pinjaman
2. Tingkat ketergantungan
Tingkat ketergantungan disini akan mengukur tingkat kemampuan
daerah dalam meningkatkan PAD, yang diukur dengan rasio antara
PAD dengan total penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) tanpa subsidi.
3. Tingkat desentralisasi fiskal
Ukuran menunjukkan tingkat kewenangan dan tanggung jawab yang
diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
penelitian ini diukur dengan menggunakan rasio PAD terhadap total
penerimaan daerah.
4. Tingkat efektifitas
Tingkat efektifitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan
target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah
5. Tingkat efisiensi
Tingkat efisiensi menggambarkan perbandingan antara besarnya
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan relisasi
pendapatan yang diterima. Kedua rasio, yaitu efektifitas dan efisiensi
ini harus dipersandingkan untuk mendapat ukuran yang lebih baik.
2.2.6. Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja pemerintah daerah tidak dapat dinilai berdasarkan laba
yang diperoleh, karena orang pemerintah daerah bukan entitas bisnis yang
mencari laba. Mungkin saja pemerintah memiliki program atau aktivitas
dari program tersebut dihasilkan pendapatan yang lebih besar dari
biayanya, sehingga pemerintah mengalami surplus atau program tersebut.
Akan tetapi, surplus yang diperoleh tersebut tidak berarti menunjukkan
kinerja unit pemerintah yang bagus sebab harus diliahat juga apakah
surplus tersebut karena tariff yang terlalu tinggi yang dibebankan kepada
public, termasuk tingakt kualitas pelayanan yang diberikan apakah sudah
Kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai penyusun dan
pelaksana APBD digambarkan dalam laporan kinerja keuangan atau
surplus deficit. Dengan demikian laporan surplus-defisit anggaran
menyajikan pendapatan pemerintah daerah selama satu periode dan
biaya-biaya untuk memperoleh pendapatan tersebut pada periode yang sama.
Untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah digunakan
Pemda
Laporan Surplus atau Defisit Anggaran
Untuk Periode Yang Berakhir Tanggal 31 Desember 20xx
NO. Rek. Keterangan Jumlah (Rp)
Pendapatan :
Pendapatan pajak hotel Pendapatan Retribusi pasar Pendapatan laba BUMN
Pendapatan bagi hasil pajak dan bukan pajak Pendapatan DAU Jumlah belanja rutin
Belanja Pembangunan :
Belanja pembangunan pertanian Belanja pembangunan industry Belanja pembangunan agama Jumlah Belanja pembangunan Total Belanja
Surplus / defisit
xxx
Gambar 2.2 : Laporan Surplus atau Defisit Anggaran
Sumber : Halim, Abdul, 2002, Akuntansi Keuangan Daerah, Penerbit Salemba Empat, Jakarta (Hal.5)
2.2.7. Analisis Rasio Keuangan Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD)
2.2.7.1.Jenis Analisis Rasio Keuangan
Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi cirri-ciri
keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang
dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya
sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi.
Berdasarkan rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan
yang bersumber dari APBD antara lain : (Abdul Halim, 2002 : 120-133)
a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiscal) menunjukkan
kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang
telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
dilakukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh
besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan
pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya
bantuan pemerintah pusat atau dari pinjaman.
Rasio Kemandirian =
pinjaman
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap
sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung
arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak
ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah,
dan demikian pula sebaiknya. Rasio kemandirian juga
menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
b. Rasio Aktivitas
Rasio aktivitas ditunjukkan dengan rasio belanja rutin dan rasio
belanja pembanggunan. Rasio ini menggambarkan bagaimana
pemeintah daerah memproritaskan alokasi dananya pada belanja
rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Rasio aktivitas ini
dapat diformulasikan sebagai berikut :
1. Rasio belanja rutin =
APBD Total
rutin belanja Total
2. Rasio belanja pembangunan =
APBD
c. Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
Dalam rangka melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana di
daerah, selain menggunakan pendapatan asli daerah, pemerintah
daerah dapat menggunakan alternative sumber dana lain yaitu
dengan melakukan pinjaman, sepanjang prosedur dan
pelaksanaannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
DSCR merupakan perbandingan antara penjumlahan Pendapatan
Asli Daerah (PAD), Bagian daerah (BD) dari Pajak Bumi dan
Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
penerimaan sumber daya alam dan bagian daerah lainnya. Serta dana
alokasi umum setelah dikurangi Belanja Wajib (BW),dengan
penjumlahan angsuran pokok, bunga dan biaya pinjaman lainnya
DSCR =
d. Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan digunakan untuk mengukur sebesar kemampuan
pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan
keberhasilan yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya.
Perhitungan adalah tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan tahun
anggaran 2003/2004.
Rasio pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai berikut :
X = x100%
X = Rasio pertumbuhan yang dinyatakan dalam persen
Y rt = Sumber penerimaan dan pengeluaran pada tahun ke-t
Y rt-1 = Sumber penerimaan dan pengeluaran pada tahun ke t-1
Hasil analisis keuangan ini selanjutnya digunakan untuk tolak ukur
dalam (Halim 2001) :
1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai
penyelenggaraan otonomi daerah
2. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah dalam
membelanjakan pendapatan daerah.
3. Mengukur efektifitas dan efisiensi dalam merealisasikan
4. Melihat pertumbuhan dan perkembangan perolehan pendapatan
dan pengeluaran yang dilakukan selama periode tertentu.
Dalam penelitian ini, penelitian ini hanya menggunakan analisis
rasio keuangan sebagai variable dalam pengukuran kinerja keuangan
pada pemerintah daerah kota Tulungagung, yaitu:
a. Rasio kemandirian keuangan daerah
b. Rasio aktivitas
c. Rasio pertumbuhan
2.2.8. Otonomi Daerah dan Desentralisasi 2.2.8.1. Pengertian Otonomi Daerah
Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Pasal 1 butir b, yang
dimaksud dengan otonomi daerah adalah:
“Kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.”
Sedangkan daerah Otonom adalah : Kesatuan Masyarakat hukum
yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan menguras
setempat.
Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa otonomi daerah
dapat dilaksanakan, jika ada pelimpahan atau pemberian wewenang
pemerintah dari pusat kepada daerah otonom. Berdasarkan ketentuan
berarti adanya kewenangan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya
sendiri berdasarkan pengertian dan substansi dari desentralisasi.
2.2.8.2. Dalih Penyelenggaraan otonomi Derah
Dalih penyelenggaraan otonom daerah telah disebutkan di dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 : Bahwa dalam menghadapi
perkembangan ke depan, baik di dalam maupun luar negri, serta tantangan
persaingan global dipandang perlu menyelenggarakan otonomi derah
dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab
kepada daerah secara profosional diwujudkan dengan peraturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta penimbangan
keuangan pusat dan daerah,sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran
serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta prestasi dan
keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pada dasarnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 juga masih
menggunakan asas pemerintahan dalam Undang-Undang No. 5 tahun
1974. Asas-asas tersebut adalah desentralisasi,dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Perbedaannya adalah sebagai berikut:
a. Pemberian asas desentralisasi penuh diberikan kepada pemerintah
kabupaten dan kota dalam wujud otonomi luas, nyata dan betanggung
b. Pelaksanaan asas dekonstrasi adalah pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah.
Asas desentralisasi penuh kepada daerah kabupaten dan kota
berimplikasi pada penyelenggaraan otonomi daerah secara luas, nyata dan
bertanggung jawab. Otonomi daerah secara luas berarti pemberian
kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter. Dan fiscal, agama serta
kewenangan di bidang lain.
Otonomi daerah menjadi jalan untuk meringkas proses dan dengan
demikian bias berarti penghematan pengeluaran pusat. Issue kemandirian
bias dijadikan dalih oleh pusat untuk tidak secara penuh memikul
tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh pusat (Widarta,2001 : 8).
2.2.8.3. Tujuan Otonomi daerah
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk
meningkatkan pelayanan public dan memajukan perekonomian daerah.
Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah,
yaitu : (Mardiasmo,2002 : 59)
1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan public kesejahteraan
masyarakat.
3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik)
untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah (Larasati,2002).
2.2.8.4. Pengaruh Kebijakan Otonomi Daerah
Menurut Turner (dalam Sunyoto Usman, 2002), ada 3 (tiga)
pengaruh kebijakan Otonomi Daerah antara lain:
1) Dilihat secara Politis
Secara politis, pergeseran penyelenggaraan pemerintahan dari
sentralisasi ke desentralisasi akan dapat meningkatkan kemampuan dan
tanggung jawab politik daerah, membangun proses demokrasi
(kompetisi, partisipasi dan transparasi), konsolidasi integrasi nasional.
2) Dilihat secara Administrative
Akan mampu meningkatkan kemampuan daerah merumuskan
perencanaan dan mengambil keputusan strategi, meningkatkan
akuntanbilitas dan pertanggung jawaban politik.
3) Dilihat secara Ekonomis
Secara ekonomis akan mampu membangun keadilan di semua daerah
2.2.8.5. Arti Penting Desentralisasi
Sejarah perekonomian mencatat desentralisasi telah muncul ke
permukaan sebagai paradikma baru dalam kebijakan dan administrasi
pembangunan sejak 1970-an. Tumbuhnya perhatian terhadap desentralisasi
tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya perencanaan terpusat dan
populernya strategi pertumbuhan dan pemerataan, tetapi juga dengan
adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang
kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah
dikendalikan dan direncanakan dari pusat. Karena itu pentingnya
desentralisasi dalam perencanaan dan administrasi (Allen,1990).
Menurut Rosjidi (2001) bahwa desentralisasi adalah adanya
pelimpahan wewenang dari tingkat atas organisasi kepada tingakt
bawahannya secara kritis.
2.2.8.6. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Timbulnya perhatian terhadap desentralisasi tidak hanya dikaitkan
dengan gagalnya perencanaan terpusat dan populernya strategi
pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity), tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan
penuh ketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan
direncanakan (Mudrajad, Kuncoro, 1995).
Penerapan desentralisasi sebagai wujud dari otonomi daerah yang
dan daerah, di mana pelaksanaan tugas dan wewenang masing- masing
tingakt pemerintahan memerlukan dukungan pendanaan. Perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah yang ideal adalah apabila setiap tingkat
pemerintahan dapat independen di bidang keuangan untuk membiayai
pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing (Machfud Sidik,2000).
Menurut E. Koswara (2000), ciri utama yang menunjukkan suatu
daerah otonomi terletak pada kemampuan keuangan daerahnya, artinya
daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk
menggali sumber-sumber keuangan sendiri, sehingga PAD harus menjadi
bagian sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan
pembagian keuangan pusat dan daerah.
2.2.9. Teori Probabilitas
Menurut Lind (2002) mendefinisikan propabilitas sebagai berikut:
Probabilitas adalah suatu ukuran tentang kemungkinan suatu
peristiwa (event) akan terjadi di masa mendatang.
Ada tiga hal penting dalam rangka membicarakan probabilitas,
yaitu percobaan (experiment), hasil (outcome) dan peristiwa (event) (Suharyadi, 2003 : 202).
1. Percobaan adalah pengamatan terhadap beberapa aktivitas atau proses
yang memungkinkan timbulnya paling sedikit dua peristiwa tanpa
memperhatikan peristiwa mana yang akan terjadi. Dalam penelitian